Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

Snake Bite

Disusun oleh:
dr. Dzikril Hakim

Pembimbing:
dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah

RSUD KAJEN
KABUPATEN PEKALONGAN
2018

1
NamaPeserta : dr. Dzikril Hakim

NamaWahana : RSUD KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN

Topik: Snake Bite

Tanggal (kasus): Pendamping: dr. IMAM PRASETYO

Tanggal presentasi : dr. SITI HANAH

Tempat presentasi: RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan

Obyektif presentasi:

□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka

□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil

□ Deskripsi:

Autoanamnesis dengan pasien, pada tanggal 11 Desember 2018 Pukul 09.00 di Bangsal
Mawar RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan

□ Tujuan:

Menegakkan diagnosis pada Snake Bite

Mengetahui tindakan pada kedaruratan Snake Bite

Penatalaksanaan dan edukasi pada pasien Snake Bite

Bahan bahasan: □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit

Cara membahas: □ Presentasi&Diskusi □ Diskusi □ Email □ Pos

2
Data pasien: Nama:Tn. C

Nama Klinik: IGD RSUD Kajen Telp: Terdaftar sejak:

Kab. Pekalongan

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/ Gambaran Klinis:


Pasien datang dengan keluhan tergigit ular sejak +1,5 jam yang lalu. Pasien
tergigit ular saat sedang bersih-bersih berada di kebun dekat rumahnya. Ular berwarna
hijau menggigit pasien yang berasal dari semak-semak. Pasien tidak memperhatikan
bentuk kepala ular, ekor warna merah, ukuran ular +50-60 cm. Lokasi gigitan di kaki
sebelah kiri. Keluhan ini disertai nyeri (+), memar & bengkak (+) hanya pada daerah
sekitar gigitan, perdarahan pada daerah gigitan (+) tapi tidak aktif. Keluhan mual,
muntah, nyeri kepala, pandangan kabur, sulit bicara, sulit menelan, lemah anggota tubuh,
dada terasa berdebar-debar, sulit bernafas, gusi berdarah, perdarahan subkonjungtiva
disangkal. Buang air kecil berwarna merah atau hitam disangkal. Kemudian pasien di
bawa ke IGD RSUD Kajen oleh keluarganya.

2. RiwayatAlergi:
Pasien tidak mempunyai alergi terhadap obat tertentu.

3. Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat tergigit ular sebelumnya : disangkal
Riwayat kelainan jantung : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat alergi/asma : disangkal

3
4. Riwayat Keluarga:
Keluarga tidak memiliki keluhan yang sama sebelumnya.

5. Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien tinggal bersama istrinya dan dua anaknya. Pasien menggunakan BPJS.
Kesan ekonomi: rendah

1. SUBYEKTIF
Tanggal 11 Desember 2018, pukul 09.00 WIB
Pasien Ny. R usia 46 tahun

2. OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik:

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 120/90

Nadi : 78 kali/menit

Laju Pernapasan : 21 kali/menit

Suhu : 36,7o C

Saturasi Oksigen : 98 % dengan finger pulse oxymeter

4
Status Generalis Internus

Kepala Mesocephal

Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks cahaya
langsung (+/+), tidak langsung (+/+).

Leher JVP tidak meningkat, tidak terdapat retraksi m. Sternocleidomastoideus,


glandula tiroid kesan tidak membesar

Toraks Pulmo

Inspeksi : tampak simetris, tampak retraksi m. Intercostalis (-/-)

Palpasi : Focal fremitus (ka=ki)

Perkusi : Sonor (ka=ki)

Auskultasi : VBS (ka=ki) kesan ekspirasi memanjang, ronkhi (-/-)


minimal, wheezing (-/-)

Cor

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis sinistra.

Perkusi : Batas jantung kanan pada linea sternalis dekstra,

batas jantung kiri pada ICS V 1 jari medial linea midclavicularis sinistra.

Auskultasi : BJ I dan II murni reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen Inspeksi : Datar, soefl, tidak tampak terdistensi

5
Auskultasi : BU (+) n

Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen

Palpasi : NT (-), Hepar dan lien tidak teraba membesar

Ekstremitas Akral hangat, CRT < 2 det, edema ekstremitas (-/-), Clubbing fingers (-/-)

Status lokalis

Region Dorsum pedis sinistra


Inspeksi : tampak 2 buah titik bekas gigitan ular kecil-kecil, tampak edema
& hematom pada daerah gigitan
Palpasi : nyeri (+), capillary refill time < 2 detik

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin
11-12-2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Lekosit 7.6 3,8 – 10,6
Eritrosit 5.22 4,4 – 5,9
Hemoglobin 13.4 13,2 – 17,3
Trombosit 204 150 – 440

6
4. DIAGNOSIS
1. Snake Bite grade 1

5. TERAPI

Wound toilet

Infus D5% + ABU 1 vial 20 tpm

Injeksi Ceftriakson 1 gram/24 jam

Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam

Inj.Ranitidin 50mg/12 jam

Inj Dexametason 1 amp (extra)

