Anda di halaman 1dari 38

PENDAHULUAN

Kanker merupakan istilah umum untuk sekelompok besar penyakit


yang ditandai oleh pertumbuhan sel di luar batas normal yang dapat
menyebar ke bagian tubuh yang berdekatan dan atau menyebar ke organ
lain. Istilah umum lainnya yang digunakan adalah tumor ganas dan
neoplasma. Kurang lebih 30% sampai 50% kematian akibat kanker dapat
dicegah dengan memodifikasi atau menghindari faktor risiko utama,
termasuk menghindari produk tembakau, mengurangi konsumsi alkohol,
menjaga berat badan yang sehat, berolahraga secara teratur dan mengatasi
faktor risiko terkait infeksi.1,2
GLOBOCAN 2018 melaporkan terdapat sekitar 18,1 juta kasus kanker baru dan
9,6 juta kematian akibat kanker pada tahun 2018. Kanker paru adalah kanker yang
paling umum didiagnosis 11,6% dari total kasus dan merupakan penyebab utama
kematian akibat kanker 18,4% dari total kematian akibat kanker, diikuti oleh
kanker payudara 11,6%, kanker prostat 7,1% dan kanker kolorektal 6,1%. Kanker
paru-paru adalah kanker yang paling sering dan merupakan penyebab utama
kematian akibat kanker pada laki-laki, diikuti oleh kanker prostat dan kolorektal.
Pada perempuan, kanker payudara adalah kanker yang paling sering didiagnosis
dan merupakan penyebab utama kematian akibat kanker, diikuti oleh kanker
kolorektal, paru-paru, dan kanker serviks menempati urutan keempat untuk
insiden dan kematian.2,3
Tabel 1. Jumlah kasus baru dan angka kematian pada tahun 2018
LOKASI JUMLAH KASUS BARU ANGKA KEMATIAN
KANKER
Paru 2.093.876 (11.6 %) 1.761.007 (8.4 %)
Payudara 2.088.849 (1,6 %) 626.679 (6,6 %)
Prostat 1.276.106 (7,1 %) 358.989 (3,8 %)
Kolon 1.096.601 (6,1 %) 551.269 (5,85 %)
Dikutip dari (2)

1
Gambar 1. Diagram kasus kanker dan angka kematian menurut GLOBOCAN
2018

Dikutip dari (2)


Keterangan : gambar 1A: angka kejadian kanker dan angka mortalitas pada jenis
kelamin laki-laki dan perempuan.2
Di Indonesia kasus kanker paru terdiagnosis ketika penyakit telah berada pada
stage lanjut. Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada penyakit ini adalah seperti
berikut :4,5
1. Anamnesis
Keluhan utama kanker paru dapat berupa batuk dengan atau tanpa dahak, batuk
darah, sesak napas, suara serak, nyeri dada, sulit/sakit menelan, benjolan di
pangkal leher, sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan
dengan rasa nyeri yang hebat. Dapat pula gejala dan keluhan tidak khas seperti
erat badan berkurang, nafsu makan hilang, demam hilang timbul, sindrom
paraneoplastik.4,5

2
2. Pemeriksaan Jasmani
Hasil pemeriksaan jasmani yang didapat sangat begantung pada kelainan saat
pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat
memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar
akan memberikan hasil yang lebih informatif.4,5
3. Gambaran radiologis
Pemeriksaan radiologis paru yaitu foto toraks PA/lateral, computerized
tomography (CT) scan toraks, bone scan, bone survey, ultrasonografi (USG)
abdomen, CT otak, positron emission tomography (PET) dan magnetic resonance
imaging (MRI) dibutuhkan untuk menentukan letak kelainan, ukuran tumor dan
metastasis.4,5
4. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan khusus antara lain bronkoskopi, biopsi aspirasi jarum halus,
transbronchial needle aspiration (TBNA), transbronchial lung biopsy (TBLB),
transthorasic needle aspiration (TTNA), transthorasic biopsy (TTB), aspirasi
jarum halus (AJH), core biopsy, biopsi lain (pembesaran KGB supraclavicula,
leher atau aksila, biopsi pleura (closed pleural biopsy), pleuroscopy, video
assisted thoracoscopic surgery (VATS), sitologi sputum, pemeriksaan
biomolekular seperti mutasi EGFR, pulasan imunohistokimia (IHK), ALK dan
imunohistokimia (IHK) PD-L 1, pemeriksaan biologi menggunakan serum
(cfDNA) atau likuid biopsi masih tebatas pemeriksaan EGFR exon 20, petanda
tumor seperti CEA, Cyfra 21-1, NSE dan kanker paru jenis karsinoma sel kecil
(KPKSK) tidak dapat digunakan untuk diagnosis tetapi masih dapat digunakan
sebagai bahan evaluasi hasil pengobatan.4,5

DEFINISI KANKER

Kanker paru primer secara definisi merupakan kanker/sel ganas yang berasal dari
epitel saluran napas. Ada pula jenis lain yaitu metastasis kanker di paru, yaitu
kanker dari organ selain paru yang menyebar ke paru (metastasis). Proses

3
pertumbuhan dari sel normal menjadi sel kanker yang bersifat ganas dikenal
sebagai karsinogenesis. Onkogen adalah gen yang menyandi
informasi’keganasan. Sedangkan gen supresor adalah gen yang bersifat menekan
pertumbuhan kearah keganasan atau dapat disebut sebagai gen anti onkogen.4,6
Pertumbuhan neoplastik ganas diawali dengan berubahnya sel normal menjadi sel
ganas. Perubahan ini dapat diakibatkan zat karsinogen antara lain bahan kimia,
virus, radiasi dan lain-lain. Karsinogen tersebut dapat menimbulkan mutasi.
Perubahan menjadi ganas ini juga terjadi akibat kegagalan pada proses perbaikan
gen (DNA-repair). Bila kerusakan gen tidak dapat diperbaiki maka akan terbentuk
mutan. Mutan merupakan gen yang mengalami perubahan urutan basa nukleotida
yang terjadi karena penambahan, pengurangan atau perpindahan basa nukleotida.
Mutasi gen ini dapat menimbulkan kelainan pengaturan, ekspresi dan
penyimpangan gen penyandi protein yang berpengaruh pada fungsi vital sel,
seperti proliferasi dan diferensiasai sel. Proses perkembangan dari sel normal
menjadi sel kanker merupakan proses yang kompleks dan bertahap, mulai dari
inisiasi, promosi, progresi dan metastasis.4,6
Gambar 2. Tahap karsinogenesis
Dikutip dari (6)

KLASIFIKASI KANKER PARU


Kanker paru-paru secara tradisional dibagi menjadi kanker paru jenis karsinoma
bukan sel kecil (KPKBSK) atau non small cell lung cancer (NSCLC) dan kanker
paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) atau small cell lung carcinoma (SCLC).
Untuk menenntukan jenis histologis, dipakai klasifikasi histologis tabel 3. 7,8
Tabel 3. Klasifikasi kanker paru menurut histologi berdasarkan WHO 2015
Klasifikasi Kanker Paru World Health Organisation (WHO)
Adenocarcinoma
Lepidic adenocarcinoma
Acinar adenocarcinoma
Papillary adenocarcinoma
Micropapillary adenocarcinoma
Solid adenocarcinoma

4
Invasive mucinous adenocarcinoma
Colloid adenocarcinoma
Fetal adenocarcinoma
Enteric adenocarcinoma
Minimally invasive adenocarcinoma
Squamous cell carcinoma
Neuroendocrine tumors
Carcinoid tumors
Typical carcinoid
Atypical carcinoid
Small cell carcinoma
Large cell neuroendocrine carcinoma
Large cell carcinoma
Adenosquamous carcinoma
Pleomorphic carcinoma
Spindle cell carcinoma
Giant cell carcinoma
Carcinosarcoma
Pulmonary blastoma
Other and unclassified carcinomas
Lymphoepithelioma-like carcinoma
NUT carcinoma
Salivary gland–type carcinomas
Mucoepidermoid carcinoma
Adenoid cystic carcinoma
Epithelial-myoepithelial carcinoma
Mesenchymal tumors, lymphohistiocytic tumors, tumors of ectopic origin, and metastatic
tumors
Dikutip dari (7)
Untuk kebutuhan klinis setidaknya kanker paru dapat ditetapkan berdasarkan jenis
histologi sebagai berikut: 4,7
1. Karsinoma sel skuamosa (KSS)
2. Karsinoma sel kecil (KPKSK)
3. Adenokarsinoma
4. Karsinoma sel besar

