Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok

penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin

tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan

dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada

kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar

ruangan dan di tempat kerja (Depkes, 2008).

Saat ini PPOK merupakan penyakit noninfeksi kedua tersering di dunia yang

menyebabkan kematian 2,75 juta orang pertahun dan meningkat menjadi dua kali lipat

pada tahun 2030 (Tashkin & Cooper, 2004). Diperkirakan jumlah penderita PPOK di

Cina tahun 2006 mencapai 38,1 juta penderita, Jepang sebanyak 5 juta penderita dan

Vietnam sebesar 2 juta penderita. Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 4,8 juta

penderita PPOK.. Angka ini bisa meningkat dengan semakin banyaknya jumlah

perokok karena 90% penderita PPOK adalah perokok atau bekas perokok (Anwar et

al., 2012).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang

ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya

reversibel, progresif ,dan berhubungan dengan respons inflamasi yang abnormal

terhadap partikel dan gas berbahaya. Pada PPOK ini terjadi obstruksi dan hambatan

aliran udara kronik yang disebabkan oleh bronkitis kronik, emfisema atau keduanya

(PDPI, 2003). Pasien PPOK dengan derajat obstruksi yang berat mempunyai

kemungkinan hospitalisasi yang besar. Intervensi pada pasien PPOK yang meliputi
2

anjuran berhenti merokok, rehabilitasi paru, dan edukasi pada saat pasien mengalami

eksaserbasi akut dihubungkan dengan perbaikan kualitas hidup dan penurunan

readmisi rumah sakit (Duerden, 2003).

Rehabilitasi paru merupakan program penatalaksanaan pasien PPOK yang

terpadu terdiri dari berbagai disiplin ilmu mencakup dokter, fisioterapis, perawat

pernapasan, staf gizi, pekerja sosial dan konsultan rokok. Manfaat rehabilitasi paru

terhadap peningkatan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien PPOK sudah

terbukti (Hui & Hewitt, 2003).

Beberapa teknik latihan napas antara lain: pursed-lip breathing, pernapasan

diafragma dan posisi membungkuk. Latihan pernapasan dapat memperbaiki ventilasi

dan mensinkronkan kerja otot perut dan toraks. Purse-lip breathing mengaktifkan

otot perut selama ekspirasi, meningkatkan pertukaran gas dan saturasi oksigen di

arteri. Purse-lip breathing memperbaiki pola napas, meningkatkan volume tidal dan

mengurangi sesak napas. Pernapasan pursed-lip breathing bertujuan mengurangi

sesak, rasa cemas dan tegang karena sesak (Smeltzer & Bare, 2002).

Sesak napas merupakan masalah utama pada pasien PPOK dan menjadi alasan

untuk mencari pengobatan. Gejala sesak napas harus dievaluasi rutin pada setiap

pasien PPOK. Sesak napas dinilai dengan menghitung fungsi paru dengan spirometri,

namun untuk menilai sesak napas pada pasien PPOK dapat digunakan kuesioner

MMRC scale (Modified Medical Research Council Scale) (Mahler et al., 2009). Skala

MMRC terdiri dari 5 level tingkatan. Skala pada MMRC didasarkan pada persepsi

pasien terhadap munculnya sesak napas saat melakukan aktivitas sehari hari.

Keunggulan penggunaan skala MMRC ini adalah mudah untuk diaplikasikan pada
3

pasien PPOK dan valid untuk menilai ketidakmampuan pasien melakukan aktivitas

karena gejala sesak (Hsu et al., 2013).

B. Pertanyaan Penelitian

Apakah rehabilitasi pulmoner (Purse-lip breathing) dapat menurunkan derajat

sesak napas pada penderita PPOK stabil?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pangaruh rehabilitasi pulmoner

dengan teknik Purse-lip breathing terhadap penurunan derajat sesak napas pasien

PPOK stabil.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, dapat mengetahui pengaruh rehabilitasi dengan teknik Purse-lip

breathing pada PPOK terhadap penurunan gejala sesak napas pasien.


2. Bagi pasien dengan PPOK, dapat melakukan rehabilitasi dengan teknik Purse-lip

breathing untuk menurunkan gejala sesak napas dengan mengevaluasi penurunan

skala MMRC.
3. Bagi ilmu pengetahuan, dapat menambah bukti manfaat rehabilitasi dengan teknik

Purse-lip breathing selama 12 minggu dapat menurunkan gejala sesak napas

dengan mengevaluasi penurunan skala MMRC.

E. Keaslian Penelitian

Nama Tujun dan Variabel bebas Variabel Hasil


4

Peneliti Desain tergantung


Penelitian
Ramos, et Menilai efek PLB Denyut Hasil 16 subjek
al. (2007). PLB saat jantung dan (7 GOLD tahap I,
istirahat pada variabilitas, 3 GOLD II dan 6
denyut jantung tekanan GOLD tahap III;
dan darah (TD), usia rata-rata 64
variabilitas, frekuensi 11 tahun; hasil
tekanan darah pernapasan FEV1 60 25%
(TD), frekuensi dan saturasi dari nilai prediksi
pernapasan dan oksigen dinilai pada
saturasi (SpO2) istirahat, dalam
oksigen posisi duduk. Ada
(SpO2) pada peningkatan
subyek PPOK. signifikan. Indeks
RMSSD selama
R2, dibandingkan
R1. Variasi HR
antara inspirasi
dan ekspirasi
adalah 8,98 bpm,
dan variasi antara
HR saat istirahat
dan HR dengan
PLB 8,25 bpm.
Selama R2, RR
menurun dan
SpO2 meningkat
secara signifikan
dibandingkan
dengan R1 dan
R3. Nilai-nilai BP
tidak
menunjukkan
perubahan yang
signifikan.
Hasil penelitian
menunjukkan
bahwa PLB
menghasilkan
perubahan
signifikan dalam
HR, RR dan
SpO2, dan tidak
mengubah BP
Indeks RMSSD
menunjukkan
bahwa PLB
5

memicu
peningkatan
aktivitas
parasimpatis dan
berpengaruh
terhadap
modulasi jantung
otonom.
Jadranka S, Menilai Subyek Hasil 8 pasien
et al. (2005) pengaruh PLB memakai PPOK (6 laki-laki
terhadap pola masker dan 2 perempuan)
pernapasan, transparan dengan rerata
mekanik ketat, setiap usia 58 11 tahun
pernapasan, pasien dan rerata FEV1
volume paru- bernapas dari 1,34 0,44 L
paru selama 8 (50 21%
operasional, menit, diprediksi). Hasil
dan dispnea dengan dan PLB
pada pasien tanpa PLB memperbaiki pola
PPOK. saat istirahat pernapasan, lebih
dan selama baik saat istirahat
kerja, dan selama
olahraga latihan.
sepeda (60% Sedangkan pasien
dari yang tidak
maksimum). memiliki dispnea
dengan atau tanpa
PLB saat
istirahat, selama
latihan dispnea
adalah variabel
dipengaruhi oleh
PLB di pasien.
Perubahan skor
dispnea individu
dengan PLB
selama latihan
secara signifikan
berkorelasi
dengan
perubahan
volume paru
ekspirasi akhir
(End Eexpiratory
Lung
Volume/EELV)
nilai-nilai
diperkirakan dari
6