Injeksi ATS (extra)

7
FOLLOW UP

Tanggal & Jam Catatan Rencana Terapi

11/12/18 S : nyeri berkurang - Wound toilet


- Infus D5% + ABU 1 vial
H-0 O : TD 120/90 mmHg
- Injeksi Ceftriakson 1 gram/24
2 Jam post RR 22 x/menit jam

medikasi - Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam


HR 78 x/menit
- Imobilisasi

Edema & hematom pada bekas - Injeksi Dexamethasone 1 amp


(extra)
gigitan (+),

A : snake bite grade I

12/12/18 S:- - Pasien boleh pulang


- Amoksilin 3x500 mg
H+1 O : TD 110/70 mmHg
- Asam mefenamat 3x500mg
RR 20 x/menit - Control poli bedah setelah obat
habis/ada keluhan terkait
HR 76 x/menit
selama dirumah
Edema & hematom berkurang

A : snake bite grade I

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ular

Diagnosis definitif keracunan bisa ular memerlukan identifikasi dari jenis ular dan
manifestasi klinis envenomasi. Pada penilaian laporan gigitan dari ular berbisa, harus
dibedakan gigitan dari ular yang tidak berbisa atau hewan lain. Sekitar 15% dari 3.000
spesies ular yang dijumpai di seluruh dunia dipertimbangkan berbahaya bagi manusia.
Beberapa jenis ular berdasarkan kategori WHO yang dapat dijumpai di Indonesia.1

a. Daerah Sumatera, Jawa, Borneo, Sulawesi dan sebagian pulau-pulau Sunda tetapi
terletak di barat
Kategori 1 -Elapidae: Bungarus candidus (Sumatera dan Jawa), Naja
sputatrix (Jawa dan sebagian pulau-pulau Sunda), Naja sumatrana
(Sumatera dan Borneo).

-Viperidae: Calloselasma rhodostoma (Jawa), Cryptelytrops


albolabris, Daboia siamensis.

Kategori 2 -Elapidae: Bungarus fasciatus, Bungarus flaviceps (Sumatera dan


Borneo), Calliophis bivirgatus, Ophiophagus Hannah (Sumatera,
Borneo dan Jawa).

-Viperidae: Cryptelytrops insularis, Cryptelytrops


purpureomaculatus (Sumatera).

9
b. Daerah timur garis Wallace seperti Papua Barat dan Maluku:
Kategori 1 -Elapidae: Acanthophis laevis

Kategori 2 -Elapidae: Acanthophis rugosus, Micropechis ikaheka,


Oxyuranus scutellatus, Pseudechis papuanus, Pseudechis
rossignolii, Psudonaja textilis.

Perbandingan ular berbisa dan ular tidak berbisa dapat terlihat pada gambar 3 berikut:1

Gambar 1. Perbandingan ular berbisa dan tidak berbisa

WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional Asia
tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara:

a. Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini meliputi
kobra, raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut. Elapidae secara

10
relatif merupakan ular yang cukup panjang, kurus, memiliki warna seragam dengan
sisik simetrikal besar halus pada puncak kepala. Beberapa kobra, meninggikan
bagian depan tubuhnya dari tanah dan melebar dan merata dari leher untuk
membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra dapat meludahkan bisanya hingga 1
meter atau lebih terhadap mata korbannya. Ular laut berbisa memiliki ekor yang lebar
seperti padel dan skala ventral mengecil atau hilang.
b. Viperidae: memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang secara
normal terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang akan menjadi tegang.
Ada dijumpai dua subfamili, viper tipikal (Viperinae) dan viper pit (Crotalinae).
Crotalinae memiliki organ khusus untuk mendeteksi korban berdarah panas yang
terletak diantara hidung dan mata. Viperidae merupakan ular yang relatif pendek,
bertubuh tebal dengan banyak sisik kasar pada puncak kepala dan pola warna yang
khas pada permukaan dorsal tubuh.
c. Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia
Tenggara adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis triginus.
Piton besar (Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pernah dilaporkan
menyerang dan menelan manusia, yang biasanya petani.
Beberapa spesies ular seperti ular tikus (Ptyas mucosus) danReticulated
python (Python reticularis) tidak memiliki bisa. Spesies ini cenderung bersifat
agresif dan menyerang manusia. Spesies ini biasa ditemukan di taman-tamn kota
,pedesaan maupun perkebunan. Dalam tatalaksana medis penting halnya untuk
membedakan antara spesies ular yang berbisa dan tidak karena berkaitan dengan
pemberian antibisa ular.

