Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Prevalensi rhinitis alergi terus meningkat pada dekade terakhir, dan menjadi
masalah kesehatan dunia yang harus mendapat perhatian. Hal ini terutama di negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Rinitis alergi sendiri merupakan suatu reaksi
inflamasi hidung yang diperantarai oleh Imunoglobulin E (IgE) akibat mukosa hidung
(1,2)
terpapar allergen. Berdasarkan konsensus Allergic Rhinitis and Its impact on
Asthma (ARIA), rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan gangguan kualitas hidup
dan lama penyakit, yaitu RA ringan intermiten, RA ringan persisten, RA sedang-berat
intermiten, dan sedang-berat persisten. (1)
Diagnosis rhinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis terdapat gejala bersin berulang,
rhinore, hidung tersumbat, hidung dan mata yang gatal terkadang lakrimasi, serta
terdapatnya riwayat atopi dalam keluarga, riwayat gejala alergi lainnya seperti asma
ataupun dermatitis atopi. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa yang
edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak atau
disertai mukosa inferior yang hipertrofi pada gejala persisten. Pemeriksaan penunjang
pada rhinitis alergi berfungsi untuk mencari allergen penyebabnya dengan
menggunakan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal, IPDFT, challenge test. (3)
Penatalaksanaan rhinitis alergi merupakan kombinasi dari 4 (empat) kategori
yaitu 1. Menghindari kontak dengan allergen penyebab dan kontrol lingkungan, 2.
(4)
Farmakoterapi, 3. Imunoterapi, 4. Edukasi kepada pasien dan keluarga. Prognosis
umumnya bonam, namun quo ad sanationam dubia ad bonam bila alergen penyebab
dapat dihindari. (5,6)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi hidung


Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagiannya dari atas kebawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung, 3) puncak hidung (tip), 4) ala nasi, 5)
kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil
yang berfungsi melebarkan dan menyempitkan hidung.Kerangka tulang terdiri dari
1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila, dan 3) prosesus
nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago
nasalis superior, 2) sepasang kartilago nasalis inferior yang disebut kartilago alar
mayor, 3) tepi anterior kartilago septum. (3)
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan
kebelakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Pintu lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut
nares anterior sedangkan pintu lubang masuk kavum nasi bagian belakang disebut
nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang memiliki
banyak kelenjar sebasea dan rambut rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap
kavum nasi memiliki 4 buah dinding yaitu medial, lateral, inferior dan superior. (3)
Dinding medial hidung adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian dari tulang adalah 1) lamina perpendrikularis os etmoid, 2)
vomer, 3) krista nasalis os maksila, dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis), dan 2) kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung. (3)
Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior yang merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, konka media, konka superior, konka suprema
(biasanya rudimenter). Diantara konka dan dinding lateral terdapat rongga sempit
yang disebut meatus, terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior diantara konka

2
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung dimeatus ini
terdapat muara duktus nasolakrimalis, meatus medius terletak diantara konka
media dan dinding lateral rongga hidung dimana pada meatus terdapat muara sinus
frontal, maksila dan etmoid anterior, serta meatus superior yang merupakan ruang
diantara konka superior dan konka media dimana terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid. (3)
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior dibentuk oleh lamina kribriformis yang
memisahkan antara rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang
lubang dimana sebagai tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Dibagian
posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid. (3)
Perdarahan bagian atas rongga hidung didapat dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna.
Perdarahan bagian bawah rongga hidung didapat dari cabang a.maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung a.palatina mayor an a.sfenopalatina dan memasuki rongga
hidung dibelakang ujung posterior konka media. Sedangkan, bagian depan hidung
mendapat perdarahan dari cabang cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum
nasi, terdapat anastomosis dari cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis
superior dan a.palatina mayor dimana anastomosis ini disebut pleksus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach terletak di superfisial yang mudah cedera oleh trauma
sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak anak. (3)
Vena hidung memiliki nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum bermuara ke v. oftalmika dan struktur luar hidung
bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena di
hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi ke intrakranial. (3)
Persarafan sensoris bagian depan dan atas rongga hidung didapat dari
n.etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal dari
n. oftalmikus (N V-1). Rongga hidung lainnya sebagia besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina
selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor
atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menrima serabut saraf sensoris
dari n. maksila (n V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor

3
dan serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina
terletak di belakang dan sedikit diatas ujung posterior konka media. (3)
Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius yang mana saraf ini turun melalui
lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas
hidung. (3)

2.2. Histologi hidung


Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel toraks bersilia,
bertingkat palsu, berbeda beda pada berbagai bagian hidung tergantung pada
tekanan dan kecepatan aliran udara, suhu dan derajat kelembaban. Jadi, mukosa
pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os internum masih
dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tapa silia (lanjutan epitel kulit vestibulum nasi).
Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi toraks, bersilia pendek dan
agak irregular. Submukosa nasal mengandung unsur stroma termasuk fibroblas,
pembuluh darah, kelenjar seromucinous, saraf sensorik, dan leukosit. Leukosit
hadir dalam mukosa hidung termasuk limfosit CD4 + dan CD8 + T, limfosit B,
eosinofil, neutrofil, basofil, sel mast, dan makrofag. Fungsi gabungan dari sel
bersilia dan sekretori memungkinkan pembersihan nasosiliar, menghilangkan
patogen dan alergen sebagai mekanisme pertahanan host. Selain penghalang fisik,
epitelium hidung memainkan peran penting dalam pertahanan kekebalan bawaan
dan yang didapat terhadap patogen dengan mekanisme : (1) mengekspresikan
reseptor pengenalan pola yang mengenali pola molekuler terkait patogen; (2)
mensekresikan gudang besar dari molekul pertahanan host, seperti enzim
antimikroba, opsonin, protein permeabilizing, collectins, dan protein pengikat; dan
(3) memproduksi sitokin inflamasi sebagai respons terhadap rangsangan antigenik.
Alergi mengakibatkan perubahan epitel pada mukosa hidung. Epitel nasal menjadi
lebih tebal pada penderita rhinitis alergi. (10)
Sel meatus media dan inferior terutama menangani arus ekspirasi memiliki
silia yang panjang dan tersusun rapi. Sinus mengandung epitel kubus dan silia
yang sama panjang dan jarak antaranya. Kekuatan aliran udara yang melalui
berbagai lokasi juga mempengaruhi ketebalan lamina propria dan jumlah kelenjar
mukosa. Lamina propria yang tipis pada daerah dimana aliran udara lambat atau
lemah, namun tebal didaerah aliran udara yang kuat. Jumlah kelenjar penghasil

4
secret dan sel goblet yaitu sumber dari lapisan mukus sebanding dengan ketebalan
lamina propria. Lapisan mukus yang sangat kental dan lengket menangkap debu,
benda asing, dan bakteri yang terhirup dan melalui kerja silia benda benda ini
diangkut ke faring, selanjutnya ditelan dan dihancurkan didalam lambung. Lisozim
dan IgA ditemukan pula di dalam lapisan mukus dan melindungi lebih lanjuut
terhadap patogen. Lapisan mucus hidung diperbaharui setiap 3-4 kali disetiap
jamnya. Silia sendiri merupakan suatu struktur kecil mirip rambut bergerak
serempak secara cepat kearah aliran lapisan kemudian membengkok dan kembali
tegak dengan lebih lambat. (7)
Secara mikroskopik pada rhinitis alergi, tampak adanya dilatasi pembuluh
darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus.
Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
(3)

Gambaran demikian terdapat pada saat serangan rhinitis alergi. Diluar


keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi, serangan dapat terjadi
terus menerus / persisten sepanjang tahun. Sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang irreversible yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. (3)

2.3. Fisiologi hidung


Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal yaitu : (3)
Fungsi respirasi, untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam tekanan dan meknisme imunologik lokal. Udara
masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior lalu naik ke atas
setinggi konka media kemudian turun kebawah kearah nasofaring, aliran udara ini
membentuk lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami
humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga
berkisar 37 derajat celcius, hal ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah
dibawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu,
virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring dihidung oleh
rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia serta palut lendir. Debu dan bakteri

5
akan melekat pada palut lender dan partikel besar lainnya akan dikeluarkan oleh
refleks bersin. (3,7)
Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius pada atap rongga
hidung konka superior serta sepertiga bagian atas septum hidung dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu. Partikel bau dapat mencapai daerah
ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. (3)
Fungsi fonetik, berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga terdengar suara sengau (
rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan kata kata. Kata dibentuk oleh
lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara. (3,7)
Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas. (3)
Refleks nasal, mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, pankreas, dan lambung. (3)
Sistem transport mukoslier merupakan sistem pertahanan aktif rongga
hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersama udara. Efektivitas sistem transport mukosilier dipengaruhi oleh kualitas
silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel sel goblet pada epitel
kelenjar seromusinosa submukosa. Bagian bawah palut lendir terdiri dari cairan
serosa sedangkan bagian permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik dan
banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM, dan faktor
komplemen. Sedangkan, cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitpr
lekoprotease sekretotik dan IgA sekretorik (s-IgA). (3)
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mucus penting untuk pertahanan lokal
yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme
dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas,
sedangkan IgG beraksi didalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika
(3)
terpajan dengan antigen bakteri. Lisozim yang terdapat pada lapisan mucus
bersifat destruktif terhadap dinding sebagian bakteri. (7)

6
Pada sinus maksila, sistem transport mukosilier menggerakkan sekret
sepanjang dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus
yang membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah.
Setinggi ostium sekret akan lebih kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk
mencegah tekanan negatif dan berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang
ringan tidak akan menghentikan atau mengubah transport, dan sekret akan
melewati mukosa yang rusak terseut. Tetapi jika sekret lebih kental, sekret akan
terhenti pada mukosa yang mengalami defek. (3)
Gerakan sistem transport mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan
spiral. Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian keatap, dinding
lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posterior menuju resesus
frontal. Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan
pada sinus etmoid terjadi gerakan rectilinear jika ostiumnya terletak didasar sinus
atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah satu dindingnya. (3)
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transport mukosilier. Rute pertama,
merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior dimana
sekret ini biasanya bergabung didekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan
menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka
inferior menuju nasofaring melewati bagian anterior inferior orifisium tuba
eustachius. Transport aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa
pada nasofaring, selanjutnya jatuh kebawah dibantu dengan gaya gravitasi dan
proses menelan. Rute kedua, merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior
dan sfenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada
bagian posterosuperior orifisium tuba Eustachius. (3)
Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan
sekret rute pertama yaitu di inferior dari tuba Eustachius. Sekret pada septum akan
berjalan vertical kearah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu
dibagian inferior tuba Eustachius. (3)

