Snake Bite
Disusun oleh:
dr. Dzikril Hakim
Pembimbing:
dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah
RSUD KAJEN
KABUPATEN PEKALONGAN
2018
1
NamaPeserta : dr. Dzikril Hakim
Obyektif presentasi:
□ Deskripsi:
Autoanamnesis dengan pasien, pada tanggal 11 Desember 2018 Pukul 09.00 di Bangsal
Mawar RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan
□ Tujuan:
2
Data pasien: Nama:Tn. C
Kab. Pekalongan
2. RiwayatAlergi:
Pasien tidak mempunyai alergi terhadap obat tertentu.
3
4. Riwayat Keluarga:
Keluarga tidak memiliki keluhan yang sama sebelumnya.
1. SUBYEKTIF
Tanggal 11 Desember 2018, pukul 09.00 WIB
Pasien Ny. R usia 46 tahun
2. OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik:
Nadi : 78 kali/menit
Suhu : 36,7o C
4
Status Generalis Internus
Kepala Mesocephal
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks cahaya
langsung (+/+), tidak langsung (+/+).
Toraks Pulmo
Cor
batas jantung kiri pada ICS V 1 jari medial linea midclavicularis sinistra.
5
Auskultasi : BU (+) n
Ekstremitas Akral hangat, CRT < 2 det, edema ekstremitas (-/-), Clubbing fingers (-/-)
Status lokalis
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin
11-12-2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Lekosit 7.6 3,8 – 10,6
Eritrosit 5.22 4,4 – 5,9
Hemoglobin 13.4 13,2 – 17,3
Trombosit 204 150 – 440
6
4. DIAGNOSIS
1. Snake Bite grade 1
5. TERAPI
Wound toilet
7
FOLLOW UP
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Diagnosis definitif keracunan bisa ular memerlukan identifikasi dari jenis ular dan
manifestasi klinis envenomasi. Pada penilaian laporan gigitan dari ular berbisa, harus
dibedakan gigitan dari ular yang tidak berbisa atau hewan lain. Sekitar 15% dari 3.000
spesies ular yang dijumpai di seluruh dunia dipertimbangkan berbahaya bagi manusia.
Beberapa jenis ular berdasarkan kategori WHO yang dapat dijumpai di Indonesia.1
a. Daerah Sumatera, Jawa, Borneo, Sulawesi dan sebagian pulau-pulau Sunda tetapi
terletak di barat
Kategori 1 -Elapidae: Bungarus candidus (Sumatera dan Jawa), Naja
sputatrix (Jawa dan sebagian pulau-pulau Sunda), Naja sumatrana
(Sumatera dan Borneo).
9
b. Daerah timur garis Wallace seperti Papua Barat dan Maluku:
Kategori 1 -Elapidae: Acanthophis laevis
Perbandingan ular berbisa dan ular tidak berbisa dapat terlihat pada gambar 3 berikut:1
WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional Asia
tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara:
a. Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini meliputi
kobra, raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut. Elapidae secara
10
relatif merupakan ular yang cukup panjang, kurus, memiliki warna seragam dengan
sisik simetrikal besar halus pada puncak kepala. Beberapa kobra, meninggikan
bagian depan tubuhnya dari tanah dan melebar dan merata dari leher untuk
membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra dapat meludahkan bisanya hingga 1
meter atau lebih terhadap mata korbannya. Ular laut berbisa memiliki ekor yang lebar
seperti padel dan skala ventral mengecil atau hilang.
b. Viperidae: memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang secara
normal terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang akan menjadi tegang.
Ada dijumpai dua subfamili, viper tipikal (Viperinae) dan viper pit (Crotalinae).
Crotalinae memiliki organ khusus untuk mendeteksi korban berdarah panas yang
terletak diantara hidung dan mata. Viperidae merupakan ular yang relatif pendek,
bertubuh tebal dengan banyak sisik kasar pada puncak kepala dan pola warna yang
khas pada permukaan dorsal tubuh.
c. Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia
Tenggara adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis triginus.
Piton besar (Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pernah dilaporkan
menyerang dan menelan manusia, yang biasanya petani.
