Anda di halaman 1dari 15

HUKUM KESEHATAN / KEPERAWATAN

Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan langsung pada
pelayanan kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi dan hukum
pidana (UU Kesehatan No. 23 tahun 1992).

Hukum kesehatan adalah kumpulan peraturan yang berkaitan langsung dengan pemberian
perawatan dan juga penerapannya kepada hukum perdata, hukum pidana dan hukum
administrasi (Prot. Van der Miju).

Hukum kesehatan ini lebih luas dari pada hukum kedokteran atau hukum perawatan.

 Perlunya Undang-Undang Kesehatan

Mengapa perlunya undang-undang kesehatan, hal ini di sebabkan oleh :


1. Kesehatan-kesejahteraan merupakan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD
1945;
2. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan sumber
daya manusia yang merupakan modal pembangunan nasional;

3. Perlunya penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dan terpadu;

4. Perundang-undangan yang ada tidak sesuai lagi.

Undang-Undang praktik Keperawatan

Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan.


Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan
derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari
pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan
perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan
pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga
memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian
yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika
profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas,
kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah
dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas,
efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian
interprofesional (WHO, 2002).

Sebelum membahas lebih dalam tentang undang- undang praktik keperawatan mari
kita mengulas secara singkat beberapa undang- undang yang ada di indonesia yang berkaitan
peraktik keperawatan.

UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan. UU ini merupakan penjabaran dari
UU No. 9 tahun 1960. Undang- undang ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan
sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, apoteker, dan dokter gigi. Tenaga perawat termasuk
tenaga yang bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah. UU ini boleh
dikatakan sudah usang, karena dalam UU ini juga tercantum berbagai jenis tenaga sarjana
keperawatan seperti sekarang ini.

UU Kesehatan No. 18 tahun 1964 mengatur tentang Wajib Kerja Paramedis. Pada
pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah, dan rendah
wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun. Dalam UU ini, lagi- lagi
posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis
termasuk dokter.

Dalam SK Menkes No. 262/Per/Vll/1979 tahun 1979 yan membedakan paramedis


menjadi dua golongan yaitu golongan medis keperawatan (termasuk bidan) dan paramedis
non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat di sini bahwa tenaga bidan
tidak terpisah tetapi juga termasuk katagori keperawatan (Soekanto & Herkutanto, 1987;
Sciortino, 1991).

Dalam Permenkes No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980, pemerintah membuat


suatu peryataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawatan dan bidan.

Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor


94/Menpan/1986, tangal 4 nopenber 1986 menjelaskan jabatan fungsional tenaga
keperawatan dan system kredit poin. Sistem ini menguntungan perawat, karena dapat naik
pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya.

UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 merupakan UU yang banyak memberi kesempatan


bagi perkembangan keperawatan termasuk praktik keperawatan profesional, kerena dalam
UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak- hak pasien, kewenagan, maupun
perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan. Beberapa peryataan UU
Kesehatan No. 23 tahun 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik
Keperawatan adalah: 1) Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar
profesi dan hak- hak pasien ditetepkan dengan peraturan pemerintah. 2) Pasal 50 ayat 1
menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelengarakan atau melaksakan kegiatan
sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya; Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak
untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan (Jahmono, 1993).

PPNI dan Pengesahan Undang- Undang praktik Keperawatan.

Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini yang jatuh tanggal 12 mei, Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik
Keperawatan. Hal ini karena:

1) Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok


pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk
menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang
memenuhi standar dan diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian
terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan bertanggungugat terhadap
tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur
hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan
kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang
beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga,kelompok dan
komunitas).

2) Kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang


dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang formal dan terstandar
menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang
dilakukannya. Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk
digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena
itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan
peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari
praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang
kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan
fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi
pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat
yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem
registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat
yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan
untuk bekerja sesuai standar.

3) Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat


kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari
pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil
dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi
dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum.
Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional,
semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan
dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki
tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama
berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya),
keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan
keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional
(WHO, 2002).

4) Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan


keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma
dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan
pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang
lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan
sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan
pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang
bermutu sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh
kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.

2. Undang- Undang praktik Keperawatan di Negara Tetangga

Negara-negara ASEAN seperti Philippines, Thailand, Singapore, Malaysia, sudah


memiliki Undang Undang Praktik Keperawatan (Nursing Practice Acts) sejak puluhan tahun
yang lalu. Mereka siap untuk melindungi masyarakatnya dan lebih siap untuk menghadapi
globalisasi perawat asing yang masuk ke negaranya dan perawatnya bekerja di negara lain.
Ketika penandatanganan Mutual Recognition Arrangement di Philippines tahun 2006, posisi
Indonesia, bersama dengan Vietnam, Laos dan Myanmar, yang belum memiliki Konsil
Keperawatan. Semoga apa yang dilakukan oleh PPNI dapat mengangkat derajad bangsa ini
dengan negara lain, khususnya dalam pelayanan kesehatan.

Perawat telah memberi konstribusi yang cukup besar dalam pemberian pelayanan
kesehatan, akan tetapi belum mendapat pengimbangan dari perlindungan hukum, bahkan
sering menjadi objek dalam masalah hukum. Dan yang menjadi pertanyaan ”kemana hak dan
jasa untuk profesi keperawatan?“.

Pengembangan kesehatan masyarakat di Indonesia yang telah dijalankan selama ini


masih memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara pendekatan pembangunan kesehatan
masyarakat dengan tanggapan masyarakat, manfaat yang diperoleh masyarakat, dan
partisipasi masyarakat yang diharapkan. Meskipun di dalam Undang-undang No. 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan telah ditegaskan bahwa tujuan pembangunan kesehatan masyarakat
salah satunya adalah meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah
kesehatannya. Oleh karena itu pemerintah maupun pihak-pihak yang memiliki perhatian
cukup besar terhadap pembangunan kesehatan masyarakat –termasuk perawat spesialis
komunitas— perlu mencoba mencari terobosan yang kreatif agar program-program tersebut
dapat dilaksanakan secara optimal dan berkesinambungan.

Salah satu intervensi keperawatan komunitas di Indonesia yang belum banyak digali
adalah kemampuan perawat spesialis komunitas dalam membangun jejaring kemitraan di
masyarakat. Padahal, membina hubungan dan bekerja sama dengan elemen lain dalam
masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang memiliki pengaruh signifikan pada
keberhasilan program pengembangan kesehatan masyarakat (Kahan & Goodstadt, 2001).
Pada bagian lain Ervin (2002) menegaskan bahwa perawat spesialis komunitas memiliki
tugas yang sangat penting untuk membangun dan membina kemitraan dengan anggota
masyarakat. Bahkan Ervin mengatakan bahwa kemitraan merupakan tujuan utama dalam
konsep masyarakat sebagai sebuah sumber daya yang perlu dioptimalkan (community-as-
resource), dimana perawat spesialis komunitas harus memiliki ketrampilan memahami dan
bekerja bersama anggota masyarakat dalam menciptakan perubahan di masyarakat.

3. Tujuan Undang- Undang praktek Keperawatan :

Tujuan utama
Memberikan landasan hukum terhadap praktik keperawatan untuk melindungi baik
masyarakat maupun perawat

Tujuan Khusus
a. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan kesehatan yang
diberikan oleh perawat.
b. Melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan perawat.

c. Menetapkan standar pelayanan keperawatan

d. Menapis ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan

e. Menilai boleh tidaknya perawat untuk menjalankan praktik keperawatan

f. Menilai ada tidaknya kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan perawat dalam
memberi pelayanan.

HUKUM DALAM KEPERAWATAN


A. Pengertian Hukum

 Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam


suatu kehidupan bersama; atau keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku
dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi.