2.4. Definisi

Rhinitis alergi (RA) adalah suatu reaksi inflamasi hidung yang diperantarai
oleh Imunoglobulin E (IgE) akibat mukosa hidung terpapar allergen. (1,2)

7
2.5. Epidemiologi
Prevalensi rhinitis alergi terus meningkat pada dekade terakhir, dan menjadi
(1)
masalah kesehatan dunia yang harus mendapat perhatian. Hal ini terutama di
negara berpenghasilan rendah dan menengah. Apalagi kompleksitas dan keparahan
penyakit alergis, terus meningkat terutama pada anak-anak dan dewasa muda.
Penyakit alergi meliputi anafilaksis yang mengancam hidup, alergi makanan, asma,
rinitis, konjungtivitis, angioedema, urtikaria, eksema, gangguan eosinofilik,
termasuk esofagitis eosinofilik, dan alergi obat dan serangga. Secara global, lebih
dari 400 juta orang menderita rhinitis, 300 juta orang menderita asma, sekitar 200
sampai 250 juta orang menderita alergi makanan, sepersepuluh populasi menderita
alergi obat. Penyakit alergi biasanya terjadi bersamaan pada individu yang sama,
satu penyakit dengan yang lain. (1,8)

Menurut beberapa survei pada pasien rhinitis alergi ditemukan mayoritas


mengalami penyumbatan hidung (85%), diikuti oleh bersin (63%), gatal mata
(60%), rhinorrhea (56%), mata berair (51%) dan gatal hidung (41 %). Di sisi lain,
ditemukan bahwa gejala yang paling sering adalah sumbatan hidung (48,6%),
diikuti oleh rhinorrhea (33,0%), bersin (24,1%), dan hidung gatal (20,3%). Studi
lain yang dilakukan menemukan bahwa rhinorrhea adalah gejala yang paling
umum terjadi pada kelompok atopik (33%), diikuti oleh bersin (33%), sumbatan
hidung (28,8%), hidung dan mata gatal (18,0%) dan gejala mata lainnya. (9)

2.6. Faktor Risiko


 Genetik
Salah satu faktor risiko terkuat adalah adanya penyakit pada anggota
keluarga. Heritabilitas pada rhinitis alergi setinggi 70% sampai 80%. Seperti
banyak penyakit kompleks, tidak ada gen tunggal atau polimorfisme yang
menjelaskan efek herediter pada rhinitis alergi. Setiap gen memiliki beberapa
varietas, masing-masing dengan efek kecil, diyakini berkontribusi terhadap
inisiasi, persistensi, dan keparahan penyakit. (10)
Polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) yang terkait dengan rhinitis
alergi. SNP pada protein pengulang yang mengandung kaya leusin 32
(LRRC32) yang sangat terkait dengan rhinitis alergi. Pada tingkat protein,
LRRC32 diketahui mengatur proliferasi sel T, sekresi sitokin, dan aktivasi TGF-

8
β. TLR memainkan peran penting dalam regulasi kekebalan dan SNP di TLR
yang berbeda telah dikaitkan dengan rhinitis alergi di TLR1, TLR6, TLR10 dan
TLR8. Khususnya, SNP dalam gen yang terlibat dalam presentasi antigen
(misalnya HLA-DQA1), pengenalan patogen (TLR2, TLR7, TLR8),
pensinyalan dan proinflamasi IL (IL13, IL18, dan TSLP) dianggap sebagai
varian kerentanan yang penting untuk rhinitis alergi. (10)
Lingkungan interaksi gen dan efek epigenetic. Mekanisme epigenetik,
yang didefinisikan sebagai perubahan fenotipe atau ekspresi gen yang
disebabkan oleh mekanisme (misalnya metilasi) selain perubahan pada urutan
DNA yang mendasarinya, telah dihipotesiskan membentuk hubungan antara
faktor genetik dan lingkungan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa metilasi
DNA pada anak-anak sangat dipengaruhi oleh faktor risiko penyakit alergi yang
terkenal seperti merokok ibu selama kehamilan dan paparan polusi udara.
Namun, saat ini, tidak diketahui apakah perubahan metilasi ini terkait secara
kausal dengan pengembangan rhinitis alergi dan asma, atau jika "biomarker" ini
hanya merupakan penanda pemaparan. Beberapa penelitian telah secara
meyakinkan menghubungkan profil metilasi dengan AR507-509 dan hasil
terkait IgE, namun penelitian berskala besar belum selesai. (10)
Singkatnya, riwayat keluarga paa rhinitis alergi tetap merupakan faktor
risiko untuk pengembangan penyakit, dan terdapat hubungan kuat telah diteliti
dengan gen yang terlibat dalam aktivasi sel T (misalnya LRRC32) dan
kekebalan bawaan (misalnya, TLR). (10)

 Alergi inhalasi
Rhinitis alergi ditandai dengan hilangnya toleransi imunologis dan klinis
terhadap alergen spesifik. Ini melibatkan produksi IgE yang memulai
peradangan alergi setelah paparan alergen. Oleh karena itu, IgE adalah ciri khas
alergi dan produksinya menentukan sensitisasi. Sensitisasi adalah fenomena
kompleks, diatur oleh faktor genetik dan lingkungan, yang membutuhkan
eksposur primitif terhadap alergen tertentu. Jika subjek tidak pernah terpapar
alergen, sensitisasi terhadap alergen tersebut tidak dapat terjadi. Di sisi lain,
sangat mendasar untuk membedakan antara sensitisasi dan alergi. Alergi, yang
melibatkan perkembangan gejala setelah paparan sensitisasi, berbeda dengan
sensitisasi belaka. Tanpa sensitisasi alergi tidak bisa ada, tapi tidak sebaliknya.

9
Pada bagian ini, paparan in utero dan anak usia dini terhadap alergen inhalan,
termasuk tungau, serbuk sari, bulu binatang, dan alergen jamur, akan dievaluasi
sebagai faktor risiko perkembangan rhinitis alergi. (10)
Tungau, terdapat berbagai penelitian mengenai pemaparan tungau awal
dan perkembangan rhinitis alergi. Sebagian besar penelitian gagal menunjukkan
hubungan antara keterpaparan dini terhadap tungau dan perkembangan rhinitis
alergi. Menurut penelitian, hewan peliharaan mungkin merupakan sumber
tungau karena bulu mereka sering dihuni tungau. Hubungan ini dapat
mengacaukan evaluasi pemaparan tungau dengan perkembangan rhinitis alergi.
Pada akhirnya, penelitian tentang pemaparan tungau dini dan pengembangan
rhinitis alergi saling bertentangan dan penelitian tambahan diperlukan. (10)
Serbuk sari, penelitian yang membahas dampak paparan serbuk sari awal
pada rhinitis alergi melaporkan tidak ada hubungan dengan alergi
rhinokonjungtivitis. (10)
Bulu binatang, sejumlah penelitian telah mengevaluasi hubungan antara
paparan awal terhadap bulu hewan dan perkembangan rhinitis alergi. Penelitian
dibagi menurut temuan: melaporkan tidak terdapatnya efek pada perkembangan
rhinitis alergi, menunjukkan bahwa keterpaparan dini terhadap hewan
peliharaan merupakan faktor risiko rhinitis alergi. Faktor tambahan harus
dipertimbangkan: usia hewan peliharaan, jenis kelamin, dan spesies, jumlah
hewan peliharaan, karakter rumah, predisposisi atopik pemilik hewan
peliharaan, dan lain-lain. Dengan mempertimbangkan variabel kompleks ini,
perdebatan mengenai pengaruh paparan dini terhadap penyakit alergik masih
(10)
belum terselesaikan.
Alergen jamur, tingkat kelembaban rumah yang berhubungan erat dan
positif dengan kehadiran alergen jamur di rumah, mungkin merupakan faktor
pengganggu dalam menafsirkan bukti pemaparan jamur dan rhinitis alergi.
Kelembaban sekitar mungkin merupakan faktor risiko intrinsik, namun
kelembaban tinggi juga terkait dengan peningkatan tingkat tungau, karena
tungau tumbuh dengan adanya kelembaban tinggi. Kelembaban dapat dengan
mudah dinilai baik dengan pengukuran langsung dengan hrometer dan secara
tidak langsung dengan mengamati adanya bintik-bintik cetakan pada dinding.
(10)

Singkatnya, relevansi klinis eksposur inhalasi alergen dini terhadap

10
perkembangan rhinitis alergi masih diperdebatkan. Meskipun ada beberapa
ulasan mendalam dan kumpulan literatur yang berkembang, tidak ada konsensus
pasti dan pasti mengenai manfaat risiko keterpaparan alergen inhalasi dini, dan
penelitian lebih lanjut disambut untuk memenuhi kebutuhan yang tidak
terpenuhi dalam masalah ini. (10)

 Alergi makanan
Dalam beberapa penelitian, sensitisasi awal terhadap alergen makanan
telah dikaitkan dengan perkembangan rhinitis alergi di masa kanak-kanak.
Metaanalisis yang dilakukan mendapatkan hasil bahwa sensitisasi makanan
dalam 2 tahun pertama kehidupan dikaitkan dengan peningkatan risiko rhinitis
alergi selama masa kanak-kanak. (10)
Sensitisasi makanan lebih sering terjadi pada anak-anak yang
diperkenalkan pada makanan padat. Pada ibu yang menghindari susu sapi, telur,
dan kacang tanah selama trimester terakhir kehamilan dan menyusui, serta
meminta bayi untuk menghindari susu sapi sampai usia 1 tahun (dalam kasus
penghilangan hidrolisat sebelum usia 1), telur sampai usia 2 tahun, dan kacang
tanah dan ikan sampai umur 3 tahun. Dibandingkan dengan ibu bayi yang
mengikuti praktik pemberian makanan standar, bayi di kelompok penghindaran
makanan menunjukkan penurunan yang signifikan dalam tingkat alergi
makanan dan sensasi susu sebelum usia 2 tahun. Namun, pada usia 7 tahun,
prevalensi alergi makanan tidak lagi berbeda antara dua kelompok tersebut.
Selain itu, tidak ada perbedaan tingkat rhinitis alergi, dermatitis atopik, asma,
dan penyakit atopik lainnya pada usia 7 tahun. (10)

