Disusun oleh :
Dian Fofana Diarra S. Ked
ANGKATAN XXVI
MAGISTER HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
TAHUN 2017
KASUS PELANGGARAN ETIKA
Kasus :
Analisis
profesi kedokteran.
4. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena
keprofesian saya.
5. Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu
yangbertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
6. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan.
11. Saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Cakupan Pasal:
1. Seorang dokter wajib merahasiakan apa yang dia ketahui tentang pasien
yang ia peroleh dari diri pasien tersebut dari suatu hubungan dokter -
pasien sesuai ketentuan perundang-undangan.
2. Seorang dokter tidak boleh memberikan pernyataaan tentang diagnosis
Penjelasan pasal
Kesimpulan :
Menurut permasalahan diatas apabila dokter membocorkan rahasia pasien
tanpa seijin pasien maka akan melanggar kode etik kedokteran Indonesia
pasal 16 ayat (2), (3), (4), (5), dan (8) mengenai rahasia jabatan dan
melanggar sumpah dokter butir ke 4 dan ke 5, tentang menjaga rahasia
pasien meskipun diancam dan dipaksa.
Saran :
Kasus
Terdakwa Kasus Malpraktek Dokter RSUP A diputus bebas. Ketiga
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan malpraktek
seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum. Tiga dokter yang diduga
melakukan malpraktek terhadap korban S diputus bebas oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri (PN). Majelis Hakim PN dalam amar putusannya
menyatakan bahwa dokter 1, dokter 2, dan dokter 3 tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan malpraktek seperti yang didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU).
Majelis Hakim dalam pertimbangan hukum menyebutkan bahwa JPU
tidak dapat membuktikan dalil dakwaan resiko terburuk akibat operasi. Ketiga
terdakwa juga tidak ditemukan melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan operasi terhadap korban alm. S.
Menurut Majelis Hakim, baik dakwaan primair maupun dakwaan
subsidair yang diajukan JPU terhadap ketiga terdakwa tidak dapat dibuktikan,
karena itu ketiga terdakwa harus dibebaskan. Selain itu, dakwaan subsidair dan
dakwaan alternatif juga tidak dapat dibuktikan sehingga para terdakwa
dibebaskan dari segala tuntutan hukum.
Kasus dugaan malpraktek tersebut terjadi pada tanggal 10 April 2010 lalu
di RSUP A. Korban S, warga Desa T, meninggal dunia saat bersalin akibat
terjadinya pembesaran bilik kanan jantung. Diduga, pembesaran bilik kanan
jantung korban terjadi karena pengaruh infus dan obat yang diberikan. JPU
menuntut ketiga terdakwa dengan hukuman 10 bulan penjara karena melakukan
kelalaian dan kesalahan sehingga berakibat korban meninggal dunia. JPU
menyatakan pikir-pikir atas putusan Majelis Hakim ini.
Analisis
Dalam hukum kesehatan antara pasien dan dokter terdapat hubungan
yang bersifat paternalistik yaitu kepercayaan yang bertolak dari prinsip Father
Knows Best yang memberikan ketergantungan pasien kepada dokter.
Hubungan interaksi antara dokter dan pasien sangatlah pribadi antar individu.
Hubungan interakasi tersebut disebut transaksi terapeutik yang dilindungi
oleh hukum. Dari transaksi terapeutik ini muncul sifat inspannings verbintesis.
Sesuai pendapat dari Met Zorgen Inspannings bahwa objek perikatan dari
hubungan antara dokter dan pasien berupa kewajiban berusaha untuk
menyembuhkan pasien yang dilakukan dengan hati-hati dan usaha keras.
Dengan landasan yang sangat mendasar dari posisi keduanya maka pihak-
pihaknya harus benar-benar memahami urgensi posisinya. Dalam malprakteklah
hubungan keduanya ini sering terjadi benturan dan yang melahirkan kesalahan
terutama dari pihak dokter. Padahal posisi dokter sangat penting. Karena pasien
datang ke dokter pada dasarnya adalah untuk sembuh. Tanpa disadari bahwa
ada kemungkinan lain yaitu penyakitnya tambah parah atau berujung pada
kematian.
