Anda di halaman 1dari 4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Leukemia adalah kanker yang disebabkan oleh pertumbuhan tidak normal pada sel
darah putih (leukosit), dimana sel darah putih muda tidak menjadi matang seperti seharusnya
melainkan menjadi sel yang dikenal sebagai sel leukemia (Yayasan Kanker Indonesia (YKI),
2008). Sedangkan berdasarkan Permono dan Ugrasena (2010), leukemia merupakan penyakit
keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang yang Kditandai oleh proliferasi sel-sel
darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Leukemia akut
dibagi atas leukemia limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut (LMA).

2.2 Etiologi
Etiologi dari LLA sendiri masih tidak diketahui, namun faktor lingkungan dapat
mempengaruhi terjadinya LLA seperti paparan benzene, radiasi, kemoterapi, dan radioterapi.
Kecacatan genetic seperti Trisomi 21, sindrom bloom’s, anemia fanconi’s, dan ataksia
telangiektasia mempunyai kemungkinan lebih tinggi dalam menderita leukemia. Terdapat
juga beberapa faktor risiko terjadinya leukemia pada anak akibat kondisi perinatal seperti
penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia, BBL > 4500 gram, dan
hipertensi pada saat hamil (Puckett dan Chan, 2021; Permono dan Ugrasena, 2010).

2.3 Epidemiologi
Leukemia limfoblastik akut atau LLA merupakan bentuk kanker yang paling pada
masa anak-anak dan memiliki insiden keseluruhan di Amerika Serikat dari 34 kasus/juta
orang <20 tahun dengan insiden puncak 75,2 kasus/juta terjadi pada anak-anak antara usia 1-
4 tahun (Taub et al., 2020). Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari
keganasan. Di negara berkembang 83% ALL, 17% AML, dan lebih tinggi pada anak kulit
putih dibandingkan anak kulit hitam. Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua
leukemia pada anak dan LLA mempunyai prevalensi 82% sedangkan LMA mempunyai
prevalensi sebesar 18%. Pada tahun 2002, nilai prevalensi LLA di RSU Dr. Soetomo adalah
88%, LMA adalah 8%, dan 4% adalah leukemia kronik (Permono dan Ugrasena, 2010).
2.4 Patofisiologi
Leukemia Limfositik Akut diperkirakan terjadi setelah kerusakan DNA menyebabkan
sel-sel limfoid mengalami pertumbuhan yang tidak terkendali dan menyebar ke seluruh
tubuh. Splenomegali dan hepatomegali terjadi karena sekuestrasi trombosit dan limfosit di
limpa dan hati karena sel darah putih tidak khas, limpa bereaksi terhadapnya dengan mencoba
mengeluarkannya dari darah (Puckett dan Chan, 2021). Selain itu, terdapat bukti bahwa
leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang berproliferasi secara klonal sampai mencapai
sejumlah populasi sel yang dapat terdeteksi. Meskipun etiologi dari leukemia pada manusia
belum diketahui, tetapi terdapat penelitian mengenai leukemogenesis bahwa penyebabnya
mempunyai kemampuan melakukan modifikasi nucleus DNA, dan kemampuan ini meningkat
bila terdapat suatu kondisi genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan mutase
somatik yang mengakibatkan terbentuknya gugus clone abnormal. Akibat terbentuknya
populasi sel leukemia yang makin lama makin banyak akan menimbulkan dampak yang
buruk bagi produksi sel normal, dan bagi faal tubuh maupun dampak karena infiltrasi sel
leukemia ke dalam organ tubuh. Kegagalan hematopoiesis normal merupakan akibat yang
besar pada patofisiologi leukemia akut, meskipun demikian patogenesisnya masih sangat
sedikit diketahui. Bahwa tidak selamanya pansitopenia yang terjadi disebabkan desakan
populasi sel leukemia, terlihat pada keadaan yang sama (pansitopenia) tetapi dengan
gambaran sumsum tulang yang justru hiposeluler. Kematian pada pasien leukemia akut pada
umumnya dakibatkan penekana sumsum tulang yang epat dan hebat, akan tetapi daoat pula
disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia (Permono dan Ugrasena, 2010).