 Polusi
Hubungan antara polusi dan rhinitis alergi telah mendapat perhatian yang
meningkat selama dekade terakhir. Polutan udara lingkungan mengandung
beberapa senyawa. Namun, sebagian besar penelitian terutama berfokus pada
materi partikulat <10 μm (PM10), partikel <2,5 pm (PM2.5), nitrogen dioxide
(NO2), sulfur dioxide (SO2), karbon monoksida (CO), dan ozon (O3). Partikel
ini dapat mempotensiasi atopi melalui beberapa mekanisme, termasuk melukai
epitel nasal, mengubah respons kekebalan tubuh, dan meningkatkan

11
alergenisitas antigen tertentu. Misalnya, polusi dapat merusak mukosa hidung
dan mengganggu mucociliary clearance, sehingga memudahkan akses alergen
yang terhirup ke sel-sel sistem kekebalan tubuh. Selain itu, partikel udara,
termasuk knalpot bahan bakar diesel, juga mampu membawa alergen, sehingga
berpotensi meningkatkan penyebaran alergen atau durasi paparannya. Dalam
penelitian provokasi hidung, partikel knalpot diesel menyebabkan peningkatan
degenerasi sel mast dan meningkatkan tingkat keparahan gejala rhinitis. (10)
Beberapa studi pediatrik telah mengidentifikasi terdapat korelasi positif
antara meningkatnya paparan berbagai polutan dan peningkatan diagnosis
rhinitis alergi selama masa kanak-kanak. Di banyak negara, orang yang tinggal
di daerah yang lebih terpolusi dengan tingkat lalu lintas yang tinggi juga
cenderung memiliki fitur perancu lainnya. yang mempengaruhi perkembangan
rhinitis alergi mereka (yaitu status sosioekonomi [SES], terpapar aeroallergens
yang berbeda). (10)

 Merokok
Rhinitis alergi sering dikaitkan dengan paparan rokok aktif dan pasif
(bekas pasif). Namun, patofisiologi di balik hubungan ini rumit dan kadang
bertentangan. Studi telah menunjukkan bahwa paparan asap tembakau dapat
menyebarkan perkembangan penyakit atopik melalui beberapa mekanisme
termasuk kerusakan permukaan langsung pada mukosa hidung, meningkatkan
mekanisme epigenetik melalui asetilasi histon, ekspresi mikroorganisme, dan
metilasi DNA. nikotin dapat memberikan efek imunosupresif pada penyakit
alergi dengan menekan peradangan eosinofil dan respons sitokin / kemokin
Th2. (10)
Meta-analisis dipublikasikan yang berusaha untuk lebih mendefinisikan
hubungan antara tembakau dan rhinitis alergi. Saulyte dkk mengidentifikasi
korelasi yang signifikan antara paparan asap pasif dan perkembangan AR,
namun tidak ada hubungan yang signifikan antara merokok aktif atau paparan
asap pasif prenatal ibu dan AR. Namun, mereka menemukan korelasi yang
signifikan antara merokok aktif dan rhinitis non-alergi / kronis. Hur et al. juga
secara sistematis mengevaluasi hubungan antara asap rokok bekas dan rhinitis
alergi dimana metaanalisis penelitian pada orang dewasa menunjukkan
hubungan antara asap pasif dan rhinitis alergi. Hal ini menimbulkan

12
kemungkinan bahwa efek atopik perokok pasif pada mukosa hidung mungkin
memerlukan waktu beberapa tahun untuk mewujudkannya. Lin et al.
menemukan bahwa orang dewasa alergi lebih mungkin terkena asap rokok 20
tahun sebelumnya bila dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak alergi.
Beberapa penelitian lainnya justru menunjukan bahwa tidak terdapatnya
korelasi antara tembakau dengan rhinitis alergi, serta tidak ditemukannya
hubungan antara perbedaan keberhasilan pengobatan rhinitis alergi pada pasien
perokok aktif atau pasif dibanding dengan pasien yang tidak merokok aktif atau
pasif. (10)

 Sosial ekonomi
Dalam sebuah penelitian terbaru dari Denmark terhadap 9720 anak yang
lahir antara tahun 1994 dan 2006, rhinitis alergi dikaitkan dengan tingkat
pendidikan orang tua yang rendah. Menariknya, dalam tindak lanjut studi kohort
kelahiran MAS Jerman, sosial ekonomi tidak dikaitkan dengan rhinitis alergi
sama sekali. Baru-baru ini, 2 studi dari Korea telah menegaskan kembali
hubungan yang dicatat sebelumnya antara sosial ekonomi dan pengembangan
rhinitis alergi. Beberapa penelitian menemukan hubungan positif antara
pendapatan keluarga yang lebih tinggi dan diagnosis rhinitis alergi berbasis
gejala (tapi bukan diagnosis AR berbasis tes alergi). (10)
Secara keseluruhan, sosial ekonomi kemungkinan merupakan faktor risiko
untuk berbagai eksposur seperti jumlah saudara kandung, infeksi virus, paparan
asap tembakau, kondisi perumahan dan lokasi, eksposur alergen, faktor
makanan, dan nutrisi termasuk menyusui dan diet. Beberapa eksposur tersebut
terkait dengan hipotesis kebersihan, yang berdasar pada penelitian sebelumnya.
Eksposur yang relevan dengan hipotesis kebersihan merupakan prediktor
penting untuk pengembangan rhinitis alergi pada usia dini. (10)

 ASI
Baru-baru ini, tinjauan sistematis dan meta analisis pada tahun 2015
menganalisis hubungan antara menyusui dan rhinitis alergi, penurunan risiko
rhinitis alergi pada pasien berusia di bawah 5 tahun dikaitkan dengan pemberian
ASI. Namun, tidak ada asosiasi setelah usia 5 tahun. Beberapa pendapat
menyatakan untuk mendapatkan manfaat menyusui dalam pencegahan rhinitis

13
alergi, mereka mengetahui bahwa efek perlindungan ASI yang terlihat pada
pasien berusia kurang dari 5 tahun mungkin telah dikacaukan oleh efek
perlindungan ASI terhadap infeksi saluran pernafasan virus. Para penulis
berhipotesis bahwa, mengingat sulitnya membedakan antara rhinitis alergi dan
rhinitis virus pada anak kecil, pengurangan infeksi pernapasan virus mungkin
dapat diinterpretasikan sebagai pengurangan gejala rhinitis. (10)

 Paparan hewan
Paparan hewan peliharaan memperburuk gejala rhinitis alergi. Dalam
analisis gabungan dari penelitian di Eropa, kepemilikan hewan peliharaan
berbulu selama 2 tahun pertama dikaitkan dengan risiko sensitisasi yang lebih
rendah terhadap aeroalergen, namun tidak dengan penurunan prevalensi rhinitis
di masa kanak-kanak. Tidak ada bukti bahwa penghindaran hewan peliharaan
pada masa kanak-kanak mencegah pengembangan rhinitis alergi atau sensitisasi
untuk aeroallergen di kemudian hari. Sebagai alternatif, paparan awal hewan
peliharaan dapat menyebabkan toleransi kekebalan dan dengan demikian
mengurangi kemungkinan pengembangan penyakit alergi. (10)

2.7. Etiologi
Etiologi rhinitis alergi merupakan multifactorial dimana meliputi interaksi
antara faktor genetik dan faktor lingkungan.

2.8. Patogenesis
Rhinitis alergi melibatkan antibody reaginik. Basophil, sel mast, dan
pelepasan zat mediator seperti histamin, prostaglandin, dan leukotrien yang pada
gilirannya bekerja pada saluran hidung dan menimbulkan manifestasi klinis. (7)
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikui dengan tahap provokasi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)
yang berlangsung dari sejak kontak dengan alergi sampai 1 jam setelahnya serta
Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan punak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. (3)

14
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cell / APC) akan
menangkap allergen yang menempel dipermukaan hidung, dimana allergen yang
masuk dibagi menjadi 4 yaitu allergen inhalan (yang masuk bersama udara
pernapasan misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang,
serta jamur), allergen ingestan (yang masuk ke saluran cerna berupa makanan
misalnya susu sapi, telur, kacang kacangan, coklat, ikan laut, udang kepiting),
allergen injektan (yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya penisilin
dan sengatan lebah), serta allergen kontaktan (yang masuk melalui kontak kulit
atau jaringan mukosa misalnya bahan kosmetik, perhiasan). Setelah diproses
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompactibility Complex) yang kemudian dipresentasikan ke se T helper (Th
0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang
akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan 2. Th 2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. IL 4 dan IL 13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel
mastosit atau basophil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses
ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. (3)
Bila mukosa yang telah tersensitisasi terpapar allergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Preformed mediators) terutama histamin. Selain histamin, juga
dikeluarkan Newly mediators antara lain prostaglandin D2, Leukotrien D4,
Leukotrien C4, bradikinin, platelet activating factor dan berbagai sitokin seperti
IL3, IL4, IL5, IL6, Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor atau GM-
CSF, dan lain lain dimana hal ini lah yang disebut reaksi cepat. (3)
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain seperti hidung tersumbat
adalah akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf

15
vidianus, histamin juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga
terjadi pengeluaran intracellular adhesion molecule 1 (ICAM 1). (3)
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrophil di jaringan target. Respon ini
akan berlanjut sehingga gejalapun akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL, ini ditandai dengan peanambahan jenis dan
jumlah sel inflamasi seperti eoosinofil, limfosit, neutrophil, basophil, dan mastosit
di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan GM-CSF
serta ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya
seperti eosinophillic cationic protein atau ECP, eosinophillic derived protein atau
EDP, major basic protein atau MBP, eosinophillic peroxidase atau EPO. Pada fase
ini selain , selain faktor sepsifik yaitu allergen, iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi. (3)
Faktor genetik untuk produksi antibodi IgE adalah hal yang paling penting.
Sebagai respon terhadap antigen yang masuk ke dalam selaput lendir, zat anti IgE
diproduksi di mukosa hidung dan jaringan limfatik regional. Sebagian antigen
penyebabnya adalah antigen inhalasi, seperti dermatophagoides (antigen utama
pada debu rumah), serbuk sari (pohon, rumput, dan gulma), jamur, dan hewan
peliharaan. Dari antigen tersebut, dermatophagoides dan serbuk sari paling umum
terjadi. Pada individu yang peka, antigen yang dihirup melalui mukosa hidung
melewati sel epitel mukosa hidung untuk mengikat antibodi IgE pada sel mast
yang didistribusikan melalui mukosa hidung. Sebagai respon terhadap reaksi
antigen-antibodi, mediator kimiawi, seperti histamin dan leukotrien peptida (LTs),
dilepaskan dari sel mast. Ini merangsang ujung saraf sensorik dan pembuluh darah
mukosa hidung menyebabkan bersin, radang paru-paru, dan pembengkakan
mukosa hidung (penyumbatan hidung). Dimana hal ini adalah reaksi fase awal.
Berbagai sel inflamasi, seperti eosinofil teraktivasi, masuk ke dalam mukosa
hidung yang terpapar antigen dalam menanggapi sitokin, mediator kimia, dan
kemokin. Leukotrien, diproduksi oleh sel-sel inflamasi ini, menyebabkan
pembengkakan mukosa hidung. Hal ini merupakan reaksi fase akhir, terlihat pada
6-10 jam setelah paparan antigen. (17)
Pembengkakan mukosa hidung disebabkan oleh edema interstisial pada