2.2 Patofisiologi

Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein. Jumlah
bisa, efek letal dankomposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia ular. Bisa
ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur.2 Komposisi bisa ular 90%
terdiri dari protein. Masing-masing bisa memiliki lebih dari ratusan protein berbeda:
enzim (meliputi 80-90% bisa viperidae dan 25-70% bisa elapidae), toksin polipeptida

11
non-enzimatik, dan protein non-toksik, seperti faktor pertumbuhan saraf. Enzim pada
bisa ular meliputi hidrolase digestif, hialuronidase, dan aktivator atau inaktivator proses
fisiologis, seperti kininogenase. Sebagian besar bisa mengandung L-asam amino
oksidase, fosfomono- dan diesterase, 5`-nukleotidase, DNAase, NAD-nukleosidase,
fosfolipase A2, dan peptidase.1

Tabel 1. Protein pada bisa ular yang mempengaruhi sistem hemostasis

Envenomasi gigitan ular pada manusia memiliki banyak efek potensial, namun hanya
beberapa kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu: (1) flasid paralisis; (2)
miolisis sistemik; (3) koagulopati dan perdarahan; (4) kerusakan dan gangguan ginjal; (5)
kardiotoksisitas; (6) kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan.3

12
Gambar 3. Representasi diagramatik mekanisme dasar bisa ular berinteraksi dengan
hemostasis

Secara mikroskop elektron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein yang
dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah, sehingga
menyebabkan kerusakan membran plasma. Komponen peptida bisa ular dapat berikatan
dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin
adalah sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat bisa ular. Enzim yang terdapat pada bisa ular
misalnya Larginine esterase menyebabkan pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa
nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat yang

13
banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan berbagai variasi nekrosis
jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel darah merah.4

Peningkatan permeabilitas vascular akibat pelepasan histamine, 5-HT dan kinin


menyebabkan bengakak dan hematom lokal pada bekas gigitan ular. Nekrosis jaringan terjadi
akibat miotoksin dan sitotoksin sedangkan iskemia terjadi akibat thrombosis, kompresi pada
pembuluh pada saat pemasangan torniket atau akibat adanya fascial kompartemen.
Kandungan oligopeptida (ACE inhibitor dan BPPS) dan autoacid vasodilating menimbulkan
terjadinya hipotensi khususnya pada pembuluhdarah lien. Keadaan ini terjadinya beberapa
menit setelah gigitan. Pada beberapa kasus ditemukan adanya efek langsung pada
miokardium yang dideteksi dari EKG.5

Polipeptida neurotoksik dan PLA2s pada bisa ular menyebabkan paralisis karena
memblok neurotransmiter pada neuromuscular junction. Pasien dengan paralisis muskulus
bulbar dapat meninggal karena obstruksi jalan napas atas dan aspirasi, namun sebagian besar
pasien meninggal akibat adanya paralisis otot pernapasan. Obat antikolinesteraase dapat
memperbaiki simtom paralisis akibat bisa ular dengan memperpanjang aktivitas Ach pada
neuromuscular junction. Neurotoksin presinaptik pada bisa ular menimbulkan pelepasan
myoglobin, asam urat, potassium dan beberapa unsur dari pemecahan otot sehingg
menyebabkan hyperkalemia sampai gagal ginjal akut.5

Pada kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen, gangguan
fungsi bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas.Bisa ular dari famili
Crotalidae/Viperidae bersifat sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan, kebocoran
vaskular dan terjadi koagulopati. Beberapa korban yang digigit oleh ular (atau dicurigai
digigit) dapat mengalami simptom dan gejala yang khas, bahkan saat tidak ada bisa yang
diinjeksi. Hal ini diakibatkan dari ketakutan yang tidak dipahami dari konsekuensi gigitan
ular berbisa. Korban cemas dapat hiperventilasi sehingga mengalami sensasi kebas dan
ditusuk-tusuk pada ekstremitas, spasme tangan dan kaki, dan pusing. Korban lainnya dapat
mengalami syok vasovagal setelah gigitan, dengan kolaps disertai penurunan denyut jantung
yang berat. Tampilan klinis korban gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh,
spesies ular, jumlah dan lokasi gigitan, dan kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan
mortalitas bergantung pada umur dan ukuran tubuh korban, disertai kondisi komorbiditas.6

14
2.3. Menifestasi Klinis

Terdapat beberapa menifestasi klinis yang ditemui pada korban gigitan ular berbisa
diantaranya pembengkakan dan hematom pada luka bekas gigitan ular, hipotensi hingga
syok, perdarahan, paralisis hingga munculnya tanda-tanda gagal ginjal akut. Pada umumnya
gejala yang ditimbulkan oleh bisa ular terjadi dalam 2-6 jam setelah gigitan.7 Berikut tanda
dan gejala yang dapat ditemukan pada korban gigitan ular berbisa:5