Pasien sebagai objek yang tergantung pada aksi dari dokter haruslah
memahami apa hak-haknya dalam hukum kesehatan yaitu :
Sosial
Hak atas pelayanan medis atau kesehatan (the right to health care)
Individual
o Hak Privasi
Hak atas rahasia kesehatan
Hak atas badan sendiri
1. Hak atas informed consent (persetujuan untuk tindakan medis)
2. Hak memilih dokter dan rumah sakit
3. Hak menolak atau menghentikan
4. Hak akan second opinion atau pilihan kedua
5. Hak memeriksa rekap medis
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 tahun 1989
(Permenkes No. 585 tahun 1989). Pengertian dari informed consent adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien / keluarganya setelah mendapat
penjelasan tindakan medis. Dari hukum positif tersebut masyarakat bisa
bertindak hati-hati dan mempunyai dua step yaitu preventif dan represif.
Sayangnya tidak semua kalangan tahu akan ketentuan-ketentuan tersebut.
Sehingga terkadang yang tahu akan peraturan tersebut membutakan (tidak
memberi tahu) orang lain yang seharusnya tahu.
Fakta inilah yang terjadi pada tiga dokter yang diduga melakukan
malpraktek terhadap korban S. Namun sayangnya dalam pembuktian yang tidak
kuat, diputus bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN). Karena tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan malpraktek. Padahal
melalui endowed with human dignity seeking the best for him self bahwa setiap
insan dianugerahi hak istimewa mencari perlakuan terbaik untuk dirinya sendiri.
Dalam hal ini korban S juga memiliki hak istimewa itu. Sayangnya faktanya
tidak berjalan sebagaimana seharusnya terdapat perbedaan antara das
sein dan das solen. S memiliki hak untuk tercapainya freedom of willatas
dirinya sendiri untuk mencapai hidup yang sehat kembali.
S sudah menyadari memang dari awal ketika pergi ke dokter bahwa dua
pilihannya kembali sembuh atau keadaannya akan bertambah buruk. Sayangnya
opsi kedua ternyata lebih berpihak untuknya. Malangnya tidak tahu apakah
dokter memang sudah melakukan yang terbaik ataukah mungkin sebaliknya.
Tetapi dalam hal ini siapapun berhak memberikan pendapat atas fenomena yang
sudah terjadi. Kasus dugaan malpraktek yang terjadi atas. Korban warga Desa
T, meninggal dunia saat bersalin akibat terjadinya pembesaran bilik kanan
jantung.
Dalam teori informed consent, pasien berhak untuk membuat keputusan
sehingga harus mendapatkan informasi yang cukup agar tercaai tindakan medis
yang baik sesuai dengan kepentingan pasien dan dokter. Hal inilah yang
sebelumnya harus didapatkan oleh S. Sehingga apabila terjadi sengketa diantara
keduanya maka perbedaan persepsi antara logika dokter dan pasien serta
kesenjangan posisi antara keduanya bisa diselesaikan oleh keduanya. Karena
mereka yang lebih memahami situasi dan kondisi masing-masing. Asas pacta
sunt servanda bahwa perjanjian yang mereka sepakati adalah berlaku layaknya
undang-undang bagi pihak yang melakukan kesepakatan saling mengikatkan
diri.
Faktanya Majelis Hakim PN dalam pertimbangan hukum menyebutkan
bahwa JPU tidak dapat membuktikan dalil dakwaan resiko terburuk akibat
operasi. Hingga akhirnya ketiga terdakwa juga tidak ditemukan melakukan
kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan operasi terhadap korban
almarhum S. Asas-asas dari hukum kesehatan tidak bisa membantu sepenuh
terhadap apa yang sudah dialami S. Majelis Hakim dalam opininya, dakwaan
primair maupun dakwaan subsidair yang diajukan JPU terhadap ketiga terdakwa
tidak dapat dibuktikan, karena itu ketiga terdakwa harus dibebaskan. Dakwaan
subsidair dan dakwaan alternatif juga tidak dapat dibuktikan sehingga para
terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum.