16
mukosa hidung, akibat kebocoran plasma, dan kemacetan pembuluh mukosa
hidung. Tindakan langsung mediator kimiawi, seperti histamin, PAF, prostaglandin
D2, kinin, dan khususnya leukotrien. Leukotrien dilepaskan dari infiltrasi sel-sel
inflamasi, terutama eosinofil, memainkan peran utama dalam pembengkakan
mukosa hidung, diamati pada fase akhir. Dengan demikian, reaksi fase awal
rhinitis alergi disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi tipe-IgE antibodi.
Kemudian, infiltrasi sel inflamasi menginduksi reaksi fase akhir. Iritasi antigen
kontinyu menyebabkan lesi kronis. (17)
Bersin disebabkan oleh iritasi histamin terhadap saraf sensorik (saraf
trigeminal) pada mukosa hidung kemudian diteruskan ke pusat bersin medulla
oblongata. Efek iritan histamin pada saraf sensorik ditingkatkan oleh alergi
(17)
sehingga menyebabkan bersin. Selain itu, iritasi saraf sensorik pada mukosa
hidung akan menyebabkan rangsangan pada saraf parasimpatis, menimbulkan
refleks bersin. Acetylcholine dilepaskan dari saraf parasimpatis. Histamin bertindak
langsung pada pembuluh mukosa hidung untuk menyebabkan kebocoran plasma.
Namun, ini hanya menyumbang 10% dari rhinore. Kebanyakan rhinorrhea
disekresikan dari kelenjar hidung. (17)

2.9. Klasifikasi
Berdasarkan konsensus Allergic Rhinitis and Its impact on Asthma (ARIA),
rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan gangguan kualitas hidup dan lama
penyakit, yaitu RA ringan intermiten, RA ringan persisten, RA sedang-berat
intermiten, dan sedang-berat persisten. (1)

2.9.1.1. Berdasarkan lamanya gejala


A. Intermitten
Bila gejala kurang dari 4 hari per minggu atau kurang dari 4 minggu. (3)

B. Persisten / menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari per minggu dan lebih dari 4 minggu. (3)

17
2.9.1.2. Berdasarkan tingkat keparahan gejala
A. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, dan hal hal lain yang mengganggu. (3)

B. Sedang-berat
Bila ditemukan satu atau lebih dari gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal hal lain yang
mengganggu. (3)

2.9.1.3. Rinitis alergi secara tradisional terbagi menjadi


A. Rhinitis musiman, paling sering disebabkan oleh alergen luar ruangan
seperti serbuk sari atau jamur. (2)
B. Rhinitis sepanjang tahun, paling sering, meski tidak harus, disebabkan
oleh alergen dalam ruangan seperti tungau debu rumah, jamur, kecoak, dan
bulu binatang. (2)
C. Rhinitis pekerjaan. Rhinitis kerja adalah kondisi peradangan pada mukosa
hidung, ditandai dengan hidung tersumbat yang intermiten atau persisten,
bersin, rhinore, gatal, dan / atau persemakmuran karena sebab dan akibat
yang diakibatkan oleh lingkungan kerja tertentu, dan bukan pada
rangsangan yang terjadi di luar tempat kerja. Rhinitis kerja dianggap
sebagai bentuk "rhinitis terkait pekerjaan", yang juga mencakup rhinitis
yang diperburuk dengan kerja, yang merupakan rekombinasi sebelumnya
atau rhinitis bersamaan yang diperburuk oleh eksposur di tempat kerja (2,10)

2.10. Manifestasi klinis


Riwayat klinis merupakan bagian penting dari evaluasi pasien dengan
dugaan diagnosis AR. Riwayat termasuk jenis gejala yang dialami, waktu dan
durasi gejala, frekuensi gejala, paparan lingkungan yang menimbulkan gejala di
rumah / pekerjaan / sekolah, dan obat-obatan atau tindakan lain yang meringankan
atau memperburuk gejala. Selain itu, riwayat kesehatan masa lalu termasuk kondisi
komorbid seperti asma atau apnea tidur obstruktif, riwayat keluarga gangguan
atopik, riwayat sosial (yaitu hewan peliharaan, eksposur kerja, lingkungan rumah),
dan pengobatan saat ini. Informasi mengenai respons pasien terhadap pengobatan

18
sendiri dengan obat bebas untuk juga membantu. (10)
Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang
sebagai akibat dilepaskannya histamine, gejala lainnya berupa keluar ingus (rinore)
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata yang gatal dimana
kadang disertai air mata yang banyak keluar (lakrimasi). Gejala yang timbul
seringkali tidak lengkap. (3)
Pasien mungkin mengeluhkan gejala tambahan terkait mengi atau batuk
(penyakit saluran napas aktif dan / atau asma), hyposmia atau anosmia, pernapasan
yang tidak teratur, kongesti aural atau pruritus, dan sakit tenggorokan. Umumnya,
pasien dengan rhinitis yang akan hadir dengan banyak keluhan, dengan 96% hadir
dengan 2 atau lebih gejala. Pasien dengan persisten rhinitis alergi cenderung
melaporkan lebih banyak gejala kongestif (tekanan sinus, nasal block-age /
congestion, dan mendengkur), sakit tenggorokan, batuk, bersin, rhinorrhea, dan
tetesan postnasal dibandingkan pasien dengan intermitten rhinitis alergi. Riwayat
pasien dikombinasikan dengan pemeriksaan fisik dapat meningkatkan akurasi
diagnostik. (10)
Pemeriksaan fisik rhinitis alergi harus dilakukan secara menyeluruh dapat
termasuk auskultasi paru-paru, mengingat kondisi komorbid asma, atau keluhan
mengi atau batuk akibat paparan. Bukanlah hal yang aneh jika pemeriksaan fisik
pasien dengan keluhan rhinitis alergi benar-benar normal, terutama pada pasien
dengan terpapar intermiten. Selain itu, perlu diperhatikan adanya allergic salute,
yaitu gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya karena gatal. Pada
wajah perhatikan adanya allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan
berhubungan dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung, nasal crease yaitu lipatan
horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah bagian bawah hidung akibat
kebiasaan menggosok hidung keatas dengan tangan, mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Pemeriksaan mata bisa menunjukan
eritema konjungtiva dan / atau chemosis. Pemeriksaan telinga dapat menunjukan
membran timpani yang perforasi atau cairan transudatif. Pada pemeriksaan faring:
dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance),
serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue). (3,5,6,10)

19
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior: mukosa edema, hipertrofi konka
inferior, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide), disertai adanya sekret encer,
tipis dan banyak. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis,
pada rhinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat terlihat adanya
deviasi atau perforasi septum. 
Pada rongga hidung dapat ditemukan massa
seperti polip dan tumor, atau dapat juga ditemukan pembesaran konka inferior
yang dapat berupa edema atau hipertropik. Dengan dekongestan topikal, polip dan
hipertrofi konka tidak akan menyusut, sedangkan edema konka akan menyusut.
(3,5,6,10)

2.11. Pemeriksaan penunjang


2.11.1. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukan nilai normal kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit. Pemeriksaan sitologi hidung
dari sekret hidung atau kerokan mukosa hidung walaupun tidak dapat
menegakkan diagnosis tetapi dapat berguna sebagai pelengkap dimana bila
ditemukan eosinofil menunjukan adanya kemungkinan alergi inhalan, jika
ditemukan basofil menunjukan adanya kemungkinan alergi makanan, sedangkan
jika ditemukan sel PMN menunjukan kemungkinan adanya infeksi bakteri. (3)
Ig-E spesifik (sIgE) mulai tersedia secara komersial pada tahun 1967
dengan pengujian yang bergantung pada radioaktif anti-IgE untuk label IgE
dalam serum. Teknik radioaktif ini, yang dikenal dengan radioallergosorbent
test (RAST), sebagian besar telah diganti dengan teknologi lain yang
menggunakan reaksi berbasis enzimatis untuk menghasilkan reaksi
chemiluminescent, kolorimetrik, atau fluorimetri yang diukur atau "dibaca" oleh
autoanalyzer. Prosesnya yaitu alergen terikat pada substrat (biasanya dalam
bentuk fase padat atau cair) dimana serum pasien ditambahkan. Serum
imunoglobulin pada serum pasien kemudian mengikat alergen pada substrat.
Antibodi anti-IgE sintesis yang diberi tanda oleh penanda kemudian ditambahkan
dan mengikat sigg yang sesuai yang tidak bergerak. Kelebihan antibodi antiIgE
kemudian dicuci dan autoanalyzer membaca intensitas reaksi radioaktif,

