Pembimbing :
Disusun oleh :
Haya Harareed
1102013125
PENDAHULUAN
Trauma tumpul merupakan penyebab utama cedera saluran kemih.1 Namun, dapat juga
berupa trauma tajam ataupun cedera iatrogenik akibat tindakan dokter pada saat operasi atau
petugas medik yang lain. Pada trauma tajam, baik berupa trauma tusuk maupun trauma tembus
oleh peluru, harus dipikirkan untuk kemungkinan melakukan eksplorasi, sedangkan trauma tumpul
sebagian besar hampir tidak diperlukan tindakan operasi.2Kejadian trauma tumpul pada ginjal
yang bisa bersifat langsung maupun tidak langsung, kira-kira 80-90%.
Cedera pada ureter karena trauma eksternal jarang terjadi, hal ini dikarenakan ureter
terlindungi dengan baik di retroperitoneum oleh tulang panggul, otot psoas, dan tulang belakang.
Kerusakan pada ureter biasanya dihasilkan oleh suatu trauma yang signifikan dan hampir selalu
terjadi kerusakan pada organ lain di abdomen.
Beratnya cedera pada kandung kemih tergantung dari seberapa penuhnya kandung kemih
dan bagaimana mekanisme traumanya. Trauma pada kandung kemih jarang terjadi dikarenakan
letak kandung kemih di dalam struktur tulang panggul. Cedera pada kandung kemih biasanya
dikarenakan trauma yang cukup berat pada panggung yang menyebabkan fraktur dan terdapat
fragmen tulang yang menembus dinding kandung kemih. Trauma pada kandung kemih atau uretra
dapat menyebabkan urin masuk ke dalam rongga peritoneum yang dapat menyebabkan peritonitis,
biasanya disebabkan oleh trauma pada buli yang dalam keadaan penuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Lapisan-
lapisan
pembungkus
ginjal :
1. Bagian
dalam
:
capsula renalis yang berlanjut dengan lapisan permukaan ureter.
2. Bagian tengah : capsula adiposa yang merupakan jaringan lemak untuk melindungi ginjal
dari trauma.
3. Bagian luar : Fascia renalis (jaringan ikat) yang membungkus ginjal dan
menghubungkannya dg dinding abdomen posterior. Jaringan flexibel ini memungkinkan
ginjal bergerak dengan lembut saat diafragma bergerak waktu bernafas, mencegah penyebab
infeksi dari ginjal ke bagian tubuh lainnya.
Anatomi internal ginjal dari dalam keluar, renal pelvis, medulla dan korteks :
1. Renal pelvis merupakan ruang penampung yang besar yang menghubungkan medula dengan
ureter. Renal pelvis Memiliki percabangan yaitu kaliks mayor dan kaliks minor. Masing-
masing ginjal memiliki sekitar 2-3 kaliks mayor dan 8-18 kaliks minor
2. Medulla renalis merupakan bagian tengah ginjal, terdiri dari 8-18 piramida. Bagian apeks
dari piramida adalah papilla . Piramida terdiri dari tubulus dan duktus kolektifus dari nefron.
Tubulus pada piramida berperan dalam reabsorpsi zat-zat yang terfiltrasi. Urin berjalan dari
medulla ke kaliks minor, kaliks mayor dan renal pelvis. Dari renal pelvis urin ke ureter dan
masuk kandung kemih. Satu ginjal memiliki kurang lebih 1 juta nefron.
3. Cortex renalis : paling luar dari ginjal terdiri dari area kortikal dan area juxtamedullari.
Mempunyai kapiler-kapiler menembus medula melalui piramid membentuk renal kolum.
Kolum terdiri dari tubulus ginjal yang mengalirkan urin ke kalliks minor.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat
cortex renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat gelap, dan medulla renalis di bagian
dalam yang berwarna cokelat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk
kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri
dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. (Syaifuddin, 2006).
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya
pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.. Pelvis renalis berbentuk corong yang
menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga calices renalis majores
yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga calices renalis minores.
Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit fungsional
ginjal. Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari : Glomerulus,
tubulus proximal, ansa henle, tubulus distal dan tubulus urinarius
B. Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria.
Panjangnya ± 25-30 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga
abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.
Panjang ureter sekitar 25 cm yang menghantar kemih. Ia turun ke bawah pada dinding
posterior abdomen di belakang peritoneum. Di pelvis menurun ke arah luar dan dalam dan
menembus dinding posterior kandung kemih secara serong (oblik). Cara masuk ke dalam
kandung kemih ini penting karena bila kandung kemih sedang terisi kemih akan menekan dan
menutup ujung distal ureter itu dan mencegah kembalinya kemih ke dalam ureter.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
1. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
2. Lapisan tengah lapisan otot polos
3. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan
peristaltik yang mendorong urin masuk ke dalam kandung
kemih.