a. Tidak terdapat menifestasi klinis lain selain bekas gigitan ular. Hal ini menunjukkan
bahwa gigitan berasal dari ular tidak berbisa atau binatang selain ular seperti kadal,
ikan atau tikus. Keadaan ini juga dapat terjadi pada “dry bites” dimana gigitan bersal
dari ular berbisa namun tidak ada bisa yang diinjeksikan. Pasien dengan kondisi
seperti dan tidak didaptkan adanya envenomasi sistemik berat dapat dirawat di
pelayanan kesehatan tingkat pertama.
b. Envenomasi lokal yang ditandai dengan nyeri, hematoma, perdarahan,
pemebngkakan, limfangitis, pembesaran kelenjar getah bening regional muncul
beberapa jam hingga hari setelah gigitan dan dapat menetap beberapa minggu hingga
menyebabkan nekrosis jaringan dan berkomplikasi terjadinya infeksi.5
c. Envenomasi sistemik melibatkan fungsi organ dan jaringan yang terletak jauh dari
regio yang mengalami gigtan ular. Keadaan ini ditandai dengan mual muntah, nyeri
perut, lemah, mengantuk, gangguan kardiovaskular berupa aritmia jantung,
penurunan cardiac output akibat kerusakan miokardium, edem facial dan konjungtiva
akibat peningakatan permeabilitas pembulu darah, pembesaran parotis bilateral, efusi
pleura dan pericardium, edem pulmo, albuminuria massive dan heokonsentrasi.
Gangguan pada ginjal ditandai dengan hematuria, oliguria/anuria dan tanda-tanda
acute kidney injury. Gangguan pada faktor koagulasi menyebabkan munculnya
perdarahan spontan seperti epitaksis, hematemesis, melena dan perdarahan
intracranial.5
d. Kecemasan yang berlebihan muncul pasca gigitan ular dapat menyebabkan gangguan
secara psikologis.5
e. Efek pertolongan pertama pre-hospital dapat mengubah menifestasi klinis. Hal ini
dapat melemahkan dan jarang mengancam nyawa.5

15
Gambar 4. a.Gigitan Russel’s viper. b.Persisten local bleeding. c. Nekrosis akibat
gigitan spitting cobra (Naja siamensis)

Gambar 5. Ular berbisa a.(Vipera berus ) b. Russels viper (Daboia russelii) c. Ular tidak
berbisa (Enhydris plumbea) d. Tikus e. Brazillian wandering spider (Phoneutria nigriventer)
f. catfish (Siluridae)

Envenomasi karena gigitan ular laut (Hydropiinae) dan sea kraits (Laticaudiane)
menimbulkan Menifestasi yang khas. Bekas gigtan biasanya tidak nyeri dan tidak diketahui,
edem local pada bekas gigitan sangat minimal. Rhabdomiolisis generalisata merupakan efek
yang paling dominan. Gejala awal yang muncul berupa nyeri kepala, rasa tebal pada lidah,

16
kehausan, berkeringat dan muntah. Kemudian berlanjut menjadi nyeri dan kaku pada seluruh
tubuh muncul sekitar 30 menit sampai 3,5 jam setelah gigitan. Dapat dijumpai trismus.
Keadaan ini berlanjut menjadi flaksid pralisis dimulai dari ptosis hingga terjadi kelumpuhan
otot pernafasan. Apabila bisa ular mengenai mata menimbulkan rasa terbakar dan pedas
diikuti keluarnya discharge keputihan, kongesti konjungtiva, spasem dan bengkak pada
kelopak mata, photofoia, pandangan kabur dan kebutaan sementara. Kondisi ini biasanya
disebabkan oleh Spitting cobra.5

Gambar 6. a.Ptosis, facial paralisis, trismus karena bisa ular laut. b Bilateral konjungtivitis
karena Spitting cobra

Derajat berat ringannya kasus gigitan ular berbisa dibagi menjadi derajat ringan,
sedang dan berat.

Tabel 2. Penilaian keparahan envenomasi

Derajat envenomasi Gejala dan tanda klinis

Tidak ada envenomasi Tanpa reaksi lokal atau sistemik; tanda gigitan (+/-).

Envenomasi ringan Tanda gigitan (+). Nyeri sedang, edema lokal minimal (0-

17
15 cm), eritema (+), ekimosis (+/-), tidak ada reaksi
sistemik.

Envenomasi sedang Tanda gigitan (+), nyeri hebat, edema lokal sedang (15-30
cm), eritema dan ekimosis (+), kelemahan sistemik,
berkeringat, sinkop, nausea, muntah, anemia, atau
trombositopenia.

Envenomasi berat Tanda gigitan (+), nyeri hebat, edema lokal berat (>30
cm), eritema dan ekimosis (+), hipotensi, parestesia,
koma, edema paru, gagal napas.

Tabel 3 Klasifikasi gigitan ular menurut Schwartz

Derajat Venerasi Luka Nyeri Edema/ Eritema Sistemik

0 0 + +/- <3 cm/ 12 jam 0

I +/- + - 3-12 cm/ 12 jam 0

II + + +++ 12-25 cm/ 12 jam +

Neurotoksik, mual,
pusing, syok

III + + +++ >25 cm/ 12 jam ++

Petekhiae, syok,
ekimosis

IV +++ + +++ > ekstremitas ++

Gangguan ginjal akut,


koma, perdarahan

18
Tabel 4. Berbagai gigitan ular, dosis fatal, kuantitas bisa diinjeksi, dan waktu mematikan.

Gigitan oleh Viperidae/ Crotalidae seringkali menimbulkan gejala pada tempat


gigitan berupa nyeri dan bengkak yang dapat terjadi dalam beberapa menit, bisa akan
menjalar ke proksimal, selanjutnya terjadi edem dan ekimosis. Pada kasus berat dapat timbul
bula dan jaringan nekrotik, serta gejala sistemik berupa mual, muntah, kelemahan otot, gatal
sekitar wajah dan kejang. Pasien jarang mengalami syok, edem generalisata atau aritmia
jantung, tetapi perdarahan sering terjadi.2 Gigitan akibat Elapidae biasanya tidak
menimbulkan nyeri hebat. Namun demikian tidak adanya gejala lokal atau minimal, tidak
berarti gejala yang lebih serius tidak akan terjadi. Gejala yang serius lebih jarang terjadi dan
biasanya gejala berkembang dalam 12 jam.2

2.4 Diagnosis

Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan identifikasi ular yang
menggigit dan adanya manifestasi klinis. Ular yang menggigit sebaiknya dibawa dalam
keadaan hidup atau mati, baik sebagian atau seluruh tubuh ular. Perlu juga dibedakan apakah
gigitan berasal dari ular yang tidak berbisa atau binatang lain, dari pemeriksaan fisik pada
luka gigitan yang ditinggalkan. Bila tidak dapat mengidentifikasi ular yang menggigit,
manifetasi klinis menjadi hal yang utama dalam menegakkan diagnosis.

19
Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang sangat kecil pada diagnosis
envenomasi ular, tetapi sangat berguna dalam menentukan prognostik dan pengambilan
keputusan untuk intervensi spesifik. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah:7

a. Uji 20 menit pembekuan darah lengkap (20 WBCT): 20 WBCT merupakan


pemeriksaan koagulopati sederhana untuk mendiagnosa envenomasi viper dan
menyingkirkan kemungkinan gigitan elapidae. Pemeriksaan ini memerlukan tabung
gelas kering dan bersih serta belum pernah dicuci dengan detergen, kemudian
beberapa milliliter darah segar vena diambil dan diteteskan pada tabung lalu
dibiarkan selama 20 menit; apabila darah tetap cair setelah 20 menit di tabung,
menunjukkan adanya koagulopati dan mengkonfirmasi pasien telah digigit oleh
viper. Kobra atau krait tidak menyebabkan simptom antihemostatik ini. Akan tetapi
terdapat perbedaan pendapat terhadap manfaat pemeriksaan ini pada beberapa studi.
Pada studi oleh Punguyire et al. tahun 2012 menunjukkan 20 WBCT merupakan
metode pemeriksaan sederhana yang akurat (sensitivitas 83,3% dan spesifitas 90%)
untuk membantu memandu pengobatan setelah envenomasi ular, namun studi oleh
Isbister et al. tahun 2013 menunjukkan 20 WBCT memiliki sensitivitas rendah
(40%) untuk mendeteksi koagulopati pada envenomasi ular dan tidak dapat menjadi
patokan pemberian antivenom.
b. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA): Pemeriksaan ELISA dapat
mengidentifikasi spesies ular, berdasarkan antigen venom. Nmaun pemeriksaan ini
mahal dan tidak selalu tersedia, maka memiliki keterbatasan pada diagnostik. Saat
ini, ELISA digunakan terutama pada studi epidemiologi.
c. Konsentrasi hemoglobin/ hematokrit: Peningkatan mengindikasikan hemokonsentrasi
diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler (seperti pada gigitan viper Russell).
Penurunan mengindikasikan kehilangan darah yang diakibatkan hemolisis
intravascular.
d. Hitung leukosit: leukositosis neutrophil merupakan penanda envenomasi sistemik
dari spesies ular.
e. Abnormalitas biokimiawi: Aminotransferase dan enzim otot (kreatin kinase,
aldolase) dapat meningkat bila dijumpai kerusakan otot lokal yang berat, atau
terutama kerusakan otot menyeluruh (pada gigitan ular laut, beberapa spesies krait,

20
elapid Australia, viper Russell Srilanka dan India Selatan). Disfungsi hepar ringan
mencerminkan peningkatan enzim serum lain. Bilirubin meningkat mengikuti
ekstravasasi darah masif. Kalium, kreatinin, urea atau nitrogen urea darah meningkat
pada gangguan ginjal akut pada gigitan viper Russell, hidung punuk Viper, dan ular
laut. Hiperkalemia dapat dijumpai pada rhabdomiolisis ekstensif pada gigitan ular
laut. Bikarbonat dapat rendah pada asidosis metabolik. Hiponatremia pernah
dilaporkan pada korban gigitan krait di Vietnam utara.
f. Sistem koagulasi darah: PT dan APTT dapat memanjang pada gigitan viper.
Fibrinogen rendah dengan peninfkatan FDP (fibrin degradation product) dapat
dijumpai pada gangguan koagulasi akibat venom.
g. Urinalisis: Warna urine (merah jambu, merah, dan coklat gelap) harus diperhatikan,
dan urine diperiksa dengan dipstik untuk darah atau hemoglobin atau mioglobin.
Pemeriksaan mikroskopis dapat mengkonfirmasi adanya eritrosit di urine.