 Hukum adalah keseluruhan peraturan yang mengatur dan menguasai manusia dalam
kehidupan bersama. Berkembang di dalam masyarakat dalam kehendak, merupakan
sistem peraturan, sistem asas-asas, mengandung pesan kultural karena tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat.

 Pengertian Hukum Kesehatan :

Adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban baik dari tenaga kesehatan
dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun dari individu dan masyarakat yang menerima
upaya kesehatan tersebut dalam segala aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
serta organisasi dan sarana.

B. Tujuan hukum dalam keperawatan

Tujuan hukum yang mengendalikan cakupan praktek keperawatan, ketentuaan, perizinan bagi
perawat, dan standar asuhan adalah melindungi kepentingan masyarakat .perawat yang
mengetahui dan menjalankan undang-undang praktik perawat serta standar asuhan akan
memberikan layanan keperawatan yang aman dan kompeten.

C. Fungsi hukum dalam keperawatan

1. Hukum memberikan kerangka kerja untuk menetapkan jenis tindakan keperawatan


yang sah dalam asuhan klien.
2. Hukum membedakan tanggung jawab perawat dari tenaga propesional kesehatan
lain.
3. Hukum membantu memberikan batasan tindakan keperawatan yang mandiri.
4. Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan
5. Membedakan tanggung jawab dengan profesi yang lain
6. Membantu mempertahankan standar praktek keperawatan dengan meletakkan posisi
perawat memiliki akuntabilitas di bawah hukum
D. Sumber Hukum

Pedoman legal yang dianut perawat berasal dari hukum perundang-undangan, hukum
peraturan, dan hukum umum.

1. Hukum Perundang-undangan

Hukum yang dikeluarkan oleh badan legislatif. Menggambarkan dan menjelaskan batasan
legal praktek keperawatan. Undang-undang ini melindungi hak-hak penyandang cacat di
tempat kerja, institusi pendidikan, dan dalam masyarakat.

2. Hukum peraturan atau hukum administratif

Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh badan administratif. Salah satu contoh hukum
peraturan adalah kewajiban untuk melaporkan tindakan keperawatan yang tidak kompeten
atau tidak etis.

3. Hukum umum

Berasal dari keputusan pengadilan yang dibuat di ruang pengadilan saat kasus hukum
individu diputuskan. Contoh hukum umum adalah informed consent dan hak klien untuk
menolak pengobatan.

E. Peran Perawat Berdasarkan Hukum

Berdasarkan hukum, perawat memiliki tiga peran berbeda yang saling bergantung, masing-
masing dengan hak dan kewajiban yang terkait, yaitu sebagai penyedia layanan, pegawai atau
penerima kontrak sebagai penyedia layanan, dan warga negara.

1. Penyedia Layanan

Perawat diharapkan memberikan perawatan yang aman dan kompeten. Tersirat dalam peran
ini adalah beberapa konsep hukum, yakni tanggung wajib, standar asuhan, dan kewajiban
kontrak.

2. Pegawai atau Penerima Kontrak Sebagai Penyedia Layanan

Perawat yang diperkerjakan oleh suatu lembaga bekerja sebagai perwakilan lembaga tersebut
dan kontrak perawat dengan klien merupakan bentuk kontrak tersirat.

3. Warga Negara

Hak dan kewajiban perawat sebagai warga negara sama dengan setiap individu yang berada
di bawah sistem hukum. Hak-hak kewarganegaran melindungi klien dari bahaya dan
menjamin pemberian hak atas harta pribadi mereka, hak atas privasi, kerahasian, dan hak-hak
lain. Hak ini juga berlaku bagi perawat.
Pertanggungjawaban Hukum Perawat Dalam Penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan

Arrie Budhiartie,SH,M.Hum
Perawat merupakan aspek penting dalam pembangunan kesehatan Perawat merupakan
salah satu tenaga kesehatan yang diatur dalam PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan. Bahkan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, tenaga perawat
merupakan jenis tenaga kesehatan terbesar yang dalam kesehariannya selalu berhubungan
langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Namun di dalam menjalankan
tugasnya tak jarang perawat bersinggungan dengan masalah hukum.