manuver
kapasitas
inspirasi (sebagai
persentase dari
total paru-paru
kapasitas; r2
=0,82, p = 0,002)
dan dengan
perubahan rasio
inspirasi berarti
tekanan pleura
dengan maksimal
inspirasi statis
tekanan yang
menghasilkan
kapasitas (PcapI)
[r2= 0,84; p =
0,001], diukur
menggunakan
balon esofagus, di
mana PcapI
ditentukan selama
rentang volume
paru inspirasi dan
disesuaikan
dengan aliran.
PLB memiliki
efek dispnea bila
dilakukan selama
latihan. Pengaruh
PLB pada
dispnea adalah
terkait dengan
perubahan
gabungan yang
meningkatkan
volume tidal dan
EELV dan
dampaknya
terhadap
kapasitas yang
tersedia dari otot
pernapasan untuk
memenuhi
kebutuhan.
Natalia Penelitian ini APE merupakan Responden Dengan hasil
(2007), meneliti nilai kekuatan diberi sesudah
efektivitas aliran udara perlakuan perlakuan PLB
7

latihan PLB maksimal paru untuk dapat


dan tiup balon untuk menilai melakukan meningkatkan
terhadap ada dan berat PLB dan tiup APE rata-rata
peningkatan obstruksi pada balon 4 kali sebesar 26,20
Arus Puncak pasien asma. sehari l/min serta
Ekspirasi masing- mengubah
(APE). Metode masing 10 tingkatan asma 6
penelitian menit selama dari 19 pasien
quasi 4 hari. yang menderita
eksperimen, asma berat
desain two menjadi asma
group pre post sedang. Hal
test design. tersebut
menunjukkan
bahwa PLB
efektif untuk
memperbaiki
tingkat obstruksi
pernapasan pada
pasien asma dan
dapat mengurangi
gejala pada
pasien asma.

BAB II
8

TINJAUAN PUSTAKA

A Penyakit Paru Obstruksi Kronik

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah

dan diob ati, dengan ciri adanya hambatan aliran udara yang menetap (persisten) yang

biasanya progresif dan dihubungkan dengan peningkatan respon inflamasi yang

kronik pada paru dan saluran pernapasan terhadap gas atau partikel yang berbahaya

(noxious). Eksaserbasi dan komorbiditas penyakit mengakibatkan beban keparahan

pada pasien PPOK (GOLD, 2015).


ATS / ERS (American Thoracic Society/ European Respiratry Society)

mendefinisikan PPOK sebagai penyakit dengan hambatan aliran udara saluran

pernapasan yang tidak sepenuhnya reversibel. PPOK terutama disebabkan oleh

respon inflamasi kronik agen noxious dari asap rokok. Meskipun PPOK berefek di

paru, tetapi penyakit ini menyebabkan konsekuensi sistemik yang signifikan (Celli et

al., 2004).
Sesak napas disertai batuk kronik dengan sputum produktif merupakan gejala

yang utama dijumpai pada penderita PPOK (JRS, 2004). Pasien dengan gejala sesak

napas yang berat akan menyebabkan imobilisasi, kualitas hidup yang terganggu

karena isolasi dan depresi, serta menimbulkan beban biaya kesehatan yang tinggi.

Terapi farmakologi dan nonfarmakologi seperti latihan pernapasan telah menunjukkan

hasil untuk mengurangi gejala sesak napas dengan meningkatkan pertukaran gas,

proses ventilasi yang efektif, serta kebugaran pasien untuk melakukan aktivitas fisik

(Kant, 2005).
9

A. 1. Patofisiologi PPOK

Perubahan-perubahan patologik yang khas untuk PPOK dijumpai disaluran

napas proksimal, saluran napas perifer, parenkim, dan vaskular paru. Perubahan

tersebut tersebut berupa inflamasi kronik dengan peningkatan jumlah sel-sel inflamasi

di berbagai bagian paru yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural

akibat cedera dan perbaikan jejas inflamasi berulang. Diberbagai bagian paru dijumpai

peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8+), dan neutrofil. Sel-sel radang yang

teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator yang mampu merusak struktur paru

dan atau mempertahankan inflamasi. Disamping proses inflamasi ada dua proses lain

yang juga penting yaitu ketidakseimbangan proteinase dan anti proteinase di paru dan

stres oksidatif (GOLD, 2015).

Patogenesis PPOK berhubungan dengan inflamasi saluran napas baik

proksimal dan perifer serta jaringan paru. Inhalasi partikel dan gas beracun

mengaktivasi epitel bronkus dan alveoli dan menginduksi rekruitmen sel inflamasi dan

sel imun mukosa bronkial dan parenkim paru. Inflamasi saluran napas merubah

fungsi dan struktur bronkus melalui 4 mekanisme, yaitu a) ketebalan dinding bronkus

meningkat, b) tonus otot halus bronkus meningkat, c) hipersekresi mukus, dan d)

struktur elastis menurun. Proses inflamasi juga menyebabkan kerusakan parenkim

paru dan memicu emfisema (Roche et al., 2011).


10

Gambar 1. Patofisiologi Perubahan Struktur Saluran Napas pada PPOK (Roche et al.,
2011)

Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis yang

mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang khas. Misalnya penurunan VEP1

(Volume Ekspirasi Paksa 1 Detik) yang disebabkan peradangan dan penyempitan dan

pada saluran napas besar, dan saluran napas perifer, sementara transfer gas menurun

terjadi akibat kerusakan parenkim paru pada emfisema (GOLD, 2015).

Tingkat peradangan, fibrosis, dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil

berkorelasi dengan penurunan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa 1 Detik) dan rasio

VEP1/KVP (Kapasitas Vital Paksa). Penurunan VEP1 merupakan gejala yang khas

pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan

mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inpirasi seperti

peningkatan kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan, yang terlihat

sebagai sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang
11

pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya sesak napas pada

aktivitas (GOLD, 2015).

Pada PPOK yang lanjut kombinasi dari obstruksi saluran napas perifer,

destruksi parenkim dan kelainan pembuluh darah pulmonal mengurangi kapasitas paru

untuk pertukaran gas, menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia pada tahap lanjut

penyakit. Kelainan rasio ventilasi/perfusi merupakan mekanisme utama yang

menyebabkan hipoksemia pada PPOK, dengan tanpa melihat tingkatan penyakit.

