Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN PUSTAKA

ABSES CEREBRI

Disusun Oleh :
Hemalatha Thiruchelvam (1902611025)
Pavitra Loganathan (1902611029)
Velava Kumar Gopal (1902611030)

Pembimbing :
dr. AAA Suryapraba Indradewi K, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2019

i
ABSESS CEREBRI

Lembar Pengesahan

Tinjauan Pustaka ini telah disahkan pada tanggal


25 Juni 2019

Pembimbing

dr. AAA Suryapraba Indradewi K, Sp.S


NIP. 198408082018012001

Mengetahui,
Ketua Departemen/KSM Neurologi
FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar

Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)


NIP. 195610101983121001

ii
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya tinjauan kepustakaan dengan judul “Absess Cerebsi” ini selesai
pada waktunya. Tinjauan kepustakaan ini disusun sebagai salah satu syarat
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM Neurologi FK
Unud/RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian tinjauan pustaka ini. Ucapan
terimakasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S(K), selaku Ketua Departemen/KSM
Neurologi FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memfasilitasi
dan memberikan penulis kesempatan selama proses pembelajaran di
bagian ini;
2. dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp.S selaku Koordinator Pendidikan Jenjang
Profesi Dokter Departemen/KSM Neurologi FK Unud/RSUP Sanglah
Denpasar;
3. dr. AAA Suryapraba Indradewi K, Sp.S selaku pembimbing yang telah
banyak memberi saran dan masukan selama proses pembelajaran di
bagian ini;
4. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan tinjauan kepustakaan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari kata sempurna sehingga saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan
tinjauan kepustakaan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Om Santih, Santih, Santih Om.
Denpasar, 24 Juni 2019

Penulis

iii
ABSTRAK
Abces adalah suatu pengumpulan nanah di jaraingan-jaringan tubuh badan. Pada
abses otak, pengumpulan nanah dapat terlihat di jaringan otak juga dapat disertai
pembengkakan jaringan otak. Abses otak adalah penyakit serius yang
membahayakan nyawa dan harus ditangani cepat. Gejala abses otak: leher kaku,
gangguan visual, nyeri kepala, muntah, demam dan malaise akibat infeksi. . Lebih
sering ditemui di pria berbanding dengan wanita dengan ratio perbandingan 3:2
dengan fatality rate yang cukup tinggi. Secara umum disebabkan oleh infeksi
bakteria atau jamur. Faktor risiko adalah seperti yang dengan riwayat HIV/AIDS,
kanker, penyakit jantung bawaan, pengambilan obat immunosupresif dapat
kontribusi kepada abses otak. Abses serebri selalu bersifat sekunder terhadap fokus
infeksi purulen di tempat lain pada tubuh manusia. Penatalaksanaan awal dari abses
otak meliputi diagnosis yang tepat dan pemilihan antibiotik didasarkan pada
pathogenesis dan organisme yang memungkinkan terjadinya abses. Angka
kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara signifikan berkurang, dengan
perkiraan 5-10% didahului dengan manajemen CT-Scan atau MRI dan antibiotic
yang tepat pada pasien.
Kata kunci: Abces otak, pengumpulan nanah, pembengkakan jaringan otak

iv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN DEPAN ............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 2
2.1 Definisi .................................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi ......................................................................................... 2
2.3 Etiologi .................................................................................................. 2
2.4 Patofisiologi ........................................................................................... 3
2.5 Manifestasi Klinis .................................................................................. 4
2.6 Diagnosis ............................................................................................... 5
2.7 Diagnosis Banding ................................................................................. 7
2.8 Penatalaksanaan ...................................................................................... 8
2.9 Komplikasi .......................................................................................... 10
2.10 Prognosis .............................................................................................. 11
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13

v
BAB I
PENDAHULUAN

Abses merupakan suatu pengumpulan nanah di jaringan-jaringan tubuh.