Beberapa spesies ular seperti ular tikus (Ptyas mucosus) danReticulated
python (Python reticularis) tidak memiliki bisa. Spesies ini cenderung bersifat
agresif dan menyerang manusia. Spesies ini biasa ditemukan di taman-tamn kota
,pedesaan maupun perkebunan. Dalam tatalaksana medis penting halnya untuk
membedakan antara spesies ular yang berbisa dan tidak karena berkaitan dengan
pemberian antibisa ular.
2.2 Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein. Jumlah
bisa, efek letal dankomposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia ular. Bisa
ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur.2 Komposisi bisa ular 90%
terdiri dari protein. Masing-masing bisa memiliki lebih dari ratusan protein berbeda:
enzim (meliputi 80-90% bisa viperidae dan 25-70% bisa elapidae), toksin polipeptida
11
non-enzimatik, dan protein non-toksik, seperti faktor pertumbuhan saraf. Enzim pada
bisa ular meliputi hidrolase digestif, hialuronidase, dan aktivator atau inaktivator proses
fisiologis, seperti kininogenase. Sebagian besar bisa mengandung L-asam amino
oksidase, fosfomono- dan diesterase, 5`-nukleotidase, DNAase, NAD-nukleosidase,
fosfolipase A2, dan peptidase.1
Envenomasi gigitan ular pada manusia memiliki banyak efek potensial, namun hanya
beberapa kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu: (1) flasid paralisis; (2)
miolisis sistemik; (3) koagulopati dan perdarahan; (4) kerusakan dan gangguan ginjal; (5)
kardiotoksisitas; (6) kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan.3
12
Gambar 3. Representasi diagramatik mekanisme dasar bisa ular berinteraksi dengan
hemostasis
Secara mikroskop elektron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein yang
dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah, sehingga
menyebabkan kerusakan membran plasma. Komponen peptida bisa ular dapat berikatan
dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin
adalah sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat bisa ular. Enzim yang terdapat pada bisa ular
misalnya Larginine esterase menyebabkan pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa
nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat yang
13
banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan berbagai variasi nekrosis
jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel darah merah.4
Polipeptida neurotoksik dan PLA2s pada bisa ular menyebabkan paralisis karena
memblok neurotransmiter pada neuromuscular junction. Pasien dengan paralisis muskulus
bulbar dapat meninggal karena obstruksi jalan napas atas dan aspirasi, namun sebagian besar
pasien meninggal akibat adanya paralisis otot pernapasan. Obat antikolinesteraase dapat
memperbaiki simtom paralisis akibat bisa ular dengan memperpanjang aktivitas Ach pada
neuromuscular junction. Neurotoksin presinaptik pada bisa ular menimbulkan pelepasan
myoglobin, asam urat, potassium dan beberapa unsur dari pemecahan otot sehingg
menyebabkan hyperkalemia sampai gagal ginjal akut.5
Pada kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen, gangguan
fungsi bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas.Bisa ular dari famili
Crotalidae/Viperidae bersifat sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan, kebocoran
vaskular dan terjadi koagulopati. Beberapa korban yang digigit oleh ular (atau dicurigai
digigit) dapat mengalami simptom dan gejala yang khas, bahkan saat tidak ada bisa yang
diinjeksi. Hal ini diakibatkan dari ketakutan yang tidak dipahami dari konsekuensi gigitan
ular berbisa. Korban cemas dapat hiperventilasi sehingga mengalami sensasi kebas dan
ditusuk-tusuk pada ekstremitas, spasme tangan dan kaki, dan pusing. Korban lainnya dapat
mengalami syok vasovagal setelah gigitan, dengan kolaps disertai penurunan denyut jantung
yang berat. Tampilan klinis korban gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh,
spesies ular, jumlah dan lokasi gigitan, dan kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan
mortalitas bergantung pada umur dan ukuran tubuh korban, disertai kondisi komorbiditas.6
14
2.3. Menifestasi Klinis
Terdapat beberapa menifestasi klinis yang ditemui pada korban gigitan ular berbisa
diantaranya pembengkakan dan hematom pada luka bekas gigitan ular, hipotensi hingga
syok, perdarahan, paralisis hingga munculnya tanda-tanda gagal ginjal akut. Pada umumnya
gejala yang ditimbulkan oleh bisa ular terjadi dalam 2-6 jam setelah gigitan.7 Berikut tanda
dan gejala yang dapat ditemukan pada korban gigitan ular berbisa:5
a. Tidak terdapat menifestasi klinis lain selain bekas gigitan ular. Hal ini menunjukkan
bahwa gigitan berasal dari ular tidak berbisa atau binatang selain ular seperti kadal,
ikan atau tikus. Keadaan ini juga dapat terjadi pada “dry bites” dimana gigitan bersal
dari ular berbisa namun tidak ada bisa yang diinjeksikan. Pasien dengan kondisi
seperti dan tidak didaptkan adanya envenomasi sistemik berat dapat dirawat di
pelayanan kesehatan tingkat pertama.