C. Vesika urinaria
Vesica urinaria terletak di belakang pubis di dalam cavitas pelvis. Vesica urinaria
berbentuk seperti pyramid. Apeks pyramid ini, arahnya ke depan dan dari situ, terdapat
suatu korda fibrosa, yaitu urakus yang berjalan ke atas menuju umbilicus menjadi
ligamentum umbilikale media. Basis (permukaan posterior) vesica urinaria, berbentuk
seperti segitiga. Pada pria, vesikula seminalis terletak dipermukaan posterior luar vesica
urinaria dan dipisahkan oleh
vas deferens. Pada wanita, diantara rectum dan vesica urinaria, terdapat vagina. Leher
vesica urinaria, menyatu dengan prostat pada pria, dan pada wanita, langsung melekat pada
fasia pelvis.
Trigonum Vesicae Lieutaudi terdapat di bagian basis dari vesica urinaria. Muara
kedua ureter dan permulaan uretra berada pada sudut-sudut trigonum yang berjarak antara
sekitar 2cm. Orifisium uretra internum terletak pada titik terendah vesica urinaria. Bagian-
bagian dari vesica urinaria terdiri dari:
1. Fundus
Yaitu bagian yang menghadap kearah belakang dan bawah, bagian ini terpisah dari
rektum oleh spatium retrovesikale yang terisi oleh jaringan ikat duktus deferent, vesika
seminalis dan prostat.
2. Korpus
Yaitu bagian antara verteks dan fundus, bagian yang runcing kearah muka dan
berhubungan dengan ligamentum umbilikalis. Dinding kandung kemih terdiri dari:
Lapisan sebelah luar (Peritonium), tunika muskalaris (lapisan otot), tunika sub mukosa,
lapisan mukosa (lapisan bagian dalam)
Bagian dalam dari vesica urinaria, terdiri dari, trigonum vescicae, uvula vesicae
(merupakan tonjolan orifisium uretra interna), dan rugae veicae (yang terbentuk jika vesica
urinaria kosong). Vesica urinaria terdiri dari lapisan-lapisan otot. Lapisan otot ini terdiri
dari 3 lapisan otot yangmembentuk trabekula yang disebut otot detrusor. Detrusor menebal
di leher kandung kemih membentuk sfingter vesika.
Miksi atau berkemih proses pengosongan kandung kemih, diatur oleh 2 mekanisme : reflek
berkemih dan control volunter. Reflex miksi terpicu ketika reseptor regang didalam dinding
kandungan kemih teransang .
Kandungan kemih pada orang dewasa dapat menampung hingga 250 sampai 400 ml urin
sebelum tegangan didindingnya mulai cukup meningkat untuk mengaktifkan reseptor regang.
Semakin besar tegangan melebihi ukuran ini, semakin besar tingkat pengaktifan reseptor. Serat-
serat aferan dari reseptor regangan membawa impuls ke medulla spinalis dan akhirnya, melalui
antarneuron, merangsang saraf parasimpatik untuk kandung kemih dan menghambat neuron
motorik ke sfringter eksternus.
Stimulasi saraf parasimpatis kandung kemih menyebabkan organ ini berkontraksi. Tidak
ada mekanisme khusus yang dibutuhkan untuk membuka sfringter internus ; perubahan bentuk
kandung kemih selama kontraksi akan secara mekanis menarik terbuka sfringter internus. Secara
bersamaan , sfringter eksternus melemas karena neuron-neuron motoriknya dihambat. Kini kedua
sfringter terbuka dan urinnya terdorong melalui uretra olah gaya yang ditimbulkan oleh konstraksi
kandungan kemih.
Jika waktu refleks miksi dimulai kurang sesuai untuk berkemih, maka yang bersangkutan
dapat dengan sengaja mencegah pengosongan kandung kemih dengan mengencangkan sfingter
eksternus dan diafragma pelvis. Impuls eksitatorik volunter dari korteks serebri mengalahkan
sinyal inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron-neuron motorik yang terlibat
(keseimbangan relatif PPE dan PPI) sehingga otot-otot ini tetap berkontraksidan tidak ada urin
yang keluar.
Berkemih tidak dapat ditahan selamanya. Karena kandung kemih terus terisi maka sinyal
refleks dari reseptor regang meningkat seiring waktu. Akhirnya, sinyal inhibitorik refleks ke
neuron motorik sfingter eksternus menjadi sedemikian kuat sehingga tidak dapat lagi diatasi oleh
sinyal eksitatorik volunter sehingga sfingter melemas dan kandung kemih secara tak terkontrol
mengosongkan isinya.
Berkemih juga dapat secara sengaja dimulai, meskipun kandung kemih tidak teregang,
dengan secara sengaja melemaskan sfingter eksternus dan diafragma pelvis. Turunnya dasar
panggul memungkinkan kandung kemih turun, yang secara simultan menarik dinding abdomen
dan diafragma pernapasan.
terbuka sfingter uretra internus
dan meregangkan dinding
kandung kemih. Pengaktifan
reseptor regang yang kemudian
terjadi akan menyebabkan
kontraksi kandung kemih melalui
refleks berkemih. Pengosongan
kandung kemih secara sengaja
dapat dibantu oleh kontraksi
dinding abdomen dan diafragma
dinding abdomen dan diafragma pernapasan. Peningkatan tekanan intraabdomen yang
pernapasan. Peningkatan tekanan
ditimbulkannya menekan kandung kemih kebawah untuk mempermudah pengosongan.
intraabdomen yang
ditimbulkannya menekan
kandung kemih kebawah untuk
mempermudah pengosongan.