5
Jenis lain yang juga sering ditemukan adalah karsinoid dimasukkan kelompok
tumor paru neuroendokrin dengan ketentuan :5,9
a. Tumor neuroendokrin dengan derajat keganasan rendah (low grade)
adalah karsinoid tipikal
b. Tumor neuroendokrin dengan derajat keganasan sedang (moderate grade)
adalah karsinoid atipikal
c. Tumor neuroendokrin dengan derajat keganasan tinggi (high grade)
adalah KPKSK
d. Karsinoma neuroendokrin sel besar
Jika ada keterbatasan (tidak terdapat lab imunohistokimia/IHK), sering
menyebabkan dokter spesialis patologi anatomi mengalami kesulitan menetapkan
jenis sitologi/histopatologi yang tepat. Maka, untuk kepentingan pemilihan jenis
terapi, minimal harus ditetapkan apakah termasuk kanker paru jenis karsinoma sel
kecil (KPKSK) atau small cell lung cancer, SCLC) atau kanker paru jenis
karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK, non small cell lung cancer, NSCLC).4,10
Berikut marker imunohistokimia/IHK yang sering digunakan untuk menentukan
klasifikasi histologi kanker paru.7,10
Tabel 3. Marker imunohistokimia/IHK yang sering digunakan untuk menentukan
klasifikasi histologi kanker paru
TTF-1 Napsin A P63 CK 5/6 Diagnosa
+ + - - Adenokarsinoma
+ - - - Adenokarsinoma
+ + Fokal + - Adenokarsinoma
+ + - - Squamous
- - Diffus + - Squamous
- - Fokal + - KPKBSK tidak dapat
diklasifikasikan
- - - - KPKBSK tidak dapat
diklasifikasikan
Dikutip dari 11
Keterangan :

6
KPKBSK : kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
TTF-1 : Thyroid Transcription Factor 1

PENDERAJATAN (STAGING) KANKER PARU


Komponen yang dinilai dalam penderajatan staging kanker paru KPKBSK
(kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil) adalah T, N, M. Staging yang dapat
dipakai dapat berupa klinikal staging (clinical staging) maupun staging
patologikal (pathological staging). Klinikal staging/clinical staging (cTNM)
merupakan staging berdasarkan hasil temuan pemeriksaan fisik, imaging maupun
bronkoskopi. Staging patologikal/pathological staging (pTNM) merupakan hasil
temuan pemeriksaan fisis, bronkoskopi, imaging dan pada saat pembedahan
(mediastinoskopi/torakotomi). Staging ini digunakan pada kasus yang menjalani
pembedahan.4,11
Pengertian T (tumor) adalah ukuran tumor primer di paru dan dikategorikan atas
Tx, T0 s/d T4. Pengertian N (nodes) adalah menilai keterlibatan kelenjar getah
bening (KGB) yang dikategorikan atas Nx, N0 s/d N3, sedangkan M (metastasis)
adalah menunjukkan ada atau tidaknya metastasis di paru atau metastasis jauh (
M0 s/d M1a, M1b ). Seperti kanker organ lainnya, staging kanker paru terdiri dari
stage I, II, III dan IV yang menggambarkan keparahan penyakitnya dan berkaitan
dengan prognosis atau angka harapan hidup/ survival. 4,9
Tabel 4. Berdasarkan IASCL edisi 8, staging T menurut ukuran tumor
Ukuran Tumor Staging
Sulit dinilai, tidak dapat dilihat dalam Tx
pemeriksaan imaging
Tidak didapatkan tumor primer T0
Carcinoma in situ Tis
≤ 1 cm T1a
> 1 - ≤ 2 cm T1b
> 2 - ≤ 3 cm T1c

7
> 3 - ≤ 4 cm T2a
> 4 - ≤ 5 cm T2b
> 5 - ≤ 6 cm T3
> 7 cm T4
Dikutip dari (18)

Tabel 5. Berdasarkan IASCL edisi 8, staging T menurut deskripsi tumor


Deskripsi Tumor Staging
Dalam bronkus utama > 2 cm dari karina T2
Dalam bronkus utama > 2 cm dari karina T2
Menginvasi pleura viseral T2
Atelektasis obstruksi (parsial) T2
Atelektasis obstruksi (seluruh paru) T2
Invasi lokal dinding dada, perikard parietal, nervus T3
phrenicus
Invasi lokal diafragma T2
Invasi mediastinum, trakea, jantung/pembuluh darah T4
besar, esofagus, vertebra, karina, nervus rekuren
laringeal
Nodul satelit (lobus yang sama) T3
Nodul satelit (lobus yang berbeda, paru yang sama) T4
Dikutip dari (18)

8
Tabel 6. Berdasarkan IASCL edisi 8, staging N menurut metastasis kelenjar limfe
Staging Deskripsi
Nx Penyebaran kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak didapatkan metastasis kelenjar limfe
N1 Metastasis kelenjaf limfe ipsilateral, peribronchial dan
atau kelenjar limfe hillus and intrapulmoner
N2 Metastasis kelenjar limfe ipsilateral, mediastinal,
subkarina
N3 Metastasis kelenjar limfe kontralateral mediastinal,
hillus, ipsilateral, kontralateral scalene, supraclavicular
Dikutip dari (18)
Tabel 7. Berdasarkan IASCL edisi 8, staging M menurut metastasis ekstratoraks
Staging M Deskripsi
M0 Tidak didapatkan metastasis
M1a Metastasis tumor lobus kontralateral, nodul di pleura atau
efusi pleura ganas atau efusi perikardial
M1b Metastasis tunggal ekstrathoraks jauh (non-regional)
M1c Metastasis multipel ekstratoraks satu atau beberapa organ
Dikutip dari (18)
Hampir semua organ dapat menjadi tempat metastasis pada kanker paru. Paling
sering adalah adrenal, nodal, otak, tulang dan liver.4 Staging (TNM) digunakan
pada sebagian besar tumor padat, dan merupakan sistem staging yang
direkomendasikan untuk KPKSK. International Association for the Study of Lung
Cancer (IASCL) merekomendasikan staging TNM untuk KPKSK. Namun,
rencana terapi masih menggunakan klasifikasi yang pertama kali dikemukakan
pada tahun 1950 oleh Veterans Administration Lung Cancer Study Group
(VALSG) menjadi staging “limited”atau “extensive”.4,12
Limited disease (LD) merupakan KPKSK dengan kondisi terbatas pada satu
hemitoraks dengan penyebaran nodul limfe regional, termasuk di dalamnya hilus
ipsilateral/kontralateral, mediastinum ipsilateral/kontralateral, supraklavikula
ipsilateral/kontralateral, dan efusi pleura ipsilateral. Jika disamakan dengan sistem

9
TNM, maka stadium LD termasuk stadium I-III. Extenxive disease (ED)
merupakan stadium lanjut KPKSK. Semua pasien yang tidak termasuk dalam
kriteria KPKSK stadium LD maka dikategorikan menjadi KPKSK stadium ED.
Bila disamakan dengan sistem TNM, maka stadium ini termasuk stadium IV.4,13
Tampilan penderita kanker paru dinilai berdasarkan keluhan subjektif dan objektif
yang dapat dinilai oleh dokter. Ada beberapa skala internasional untuk menilai
tampilan pasien, antara lain berdasarkan Karnofsky Scale yang banyak dipakai di
Indonesia, namun juga dapat dipakai skala tampilan WHO yang dapat dilihat pada
tabel 8.4,5

Tabel 8. Tampilan menurut Skala Karnofsky dan WHO


Nilai Skala Nilai Skala Keterangan
Karnofsky WHO
90-100 0 Aktivitas normal
70-80 1 Ada keluhan namun masih
aktif dan dapat mengurus diri
sendiri
50-60 2 Cukup aktif, namun kadang
memerlukan bantuan
30-40 3 Kurang aktif, perlu perawatan
10-20 4 Tidak dapat meninggalkan
tempat tidur, perlu dirawat di
rumah sakit
0-10 - Tidak sadar
Dikutip dari (4)

10
PENGOBATAN KANKER PARU

Pengobatan kanker paru terutama stadium lanjut adalah multimodalitas terapi


(combined modality therapy). Pengobatan bedah dan radioterapi adalah
pengobatan lokal sedangkan kemoterapi merupakan pengobatan sistemik .4
Pengobatan yang dapat dipilih untuk pasien kanker paru ialah reseksi
(pembedahan), radioterapi, kemoterapi dan terapi target.4,13
Pengobatan kanker paru ditentukan oleh beberapa hal, sebagai berikut:13
1. Jenis histologis tumor
2. Petanda biologis atau molekular (biomarker atau molecular marker)
3. Stage klinis dan atau stage patologis pasien
4. Performa status pasien
5. Ketersediaan obat
Secara umum tatalaksana kanker paru dibedakan menjadi dua kelompok yaitu
:4,13
1. Non small cell lung cancer (NSCLC)/kanker paru jenis karsinoma bukan
sel kecil(KPKBSK) yang mencakup adenokarsinoma, karsinoma sel skuamosa,
large cell, karsinoma adenosquamosa, dll.
2. Small cell lung cancer (SCLC) / Kanker paru jenis karsinoma sel kecil
(KPKSK)
Pada Non small cell lung cancer (NSCLC)/kanker paru jenis karsinoma bukan sel
kecil (KPKBSK), indikasi pembedahan kuratif pada kanker paru adalah untuk
KPKBSK stage 1 dan II. Pada penderita yang inoperable maka radioterapi dan
atau kemoterapi dapat diberikan. Pembedahan juga merupakan bagian dari
combined modality therapy, misalnya didahului kemoterapi neoadjuvan untuk
KPKBSK stage IIIA. Indikasi bedah paliatif dilakukan bila ada kegawatan yang
memerlukan intervensi bedah, seperti kanker paru dengan sindrom vena kava
superior(SVKS) berat. Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor

11
direseksi lengkap berikut jaringan KGB intrapulmoner, dengan lobektomi
maupun pneumonektomi (pengangkatan sebagian lobus paru atau sebagian paru).
KGB mediastinum diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara
patologi anatomi. Radioterapi pada kanker paru dapat bersifat kuratif dan paliatif.
Pada terapi kuratif, radioterapi menjadi bagian dari modaliti.4,13
Pada small cell lung cancer (SCLC) / Kanker paru jenis karsinoma sel kecil
(KPKSK) penatalaksanaan dilakukan sesuai stadium yang diderita, yaitu limited
stage disease (LD) atau extensive stage disease (ED). Modalitas pada stadium LD
(limited stage disease) adalah kemoradioterapi. Sedangkan pada KPKSK stadium
extensive stage disease (ED), tujuan pengobatan pada stadium ini adalah paliatif.
Pilihan modalitas stage lanjut adalah terapi sistemik karena pengobatan bedah
dan radioterapi hanya memberikan respon lokal. Terapi sistemik untuk kanker
paru saat ini adalah kemoterapi.4,13 Dengan bebagai rejimen/panduan obat kanker
atau terapi target khususnya obat kanker yang bekerja sebagai tyrosin kinase
inhibitor pada jenis adenokarsinoma dengan mutasi gen EGFR atau yang bekerja
sebagai ALK dapat dideteksi pada jaringan sel kankernya. Pilihan lainnya adalah
obat kanker yang bekerja sebagai check point inhibitor (imunoterapi) yang dapat
diberikan jika hasil pemeriksaan IHK ekspresi protein gen PDL-1 positif > 50
%.4,13
Secara klasik, obat antikanker dikelompokkan sebagai kemoterapi, terapi hormon
dan imunoterapi. Seiring waktu, obat antikanker semakin berkembang.14,15

DEFINISI KEMOTERAPI

Istilah kemoterapi diperkenalkan oleh Paul Erlich, berasal dari bahasa Yunani
yaitu chymeia atau chymos atau perasan buah dan therapeia atau pengobatan.16
Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan pemberian bahan kimia
(sitostatika) yang menghambat pertumbuhan sel kanker. Sel kanker tumbuh lebih

12
cepat dibandingkan jaringan normal yang menghasilkan sel tersebut. Oleh karena
itu zat-zat pengambat pertumbuhan dapat memperlambat progresifitas penyakit.
Obat kemoterapi dapat dikelompokkan berdasarkan struktur kimia, komposisi dan
cara kerja. Satu jenis obat dapat masuk ke dalam kelompok tertentu atau beberapa
kelompok sekaligus.14,15 Dapat juga dikelompokkan menjadi cell cycle or phase
specificity yaitu cell cycle nonspecific agents (CCNSA) dan cell cycle specific
agents (CCSA).14,15

Tabel 9. Pengelompokkan obat kemoterapi


Kelas Nama Obat
Alkylating agents Nitrogen mustards: cyclophosphamide
(Cytoxan®), dan ifosfamide
Antimetabolit Gemsitabin (Gemzar®)
Metotreksat
Pemetreksed (Alimta®)
Anthracyclines Doxorubicin (Adriamycin®)
Mitotic inhibitors Taxanes: paklitasel (Taxol®) dan
dosetaksel (Taxotere®)
Vinca alkaloids: vinblastine (Velban®),
vinkristin (Oncovin®), dan vinorelbin
(Navelbine®)
Obat kemoterapi hormon Prednison(Solu-Medrol®),dan
deksametason (Decadron®)

Dikutip dari (15).

13
Siklus sel adalah urutan peristiwa yang rumit yang memungkinkan sel untuk
tumbuh dan bereplikasi. Terdapat dua jenis gen yang memainkan peran utama
dalam siklus sel, terutama di dalam perkembangan kanker, yaitu onkogen
(misalnya Her2 / neu, Ras, c-Myc, dll.) dan gen penekan tumor (misalnya P53 dan
Rb).17 Siklus sel yang terjadi pada sel kanker sama dengan sel normal lainnya
hanya berbeda pada kecepatan putaran (cycles) sehingga sel kanker bertambah
dengan cepat dan meningkatkan kemampuan invasi dan bermetastasis lewat
pembuluh darah dan atau kelenjar getah bening. Pembagian obat anti kanker
sesuai mekanisme kerjanya, terdapat kelompok obat yang bekerja spesifik pada
fase siklus sel tertentu yaitu obat dengan aktivitas utama pada fase tertentu saja
(schedule dependent) atau kelompok non spesifik pada fase siklus sel yaitu obat
yang secara signifikan bekerja pada beberapa fase dalam siklus sel (dose
dependent).4,13
Fase siklus sel terdiri dari: 13,18
1. Fase G1 : masa persiapan untuk sintesis DNA
2. Fase S : sel menghasilkan salinan lengkap materi genetic
3. Fase G2 : Masa persiapan sel untuk mitosis
4. Fase M : DNA yang direplikasi dikondensasikan dan dipisahkan
menjadi kromosom
5. Fase G0 : masa sintesis DNA berhenti sementara (resting state)
Gambar 3. Fase sel dimana obat kemoterapi bekerja

14
Dikutip dari (19)
Replikasi sel terjadi dalam siklus sel (G0, G1, S, G2 dan M), cell cycle
nonspecific agents (alkylating agents, platinum compounds, antibiotik sitotoksik)
mampu membunuh sel dalam setiap fase siklus, sedangkan cell cycle specific
agent (antimetabolit, antifoliates, planta alkaloids, beberapa sitotoksik antibiotik
seperti bleomycin) hanya mampu bunuh hanya selama fase tertentu.18,19
Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen kemoterapi
adalah:4,5
 Platinum based therapy (sisplatin atau karboplatin)
 Respons objektif satu obat anti kanker ≥ 15 %
 Toksisitas obat tidak melebihi grade 3 skala WHO
 Harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 3 siklus pada
penilaian terjadi progresivitas tumor.

Berdasarkan waktu pemberian kemoterapi saja terdiri dari :13


1. Kemoterapi Lini Pertama
Kemoterapi lini pertama ialah kemoterapi yang diberikan kepada pasien kanker
paru yang belum pernah mendapat kemoterapi sebelumnya. Kemoterapi cukup

15
diberikan 4 siklus jika hasil evaluasi hasilnya menetap dan dapat diberikan hingga
6 siklus jika hasil evaluasi respon komplit atau complete response (CR) atau
respon sebagian (PR, partial response). Khusus untuk pemetreksed tidak boleh
diberikan pada kanker paru jenis karsinoma sel skuamosa.4,13
Rejimen untuk kemoterapi lini pertama (first line) untuk KPKBSK (kanker paru
jenis karsinoma bukan sel kecil) adalah :5,13
- Paklitasel + sisplatin atau karboplatin, siklus 3 mingguan
 Paklitasel 175 mg/BSA + sisplatin 60-80 mg/BSA atau
 Paklitasel 175 mg/BSA + karboplatin AUC-5
- Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin, siklus 3 mingguan
 Gemsitabin 1250 mg/BSA (hari 1,8) + sisplatin 60-80 mg/BSA (hari 1)
atau
 Gemsitabin 1250 mg/BSA (hari 1,8) + karboplatin AUC-5 (hari 1)
- Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin, siklus 3 mingguan
 Dosetaksel 75 mg/BSA + sisplatin 60-80 mg/BSA atau
 Dosetaksel 75 mg/BSA + karboplatin AUC-5
- Vinorelbin + sisplatin atau karboplatin, siklus 3 mingguan
 Vinorelbin 30 mg/BSA (hari 1,8) + sisplatin 60-80 mg/BSA (hari 1) atau
 Vinorelbin 30 mg/BSA (hari 1,8) + karboplatin AUC-5 (hari 1)
- Pemetreksed + sisplatin atau karboplatin, siklus 3 mingguan (hanya untuk
non skuamosa)
 Pemetreksed 500 mg/BSA + sisplatin 60-80 mg/BSA (hari 1) atau
 Pemetreksed 500 mg/BSA (hari 1,8) + karboplatin AUC-5 (hari 1)
- PE (sisplatin atau karboplatin + etoposid) siklus 3 mingguan, pada
KPKBSK (kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil) rejimen ini hanya untuk
kemoradioterapi konkuran.
 Sisplatin 60-80 mg/BSA (hari 1) + etoposid 100 mg/BSA (hari 1,2,3) atau
 Karboplatin AUC-5 (hari 1, etoposid 100mg/BSA (hari 1,2,3)
Penatalaksanaan pada pasien KPKSK (kanker paru jenis karsinoma sel kecil)
dilakukan sesuai stadium yang diderita, yaitu limited stage disease (LD) atau
extensive stage disease (ED). Pada terapi lini pertama pada limited stage disease