Pada abses otak, pengumpulan nanah dapat terlihat di jaringan otak. Abses otak
adalah penyakit serius yang membahayakan nyawa dan harus ditangani cepat, Pada
pasien abses otak juga akan terlihat pembengkakan pada jaringan otak. Kondisi
abses otak ini memberikan tekanan yang abnormal pada jaringan otak yang lunak.
Infeksi atau pembengkakan yang terjadi juga dapat menyebabkan aliran darah di
otak terganggu yang boleh menyebabkan stroke. Antara gejala abses otak: leher
kaku, gangguan visual, nyeri kepala, muntah, demam dan malaise akibat infeksi.

Abses otak dapat disebabkan oleh infeksi bakteria atau jamur. Infeksi boleh
bermula di otak ataupun di organ lain dan menjalar ke otak. Infeksi di kepala seperti
sinusitis dan otitis media, infeksi melalui luka terbuka di kepala seperti trauma pada
tengkorak dan penyebaran infeksi daripada paru-paru, jantung dan perut adalah
kemungkinan penyebab abses otak. Faktor risiko lain seperti yang ada riwayat
HIV/AIDS, kanker, peradangan selaput otak dan pengambilan obat-obat
immunosupressif dapat kontribusi kepada kondisi abses otak.

Penyakit abses otak sekarang jarang ditemui tetapi mempunyai fatality rate
yang cukup tinggi rata-rata 40%. Abses juga dapat ditemukan di kedua-dua
hemisfer otak. Peravalensi abses di lobus frontal, parietal dan temporal adalah
dalam lingkungan 80% dan 20% bagi abses yang ditemukan di lobus occipital,
serebelum dan batang otak.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Abses otak merupakan suatu penyakit infeksi yang menyebabkan
pengumpulan nanah di jaringan otak. Infeksi yang disebabkan bakteria atau jamur
boleh langsung dari otak, infeksi kepala atau dari organ dan jaringan lain yang
kemudian menjalar melalui darah ke otak. Pengumpulan nanah dapat menyebabkan
pembengkakan jaringan otak dan juga peningkatan tekanan intracranial yang
abnormal. Infeksi juga dapat menganggu aliran darah di otak. Walaupun abses otak
adalah penyakit yang jarang ditemui, merupakan satu penyakit bahaya yang harus
segera ditangani. (Brouwer et. Al., 2014)

2.2 Epidemiologi
Abses otak adalah penyakit yang jarang ditemui pada waktu sekarang. Lebih
sering ditemui di pria berbanding dengan wanita dengan ratio perbandingan 3:2.
Dapat ditemukan pada semua kelompok usia. Di Amerika Syarikat terdapat lebih
kurang 0.3 – 1.3% setiap 100,000 penduduk per tahun. Fatality rate untuk abses
otak adalah rata-rata diantara 10-60% atau 40%. (Brouwer et. Al., 2017)

2.3 Etiologi
Abses otak secara umum disebabkan oleh infeksi bakteria atau jamur. Infeksi
boleh langsung di jaringan otak apabila pathogen dapat masuk ke otak atau infeksi
yang bermula di organ lain yang kemudian menjalar ke otak melalui aliran darah.
Bakteria atau parasite penyebab dapat langsung masuk ke otak apabila terdapat luka
terbuka dan trauma tengkorak. Infeksi di bahagian kepala lain seperti peradangan
sinus dan infeksi di telingan bahagian tengah: otitis media adalah penyebab abses
otak. Infeksi pada organ-organ seperti paru-paru, jantung dan perut akan menjalar
melalui aliran darah dan ke otak. Faktor risiko lain seperti yang dengan riwayat

2
HIV/AIDS, kanker, penyakit jantung bawaan, pengambilan obat immunosupresif
dapat kontribusi kepada abses otak.
Bakteria penyebab adalah: Streptococcus aureus, streptococci, Bacteroides spp,
Fusobacterium spp,prevotella spp, Actinomyces spp, Clostridium spp, Proteus spp,
Pseudomonas aeruginosa, Citrobacter diversus dan Haemophilus spp. ( George et.
Al, 2017)
Penyebab lain adalah seperti virus Poliovirus yang sering menyebabkan abses
pada orang HIV/AIDS, fungi: Aspergillus dan parasite: Toxoplasma gondii,
cysticercosis, Entamoeba histolytica, Schistosoma, dan Paragonimus (Nordqvist,
C. et al, 2017).

2.4 Patofisiologi

Abses serebri selalu bersifat sekunder terhadap fokus infeksi purulen di tempat lain
pada tubuh manusia. Abses serebri dapat disebabkan oleh inflamasi intrakranial.
Kira-kira 15% daripada kasus ini tidak dapat diketahui sumber infeksinya. Infeksi
ini terjadi melalui 3 cara, yaitu:

1. Infeksi fokus yang berdekatan


Perluasan secara langsung terjadi melalui daerah nekrosis osteomielitis di
dinding posterior sinus frontal melalui sinus sphenoid dan ethmoid. Jalur
perluasan langsung ke intrakranial pada umumnya disebabkan oleh otitis
kronik, mastoiditis, dibandingkan dengan sinusitis. Infeksi gigi dapat
meluas ke intrakranial melalui jalur langsung atau secara hematogen.
Perluasan daerah yang berdekatan dapat menyebar ke beberapa tempat di
sistem saraf pusat, menyebabkan trombosis sinus kavernosus, meningitis,
epidural abses, subdural abses dan abses serebri.

2. Penyebaran hematogen dari fokus yang jauh

Penyebaran abses serebri secara hematogen memberikan beberapa


karakteristik, yaitu:

• Fokus infeksi jauh, paling sering berasal dari daerah rongga dada:

• Berlokasi pada area distribusi arteri serebri media

3
• Lokasi awal pada daerah gray matter-white matter junction

• Poor encapsulation

• Mortalitas tinggi

umunya dijumpai lesi multipel dan multilokulated dan biasanya ditemukan


didistribusi daerah arteri serebri media. Infeksi ini berhubungan dengan
cyanotic heart disease, endocarditis, infeksi paru, kulit dan juga Human
Immunodeficiency Virus (HIV) (Kastenbauer, 2004).

3. Trauma kranial

Pada trauma kranial dengan fraktur terbuka, menyebabkan pertumbuhan


organisme di otak. Selain itu abses otak juga dapat disebabkan oleh
pembedahan intracranial (Rohkamm, 2004).

2.5 Manifestasi Klinis

Sakit kepala merupakan gejala awal yang paling sering ditemukan pada
abses serebri. Trias klasik dari abses serebri berupa sakit kepala, demam dan defisit
neurologi fokal ditemukan pada kurang dari 50% penderita. Edema yang berada
disekitar jaringan otak dapat meningkat tekanan intrakranial dengan cepat sehingga
memperberat sakit kepala, mual dan muntah merupakan gejala awalnya.Sakit
kepala yang memberat dengan tiba-tiba dengan kaku kuduk menunjukkan
terjadinya ruptus abses otak ke ruang ventrikel. Kejang baik fokal maupun umum
sering dijumpai (Hankey & Wardlaw, 2008).

Gejala fokal seperti gangguan mental dan hemiparesis tampak pada 50%
penderita abses tergantung dari lokasinya. Pada abses serebellar gejala yang muncul
adalah nistagmus, ataksia dan intention tremor.

Pada pemeriksaan neurologis bisa dijumpai papil edema dan tanda


neurologi fokal tergantung dari lokasi abses. Pasien dengan abses serebri multipel
lebih cepat terjadi peningkatan intrakranial dengan sakit kepala, drowsinnes dengan
cepat menjadi stupor (Sze, et al., 1999).

4
2.6 Diagnosis

Secara klinis abses serebri dapat diduga bila dijumpai nyeri kepala, kejang,
tanda neurologis fokal atau peningkatan tekanan intrakranial (TIK) pada penderita
dengan penyakit jantung kongenital atau dengan infeksi akut atau kronik pada
telinga tengah, sinus nasalis, jantung dan paru (Bernardini, 2000).

1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah pada abses serebri jarang membantu dalam
menegakkan diagnosis. Dijumpai peningkatan lekosit dan Laju Endap
Darah (LED). Nilai serum C Reaktif Protein (CRP) pada umumnya
meningkat. Pada kultur darah hanya positif pada 30% penderita. Hasil
kultur darah ini sebagai dasar dalam menentukan antibiotik yang sesuai.
Kultur darah menunjukkan organism pada penderita endocarditis
(Koppel, 2007).

2. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)


Lumbal pungsi sebaiknya tidak dilakukan pada kasus dengan dugaan
abses serebri dengan peningkatan TIK karena dapat menyebabkan
terjadinya herniasi dan kematian. Prosedur ini jarang memberikan
informasi tambahan yang signifikan dan dikaitkan dengan resiko
herniasi pada sejumlah kasus. Perubahan CSS tidak spesifik, dan harus
dihindari. Pada CSS dijumpai sejumlah sel berkisar 0-100.000 sel/Ul,
didominasi oleh PMN, protein mulai dari normal sampai lebih dari 500
mg/dl dan konsentrasi gula darah normal atau menurun. Kultur CSS
positif hanya dilaporkan sekitar 6% kecuali ditemukan ruptur abses ke
sistem ventrikel atau ruang subarachnoid maka dijumpai lebih dari 20%
kasus dengan kultur CSS positif (Kastenbauer, 2004).

5
3. Computed Tomography ( CT) Scan

Pemeriksaan CT Scan baik dalam menentukan ukuran, jumlah dan


lokasi abses dan juga untuk memantau keberhasilan terapi. Tetapi
pemeriksaan ini tidak dapat membedakan abses dengan tumor. Pada
pemeriksaan CT Scan tanpa kontras, stadium serebritis pada awalnya
terlihat sebagai suatu area hipodens di white matter dengan batas yang
tidak jelas dengan efek suatu massa regional atau tersebar luas yang
mencerminkan kongesti vaskular dan edema. Pada pemberian kontras
dapat dijumpai sedikit atau tidak dijumpai kontras enhancement pada
stadium ini. Pada kontras dijumpai oval atau circular peripheral ringlike
contrast enhancement yang menggambarkan kapsul abses. Dinding
kapsul biasanya tipis (3-6 mm) dan ketebalannya sama meskipun
beberapa abses memperlihatkan dinding tebal irregular yang mirip
dengan dinding suatu glioblastoma (Thomas, 2008).

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pemeriksaan MRI paling sensitif untuk abses. Menunjukkan adanya
hypointense pada area nekrosis (abses) dikelilingi sinyal hyperintense
(edema) pada T2-weighted atau fluid attenuated inversion recovery
(FLAIR) images. Pemeriksaan ini lebih baik dalam menunjukkan
stadium serebritis serta perluasan inflamasi ke ruang ventrikel dan
subarachnoid. Pada stadium serebritis awal, dapat dilihat hyperintense
pada subkortikal pada T2- weighted imaging. Lesi yang tampak
hyperintense pada diffusion-weighted imaging (DWI) dengan apparent-
diffusion-coefficient (ADC), dengan nilai 2 menunjukkan lesi kistik
nonabses (Sze & Lee, 1999).

6
Pada stadium serebritis lanjut, menunjukkan area nekrosis sentral yang
hyperintense pada jaringan otak dan rangkaian T2-weighted. Penebalan
irregular di pinggir lingkaran tampak isointense menuju mild
hyperintense pada spin-echo T1-weighted images dan isointense serta
hypointense pada T2-weighted (Lange, et al., 1989). Edema perifer dan
lesi satelit tampak. Pada stadium formasi kapsul dini dan lanjut, kapsul
abses kolagen lebih jelas dengan gambaran penebalan dinding cincin
isointense sampai hyperintense ringan dan menjadi hypointense pada
T2-weighted. Diffusion Weighted Imaging menunjukkan gambaran
khas. Bahan purulen di dalam ventrikel tampak sama dengan kavitas
abses sentral, dengan sinyal hyperintense pada DWI. 9 Pada saat ini
DWI dapat digunakan dalam menilai keberhasilan terapi abses. Adanya
pengurangan sinyal 9 intensitas dari DWI dan peningkatan nilai ADC
pada kavitas abses dihubungkan dengan keberhasilan terapi (Fabiola, et
al., 2004).

5. Biopsi Otak
Terkadang hanya tindakan operatif yang dapat menegakkan diagnosa .
Biopsi otak aman dilakukan jika lokasi abses di permukaan otak. Jika
abses dalam, aspirasi jarum dengan bantuan stereotactic mungkin
diperlukann(Su, et al., 2004).

7
2.7 Diagnosis Banding

Sebagai suatu lesi desak ruang (space-occupying lesion), abses otak dapat
bermanifestasi klinis hamper sama dengan suatu neoplasma maupun
hematosubdural. Oleh karena itu, diperlukan teknik diagnose yang menyeluruh agar
terapi yang diberikan menjadi tepat. (Sudewi, AA Raka, et al., 2011)

Tabel 1 Perbedaan Abses dan Tumor berdasarkan Neuroimaging ((Sudewi, AA


Raka, dkk, 2011)
Abses Tumor
Dinding Halus, tipis, teratur Tebal, tidak beraturan
Lebih tipis pada aspek Lebih tipis pada aspek
dalam luar
Nodularitas Jika ada, di batas dalam Batas luar
T1 Hyperintense rim
T2 Hypoientense rim
Meningeal Terlihat Tidak terlihat
Enhancement
Diffusion Imaging Sinyal tinggi Sinyal rendah
Perfusion Imaging Sinyal normal karena Sinyal rendah karena
Dynamic kolagen dan fibrosis di kepadatan kapiler tinggi
dinding pada tumor

2.8 Penatalaksanaan
Terapi definitif untuk abses melibatkan :
1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat
mengancam jiwa
2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
4. Pengobatan terhadap infeksi primer
5. Pencegahan kejang
6. Neurorehabilitasi

8
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan
pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang
memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat
digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole. Jika
terdapat riwayat cedera kepala dan pembedahan kepala, maka dapat digunakan
kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan sephalosforin generasi ketiga
dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur dan
tes sentivitas telah tersedia.
Tabel 2 Prinsip Pemilihan Antibiotik pada Abses Otak (Sudewi, AA Raka, dkk,
2011)
Etiologi Antibiotik
Infeksi bakteri gram negatif, bakteri Meropenem
anaerob, stafilokokkus dan
stretokokkus
Penyakit jantung sianotik Penissilin dan metronidazole
Post VP-Shunt Vancomycin dan ceptazidine
Otitis media, sinusitis, atau mastoiditis Vancomycin
Infeksi meningitis citrobacter Sefalosporin generasi ketiga,
yang secara umum dikombinasi
dengan terapi aminoglikosida

Pada abses terjadi akibat trauma penetrasi,cedera kepala, atau sinusitis dapat
diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin, cefotaxime atau
cetriaxone dan juga metronidazole. Monoterapi dengna meropenem yang terbukti
baik melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan
streptokokkus dan menjadi pilihan alternatif. Sementara itu pada abses yang terjadi
akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin dan
metronidazole. Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi
dengan vancomycin dan ceptazidine.Ketika otitis media, sinusitis, atau mastoidits
yang menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus
pneumonia telah resisten terhadap penissilin. Ketika meningitis citrobacter, yang
merupakan bakteri utama pada abses local, dapat digunakan sefalosporin generasi
ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada
pasien immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan
dipertimbangkan pula terapi amphoterids.

9
Tabel 2 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak (Sudewi, AA Raka,
et al., 2011)
Drug Dose Frekuensi dan
route
Cefotaxime (Claforan) 50-100 mg/KgBBt/Hari 2-3 kali per hari, IV

Ceftriaxone (Rocephin) 50-100 mg/KgBBt/Hari 2-3 kali per hari, IV


Metronidazole (Flagyl) 35-50 mg/KgBB/Hari 3 kali per hari, IV
Nafcillin (Unipen, Nafcil) 2 grams setiap 4 jam, IV
Vancomycin 15 mg/KgBB/Hari setiap 12 jam, IV

Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat


mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan
kapsul abses. Tetapi penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus
dimana terdapat risiko potensial dalam peningkatan tekanan intrakranial. Dosis
yang dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6 jam intravenous, dan ditapering dalam
3-7 hari.
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan adanya
tekanan intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran edema yang luas
serta midline shift pada CT scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah
itu di tap-off, dan terlihat bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada
pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak didapatkan papil edema.
Penatalaksanaan secara bedah pada abses otak dipertimbangkan dengan
menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara dini, untuk mengetahui tingkatan
peradangan, seperti cerebritis atau dengan abses yang multipel.
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara
antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan drainase
abses melalui kraniotomi merupakan prosedur pilihan. Tetapi pada center-center
tertentu lebih dipilih penggunaan stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration
and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan pada abses multipel, abses batang
otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi.
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan,
seperti: small deep abscess, multiple abscess dan early cerebritic stage. Kebanyakan
studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna diantara penderita yang
mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi eksisi dalam mengurangi
risiko kejang.

10
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi
mengingat proses desak ruang yang cukup besar guna mengurangi efek massa baik
oleh edema maupun abses itu sendiri, disamping itu pertimbangan ukuran abses
yang cukup besar, tebalnya kapsul dan lokasinya di temporal. Antibiotik mungkin
digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses berkapsul dan secara umum jika
luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang berefek terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial. Dan harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik dan
aspirasi abses.
Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena
prosedur ini dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan
dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika abses berdiameter lebih
dari 2,5 cm, adanya gas di dalam abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak
di fosa posterior, atau jamur yang berhubungan dengan proses infeksi, seperti
mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula dilakukan pembedahan
drainase. Terapi kombinasi antibiotik bergantung pada organisme dan respon
terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu.
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya
terhadap korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari
kasus per kasus, ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada tidaknya
abnormalitas pemeriksaan neurologis, EEG dan neuroimaging. (Sudewi, AA Raka,
et al., 2011)

2.9 Komplikasi
Abses otak dapat menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun
komplikasinya adalah:
1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
3. Edema otak
4. Herniasi oleh massa abses otak (Hakim AA, 2005)

11
2.10 Prognosis

Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara signifikan berkurang,
dengan perkiraan 5-10% didahului CT-Scan atau MRI dan antibiotic yang tepat,
serta manajemen pembedahan merupakan faktor yang berhubungan dengan
tingginya angka kematian, dan waktu yang mempengaruhi lesi, abses mutipel,
kesadaran koma dan minimnya fasilitas CT-Scan. Angka harapan yang terjadi
paling tidak 50% dari penderita, termasuk hemiparesis, kejang, hidrosefalus,
abnormalitas nervus kranialis dan masalah-masalah pembelajaran lainnya.

Prognosis dari abses otak ini tergantung dari:


1) Cepatnya diagnosis ditegakkan
2) Derajat perubahan patologis
3) Soliter atau multipel
4) Penanganan yang adekuat.

Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini dapat lebih cepat
didiagnosis sehingga prognosis lebih baik. Prognosis AO soliter lebih baik dan
mu1tipel. Defisit fokal dapat membaik, tetapi keajng dapat menetap pada 50%
penderita.( Sudewi, AA Raka, et al., 2011)