2.3 TRAUMA TRAKTUS URINARIUS
1) Trauma Ginjal
Pengertian
Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam
rudapaksa baik tumpul maupun tajam.
Trauma ginjal merupakan trauma pada sistem urologi yang paling sering terjadi.
Kejadian penyakit ini sekitar 8-10% dengan trauma tumpul atau trauma abdominal.
Pada banyak kasus, trauma ginjal selalu dibarengi dengan trauma organ penting
lainnya. Pada trauma ginjal akan menimbulkan ruptur berupa perubahan organik pada
jaringannya. Sekitar 85-90% trauma ginjal terjadi akibat trauma tumpul yang
biasanya diakibatkan oleh kecelakaan lalulintas.
Etiologi
Trauma tumpul sering menyebabkan luka pada ginjal, misalnya karena kecelakaan
kendaraan bermotor, terjatuh atau trauma pada saat berolah raga. Luka tusuk pada
ginjal dapat karena tembakan atau tikaman. Kerusakan yang terjadi bervariasi.
Cedera ringan menyebabkan hematuria yang hanya dapat diketahui dengan
pemeriksaan mikroskopis, sedangkan cedera berat bisa menyebabkan hematuria yang
tampak sebagai air kemih yang berwarna kemerahan.
Berikut adalah mekanisme yang umumnya terjadi pada trauma ginjal :
1. Trauma tembus
2. Trauma tumpul
3. Iatrogenik, dan lain-lain
Patofisilogi
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya
pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat
kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat. Trauma tumpul ginjal dapat bersifat
langsung maupun tidak langsung. Trauma lagsung biasanya disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, olahraga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya
menyertai trauma berat yang juga mengenai organ-organ lain. Trauma tidak langsung
misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba-tiba
didalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulse pedikel ginjal
atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis. Ginjal yang
terletak pada rongga retroperitoneal bagian atas hanya terfiksasi oleh pedikel
pembuluh darah serta ureter. Sementara massa ginjal melayang bebas dalam bantalan
lemak yang berada dalam fascia gerota. Fascia gerota sendiri yang efektif dalam
mengatasi sejumlah kecil hematom, tidak sempurna dalam perkembangannya.
Kantong fascia ini meluas kebawah sepanjang ureter, meskipun menyatu pada
dinding anterior aorta serta vena kava inferior, namun mudah untuk sobek oleh
adanya perdarahan hebat sehingga perdarahan melewati garis tengah dan mengisi
rongga retroperitoneal (Guerriro, 1984). Karena miskinnya fiksasi, ginjal mudah
mengalami dislokasi oleh adanya akselerasi maupun deselarasi mendadak, yang bisa
meyebabkan trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada intima arteri
renalis sehingga terjadi oklusi parsial maupun komplet pebuluh darah. Sejumlah
darah besar dapat terperangkap didalam rongga retroperitoneal sebelum dilakukan
stabilisasi. Keadaan ekstern ini sering terjadi pada pasien yang datang diruang gawat
darurat dengan kondisi stabil sementara terdapat perdarahan retroperitonel. Korteks
ginjal ditutupi kapsul tipis yang cukup kuat. Trauma yang menyebabkan robekan
kapsul sehingga menimbulkan perdarahan pada kantong gerota perlu lebih mendapat
perhatian dibanding trauma yang tidak menyebabkan robekan pada kapsul. Vena
renalis kiri terletak sentral aorta sehingga luka penetrans didaerah ini bisa
menyebabkan trauma pada kedua struktur. Karena letaknya yang berdekatan antara
pancreas, duodenum, dan ginjal. Anatomi yang mengalami kelainan sepeti
hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami rupture hanya oleh adanya
trauma ringan (Mc Aninch, 2000).
Manifestasi klinik
Trauma ginjal Pada rudapaksa tumpul dapat ditemukan jejas di daerah lumbal,
sedangkan pada rudapksa tajam tampak luka. Pada palpasi di dapat nyeri tekan,
ketegangan otot pinggang, sedangkan massa jarang teraba. Massa yang cepat meluas
sering ditandai tanda kehilangan darah yang banyak merupakan tanda cedera
vaskuler. Nyeri abdomen pada daerah pinggang atau perut bagian atas. Fraktur tulang
iga terbawah sering menyertai cedera ginjal. Hematuria makroskopik atau
mikroskopik merupakan tanda utama cedera saluran kemih.
Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan
menjadi cedera minor, cedera major dan cedera pada pedikel atau pembuluh darah
ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II),
15% termasuk cedera major (derajat III dan IV), dan 1% termasuk cedera pedikel
ginjal.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Derajat I dan II pada trauma ginjal selalu di tangani secara konservatif.6 pada keadaan ini
dilakukan observasi tanda vital (tensi, nadi dan suhu tubuh), kemungkinan adanya
penambahan massa di pinggang, adanya pembesaran lingkaran perut, penurunan kadar
hemoglobin darah, dan perubahan warna urine pada pemeriksaan urine serial dan
pemberian antibiotik yang tepat. Jika selama observasi didapatkan adanya tanda-tanda
perdarahan atau kebocoran urine yang menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan
tindakan operasi.1,6
OBSERVASI
Secara historis , manajemen bedah pada trauma ginjal derajat III masih kontroversial,
namun bukti saat ini menggunakan pendekatan non-bedah. Pada sebuah studi
observasional multisenter baru-baru ini menunjukkan bahwa manajemen konservatif pada
trauma ginjal derajat IV pada sebagian besar kasus dapat mempertahankan fungsi ginjal
yang diukur dengan dimercaptosuccinic acid renal scintigraphy.6
Pada trauma ginjal derajat V, didapatkan hasil yang buruk dalah hal fungsi ginjal. Trauma
ginjal derajat V selain membutuhkan tranfusi produk darah juga membutuhkan transfusi
trombosit dan kebutuhan cairan untuk intervensi darurat.6 Operasi ditujukan pada trauma
ginjal major dengan tujuab untuk segera menghentikan perdarahan. Selanjutnya mungkin
perlu dilakukan debridement, reparasi ginjal (berupa renorafi atau penyambungan
vaskuler) atau tidak jarang harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total
karena kerusakan ginjal yang sangat berat.1
Komplikasi
Komplikasi dini adalah penyulit yang terjadi empat minggu pertama setelah trauma,
seperti perdarahan, ekstravasasi urin, abses, sepsis, fistel urin, dan hipertensi. Komplikasi
lanjut adalah hipertensi, fistel arteriovena, hidronefrosis, urolithiasis, dan pielonefritis
kronik.1 Jika tidak mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat, trauma major dan trauma
pedikel sering menimbulkan perdarahan yang hebat dan berakhir dengan kematian. Selain
itu kebocoran sistem kaliks dapat menimbulkan ekstravasasi urine hingga menimbulkan
urinoma, abses perirenal, urosepsis, dan kadang menimbulkan fistula reno-kutan.
Dikemudian hari pasca cedera ginjal dapat menimbulkan penyulit berupa hipertensi,
hidronefrosis, urolitiasis, atau pielonefritis kronis.2
2) Trauma Ureter
Sebagian besar trauma ureter (saluran dari ginjal yang menuju ke kandung kemih)
terjadi selama pembedahan organ panggul atau perut, seperti histerektomi, reseksi kolon
atau uteroskopi. Seringkali terjadi kebocoran air kemih dari luka yang terbentuk atau
berkurangnya produksi air kemih.
Terdiri dari dua saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal kekandung
penampang ± 25-30 cm, dengan penampang ± 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada
rongga abdomen dan sebagian terletak pada rongga pelvis.
a) Dinding luar jaringan ikat (Jaringan Fibrosa)
b) Lapisan tengah lapisan polos
c) Lapisan sebelah dalam mukosa.
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik tiap lima menit
sekali untuk mendorong air kemih. Gerakan peristaltik mendorong urine melalui ureter
yang di ekskresikan oleh ginjal dan disemprotkan dalam bentuk pancaran, melalui
osteum uretralis masuk kedalam kandung kemih. Ureter berjalan hampir vertikel
kebawah sepanjang fasia muskulus psoas dan dilapisi oleh peritonium. Penyempitan
ureter terjadi pada tempat ureter meninggalkan pelvis renalis, pembuluh darah, saraf, dan
pembuluh limfe sensorik.
Fisiologi
Ureter memiliki membran mukosa yang dilapisi oleh epitel koloid dan dinding
muskular yang tebal. Urine didorong melewati ureter dengan gelombang peristaltik
yang dapat terjadi sekitar 1-4 kali permenit. Urine memasuki kandung kemih dalam
serangkaian semburan kecil. Pintu masuk yang miring melalui dinding kandung
kemih menjamin bahwa ujung bagian bawah tertutup selama miksi dengan kontraksi
kandung kemih, sehingga mencegah refluks urine kembali ke ureter dan mencegah
penyebaran infeksi dari kandung kemih keatas.
Pengertian
Trauma ureter ialah trauma yang disebabkan oleh rudapaksa tajam maupun tumpul
dari luar ataupun iatrogenik terutama pada pembedahan rektum, uterus, pembuluh
darah panggul, atau tindakan endoskopik (SjamsuhidajatWin De Jong.R. 1997).
Etiologi
Menurut Sjamsuhidajat Wim De Jong.R. 1997. penyebab trauma ureter adalah:
a. Rudapaksa tajam atau tumpul
b. Iatrogenik
c. Tindakan endoscopic
Patofisiologi
Pada cedera ureter akibat Rudapaksa tajam biasanya ditemukan hematuria
mikrosikopik pada cedera ureter bilateral terdapat peningkatan kadar ureum dan
kreatinin darah. Pada umumnya tanda dan gejala klinik tidak perlu sfesifik.