Bahkan profesi perawat sangat rentan dengan kasus hukum seperti gugatan malpraktik
sebagai akibat kesalahan yang dilakukannya dalam pelayanan kesehatan. Terlebih lagi
bahwa perawat bukan lagi sekedar tenaga kesehatan yang pasif.

Dalam lingkup modern dan pandangan baru itu, selain adanya perubahan status yuridis
dari “perpanjangan tangan” menjadi “kemitraan” atau “kemandirian”, seorang perawat
juga telah dianggap bertanggung jawab hukum untuk malpraktik keperawatan yang
dilakukannya, berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam hal ini dibedakan
tanggung jawab untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yakni dalam bentuk
malpraktik medik (yang dilakukan oleh dokter) dan malpraktik keperawatan.

Dalam praktik keperawatan, fungsi perawat terdiri dari tiga yakni, pertama; fungsi
independent, adalah those activities that are considered to be within nursing’s scope of
diagnosos and treatment. Dalam fungsi ini tindakan perawat tidak membutuhkan perintah
dokter, kedua; fungsi interdependen adalah carried out in conjunction with other health
team members. Tindakan perawat yang berdasarkan pada kerja sama dengan tim
perawatan atau tim kesehatan. Kewenangan yang dimiliki dalam menjalankan fungsi ini
disebut sebagai kewenangan delegasi karena diperoleh karena adanya suatu pendelegasian
tugas dari dokter kepada perawat, ketiga; fungsi dependen adalah the activities performed
based on the physician’s order. Di sini perawat bertindak membantu dokter dalam
memberikan pelayanan medik, memberikan pelayanan pengobatan, dan tindakan khusus
yang menjadi wewenang dokter yang seharusnya dilakukan oleh dokter seperti
pemasangan infus, pemberian obat, melakukan suntukan dan sebagainya.

Dilihat dari peran perawat, maka secara garis besar perawat mempunyai peran sebagai
berikut peran perawatan (caring role/independent), peran koordinatif (coordinative
role/interdependent), dan peran terapeutik (therapeutik role/dependent)

Tugas pokok perawat apabila bekerja di RS adalah memberikan pelayanan berbagai


perawatan paripurna. Oleh karena itu tanggung jawab perawat harus dilihat dari peran
perawat di atas. Dalam peran perawatan dan koordinatif, perawat mempunyai tanggung
jawab yang mandiri. Sementara peran terapeutik bahwa dalam keadaan tertentu beberapa
kegiatan diagnostik dan tindakan medik dapat dilimpahkan untuk dilaksanakan oleh
perawat.
Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa tanggung jawab utama tetap pada dokter yang
memberikan tugas. Sedangkan perawat mempunyai tanggung jawab pelaksana.
Pelimpahan hanya dapat dilaksanakan setelah perawat tersebut mendapat pendidikan dan
kompetensi yang cukup untuk menerima pelimpahan. Pelimpahan jangka panjang atau
terus menerus dapat diberikan kepada perawat kesehatan dengan kemahiran khusus, yang
diatur dengan peraturan tersendiri (standing order).

Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya pengaturan tentang pelimpahan tugas yang
sesuai dengan keahlian perawat, misalnya perawat khusus gawat darurat, perawat pasien
gangguan jiwa, perawat bedah, dan seterusnya. Dalam peran terapeutik maka berlaku
verlengle arm van de arts/prolonge arm/extended role doctrine (doktrin perpanjangan
tangan dokter). Tanpa delegasi atau pelimpahan, perawat tidak diperbolehkan mengambil
inisiatif sendiri.

Wewenang dalam melaksanakan praktik keperawatan diatur dalam Permenkes No.