2.5 Tatalaksana

Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah sebagai berikut:4

a. Penanganan bantuan dasar


Bantuan dasar diberikan secepatnya setelah gigitan, sebelum pasien mencapai rumah
sakit atau penyedia kesehatan. Hal ini dapat dilakukan oleh korban gigitan ular
sendiri atau orang lain yang ada dan mampu. Metode bantuan dasar tradisional,
popular, yang tersedia dan terjangkau seringkali tidak bermanfaat atau bahkan
membahayakan. Metode-metode tersebut meliputi: insisi lokal, atau tusukan pada
area gigitan, usaha untuk menghisap bisa dari luka, mengikat erat tourniquet di
sekitar gigitan, shock elektrik, penggunaan bahan kimiawi atau topikal, tanaman atau
es batu. Prinsip utama dari bantuan dasar adalah usaha untuk memperlambat sistemik
absorpsi bisa, menyelamatkan hidup dan mencegah komplikasi sebelum pasien
mendapat layanan kesehatan, memantau simptom awal bisa yang membahayakan,
mengatur transportasi pasien ke penyedia kesehatan, dan diatas semua itu tujuan
utama adalah tidak membahayakan/ melukai korban

21
b. Transportasi ke rumah sakit
Korban harus secepatnya ditransfer ke penyedia kesehatan/ rumah sakit, tetapi
dengan sedapat mungkin aman dan nyaman. Pergerakan terutama pada daerah gigitan
dikurangi hingga seminimal mungkin untuk mencegah peningkatan absorpsi sistemik
bisa. Kontraksi otot dapat meningkatkan penyebaran bisa dari daerah gigitan. Bila
mungkin, pasien ditempatkan pada posisi terlentang, kecuali kalau muntah.
c. Penilaian klinis dan resusitasi segera
Resusitasi kardiopulmonari dapat dilakukan, termasuk penggunaan oksigen dan
pemasangan akses intravena. Penanganan klinis dan resusitasi segera mengikuti
pendekatan ABCDE: Airway, Breathing, Circulation, Disabilitas sistem saraf,
Exposure dan kontrol lingkungan.
d. Penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies
Riwayat gigitan ular dan progresi simptom dan tanda lokal dan sistemik sangat
penting. Petunjuk-petunjuk yang menandakan pasien dengan envenomasi berat,
pemeriksaan fisik di daerah gigitan, dan secara umum, tanda envenomasi neurotoksik
(paralisis bulbar dan pernapasan), rhabdomiolisis menyeluruh harus diperhatikan
pada pasien. Diagnosis terhadap spesies dapat dilakukan apabila ular dibawa untuk
diidentifikasi, misalnya ular yant telah mati; namun pada kondisi tanpa bukti ular,
identifikasi secara tidak langsung dari deskripsi pasien, bentuk luka gigitan, dan
sindrom klinis gejala dan tanda dapat dilakukan.
e. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan 20 WBCT, dan pemeriksaan lainnya dapat membantu pada kasus
gigitan ular berbisa.
f. Pengobatan antivenom
Antivenom merupakan satu-satunya pengobatan antidotum spesifik terhadap bisa
ular. Keputusan paling penting dalam penanganan gigitan ular adalah perlu atau
tidaknya memberikan antivenom. Dalam hal ini, antivenom hanya diberikan pada
pasien dengan mempertimbangkan manfaat melebihi resikonya, karena antivenom
cukup mahal dan sulit diperoleh dan resiko reaksinya harus turut dipertimbangkan.

22
Indikasi pemberian antivenom adalah apabila pasien dengan dugaan atau terbukti gigitan ular
mengalami satu atau lebih tanda berikut:

 Envenomasi sistemik
- Abnormalitas hemostatik: perdarahan sistemik spontaneous (klinis);
koagulopati (20 WBCT atau tes lain seperti PT), atau trombositopenia
(<100.000) (laboratorium).
- Tanda neurotoksik: ptosis, optalmoplegia eksternal, paralisis (klinis).
- Abnormalitas kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia (klinis); abnormal
EKG.
- Gangguan ginjal akut: oliguria/ anuria (klinis); peningkatan kreatinin/ urea
darah (laboratorium).
- Hemoglobin-/ Mioglobin-uria: urine coklat gelap (klinis), dipstick urine,
tanda lain hemolisis intravaskular atau rhabdomiolisis menyeluruh (nyeri
otot, hiperkalemia) (klinis, laboratorium).
- Tanda-tanda pendukung laboratorium adanya envenomasi sistemik.
 Envenomasi lokal
- Pembengkakan lokal meliputi lebih dari setengah tungkai yang tergigit
(tanpa tourniquet) dalam 48 jam pertama. Pembengkakan setelah gigitan
pada jari-jari.
- Ekstensi cepat pembengkakan (seperti dibawah pergelangan tangan atau
kaki dalam beberapa jam setelah gigitan pada tangan atau kaki).
- Dijumpai pembesaran kelenjar getah bening yang mendrainase tungkai yang
tergigit.