Hematuria menunjukan cedera pada saluran kemih. Bila terjadi ekstravasasi urine
dapat timbul urinom, fistel uretro-kutan melalui luka atau tanda rangsang peritonium
dan menyebabkan peritonitis. Hematuria terjadi akibat robeknya pembuluh darah
disekitar ureter. Bila cedera ureter disebabkan oleh Rudapaksa tumpul, gejalanya
sering kurang jelas sehingga diagnosa sering tertunda. Pada cedera bilateral
ditemukan anuria.
Klasifikasi
Manifestasi Klinis
Gejala biasanya tidak spesifik dan bisa timbul demam atau nyeri. Pada umumnya
tanda dan gejala klinik umumnya tidak spesifik yaitu :
a) Hematuria menunjukkan cedera pada saluran kemih.
b) Bila terjadi ekstravasasi urin dapat timbul urinom pada pinggang atau abdomen,
fistel uretero-kutan melalui luka atau tanda rangsang peritoneum bila urin masuk
ke rongga intraperitoneal.
c) Pada cedera ureter bilateral ditemukan anuria.
Pemeriksaan Diagnostic
Pemeriksaan diagnostik yang biasanya dilakukan adalah urografi intravena, CT scan
dan urografi retrograd. Jika trauma ureter terjadi akibat pembedahan, maka dilakukan
pembedahan lainnya untuk memperbaiki ureter. Ureter bisa disambungkan kembali
ke tempat asalnya atau di bagian kandung kemih yang lainnya.Pada trauma yang
tidak terlalu berat, dipasang kateter ke dalam ureter dan dibiarkan selama 2-6 minggu
sehingga tidak perlu dilakukan pembedahan. Pengobatan terbaik untuk trauma ureter
akibat luka tembak atau luka tusuk adalah pembedahan.
Komplikasi
a) Fistula ureter
b) Infeksi retroperitoneal
c) Peritonitis bila urine keluar kedalam kavum peritoneal
d) Obstruksi ureter karena stenosis.
Penatalaksanaan
Pada setiap trauma tajam harus dilakukan tindakan eksplorasi untuk menilai ada tidaknya
cedera ureter serta cedera ikutan lain. Yang paling penting adalah melakukan penyaliran urin yang
ekstravasasi dan menghilangkan obstruksi.1 Tindakan yang dilakukan terhadap cedera ureter
tergantung pada saat cedera ureter terdiagnosis, keadaan umum pasien, dan letak serta derajat lesi
ureter. Tindakan yang dikerjakan mungkin:2
1. Ureter saling sambung (anastomosis end to end). Teknik ini dipilih jika kedua ujung
distal dan proksimal dapat didekatkan tanpa tegangan (tension).
Gambar 5. Transuretero-ureterotomi
5. Nefrostomi sebagai tindakan diversi.
6. Nefrektomi, yaitu pengangkatan ginjal.
Prognosis.
Etiologi
Trauma benturan pada panggul yang menyebabkan patah tulang (fraktur) seringkali
terjadi pada kecelakaan sepeda motor dan bisa menyebabkan robekan pada kandung
kemih. Luka tembus, biasanya akibat tembakan, juga bisa mencederai kandung
kemih.
Patofisiologi
Trauma vesika urinaria terbanyak karena kecelakaan lalu lintas/kecelakaan
kerja yang menyebabkan fragmen patah tulang pelvis mencederai buli-buli. Trauma
vesika urinaria tumpul dapat menyebabkan rupture buli-buli terutama bila kandung
kemih penuh atau terdapat kelainan patelegik sepetrti tuberculosis, tumor atau
obstruksi sehingga menyebabkan rupture. Trauma vesika urinaria tajam akibat luka
tusuk atau luka tembak lebih jarang ditemukan. Luka dapat melalui daerah
suprapubik ataupun transperineal dan penyebab lain adalah instrumentasi urologic.
Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan kontusio atau rupture kandung kemih,
pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada dinding buli-buli dengan hematuria
tanpa eksravasasi urin. Ruptur kandung kemih dapat bersifat intraperitoneal atau
ekstraperitoneal. Rupture kandung kemih ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk
fragmen fraktur tulang pelvis pada dinding depan kandung kemih yang penuh. Pada
kejadian ini terjadi ekstravasasi urin dari rongga perivesikal.
Klasifikasi
Manifestasi Klinis
Gejala utama adalah adanya darah dalam air kemih atau kesulitan untuk berkemih.
Rasa sakit di area panggul dan perut bagian bawah. Sering buang air kecil atau sukar
menahan keinginan berkemih (ini terjadi jika bagian terbawah kandung kemih
mengalami cedera).