20
chemiluminescent, kolorimetri, atau fluorimetrik. Intensitas reaksi sebanding
dengan jumlah sIgE dalam serum menunjukan hasilnya. (10)
Serum sIgE memiliki beberapa manfaat diantaranya keamanan pengujian
serum sIgE adalah yang terbaik dari semua tes alergi yang ada karena tidak ada
risiko anafilaksis, pengujian sIgE juga dapat digunakan pada pasien dengan
kondisi medis tertentu sehingga pengujian kulit dikontraindikasikan atau
berpotensi terkena dampak oleh obat atau kondisi kulit sedangkan pengujian sIgE
merupakan pilihan yang aman dan efektif untuk menentukan adanya sensitisasi
sebagai biomarker dari hipersensitivitas yang dimediasi IgE dan mengkonfirmasi
pemicu alergi tertentu. (10)
Terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan antara pengujian kulit dan
pengujian sIgE. Pertama, penelitian menunjukkan bahwa sementara pasien
menerima pengujian alergi in vitro dan in vivo, pengujian kulit mungkin lebih
disukai karena memungkinkan umpan balik segera dan hasil yang terlihat segera.
Kedua, pengujian kulit atau sIgE secara definitif dapat memprediksi keparahan
kepekaan pasien terhadap aeroallergen. Ketiga, alergi alergen dan sensitivitas
poliak dapat membingungkan pengujian kulit dan in vitro, yang menyebabkan
hasil positif palsu. Berbeda dengan pengujian kulit, tes sIgE menggunakan
alergen yang dikontrol dengan kualitas yang lebih ekstensif dan kontrol serum
manusia yang dianalisis. Sedangkan pengujian kulit bergantung pada dokter yang
mengelola dan menginterpretasikan tes tersebut, tes sIgE memiliki koefisien
variasi kurang dari 15% pada survei kecakapan diagnostik atribusi American
Pathologists College. Penelitian telah menunjukkan bahwa pengujian sIgE
memiliki sensitivitas antara 67% hingga 96% dan spesifisitas antara 80% hingga
100% . Pengujian sIgE harus didasari pada riwayat menyeluruh dan pemeriksaan
fisik untuk memastikan adanya terapi alergi bila diperlukan. sIgE adalah
biomarker dari sensitisasi alergi, tes ini saja tidak dapat memberikan diagnosis
alergi yang pasti karena tingginya tingkat tes klinis yang tidak relevan secara
klinis (false-positive) tanpa riwayat klinis indikatif. Berdasarkan literatur,
pengujian sIgE merupakan alternatif pengujian kulit yang dapat diterima dan
aman digunakan pada pasien yang memiliki kontraindikasi untuk pengujian kulit.
(10)

21
2.11.2. In vivo
Pencarian alergen penyebab dapat dilakukan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End Point Titration) dilakukan
untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi
yang bertingkat kepekaannya. (3)
A. Skin Prick Test (SPT)
Skin Prick Test (SPT) dapat digunakan, bersama dengan riwayat dan
pemeriksaan fisik, untuk mengkonfirmasi diagnosis rhinitis alergi dan
membedakan jenis rhinitis non-alergi. Menurut pedoman ARIA, pasien harus
dipertimbangkan untuk imunoterapi antigen (AIT) saat gagal dalam percobaan 2
minggu sampai 4 minggu dengan dosis sedang intranasal kortikosteroid (INCS)
dikombinasikan dengan antihistamin. Ketika antigen diterapkan pada kulit
pasien yang peka, antibodi antigen cross-link IgE pada permukaan sel
kutaneous menghasilkan degranulasi dan pelepasan mediator (termasuk
histamin), yang menyebabkan terbentuknya wheal dan reaksi flare dalam waktu
15 sampai 20 menit. Dengan kedalaman penetrasi yang terbatas, SPT aman
dengan laporan anafilaksis yang sangat jarang dan tidak ada korban jiwa yang
dilaporkan. SPT dapat dilakukan pada semua kelompok usia dan memiliki nilai
khusus pada populasi anak-anak mengingat kecepatan antigen multipel dapat
diterapkan dan ketidaknyamanan terbatas yang dialami selama pengujian.
Kontraindikasi absolut atau relatif terhadap SPT termasuk asma yang tidak
terkontrol atau parah, penyakit diovaskular berat atau tidak stabil, terapi beta-
blocker bersamaan, dan kehamilan. Obat dan kondisi kulit tertentu dapat
mengganggu pengujian kulit. SPT dilakukan dengan lancets dalam berbagai
bentuk. Umumnya, lancets dirancang untuk membatasi kedalaman penetrasi
kulit hingga 1 mm. Namun, jumlah tekanan yang bervariasi yang diterapkan
pada alat pengantaran dapat mengubah kedalaman penularan kulit, yang pada
akhirnya mempengaruhi reaksi kulit terhadap antigen. (10)
Permukaan volar lengan depan dan bagian belakang adalah tempat
pengujian SPT yang paling umum. Pilihan situs diarahkan oleh umur / ukuran
pasien. Pengujian harus diterapkan 2 cm atau lebih besar bila menempatkannya
lebih dekat satu sama lain dapat menyebabkan kontaminasi silang. Setelah 15
sampai 20 menit, hasilnya dibaca dengan mengukur ukuran wheal dengan
diameter terbesarnya. Sebuah wheal 3 mm atau lebih besar dari pada kontrol

22
negatif dianggap positif. (10)
Berdasarkan beberapa penelitian prospektif dan tinjauan sistematis, SPT
telah terbukti menjadi metode pengujian alergi yang aman. Hal ini tidak kalah
dengan pengujian serum atau intradermal dan lebih murah daripada tes serum.
Itu membawa risiko reaksi sistemik, jadi kehati-hatian harus selalu dilakukan.
Hal ini juga terkait dengan beberapa ketidaknyamanan selama pengujian.
Namun, ketidaknyamanan umumnya kurang dari yang dialami selama
pengujian intradermal. Meninjau literatur yang ada, kelebihan manfaat dari
kerugian untuk SPT ada. Oleh karena itu, penggunaan SPT direkomendasikan
dalam situasi dimana diagnosis AR perlu didukung atau pasien dengan dugaan
AR telah gagal dalam terapi medis empiris yang tepat. Perkiraan sensitivitas
yang dikumpulkan (85-88%) dan spesifisitas (77%) untuk SPT. (10)

B. Skin Test Intradermal


Skin test intradermal merupakan suatu cara mendiagnosis rhinitis alergi
dimana dilakukan penempatan protein alergenik di intradermal. Pengujian
intradermal juga telah dijelaskan dalam evaluasi sensitivitas terhadap zat lain,
termasuk agen anestesi lokal, agen penghambat neuromuskular, antibiotik, dan
kontras serta dapat digunakan sebagai modalitas pengujian primer, atau sebagai
tes sekunder setelah SPT. Pengujian diagnostik jenis ini saat ini tidak dianjurkan
dalam praktik rutin. Pengujian intradermal dapat dilakukan dengan cara injeksi
tunggal menggunakan jarum bevel pendek untuk menyuntikkan larutan ekstrak
alergen encer ke dalam dermis superfisial dimana digunakan sekitar 0,02 mL,
yang akan menghasilkan wheal berdiameter 4 mm. Wheal akan melebar sampai
5 mm dengan kekuatan hidrostatik kemudian reaksinya diamati selama 10
menit. Kontrol positif untuk pengujian intradermal adalah histamin dan kontrol
negatif biasanya berupa garam fenolat dan larutan gliserin yang sama dengan
konsentrasi gliserin dalam larutan uji. Jika diameter wheal yang dihasilkan
paling sedikit 7 mm, dan paling tidak 2 mm lebih lebar dari kontrol gliserin, ini
dianggap sebagai tes positif. sulit dilakukan pada anak kecil, dan berisiko tinggi
terkena efek samping. Efek samping parah yang terkait dengan pengujian
intradermal jarang terjadi. (10)
Tes intradermal juga dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa
pengenceran alergen yang sama untuk mengukur tingkat kepekaan terhadap

23
alergen dengan lebih tepat dan menyarankan titik awal untuk imunoterapi.
Sebagai uji diagnostik yang berdiri sendiri untuk rhinitis alergi, perkiraan
sensitivitas untuk pengujian intradermal berkisar antara 60% dan 79%,
sementara perkiraan untuk rentang spesifisitas antara 68% dan 69%. (10)

C. Skin Endpoint Titration atau Intradermal dilution test (IDT)


Skin Endpoint Titration (SET) atau saat ini disebut Intradermal Dilution
Test (IDT) adalah metode pengujian kulit untuk mengetahui adanya penyakit
alergi. IDT dimulai dengan penempatan intradermal sejumlah kecil ekstrak
allergen, bersamaan dengan kontrol yang tepat, diikuti dengan penempatan
pengenceran alergen yang semakin intensif. Tes intradermal juga dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa pengenceran alergen yang sama
untuk mengukur tingkat kepekaan terhadap alergen dengan lebih tepat dan
menyarankan titik awal untuk imunoterapi. Serangkaian pengenceran ekstrak
alergen pekat (biasanya diberikan sebagai larutan 1:20 wt / vol) dapat disiapkan
dengan rasio 1: 5 atau 1:10. (10)
Sejumlah kecil ekstrak alergen diencerkan disuntikkan ke dalam kulit,
ditunggu sepuluh menit kemudian reaksi kulit diperiksa. Prosedur ini diulang
dengan menggunakan dua sampai tiga pengenceran ekstrak, semakin menguat
setiap saat. Pengenceran yang menghasilkan tes positif pertama (yang
didefinisikan sebelumnya pada bagian ini karena wheal paling sedikit 7 mm dan
paling tidak 2 mm lebih lebar dari kontrol gliserin) disebut "titik akhir." Untuk
menetapkan perkembangan, konfirmasi wheal, yang dihasilkan oleh konsentrasi
yang lebih tinggi berikutnya, harus paling tidak 2 mm lebih lebar dari titik akhir
yang dicurigai. Hasil IDT terbukti berkorelasi dengan reaksi biologis terhadap
alergen, seperti pelepasan histamin basofil. (10)

2.12. Diagnosis
Diagnosis rhinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis terdapat gejala
bersin berulang, rhinore, hidung tersumbat, hidung dan mata yang gatal terkadang
lakrimasi, serta terdapatnya riwayat atopi dalam keluarga, riwayat gejala alergi
lainnya seperti asma ataupun dermatitis atopi. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
tampak mukosa yang edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya

24
secret encer yang banyak atau disertai mukosa inferior yang hipertrofi pada gejala
persisten. Pemeriksaan penunjang pada rhinitis alergi berfungsi untuk mencari
allergen penyebabnya dengan menggunakan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal, IPDFT, challenge test. (3)

2.13. Diagnosis banding


Gejala AR mungkin serupa dengan gejala jenis penyakit sinonasal lainnya,
dan terkadang beberapa jenis rinitis dapat hidup berdampingan. Penting untuk
menentukan dengan tepat etiologi rinitis untuk mengobati pasien dengan tepat dan
memiliki kesempatan terbaik untuk menyelesaikan gejala-gejalanya.

