BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin
tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan
kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar
Saat ini PPOK merupakan penyakit noninfeksi kedua tersering di dunia yang
menyebabkan kematian 2,75 juta orang pertahun dan meningkat menjadi dua kali lipat
pada tahun 2030 (Tashkin & Cooper, 2004). Diperkirakan jumlah penderita PPOK di
Cina tahun 2006 mencapai 38,1 juta penderita, Jepang sebanyak 5 juta penderita dan
Vietnam sebesar 2 juta penderita. Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 4,8 juta
penderita PPOK.. Angka ini bisa meningkat dengan semakin banyaknya jumlah
perokok karena 90% penderita PPOK adalah perokok atau bekas perokok (Anwar et
al., 2012).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya
terhadap partikel dan gas berbahaya. Pada PPOK ini terjadi obstruksi dan hambatan
aliran udara kronik yang disebabkan oleh bronkitis kronik, emfisema atau keduanya
(PDPI, 2003). Pasien PPOK dengan derajat obstruksi yang berat mempunyai
kemungkinan hospitalisasi yang besar. Intervensi pada pasien PPOK yang meliputi
2
anjuran berhenti merokok, rehabilitasi paru, dan edukasi pada saat pasien mengalami
terpadu terdiri dari berbagai disiplin ilmu mencakup dokter, fisioterapis, perawat
pernapasan, staf gizi, pekerja sosial dan konsultan rokok. Manfaat rehabilitasi paru
terhadap peningkatan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien PPOK sudah
dan mensinkronkan kerja otot perut dan toraks. Purse-lip breathing mengaktifkan
otot perut selama ekspirasi, meningkatkan pertukaran gas dan saturasi oksigen di
arteri. Purse-lip breathing memperbaiki pola napas, meningkatkan volume tidal dan
sesak, rasa cemas dan tegang karena sesak (Smeltzer & Bare, 2002).
Sesak napas merupakan masalah utama pada pasien PPOK dan menjadi alasan
untuk mencari pengobatan. Gejala sesak napas harus dievaluasi rutin pada setiap
pasien PPOK. Sesak napas dinilai dengan menghitung fungsi paru dengan spirometri,
namun untuk menilai sesak napas pada pasien PPOK dapat digunakan kuesioner
MMRC scale (Modified Medical Research Council Scale) (Mahler et al., 2009). Skala
MMRC terdiri dari 5 level tingkatan. Skala pada MMRC didasarkan pada persepsi
pasien terhadap munculnya sesak napas saat melakukan aktivitas sehari hari.
Keunggulan penggunaan skala MMRC ini adalah mudah untuk diaplikasikan pada
3
pasien PPOK dan valid untuk menilai ketidakmampuan pasien melakukan aktivitas
B. Pertanyaan Penelitian
C. Tujuan Penelitian
dengan teknik Purse-lip breathing terhadap penurunan derajat sesak napas pasien
PPOK stabil.
D. Manfaat Penelitian
skala MMRC.
3. Bagi ilmu pengetahuan, dapat menambah bukti manfaat rehabilitasi dengan teknik
E. Keaslian Penelitian
memicu
peningkatan
aktivitas
parasimpatis dan
berpengaruh
terhadap
modulasi jantung
otonom.
Jadranka S, Menilai Subyek Hasil 8 pasien
et al. (2005) pengaruh PLB memakai PPOK (6 laki-laki
terhadap pola masker dan 2 perempuan)
pernapasan, transparan dengan rerata
mekanik ketat, setiap usia 58 11 tahun
pernapasan, pasien dan rerata FEV1
volume paru- bernapas dari 1,34 0,44 L
paru selama 8 (50 21%
operasional, menit, diprediksi). Hasil
dan dispnea dengan dan PLB
pada pasien tanpa PLB memperbaiki pola
PPOK. saat istirahat pernapasan, lebih
dan selama baik saat istirahat
kerja, dan selama
olahraga latihan.
sepeda (60% Sedangkan pasien
dari yang tidak
maksimum). memiliki dispnea
dengan atau tanpa
PLB saat
istirahat, selama
latihan dispnea
adalah variabel
dipengaruhi oleh
PLB di pasien.
Perubahan skor
dispnea individu
dengan PLB
selama latihan
secara signifikan
berkorelasi
dengan
perubahan
volume paru
ekspirasi akhir
(End Eexpiratory
Lung
Volume/EELV)
nilai-nilai
diperkirakan dari
6
manuver
kapasitas
inspirasi (sebagai
persentase dari
total paru-paru
kapasitas; r2
=0,82, p = 0,002)
dan dengan
perubahan rasio
inspirasi berarti
tekanan pleura
dengan maksimal
inspirasi statis
tekanan yang
menghasilkan
kapasitas (PcapI)
[r2= 0,84; p =
0,001], diukur
menggunakan
balon esofagus, di
mana PcapI
ditentukan selama
rentang volume
paru inspirasi dan
disesuaikan
dengan aliran.
PLB memiliki
efek dispnea bila
dilakukan selama
latihan. Pengaruh
PLB pada
dispnea adalah
terkait dengan
perubahan
gabungan yang
meningkatkan
volume tidal dan
EELV dan
dampaknya
terhadap
kapasitas yang
tersedia dari otot
pernapasan untuk
memenuhi
kebutuhan.
Natalia Penelitian ini APE merupakan Responden Dengan hasil
(2007), meneliti nilai kekuatan diberi sesudah
efektivitas aliran udara perlakuan perlakuan PLB
7
BAB II
8
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah
dan diob ati, dengan ciri adanya hambatan aliran udara yang menetap (persisten) yang
kronik pada paru dan saluran pernapasan terhadap gas atau partikel yang berbahaya
respon inflamasi kronik agen noxious dari asap rokok. Meskipun PPOK berefek di
paru, tetapi penyakit ini menyebabkan konsekuensi sistemik yang signifikan (Celli et
al., 2004).
Sesak napas disertai batuk kronik dengan sputum produktif merupakan gejala
yang utama dijumpai pada penderita PPOK (JRS, 2004). Pasien dengan gejala sesak
napas yang berat akan menyebabkan imobilisasi, kualitas hidup yang terganggu
karena isolasi dan depresi, serta menimbulkan beban biaya kesehatan yang tinggi.
hasil untuk mengurangi gejala sesak napas dengan meningkatkan pertukaran gas,
proses ventilasi yang efektif, serta kebugaran pasien untuk melakukan aktivitas fisik
(Kant, 2005).
9
A. 1. Patofisiologi PPOK
napas proksimal, saluran napas perifer, parenkim, dan vaskular paru. Perubahan
tersebut tersebut berupa inflamasi kronik dengan peningkatan jumlah sel-sel inflamasi
akibat cedera dan perbaikan jejas inflamasi berulang. Diberbagai bagian paru dijumpai
peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8+), dan neutrofil. Sel-sel radang yang
teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator yang mampu merusak struktur paru
dan atau mempertahankan inflamasi. Disamping proses inflamasi ada dua proses lain
yang juga penting yaitu ketidakseimbangan proteinase dan anti proteinase di paru dan
proksimal dan perifer serta jaringan paru. Inhalasi partikel dan gas beracun
mengaktivasi epitel bronkus dan alveoli dan menginduksi rekruitmen sel inflamasi dan
sel imun mukosa bronkial dan parenkim paru. Inflamasi saluran napas merubah
fungsi dan struktur bronkus melalui 4 mekanisme, yaitu a) ketebalan dinding bronkus
Gambar 1. Patofisiologi Perubahan Struktur Saluran Napas pada PPOK (Roche et al.,
2011)
Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis yang
mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang khas. Misalnya penurunan VEP1
(Volume Ekspirasi Paksa 1 Detik) yang disebabkan peradangan dan penyempitan dan
pada saluran napas besar, dan saluran napas perifer, sementara transfer gas menurun
Tingkat peradangan, fibrosis, dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil
berkorelasi dengan penurunan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa 1 Detik) dan rasio
VEP1/KVP (Kapasitas Vital Paksa). Penurunan VEP1 merupakan gejala yang khas
pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan
sebagai sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang
11
pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya sesak napas pada
Pada PPOK yang lanjut kombinasi dari obstruksi saluran napas perifer,
destruksi parenkim dan kelainan pembuluh darah pulmonal mengurangi kapasitas paru
untuk pertukaran gas, menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia pada tahap lanjut
Hipertensi pulmonal ringan sampai menengah dapat terjadi pada PPOK karena
vasokrintiksi yang diakibatkan hipoksia dari arteri pulmonal yang kecil, yang
hipertropi otot polos dan hiperplasia. Adanya respon inflamasi dalam pembuluh darah
sering terlihat di saluran napas dan merupakan bukti dari disfungsi sel endotel.
ventrikel kanan dan biasanya menjadi gagal jantung kanan (GOLD, 2015).