Hiperkapnia kronik biasanya menunjukkan disfungsi otot inspirasi dan hipoventilasi

alveolar (GOLD, 2015).

Hipertensi pulmonal ringan sampai menengah dapat terjadi pada PPOK karena

vasokrintiksi yang diakibatkan hipoksia dari arteri pulmonal yang kecil, yang

mengakibatkan perubahan struktural termasuk hiperplasia intima dan selanjutnya

hipertropi otot polos dan hiperplasia. Adanya respon inflamasi dalam pembuluh darah

sering terlihat di saluran napas dan merupakan bukti dari disfungsi sel endotel.

Hilangnya kapiler pulmonal pada emfisema dapat menyebabkan peningkatan tekanan

sirkulasi pulmonal. Progresivitas hipertensi pulmonal dapat menyebabkan hipertrofi

ventrikel kanan dan biasanya menjadi gagal jantung kanan (GOLD, 2015).

A. 2. Diagnosis PPOK

Penderita dengan keluhan sesak napas, batuk kronis atau berdahak serta

riwayat paparan faktor risiko seperti riwayat merokok jangka lama pada usia

pertengahan atau tua perlu dicurigai menderita PPOK. Pemeriksaan fisik pada pasien

PPOK yang khas umumnya tidak dijumpai kelainan sampai terjadi progesi penyakit

yang sudah berat berupa: (1). Pursed-lips breathing (mulut setengah

terkatup/mencucut), (2). Barrel chest (diameter anteroposterior dan transversal


12

sebanding), (3). Penggunaan otot bantu napas, (4). Hipertrofi otot bantu napas, (5).

Pelebaran sela iga, dan (6). Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat peningkatan

tekanan vena jugularis di leher dan edema tungkai (JRS, 2004).

Diagnosis PPOK harus dikonfirmasi dengan spirometri. Spiromertri

merupakan standar uji faal paru untuk menilai keterbatasan aliran udara pada saluran

napas (Bianchi, 2004). Nilai VEP1/KVP setelah pemberian bronkodilator 0.70

mengkonfirmasikan adanya keterbatasan aliran udara persisten (Celli et al., 2004).

Tabel 1. Klasifikasi derajat keparahan hambatan aliran udara pada PPOK (berdasarkan
FEV1 paska pemberian bronkodilator)
Kategori GOLD Pada pasien dengan FEV1/FVC < 0,70
Tingkat Keparahan Pengukuran FEV1
GOLD 1 Ringan FEV1 80% prediksi
GOLD 2 Sedang 50% FEV1 < 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% FEV1 < 50% prediksi
GOLD 4 Sangat berat FEV1 < 30% prediksi
Sumber: GOLD, 2015

Menurut GOLD 2014 penilaian didasarkan derajat keluhan, derajat abnormal

spirometri, risiko eksaserbasi, dan identifikasi komorbid. Penilaian PPOK berdasarkan GOLD

2014 seperti terlihat pada gambar 2 di bawah ini.


13

Gambar 2. Hubungan antara penilaian gejala, klasifikasi spirometri


dan risiko eksaserbasi.

Dampak PPOK pada pasien secara individu diperoleh dengan menggabungkan

penilaian gejala, klasifikasi spirometri dan risiko eksaserbasi. Pertama tentukan skor

gejala dengan MMRC atau CAT, apabila masuk kotak kiri berarti gejala sedikit,

apabila masuk kotak kanan berarti gejala banyak. Kemudian tentukan skor risiko

eksaserbasi, apabila masuk kotak bawah berarti risiko rendah, kotak atas berarti risiko

tinggi (GOLD, 2015).

Tabel 2 . Penilaian kombinasi PPOK


Kategori Karakteristik Klasifikasi Eksaserbasi MMRC CAT
Pasien Spirometri per tahun

A Risiko GOLD 1-2 1 0-1 <10


rendah,
gejala sedikit
B Risiko rendah, GOLD 1-2 1 2 10
gejala banyak

C Risiko tinggi, gejala GOLD 3-4 2 0-1 < 10


sedikit

D Risiko tinggi, gejala GOLD 3-4 2 2 10


banyak
14

A. 3. 1. Kriteria PPOK Stabil

Kriteria PPOK stabil adalah : (1). Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada

gagal napas kronik, (2). Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil

analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg , (3). Dahak

jernih tidak berwarna, (4). Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat

PPOK (hasil spirometri), dan (5). Penggunaan bronkodilator sesuai rencana

pengobatan serta tidak ada penggunaan bronkodilator tambah (PDPI, 2003).

A. 3. 2. Penatalaksanaan PPOK

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : (1). Edukasi, (2). Obat

obatan, (3). Terapi oksigen, (4). Ventilasi mekanik, (5). Nutrisi, dan (6).

Rehabilitasi. Penantalaksanaan medis maupun keperawatan pada pasien PPOK

bertujuan untuk mengurangi gejala sesak napas, mencegah eksaserbasi berulang,

memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru dan meningkatkan kualitas hidup

mereka (PDPI, 2003).

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK

stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah

penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan

keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berhenti

merokok dapat memperlambat progresivitas dari PPOK (PDPI, 2003).

Obat obatan bronkodilator merupakan terapi utama pada PPOK untuk

memperbaiki gejala klinis dengan menurunkan hiperinflasi dan sesak napas.

Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator

dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit (PDPI, 2003).


15

Tabel 3. Tatalaksana farmakologis pasien PPOK


Grup Pasien Pilihan I Pilihan II Pilihan Alternatif
A SABA prn LABA Teofilin
atau atau
SAMA prn LAMA
atau
SABA + SAMA
B LABA LAMA + LABA SABA
atau dan atau
LAMA SAMA

Teofilin
C ICS + LABA LAMA + LABA
atau atau SABA
LAMA LAMA + PDE-4 inhibitor dan/atau
atau SAMA
LABA + PDE-4 inhibitor
Teofilin
D ICS + LABA Karbosistein
dan atau ICS + LABA + LAMA
LAMA atau SABA dan atau
ICS + LABA + PDE-4 SAMA
inhibitor
atau Teofilin
LAMA + LABA
atau
LAMA + PDE-4 inhibitor
(Sumber: GOLD, 2015)
ICS, inhaled corticosteroid; LABA, long-acting 2-adrenergic agonist; LAMA, long-acting
muscarinic antagonist; PDE-4, phosphodiesterase-4; prn, jika perlu; SABA, short-acting 2-
juhadrenergic agonist; SAMA, short-acting muscarinic antagonist

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan

kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat

penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di

otot maupun organ - organ lainnya. Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada

eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau

pada pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik (PDPI, 2003).

Terapi nutrisi dibutuhkan untuk mengatasi malnutrisi yang sering terjadi pada

PPOK. Malnutrisi terjadi kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat

kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
16

menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah

mortalitas PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan

perubahan analisis gas darah. Program rehabilitasi paru bertujuan untuk meningkatkan

toleransi latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK (PDPI, 2003).

F. Purse-lip breathing

Rehabilitasi paru pada penderita PPOK merupakan pengobatan standard yang

bertujuan untuk mengontrol, mengurangi gejala, dan meningkatkan kapasitas

fungsional secara optimal sehingga pasien dapat hidup mandiri dan berguna bagi

masyarakat. Untuk memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan

thoraks dapat dilakukan tehnik latihan pernapasan yang meliputi latihan pernafasan

diafragma dan pursed lips breathing (PLB). PLB adalah teknik latihan pernapasan

dimana udara ekspirasi sengaja dihambat melalui bentuk bibir yang menyempit yang

menyebabkan kontraksi otot abdomen dan diafragma . Kontraksi diafragma yang baik

akan meningkatkan volume tidal paru (Spahija et al., 2005).

Pursed-lip breathing menimbulkan obstruksi terhadap aliran udara ekshalasi

dan meningkatkan tahanan udara, menurunkan gradien tekanan transmural, dan

mempertahankan kepatenan jalan napas yang kolaps selama ekshalasi. Proses ini

membantu menurunkan pengeluaran udara yang terjebak sehingga dapat mengontrol

ekspirasi dan memfasilitasi pengosongan alveoli secara maksimal (Dechman &

Wilson, 2004). PLB akan mengurangi udara ruang rugi yang terjebak dijalan napas,

serta meningkatan pengeluaran CO2 dan menurunkan kadar CO2 dalam darah arteri

serta dapat meningkatkan O2, sehingga akan terjadi perbaikan homeostasis yaitu
17

kadar CO2 dalam darah arteri normal dan pH darah juga akan menjadi normal

(Muttaqin, 2013).

Pernapasan pursed lip breathing dilakukan dengan cara penderita duduk dan

bernapas dengan cara menghembuskan melalui mulut yang hampir tertutup (seperti

bersiul) selama 4-6 detik. Cara itu diharapkan dapat menimbulkan tekanan saat

ekspirasi sehingga aliran udara melambat dan meningkatkan tekanan dalam rongga

perut yang diteruskan sampai bronkioli sehingga kolaps saluran napas saat ekspirasi

dapat dicegah. (Smeltzer, S. C., & bare, B. G. 2002). Tahap mengerutkan bibir ini

dapat memperpanjang ekshalasi, hal ini akan mengurangi udara ruang rugi yang

terjebak dijalan napas, serta meningkatan pengeluaran CO2, menurunkan kadar CO2

dalam darah arteri serta dapat meningkatkan O2, sehingga akan terjadi perbaikan

homeostasis yaitu kadar CO2 dalam darah arteri normal dan pH darah juga akan

menjadi normal (Muttaqin, 2013).

Langkah-langkah atau cara melakukan pursed lips breathing ini adalah dengan

cara menghirup napas melalui hidung sambil menghitung sampai 3 seperti saat

menghirup wangi bunga mawar. Hembuskan dengan lambat sampai hitungan 7 dan

rata melalui bibir yang dirapatkan sambil mengencangkan otot-otot abdomen

(merapatkan bibir meningkatkan tekanan intratrakea dengan menghembuskan melalui

mulut, sertamemberikan tahanan lebih sedikit pada udara yang dihembuskan). PLB

dengan poisi sambil duduk dikursi dilakukan dengan melipat tangan diatas abdomen,

hirup napas melalui hidung sambil menghitung hingga 3, membungkuk ke depan dan

hembuskan dengan lambat melalui bibir yang dirapatkan sambil menghitung hingga 7

(Smeltzer & Bare, 2013).


18

Penelitian oleh Nield, A Margaret, et al (2007) menunjukkan hasil bahwa

kelompok yang diberikan latihan dengan pursed-lips breathing lebih menampakan

hasil yang baik dibandingkan dengan kelompok intervensi yang diberikan latihan

dengan expiratory muscle training dan juga kelompok control pada pasien dengan

dispnea.

Penelitian oleh Natalia, Dewi, et al (2007) menunjukkan perbandingan yang

signifikan antara pasien yang diberikan latihan pursed lips breathing dengan pasien

yang diberikan terapi tiup balon terhadap puncak arus ekspirasi yang menunjukkan

fungsi paru pada pasien dengan asma bronkhial. Penelitian ini dilakukan selama empat

hari dengan hasil peningkatan rata-rata pursed lips breathing 26,20 1/menit dan

dengan intervensi tiup balon peningkatan sebesar 13,148 1/menit. Ini menunjukkan

bahwa pursed lips breathing lebih efektif dalam meningkatkan arus puncak ekspirasi.

Latihan pernapasan PLB dapat melambatkan pernapasan, meningkatkan

transportasi oksigen, juga memperpanjang ekshalasi untuk menurunkan tingkat

karbondioksida dalam darah, hal ini baik untuk memperbaiki keadaan pola

pernapasan tidak efektif pada pasien dengan emfisema. Latihan pernapasan dengan

pursed lips breathing tidak hanya membantu memperbaiki keadaan sesak napas,

namun juga dapat membantu seseorang meningkatkan arus puncak ekspirasi,

mengurangi frekuensi serangan PPOK, menurunkan tingkat nyeri, menurunkan

tekanan darah dan juga memberikan perasaan yang lebih nyaman dan tenang serta

dapat memperlambat pola pernapasan saat melakukan latihan. (Somantri, 2009).


19

G. Modified Medical Research Council (MMRC)

Sesak napas adalah gejala utama yang dikeluhkan oleh pasien PPOK yang

menyebabkan disabilitas dan kecemasan terhadap penyakitnya (GOLD, 2015).

Deskripsi pasien untuk menjelaskan sesak napas yang terkait karena penyakit

kardiopulmoner dapat beragam. Sesak napas dapat disebut sebagai sensasi dada yang

terikat, tarikan napas yang sulit dan berat, pernapasan yang tidak lega, napas yang

pendek dan cepat, serta pernapasan yang terengah engah (Crisafulli & Clini, 2010).

Perjalanan penyakit PPOK yang menyebabkan penyempitan dan terjebaknya udara

pada saluran napas akan mengakibatkan keluhan sesak napas yang semakin meningkat

(GOLD, 2015).

Saat ini terdapat banyak skala untuk mengklasifikasikan sesak napas seperti

skala sesak napas. Skala yang paling sering digunakan saat ini adalah MMRC atau ,

Transient Dyspneu Index / Baseline Dyspneu Index yang didapatkan langsung dari

wawancara dengan pasien. Skala sesak napas yang diperoleh sebagai respon terhadap

stimulus aktivitas fisik tertentu yang sering digunakan adalah skala VAS dan BORG

(Leidy et al; 2013).

Perubahan satu skor skala MMRC memberikan nilai yang bermakna untuk

pasien PPOK. Penurunan satu skala MMRC ditandai dengan perbaikan gejala sesak

napas pasien PPOK secara bermakna ( minimally clinically important difference,

MCID) . Spesifitas skala MMRC mempunyai keterbatasan dalam mendeteksi

perubahan fungsi paru yang sedang akibat keterbatasan jumlah level derajat keparahan

sesak napas dalam skala MMRC (Crisafulli & Clini, 2010).

Skala MMRC digunakan untuk menilai gejala PPOK berdasarkan rekomendasi

GOLD. Penilaian gejala ini bermanfaat untuk membedakan keparahan kelompok


20

pasien PPOK dengan gejala ringan atau gejala berat berdasarkan klasifikasi GOLD.

Nilai skala MMRC 0 1 diklasifikasikan sebagai kelas GOLD yang memiliki gejala

PPOK ringan sedangkan skala MMRC 2 dimasukkan klasifikasi pasien PPOK

dengan gejala berat (Vestbo et al; 2013).

Tabel 4. Skala Modified Medical Research Council


Derajat Deskripsi
0 Tidak bermasalah dengan sesak, kecuali dengan latihan berat
1 Sesak napas apabila terburu-buru atau menaiki bukit yang agak

tinggi
2 Berjalan pelan atau berhenti sejenak untuk bernapas.
3 Berhenti untuk bernapas setelah berjalan selama 100 meter
4 Sesak bila meninggalkan rumah atau sesak saat berpakaian atau

melepaskan pakaian.
21

H. Kerangka Teori

Asap rokok dan polutan

Makrofag alveolar dan


saluran nafas

Faktor Faktor
amplifikasi inang
Mediator pro-inflamasi

Aktivasi sel inflamasi


Inflamasi sistemik
di paru

Inflamasi paru
CRP
IL-6
IL-8
Kerusakan parenkim TNF-
paru dan penyempitan
saluran nafas
Manifestasi ekstraparu

PPOK Stres oksidatif


Hipoksia
kronis

Disfungsi dan atrofi


Dispnea otot skeletal

Penurunan
Penurunan kapasitas aktivitas
kualitas hidup fisik

Purse-lip breathing Penurunan sesak


12 Minggu napas
Keterangan
: hubungan kausatif
: hubungan penghambatan

Gambar 4. Kerangka teori


22

I. Kerangka Konsep Penelitian

Pasien PPOK

Terapi standar

Purse-lip Kontrol
breathing

Derajat Sesak Napas Derajat Sesak Napas


Skor MMRC Skor MMRC

Analisis

Gambar 5. Kerangka konsep penelitian


23

J. Hipotesis

1. PLB selama 12 minggu dapat menurunkan derajat sesak napas pasien PPOK yang

dilihat berdasarkan penurunan skor MMRC dibandingkan subjek PPOK sebagai

kontrol.
24

BAB III

METODE PENELITIAN

A Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah Pretest Post-test Control Group Design yang

membandingkan pengaruh PLB selama 12 minggu terhadap kontrol dalam penurunan

skor MMRC pasien PPOK.

K. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Poli Paru RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan

Januari sampai Juli 2016. Subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi diambil secara

konsekutif sebagai PLB atau kontrol.

L. Populasi Penelitian

Populasi target penelitian ini adalah pasien PPOK. Populasi terjangkau

penelitian adalah pasien PPOK di Poli Paru RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Sampel

penelitian adalah pasien PPOK di Poli Paru RSUP Dr Sardjito yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif yaitu yang

memenuhi syarat dipergunakan sebagai subjek penelitian sampai jumlah sampel yang

diperlukan terpenuhi.

Kriteria inklusi adalah pasien PPOK stabil dengan derajat GOLD 2 atau 3;

bersedia mengikuti penelitian; dan mengisi informed consent. Kriteria eksklusi yaitu

pasien PPOK yang mengalami gangguan hati; ginjal; efusi pleura; gagal jantung

kongestif; sindroma obstruksi pasca tuberkulosis; keganasan paru; asma bronkial;

angina pektoris CCS III dan IV; angina pektoris unstable atau infark miokard dalam

satu bulan terakhir; stroke dengan sekuele; artritis dalam kondisi akut; cedera sendi

panggul, genu, dan ankle.

M. Besar Sampel
25

Perhitungan besar sampel minimal untuk penelitian analitik numerik

berpasangan yang menganalisis beda rerata pada uji klinis menurut Dahlan (2006)

adalah sebagai berikut:

2 {(Z+Z)S}2

N1 = N2 = -----------------

(X1-X2)2

N1 = N2 = besar sampel minimal pada masing-masing kelompok, ditetapkan

kesalahan tipe I atau = 5%, hipotesis satu arah, maka Z = 1,64, ditetapkan power

80% sehingga kesalahan tipe II atau = 20%, maka Z = 0,842,

S = simpangan baku

X1-X2 = selisih rerata peningkatan variabel antara sebelum dan setelah terapi minimal

yang dianggap bermakna antara kelompok PLB dibandingkan kontrol. Jumlah sampel

20 kelompok PBL dan 20 kontrol.

N. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas pemberian PLB pada PPOK.


2. Variabel kualitas dan skor MMRC.

O. Definisi Operasional

1. Penderita PPOK ditegakkan berdasarkan kriteria klinis pemeriksaan fisik dan

radiologis ditemukan emfisema dan volume paru membesar dengan adanya iga

mendatar, sela iga melebar, diafragma rendah dan datar, meningkatnya ruang udara

retrosternal, gambaran vaskuler paru berkurang, dengan hasil spirometri paska

bronkodilator menunjukkan rasio FEV1/FVC < 0,70 (PDPI, 2003; GOLD, 2015).

Populasi target adalah semua pasien PPOK.


2. Skala MMRC digunakan untuk menilai gejala sesak napas pasien PPOK

berdasarkan rekomendasi GOLD. Penilaian gejala ini bermanfaat untuk


26

membedakan keparahan kelompok pasien PPOK dengan gejala ringan atau gejala

berat berdasarkan klasifikasi GOLD. Nilai skala MMRC 0 1 diklasifikasikan

sebagai kelas GOLD yang memiliki gejala PPOK ringan sedangkan skala MMRC

2 dimasukkan klasifikasi pasien PPOK dengan gejala berat (Vestbo et al; 2013).
3. Gagal jantung kongestif merupakan sindrom klinik karena kelainan struktural

dan fungsional jantung dengan gejala khas berupa sesak napas pada saat

aktivitas atau istirahat, mudah lelah dan retensi cairan berupa kongesti pulmonal

dan bengkak tungkai bawah (ESC, 2012).


4. Angina pektoris merupakan sindrom klinik dengan karakteristik rasa tidak nyaman

di rahang, dada, lengan, bahu, dan punggung yang terjadi pda saat aktivitas atau

stres emosional. Gejala akan membaik dengan istirahat atau pemberian

nitrogliserin (ESC, 2006).


5. Asma adalah gangguan inflamasi kronis saluran napas karena hiperresponsivitas

jalan napas sehingga terjadi obstruksi jalan napas yang ditandai episode mengi,

batuk, sesak napas yang berulang. Asma dapat dibedakan dengan PPOK dengan

reversibilitas FEV1 sebesar 12% pada spirometri atau 200 ml paska pemberian

bronkodilator (GINA, 2010).


6. Infark miokard merupakan infark miokard akut yang terjadi dalam satu bulan

terakhir. Infark miokard akut ditegakkan jika didapatkan 2 dari 3 kriteria

berikut : 1) nyeri dada yang khas; 2) gambaran EKG elevasi segmen ST 2 mm

pada 2 lead prekordial yang berdekatan atau 1 mm pada 2 lead ekstremitas,

atau depresi segmen ST 1 mm pada 2 lead yang berdekatan; 3) peningkatan

enzim jantung (Alwi, 2009).


7. Pasien PPOK dengan efusi pleura bila didapatkan tanda-tanda cairan di cavum

pleura baik dari pemeriksaan fisik maupun radiologis.


8. Riwayat merokok terdiri dari (Cummings, et al., 1988):
a. Bukan perokok, yaitu: (1) tidak merokok, (2) merokok <100 batang selama

hidupnya, (3) di rumah atau ruang tempat bekerja tidak ada perokok.
27

b. Bekas perokok yaitu: (1) merokok >100 batang selama hidupnya, (2) berhenti

merokok >1 tahun.


c. Perokok pasif yaitu: (1) tidak merokok, (2) merokok <100 batang selama

hidupnya, (3) di rumah atau ruang tempat bekerja ada perokok.


d. Perokok aktif, yaitu: (1) merokok >100 batang selama hidupnya, (2) umur

mulai merokok, (3) rata-rata batang rokok sehari, (4) masih merokok sampai 1

minggu terakhir, (5) rata-rata batang rokok yang dihisap 1 minggu terakhir.
Riwayat merokok dapat diketahui melalui anamnesis.
9. Sindroma obstruksi pasca tuberkulosis adalah sindroma obstruksi saluran napas

yang terjadi pasca terapi tuberkulosis paru, yang disebabkan infeksi bakteri TB

submukosa, inflamasi, lesi bronkiektasis, dan obstruksi bronkus (Willcox &

Ferguson, 1989). Riwayat pengobatan TB diketahui melalui anamnesis dan rekam

medis pasien.
10. Stroke adalah kerusakan yang terjadi pada otak atau saraf spinal yang disebabkan

gangguan suplai darah, yang dapat berupa ruptur pembuluh darah atau oklusi

arteri, beserta sekuelenya (Caplan, 2009). Riwayat stroke diketahui berdasarkan

anamnesis dan rekam medis pasien.


11. Terapi standar untuk PPOK stabil di RSUP Dr. Sardjito yaitu bronkodilator

dan/atau steroid sesuai derajat keparahan PPOK.

P. Cara Penelitian

Subjek penelitian adalah pasien PPOK stabil di Poli Paru RSUP Dr Sardjito

Yogyakarta. Subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dilakukan

randomisasi dengan komputer. Seluruh pasien, baik kelompok PLB ataupun kontrol

mendapatkan terapi standar PPOK sesuai dengan derajat keparahan PPOK, yaitu

dengan terapi bronkhodilator dan/atau steroid sesuai dengan penilaian klinis dan

pemeriksaan penunjang. Bronkhodilator yang digunakan dapat berupa inhaled LABA

(long-acting 2-adrenergic agonist), inhaled LAMA (long-acting muscarinic


28

antagonist), inhaled SABA (short-acting 2-adrenergic agonist), inhaled SAMA

(short-acting muscarinic antagonist), dan teofilin oral. Kortikosteroid yang digunakan

adalah inhaled corticosteroid. Pemakaian tunggal atau kombinasi dari obat-obat

tersebut didasarkan pada pedoman terapi menurut GOLD (2015) yang dirinci pada

tabel 3.

Peneliti menentukan kelompok yang mendapat PLB dan kontrol. Kelompok

PLB diberikan latihan PLB sampai subyek dapat melakukan dengan benar. Subyek

diwajibkan melakukan PLB selama 12 minggu. Peneliti memantau kepatuhan subyek

dalam menjalankan PLB. Subjek yang mengundurkan diri maka dimasukkan dalam

kategori drop out.

1. Metode PLB
a. Petugas memberikan pelatihan PLB pada subyek sampai subjek dapat

melakuan PLB secara benar.


b. Petugas memonitor teknik PLB pada subyek selama 12 minggu.
2. Metode pengisian kuesioner MMRC

Q. Kuesioner

Kuesioner yang digunakan adalah Modified Medical Research Council


(MMRC) yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Subjek diberikan penjelasan
mengenai cara pengisian. Subjek mengisi sendiri kuesioner secara mandiri, dengan
didampingi petugas. Subjek diperbolehkan bertanya apabila ada yang tidak
dimengerti. Pada subjek yang tidak dapat mengisi kuesioner sendiri, kuesioner
dibacakan dan diisikan oleh petugas.

R. Analisis Statistik

Data hasil penelitian berupa data numerik disajikan dalam angka rerata dan

simpang baku. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan komputer. Analisis

dengan uji T tidak berpasangan digunakan untuk menilai perbedaan karakteristik

klinis antara yang mendapat PLB dan kontrol. Analisis T-test tidak berpasangan

digunakan jika data terdistribusi normal. Bila data tidak terdistribusi normal
29

digunakan uji Mann Whitney U test. Uji normalitas data kontinyu menggunakan uji

Kolmogorov Smirnov. Perbedaan proporsi data kategorikal diuji dengan Pearson Chi

Square test (jika jumlah setiap sel lebih dari 5) atau Fishers Exact test (jika ada sel

yang jumlahnya 5). Nilai p<0,05 ditetapkan memiliki kemaknaan secara statistik dan

dihitung interval kepercayaan 95%.

Keluaran penelitian ini adalah penurunan skor MMRC antara sebelum dan

setelah terapi. Beda rerata penurunan skor MMRC antara kelompok yang mendapat

PLB dan control diuji dengan T-test tidak berpasangan (jika data terdistribusi normal)

atau Mann Whitney U test (jika data tidak terdistribusi normal). Masing-masing

kelompok diukur skor MMRC sebelum dan setelah terapi. Beda rerata penurunan skor

MMRC antara kelompok yang mendapat pengobatan erdostein dan plasebo diuji

dengan T-test tidak berpasangan (jika data terdistribusi normal) atau Mann Whitney U

test (jika data tidak terdistribusi normal).