b. Envenomasi lokal yang ditandai dengan nyeri, hematoma, perdarahan,
pemebngkakan, limfangitis, pembesaran kelenjar getah bening regional muncul
beberapa jam hingga hari setelah gigitan dan dapat menetap beberapa minggu hingga
menyebabkan nekrosis jaringan dan berkomplikasi terjadinya infeksi.5
c. Envenomasi sistemik melibatkan fungsi organ dan jaringan yang terletak jauh dari
regio yang mengalami gigtan ular. Keadaan ini ditandai dengan mual muntah, nyeri
perut, lemah, mengantuk, gangguan kardiovaskular berupa aritmia jantung,
penurunan cardiac output akibat kerusakan miokardium, edem facial dan konjungtiva
akibat peningakatan permeabilitas pembulu darah, pembesaran parotis bilateral, efusi
pleura dan pericardium, edem pulmo, albuminuria massive dan heokonsentrasi.
Gangguan pada ginjal ditandai dengan hematuria, oliguria/anuria dan tanda-tanda
acute kidney injury. Gangguan pada faktor koagulasi menyebabkan munculnya
perdarahan spontan seperti epitaksis, hematemesis, melena dan perdarahan
intracranial.5
d. Kecemasan yang berlebihan muncul pasca gigitan ular dapat menyebabkan gangguan
secara psikologis.5
e. Efek pertolongan pertama pre-hospital dapat mengubah menifestasi klinis. Hal ini
dapat melemahkan dan jarang mengancam nyawa.5
15
Gambar 4. a.Gigitan Russel’s viper. b.Persisten local bleeding. c. Nekrosis akibat
gigitan spitting cobra (Naja siamensis)
Gambar 5. Ular berbisa a.(Vipera berus ) b. Russels viper (Daboia russelii) c. Ular tidak
berbisa (Enhydris plumbea) d. Tikus e. Brazillian wandering spider (Phoneutria nigriventer)
f. catfish (Siluridae)
Envenomasi karena gigitan ular laut (Hydropiinae) dan sea kraits (Laticaudiane)
menimbulkan Menifestasi yang khas. Bekas gigtan biasanya tidak nyeri dan tidak diketahui,
edem local pada bekas gigitan sangat minimal. Rhabdomiolisis generalisata merupakan efek
yang paling dominan. Gejala awal yang muncul berupa nyeri kepala, rasa tebal pada lidah,
16
kehausan, berkeringat dan muntah. Kemudian berlanjut menjadi nyeri dan kaku pada seluruh
tubuh muncul sekitar 30 menit sampai 3,5 jam setelah gigitan. Dapat dijumpai trismus.
Keadaan ini berlanjut menjadi flaksid pralisis dimulai dari ptosis hingga terjadi kelumpuhan
otot pernafasan. Apabila bisa ular mengenai mata menimbulkan rasa terbakar dan pedas
diikuti keluarnya discharge keputihan, kongesti konjungtiva, spasem dan bengkak pada
kelopak mata, photofoia, pandangan kabur dan kebutaan sementara. Kondisi ini biasanya
disebabkan oleh Spitting cobra.5
Gambar 6. a.Ptosis, facial paralisis, trismus karena bisa ular laut. b Bilateral konjungtivitis
karena Spitting cobra
Derajat berat ringannya kasus gigitan ular berbisa dibagi menjadi derajat ringan,
sedang dan berat.