A. 2. Diagnosis PPOK
Penderita dengan keluhan sesak napas, batuk kronis atau berdahak serta
riwayat paparan faktor risiko seperti riwayat merokok jangka lama pada usia
pertengahan atau tua perlu dicurigai menderita PPOK. Pemeriksaan fisik pada pasien
PPOK yang khas umumnya tidak dijumpai kelainan sampai terjadi progesi penyakit
sebanding), (3). Penggunaan otot bantu napas, (4). Hipertrofi otot bantu napas, (5).
Pelebaran sela iga, dan (6). Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat peningkatan
merupakan standar uji faal paru untuk menilai keterbatasan aliran udara pada saluran
Tabel 1. Klasifikasi derajat keparahan hambatan aliran udara pada PPOK (berdasarkan
FEV1 paska pemberian bronkodilator)
Kategori GOLD Pada pasien dengan FEV1/FVC < 0,70
Tingkat Keparahan Pengukuran FEV1
GOLD 1 Ringan FEV1 80% prediksi
GOLD 2 Sedang 50% FEV1 < 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% FEV1 < 50% prediksi
GOLD 4 Sangat berat FEV1 < 30% prediksi
Sumber: GOLD, 2015
spirometri, risiko eksaserbasi, dan identifikasi komorbid. Penilaian PPOK berdasarkan GOLD
penilaian gejala, klasifikasi spirometri dan risiko eksaserbasi. Pertama tentukan skor
gejala dengan MMRC atau CAT, apabila masuk kotak kiri berarti gejala sedikit,
apabila masuk kotak kanan berarti gejala banyak. Kemudian tentukan skor risiko
eksaserbasi, apabila masuk kotak bawah berarti risiko rendah, kotak atas berarti risiko
Kriteria PPOK stabil adalah : (1). Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada
gagal napas kronik, (2). Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil
analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg , (3). Dahak
jernih tidak berwarna, (4). Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat
A. 3. 2. Penatalaksanaan PPOK
obatan, (3). Terapi oksigen, (4). Ventilasi mekanik, (5). Nutrisi, dan (6).
memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru dan meningkatkan kualitas hidup
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah
penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
Teofilin
C ICS + LABA LAMA + LABA
atau atau SABA
LAMA LAMA + PDE-4 inhibitor dan/atau
atau SAMA
LABA + PDE-4 inhibitor
Teofilin
D ICS + LABA Karbosistein
dan atau ICS + LABA + LAMA
LAMA atau SABA dan atau
ICS + LABA + PDE-4 SAMA
inhibitor
atau Teofilin
LAMA + LABA
atau
LAMA + PDE-4 inhibitor
(Sumber: GOLD, 2015)
ICS, inhaled corticosteroid; LABA, long-acting 2-adrenergic agonist; LAMA, long-acting
muscarinic antagonist; PDE-4, phosphodiesterase-4; prn, jika perlu; SABA, short-acting 2-
juhadrenergic agonist; SAMA, short-acting muscarinic antagonist
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun organ - organ lainnya. Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada
eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau
pada pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik (PDPI, 2003).
Terapi nutrisi dibutuhkan untuk mengatasi malnutrisi yang sering terjadi pada
kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
16
mortalitas PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan
perubahan analisis gas darah. Program rehabilitasi paru bertujuan untuk meningkatkan
toleransi latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK (PDPI, 2003).