Masih dalam posisi dugaan bahwa diduga pembesaran bilik kanan
jantung korban terjadi karena pengaruh infus dan obat yang diberikan. Atas hal
tersebut JPU menuntut ketiga terdakwa dengan hukuman 10 bulan penjara
karena melakukan kelalaian dan kesalahan sehingga berakibat korban
meninggal dunia. Atas putusan bebas tersebut JPU menyatakan pikir-pikir atas
putusan Majelis Hakim ini. Dalam hal ini dapat diberikan analisis bahwa
kriteria dari malpraktek ada tiga yaitu :
Criminal Malpractice
Dalam dolus tindakan malpraktek bisa terjadi karena melakukan tindakan
medis yang tidak sesuai dengan standart operating prosedure (SOP),
melakukan tindakan medis tanpa informed consent. Sedangkan dalam culva
melakukan tindakan medis tidak hati-hati yang berakibat tambah fatalnya
keadaan dari pasien.
Dalam masa sekarang ini transplantasi organ, jaringan, dan transfusi
darah untuk tujuan komersial termasuk dalam kategori malpraktek. Bentuk
nyata lainnya yang diatur dalam hukum positif di Indonesia diantaranya salah
atau alfa yang menyebabkan kematian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 359
Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), salah atau alfa menyebabkan luka berat sesuai Pasal 360
KUHP.
Civil Malpractice
Dokter tidak melakukan kewajiban atau tidak memberikan prestasi yang
disepakati (wanprestasi) dan dokter melakukan perbuatan melakukan hukum.
Administrative Malpractice
Malpraktek dilakukan menyalahi hukum negera seperti berpraktek tanpa
adanya izin, berpraktek atas izin praktek yang sudah daluwarsa, dan berpraktek
tidak sesuai dengan izin praktek yang diberikan.
Kesimpulan :
Ketiga terdakwa kurang menjelaskan atas tindakan yang akan
dilaksanakan pada korban S. Dalam kasus tersebut ketidaksepurnaan dalam
penyampaian inform consent dapat menyebabkan salah paham antara pihak,
sehingga dapat menyebabkan masalah yang fatal seperti pada kasus korban S
yang tentunya menyalahi pasal Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang inform
consent, dan Pasal 359 Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang suatu klausal yang dapat
menyebabkan kematian. Dalam kasus S tergolong dalam criminal
malpractice dimana adanya tindakan dari dokter yang mengakibatkan adanya
pasien meninggal dunia.
Saran :
Seharusnya penyampaian inform consent lebih diperjelas mengenai teknis
tindakan yang akan dilakukan terhadap S dan kemungkinan yang bisa terjadi
pada korban S sembuh pada keadaan semula atau sebaliknya cacat hingga
kematian. Harus diampaikan kepada korban dan keluarganya dengan cara yang
baik dan mudah dipahami.
KASUS PELANGGARAN ETIK
Kasus
Ners Sony bekerja di sebuah rumah sakit dan tinggal di daerah pedesaan.
Saat di rumah dia melakukan praktik dengan menerima pasien dari masyarakat
sekitarnya. Semakin lama pasiennya bertambah banyak. Saat praktik dia
memberikan pengobatan sesuai dengan pengalamannya saat bekerja di rumah
sakit. Pada suatu hari datang Tn. Ahmad dengan keluhan mual, muntah, pusing,
dan hipertermi. Ners Sony kemudian memberikan injeksi dan obat kepada
pasien. Setelah 2 jam di rumah, Tn. Ahmad mengalami kejang dan tidak
sadarkan diri. Keluarga panik dan akan melaporkan Ners Sony ke polisi.
Analisis
Dari kasus tersebut perlu dilakukan analisa dan klarifikasi lebih dalam
terkait bagaimana seorang perawat memberikan asuhan keperawatan kepada
klien, cakupan tanggungjawab perawat dalam melaksanakan tugas profesional
yang berdaya guna dan berhasil guna. Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut dari
aspek etik dan hukum dalam profesi keperawatan.
Praktek keperawatan yang aman memerlukan pemahaman tentang
batasan legal yang ada dalam praktik perawat. Pemahaman tentang implikasi
hukum dapat mendukung pemikiran kritis seorang perawat, sama dengan semua
aspek keperawatan. Perawat perlu memahami hukum untuk melindungi hak
pasien dan dirinya sendiri dari masalah. Perawat tidak perlu takut hukum, tetapi
lebih melihat hukum sebagai dasar pemahaman terhadap apa yang masyarakat
atau pasien harapkan dari penyelenggara pelayanan keperawatan yang
profesional.