Terdapat dua metode pemberian antivenom yang direkomendasikan:4

1. Injeksi “push” intravena: Antivenom diberikan secara injeksi intravena lambat (tidak
lebih dari 2 mL/menit).
2. Infus intravena: Antivenom dilarutkan sekitar 5 mL cairan isotonik per kg berat
badan (seperti 250-500 mL saline isotonik atau dekstrosa 5% pada orang dewasa)
dan diinfus dengan kecepatan konstan 30-60 menit.

23
Pasien yang diberikan antivenom harus secara ketat dipantau setidaknya selama 1
jam setelah dimulai pemberian antivenom intravena, sehingga reaksi anafilaksis antivenom
dapat dideteksi dan diobati segera dengan epinefrin (adrenalin). Pemberian antivenom local
pada daerah gigitan ular tidak direkomendasikan karena menyakitkan dan dapat
meningkatkan tekanan intrakompartemen.4 Di Indonesia, antivenom yang tersedia adalah
serum antivenom polivalen (Calloselasma rhodostoma, B fasciatus, N sputatrix) yang
diproduksi oleh Bio Farma dengan sediaan ampul 5 mL.
Adapun pedoman lain dari terapi pemberian antivenom dapat mengacu pada chwartz
dan Way:

• Derajat 0 dan I: tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, bila derajat
meningkat maka diberikan antivenom.

• Derajat II: 3-4 vial antivenom

• Derajat III: 5-15 vial antivenom

• Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial antivenom

Tabel 8. Pedoman Terapi Antivenom Ular menurut Luck


Derajat Beratnya Taring atau Ukuran zona edema/ Gejala Jumlah vial
envenomasi gigi eritema kulit (cm) sistemik venom

0 Tidak ada + <2 - 0

I Minimal + 2-15 - 5

II Sedang + 15-30 + 10

III Berat + >30 ++ 15

IV Berat + <2 +++ 15

24
Lebih dari 10% pasien yang mengalami reaksi terhadap pemberian antivenom yang
timbul awal (dalam beberapa jam) atau terlambat (5 hari atau lebih). Beberapa reaksi
terhadap antivenom adalah:
1. Reaksi anafilaksis awal: muncul dalam 10-180 menit setelah pemberian antivenom,
pasien mulai gatal dan urtikaria, batuk kering, demam, nausea, muntah, kolik abdomen,
diare, dan takikardi. Minoritas pasien mengalami anafilaksis berat (hipotensi,
bronkospasme, angioedema).
2. Reaksi pirogenik (endotoksin): muncul dalam 1-2 jam setelah pengobatan, gejala
meliputi kekakuan, demam, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah; reaksi ini
diakibatkan oleh kontaminasi pirogen selama proses produksi antivenom.
3. Reaksi terlambat (tipe serum sickness): muncul dalam 1-12 hari setelah pengobatan,
gejala meliputi demam, nausea, muntah, diare, gatal, urtikaria, atralgia, myalgia,
limfadenopati, pembengkakan periartikular, multipleks mononeuritis, proteinuria
dengan nefritis imun kompleks, dan jarang, ensefalopati. Pasien dengan reaksi awal dan
diobati dengan antihistamin dan kortikosteroid lebih jarang mengalami reaksi terlambat.

Apabila terjadi reaksi anafilaktik pada pemberian antivenom dapat diberikan


epinephrine (adrenalin) intramuscular dengan dosis inisial 0,5 mg untuk dewasa dan 0,01
mg/kgBB untuk anak. Pemberian adrenalin dapat diulang setiap 5-10 menit apabila reaksi
anafilaksis menetap atau memburuk4

Pemantauan pasca pemberian antivenom:4

a. Umum: pasien mengalami perbaikan. Nausea, sakit kepala dan nyeri menyeluruh
berkurang secara cepat. Hal ini juga dapat sebagian peran dari efek plasebo.
b. Perdarahan sistemik spontaneous: biasanya berhenti dalam 15-30 menit.
c. Koagulabilitas darah: biasanya kembali normal dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka
baru dan lama biasanya berhenti lebih cepat.
d. Pada pasien syok: tekanan darah meningkat dalam 30-60 menit pertama dan aritmia
mengalami perbaikan. Envenomasi neurotoksik pada tipe post-sinaptik (tipe kobra)
dapat dijumpai perbaikan dalam 30 menit setelah antivenom, tetapi biasanya
membutuhkan beberapa jam.