S. Kelaikan Etika

Penelitian ini merupakan penelitian dengan perlakuan PLB sehingga dengan

kriteria inklusi dan eksklusi yang digunakan diharapkan dapat menentukan subyek

yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian. Persetujuan dari Komite Etik dari FK

UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta diperlukan berkaitan dengan penelitian ini.

Informed consent diperlukan untuk memberi informasi dan meminta

persetujuan dalam mengikuti penelitian pada penderita. Jika telah mengerti dan setuju

mengikuti penelitian, pasien atau keluarga/walinya menandatangani informed consent.


30

T. Alur Penelitian

Pasien PPOK di Poli Paru


RSUP Dr. Sardjito dilakukan spirometri

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Subjek

Pengukuran kualitas hidup dengan penilaian skor MMRC baseline

Konsekutif

Terapi standar dengan PLB Terapi standar


12 minggu

Pengukuran skor MMRC

Skor MMRC menurun Skor MMRC tidak menurun

Analisis statistik

Gambar 6. Alur penelitian


31

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A Hasil

Karakteristik dasar subjek penelitian pengaruh PLB selama 12 minggu

terhadap pasien PPOK dibandingkan plasebo terhadap kualitas hidup yang diukur

dengan penurunan skor MMRC pada pasien PPOK dideskripsikan pada tabel 5.

Tabel 5. Dummy table karakteristik dasar subjek penelitian


Variabel Kelompok Kelompok Nilai p
PLB Kontrol (IK 95%)
(n=40) (n=40)
Jenis kelamin
Umur (tahun)
Berat badan (kg)
Tinggi badan (m)
Indeks massa tubuh (kg/m2)
Status merokok
Bukan, n (%)
Bekas perokok, n (%)
Perokok pasif, n (%)
Perokok aktif, n (%)
Jumlah pack years perokok aktif
Frekuensi eksasebasi dalam 1 tahun
terakhir
<2
2
Terapi rutin
Tidak ada
Bronkodilator
Kortikosteroid
Bronkodilator + Kortikosteroid
FEV1 (liter)
FVC (liter)
FEV1 (% prediksi)
Reversibilitas (%)
FEV1/FVC (%)
Skor MMRC

Setelah mendapatkan program PLB selama 12 minggu dilakukan analisis


48
perbedaan rerata variabel dan skor MMRC sebelum dan sesudah terapi pada masing-

masing kelompok.
32

Tabel 6. Dummy table skor MMRC sebelum dan sesudah terapi


Variabel Kelompok Kelompok Nilai p
PLB plasebo (IK 95%)
Variabel
Sebelum terapi Rerata SD Rerata SD

Sesudah terapi Rerata SD Rerata SD


Nilai MMRC
Sebelum terapi Rerata SD Rerata SD

Sesudah terapi Rerata SD Rerata SD

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, A., Yunus, F., Wiyono, W.H., Ratnawati, A. 2008. Manfaat Rehabilitasi Paru
dalam Meningkatkan atau Mempertahankan Kapasitas Fungsional dan
Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di RSUP
Persahabatan. Jakarta: RS Persahabatan.
Alwi, I. 2009. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW,
33

Caplan, L.R. 2009. Basic Pathology, Anatomy, and Pathophysiology of Stroke, dalam
Caplans Stroke : a Clinical Approach 4th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Cummings, S.R., Strull, W., Nevitt, M.C., Hulley, S.B. 1988. Planning the
Measurement: Questionnaires. Designing Clinical Research: an
Epidemiological Approach. Baltimore: William & Wilkins.
Da Silva, J.A.P, Woolf, A.D. 2010. Rheumatology in Practice. London : Springer
Verlag.
Dahlan, M.S. 2006. Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Seri
Evidence Based Medicine. Arkans; 2: 62-63. 50
De Boer, W., Yao, H., Rahman, I. 2007. Future Therapeutic Treatment of COPD :
struggle between oxidants and cytokines. International Journal of COPD; 293:
205-228.
Depkes. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Jakarta: Departemen Kesehatan R.I.
Duerden, R.B., Johnson, M., Cole, P.J., Wilson, R. 2003. Effect of Salmeterol on
Haemophilus Influenzae Infection of Respiratory Mucosa in vitro. Eur Respir
J; 11:86-90.
Electric Medicine Compendium. 2011. Erdotin 30 mg capsule. Available from; URL:
www.medicines.org.uk/emc/medicine/19275/spc.
Enright, P.L. 2003. The Six-Minute Walk Test. Respir Care; 48(8): 783-785.
European Society of Cardiology (ESC). 2006. Guidelines on the management of
stable angina pektoris. Eur Heart J doi:10.1093/eurheartj/ehl002.
European Society of Cardiology (ESC). 2012. Guidelines for diagnosis and treatment
of acute and chronic heart failure. Eur Heart J; 29: 2388-2442.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2010. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. Available from; URL: www.ginaasthma.org.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2009. Executive and
Science Committees. 2009. Global Strategy for the Diagnosis, Management
and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease: GOLD Executive
Summary Updated 2009. Available from; URL: www.gold-copd.org.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2011. Global
Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. Available from; URL: www.gold-copd.org.
Heaney, L., Masih, I. 2012. Inflammation in COPD and New Drug Strategies.
Available from; URL: www.cdn.intechopen.com.
Hui KP, Hewitt AB. 2003. A simple pulmonary rehabilitation Program Improve Health
Outcomes and Reduce Hospital Utilization in Patients With COPD. Chest;
124:94-7.
Jones, P.W. 2001. Health Status Measurement in Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Thorax; Nov 56(11):880-887.
Jones, P.W. 2009. St Georges Respiratory Questionnaire Manual. London: University
of London.
Maltais, F., Simard, A.A., Simard, C., Jobin, J., Desgagnes, P., LeBlanc, P., Janvier, R.
1996. Oxidative Capacity and Lactic Acid Kinetics During Exercise in Normal
Subjects. Am J Respir Crit Care Med; 153: 288-293.
Man, S., Sin, D. 2005. Effects of Corticosteroid on Systemic Inflammation in Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. Proc Am Thorac Soc; 2: 78-82.
34