Prinsip legal dan etis meliputi prinsip otonomi, berbuat baik, keadilan,
tidak merugikan, kejujuran, menepati janji, kerahasiaan, akuntabilitas
dan informed consent. Semua prinsip tersebut harus ada pada seorang perawat
yang profesional, sehingga dalam pelayanannya melakukan asuhan keperawatan
untuk pasien itu sesuai dengan standar dan pasien nantinya akan merasakan
hak-haknya dipenuhi dengan baik sebagai seorang pasien baik itu di Rumah
Sakit atau pelayanan kesehatan lain.
Setiap perawat akan melakukan tindakan keperawatan baik itu di Rumah
Sakit maupun diluar Rumah Sakit, harus menyampaikan informasi yang benar
dan jujur kepada pasien, seperti efek yang akan ditimbulkan ketika pasien
mendapat tindakan keperawatan tertentu dan berapa lama suatu obat bekerja.
Pada kasus diatas, Ns. Sony melakukan tindakan keperawatan memberikan
obat. Pemberian obat merupakan salah satu tindakan medis yang dimiliki oleh
dokter untuk kategori jenis obat yang diberikan, namun untuk pelaksanaannya
adalah perawat yang melakukan pemberian obat tersebut, baik itu oral,
perenteral, suppositoria dan yang lainnya.
Menurut Guy (2010), perawat harus menyampaikan informasi yang benar
dan jujur kepada pasien terkait dengan tindakan atau resiko yang akan dialami
oleh pasien, tidak dianjurkan seorang perawat atau tenaga medis lainnya
menyampaikan informasi yang tidak benar bahkan sampai menakut-nakuti
pasien dan keluarga dengan harapan mereka mau atau tidak mau dilakukan
tindakan medis atau keperawatan, disesuaikan dengan situasi dan kasus yang
ada.
Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin
dalam setiap langkahnya, termasuk penampilan diri serta keputusan yang
diambil dalam merespon situasi yang muncul. Oleh karena itu,
pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta penerapannya
menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan asuhan
keperawatan dimana nilai-nilai pasen selalu menjadi
pertimbangan dan dihormati. Memahami masalah etika, hukum, dan sosial
untuk menyelesaikan masalah dalam praktek sangat penting untuk melayani
pasien, keluarga, dan masyarakat dengan aman serta perawatan kesehatan yang
efektif.
Secara legal etik, setiap tindakan yang dilakukan pada pasien harus
diberikan informasi dan dilakukan penandatanganan formulir yang disebut
sebagai informed consent.Informed consent adalah pengakuan atas
hak autonomy pasien, yaitu hak untuk dapat menentukan sendiri apa yang boleh
dilakukan terhadap dirinya. karenanya tidak hanyainformed consent yang kita
kenal, melainkan juga informed refusal. Doktrin informed
consent mensyaratkan agar pembuat consent telah memahami masalahnya
terlebih dahulu (informed) sebelum membuat keputusan.
Dengan demikian, informed consent adalah suatu proses yang
menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan
bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan
dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dan aspek hukum bukanlah
suatu perjanjian antara dua pihak melainkan ke arah persetujuan sepihak atas
tindakan yang ditawarkan pihak lain. Dengan demikian cukup ditandatangani
oleh pasien atau walinya. Sebelum ners sony melakukan tindakan, pasien juga
harus benar-benar mendapatkan informasi yang benar serta tidak
membahayakan pasien, dalam hal ini Tn. Ahmad. Hal tersebut sesuai dengan
nilai keadilan (justice) dan tdak membahayakan (beneficience). Apalagi
tindakan yang dilakukan ners Sony salah satunya yaitu pemberian obat. Nama
obat dan kegunaan serta efek sampingnya harus pasien ketahui dengan baik.
Informed consent dirumuskan sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien
atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah
memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan
untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang
mungkin terjadi.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi
minimal 3 (tiga) unsur meliputi keterbukaan informasi yang cukup diberikan,
dokter atau tenaga kesehatan lain yang berkompeten dalam memberikan
informasi tersebut dan persetujuan dari pasien dengan sukarela (tanpa paksaan
atau tekanan). Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di
Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan informed consent karena jauh
sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu
meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum
tindakan operasi itu dilakukan.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent
mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia.
2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan.