Anda di halaman 1dari 32

Kasus 2: BELL’S PALSY

Klarifikasi Istilah
1. Lession: a region in an organ or tissue which has been damage through the
process of injury or disease
2. Palsy: paralysis (hilangnya fungsi otot pada bagian tubuh tertentu, bias bersifat
local, umum,sebagian atau lengkap)
3. Kontralateral: opposite side of the bofy of lesion
4. Ipsylateral: same site of the body of lesion
5. Aferen: sensorik
6. Eferen: motoric
7. Interneuron: relai neuron.
8. Otalgia: sakit pada telinga
9. Epifora: sekresi berlebihan air mata

Bell’s Palsy ( pengetahuan umum)


 Disebut juga sebagai idiopathic facial paralysis (IFP)
 is the most common cause of unilateral facial paralysis.
 It is one of the most common neurologic disorders of the cranial nerves
 Bell palsy gradually resolves over time, and its cause is unknown.
 suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan
oleh keterlibatan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral di luar sistem
saraf pusat, idiopatik, akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran,
kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal.

Anatomi ( Nervus Cranialis VII)


 memiliki nukleus yg ada pd MO
 Merupakan salah satu nervus kranialis yang berfungsi untuk :
 Motorik sensorik somatik
 Aferen efren viseral

Nama Komponen Asal Fungsi

Saraf Brankial Eferen Nuklues Fasialis Otot-otot ekspresi


Facialis wajah : m.

 Nervus Fasialis memiliki 2 subdivisi :


 Mempersarafi otot-otot ekspresi wajah
 Membawa aferen otonom, eferen otonom dan somatik (nervus
intermediate)

 Komponen dari nervus VII

Perjalanan Nervus VII ( Sensorik dan motorik)


Platisma, m.
Stilohioid,
m.digastrikus
posterior

Saraf Viseral eferen nukleus Nasal, lakrimal,


Intermediate salivatorius kelenjar sublingual
superior dan submandibular

Viseral aferen Ganglion genikuli Pengecapan 2/3


spesial anterior lidah

Somatik Ganglion genikuli Telinga luar,


aferen kanalis auditorius,
permukaan luar
membran timpani
Perjalanan nervus VII Motorik

N.VII dan N.
Nukleus motorik Membentuk
Intermedius menjadi
(bag ventrolateral Ganglion
1 berkas saraf
tegmentum pontin) Genikulatum
terpisah dari N. VIII

N. VII, N intermedius
Meninggalkan
Serabut motorik dan N VIII berjalan
kranium melalui
mengitari inti N.VI bersama ke lateral
foramen stylohioid
masuk ke dalam MAI

Muncul saraf Serat motorik


Melewati sekitar
intermedius di menyebar
nukleus di dasar
antara N. VII dan N. mempersarafi otot-
ventrikel IV
VIII otot wajah

Perjalanan Nervus VII Sensorik

Taste buds 2/3 anterior


Korda timpani Ganglion Genikulatum
lidah

Talamus kontralateral
Menjadi nervus Nukleus traktus
(n.
intermedius solitorius
Ventroposterolateral)

Regio inferior Gyrus


Postcentralis
Perjalanan nervus VII
(Sensorik)
Serabut Eferen Sekretorik – Salivasi dan Lakrimalis

Serat parasimpatis N.
Intermedius dari nukleus
salivatorius superior

Ganglion
Ganglion Genikulatum submandibula

Ganglion pterigopalatina

Glandula
Glandula lakrimal dan mukosa submandibularis dan
nasal sublingualis
Nervus fasialis terbagi atas lima cabang terminal, yaitu:

a. Ramus Temporalis muncul dari pinggir atas glandula dan mempersarafi muskulus
aurikularis anterior dan superior, venter frontalis muskulus oksipitofrontalis,
muskulus orbikularis okuli dan muskulus corrugator supercilii.

b. Ramus zigomatikus muncul dari pinggir anterior glandula dan mempersarafi


muskulus orbikularis okuli.

c. Ramus bukalis muncul dari pinggir anterior glandula di bawah duktus parotideus
dan mempersarafi muskulus buksinator dan otot – otot bibir atas serta nares.

d. Ramus mandibularis muncul dari pinggir anterior glandula dan mempersarafi


otot – otot bibir bawah.

e. Ramus servikalis muncul dari pinggir bawah glandula dan berjalan ke depan di
leher bagian bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus platysma. Saraf ini
dapat menyilang pinggir bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus depressor
anguli oris.
Fisiologi potensial aksi
Fisiologi kontraksi otot
Histologi sistem saraf

Etiologi dan Patofisiologi

Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan


terjadinya Bell’s palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan
imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini.

1. Teori iskemik vaskuler

Teori ini sangat popular, dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari
bell’s palsy.Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N. VII.
Terjadi vasokontriksi arteriole yang melayani N. VII sehingga terjadi iskemik,
kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat,
dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluarakan menekan
dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar
cairanlagi dan akan lebih menekan kapiler dan vena dalam kanalis fasialis sehingga
terjadi iskemik.Dengan demikian akan terjadi keadaan circulus vitiosus. Pada kasus-
kasus berat, hal ini dapat menyebabkan saraf mengalami nekrosis dan kontinuitas
yang terputus.

2. Teori infeksi virus

Menurut teori ini bell’s palsy disebabkan oleh virus, dengan bukti secara tidak
langsung adanya riwayat penyakit virus yang terjadi sebelum bell’s palsy. Juga
dikatakan perjalanan klinis BP sangatmenyerupai viral neuropathy pada saraf
perifer lainnya.Walaupun etiologi dari Bell’s palsy tidak diketahui, penyakit ini
dipercaya disebabkan oleh infeksi virus yang melibatkan ganglion genikulatum.
Adalah mungkin bahwa beberapa kasus bell’s palsy disebabkan oleh infeksi herpes
simpleks yang laten. Dikatakan bahwa BP terjadi karena proses reaktivasi dari
virus herpes. Sesudah suatu infeksi akut primer, virus herpes simpleks tipe I
dalam jangka waktu cukup lama dapat berdiam di dalam ganglion sensoris.6
Reaktivasi ini dpat terjadi luka daya tahan tubuh menurun, sehingga terjadi
neuritis/ neuropati dengan proses peradangan. Edema. Lokasi nyeri dapat terjadi
di sepanjang kanalis fasialis. Sebaliknya sebagian ahli berpendapat bahwa lokasi
primer dari edema N. VII pada bell’s palsy adalah sekitar foramen
stilomastoideum. Menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk
mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan
endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang
dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al.
menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada
wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf
fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis
fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran patologi dan
mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf.
Walaupun penyebab virus dicurigai, ternyata beberapa studi prospektif untuk
membuktikan peranan infeksi virus sebagai seriologi bell’s palsy adalah negative,
berarti tidak dapat mendukung teori infeksi virus.

3. Teori herediter
6% penderita bell’s palsy yang kausanya herediter yaitu
autosomal dominan. Ini mungkin karena kanalis falopii yang sempit pada keturunan
atau keluarga tersebut sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya
paresis fasialis.

4. Teori imunologi

Dikatakan bahwa BP terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang
timbul
sebelumnya atau setelah pemberian imunisasi.Berdasarkan teori ini maka penderita
bell’s palsy
diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan
edema di dalam kanalis fasialis falopii dan juga sebagai immunosupressor

Patogenesis

Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik bell’s palsy adalah
proses edema yang menyebabkan kompresi N.VII. BP sebagai suatu sindroma
kompresi saraf fasialis atau sebagai suatu “entrapment syndrome”. Hingga kini
belum ada persesuaian pendapat tentang pathogenesis Bell’s palsy, oleh George A.
Gates, membagi patogenesis menjadi 3 tipe, yaitu:

1. Tipe 1: Pada tipe 1 mengalami paresis ringan dan sebagian besar mengalami
kelumpuhan komplit. Paresis maupun paralisis ini dapat mengalami
penyembuhan yang baik, blok konduksi saraf yang reversibel (neuropraksis)
adalah akibat dari kompresi yang mendadak oleh karena edema di sekitar
saraf dan disebabkan oleh adanya spasme pembuluh darah, namun teori ini
belum dapat dibuktikan. Teori lain menjelaskan adanya kerusakan endotel
kapiler oleh radang virus yangmenyebabkan kebocoran sehingga cairan masuk
ke dalam jaringan sekitarnya. Bila cairan ini terkumpul di
dalam endoneurium maka konduksi saraf menjadi terhambat.

2. Tipe 2: Pada tipe ini ditandai dengan timbulnya sinkenesis dan gejala sisa
lain yang mungkin akibat degenerasi saraf sinkenesis ini terjadi karena impuls
dari satu akson dapat menyebar ke akson
yang berdekatan dan berakibat kontraksi otototot lain. George A. Gates
menjelaskan akan terjadi penjalar an listrik pada waktu terjadi “saltatory
movement” kepada saraf yang berdekatan yang mengalami kerusakan myelin
sehingga terjadi konduksi pada dua saraf dan kontraksi dua otot pada saat
bersamaan.

3. Tipe 3: Pada tipe ini penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian


yang terjadi akibat cedera akson dalam segmen labirint dari nervus fasialis,
ini terjadi akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh virus zooster dalam
ganglion genikulatum dan berakibat sensori 2/3 anterior lidah terganggu.
Selanjutnya dapat menyebar ke korda timpani, saraf akustik dan vestibuler
dan menyebabkan hambatan pengantar akson kemudian terjadi paralisis dan
degenerasi. Menurut Adour dkk, yang dikenal dengan konsep teori virusnya,
menerangkan virus akan mempengaruhi saraf pada sel schwan lalu
menyebabkan peradangan dan virus
menyebabkan bertumpuknya lapisan protein dari sel saraf, melalui membran,
merusak autoimun untuk sel membran saraf

Gejala klinis

 Acute onset of unilateral upper and lower facial paralysis (over a 48-hr
period)
 Posterior auricular pain
 Decreased tearing
 Hyperacusis
 Taste disturbances
 Otalgia
 Weakness of the facial muscles
 Poor eyelid closure
 Aching of the ear or mastoid
 Tingling or numbness of the cheek/mouth
 Epiphora
 Ocular pain
 Blurred vision
 Flattening of forehead and nasolabial fold on the side affected by palsy
 When patient raises eyebrows, palsy-affected side of forehead remains flat
 When patient smiles, face becomes distorted and lateralizes to side opposite
the palsy

Perbedaan lokasi lesi saraf fasialis dapat menimbulkan gejala yang berbeda. Tanda
dan gejala klinis pada Bell’s palsy berdasarkan lokasi lesinya :
a. Lesi dibawah foramen
stilomastoideus (tumor
kelenjar parotis, trauma) :
Mulut tertarik ke sisi mulut
yang sehat, makanan
terkumpul diantara gigi dan
gusi, sensasi pada wajah
menghilang, tidak ada lipatan
dahi dan mata tidak dapat
menutup pada sisi yang
terkena, atau tidak dilindungi
maka air mata akan keluar
terus menerus.

b. Lesi di kanalis fasialis dan


mengenai nervus korda timpani:
Tanda dan gejala klinis sama
dengan lesi di luar foramen
stilomastoideus, ditambah
dengan hilangnya sensasi
pengecapan pada 2/3 bagian
anterior lidah. Berkurangnya
sekresi saliva akibat terkenanya korda timpani. Terjadi juga hiperaukusis .

c. Lesi di ganglion genikuli: Tanda dan gejala klinis sama dengan dalam kanalis
fasialis dan mengenai muskulus stapedius, disertai dengan nyeri di belakang dan di
dalam liang telinga dan di belakang telinga

d. Lesi di interkranial dan/ atau meatus akustikus internus: Tanda dan gejala klinis
sama dengan lesi di ganglion genikuli, hanya saja disertai dengan timbulnya tuli
sebagai akibat terlibatnya nervus vestibulokoklearis.
 Derajat Bell’s Palsy
 jadi saat diagnosis klinis jangan lupa sebutkan derajat dari brackman
scalenya
Diagnosis

1. Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan

sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah

wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi

oleh korteks sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer

terjadi pada satu sisi wajah. Akut kalau kurang dari 3 minggu

2. Untuk menegakan diagnosis Bell’ Palsy harus ditetapkan dulu adanya

paralisis fasialis tipe perifer. Untuk membuat diagnosis diperlukan beberapa

pemeriksaan.

o Pemeriksaan telinga dan audiometri, ini untuk menyingkirkan adanya

infeksi telinga tengah dan kolestoma.


o Pemeriksaan neurologi dan nervi kraniales. Ini untuk mencari adanya

Ca nasopharing atau tumor pada sudut serebelo pontin.

o Pemeriksaan radiologi pada os temporal dan mastoid untuk mencari

adanya mastoiditis dan fraktur os temporal.

o Pemeriksaan EMG untuk mengetahui kondisi implus listrik pada

nervus.

Inspeksi

Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan

menggunakan sistem House-Brackmann (HBS), metode Freyss atau Yanagihara

grading system (Y-system). Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi

untuk menentukan letak lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius

dan tes gustometri.


Sistem house Brackman (FYI)

Grade HBS Y-
system
Normal, fungsi pada semua area simetris I 40

Sedikit kelemahan pada inspeksi mata, bisa menutup mata II 32-38

dengan penuh dengan sedikit usaha, sedikit asimetris pada

senyuman dengan usaha maksimal, sedikit sinkinesis, tidak ada

kontraktur atau spasme

Kelemahan yang jelas namun tidak merubah penampakan III 24-30

wajah secara statis, tidak mampu mengangkat alis,

penutupan mata yang penuh dan kuat, gerakan mulut yang

tidak simetris pada usaha maksimal, selain itu terdapat

sinkinesis, mass movement atau spasme (walaupun tidak

terlihat saat statis/ menyebabkan disfigurasi)

Kelemahan yang jelas dan menyebabkan disfigurasi, IV 16-22

ketidakmampuan menggangkat alis, penutupan mata yang

tidak penuh dan asimetri mulut dengan usaha maksimal,

sinkinesis yang parah, mass movement, dan spasme

Hanya sedikit gerakan yang mampu dilakukan, penutupan V 8-14

mata yang tidak penuh, sedikit gerakan pada ujung mulut,

sinkinesis, kontraktur, namun spasme umumnya tidak

didapati.
Tidak ada gerakan, tidak ada sinkinesis, kontraktur, maupun VI 0-6

spasme

Pemeriksaan Fisik

1. Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap

untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan

penyebab lain.

2. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi

wajah.

3. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang

terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada

sisi yang terkena memutar ke atas ( ada olgaftalmus)

4. Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien

maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius

yang paralisis.

5. Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang

bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf

kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan

pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.
Diagnosis Banding

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral

dan perifer. Kelainan sentral :

1. Stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan

proses patologis di hemisfer serebri kontralateral. (Hemiparesis)

2. Kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status

atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya.

3. Sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis

atau neuritis optika

4. Trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii,

atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.

5. Terdapat tanda2 fraktus basis cranii

Kelainan perifer :

1. Otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam

kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi.

2. Herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel

yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan

kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster.

3. Sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut.

(pada Bell’s palsy unilateral)


4. Kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa

gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli

bilateral.

5. Tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis

V dan VIII.

6. Tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula).

7. Sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe

hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.

Pemeriksaan Penunjang

1. Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu

dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.

2. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan

untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem

saraf pusat (SSP).

3. Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang

temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis

multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan

kontras saraf fasialis.

4. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970

sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan

kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.


5. Pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih

baik dibandingkan elektroneurografi (ENG).

6. Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15

mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-

value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa

penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP),

pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex

didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral.

7. Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus

didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas

pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada

15,6% kasus.

INGAT !

DIAGNOSIS KLINIS : Bell’s Palsy

DIAGNOSIS ETIOLOGI: idiopatik

DIAGNOSIS TOPIS: bagian cerebri/ saraf yang mengalami lesi

DIAGNOSIS PATOLOGIS : IDIOPATIK


Komplikasi

Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat

yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s

palsy :

(1) Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi sub-optimal yang menyebabkan

paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis.

(2) Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan

pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau

sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal).

(3) Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Re-inervasi yang salah dari saraf

fasialis dapat menyebabkan :

a. Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter,

contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi

platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata.

b. Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah

paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air

mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan.

c. Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara

tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah

saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral

tidak terjadi bersamaan).


Tatalaksana

Algorit

ma

Tatalak

sana

Bell’s

Palsy

(AAN

2001)
Prinsip tata laksana : The goals of treatment are to improve facial nerve
(seventh cranial nerve) function and reduce neuronal damage.

1. Terapi Farmakologis

o Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin

dalam patogenesis Bell’s palsy.

o Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen

dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid,

terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus

dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan.

o Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan

prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral

selama enam hari diikuti empat hari tappering off.

o Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid

jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan,

hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan

tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.

o Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan

preparat antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun,


beberapa percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir

tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid.

o kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama

setelah onset. Namun, hasil analisis menunjukkan tidak adanya

keuntungan signifikan penggunaan antiviral dibandingkan plasebo dalam

hal angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang

lebih baik dengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus

dibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukan untuk

menentukan keuntungan penggunaan terapi kombinasi.

o Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg

per hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10

hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2000-

4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-

10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah

3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari

secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang

ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat

ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.


2. Local Treatment
o Salah satu yang perlu kita perhatikan pada bell’s palsy adalah mata.
o The patient’s eye is at risk for drying, corneal abrasion, and corneal
ulcers.
o Tatalaksana : berikan air mata buatan atau menutup punctum
lacrimal untuk menghindari penguapan berlebihan.
3. Decompresi saraf
o Surgery may be considered in patients with complete Bell palsy that
has not responded to medical therapy and with greater than 90%
axonal degeneration, as shown on facial nerve EMG within 3 weeks
of the onset of paralysis.
Faktor risiko
- Smoking
- Umur yang produktif
- Wanita hamil
Diagnosis banding :
- Stroke
- Trauma
- Ca nasofaring
- Otitis media

Anda mungkin juga menyukai