F. Purse-lip breathing
fungsional secara optimal sehingga pasien dapat hidup mandiri dan berguna bagi
masyarakat. Untuk memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan
thoraks dapat dilakukan tehnik latihan pernapasan yang meliputi latihan pernafasan
diafragma dan pursed lips breathing (PLB). PLB adalah teknik latihan pernapasan
dimana udara ekspirasi sengaja dihambat melalui bentuk bibir yang menyempit yang
menyebabkan kontraksi otot abdomen dan diafragma . Kontraksi diafragma yang baik
mempertahankan kepatenan jalan napas yang kolaps selama ekshalasi. Proses ini
Wilson, 2004). PLB akan mengurangi udara ruang rugi yang terjebak dijalan napas,
serta meningkatan pengeluaran CO2 dan menurunkan kadar CO2 dalam darah arteri
serta dapat meningkatkan O2, sehingga akan terjadi perbaikan homeostasis yaitu
17
kadar CO2 dalam darah arteri normal dan pH darah juga akan menjadi normal
(Muttaqin, 2013).
Pernapasan pursed lip breathing dilakukan dengan cara penderita duduk dan
bernapas dengan cara menghembuskan melalui mulut yang hampir tertutup (seperti
bersiul) selama 4-6 detik. Cara itu diharapkan dapat menimbulkan tekanan saat
ekspirasi sehingga aliran udara melambat dan meningkatkan tekanan dalam rongga
perut yang diteruskan sampai bronkioli sehingga kolaps saluran napas saat ekspirasi
dapat dicegah. (Smeltzer, S. C., & bare, B. G. 2002). Tahap mengerutkan bibir ini
dapat memperpanjang ekshalasi, hal ini akan mengurangi udara ruang rugi yang
terjebak dijalan napas, serta meningkatan pengeluaran CO2, menurunkan kadar CO2
dalam darah arteri serta dapat meningkatkan O2, sehingga akan terjadi perbaikan
homeostasis yaitu kadar CO2 dalam darah arteri normal dan pH darah juga akan
Langkah-langkah atau cara melakukan pursed lips breathing ini adalah dengan
cara menghirup napas melalui hidung sambil menghitung sampai 3 seperti saat
menghirup wangi bunga mawar. Hembuskan dengan lambat sampai hitungan 7 dan
mulut, sertamemberikan tahanan lebih sedikit pada udara yang dihembuskan). PLB
dengan poisi sambil duduk dikursi dilakukan dengan melipat tangan diatas abdomen,
hirup napas melalui hidung sambil menghitung hingga 3, membungkuk ke depan dan
hembuskan dengan lambat melalui bibir yang dirapatkan sambil menghitung hingga 7
hasil yang baik dibandingkan dengan kelompok intervensi yang diberikan latihan
dengan expiratory muscle training dan juga kelompok control pada pasien dengan
dispnea.
signifikan antara pasien yang diberikan latihan pursed lips breathing dengan pasien
yang diberikan terapi tiup balon terhadap puncak arus ekspirasi yang menunjukkan
fungsi paru pada pasien dengan asma bronkhial. Penelitian ini dilakukan selama empat
hari dengan hasil peningkatan rata-rata pursed lips breathing 26,20 1/menit dan
dengan intervensi tiup balon peningkatan sebesar 13,148 1/menit. Ini menunjukkan
bahwa pursed lips breathing lebih efektif dalam meningkatkan arus puncak ekspirasi.
karbondioksida dalam darah, hal ini baik untuk memperbaiki keadaan pola
pernapasan tidak efektif pada pasien dengan emfisema. Latihan pernapasan dengan
pursed lips breathing tidak hanya membantu memperbaiki keadaan sesak napas,
tekanan darah dan juga memberikan perasaan yang lebih nyaman dan tenang serta
Sesak napas adalah gejala utama yang dikeluhkan oleh pasien PPOK yang
Deskripsi pasien untuk menjelaskan sesak napas yang terkait karena penyakit
kardiopulmoner dapat beragam. Sesak napas dapat disebut sebagai sensasi dada yang
terikat, tarikan napas yang sulit dan berat, pernapasan yang tidak lega, napas yang
pendek dan cepat, serta pernapasan yang terengah engah (Crisafulli & Clini, 2010).
pada saluran napas akan mengakibatkan keluhan sesak napas yang semakin meningkat
(GOLD, 2015).
Saat ini terdapat banyak skala untuk mengklasifikasikan sesak napas seperti
skala sesak napas. Skala yang paling sering digunakan saat ini adalah MMRC atau ,
Transient Dyspneu Index / Baseline Dyspneu Index yang didapatkan langsung dari
wawancara dengan pasien. Skala sesak napas yang diperoleh sebagai respon terhadap
stimulus aktivitas fisik tertentu yang sering digunakan adalah skala VAS dan BORG
Perubahan satu skor skala MMRC memberikan nilai yang bermakna untuk
pasien PPOK. Penurunan satu skala MMRC ditandai dengan perbaikan gejala sesak
perubahan fungsi paru yang sedang akibat keterbatasan jumlah level derajat keparahan
pasien PPOK dengan gejala ringan atau gejala berat berdasarkan klasifikasi GOLD.
Nilai skala MMRC 0 1 diklasifikasikan sebagai kelas GOLD yang memiliki gejala
tinggi
2 Berjalan pelan atau berhenti sejenak untuk bernapas.
3 Berhenti untuk bernapas setelah berjalan selama 100 meter
4 Sesak bila meninggalkan rumah atau sesak saat berpakaian atau
melepaskan pakaian.
21
H. Kerangka Teori
Faktor Faktor
amplifikasi inang
Mediator pro-inflamasi
Inflamasi paru
CRP
IL-6
IL-8
Kerusakan parenkim TNF-
paru dan penyempitan
saluran nafas
Manifestasi ekstraparu
Penurunan
Penurunan kapasitas aktivitas
kualitas hidup fisik
Pasien PPOK
Terapi standar
Purse-lip Kontrol
breathing
Analisis
J. Hipotesis
1. PLB selama 12 minggu dapat menurunkan derajat sesak napas pasien PPOK yang
kontrol.
24
BAB III
METODE PENELITIAN
A Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah Pretest Post-test Control Group Design yang
Penelitian dilakukan di Poli Paru RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan
Januari sampai Juli 2016. Subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi diambil secara
L. Populasi Penelitian
penelitian adalah pasien PPOK di Poli Paru RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Sampel
penelitian adalah pasien PPOK di Poli Paru RSUP Dr Sardjito yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif yaitu yang
memenuhi syarat dipergunakan sebagai subjek penelitian sampai jumlah sampel yang
diperlukan terpenuhi.
Kriteria inklusi adalah pasien PPOK stabil dengan derajat GOLD 2 atau 3;
bersedia mengikuti penelitian; dan mengisi informed consent. Kriteria eksklusi yaitu
pasien PPOK yang mengalami gangguan hati; ginjal; efusi pleura; gagal jantung
angina pektoris CCS III dan IV; angina pektoris unstable atau infark miokard dalam
satu bulan terakhir; stroke dengan sekuele; artritis dalam kondisi akut; cedera sendi
M. Besar Sampel
25
berpasangan yang menganalisis beda rerata pada uji klinis menurut Dahlan (2006)
2 {(Z+Z)S}2
N1 = N2 = -----------------
(X1-X2)2
kesalahan tipe I atau = 5%, hipotesis satu arah, maka Z = 1,64, ditetapkan power
S = simpangan baku
X1-X2 = selisih rerata peningkatan variabel antara sebelum dan setelah terapi minimal
yang dianggap bermakna antara kelompok PLB dibandingkan kontrol. Jumlah sampel
N. Variabel Penelitian
O. Definisi Operasional
radiologis ditemukan emfisema dan volume paru membesar dengan adanya iga
mendatar, sela iga melebar, diafragma rendah dan datar, meningkatnya ruang udara
bronkodilator menunjukkan rasio FEV1/FVC < 0,70 (PDPI, 2003; GOLD, 2015).
membedakan keparahan kelompok pasien PPOK dengan gejala ringan atau gejala
sebagai kelas GOLD yang memiliki gejala PPOK ringan sedangkan skala MMRC
2 dimasukkan klasifikasi pasien PPOK dengan gejala berat (Vestbo et al; 2013).
3. Gagal jantung kongestif merupakan sindrom klinik karena kelainan struktural
dan fungsional jantung dengan gejala khas berupa sesak napas pada saat
aktivitas atau istirahat, mudah lelah dan retensi cairan berupa kongesti pulmonal
di rahang, dada, lengan, bahu, dan punggung yang terjadi pda saat aktivitas atau
jalan napas sehingga terjadi obstruksi jalan napas yang ditandai episode mengi,
batuk, sesak napas yang berulang. Asma dapat dibedakan dengan PPOK dengan
reversibilitas FEV1 sebesar 12% pada spirometri atau 200 ml paska pemberian
hidupnya, (3) di rumah atau ruang tempat bekerja tidak ada perokok.
27
b. Bekas perokok yaitu: (1) merokok >100 batang selama hidupnya, (2) berhenti
mulai merokok, (3) rata-rata batang rokok sehari, (4) masih merokok sampai 1
minggu terakhir, (5) rata-rata batang rokok yang dihisap 1 minggu terakhir.
Riwayat merokok dapat diketahui melalui anamnesis.
9. Sindroma obstruksi pasca tuberkulosis adalah sindroma obstruksi saluran napas
yang terjadi pasca terapi tuberkulosis paru, yang disebabkan infeksi bakteri TB
medis pasien.
10. Stroke adalah kerusakan yang terjadi pada otak atau saraf spinal yang disebabkan
gangguan suplai darah, yang dapat berupa ruptur pembuluh darah atau oklusi
P. Cara Penelitian
Subjek penelitian adalah pasien PPOK stabil di Poli Paru RSUP Dr Sardjito
Yogyakarta. Subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dilakukan
randomisasi dengan komputer. Seluruh pasien, baik kelompok PLB ataupun kontrol
mendapatkan terapi standar PPOK sesuai dengan derajat keparahan PPOK, yaitu
dengan terapi bronkhodilator dan/atau steroid sesuai dengan penilaian klinis dan
tersebut didasarkan pada pedoman terapi menurut GOLD (2015) yang dirinci pada
tabel 3.
PLB diberikan latihan PLB sampai subyek dapat melakukan dengan benar. Subyek
dalam menjalankan PLB. Subjek yang mengundurkan diri maka dimasukkan dalam
1. Metode PLB
a. Petugas memberikan pelatihan PLB pada subyek sampai subjek dapat
Q. Kuesioner
R. Analisis Statistik
Data hasil penelitian berupa data numerik disajikan dalam angka rerata dan
klinis antara yang mendapat PLB dan kontrol. Analisis T-test tidak berpasangan
digunakan jika data terdistribusi normal. Bila data tidak terdistribusi normal
29
digunakan uji Mann Whitney U test. Uji normalitas data kontinyu menggunakan uji
Kolmogorov Smirnov. Perbedaan proporsi data kategorikal diuji dengan Pearson Chi
Square test (jika jumlah setiap sel lebih dari 5) atau Fishers Exact test (jika ada sel
yang jumlahnya 5). Nilai p<0,05 ditetapkan memiliki kemaknaan secara statistik dan
Keluaran penelitian ini adalah penurunan skor MMRC antara sebelum dan
setelah terapi. Beda rerata penurunan skor MMRC antara kelompok yang mendapat
PLB dan control diuji dengan T-test tidak berpasangan (jika data terdistribusi normal)
atau Mann Whitney U test (jika data tidak terdistribusi normal). Masing-masing
kelompok diukur skor MMRC sebelum dan setelah terapi. Beda rerata penurunan skor
MMRC antara kelompok yang mendapat pengobatan erdostein dan plasebo diuji
dengan T-test tidak berpasangan (jika data terdistribusi normal) atau Mann Whitney U
S. Kelaikan Etika
kriteria inklusi dan eksklusi yang digunakan diharapkan dapat menentukan subyek
yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian. Persetujuan dari Komite Etik dari FK
persetujuan dalam mengikuti penelitian pada penderita. Jika telah mengerti dan setuju
T. Alur Penelitian
Subjek
Konsekutif
Analisis statistik
BAB IV
A Hasil
terhadap pasien PPOK dibandingkan plasebo terhadap kualitas hidup yang diukur
dengan penurunan skor MMRC pada pasien PPOK dideskripsikan pada tabel 5.
masing kelompok.
32
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, A., Yunus, F., Wiyono, W.H., Ratnawati, A. 2008. Manfaat Rehabilitasi Paru
dalam Meningkatkan atau Mempertahankan Kapasitas Fungsional dan
Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di RSUP
Persahabatan. Jakarta: RS Persahabatan.
Alwi, I. 2009. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW,
33
Caplan, L.R. 2009. Basic Pathology, Anatomy, and Pathophysiology of Stroke, dalam
Caplans Stroke : a Clinical Approach 4th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Cummings, S.R., Strull, W., Nevitt, M.C., Hulley, S.B. 1988. Planning the
Measurement: Questionnaires. Designing Clinical Research: an
Epidemiological Approach. Baltimore: William & Wilkins.
Da Silva, J.A.P, Woolf, A.D. 2010. Rheumatology in Practice. London : Springer
Verlag.
Dahlan, M.S. 2006. Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Seri
Evidence Based Medicine. Arkans; 2: 62-63. 50
De Boer, W., Yao, H., Rahman, I. 2007. Future Therapeutic Treatment of COPD :
struggle between oxidants and cytokines. International Journal of COPD; 293:
205-228.
Depkes. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Jakarta: Departemen Kesehatan R.I.
Duerden, R.B., Johnson, M., Cole, P.J., Wilson, R. 2003. Effect of Salmeterol on
Haemophilus Influenzae Infection of Respiratory Mucosa in vitro. Eur Respir
J; 11:86-90.
Electric Medicine Compendium. 2011. Erdotin 30 mg capsule. Available from; URL:
www.medicines.org.uk/emc/medicine/19275/spc.
Enright, P.L. 2003. The Six-Minute Walk Test. Respir Care; 48(8): 783-785.
European Society of Cardiology (ESC). 2006. Guidelines on the management of
stable angina pektoris. Eur Heart J doi:10.1093/eurheartj/ehl002.
European Society of Cardiology (ESC). 2012. Guidelines for diagnosis and treatment
of acute and chronic heart failure. Eur Heart J; 29: 2388-2442.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2010. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. Available from; URL: www.ginaasthma.org.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2009. Executive and
Science Committees. 2009. Global Strategy for the Diagnosis, Management
and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease: GOLD Executive
Summary Updated 2009. Available from; URL: www.gold-copd.org.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2011. Global
Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. Available from; URL: www.gold-copd.org.
Heaney, L., Masih, I. 2012. Inflammation in COPD and New Drug Strategies.
Available from; URL: www.cdn.intechopen.com.
Hui KP, Hewitt AB. 2003. A simple pulmonary rehabilitation Program Improve Health
Outcomes and Reduce Hospital Utilization in Patients With COPD. Chest;
124:94-7.
Jones, P.W. 2001. Health Status Measurement in Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Thorax; Nov 56(11):880-887.
Jones, P.W. 2009. St Georges Respiratory Questionnaire Manual. London: University
of London.
Maltais, F., Simard, A.A., Simard, C., Jobin, J., Desgagnes, P., LeBlanc, P., Janvier, R.
1996. Oxidative Capacity and Lactic Acid Kinetics During Exercise in Normal
Subjects. Am J Respir Crit Care Med; 153: 288-293.
Man, S., Sin, D. 2005. Effects of Corticosteroid on Systemic Inflammation in Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. Proc Am Thorac Soc; 2: 78-82.
34
Marin, J.M., Cote, C.G., Diaz, O., Lisboa, C., Casanova, C., Lopez, M.V., Carrizo, S.J,
Pinto-Plata, V., Dordelly, L.J., Nekach, H., Celli, B.R. 2011. Prognostic
Assessment in COPD: Health Related Quality of Life and the BODE Index.
Respiratory Medicine; 105: 916-921.
National Institutes of Health. National Heart, Lung, and Blood Institute (NLBHI).
2009. Morbidity and Mortality: 2009 Chart Book on Cardiovascular, Lung and
Blood Diseases. Bethesda: National Heart, Lung, and Blood Institute.
Available from; URL: www.nhlbi.nih.gov.
Oga, T., Nishimura, K., Tsukino, M., Sato, S., Hajiro, T., Mishima, M. 2005. Exercise
Capacity Deterioration in Patients With COPD. Chest; 128: 62-69.
Paggiaro, P.L., Dahle, R., Bakran, I., Frith, L., Hollingworth, K., Efthimou, J. 1998.
Multicentre Randomised Placebo-Controlled Trial of Inhaled Fluticasone
Propionate in Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Lancet;
351: 773-780.
Palmer, M. 2004. Guide of Hepatitis and Liver Disease. Available from; URL:
www.liverdisease.com/liverenzymes_hepatitis.
Papaioannou, A.I., Loukides, S., Gouroulianis, K.I., Kostikas, K. 2009. Global
assessment of the COPD patient: Time to look beyond FEV1? Respiratory
Medicine; 103: 650-660.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. Diagnosis dan Penatalaksanaan
PPOK. Jakarta: PDPI.