Marin, J.M., Cote, C.G., Diaz, O., Lisboa, C., Casanova, C., Lopez, M.V., Carrizo, S.J,
Pinto-Plata, V., Dordelly, L.J., Nekach, H., Celli, B.R. 2011. Prognostic
Assessment in COPD: Health Related Quality of Life and the BODE Index.
Respiratory Medicine; 105: 916-921.
National Institutes of Health. National Heart, Lung, and Blood Institute (NLBHI).
2009. Morbidity and Mortality: 2009 Chart Book on Cardiovascular, Lung and
Blood Diseases. Bethesda: National Heart, Lung, and Blood Institute.
Available from; URL: www.nhlbi.nih.gov.
Oga, T., Nishimura, K., Tsukino, M., Sato, S., Hajiro, T., Mishima, M. 2005. Exercise
Capacity Deterioration in Patients With COPD. Chest; 128: 62-69.
Paggiaro, P.L., Dahle, R., Bakran, I., Frith, L., Hollingworth, K., Efthimou, J. 1998.
Multicentre Randomised Placebo-Controlled Trial of Inhaled Fluticasone
Propionate in Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Lancet;
351: 773-780.
Palmer, M. 2004. Guide of Hepatitis and Liver Disease. Available from; URL:
www.liverdisease.com/liverenzymes_hepatitis.
Papaioannou, A.I., Loukides, S., Gouroulianis, K.I., Kostikas, K. 2009. Global
assessment of the COPD patient: Time to look beyond FEV1? Respiratory
Medicine; 103: 650-660.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. Diagnosis dan Penatalaksanaan
PPOK. Jakarta: PDPI.
Pradoyo, J., Felly, S., Kristanti, C.M., Soemantri, S. 2005. Transisi Epidemiologi di
Indonesia. Pertemuan Rakornas Litbangkes, Bandung.
Putra, A., Retnowulan, H., Achadiono, D.N.W. 2012. Reliability of St George
Questionnaire in Asthma Outpatient. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM.
Rennard, S.I., Serby, C.W., Ghafouri, M., Johnson, P.A., Friedman, M. 1996.
Extended Therapy with Ipratropium is Associated with Improved Lung
Function in Patients with COPD: A Retrospective Analysis of Data from Seven
Clinical Trials. Chest; 110: 62-70.
Roche, N., Marthan, R., Berger, P., Chambellan, A., Chanez, P., Aguilanio, B., Brillet,
P., Burgel, P., Chaouat, A., Devillier, P., Escamillia, R., Louis, R., Mal, H.,
Muir, J., Perez, T., Similowski, T. 2011. Beyond Corticosteroids : future
prospects in the management of inflammation in COPD. Eur Respir Rev; 20
(121): 175-182.
Spahija J, Marchie M, Grassino A. 2005. Effects of imposed pursed-lips breathing on
respiratory mechanics and dyspnea at rest and during exercise in COPD.
Chest;128(2):640-50.
Tan, W.C. 2008. COPD in Asia : Where East Meets West. Chest 2008; 133: 517-527.
Tarpy, S.P., Celli, B.R. 1995. Long-Term Oxygen Therapy. N Engl J Med; 333: 710-
714.
Weatherall, M., Marsh, S., Shirtcliffe, P., Williams, M., Travers, J., Beasley, R. 2009.
Quality of Life Measured by The St George Respiratory Questionnaire and
Spirometry. Eur Respir J; 33: 1025-1030.
Willcox, P.A., Ferguson, D.A. 1989. Chronic Obstructive Airway Disease Following
Treated Pulmonary Tuberculosis. Respiratory Medicine; 83: 195-198.
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2005). Brunner & Suddarths: Textbook of medical
surgical nursing. Philadelphia: Lippincott
35

Tashkin DP, Cooper CB. 2004.The role of long-acting bronchodilators in the


management of stable COPD. Chest; 125:249-59.

Lampiran 1

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN PARTISIPASI PENELITIAN


(INFORMED CONSENT)

Judul Penelitian: Pengaruh Rehabilitasi Purse-Lips Breathing pada Pasien Penyakit


Paru Obstruktif Kronik Terhadap Derajat Sesak Napas Pasien.
36

Peneliti:
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Tujuan Penelitian:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh PLB selama 12 minggu terhadap
perbaikan derajat sesak napas dengan menilai penurunan skor MMRC pada pasien
PPOK.

Manfaat Penelitian bagi Pasien (Peserta Penelitian):


Mendapatkan perbaikan keluhan derajat sesak napas setelah menjalankan PLB
dengan mengevaluasi penurunan skor MMRC

Prosedur Penelitian:
1. Peserta penelitian adalah pasien PPOK stabil di Poli Paru RSUP dr Sardjito
Yogyakarta.
2. Pasien peserta penelitian akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, serta pemeriksaan catatan rekam medik oleh peneliti
untuk menetapkan bisa tidaknya memenuhi kriteria pemilihan pasien
penelitian.
3. Pasien peserta penelitian akan diacak menjadi 2 kelompok sebagai kelompok
PLB dan Kontrol.
4. PLB dilakukan selama 12 minggu.
5. Pengukuran Skor MMRC dinilai pada awal dan akhir PLB.
6. Jika pasien peserta penelitian dalam perjalanan penelitian merasa keberatan
dengan penelitian ini, sewaktu-waktu boleh mengundurkan diri atas keputusan
pribadi dan menghubungi pihak peneliti.

Kemungkinan Risiko atau Efek Samping Selama Penelitian:


1. Tidak ada resiko yang membahayakan Subyek karena hanya menjalankan
PLB.
2. Jika selama penelitian berlangsung, pasien peserta penelitian merasa ada hal
yang mengganggu kesehatannya dapat menghubungi peneliti lewat telepon dan
menghentikan obat yang diberikan.

Kerahasiaan:
Identitas pasien peserta penelitian akan dirahasiakan oleh peneliti.

Apabila terdapat masalah atau pertanyaan terkait dengan penelitian ini, dapat
menghubungi peneliti, dr. Padmi Bektilestari, di pesawat telepon 081328028503.

SETELAH SAYA MEMBACA KETERANGAN DI ATAS DAN SETELAH


DIBERI PENJELASAN OLEH PENELITI MENGENAI PENELITIAN YANG
37

AKAN DILAKSANAKAN, SAYA MENYATAKAN SETUJU BERPARTISIPASI


DALAM PENELITIAN INI SECARA SUKARELA.

Nama : ...................................................
Umur : ...................................................
Alamat : ...................................................
Wali/Saksi : ...................................................
Tanggal : ................................................... Mengetahui,
Tanda Tangan : Peneliti

( ) (dr. Padmi Bektilestari)


38

Lampiran 2
39

Lampiran 3
40

Skala Modified Medical Research Council

Derajat Deskripsi
0 Tidak bermasalah dengan sesak, kecuali dengan latihan berat
1 Sesak napas apabila terburu-buru atau menaiki bukit yang agak
tinggi
2 Berjalan pelan atau berhenti sejenak untuk bernapas.
3 Berhenti untuk bernapas setelah berjalan selama 100 meter
4 Sesak bila meninggalkan rumah atau sesak saat berpakaian atau
melepaskan pakaian.

Anda mungkin juga menyukai