16
(LD) modalitasnya adalah kemoradioterapi, dilakukan maksimum 4-6 siklus.
Regimen terapi kombinasi yang memberikan hasil paling baik adalah konkuren
terapi, dengan radioterapi dimulai dalam 30 hari setelah kemoterapi awal.4
Rejimen untuk kemoterapi lini pertama (first line) untuk KPKSK (kanker paru
jenis kasinoma sel kecil) sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan PDPI. Paduan
obat tersebut adalah:4,13
- PE (sisplatin atau karboplatin + etoposide), siklus 3 mingguan
 Sisplatin 60-80 mg/BSA (hari 1) + etoposid 100 mg/BSA (hari 1, 2, 3)
atau
 Karboplatin AUC-5 (hari 1), etoposid 100 mg/BSA hari 1, 2, 3)
Kemoradioterapi konkuren merupakan pemberian kombinasi kemoterapi dan
radioterapi secara bersamaan, terutama diberikan kepada pasien kanker paru usia
muda. Pedoman PDPI menganjurkan paduan obat karboplatin + etoposid dengan
dosis penuh. Radioterapi diberikan diberikan minimal 16 jam setelah kemoterapi
diberikan. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi yang diberikan secara berselang-
seling disebut kemoradioterapi alternating, biasanya diberikan kepada pasien
dengan kegawatan respirasi seperti sindrom vena kava superior (SVKS), sehingga
perlu dilakukan radisi cito (segera) pada tumor primernya. Setelah pemberian 5
kali dan kondisi membaik, maka kemoterapi dapat diberikan, lalu setelah
kemoterapi selesai radiasi dilanjutkan hingga mencapai dosis total 5000 sampai
dengan 6000 cGy.5,13
Kemoradioterapi sekuensial merupakan kombinasi kemoterapi dan radiasi yang
diberikan berurutan, dalam setting kemoterapi selesai 4-6 siklus langsung
dilanjutkan dengan radioterapi atau sebaliknya setelah radiasi pada tumor primer
selesai dengan dosis penuh dilanjutkan dengan kemoterapi tanpa menunggu
terjadinya progresif penyakit.(5) Tujuan pengobatan KPKSK (kanker paru jenis
karsinoma bukan sel kecil) extensive stage disease (ED) adalah paliatif. Pilihan
modalitas stadium lanjut adalah kemoterapi dan dilakukan maksimum 4-6 siklus.
Regimen kemoterapi yang dapat digunakan:5,13
 Carboplatin AUC 5-6 hari 1 dan etoposid 100 mg/m2 hari 1, 2, 3.
 Cisplatin 75 mg/m2 hari 1 dan etoposid 100 mg/m2 hari 1, 2, 3.

17
 Cisplatin 75 mg/m2 hari 1 dan etoposid 100 mg/m2 hari 1, 2, 3.
 Cisplatin 75 mg/m2 hari 1 dan etoposid 100 mg/m2 hari 1, 2, 3.
 Carboplatin AUC 5 hari 1 dan irinotecan 50 mg/m2 hari 1, 8, 15.
 Cisplatin 60 mg/m2 hari 1 dan irinotecan 60 mg/m2 hari 1, 8, 15.
 Cisplatin 30 mg/m2 hari 1 dan irinotecan 65 mg/m2 hari 1, 8.
2. Kemoterapi Lini Kedua
Penderita yang tidak respon (progresif) setelah pemberian kemoterapi 2 siklus
atau progresif dalam masa evaluasi setelah kemoterapi 4 siklus pada KPKBSK
(kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil) dapat diberikan kemoterapi lini
kedua (second line), yaitu :4,13
 Dosetaksel 75 mg/m2, siklus 3 mingguan, untuk 6 siklus atau
 Pemetreksed 500 mg, siklus 3 mingguan, untuk 6 siklus atau
 Erlotinib 150 mg/x/hari atau *
 Gefitinib 250 mg/x/hari atau *
 Afatinib 40 mg/x/hari atau *
 Pembrolizumab 200 mg/x, siklus 3 mingguan (jika hasil IHK ekspresi PD-
L 1 positif 1-49 %)
Catatan : Hasil konsensus Bukit tinggi 2005 tentang penggunaan EGFR-TKI
untuk kemoterapi lini kedua KPKBSK (kanker paru jenis karsinoma bukan sel
kecil) dengan atau tanpa pemeriksaan mutasi gen EGFR..4,5
Penderita KPKSK (kanker paru jenis karsinoma sel kecil) yang tidak
respon (progresif) setelah pemberian terapi lini pertama dapat diberikan terapi lini
kedua seperti topocetan, irinotectan,paklitasel, dosetaksel, temozolamid,
vinorelbin, etoposid, gemsitabin, siklofosfamid, doxorubicin, vincristine dan
bendamustin. Data terbaru menunjukkan temozolamid sangat berpengaruh
terhadap pasien KPKSK yang mengalami metastasis ke otak.4,13

Monoclonal Antibody
Golongan bevacizumab bekerja sebagai inhibitor vascular endothelial
growth faktor (VEGF) yang bertindak sebagai regulator angiogenesis. Pemberian

18
obat ini hanya pada pasien dengan jenis non karsinoma sel skuamosa. Obat ini
harus diberikan bersamaan dengan kemoterapi standar.13 Obat anti EGFR
monoclonal antibody antara lain nimotuzumab, cetuximab, matuzunab, dan
panitumumab yang bekerja melawan reseptor epidermal growth factor (EGFR).
Pemberian kombinasi radioterapi dengan nimotuzumab 200 mg/minggu secara
konkuren pada kasus KPKBSK (kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil)
dengan metastasis ke otak memberikan hasil yang baik.5,13

Imunoterapi (imuno onkologi = IQ)


Konsensus Bukittinggi 2017:4
 Pada spesimen yang terbatas maka pemeriksaan molekuler pertama yang
dilakukan adalah mutasi EGFR jika hasil negatif dapat dilanjutkan pemeriksaan
pulasan imunohistokomia (IHK) PD-L1(programmed death-ligand 1).
 Anti PD-1/PD-L1 dapat diberikan pada KPKBSK dengan hasil mutasi
EGFR wild type atau IHK, ALK negatif dan hasil pulasan IHK PD-L1 positif.
Dosis 200 mg, IV setiap 3 minggu.
 Anti PD-1/PD-L1 seperti pembrolizumab diberikan sebagai lini pertama
jika hasil pulasan IHK PD-L1 positif ≥ 50 % namun jika hasil 1-49 % tetap dapat
digunakan sebagai terapi lini kedua setelah progresif dari hasil terapi sistemik
lainnya.
3. Kemoterapi Neoadjuvan
Kemoterapi neodjuvan diberikan kepada KPKBSK (kanker paru jenis karsinoma
bukan sel kecil) stage 3A dengan rencana bedah. Kemoterapi diberikan sesuai
dengan kemoterapi lini pertama dan hanya 2-3 siklus untuk kemudian dilakukan
evaluasi.5,13
4. Kemoterapi Adjuvan
Diberikan kepada pasien yang telah menjalani pembedahan. Pada kasus yang pada
awalnya telah diberi kemterapi neoadjuvan, maka paska bedah diberikan panduan
obat yang sesuai dengan kemoterapi lini pertama hingga mencapai maksimal 6
siklus.5,13

19
OBAT ANTI KANKER YANG DIGUNAKAN DALAM REJIMEN
KEMOTERAPI UNTUK KANKER PARU

Sisplatin dan Karboplatin


Mekanisme kerja sisplatin dikaitkan dengan kemampuannya berikatan
dengan basis purin pada DNA, mengganggu mekanisme perbaikan DNA,
menyebabkan kerusakan DNA dan kemudian menginduksi apoptosis pada sel
kanker. Karboplatin adalah senyawa platinum generasi kedua dengan spektrum
sifat anti neoplastik yang luas. Karboplatin mengandung atom platinum yang
dikomplekskan dengan dua kelompok amonia dan residu cyclobutane-dicarbol.
Agen ini diaktifkan secara intraseluler, membentuk kompleks platinum reaktif
yang berikatan dengan kelompok platinum reaktif yang berikatan dengan
kelompok nukleofilik dengan demikian menginduksi ikatan silang antar DNA
dan intrasand, serta ikatan silang DNA-protein. Efek DNA dan protein yang
diinduksi oleh karboplatin ini menghasilkan apoptosis dan penghambatan
pertumbuhan sel. Agen ini memiliki aktivitas tumorisidal mirip dengan senyawa
induknya sisplatin tetapi lebih stabil dan kurang toksik.4,13
Rejimen kemoterapi untuk kanker paru berbasis platinum dapat
menggunakan sisplatin atau karboplatin dengan 1 jenis obat kanker lainnya
dengan siklus 3 mingguan atau 21 hari.4,13