Pradoyo, J., Felly, S., Kristanti, C.M., Soemantri, S. 2005. Transisi Epidemiologi di
Indonesia. Pertemuan Rakornas Litbangkes, Bandung.
Putra, A., Retnowulan, H., Achadiono, D.N.W. 2012. Reliability of St George
Questionnaire in Asthma Outpatient. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM.
Rennard, S.I., Serby, C.W., Ghafouri, M., Johnson, P.A., Friedman, M. 1996.
Extended Therapy with Ipratropium is Associated with Improved Lung
Function in Patients with COPD: A Retrospective Analysis of Data from Seven
Clinical Trials. Chest; 110: 62-70.
Roche, N., Marthan, R., Berger, P., Chambellan, A., Chanez, P., Aguilanio, B., Brillet,
P., Burgel, P., Chaouat, A., Devillier, P., Escamillia, R., Louis, R., Mal, H.,
Muir, J., Perez, T., Similowski, T. 2011. Beyond Corticosteroids : future
prospects in the management of inflammation in COPD. Eur Respir Rev; 20
(121): 175-182.
Spahija J, Marchie M, Grassino A. 2005. Effects of imposed pursed-lips breathing on
respiratory mechanics and dyspnea at rest and during exercise in COPD.
Chest;128(2):640-50.
Tan, W.C. 2008. COPD in Asia : Where East Meets West. Chest 2008; 133: 517-527.
Tarpy, S.P., Celli, B.R. 1995. Long-Term Oxygen Therapy. N Engl J Med; 333: 710-
714.
Weatherall, M., Marsh, S., Shirtcliffe, P., Williams, M., Travers, J., Beasley, R. 2009.
Quality of Life Measured by The St George Respiratory Questionnaire and
Spirometry. Eur Respir J; 33: 1025-1030.
Willcox, P.A., Ferguson, D.A. 1989. Chronic Obstructive Airway Disease Following
Treated Pulmonary Tuberculosis. Respiratory Medicine; 83: 195-198.
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2005). Brunner & Suddarths: Textbook of medical
surgical nursing. Philadelphia: Lippincott
35
Lampiran 1
Peneliti:
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Tujuan Penelitian:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh PLB selama 12 minggu terhadap
perbaikan derajat sesak napas dengan menilai penurunan skor MMRC pada pasien
PPOK.
Prosedur Penelitian:
1. Peserta penelitian adalah pasien PPOK stabil di Poli Paru RSUP dr Sardjito
Yogyakarta.
2. Pasien peserta penelitian akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, serta pemeriksaan catatan rekam medik oleh peneliti
untuk menetapkan bisa tidaknya memenuhi kriteria pemilihan pasien
penelitian.
3. Pasien peserta penelitian akan diacak menjadi 2 kelompok sebagai kelompok
PLB dan Kontrol.
4. PLB dilakukan selama 12 minggu.
5. Pengukuran Skor MMRC dinilai pada awal dan akhir PLB.
6. Jika pasien peserta penelitian dalam perjalanan penelitian merasa keberatan
dengan penelitian ini, sewaktu-waktu boleh mengundurkan diri atas keputusan
pribadi dan menghubungi pihak peneliti.
Kerahasiaan:
Identitas pasien peserta penelitian akan dirahasiakan oleh peneliti.
Apabila terdapat masalah atau pertanyaan terkait dengan penelitian ini, dapat
menghubungi peneliti, dr. Padmi Bektilestari, di pesawat telepon 081328028503.
Nama : ...................................................
Umur : ...................................................
Alamat : ...................................................
Wali/Saksi : ...................................................
Tanggal : ................................................... Mengetahui,
Tanda Tangan : Peneliti
Lampiran 2
39
Lampiran 3
40
Derajat Deskripsi
0 Tidak bermasalah dengan sesak, kecuali dengan latihan berat
1 Sesak napas apabila terburu-buru atau menaiki bukit yang agak
tinggi
2 Berjalan pelan atau berhenti sejenak untuk bernapas.
3 Berhenti untuk bernapas setelah berjalan selama 100 meter
4 Sesak bila meninggalkan rumah atau sesak saat berpakaian atau
melepaskan pakaian.