Tidak ada envenomasi Tanpa reaksi lokal atau sistemik; tanda gigitan (+/-).
Envenomasi ringan Tanda gigitan (+). Nyeri sedang, edema lokal minimal (0-
17
15 cm), eritema (+), ekimosis (+/-), tidak ada reaksi
sistemik.
Envenomasi sedang Tanda gigitan (+), nyeri hebat, edema lokal sedang (15-30
cm), eritema dan ekimosis (+), kelemahan sistemik,
berkeringat, sinkop, nausea, muntah, anemia, atau
trombositopenia.
Envenomasi berat Tanda gigitan (+), nyeri hebat, edema lokal berat (>30
cm), eritema dan ekimosis (+), hipotensi, parestesia,
koma, edema paru, gagal napas.
Neurotoksik, mual,
pusing, syok
Petekhiae, syok,
ekimosis
18
Tabel 4. Berbagai gigitan ular, dosis fatal, kuantitas bisa diinjeksi, dan waktu mematikan.
2.4 Diagnosis
Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan identifikasi ular yang
menggigit dan adanya manifestasi klinis. Ular yang menggigit sebaiknya dibawa dalam
keadaan hidup atau mati, baik sebagian atau seluruh tubuh ular. Perlu juga dibedakan apakah
gigitan berasal dari ular yang tidak berbisa atau binatang lain, dari pemeriksaan fisik pada
luka gigitan yang ditinggalkan. Bila tidak dapat mengidentifikasi ular yang menggigit,
manifetasi klinis menjadi hal yang utama dalam menegakkan diagnosis.
19
Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang sangat kecil pada diagnosis
envenomasi ular, tetapi sangat berguna dalam menentukan prognostik dan pengambilan
keputusan untuk intervensi spesifik. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah:7
20
elapid Australia, viper Russell Srilanka dan India Selatan). Disfungsi hepar ringan
mencerminkan peningkatan enzim serum lain. Bilirubin meningkat mengikuti
ekstravasasi darah masif. Kalium, kreatinin, urea atau nitrogen urea darah meningkat
pada gangguan ginjal akut pada gigitan viper Russell, hidung punuk Viper, dan ular
laut. Hiperkalemia dapat dijumpai pada rhabdomiolisis ekstensif pada gigitan ular
laut. Bikarbonat dapat rendah pada asidosis metabolik. Hiponatremia pernah
dilaporkan pada korban gigitan krait di Vietnam utara.
f. Sistem koagulasi darah: PT dan APTT dapat memanjang pada gigitan viper.
Fibrinogen rendah dengan peninfkatan FDP (fibrin degradation product) dapat
dijumpai pada gangguan koagulasi akibat venom.
g. Urinalisis: Warna urine (merah jambu, merah, dan coklat gelap) harus diperhatikan,
dan urine diperiksa dengan dipstik untuk darah atau hemoglobin atau mioglobin.
Pemeriksaan mikroskopis dapat mengkonfirmasi adanya eritrosit di urine.
2.5 Tatalaksana
Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah sebagai berikut:4
21
b. Transportasi ke rumah sakit
Korban harus secepatnya ditransfer ke penyedia kesehatan/ rumah sakit, tetapi
dengan sedapat mungkin aman dan nyaman. Pergerakan terutama pada daerah gigitan
dikurangi hingga seminimal mungkin untuk mencegah peningkatan absorpsi sistemik
bisa. Kontraksi otot dapat meningkatkan penyebaran bisa dari daerah gigitan. Bila
mungkin, pasien ditempatkan pada posisi terlentang, kecuali kalau muntah.
c. Penilaian klinis dan resusitasi segera
Resusitasi kardiopulmonari dapat dilakukan, termasuk penggunaan oksigen dan
pemasangan akses intravena. Penanganan klinis dan resusitasi segera mengikuti
pendekatan ABCDE: Airway, Breathing, Circulation, Disabilitas sistem saraf,
Exposure dan kontrol lingkungan.
d. Penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies
Riwayat gigitan ular dan progresi simptom dan tanda lokal dan sistemik sangat
penting. Petunjuk-petunjuk yang menandakan pasien dengan envenomasi berat,
pemeriksaan fisik di daerah gigitan, dan secara umum, tanda envenomasi neurotoksik
(paralisis bulbar dan pernapasan), rhabdomiolisis menyeluruh harus diperhatikan
pada pasien. Diagnosis terhadap spesies dapat dilakukan apabila ular dibawa untuk
diidentifikasi, misalnya ular yant telah mati; namun pada kondisi tanpa bukti ular,
identifikasi secara tidak langsung dari deskripsi pasien, bentuk luka gigitan, dan
sindrom klinis gejala dan tanda dapat dilakukan.
e. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan 20 WBCT, dan pemeriksaan lainnya dapat membantu pada kasus
gigitan ular berbisa.
f. Pengobatan antivenom
Antivenom merupakan satu-satunya pengobatan antidotum spesifik terhadap bisa
ular. Keputusan paling penting dalam penanganan gigitan ular adalah perlu atau
tidaknya memberikan antivenom. Dalam hal ini, antivenom hanya diberikan pada
pasien dengan mempertimbangkan manfaat melebihi resikonya, karena antivenom
cukup mahal dan sulit diperoleh dan resiko reaksinya harus turut dipertimbangkan.
22
Indikasi pemberian antivenom adalah apabila pasien dengan dugaan atau terbukti gigitan ular
mengalami satu atau lebih tanda berikut:
Envenomasi sistemik
- Abnormalitas hemostatik: perdarahan sistemik spontaneous (klinis);
koagulopati (20 WBCT atau tes lain seperti PT), atau trombositopenia
(<100.000) (laboratorium).
- Tanda neurotoksik: ptosis, optalmoplegia eksternal, paralisis (klinis).
- Abnormalitas kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia (klinis); abnormal
EKG.
- Gangguan ginjal akut: oliguria/ anuria (klinis); peningkatan kreatinin/ urea
darah (laboratorium).
- Hemoglobin-/ Mioglobin-uria: urine coklat gelap (klinis), dipstick urine,
tanda lain hemolisis intravaskular atau rhabdomiolisis menyeluruh (nyeri
otot, hiperkalemia) (klinis, laboratorium).
- Tanda-tanda pendukung laboratorium adanya envenomasi sistemik.
Envenomasi lokal
- Pembengkakan lokal meliputi lebih dari setengah tungkai yang tergigit
(tanpa tourniquet) dalam 48 jam pertama. Pembengkakan setelah gigitan
pada jari-jari.
- Ekstensi cepat pembengkakan (seperti dibawah pergelangan tangan atau
kaki dalam beberapa jam setelah gigitan pada tangan atau kaki).
- Dijumpai pembesaran kelenjar getah bening yang mendrainase tungkai yang
tergigit.
1. Injeksi “push” intravena: Antivenom diberikan secara injeksi intravena lambat (tidak
lebih dari 2 mL/menit).
2. Infus intravena: Antivenom dilarutkan sekitar 5 mL cairan isotonik per kg berat
badan (seperti 250-500 mL saline isotonik atau dekstrosa 5% pada orang dewasa)
dan diinfus dengan kecepatan konstan 30-60 menit.
23
Pasien yang diberikan antivenom harus secara ketat dipantau setidaknya selama 1
jam setelah dimulai pemberian antivenom intravena, sehingga reaksi anafilaksis antivenom
dapat dideteksi dan diobati segera dengan epinefrin (adrenalin). Pemberian antivenom local
pada daerah gigitan ular tidak direkomendasikan karena menyakitkan dan dapat
meningkatkan tekanan intrakompartemen.4 Di Indonesia, antivenom yang tersedia adalah
serum antivenom polivalen (Calloselasma rhodostoma, B fasciatus, N sputatrix) yang
diproduksi oleh Bio Farma dengan sediaan ampul 5 mL.