Paklitasel dan Dosetaksel


Kemoterapi golongan taxane bekerja pada siklus sel fase G2-M. Obat dari
kelompok taxane yang digunakan untuk kemoterapi kanker paru yaitu paklitasel
dan dosetaksel. Paklitasel menginduksi terjadinya mitotic arrest dengan
mengaktivasi mitotic checkpoint (the spindle assembly checkpoint). Gangguan
pada fase M ini memicu terjadinya apoptosis dan akhirnya mampu membunuh sel
kanker.5,13
Dosetaksel merupakan taxane semisintetik, memiliki mekanisme dua kali lipat
aktivitas antineoplastik, menginduksi mitotic arrest dan mengganggu fase G2-M

20
siklus sel. Dosetaksel juga mempromosikan kaskade yang mengarahkan apoptosis
sel. Dosetaksel memiliki afinitas yang lebih tinggi daripada paklitasel. Paklitasel
lebih sering digunakan pada kemoterapi lini pertama (first line) sedangkan
dosetaksel banyak digunakan sebagai kemoterapi lini kedua (second line) dan
digunakan sebagai mono-kemoterapi.5,13

Gemsitabin
Gemsitabin adalah nukleosida antikanker baru yang merupakan analog
deoxycytidine. Gemcitabine diphosphate (dFdCTP) dan gemcitabine triphosphate
(dFdCTP) menghambat proses sintesis DNA. Selain itu, metabolit gemcitabine
pada proses pengaturan selular juga berfungsi meningkatkan aktivitas
penghambatan pertumbuhan sel. Interaksi ini disebut self-potentiation.4,13
Vinorelbin
Vinorelbin adalah vinca alkaloid semi sintetik yang dibuat dari ekstrak
alkaloid dari Rosy perinwinkle. Vinoralbin menginduksi sitotostik dengan
menghambat polimerase dimer, turbulin dalam mikrotubulus yang dapat
mengganggu mitosis spindle dan mencegah cell division sehingga mendorong
terjadi apoptosis sel kanker.4,13

Pemetreksed
Pemetreksed merupakan anti folat multitarget yang menghambat tiga
pathways biosynthetic dalam sintesis timidin dan purin. Cara kerja premeteksed
adalah menghambat sintasis timidilat (TS), dihydrofolate-reductase (DHFR) dan
glycinamide ribonucleotide-formyltransferase (GARFT) yang kemudian
mempengaruhi salah satu enzim yang bergantung pada folat, kunci dalam proses
biosintesis timidin dan purin nukleotida. Pemetreksed membuat produksi DNA
dan RNA, bahan genetik sel terganggu dan menyebabkan gangguan pada produksi
DNA dan RNA. Gangguan produksi itu kemudian menyebabkan terjadinya
apoptosis untuk membunuh sel kanker dan menghentikan pertumbuhan kanker.
Pemetreksed tidak dapat digunakan untuk kanker paru jenis karsinoma sel

21
skuamosa. Penggunaan monoterapi pemetreksed diindikasikan sebagai kemoterapi
lini kedua.4,13

Etoposid
Etoposid mrupakan suatu zat semisintetik derivatif dari podofilotoksin
yang diekstraksi dari akar mayappe (Podophylum peltatume). Etoposid termasuk
kelompok obat inhibisi topoisomerasi yang bekerja menghambat pertumbuhan sel
kanker dengan melakukan inhibisi DNA Topoisomerase II, mengganggu proses
sintesis DNA. Gangguan pada proses sintesis pada siklus sel dapat menginduksi
apoptosis dan membunuh sel kanker. Etoposid bersifat cell dependent dan phase
specific, terutama mempengaruhi fase S dan fase G2.4,13

Irinotekan
Irinotekan menghambat aksi topoisomerase I dan mencegah relokasi untai
DNA dengan mengikat membentuk kompleks topoisomerase I-DNA sehingga
menimbulkan kerusakan rantai ganda DNA. Akibatnya, kerusakan DNA tidak
dapat diperbaiki secara efisien dan terjadi apoptosis.4,13
Evaluasi kemoterapi dilakukan untuk menilai efikasi (respon) dan toksisitas obat
kanker yang digunakan dalam paduan kemoterapi. Perubahan klinis dinilai dengan
melihat perbaikan pada keluhan utama (respon subjektif), perubahan berat badan
(semi subjektif) dan perubahan pada tumor yang dinilai objektif dengan
menggunakan RECIST (Respon Evaluate Criteria in Solid Tumors). Respon
objektif dibagi atas 4 golongan dengan ketentuan yang memenuhi prinsip
RECIST, yaitu :5,13
1. Respon komplet (complete response, CR): bila pada evaluasi tumor hilang
100 % dan keadaan ini menetap lebih ari 4 minggu.
2. Respon sebagian (partial response, PR): tumor mengecil, pengurangan
ukuran tumor > 50 % tetapi < 100 %.

22
3. Menetap (stable disease, SD): ukuran tumor tidak berubah atau mengecil >
25 % atau muncul tumor/lesi baru di paru atau di organ lain.
4. Tumor progresif (progresif disease, PD): bila terjadi pertambahan ukuran
tumor > 25 % atau muncul tumor/lesi baru di paru atau organ lain.
Obat anti kanker dapat menyebabkan munculnya toksisitas yang perlu mendapat
perhatian khusus. Toksisitas obat terbagi atas toksisitas hematologis dan non
hematologis yang dinilai pada 2-3 hari sebelum pemberian kemoterapi siklus
berikutnya. 5,13

Tabel 9. Toksisitas kemoterapi menurut kriteria WHO


Hematologi 0 1 2 3 4
Hemoglobin >11 9,5-10,9 8,0-9,4 6,5-7,9 <65
(g/100 ml)
Lekosit >4 3,0-3,9 2,0-2,9 1,0-1,9 <65
(1000/mm3)
Granulosit >2,0 1,5-1,9 1,0-1,4 0,5-0,9 <65
(1000/mm3)
Platelet >100 75-99 50-74 25-49 <65
(1000/mm3)
Perdarahan Tidak ada Petekie Perdarah-an Perdarah-an Perdarahan
(1000/mm3) ringan berat (gross) menyebabk-an
syok
Non 0 1 2 3 4
Hematologi
Gastrointestinal
Bilirubin <1,25 1,26-2,5 2,6-5 5,1-10 >10
Tranaminase <1,25 1,26-2,5 2,6-5 5,1-10 >10
ALT, AST
Alkalin <1,25 1,26-2,5 2,6-5 5,1-10 >10
Fosfatase
Oral Tidak ada Sariaw-an Luka pada Luka pada Tidak bisa

23
ringan mukosa mukosa yang intake per
menyebabkan oral
tidak dapat
makan padat
Mual/ Tidak ada Mual Kadang Muntah yang Muntah yang
muntah muntah memerluk-an terus menerus
pengobatan
Diare Tidak ada Diare Diare lebih Diare perlu Syok
<2 hari dari 2 hari pengobatan hipovole-mik
tetapi dapat
diatasi
Renal/ginjal
Ureum dan <1,25 1,26-2,5
kreatinin darah
Proteinurea Tidak ada +1 2-3+ 4+ Sindrom
nefrotik
Hematuria Tidak ada Mikros- Gross Gross, kloting Uropati
kopik obstruktif
Paru Tidak ada Gejala Sesak saat Sesak saat Sesak total
ringan aktivitas istirahat bedrest
Demam dengan Tidak ada Demam<38° Demam38°C- Demam >40°C Demam
obat C 40°C dengan
hipotensi
Alergi Tidak ada Edema Bronko- Bronko- Syok ana-
spasme spasme filaktik
(tidak perlu (perlu terapi
terapi intravena)
intravena)
Dermatitis Tidak ada Eritema Kulit kering Kulit kering Derma-
dengan dengan titis berat,
vesikulasi dan ulserasi nekrosis dan
pruritus perlu
pembeda-han
Rambut Tidak ada Minimal Sedang dengan Botak Botak
botak (alopesia) (alopesia)
(alopesia) merata tetapi yang
tidak merata dpat tumbuh permanen

24
lagi
Infeksi (specify Tidak ada Infeksi Infeksi sedang Infeksi berat Infeksi berat
site) minor dengan
hipotensi
Nyeri Tidak ada Ringan Sedang Berat Terus
menerus
Dikutip dari (13)

EFEK SAMPING KEMOTERAPI KANKER PARU TERHADAP


SALURAN CERNA

Efek samping kemoterapi terhadap saluran cerna dapat melemahkan kondisi


pasien dan sering terabaikan dalam manajemen kanker. Efek samping saluran
cerna (tabel 10) adalah hambatan yang menyebabkan keterlambatan, penyesuaian,
dan penghentian pengobatan kanker sementara dan sangat mempengaruhi kualitas
hidup pada banyak pasien kanker.20,21

Tabel 10. Efek samping kemoterapi kanker paru terhadap saluran cerna
Obat Efek Samping Saluran Cerna
Kemoterapi
Sisplatin Mual, muntah
Karboplatin Mual, muntah, diare, konstipasi, nyeri abdomen,
peningkatan enzim transaminase, peningkatan
alkalin fosfatase, peningkatan bilirubin
Paklitasel Mual, muntah, diare, inflamasi pada mukosa,
peningkatan enzim transaminase, peningkatan

25
alkalin fosfatase
Dosetaksel Mual, muntah, stomatitis, diare
Gemsitabin Mual, muntah, diare, konstipasi, peningkatan enzim
transaminase
Vinorelbin Mual, muntah, diare, konstipasi, stomatitis,
peningkatan enzim transaminase
Pemetreksed Mual, muntah, diare, konstipasi, stomatitis,
anoreksia, dispepsia, peningkatan enzim
transaminase
Etoposid Mual, muntah, diare, stomatitis, anoreksia
Irinotekan Mual, muntah, diare, stomatitis, anoreksia, nyeri
perut, mukositis, peningkatan bilirubin
Dikutip dari (22)

Mual muntah paska kemoterapi atau chemotherapy induced nausea and


vomiting (CINV).
Mual merupakan sensasi tidak nyaman yang dirasakan di tenggorokan dan
epigastrium yang dapat menyebabkan keluarnya isi lambung. Muntah merupakan
keluarnya isi lambung melalui mulut yang disebabkan oleh refleks motorik. Mual
muntah pasca kemoterapi atau chemotherapy induced nausea and vomiting
(CINV) diklasifikasikan menjadi akut, lambat dan antisipatori. CINV akut terjadi
pada awal dua puluh empat jam pasca kemoterapi dengan puncak terjadi pada
lima sampai enam jam setelah pemberian kemoterapi. CINV lambat terjadi setelah
dua puluh empat jam dan dapat menetap selama lima sampai tujuh hari, umumnya
terjadi pada pasien yang mendapat sitostatika cisplatin, karboplatin,
siklosfosfamid dan doksorubisin. CINV jika didapatkan keluhan mual muntah
sebelum kemoterapi diberikan. Keadaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti gangguan pengecapan, bau mulut, pikiran dan kecemasan. Breaktrough
(CINV) mengacu pada mual dan atau muntah yang terjadi walaupun telah
mendapatkan pengobatan profilaksis dan atau membutuhkan pertolongan dengan
agen antiemetik. mual muntah yang dipicu kemoterapi (chemotherapy induced

26
nausea and vomiting, CINV) refraktori mengacu pada mual dan atau muntah
yang terjadi selama siklus perawatan selanjutnya ketika profilaksis dan atau
pemberian antiemetik belum efektif pada siklus sebelumnya.22,23
Patofisiologi mual muntah yang dipicu kemoterapi (chemotherapy induced nausea
and vomiting, CINV) melibatkan sistem saraf pusat dan perifer (lihat Gambar 4).
Kemoterapi menyebabkan pelepasan neurotransmiter di saluran pencernaan,
korteks serebral dan thalamus, daerah vestibular dan area postrema;
neurotransmiter ini termasuk dopamin, endorphin, serotonin dan neurokinin
receptor ligand substance P. Fase emesis akut dipicu oleh serotonin dari sel
enterokromafin yang terletak di mukosa usus. Serotonin berikatan dengan reseptor
5-hydroxytryptamine tipe 3 (5-HT3) yang terletak di saraf aferen vagal di dinding
usus, yang mengirimkan sinyal melalui zona pemicu kemoterapi di area postrema
ke pusat muntah di medula. Selain itu, jalur sentral yang terletak di otak terutama
terkait dengan CINV lambat. Kemoterapi memicu produksi substansi P, yang
berikatan dengan reseptor NK1 (neurokinin 1) dalam jaringan saraf, menginduksi
emesis. Reseptor NK juga terletak pada terminal aferen vagal di saluran
pencernaan, menunjukkan bahwa zat P yang dilepaskan dari sel enterokromafin
setelah kemoterapi juga dapat terlibat dalam fase akut CINV. Blokade kedua jalur
diperlukan untuk mengoptimalkan kontrol CINV. Peripheral pathway terutama
pada CINV akut, sementara kontrol central pathway pada (CINV) lambat. Oleh
karena itu, antagonis reseptor 5-HT3 dan NK1 telah dikembangkan sebagai agen
antiemetik.22,23

27
Gambar 4. Patofisiologi mual muntah yang dipicu kemoterapi (chemotherapy
induced nausea and vomiting, CINV)

Dikutip dari (23)


Keterangan : 5-HT3 = 5-hydroxytryptamine type 3; NK1 = neurokinin 1

Sitotastika terbagi menjadi empat kategori berdasarkan potensial menyebabkan


mual muntah yaitu :23,24
Kategori emetogenik tinggi yaitu menimbulkan mual muntah lebih dari 90%
pasien, misalnya anthracycline, cyclophosphamide >1,500 mg/m2, cisplatin,
carboplatin AUC ≥ 4, doxorubicin ≥ 60 mg/m2, ifosfamide.
1. Kategori emetogenik sedang yaitu menimbulkan mual muntah pada 30–
90% pasien, misalnya dinutuximab, methotrexated ≥ 250 mg/m2, carboplatin
AUC < 4, cyclophosphamide ≤ 1500 mg/m2, doxorubicind <60 mg/m2, ifosfamide
dan irinotecan.
2. Kategori emetogenik rendah yaitu menimbulkan mual muntah pada 10–
30% pasien, misalnya docetaxel, etoposide, methotrexate >50 mg/m2 - <250
mg/m2, gemcitabine, mitomycin, necitumumab, paclitaxel, pemetrexed dan
topotecan.
3. Kategori emetogenik minimal yaitu menimbulkan mual muntah kurang
dari 10% pasien, misalnya atezolizumab, bevacizumab, bleomycin, methotrexate ≤50
mg/m2, vinblastine, vincristine, vinorelbine dan bevacizumab.

28
Preparat anti emetik sebagai terapi mual muntah yang dipicu kemoterapi
(chemotherapy induced nausea and vomiting, CINV) meliputi preparat antagonis
reseptor 5-HT3, NK-1, antagonis dopamin, kortikosteroid, benzodiazepin, dan
antihistamin. Antagonis reseptor 5-HT3 merupakan anti emetik untuk CINV akut
pada pasien yang mendapatkan regimen sitostika dengan potensi emetogenik
sedang sampai tinggi. Contoh preparat ini yaitu dolasetron, granisetron,
ondansetron, tropisetron dan palonosetron. Preparat ini diabsorbsi di traktus
gastrointestinal dan mengalami metabolisme primer di hepar. Metabolit aktif
preparat ini dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450.22,24
Tabel 11. Pedoman pemberian anti emetik berdasar NCCN
Kemoterapi Antiemetik
CINV akut
Risiko tinggi Antagonis 5HT3 + deksametason + aprepitant
Risiko sedang Antagonis 5HT3 + deksametason + aprepitant
Risiko rendah Deksametason, metoklopramid,
prochlorperazine
Risiko minimal Tidak diberikan
CINV lambat
Risiko tinggi Deksametason (hari 2–4) + prepitant (hari 2-3)
+ lorazepam
Risiko sedang Deksametason (hari 2–4) + aprepitant (hari 2–
3) atau antagonis 5HT3 (hari 2–4) + lorazepam
Risiko rendah dan Tidak diberikan
minimal
Dikutip dari (16)

Diare paska kemoterapi, Chemotherapy-Induced Diarrhea (CID)


Diare yang diinduksi kemoterapi sangat mengganggu pengobatan anti kanker,
mengakibatkan perubahan pengobatan pada sekitar 60% pasien, pengurangan
dosis pada 22% pasien, penundaan dosis pada 28% pasien, dan penghentian

29
pengobatan total pada 15% pasien. Diare paling sering merupakan efek samping
irinotecan, perubahan histologis yang terjadi di seluruh saluran pencernaan
sebagai respon terhadap pemberian irinotecan telah diperiksa pada beberapa
penelitian terhadap hewan. Ablasi kripta, atrofi epitel usus kecil dan besar,
kerusakan serta degenerasi mukosa merupakan penyebab diare yang diinduksi
kemoterapi. Meskipun pasien tidak secara rutin melakukan pencitraan atau
endoskopi untuk mendiagnosis peradangan mukosa yang diinduksi oleh
kemoterapi. Diare yang diinduksi kemoterapi sebagian besar akibat mukositis
pencernaan. Mukositis didefinisikan sebagai cedera mukosa yang muncul sebagai
peradangan dan ulserasi, yang mengakibatkan perubahan mikroba usus dan
sekresi pencernaan.20,21
Terjadinya mukositis akibat dari efek langsung atau tidak langsung kemoterapi
sitotoksik sehingga sel epitel membelah dengan cepat dalam saluran pencernaan,
memicu apoptosis. Hal ini menyebabkan pengurangan kripta dan area vilus,
ditambah dengan aktivasi nuclear factor-kappa B (NFkB) dan regulasi lanjutan
dari sitokin pro-inflamasi termasuk interleukin 1 yang berkontribusi terjadinya
ulserasi dan peradangan pada epitel mukosa. Penelitian terbaru mengungkapkan
bahwa pemberian kemoterapi memiliki efek pada komposisi mikroba usus dan
mikrobiota tinja. Patofisiologi dasar mukositis dapat dibagi menjadi 5 fase
berurutan: (i) inisiasi; (ii) peningkatan regulasi; (iii) sinyal dan amplifikasi; (iv)
ulserasi dan peradangan; dan (v) penyembuhan. Obat yang direkomendasikan
untuk pengobatan adalah turunan opioid seperti loperamide,
deodorizedtinctureofopium (DTO) dan andoctreotide.20,21

30
Gambar 5. Patofisiologi dasar mukositis terbagi menjadi lima fase.

Keterangan : Lima fase dalam patofisiologi mukositis: 1) Pembentukan ROS, dan pelepasan DNA
dari mediator sel dan lipid yang rusak, seperti PAF selama fase inisiasi; 2) Aktivasi NFkB dan
perakitan multiprotein inflammasom, diikuti oleh induksi molekul , seperti TNF-α, IL-6, dan
CXCL1; 3) Peradangan dan apoptosis jaringan terkait pengobatan selama fase generasi regulasi,
ditandai dengan neutrofil, eosinofil, dan masuknya makrofag ke lamina propria; NFkB yang
diinduksi mikrobiota dan inflamasi melalui PAMP, yang berkontribusi terhadap amplifikasi
peradangan. Peningkatan produksi molekul messenger dalam fase sinyal dan amplifikasi dipicu
oleh sitokin, masuknya leukosit, dan mikrobiota dysbiotik, yang kemudian meningkatkan
peradangan dan apoptosis, serta diskontinuitas barrier epitel akibat dari apoptosis selama fase
ulseratif. Hal ini, memicu translokasi bakteri. Fase penyembuhan spontan dimulai setelah
penghentian kemoterapi yang ditandai dengan proliferasi sel yang intens.
INOS-NO: inducible isoform nitric oxide synthase, NO: nitric oxide; PAF: platelet activating
factor; PAMP: pathogen-associated molecular patterns; ROS: reactive oxygen species. Dikutip
dari (25)

Konstipasi paska kemoterapi (Chemotherapy Induced Constipation, CIC)


Merupakan komplikasi yang juga sering terjadi namun sering
dianggap remeh. Konstipasi adalah sensasi subyektif, dimana pasien merasa
kesulitan atau terdapat pengurangan frekuensi buang air besar dan juga
peningkatan konsistensi feses. Konstipasi merupakan gejala yang paling umum
ketiga terjadi pada pasien yang menerima kemoterapi sitotoksik. Mekanisme yang

31
mendasari CIC masih belum dapat diketahui dengan jelas karena keterbatasan
penelitian klinis yang ada, namun telah dihipotesiskan bahwa CIC dapat
disebabkan efek kemoterapi pada ujung saraf di usus. Saluran pencernaan
dipersarafi oleh ENS (enteric nervus system) bersama dengan serat dari simpatis
ekstrinsik, parasimpatis (saraf vagus) dan neuron yang berbeda sensorik. Baik
persarafan ekstrinsik dan intrinsik memainkan peran penting dalam aktivitas
motorik saluran pencernaan. Berkurangnya fungsi neuron enterik menyebabkan
penurunan aktivitas motorik kolon dan berkurangnya waktu transit
pencernaan.21,25
Tatalaksana konstipasi dapat berupa tatalaksana umum seperti latihan fisik,
asupan cairan dan konsumsi serat, ketersediaan kenyamanan, privasi dan
kenyamanan selama buang air besar serta tata laksana terapi khusus seperti obat
pencahar oral dan rektal, emolien, osmotik / salin, stimulan, dan obat pencahar
pelumas. Bulk forming laksative seperti metilselulosa, psyllium, dan polikarbofil
memiliki onset waktu kerja 72 jam oleh karena itu kurang ideal untuk tatalaksana
inisial konstipasi pada pasien kanker. Pencahar osmotik seperti laktulosa, sorbitol,
senyawa polietilen glikol, dan pencahar garam (magnesium hidroksida), menarik
dan menahan cairan dalam saluran pencernaan. Obat ini memiliki onset waktu
kerja 24-72 jam. Pencahar emolien (docusate), yang merupakan pelunak feses,
dapat meningkatkan efisiensi cairan usus dan memfasilitasi pencampuran zat
berair dan lemak dalam feses sehingga melunakkan feses yang memungkinkan
dapat bergerak lebih mudah melalui saluran pencernaan. Kebutuhan cairan akan
meningkat selama pengobatan dengan pencahar emolien untuk melunakkan feses
sehingga tidak ideal untuk konstipasi kronis pada pasien kanker. Rectal lacsative
seperti bisacodyl (stimulan), sodium phosphate (saline), glycerin (osmotik), dan
minyak mineral (lubrikan) diterima secara umum sebagai tatalaksana konstipasi,
namun penggunaan secara terus menerus tidak disarankan. Supositoria rektal
bisacodyl (stimulan) merupakan obat yang paling sering digunakan ketika
evakuasi feses lunak diperlukan, sedangkan supositoria gliserin lebih sering
digunakan untuk melunakkan feses yang keras.20,21

32
Stomatitis paska kemoterapi (chemotherapy induced stomatitis)
Mucositis yang diinduksi oleh obat antineoplastik merupakan efek samping yang
penting, karena dapat membatasi dosis dan menyebabkan biaya yang tidak sedikit
pada efek samping kemoterapi. Lesi ulseratif yang dihasilkan oleh kemoterapi
yang menginduksi stomatotoksik terasa menyakitkan, membatasi asupan oral dan
bertindak sebagai tempat infeksi sekunder dan pintu masuk bagi flora oral
endogen. Mucositis adalah proses biologis kompleks yang terjadi dalam empat
fase (gambar 6):26,27
1. Fase inflamasi / vaskular
2. Fase epitel
3. Fase ulseratif / bakteriologis
4. Fase penyembuhan.
Gambar 6. Fase mucositis.

Dikutip dari (25)


Keterangan: Gambar diatas menerangkan 4 fase mukositis.26
Fase 1. Inflamasi fase vaskular. Segera setelah pemberian radiasi atau kemoterapi sitokin
dilepaskan dari jaringan epitel. Diantaranya tumor necrosis factor-α, interleukin-1 dan juga
interleukin-6. Sitokin ini menyebabkan kerusakan jaringan lokal yang merupakan awal terjadinya
mucositis. Peningkatan vaskularisasi yang disebabkan oleh IL-1 dapat menyebabkan konsentrasi
tambahan obat sitotoksik di mukosa. Peningkatan seluler submukosa terbukti pada tahap ini.
Fase 2. Fase epitel. Baik radiasi dan kemoterapi, terutama dengan obat yang bekerja pada fase S
dari siklus sel, berdampak pada epitel basal oral, yang mengakibatkan berkurangnya pembaruan

33
epitel, atrofi, dan ulserasi. Yang terakhir ini kemungkinan besar diperburuk oleh trauma fungsional
dan diperkuat oleh banjir sitokin yang diproduksi secara lokal.
Fase 3. Ulcerative/ fase bakteri. Fase ulseratif adalah yang paling simptomatik dan mungkin yang
paling kompleks. Daerah terlokalisasi dari erosi dengan ketebalan penuh terjadi yang sering kali
menjadi tertutup oleh pseudomembran fibrin. Kolonisasi bakteri sekunder pada lesi terjadi oleh
flora campuran, termasuk banyak organisme gram negatif, yang menyediakan sumber endotoksin
(lipopolisakarida) yang selanjutnya merangsang pelepasan sitokin dari jaringan ikat yang
ditularkan di sekitar sel. Yang penting, dari sudut pandang morbiditas keseluruhan, fase ulseratif
umumnya terjadi pada saat neutropenia maksimum pasien.
Fase 4. Penyembuhan. Fase penyembuhan terdiri dari pembaruan proliferasi dan diferensiasi
epitel, normalisasi jumlah sel darah putih perifer dan pembentukan kembali flora mikroba lokal .

Obat kemoterapi berikut dapat menyebabkan stomatitis, diantaranya dosetaksel,


oxaliplatin, doxorubicin, bevacizumab, gemcitabine, metotreksat, chlorambucil
serta terapi target. Tatalaksana chemotherapy induced stomatitis antara lain
menyikat gigi dengan fluoride topikal, flossing analgesia dengan morfin. Untuk
pencegahan dapat digunakan: amifostine, azelastine, chamomile, chlorhexidine,
clarithromycin, povidone iodine, prostaglandin E2 analog. Untuk pengobatan
dapat menggunakan klindamicin, obat antiinflamasi nonsteroid, tobramicin,
anphotericin, glautamine.20,21

34
SIMPULAN

1. Kanker paru merupakan penyebab utama kematian akibat kanker 18,4% dari
total kematian akibat kanker.
2. Pengobatan kanker paru terutama stadium lanjut terutama adalah kemoterapi.
3. Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan pemberian bahan kimia
(sitostatika) yang menghambat pertumbuhan sel kanker.
4. Efek samping kemoterapi kanker paru antara lain mual muntah paska
kemoterapi (chemotherapy induced nausea and vomiting), diare paska kemoterapi
(chemotherapy induced diarrhea), konstipasi paska kemoterapi (chemotherapy
induced constipation) dan stomatitis paska kemoterapi (chemotherapy induced
stomatitis).
5. Chemotherapy induced nausea and vomiting dipicu oleh serotonin dari sel
enterokromafin di mukosa usus yang berikatan dengan reseptor 5-
hydroxytryptamine tipe 3 (5-HT3) yang terletak di saraf aferen vagal di dinding
usus, yang mengirimkan sinyal ke pusat muntah di medula. Kemoterapi juga
memicu produksi substansi P, yang berikatan dengan reseptor NK1(neurokinin 1)
dalam jaringan saraf yang menginduksi emesis.
6. Chemotherapy induced diarrhea sebagian besar akibat mukositis
pencernaan, ablasi kripta, atrofi epitel usus kecil dan besar, kerusakan serta
degenerasi mukosa.
7. Chemotherapy induced constipation dapat disebabkan efek kemoterapi
pada ujung saraf di usus. Berkurangnya fungsi neuron enterik menyebabkan
penurunan aktivitas motorik kolon dan berkurangnya waktu transit pencernaan.

35
Supositoria rektal bisacodyl (stimulan) merupakan obat yang paling sering
digunakan ketika evakuasi feses lunak diperlukan.
8. Chemotherapy induced stomatitis, terutama obat yang bekerja pada fase S
dari siklus sel, berdampak pada epitel basal oral, yang mengakibatkan
berkurangnya pembaruan epitel, atrofi, dan ulserasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organisation. Global cancer data. Int Agency Res cancer.
2018;(September):13-15. http://gco.iarc.fr/,.
2. Bray F, Ferlay J, Soerjomataram I. Global Cancer Statistics 2018 :
GLOBOCAN Estimates of Incidence and Mortality Worldwide for 36 Cancers in
185 Countries. 2018:394-424. doi:10.3322/caac.21492
3. de Groot PM, Wu CC, Carter BW, Munden RF. The epidemiology of lung
cancer. Transl Lung Cancer Res. 2018;7(3):220-233.
doi:10.21037/tlcr.2018.05.06
4. Susanto, Dwi Agus, Djajalaksana S. Buku Ajar Pulmonologi Dan
Kedokteran Respirasi. 2nd ed. (Rasmin M, Jusuf A, eds.). Jakarta: Universitas
Indonesia Publishing; 2018.
5. Dokter P, Indonesia P. Kanker paru. 2003.
6. Burgio E, Migliore L. Towards a systemic paradigm in carcinogenesis :
linking epigenetics and genetics. 2014. doi:10.1007/s11033-014-3804-3
7. Zheng M. Classification and Pathology of Lung Cancer. Surg Oncol Clin
NA. 2016;25(3):447-468. doi:10.1016/j.soc.2016.02.003
8. Tumors L, Travis WD, Brambilla E, et al. The 2015 World Health
Organization Classification of. J Thorac Oncol. 2015;10(9):1243-1260.
doi:10.1097/JTO.0000000000000630
9. Lim W, Ridge CA, Nicholson AG, Mirsadraee S. The 8 th lung cancer
TNM classification and clinical staging system : review of the changes and

36
clinical implications. 2018;1952(4):709-718. doi:10.21037/qims.2018.08.02
10. Brambilla E, Gazdar A. Pathogenesis of lung cancer signalling pathways:
Roadmap for therapies. Eur Respir J. 2009;33(6):1485-1497.
doi:10.1183/09031936.00014009
11. Spira A, Halmos B, Powell CA. PULMONARY , SLEEP , AND
CRITICAL CARE UPDATE Update in Lung Cancer 2015. 2016;194:661-671.
doi:10.1164/rccm.201604-0898UP
12. Talsania A, Chiang MAC. A Practical Approach to Management of Small
Cell Lung Cancer. Elsevier Inc. doi:10.1016/B978-0-323-48565-4.00007-2
13. Achmad H, Wibawanto A, et all. Pengobatan Kanker Paru. 1st ed. (Jusuf
A, ed.). Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi; 2019.
14. Espinosa E, Zamora P, Feliu J, González Barón M. Classification of
anticancer drugs - A new system based on therapeutic targets. Cancer Treat Rev.
2003;29(6):515-523. doi:10.1016/S0305-7372(03)00116-6
15. Abbas Z, Rehman S. An Overview of Cancer Treatment Modalities.
Neoplasm. 2018. doi:10.5772/intechopen.76558
16. Shinta,N, R dan surarso B. Download-Fullpapers-Thtklac6B53D6Eefull.
2016;9(2):74-82.
17. Foster I. Cancer : A cell cycle defect. 2008:144-149.
doi:10.1016/j.radi.2006.12.001
18. Garrett MD. Cell cycle control and cancer. Curr Sci. 2001;81(5):515-522.
19. Paridah M., Moradbak A, Mohamed A., Owolabi F abdulwahab taiwo,
Asniza M, Abdul Khalid SH. We are IntechOpen , the world ’ s leading publisher
of Open Access books Built by scientists , for scientists TOP 1 %. Intech.
2016;i(tourism):13. doi:http://dx.doi.org/10.5772/57353
20. Boussios S, Pentheroudakis G, Katsanos K, Pavlidis N. Systemic
treatment-induced gastrointestinal toxicity: Incidence, clinical presentation and
management. Ann Gastroenterol. 2012;25(2):106-118.
21. McQuade RM, Stojanovska V, Abalo R, Bornstein JC, Nurgali K.
Chemotherapy-induced constipation and diarrhea: Pathophysiology, current and
emerging treatments. Front Pharmacol. 2016;7(NOV):1-14.

37
doi:10.3389/fphar.2016.00414
22. Perwitasari DA, Gelderblom H, Atthobari J, et al. Anti-emetic drugs in
oncology: Pharmacology and individualization by pharmacogenetics. Int J Clin
Pharm. 2011;33(1):33-43. doi:10.1007/s11096-010-9454-1
23. Rapoport B, Gascon P, Scotte F, et al. Corresponding Author: Bernardo
Rapoport, The Medical Oncology Centre of Rosebank, 129 Oxford Road.
2017;13(2):120-126.
24. Ettinger DS, Aisner DL, Wood DE, et al. CE NCCN Guidelines ® Insights
Non – Small Cell Lung Cancer , Featured Updates to the NCCN Guidelines.
2018;(7). doi:10.6004/jnccn.2018.0062
25. Menezes-Garcia Z, Duque R, Arifa N, Fagundes CT, Souza DG. EMJ
EUROPEAN MEDICAL JOURNAL Mechanisms Underlying Chemotherapy-
Associated Mucositis: The Role of Inflammatory Mediators and Potential
Therapeutic Targets. 2018;(December):82-91. https://emj.europeanmedical-
group.com/wp-content/uploads/sites/2/2018/12/Mechanisms-Underlying-
Chemotherapy-Associated-Mucositis.pdf.
26. Sonis ST. Mucositis as a biological process: A new hypothesis for the
development of chemotherapy-induced stomatotoxicity. Oral Oncol.
1998;34(1):39-43. doi:10.1016/S1368-8375(97)00053-5
27. Curra M, Soares Junior LAV, Martins MD, Santos PS da S. Chemotherapy
protocols and incidence of oral mucositis. An integrative review. Einstein (Sao
Paulo). 2018;16(1):eRW4007. doi:10.1590/s1679-45082018rw4007

38

Anda mungkin juga menyukai