HK.02.02/MENKES/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.
Praktik keperawatan dilaksankan melalui kegiatan pelaksanaan asuhan keperawatan,
pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan dan pemberdayaan masyarakat, dan
pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer

Pertanggungjawaban perawat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat dilihat


berdasarkan tiga (3) bentuk pembidangan hukum yakni pertanggungjawaban secara
hukum keperdataan, hukum pidana dan hukum administrasi.

Gugatan keperdataan terhadap perawat bersumber pada dua bentuk yakni perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata
dan perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai dengan ketentuan Pasal 1239
KUHPerdata. Dan Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan dalam
KUHPerdata maka dapat dikatagorikan ke dalam 4 (empat) prinsip sebagai berkut: (a).
Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal liability) berdasarkan Pasal 1365
BW dan Pasal 1366 BW. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka seorang perawat
yang melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya yang
mengakibatkan kerugian pada pasien maka ia wajib memikul tanggungjawabnya secara
mandiri. (b). Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability
atau let's the master answer maupun khusus di ruang bedah dengan asas the captain of ship
melalui Pasal 1367 BW. Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka
kesalahan yang terjadi dalam menjalankan fungsi interdependen perawat akan melahirkan
bentuk pertanggungjawaban di atas. Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja
di bawah perintah dokter/rumah sakit, maka perawat akan bersama-sama bertanggung
gugat kepada kerugian yang menimpa pasien. (c). Pertanggungjawaban dengan asas
zaakwarneming berdasarkan Pasal 1354 BW. (d). Dalam hal ini konsep
pertanggungjawaban terjadi seketika bagi seorang perawat yang berada dalam kondisi
tertentu harus melakukan pertolongan darurat dimana tidak ada orang lain yang
berkompeten untuk itu.

Perlindungan hukum dalam tindakan zaarwarneming perawat tersebut tertuang dalam


Pasal 10 Permenkes No. 148 Tahun 2010. Perawat justru akan dimintai
pertanggungjawaban hukum apabila tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan
dalam Pasal 10 tersebut.

Gugatan berdasarkan wanprestasi seorang perawat akan dimintai pertanggungjawaban


apabila terpenuhi unsur-unsur wanprestasi yaitu: (a). Tidak mengerjakan kewajibannya
sama sekali; dalam konteks ini apabila seorang perawat tidak mengerjakan semua tugas
dan kewenangan sesuai dengan fungsinya, peran maupun tindakan keperawatan. (b).
Mengerjakan kewajiban tetapi terlambat; dalam hal ini apabila kewajiban sesuai fungsi
tersebut dilakukan terlambat yang mengakibatkan kerugian pada pasien. Contoh kasus
seorang perawat yang tidak membuang kantong urine pasien dengan kateter secara rutin
setiap hari. Melainkan 2 hari sekali dengan ditunggu sampai penuh. Tindakan tersebut
megakibatkan pasien mengalami infeksi saluran urine dari kuman yang berasal dari urine
yang tidak dibuang. (c). Mengerjakan kewajiban tetapi tidak sesuai dengan yang
seharusnya; suatu tugas yang dikerjakan asal-asalan. Sebagai contoh seorang perawat
yang mengecilkan aliran air infus pasien di malam hari hanya karena tidak mau terganggu
istirahatnya. (d). Mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan; dalam hal ini
apabila seorang perawat melakukan tindakan medis yang tidak mendapat delegasi dari
dokter, seperti menyuntik pasien tanpa perintah, melakukan infus padahal dirinya belum
terlatih.

Apabila seorang perawat terbukti memenuhi unsur wanprestasi, maka


pertanggungjawaban itu akan dipikul langsung oleh perawat yang bersangkutan sesuai
personal liability.