Diagnosis
Pada abdomen bagian bawah tampak jejas atau hematom dan terdapat nyeri
tekan didaerah suprapubik di tempat hematom. Pada ruptur buli-buli intraperitoneal,
urin masuk ke rongga peritoneum sehingga memberi tanda cairan intraabdomen dan
rangsang peritoneum. Lesi ekstraperitoneal memberikan gejala dan tanda infiltrate
urin di rongga peritoneal yang sering menyebabkan septisemia. Penderita mengeluh
tidak bisa buang air kecil. Kadang keluar darah dari uretra.1
Diagnosis ditentukan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta hematuria. Pada
foto pelvis atau foto polos perut terlihat fraktur tulang pelvis. Pemeriksaan radiologik
lain untuk menunjang diagnosis adalah sistogram, yang dapat memberi keterangan ada
tidaknya ruptur kandung kemih, dan lokasi ruptur apakah intra atau ekstraperitoneal.1
Pemeriksaan pencitraan dengan sistogram, yaitu dengan memasukkan kontras ke
dalam buli-buli sebanyak 300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter
per-uretram. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu foto pada saat buli-buli terisi
kontras dalam posisi AP, pada posisi oblik dan wash out film yaitu foto setelah kontras
dikeluarkan dari buli-buli. Jika terdapat robekan pada buli-buli, terlihat ekstravasasi
kontras di dalam rongga perivesikal yang merupakan tanda adanya robekan
ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras yang berada di sela-sela usus berarti robekan
buli-buli intraperitoneal. Pada perforasi yang kecil seringkali tidak tampak adanya
ekstravasasi (negatif palsu) terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250
ml. Jika tidak dijumpai ekstravasasi, diagnosisnya adalah kontusio buli-buli.1,2
Sebelum melakukan pemasangan kateter uretra, harus diyakinkan dahulu bahwa
tidak ada perdarahan yang keluar dari muara uretra. Keluarnya darah dari muara uretra
merupakan tanda dari cedera uretra. Jika di samping cedera pada buli-buli juga diduga
terdapat cedera pada saluran kemih bagian atas, pencitraan buli-buli dapat diperoleh
melalui fase sistografi pada foto IVU.2
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan sistografi. Robekan kecil (laserasi)
bisa diatasi dengan memasukkan kateter ke dalam uretra untuk mengeluarkan air
kemih selama 7-10 hari dan kandung kemih akan membaik dengan sendirinya. Untuk
luka yang lebih berat, biasanya dilakukan pembedahan untuk menentukan luasnya
cedera dan untuk memperbaiki setiap robekan. Selanjutnya air kemih dibuang dari
kandung kemih dengan menggunakan 2 kateter, 1 terpasang melalui uretra (kateter
trans-uretra) dan yang lainnya terpasang langsung ke dalam kandung kemih melalui
perut bagian bawah (kateter suprapubik). Kateter tersebut dipasang selama 7-10 hari
atau diangkat setelah kandung kemih mengalami penyembuhan yang sempurna.
Komplikasi
1. Sepsis
2. Klien lemah akibat anemia.
3. Infeksi karna kateter uriner.
4. Ekstravasasi
Keluarnya darah atau cairan ke dalam jaringan sekitarnya ( yang
dalamkeadaan normal berada dalam pembuluh darah ).
Penatalaksanaan
Bila penderita datang dalam keadaan syok, harus diatasi dengan pemberian cairan intravena
atau darah. Bila sirkulasi telah stabil, baru dilakukan reparasi buli-buli. Prinsip pemulihan ruptur
kandung kemih ialah penyaliran ruang perivesikal, pemulihan dinding, penyaliran kandung kemih
dan perivesikal, dan jaminan arus urin melalui kateter.1 Terapi cedera buli-buli tergantung pada
jenis cedera, diantaranya adalah:2
a.) Pada kontusio buli-buli : cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk
memberikan istirahat pada buli-buli. Dengan cara ini diharapkan buli-buli sembuh
setelah 7-10 hari.
b.) Pada cedera robekan intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparatomi untuk
mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika tidak
segera dioperasi ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum dapat menyebabkan
peritonitis. Rongga intra peritoneum dicuci, robekan pada buli-buli dijahit 2 lapis,
kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar sayatan laparatomi.
Jika ahli ortopedi memasang plat untuk memperbaiki fraktur pelvis, mutlak harus dilakukan
penjahitan buli-buli guna menghindari terjadinya pengaliran urine ke fragmen tulang yang telah
dioperasi. Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter uretra atau
kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi guna melihat kemungkinan
masih adanya ekstravasasi urine. Sistografi dibuat pada hari ke 10-14 pasca trauma. Jika masih
ada ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu.2
Komplikasi
Etiologi
Penyebab utama dari trauma uretra adalah patah tulang panggul dan karena kedua
kaki mengangkang (pada pria). Prosedur pembedahan pada uretra atau alat yang
dimasukkan ke dalam uretra juga bisa melukai uretra, tetapi lukanya relatif ringan.
Gejalanya adalah ditemukannya darah di ujung penis, hematuria dan gangguan
berkemih. Kadang air kemih merembes ke dalam jaringan di dinding perut, kantung
zakar atau perineum (daerah antara anus dan vulva atau kantung zakar).
Patofisiologi
Ruptur uretra sering terjadi bila seorang penderita patah tulang panggul karena jatuh
atau kecelakaan lalu lintas. Ruptur uretra dibagi menjadi 2 yaitu ; rupture uretra
posterior dan anterior. Ruptur uretra posterior hampir selalu disertai fraktur pelvis.