25
e. Envenomasi dengan toksin presinaptik (krait dan ular laut) tidak berespons.
f. Hemolisis dan rhabdomiolisis aktif dapat berhenti dalam beberapa jam dan urine
kembali menjadi warna normal.

Pemantuan perlu dilakukan untuk mengethaui apakah antivenom yang diberikan


adekuat. Evaluasi yang dilakukan diantaranya mulai dari keadaan umum yang membaik,
nyeri kepala berkurang, perdarahan sistemik berkurang dan berhenti dalam 15-30 menit,
koagulabilitas darah kembali normal dalam 3-9 jam. Pada pasien syok didapatkan
peningkatan tekanan darah dalam 30-60 menit pertama antivenom. Pasien dengan gejala
neurotoksik pada tipe post-sinaptik (tipe kobra) dapat dijumpai perbaikan dalam 30 menit
hinga beberapa jam setelah antivenom sedangkan neurotoksik pre sinaptik biasanya tidak
didapatkan respon. Hemolisis dan rhabdomiolisis kembali normal dalam beberapa jam dan
urin didapatkan kembali normal.5

Dosis lanjutan antivenom dapat diberikan apabila terdapat Inkoagulanilitas darah


menetap atau timbul setelah 6 jam atau perdarahan setelah 1-2 jam atau apabila terdapat
perburukan neurotoksik atau kardovaskular setelah 1-2 jam.5

Penanganan supportif/ tambahan yang dapat diberikan diantaranya pemberian


antivenom yang dapat menetralisir racun, mencegah progresi envenomasi dan memberikan
kesem buhan, Namun, proses ini memerlukan waktu dan pasien dengan envenomasi berat
memerlukan sistem pendukung kehidupan seperti pengobatan syok, ventilator, dan dialisis
ginjal hingga kerusakan berat organ dan jaringan mendapat waktu untuk penyembuhan.5Studi
oleh Hall tahun 2001 terhadap intervensi bedah pada envenomasi Crotaline
merekomendasikan insisi area gigitan sebagai bantuan dasar, eksisi atau debridemen area
gigitan tidak direkomendasikan, fasiotomi hanya dilakukan pada kondisi sindrom
kompartemen terdokumentasi dengan peningkatan tekanan kompartemen yang gagal respons
terhadap pemberian antivenom adekuat sebelumnya, serta rehabilitasi awal yang agresif
dengan pergerakan pasif dan aktif pada gigitan di tangan dan jari-jari direkomendasikan.

26
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan tergigit ular sejak +1,5 jam yang lalu. Pasien tergigit
ular saat sedang bersih-bersih di kebun dekat rumahnya. Ular berwarna hijau menggigit
pasien dari semak-semak. Pasien tidak memperhatikan bentuk kepala ular, ekor warna merah,
ukuran ular +50-60 cm. Lokasi gigitan di punggung kaki kiri. Keluhan ini disertai nyeri (+),
memar & bengkak (+) hanya pada daerah sekitar gigitan, perdarahan pada daerah gigitan (+)
tapi tidak aktif. Keluhan mual, muntah, nyeri kepala, pandangan kabur, sulit bicara, sulit
menelan, lemah anggota tubuh, dada terasa berdebar-debar, sulit bernafas, gusi berdarah,
perdarahan subkonjungtiva disangkal. Buang air kecil berwarna merah atau hitam disangkal.
Riwayat tergigit ular sebelumnya,HT,DM,asma/alergi disangkal. Kemudian pasien di bawa
ke IGD RSUD Pekalongan oleh keluarganya.

Pemeriksaan fisik didapat Keadaan Umum Tampak sakit sedang, Kesadaran


Composmentis, Tekanan Darah: 120/90, Nadi: 78 kali/menit, Laju Pernapasan: 21 kali/menit,
Suhu: 36,9o C, VAS Score: 3, Saturasi Oksigen: 98 % dengan finger pulse oxymeter,PF dbn.
Status lokalis Region dorsum pedis sinistra, Inspeksi: tampak 2 buah titik bekas gigitan ular
kecil-kecil, tampak edema & hematom pada daerah gigitan, Palpasi: nyeri (+), capillary refill
time < 2 detik, pulsasi a.dorsum pedis reguler,isi & tegangan cukup. Pasien didiagnosa
sebagai snake bite derajat 1.

Terapi yang dilakukan/diberikan Wound toilet, Infus D5% + ABU 1 vial, Injeksi
Ceftriakson 1 gram/24 jam, Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam, Imobilisasi, Injeksi ATS (extra),
Injeksi Dexamethasone 1 amp (extra), Amoksilin 3x500mg, As.Mefenamat 3x500mg.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and


Critical Care, University of Tennessee School of Medicine.
www.eMedicine.com.
2. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
3. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen
POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
4. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
5. Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in
the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for
Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University,
Thailand.
6. Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous
snakes. BMJ 2005; 331:1244-1247 (26 November),
doi:10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com.

28

Anda mungkin juga menyukai