Adapun pedoman lain dari terapi pemberian antivenom dapat mengacu pada chwartz
dan Way:
• Derajat 0 dan I: tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, bila derajat
meningkat maka diberikan antivenom.
I Minimal + 2-15 - 5
II Sedang + 15-30 + 10
24
Lebih dari 10% pasien yang mengalami reaksi terhadap pemberian antivenom yang
timbul awal (dalam beberapa jam) atau terlambat (5 hari atau lebih). Beberapa reaksi
terhadap antivenom adalah:
1. Reaksi anafilaksis awal: muncul dalam 10-180 menit setelah pemberian antivenom,
pasien mulai gatal dan urtikaria, batuk kering, demam, nausea, muntah, kolik abdomen,
diare, dan takikardi. Minoritas pasien mengalami anafilaksis berat (hipotensi,
bronkospasme, angioedema).
2. Reaksi pirogenik (endotoksin): muncul dalam 1-2 jam setelah pengobatan, gejala
meliputi kekakuan, demam, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah; reaksi ini
diakibatkan oleh kontaminasi pirogen selama proses produksi antivenom.
3. Reaksi terlambat (tipe serum sickness): muncul dalam 1-12 hari setelah pengobatan,
gejala meliputi demam, nausea, muntah, diare, gatal, urtikaria, atralgia, myalgia,
limfadenopati, pembengkakan periartikular, multipleks mononeuritis, proteinuria
dengan nefritis imun kompleks, dan jarang, ensefalopati. Pasien dengan reaksi awal dan
diobati dengan antihistamin dan kortikosteroid lebih jarang mengalami reaksi terlambat.
a. Umum: pasien mengalami perbaikan. Nausea, sakit kepala dan nyeri menyeluruh
berkurang secara cepat. Hal ini juga dapat sebagian peran dari efek plasebo.
b. Perdarahan sistemik spontaneous: biasanya berhenti dalam 15-30 menit.
c. Koagulabilitas darah: biasanya kembali normal dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka
baru dan lama biasanya berhenti lebih cepat.
d. Pada pasien syok: tekanan darah meningkat dalam 30-60 menit pertama dan aritmia
mengalami perbaikan. Envenomasi neurotoksik pada tipe post-sinaptik (tipe kobra)
dapat dijumpai perbaikan dalam 30 menit setelah antivenom, tetapi biasanya
membutuhkan beberapa jam.
25
e. Envenomasi dengan toksin presinaptik (krait dan ular laut) tidak berespons.
f. Hemolisis dan rhabdomiolisis aktif dapat berhenti dalam beberapa jam dan urine
kembali menjadi warna normal.
26
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan tergigit ular sejak +1,5 jam yang lalu. Pasien tergigit
ular saat sedang bersih-bersih di kebun dekat rumahnya. Ular berwarna hijau menggigit
pasien dari semak-semak. Pasien tidak memperhatikan bentuk kepala ular, ekor warna merah,
ukuran ular +50-60 cm. Lokasi gigitan di punggung kaki kiri. Keluhan ini disertai nyeri (+),
memar & bengkak (+) hanya pada daerah sekitar gigitan, perdarahan pada daerah gigitan (+)
tapi tidak aktif. Keluhan mual, muntah, nyeri kepala, pandangan kabur, sulit bicara, sulit
menelan, lemah anggota tubuh, dada terasa berdebar-debar, sulit bernafas, gusi berdarah,
perdarahan subkonjungtiva disangkal. Buang air kecil berwarna merah atau hitam disangkal.
Riwayat tergigit ular sebelumnya,HT,DM,asma/alergi disangkal. Kemudian pasien di bawa
ke IGD RSUD Pekalongan oleh keluarganya.
Terapi yang dilakukan/diberikan Wound toilet, Infus D5% + ABU 1 vial, Injeksi
Ceftriakson 1 gram/24 jam, Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam, Imobilisasi, Injeksi ATS (extra),
Injeksi Dexamethasone 1 amp (extra), Amoksilin 3x500mg, As.Mefenamat 3x500mg.
27
DAFTAR PUSTAKA
28