Akibat fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranaseae karena prostat dan
uretra prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur. Sedangkan uretra
membranaseae terikat di diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi
total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum
puboprostatikum robek, sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke cranial. Rupture
uretra anterior atau cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau
terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras seperti batu, kayu atau
palang sepeda dengan tulang simpisis. Cedera uretra anterior selain oleh cedera
kangkang juga dapat di sebabkan oleh instrumentasi urologic seperti pemasangan
kateter, businasi dan bedah endoskopi. Akibatnya dapat terjadi kontusio dan laserasi
uretra karena straddle injury yang berat dan menyebabkan robeknya uretra dan terjadi
ekstravasasi urine yang biasa meluas ke skrotum, sepanjang penis dan ke dinding
abdomen yang bila tidak ditangani dengan baik terjadi infeksi atau sepsis.
Klasifikasi
Manifestasi Klinis
a) Perdarahan dari uretra.
b) Hematom perineal, mungkin disebabkan trauma bulbus cavernosus.
c) Retensio urine akibat spasme M. Spinkter uretra eksternum.
d) Bila buli-buli penuh terjadi ekstravasase sehingga terjadi nyeri berat dan keadaan
umum memburuk
Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan uretrogram retrograd. Pengobatan untuk memar
ringan adalah memasukkan kateter melalui uretra ke dalam kandung kemih selama
beberapa hari untuk mengeluarkan air kemih dan uretra akan membaik dengan
sendirinya. Untuk cedera lainnya, pengeluaran air kemih dari uretra dilakukan dengan
cara memasang kateter langsung ke dalam kandung kemih. Untuk striktur uretra
dilakukan perbaikan melalui pembedahan.
Komplikasi
Penyempitan ureter (striktur) di daerah yang terkena biasanya merupakan komplikasi
yang bisa terjadi di kemudian hari. Hal ini bisa menyebabkan impotensi akibat
kerusakan arteri dan saraf penis
Penatalaksanaan
a) Konservatif berupa pemasangan DC beberapa hari disertai pemberian antibiotika.
b) Jika kateter gagal dipasang, lakukan pembedahan ( operasi perineostomi ) untuk
mengeluarkan bekuan darah, kemudian dipasang DC.
c) Kontrol uretra dengan menggunakan Bougie untuk mengetahui ada tidaknya
striktura.
Pembagian Trauma Uretra
Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan trauma
uretra pasterior, hal ini karna keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi
trauma, tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya.
1. Trauma Uretra Posterior
a) Etiologi
Ruptura Uretra Posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis.
Fraktur yang mengenai rumus atau simfisis pubis dan menimbulkan
kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostato-
membranasea. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada
ruptur total, uretra terpisah seluruhnya. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh
darah yang berada didalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas
di kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek,
prostat beserta buli-buli akan terangkat ke cranial.
b) Klasifikasi
Melalui gambaran uretrogam, Colapinto dan McCollum (1976) membagi
derajat cedera uretra dalam 3 jenis :
Uretra pasterior masih utuh dan hanya mengalami stratching
(Peregangan) Foto uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi,
dan uretra hanya tampak memanjang.
Uretra posterior terputus pada perbatasan prostato-membranasea,
sedangkan diafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram
menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih terbatas diatas diafragma
urogenitalis.
Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah
proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras
meluas hingga dibawah diafragma urogenitalia sampai ke perineum
c) Diagnosis
Pasien yang menderita cedera uretra posterior sering kali datang dalam
keadaan syok karena terdapat fraktur pelvis/cedera organ lain yang
menimbulkan banyak perdarahan. Pada daerah suprapubik dan abdomen
bagian bawah, dijumpai jejas, hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai ruptur
kandung kemih, bisa ditemukan tanda rangsangan peritonium.
Ruptura uretra posterior sering kali memberikan gambaran yang khas berupa
:
(1) Perdarahan per-uretram,
(2) Retensi urine, dan
(3) Pada pemeriksaan colok dubur didapatkan adanya Floating prostate
(prostat melayang) di dalam suatu hematom karena tidak terfiksasi lagi
pada diafragma urogenital. Kadang sama sekali tidak teraba prostat lagi
karena pindah ke kranial. Pemeriksaan colok dubur harus dilakukan
dengan hati-hati karena fragmen tulang dapat mencederai organ lain,
seperti rektum. Pada pemeriksaan uretrografi retrogad mungkin terdapat
elongasi uretra atau ekstravasasi kontras pada pars prostato-membranasea
d) Penatalaksanaan
Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen atau
organ lain, cukup dilakukan sistostomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari
kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan
kateter silikon selama tiga minggu. Bila disertai cedera organ lain sehingga
tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari kemudian. Sebaiknya dipasang
kateter secara langsir (rail roading).
Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ lain
(abdomen dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa
perdarahan. Oleh karena itu sebaiknya dibidang urologi tidak perlu
melakukan tindakan yang invasif pada uretra. Tindakan yang berlebihan akan
menyebabkan timbulnya perdarahan yang lebih banyak pada kavum pelvis
dan prostat serta menambah kerusakan pada uretra dan struktur neurovaskuler
di sekitarnya. Kerusakan neurovaskuler menambah kemungkinan terjadinya
disfungsi ereksi dan inkontinensia.
Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi
untuk diversi urine. Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi melakukan
primary endoscopic realigment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra
sebagai splint melalui tuntunan uretroskopi. Dengan cara ini diharapkan
kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan ini
dilakukan sebelum 1 minggu pasca ruptura dan kateter uretra dipertahankan
selama 14 hari. Sebagian ahli lain mengerjakan reparasi uretra (uretroplasti)
setelah 3 bulan pasca trauma dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra
telah stabil dan matang sehingga tindakan rekonstruksi membuahkan hasil
yang lebih baik.
e) Hambatan
Penyulit yang terjadi pada ruptura uretra adalah striktura uretra yang sering
kali kambuh, disfungsi ereksi, dan inkontinensia urine. Disfungsi ereksi
terjadi pada 13-30% kasus disebabkan karena kerusakan saraf parasimpatik
atau terjadinya insufisiensi arteria. Inkontinensia urine lebih jarang terjadi,
yaitu 2-4% yang disebabkan karena kerusakan sfingter uretra eksterna.
Setelah rekonstruksi uretra seringkali masih timbul striktura (12-15%) yang
dapat diatasi dengan uretrotomia interna (sachse). Meskipun masih bisa
kambuh kembali, striktura ini biasanya tidak memerlukan tindakan
uretroplasti ulangan.
c) Diagnosis
Kecurigaan ruptur uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera kangkang
atau instrumentasi dan darah yang menetes dari meatus uretra sehingga pasien
mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria. Jika terdapat
robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau
hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi.
Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera
uretra. Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tiak bisa buang air
kecil sejak terjadi trauma, dan nyeri perut bagian bawah dan daerah
suprapubik. Pada perabaan mungkin ditemukan kandung kemih yang penuh.
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena udem
atau bekuan darah. Abses periuretrial atau sepsis mengakibatkan demam.
Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung fasia
yang turut rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat yang disebut
infiltrat urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia bila terjadi infeksi.
Pemeriksaan uretrografi retrograd pada kontusio uretra tidak menunjukkan
adanya ekstravasasi kontras, sedangkan pada ruptur uretra menunjukkan
adanya ekstravasasi kontras di pars bulbosa sehingga dapat memberi
keterangan letak dan tipe ruptur uretra
d) Penatalaksanaan
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini
dapat menimbulkan penyakit striktura uretra di kemudian hari, maka setelah
4 – 6 bulan perlu dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada ruptur
uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan sistostomi untuk
mengalihkan aliran urine. Kateter sitostomi dipertahankan sampai 2 minggu
sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera, dan dilepas setelah diyakinkan
melalui pemeriksaan uretrografi bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras
atau tidak timbul striktura uretra dan bila saat kateter sistostomi diklem
ternyata penderita bisa buang air kecil.
Namun jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse.
Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan
anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan parineal. Dipasang kateter
silikon selama tiga minggu.
Tidak jarang ruptur uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan
hematom yang luas sehingga diperlukan debridement dan insisi hematoma
untuk mencegah infeksi. Reparasi uretra dilakukan setelah luka menjadi lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Umbas R, Manuputty D, Sukasah CL, Swantari NM, Achmad IA, Bowolaksono, et al. Saluran
kemih dan alat kelamin laki-laki.In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH,
Rudiman R, Editors. Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2012.p.879-88.
Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. 3rd ed. Jakarta:Sagung seto;2012.p.175-92.
Santucci RA. Ureteral Trauma. Medscape 2014. Available from www.emedicine.medscape.com
(Accessed on Dec 14,2015)
Miller S. Traumatic injury of the bladder and urethra. Medline Plus 2014. Available from
www.nlm.nih.gov (Accessed on Dec 14,2015)
Harper K, Shah KH. Renal trauma after blunt abdominal injury. The Journal of Emergency
Medicine 2013;45:400-04. Available from www.jem-journal.com (Accessed on Dec 14,2015)
Tait CD, Somani BK. Renal trauma: case reports and overview. Hindawi Publishing Corporation
2012;DOI:10.115/2012/207872. Available from www.hindawi.com (Accessed on Dec 14,2015)
Siram SM, Gerald SZ, Greene WR, Hughes K, Oyetunji TA, Chroser K. Ureteral trauma: patterns
and mechanisms of injury of an uncommon condition. Am J Surg 2010;199:566-70. Available
from www.ncbi.nim.mih.gov (Accessed on Dec 14,2015)
Santucci RA, Mcanich JW. Bladder injuries:evaluation and management. Brazilian Journal of
Urology 2000;26:408-14.
Pineiro LM, Djakovic N, Plas E, Mor Y, Santucci RA, Serafetinidis E, et al. EAU Guideline on
urethral trauma. European Urology 2010;57:791-803.