Sementara dari aspek pertanggungjawaban secara hukum pidana seorang perawat baru
dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut;
pertama; suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum ; dalam hal ini apabila perawat
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang tertuang dalam Pasal 8
Permenkes No. 148/2010, kedua; mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang
perawat yang memahami konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan secara
kemampuan, telah mendapat pelatihan dan pendidikan untuk itu. Artinya seorang perawat
yang menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan pasien, ketiga; adanya kesalahan
(schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan (culpa), ketiga; tidak adanya
alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak ada alasan pemaaf seperti tidak
adanya aturan yang mengijinkannya melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada alasan
pembenar.

Secara prinsip, pertanggungjawaban hukum administrasi lahir karena adanya pelanggaran


terhadap ketentuan hukum administrasi terhadap penyelenggaraan praktik perawat
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Permenkes No. 148/2010 telah memberikan
ketentuan administrasi yang wajib ditaati perawat yakni: (a). Surat Izin Praktik Perawat
bagi perawat yang melakukan praktik mandiri. (b). Penyelengaraan pelayanan kesehatan
berdasarkan kewenangan yang telah diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dengan pengecualian
Pasal 10. (c).Kewajiban untuk bekerja sesuai standar profesi

Ketiadaan persyaratan administrasi di atas akan membuat perawat rentan terhadap gugatan
malpraktik. Ketiadaan SIPP dalam menjalankan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
merupakan sebuah administrative malpractice yang dapat dikenai sanksi hukum.

Ada dua ketentuan tentang kewajiban izin tersebut untuk perawat yang bekerja di sebuah
RS. Pada UU Kesehatan dan UU RS disebutkan bahwa RS dilarang mempekerjakan
karyawan/tenaga profesi yang tidak mempunyai surat izin praktik. Sementara dalam
Permenkes No, 148/2010 SIPP bagi perawat yang bekerja di RS (disebutkan dengan
istilah fasilitas yankes di luar praktik mandiri) tidak diperlukan.

Kerancuan norma ini akan membingungkan penyelenggara yan bersangkutan dala


menjalankan profesinya. Namun apabila dilihat dari pembentukan perundang-undangan
maka kekuatan mengikat undang-undang akan lebih kuat dibandingkan senuah peraturan
menteri yang di dalam UU NO, 10 Tahun 2004 tidak termasuk sebagai bagian dari
perundang-undangan.

Bentuk sanksi administrasi yang diancamkan pada pelanggaran hukum adminitarsi ini
adalah teguran lisan, teguran tertulis, dan pencabutan izin. Dalam praktek pelaksanaannya,
banyak perawat yang melakukan praktik pelayanan kesehatan yang meliputi pengobatan
dan penegakan diagnosa tanpa SIPP dan pengawasan dokter. Khusus untuk Kota Jambi,
pelanggaran ini masih banyak terjadi namun tidak pernah dilakukan pengawasan dan
penerapan sanksi represif sebagai upaya pemerintah memberikan perlindungan pada
masyarakat
Etika dan hukum kesehatan