2.13.1. Rhinitis vasomotor


Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa
adanya infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat.
Rhinitis digolongkan menjadi non alergi bila adanya alergi / allergen spesifik
tidak dapar diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai. Gejala rhinitis
vasomotor mirip rhinitis alerg tetapi gejala yang dominan adalah hidung
tersumbat bergantian kiri dan kanan tergantung pada posisi. Selain itu, terdapat
rinore yang mukoid, jarang disertai gejala mata. (3,5)

2.13.2. Rhinitis infeksi


Rhinitis yang diakibatkan infeksi baik itu oleh bakteri ataupun virus dapat
diklasifikasikan ke dalam bentuk akut dan kronis. Rhinitis atau rhinosinusitis
yang diakibatkan oleh bakteri terdapat rhinore gelap. Rhinitis virus biasanya
bermanifestasi dalam bentuk akut, dan menyebabkan hingga 98% rinitis
menular pada anak muda. Kejadian rhinitis virus pada anak-anak adalah 6
episode pertahun. Pada rhinitis virus dewasa, kejadiannya adalah 2 sampai 3
episode per tahun. Gejala yang terkait dengan rhinitis virus termasuk rhinorrhea
yang jelas, sumbatan hidung, dan sering, demam. Organisme yang bertanggung
jawab atas rhinitis virus dapat berupa rhinovirus, adenovirus, virus influenza,
dan virus parain-fluenza. Kebanyakan rinitis viral membatasi diri dalam 4
sampai 5 hari, dengan gejala berkepanjangan yang berlangsung lebih lama dari
2 minggu menunjukkan etiologi noninfeksiosa atau beralih ke infeksi bakteri.
Ada beberapa kasus ketika diteruskan rinitis di luar 10 hari dirasakan karena

25
infeksi yang memburuk (yaitu, kemungkinan rinosinusitis superimposed
bakteri) dan pasien ini harus ditangani dengan lebih agresif. Sekitar 2% dari
episode rhinitis virus secara sekunder terinfeksi oleh organisme bakteri seperti
Streptococusus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella
catarrhalis, dengan presentasi infeksi bakteri akut berikutnya. (10)

2.13.3. Rhinitis medikamentosa


Rhinitis medikamentosa merupakan suata kelainan hidung berupa gangguan
respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokontriktor
topical dalam waktu lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan
hidung yang menetap. Gejala rhinitis medikamentosa yaitu hidung tersumbat
terus menerus dan berair dimana pada pemeriksaan tampak edema tau
hipertrofi konka dengan secret hidung yang berlebihan dan bila diberi tampon
adrenalin edema konka tidak berkurang. (3)

2.14. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan RA merupakan kombinasi dari 4 (empat) kategori yaitu 1)
Menghindari kontak dengan allergen penyebab dan kontrol lingkungan, 2)
(10)
Farmakoterapi, 3) Imunoterapi, 4) Edukasi kepada pasien dan keluarga.

2.14.1. Non medikamentosa


Penghindaran allergen, Selain membersihkan, menurunkan kelembaban
dengan humidifier ternyata efektif dalam mengurangi tungau. pertimbangkan
tindakan untuk mencegah inhalasi serbuk sari, untuk alergi hewan peliharaan,
hindari kontak dengan penyebab hewan peliharaan dan menjaga kebersihan
hewan peliharaan.

26
2.14.2. Medikamentosa
Terapi medikamentosa menurut rekomendasi ARIA-WHO 2008 di
antaranya adalah antihistamin oral dan kostikosteroid intranasal. Antihistamin
oral adalah pilihan lini pertama pada rinitis alergi intermiten ringan.Bila pasien
menderita RA persisten sedang-berat, maka diberikan kortikosteroid intranasal
sebagai pilihan utama. (1)

A. Antihistamin oral

Antihistamin oral adalah obat yang menghambat ikatan histamin pada


reseptor H1 histamin pada sel, terutama sel mast. Antihistamin dapat
mengurangi gejala hidung beringus, bersin- bersin, hidung gatal dan gejala pada
mata, namun kurang efektif terhadap gejala hidung tersumbat. Antihistamin
generasi pertama mempunyai efek samping sedatif sehingga jarang digunakan,
memiliki sifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta memiliki efek kolinergik. Dimana yang
termasuk golongan ini adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin sedangkan yang topical azelastin. Antihistamin generasi kedua
lebih disukai penggunaannya karena kurang atau tidak ada efek sedasinya,
bersifat lipofobik sehingga sulit menembus sawar darah otak, bersifat selektif
terhadap reseptor histamine 1 perifer dan tidak memiliki efek antikolinergik,
antiadrenegik, dan efek pada SSP minimal (non sedative). Salah satu obat
antihistamin generasi kedua adalah cetirizine. (1,3)

Antihistamin generasi 1 kekurangan spesifisitas karena ikatan silang juga


terjadi pada reseptor kolinergik, adrenergik, dan serotonergik, yang dapat
menyebabkan mulut kering, mata kering, retensi urin, konstipasi, dan takikardia.
Penggunaan kumulatif antihistamin generasi pertama dengan sifat
antikolinergik yang kuat dikaitkan dengan risiko demensia yang lebih tinggi.
Sebaliknya, antihistamin generasi kedua (misalnya, fexofenadine, cetirizine,
levocetirine, loratadine, desloratadine, ebastine, epinastine, dan bilastine) adalah
lebih spesifik untuk reseptor H1 perifer dan memiliki penetrasi terbatas pada
sawar darah otak, sehingga mengurangi sedasi. (1,3)

27
B. Kortikosteroid oral

Efek antiinflamasi kortikosteroid oral pada rhinitis alergi sudah diketahui


secara pasti dan eksperimental menggunakan model tantangan hidung dan
secara klinis dalam konteks penyakit musiman. Prednisone juga telah terbukti
mengurangi masuknya eosinofil dan tingkat mediator eosinofil (protein dasar
dan neurotoksin yang berasal dari eosinofil) ke dalam sekresi hidung selama
respons fase akhir. Hidrokortisonal 40 sampai 80 mg per hari juga telah terbukti
dapat mengurangi gejala alergi, sedangkan methylprednisolone 6, 12, atau 24
mg PO setiap hari selama 5 hari dalam mengendalikan gejala hidung.
Sedangkan dosis 6 mg dan 12 mg menyebabkan penurunan yang signifikan
pada beberapa gejala (hidung tersumbat, drainase postnasal, dan gejala mata),
dosis 24 mg menghasilkan pengurangan yang signifikan dari semua gejala
(hidung tersumbat, pilek, bersin, gatal, drainase postnasal, dan gejala mata). (10)

C. Dekongestan oral

Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa, bekerja pada reseptor


adrenergik dan menyebabkan vasokonstriksi, Dekongestan oral : pseudoefedrin,
(5)
fenilpropanolamin, fenilefrin. Dapat meringankan keluhan hidung pada
pasien dengan alergi rhinitis. Dengan dekongestan oral, penggunaan
dekongestan hidung bisa dikurangi. Dekongestan oral tersedia untuk digunakan
sendiri atau dikombinasikan dengan antihistamin oral. Pseudoephedrine
menghasilkan perbaikan yang signifikan pada semua gejala pada orang dewasa
dengan rhinitis yang disebabkan alergi. Phenylephrine telah dipasarkan sebagai
obat bebas-over-the-counter (OTC) sebagai pengganti pseudoephedrine.(10)

Efek samping yang diketahui dari golongan obat ini meliputi insomnia,
nervousness, anxiety, tremor, palpitasi, dan peningkatan tekanan darah (BP).
Melihat efek dekongestan oral pada tekanan darah. Penelitian menunjukkan
bahwa fenilpropanolamin secara signifikan meningkatkan tekanan darah sistolik
(SBP) sebesar 5,5 mmHg dan tekanan darah diastolik (DBP) sebesar 4,1 mmHg
tanpa efek terhadap denyut jantung. Pseudoefedrin juga menyebabkan kenaikan
SBP yang kecil sebesar 0,99 mmHg dan denyut jantung (HR) sebesar 2,83
denyut / menit tanpa efek pada DBP. Penggunaan fenilpropanolamin pada

28
wanita merupakan faktor risiko independen untuk stroke hemoragik. Dengan
efek samping kardiovaskular ini, dekongestan oral harus digunakan dengan hati-
hati pada pasien yang sudah berisiko terkena hipertensi dan memiliki gejala sisa
(dari penyakit arteri koroner, penyakit vaskular serebral, hipertiroidisme,
aritmia). Perubahan tekanan darah harus dipantau secara ketat pada saat
menggunakan dekongestan oral.(10)

Selain pemberian medikamentosa oral, pada pasien rhinitis alergi


diperlukan pemberian medikamentosa intranasal yang bersifat topical dan
langsung mengenai target. Diantaranya ialah :

A. Antihistamin intranasal

Intranasal antihistamin memiliki onset yang cepat dan dapat membantu


mengurangi hidung tersumbat. Seperti antihistamin oral, antihistamin
intranasal (INAH) menargetkan reseptor H1. Pada pemberian antihistamin
intranasal terdapat rasa sedasi dan rasa pahit. (11)

B. Kortikosteroid intranasal

Kortikosteroid intranasal merupakan obat yang efektif dalam pengobatan


rinitis alergi dan non-alergi. Konsentrasi kortikosteroid pada mukosa hidung
termasuk dalam kategori tinggi dan mempunyai efek sistemik yang minimal.
Seluruh gejala rinitis alergi termasuk hidung tersumbat dan gejala hidung
dapat dikurangi dengan pemberian kortikosteroid intranasal, serta aman
diberikan dalam jangka panjang. Kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi
yang poten, menghambat respon inflamasi. Kortikosteroid dapat mengurangi
jumlah sel Langerhans, mengurangi infiltrasi eosinofil, menurunkan sitokin
yang dihasilkan oleh sel TH2 seperti IL-3, IL4, IL-13, serta supresi mediator
histamin, triptase, dan leukotrien. (1)

Kortikosteroid intranasal (INCSs) merupakan antiinflamasi kuat yang


mengurangi gejala bersin, gatal, rhinorrhea, dan hidung tersumbat. INCSs juga
bisa mengurangi gejala mata alergi, seperti gatal, robek, kemerahan, dan
bengkak. Kortikosteroid oral dan injeksi pada umumnya tidak dianjurkan
untuk rhinitis alergi karena efek samping dari kortikosteroid yang diberikan