12
BAB III
PENUTUP
Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir
diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri,
fungus, dan protozoa, dimana kasusnya jarang dijumpai tetapi angka kematiannya
tinggi (rata-rata 40%) sehingga tergolong kelompok penyakit “life threaqtening
infection”. Sebagian besar penderita abses otak adalah laki-laki, dibandingkan
perempuan (3:1) yang berusia produktif (20-50) tahun.
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi tengah,
sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries), dapat timbul akibat
penyebaran secara hematogen dari infeksi paru sistemik (empyema, abses paru,
bronkiektase, pneumonia), endokarditis bacterial akut dan subakut dan pada
penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot ( abses multiple, lokasi pada substansi
putih dan abu dari jarinagn otak). Dapat juga timbul akibat trauma tembus pada
kepala atau trauma pasca operasi.,
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti
AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi. Steroid yang dapat
menurunkan system kekebalan tubuh.
Proses pembentukan abses otak memakan waktu 2 minggu dan terdiri dari
4 tahap. Dengan semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas berupa trias
abses otak yang terdiri dari gejala infeksi, peninggian tekanan intracranial, dan
gejala neurologic fokal. Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, rontgen,
CT-Scan dan pemeriksaan laboratorium.
Terapi definitive untuk abse melibatkan penatalaksanaan terhadap efek
massa (abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa, terapi antibiotic dan test
sensitifitas dari kultur material abses, terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi),
pengobatan terhadap infeksi primer, pencegahan kejang, dan neurorehabilitasi.
Prognosis dari abses otak ini tergantung dari cepatnya diagnosis ditegakkan,
derajat perubahan patologis, soliter atau multiple, penegakan yang adekuat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Brouwer, MC; Coutinho, JM; van de Beek, D (Mar 4, 2014). “Clinical


characteristics and outcome of brain abscess: systematic review and meta-
analysis.”. Neurology. 82 (9): 806–13

Brouwer, Matthijs C.; van de Beek, Diederik (Feb 2017). “Epidemiology, diagnosis
and treatment of brain abcess”. Issue 1. Volume 30

George, N; S. Siket, M ( May 18, 2017). “Brain Abcess in Emergency Medicine”

Nordqvist, C; Han, S (August 2017). “Medical News Today: What causes a brain
abcess?”

Kastenbauer S, Pfister HW, Wispelwey B, Scheld WM. Brain Abcess. In : Scheld


WM, Whitely RJ, Marra CM, editors. Infections of The Central Nervous System, 3
rd edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2004. P. 479-501
Sze G. Lee SH. Infectious Disease. In : Lee SH, Rao KCVG, Zimmerman RA,
editors. Cranial MRI and CT. 4th ed. New York : McGraw-Hill ; 1999.P.453-516
Lombardo MC. Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain pada Sistem Saraf.
Dalam :Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi Keempat. Jakarta : EGC ; 1995. Hal. 1006-1007 ed. New York :
McGraw-Hill ; 1999.P.453-516
Su CF, Loh TW, Chen YW, Chen SY, Wang LS. Advantages of Stereotactic
Aspiration on Surgical Management of Pyrogenic Brain Abcess. Tsu Chi Med J
2004 ; 16 : 143-150
Koppel BS. Bacterial, Fungal & Parasitic Infections of The Nervous System. In :
Brust JC.M, editor. Current Diagnosis and Treatment. New York : Mc-Graw Hill ;
2007.P.408- 411
MULTIPEL, ABSES SEREBRI; USU, DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN; MALIK, RSUP H. ADAM. Abses Serebri
Multipel. Universitas, 11: 12.
Sudewi, AA Raka, dkk. Abses Serebri. Infeksi pada system saraf “PERDOSSI”.
Hal 21-27. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair. 2011.
Hakim, Adril Arsyad. Abses Otak. Dep Bedah FK USU/ SMF Bedah Saraf RSUP
H Adam Malik Medan.Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 4. Sumatera
Utara: Desember 2005.
Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. 2ed. New York : Thieme ;2004

W Fabiola, Zumelzu C, Staurou I, Castillo M, Eisenhuber E, Knosp E, Thurnher


M. Diffusion-Weighted Imaging in the Assesment of Brain Abcess Therapy.
AJNR Am JNeuroradiol 25 : 1310-1317

14
Hankey GJ, Wardlaw JM. Clinical Neurology. 1st edition. Manson Publishing.
2008

Lange S, Grumme T, Kluge W, Ringel K, M Wolfgang. Cerebral and Spinal


Computerized Tomography, 2nd edition. Germany : Schering AG ;1989

Bernardini GL. Focal Infections. In : Rowland LP, editor. Merrit’s Neurology.


10th edition. Philadelphia : Lippicott Williams & Wilkins ; 2000. P.128-133

Thomas LE. Brain Abscess. 2008. Available from :


http://www.emedicine.medscape.com

15

Anda mungkin juga menyukai