Etika berhubungan dengan moral orang


Hukum kesehatan merupakan aturan-aturan dalam kesehatan

Di dalam pelayanan kesehatan tentu ada aturan-aturan yang berkaitan dengan kesehatan
yaitu bagaimana menghandle masalah-masalah itu tidak keluar dari etika dan hukum agar
apa yang dikerjakan tidak menimbulkan efek secara etika dan hukum terhadap diri sendiri
dan orang lain.
Etik berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang artinya yang baik/yang layak. Yang baik /
yang layak ini ukurannya orang banyak.
Secara lebih luas, etika merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku
kelompok profesi tertentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.
Pekerjaan profesi antara lain dokter, apoteker, ahli kesehatan masyarakat, perawat,
wartawan, hakim, pengacara, akuntan, dan lain-lain.
Katanya, kedokteran adalah profesi yang paling duluan menyusun etika. Yang mana etika
kedokteran itu adalah prinsip-prinsip moral atau azas-azas akhlak yang harus diterapkan
oleh dokter dalam hubungannya dengan pasien, sejawat, dan masyarakat umum.
Sedangkan etika ahli kesehatan masyarakat adalah bagaimana bertingkah laku dalam
memberikan jasa dalam pelayananya nanti.
Ciri-ciri pekerjaan profesi :
1. Mengikuti pendidikan sesuai standar nasional
2. Pekerjaannya berlandaskan etik profesi
3. Mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan
4. Pekerjaannya legal melalui perizinan
5. Anggotanya belajar sepanjang hayat (longlife education)
6. Mempunyai organisasi profesi (ex: IDI, IAKMI, PWI, dll)
Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam
mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat agar masyarakat bisa teratur.
Hukum perdata mengatur subjek dan antar subjek dalam hubungan interrelasi (kedudukan
sederajat) (1887)
Hukum pidana adalah peraturan mengenai hokum KUHP di Indonesia (1 Januari 1918)
Hukum kesehatan (No. 23 tahun 1992) adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan / pelayanan dan penerapannya. Yang diatur menyangkut
hak dan kewajiban baik perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima
pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala
aspeknya, organisasi, sarana pedoman standar pelayanan medic, ilmu pengetahuan
kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.
Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen yang berhubungan dengan kesehatan,
contohnya hukum pelayanan kesehatan terhadap keluarga miskin (Gakin).
Persamaan etika dan hukum :
1. Alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat
2. Objeknya tingkah laku manusia
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling merugikan.
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi
5. Sumbernya hasil pemikiran para pakar dan pengalaman senior
Etika disusun oleh pengalaman senior
Hukum disusun oleh yang memiliki kekuasaan
Perbedaan etik dan hukum :
ETIKA HUKUM
1. Berlaku untuk lingkungan professional
2. Disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi
3. Tidak seluruhnya tertulis

4. Pelanggaran diselesaikan oleh majelis kehormatan etik


5. Sanksi pelanggaran tuntunan
6. Penyelesaian pelanggaran tidak selalu disertai bukti fisik 1. Berlaku untuk umum
2. Disusun oleh badan pemerintah / kekuasaan
3. Tercantum secara rinci dalam kitab UU dan lembaran/berita negara
4. Pelanggaran diselesaikan melalui pengadilan
5. Sanksi pelanggaran tuntutan
6. Penyelesaian pelanggaran memerlukan bukti fisik

Etika kesehatan mencakup penilaian terhadap gejala kesehatan yang disetujui atau ditolak
dan suatu kerangka rekomendasi bagaimana bersikap/bertindak secara pantas di dalam
bidang kesehatan.
Perihal hubungan tenaga kesehatan dengan pasien dan keluarganya :
1. Paternalisme  kalangan
Profesi kesehatan harus berperan sebagai orangtua terhadap pasien dan keluarganya
2. Individualisme
Pasien mempunyai hak-hak mutlak terhadap badan dan kehidupannya
3. Resiprokalisme
Kalangan profesi kesehatan harus bekerja sama dengan pasien dan keluarganya dalam
memberikan pelayanan kesehatan
Landasan pembentukan perundang-undngan pelayanan kesehatan (WB Van Der Mijn
1982)
1. Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa keahlian
2. Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian tertentu
3. Kebutuhan akan keterarahan
4. Kebutuhan akan pengendalian biaya
5. Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya dan
identifikasi kewajiban pemerintah
6. Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum
7. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi para ahli
8. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi pihak ketiga
9. Kebutuhan akan perlindungan bagi kepentingan umum
Perlu sosialisasi peraturan hukum pada masyarakat
Masalah pokok dalam pembentukan perundang-undangan kesehatan :
1. Masalah prinsipil  apa yang boleh dilakuakn dan yang tidak boleh dilakukan
2. Masalah pragmatis  sampai sejauh manakah pembentuk perundang-undagan dapat
berbuat atau tidak berbuat

Anda mungkin juga menyukai