29
secara sistemis. Penggunaan INCS direkomendasikan sesuai. Efek samping
yang umum dari INCSs meliputi kekeringan pada hidung, rasa terbakar,
menyengat, sekresi yang dilapisi darah, dan epistaksis. Pada penggunaan
INCSs diperlukan pemantauan tekanan intraokular, glaukoma, dan katarak,
serta pemantauan pertumbuhan pada anak-anak. (10,11)

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat


respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason furoat dan triamsinolon. (5)

C. Kortikosteroid dan antihistamin intranasal

Kombinasi antihistamin oral dan kortikosteroid intranasal dapat


digunakan untuk terapi rinitis alergi yang dapat menurunkan gejala RA,
namun belum ada data berbasis bukti bahwa terapi kombinasi antihistamin
oral dan kortikosteroid intranasal lebih menguntungkan daripada terapi
tunggal kortikosteroid intranasal pada penderita rinitis alergi. (1)

D. Dekongestan hidung
Terapi topikal dengan dekongestan hidung melalui semprot 
hidung.
Obat yang biasa digunakan adalah oxymetazoli yang merupakan stimulator
adrenergik alfa yang langsung ke jaringan mukosa hidung yang bereaksi
terhadap otot polos vascular sehingga menghasilkan vasokonstriksi dan
pengurangan ketebalan mukosa. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa
xylometazoline nasal merupakan dekongestan yang lebih kuat daripada
kortikosteroid hidung. Dekongestan topikal meringankan gejala kongesti
hidung, namun tidak berpengaruh pada gejala alergi rhinitis lainnya, seperti
bersin, rhinorrhea, atau gatal pada hidung. Dekongestan topikal hanya dipakai
bila hidung sangat tersumbat dan dipakai 2-3 kali sehari selama beberapa hari
(< 2 minggu) untuk menghindari rhinitis medikamentosa. 
(5,10,17)
Rhinitis medicamentosa (RM), suatu kondisi yang diduga akibat
penggunaan dekongestan topikal berkepanjangan, melibatkan peningkatan
kongesti hidung simtomatik, sehingga menghalangi rekomendasi untuk
penggunaan kronis obat ini. Efek samping dari dekongestan topikal terdiri dari

30
hidung terasa terbakar, rasa pedas, rasa kering, epistaksis. (10)

E. Nasal saline
Nasal saline sering digunakan dalam pengobatan rhinitis alergi. Namun,
istilah "saline hidung" mencakup berbagai macam rejimen terapeutik. Ini
dapat mencakup garam hipertonik, garam isotonik / normal, air laut, larutan
buffer atau non-buffer, dan volume bervariasi dari 300 μL sampai 500 mL.
Irigasi hidung juga digunakan dengan frekuensi yang bervariasi. Pada orang
dewasa, penelitian menemukan perbaikan pada hasil klinis dengan
penggunaan berbagai jenis garam pada hidung. Selanjutnya membandingkan
efektifitas cairam hipertonik dengan cairan isotonik, menemukan waktu
pembersihan mukosiliar yang lebih baik dengan cairan isotonic (Nacl 0,9%).
Pada rinitis alergi yang terus-menerus, sifat rheologi lendir ditingkatkan paling
banyak dengan larutan garam isotonik, sehingga memperbaiki clearance
mukosiliar. Telah diketahui bahwa cairan isotonik dengan alkalinitas ringan
memiliki dampak terbesar dalam mengurangi gejala gejala nasal dan lebih
disukai oleh kebanyakan pasien. Secara keseluruhan, penelitian menyimpulkan
bahwa irigasi intranasal lebih baik menggunakan cairan isotonis dimana
penggunaan ini sama efektifnya dengan perawatan farmakologis alergi rhinitis
yang sering digunakan lainnya (yaitu antihistamin hidung, antihistamin oral,
dan lain-lain) dalam pengobatan SAR dan PAR. Meskipun begitu, terapi ini
sering diimplementasikan sebagai terapi tambahan untuk terapi lain termasuk
steroid hidung, semprotan antihistamin, atau anhidistamin oral. Keuntungan
terapi ini ialah biaya yang relatif rendah dan keamanan yang sangat baik. Efek
samping sangat jarang terjadi, mencakup irritasi lokal, sakit telinga, mimisan,
sakit kepala, hidung terasa terbakar, dan kontaminasi botol. (10)

F. Antagonis reseptor Leukotrien (LTRAs)


LTRAs memblokir reseptor cysteinyl leukotriene 1 (CysLT1).
Menghambat leukotrien, mediator inflamasi yang diproduksi oleh sel mast,
eosinofil, basofil, makrofag, dan monosit, yang berkontribusi terhadap gejala
alergi rhinitis. Menekan pelebaran vaskular dan permeabilitas mukosa hidung,
dan memperbaiki penyumbatan hidung. Lebih efektif untuk sumbatan hidung
dibanding antihistamin generasi kedua. Menekan infiltrasi eosinofilik,

31
mengurangi sekresi hidung, mengurangi bersin dan rhinorrhea setelah
pemberian 2 minggu. Efek dicatat pada 1 minggu setelah mulai pemberian
oral, mencapai puncak pada 4 minggu.(11,16)
Montelukast adalah satu-satunya LTRA yang disetujui oleh FDA untuk
pengobatan alergi rhinitis musiman. Montelukast memiliki profil keamanan
yang baik dan telah disetujui untuk pasien berusia 6 bulan atau lebih. Efek
samping yang potensial meliputi infeksi saluran pernapasan bagian atas dan
sakit kepala. Sebanyak 40% pasien dengan alergi rhinitis memiliki asma.
Karena montelukast telah disetujui untuk rhinitis dan asma, pemberiannya ini
dapat dipertimbangkan pada pasien tersebut. (11)

32
Algoritma penatalaksanaan rhinitis alergi berdasarkan pengklasifikasian menurut
ARIA

Algoritma diagnosis dan penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO


Initiative ARIA 2001 (dewasa). (5)

Penatalaksanaan menurut jenis rhinitis


A. Rhinitis musiman
Disarankan kombinasi kortikosteroid intranasal dengan antihistamin H1
oral atau kortikosteroid intranasal saja. (12)
Rhinitis dengan gejala ringan, diberikan antihistamin generasi kedua,
stabilisator sel mast, penghambat sitokin Th2, atau steroid nasal topikal yang
merupakan agen lini pertama. Pada pasien dengan rhinitis sedang dengan
gejala bersin dan tipe rhinore, pilih salah satu dari berikut ini: (i) antihistamin

33
generasi kedua, (ii) stabilizer sel mast, dan (iii) steroid topikal hidung.
Tambahkan (i) atau (ii) dengan (iii) sesuai kebutuhan, sedangkan pada gejala
penyumbatan hidung atau tipe kombinasi, pilih agen dari (i) antagonis reseptor
leukotrien, (ii) antagonis reseptor prostaglandin D2 / tromboksan A2, (iii)
penghambat sitokin Th2, (iv) steroid topikal hidung. Kombinasikan (i) atau
(ii) atau (iii) dengan (iv) sesuai kebutuhan. Pasien dengan rhinitis berat yang
bergejala bersin parah dan rhinore, kombinasikan antihistamin generasi kedua
dengan steroid semprot hidung sedangkan, gejala penyumbatan hidung atau
kombinasi tipe, tambahkan steroid topikal hidung dengan antagonis reseptor
leukotrien atau antagonis reseptor prostaglandin D2 / tromboksan A2. Selain
itu, obat kombinasi yang mengandung antihistamin dan dekongestan oral
cocok untuk jenis ini. Untuk semua kasus, hilangkan dan hindari antigen.
Untuk kasus di mana perawatan dapat dilanjutkan, terapi imun spesifik juga
dapat dipilih. Untuk kasus jenis penyumbatan hidung, di mana efek
farmakoterapi tidak mencukupi, perawatan bedah juga dapat dipilih. (17)
B. Rhinitis sepanjang tahun (perennial), disarankan pengobatan tunggal dengan
kortikosteroid intranasal dan bukan kombinasi kortikosteroid intranasal
dengan antihistamin H1 oral. (12)

2.14.3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. (3)
Tindakan operasi umumnya dilakukan untuk mengoreksi kelainan anatomi
yang dapat memperberat gejala alergi dan menghambat aliran udara hidung atau
penghantaran obat ke mukosa hidung. (4)

2.14.4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak berhasil.
Tujuan dari imunoterapi ini yaitu pembentukan igG blocking antibody dan
penurunan IgE. Terdapat 2 metode imunoterapi yaitu dengan intradermal dan
sublingual. (3)

34
Imunoterapi tunggal atau dikombinasikan dengan terapi lain yang berbeda
dalam mengobati rhinitis alergi. Terapi ini juga efektif untuk konjungtivitis alergi
dan asma alergi dimana dalam pengerjaannya harus dilakukan oleh dokter
spesialis alergi. Hindari penggunaan campuran alergen untuk perawatan.
Gunakan vaksin alergen standar. Secara bertahap meningkatkan alergen untuk
mencapai dosis perawatan. Dosis pemeliharaan optimal mengandung 5-20
mikrogram alergen utama untuk setiap injeksi. Karena risiko anafilaksis,
berespons secara tepat dalam keadaan darurat. Durasi optimal tidak diketahui,
umumnya 3-5 tahun. (17)
Imunoterapi spesifik subkutan (SCIT) telah digunakan sejak dahulu. Efek
yang ditunjukkannya dapat diberikan melalui mekanisme imunologi. Dari
penelitian terfdapat penurunan dari sel mast, keseimbangan Th1 / Th2 berubah,
dan sel T regulator meningkat. Butuh beberapa bulan untuk mendapatkan efek
terapi, serta dibutuhkan injeksi rutin selama 3 tahun. Respons anafilaksis sistemik
dapat terjadi dalam sejumlah kecil kasus. Indikasi terapi ini untuk pengobatan
pasien berusia> 6 tahun, tanpa gejala sistemik yang parah, yang dapat diberikan
adrenalin darurat. Mengecualikan pasien dengan terapi b-blocker atau dengan
asma berat. Sementara terapi ini tidak memiliki efek berbahaya pada wanita
hamil, terapi ini tidak boleh dimulai saat hamil. Lakukan terapi minimal selama 3
tahun. Efek terapeutik sering berlanjut selama beberapa tahun setelah
penghentian pemberian. Bantu pasien untuk melanjutkan terapi.
Sublingual imunoterapi (SLIT), saat ini indikasi untuk SLIT adalah pada
pasien yang telah terkonfirmasi alergen positif terhadap serbuk sari atau tungau
debu oleh reaksi kulit atau IgE spesifik pada pasien berusia 12 tahun atau lebih
tua. Alergen diberikan sebagai cairan atau tablet setiap hari dengan cara eskalasi
dosis paling sedikit selama 2 atau 3 tahun. Kontraindikasi adalah penyakit serius
yang memerlukan penggunaan -blocker, asma yang tidak stabil dimana
diperlukan steroid sistemik, pengobatan dengan obat anti-kanker, penyakit
autoimun berat, atau kasus di mana diasumsikan pengobatan harus dilakukan.
Tidak digunakan pada pasien karena efek sampingnya. Itu tidak bisa dimulai dari
periode dispersi. Inokulasi sublingual harus dihentikan dalam kasus kehamilan,
cedera mulut atau bisul, atau jika diperlukan terapi odonto-berat. Namun, jika
kehamilan terjadi saat terapi ini diberikan, imunoterapi alergen, termasuk injeksi

35
subkutan, umumnya dianggap aman. (17)

2.15. Komplikasi
2.15.1. Konjungtivitis alergi
Alergi konjungtivitis adalah reaksi konjungtiva khas pada rhinitis alergi,
rhinokonjungtivitis atau paparan alergen berikut. Gejala okuler terjadi pada
sebagian besar pasien rinitis. Konjungtivitis leri lebih sering terjadi pada alergen
luar ruangan dibandingkan dengan alergen dalam ruangan. Dalam beberapa
penelitian tentang alergi serbuk sari, konjungtivitis kadang terjadi pada lebih
dari 75% pasien yang menderita rhinitis. Namun, prevalensi hubungan antara
rinitis dan konjungtivitis tidak dapat dengan mudah didefinisikan. Gejala okular
biasanya disebut sebagai konjungtivitis dapat disebabkan oleh agen alergi dan
non-alergi.

2.15.2. Otitis media


Kejadian otitis media sangat erat hubungan- nya dengan gangguan fungsi
tuba Eustachius yang berkaitan dengan tekanan telinga tengah. Obstruksi tuba
Eustachius dapat terjadi secara mekanik, fungsional ataupun keduanya.
Obstruksi mekanik dapat disebabkan oleh (a) faktor instrinsik seperti inflamasi
atau alergi atau (b) faktor ekstrinsik seperti tumor di nasofaring atau adenoid.
Obstruksi fungsional dapat disebabkan oleh kolapsnya tuba oleh karena
meningkatnya compliance tulang rawan yang menghambat terbukanya tuba atau
gagalnya mekanisme aktif pembukaan tuba Eustachius akibatnya buruknya
fungsi m.tensor veli palatina. Hubungan rinitis alergi dan disfungsi tuba
Eustachius, dengan melihat konsep “global airway allergy“ mediator dan
respon inflamasi alergi dapat juga terjadi pada telinga tengah. (13)

2.15.3. Hipertrofi konka

Patogenesis konka hipertrofi terjadi akibat perubahan struktur jaringan


pada saluran nafas yang disebut airway remodeling, berupa hiperplasia sel
goblet, fibrosis subepitel, hipertrofi kelenjar submukosa, penebalan membran
basalis, peningkatan jumlah pembuluh darah dengan kongesti, dilatasi, serta
edema jaringan stroma, dan jumlah sel eosinofil meningkat. (14)

36
2.15.4. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. (3)

2.15.5. Hipertrofi adenoid


Pada anak-anak, hipertrofi adenoid (AH) dan rhinitis alergi (AR) mungkin
menunjukkan gejala yang serupa yaitu sumbatan hidung dan rhinorrhea.
Pembesaran Adenoid paling sering dimulai pada masa bayi, berlanjut sampai
usia 5 sampai 6 tahun pertama dan involutes dengan masa pubertas. Gejala AH
mempengaruhi persentase anak yang tidak diketahui dan dapat menyebabkan
berbagai gejala termasuk sumbatan hidung, drainase hidung, gangguan tidur,
peningkatan episode rinosinusitis, peningkatan infeksi saluran pernapasan yang
lebih rendah, asma yang memburuk, dan disfungsi tuba Eustachius. (10)
Kesimpulannya, ada kecenderungan anak-anak alergi yang dinilai AH
memiliki prevalensi AH lebih tinggi dibandingkan dengan non alergi. Namun,
ketika anak-anak dipilih untuk penyumbatan saluran napas bagian atas dan
kemudian menilai sensitivitas alergi inhalasi, prevalensi sensitivitas alergi yang
terus meningkat tidak ditemukan. Salah satu penjelasan potensial untuk
perbedaan ini adalah bahwa puncak AH yang simtomatik pada anak-anak yang
lebih muda daripada AR anak-anak, dengan kelompok alergi memiliki usia rata-
rata lebih tinggi. Hal ini didukung dalam literatur menemukan hubungan antara
alergi dan AH pada anak usia 8 sampai 14 tahun, namun tidak untuk anak usia 1
sampai 7 tahun. (10)

2.16. Prognosis
Prognosis umumnya bonam, namun quo ad sanationam dubia ad bonam bila
alergen penyebab dapat dihindari. (5,6)

37
2.17. Pencegahan
2.17.1. Pencegahan primer
- Dukung menyusui, dengan makanan padat dari 4-6 bulan dan seterusnya. (15)
- Jangan menghindari paparan alergen lingkungan (makanan, hewan peliharaan),
jika tidak terbukti perlu. (15)
- Memperkuat kekebalan dengan meningkatkan kontak dengan lingkungan alami
(mis. Dengan berolahraga secara teratur dan mengikuti diet sehat). (15)
- Antibiotik hanya boleh digunakan dalam kasus kebutuhan sebenarnya
(sebagian besar mikroba berguna dan membangun fungsi kekebalan tubuh
yang sehat). (15)
- Bakteri probiotik dalam makanan fermentasi atau olahan lainnya dapat
menyeimbangkan fungsi kekebalan tubuh. (15)
- Jangan merokok (merokok orang tua meningkatkan risiko asma pada anak-
anak). (15)

2.17.2 Pencegahan sekunder dan tersier


- Olahraga fisik teratur bersifat antiinflamasi. (15)
- Diet sehat bersifat antiinflamasi (diet Mediterania atau Baltik tradisional dapat
memperbaiki kontrol asma) . (15)
- Bakteri probiotik dalam makanan fermentasi atau olahan lainnya mungkin
bersifat antiinflamasi. (15)
- Peradangan pernapasan / kulit harus diobati secara dini dan efektif; perawatan
perawatan dititrasi untuk kontrol jangka panjang ntuk menghentikan gejala
eksaserbasi secara proaktif, instruksi untuk pengelolaan diri terpimpin. (15)
- Imunoterapi spesifik alergen direkomendasikan untuk gejala yang lebih parah,
misal: alergen seperti itu (untuk makanan) sublingual tablet atau tetes
(sublingual immunotherapy atau SLIT) (untuk serbuk sari) suntikan subkutan
(untuk serbuk sari, hewan peliharaan, tungau, sengatan serangga) . (15)
- Merokok harus benar-benar dihindari (efektivitas asma dan obat alergi
berkurang pada perokok) . (15)

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Pratita N, Madiadipoera T, Ratunanda SS,
 Dermawan A, Boesoirie
SF.


Pengaruh imunoterapi spesifik terhadap adenoid pada pasien rinitis alergi.
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
Bandung. ORLI. 2017 : 47 (1).

2. Brożek JL, Bousquet J, Agache I, Agarwal A, Bachert C, Anticevich SB. Allergic


Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) Guidelines – 2016 Revision. Journal
of Allergy and Clinical Immunology. 2017; h 4.

3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Rhinitis Alergi dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2012.

4. Pitarini AP, Irawati N, Poerbonegoro NL, Wulandari D, Badarsono S. Perubahan


kualitas hidup, eosino l mukosa hidung, dan interleukin-5 serum pasien rinitis
alergi pasca terapi. ORLI. 2015 : 45(2) .

5. Menteri Kesehatan RI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Peraturan Kementerian kesehatan Republik Indonesia. 2014 :
No 5.

6. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di fasilitas


Pelayanan Kesehatan Primer Edisi II. Pengurus Besar IDI. 2014 : No
1530/PBI/A.4/12/2014.

7. Adams GL, Boeis LR, Higler PA. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Ed 6th. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

8. Pawankar R. Allergic diseases and asthma: a global public health concern and a
call to action. Pawankar World Allergy Organization Journal. 2014 : 7(12)/
Available at : http://www.waojournal.org/content/7/1/12.

9. Fauzi, Sudiro M, Lestari BW. Prevalence of Allergic Rhinitis based on World


Health Organization (ARIA-WHO) questionnaire among Batch 2010 Students of
the Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran. Althea Medical Journal. 2015 ;
2(4)

10. Wise SK, Lin SY, Toskala E, Orlandi RR, Akdis CA, Jeremiah,
et al.
International Consensus Statement on Allergy and Rhinology: Allergic Rhinitis.
International Forum of Allergy & Rhinology. 2018 February : 8(2) ; h 138-9.

11. Dykewicz MS, Wallace DV, Baroody F, Bernstein J, Craig T, Finegold I.


Treatment of seasonal allergic rhinitis an evidence-based focused 2017 guideline
update. Ann Allergy Asthma Immunology. 2017.

12. Brożek JL, Bousquet J, Agache I, Agarwal A, Bachert C, Anticevich SB. Allergic

39
Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) Guidelines – 2016 Revision. Journal
of Allergy and Clinical Immunology. 2017 ; h 16.

13. Rambe AYM, Fadhlia, Munir D, Haryuna TSH, Eyanoer PC. Hubungan rinitis
alergi dan disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri. Bagian
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
ORLI. 2013 : 43(1).

14. Zachreini I, Lubis MND,
 Aman AK, Suprihati. Peran reseptor vascular
endothelial growth factor (VEGF) pada konka hipertro disebabkan oleh rinitis
alergi. ORLI.2016 : 46 (2).

15. Haahtela T, Valovirta E, Bousquet J, Makela M, Allergy programme steering


group. The Finnish Allergy Programme 2008–2018 works. Eur Respir J. 2017:
49(1700470). Available at : https://doi.org/10.1183/13993003.00470-2017.

16. Okubo K, Kurono Y, Ichimura K, Enomoto T, Okamoto Y, Kawauchi H.


Japanese guidelines for allergic rhinitis 2017. Allergology International 66. 2017:
h 205-21.

40

Anda mungkin juga menyukai