2.5 Klasifikasi
Sebagian besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari
setiap pasien. Oleh karena homogenitas tersebut maka FAB (Perancis, Amerika, dan British)
membuat klasifikasi untuk mempermudahkan pemakaiannya dalam klinik, sebagai berikut:
L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homohen, anak inti
umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit;
L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin lebih
kasar dengan satu atau lebih anak inti;
L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak
ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi.
2.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari LLA sendiri biasanya tidak spesifik dan relative singkat seperti
anorexia, lemah, letih, iritabilitas, dan demam. Selain itu, nyeri pada tulang dan sendi
terutama pada ekstremitas bawah mungkin hadir. Biasanya dapat diikuti dengan adanya atau
tanpa pembengkakan pada sendi. Kerusakan pada sumsun tulang biasanya ditandai dengan
pucat, lemah, tidak kuat berolahraga, terdapat ruam, perdarahan mukosa mulut atau
epistaksis, dan juga demam yang bisa disebabkan oleh infeksi atau penyakit lainnya
(Kliegman, 2020).

2.7 Diagnosis
Menegakkan diagnosis dari LLA dapat dilihat dari hapusan darah tepi yang
mengindikasi adanya kerusakan pada sumsum tulang. Anemia dan trombositopenia biasanya
dapat terlihat pada darah lengkap pasien. Kebanyakan dari pasien LLA mempunyai nilai
leukosit yang kurang dari 10.000/μL. Ketika hasil darah lengkap sudah ditemukan adanya
posibilitas mengarah ke diagnosis leukemia, maka pemeriksaan sumsumm tulang harus
dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Pada evaluasi sumsum tulang akan terdapat hasil
>25% sel pada sumsum tulang merupakan sel limfoblast. Apabila limfoblast ditemukan dan
leukosit pada CSF meningkat, maka terdapat gangguan pada sistem saraf pusat atau leukemia
meningeal. Pemeriksaan lumbal pungsi dapat dilakuka pada konjungsi dengan dosis pertama
kemoterapi intratekal, apabila diagnosis leukemia sudah ditegakkan melalui evaluasi sumsum
tulang (Kliegman, 2020). Berdasarkan Permono dan Ugrasena (2010), pada pemeriksaan
darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung jenis leukosit, dan
trombositopenia. Pada pemeriksaan hapusan darah tepi akan dijumpai sel-sel blas.
Berdasarkan protocol WK-ALL pasien LLA dimasukkan ke dalam kategori risiko tinggi bila
leukosit > 50.000, ada massa mediastinum, ditemukan leukimia susunan saraf pusat serta
jumlah sel blas total setelah 1 minggu diterapi dexamethasone lebih dari 1000/mm 3. Untuk
menentukan adanya leukimia SSP maka harus dilakukan aspirasi cairan serebrospnal
menggunakan lumbal pungsi dan pemeriksaan sitologi.
DAFTAR PUSTAKA

Kliegman, Robert. Nelson Textbook of Pediatrics. Edition 21. Philadelphia, PA: Elsevier,
2020.
Permono, Bambang., Ugrasena, IDG. 2010. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak:
Leukemia Akut. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Puckett Y, Chan O. Acute Lymphocytic Leukemia. 2021. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; Jan-
Taub, J. W., Ge, Y., & Xavier, A. C. (2020). COVID-19 and childhood acute lymphoblastic
leukemia. Pediatric blood & cancer, 67(7), e28400. https://doi.org/10.1002/pbc.28400
Yayasan Kanker Indonesia. 2008. Informasi Dasar Tentang Kanker: Pedoman Bagi
Penyuluh Kanker. https://kankerindo.org

Anda mungkin juga menyukai