Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan langsung pada
pelayanan kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi dan hukum
pidana (UU Kesehatan No. 23 tahun 1992).
Hukum kesehatan adalah kumpulan peraturan yang berkaitan langsung dengan pemberian
perawatan dan juga penerapannya kepada hukum perdata, hukum pidana dan hukum
administrasi (Prot. Van der Miju).
Hukum kesehatan ini lebih luas dari pada hukum kedokteran atau hukum perawatan.
Sebelum membahas lebih dalam tentang undang- undang praktik keperawatan mari
kita mengulas secara singkat beberapa undang- undang yang ada di indonesia yang berkaitan
peraktik keperawatan.
UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan. UU ini merupakan penjabaran dari
UU No. 9 tahun 1960. Undang- undang ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan
sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, apoteker, dan dokter gigi. Tenaga perawat termasuk
tenaga yang bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah. UU ini boleh
dikatakan sudah usang, karena dalam UU ini juga tercantum berbagai jenis tenaga sarjana
keperawatan seperti sekarang ini.
UU Kesehatan No. 18 tahun 1964 mengatur tentang Wajib Kerja Paramedis. Pada
pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah, dan rendah
wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun. Dalam UU ini, lagi- lagi
posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis
termasuk dokter.
Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini yang jatuh tanggal 12 mei, Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik
Keperawatan. Hal ini karena:
Perawat telah memberi konstribusi yang cukup besar dalam pemberian pelayanan
kesehatan, akan tetapi belum mendapat pengimbangan dari perlindungan hukum, bahkan
sering menjadi objek dalam masalah hukum. Dan yang menjadi pertanyaan ”kemana hak dan
jasa untuk profesi keperawatan?“.
Salah satu intervensi keperawatan komunitas di Indonesia yang belum banyak digali
adalah kemampuan perawat spesialis komunitas dalam membangun jejaring kemitraan di
masyarakat. Padahal, membina hubungan dan bekerja sama dengan elemen lain dalam
masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang memiliki pengaruh signifikan pada
keberhasilan program pengembangan kesehatan masyarakat (Kahan & Goodstadt, 2001).
Pada bagian lain Ervin (2002) menegaskan bahwa perawat spesialis komunitas memiliki
tugas yang sangat penting untuk membangun dan membina kemitraan dengan anggota
masyarakat. Bahkan Ervin mengatakan bahwa kemitraan merupakan tujuan utama dalam
konsep masyarakat sebagai sebuah sumber daya yang perlu dioptimalkan (community-as-
resource), dimana perawat spesialis komunitas harus memiliki ketrampilan memahami dan
bekerja bersama anggota masyarakat dalam menciptakan perubahan di masyarakat.
Tujuan utama
Memberikan landasan hukum terhadap praktik keperawatan untuk melindungi baik
masyarakat maupun perawat
Tujuan Khusus
a. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan kesehatan yang
diberikan oleh perawat.
b. Melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan perawat.
f. Menilai ada tidaknya kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan perawat dalam
memberi pelayanan.
Hukum adalah keseluruhan peraturan yang mengatur dan menguasai manusia dalam
kehidupan bersama. Berkembang di dalam masyarakat dalam kehendak, merupakan
sistem peraturan, sistem asas-asas, mengandung pesan kultural karena tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat.
Adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban baik dari tenaga kesehatan
dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun dari individu dan masyarakat yang menerima
upaya kesehatan tersebut dalam segala aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
serta organisasi dan sarana.
Tujuan hukum yang mengendalikan cakupan praktek keperawatan, ketentuaan, perizinan bagi
perawat, dan standar asuhan adalah melindungi kepentingan masyarakat .perawat yang
mengetahui dan menjalankan undang-undang praktik perawat serta standar asuhan akan
memberikan layanan keperawatan yang aman dan kompeten.
Pedoman legal yang dianut perawat berasal dari hukum perundang-undangan, hukum
peraturan, dan hukum umum.
1. Hukum Perundang-undangan
Hukum yang dikeluarkan oleh badan legislatif. Menggambarkan dan menjelaskan batasan
legal praktek keperawatan. Undang-undang ini melindungi hak-hak penyandang cacat di
tempat kerja, institusi pendidikan, dan dalam masyarakat.
Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh badan administratif. Salah satu contoh hukum
peraturan adalah kewajiban untuk melaporkan tindakan keperawatan yang tidak kompeten
atau tidak etis.
3. Hukum umum
Berasal dari keputusan pengadilan yang dibuat di ruang pengadilan saat kasus hukum
individu diputuskan. Contoh hukum umum adalah informed consent dan hak klien untuk
menolak pengobatan.
Berdasarkan hukum, perawat memiliki tiga peran berbeda yang saling bergantung, masing-
masing dengan hak dan kewajiban yang terkait, yaitu sebagai penyedia layanan, pegawai atau
penerima kontrak sebagai penyedia layanan, dan warga negara.
1. Penyedia Layanan
Perawat diharapkan memberikan perawatan yang aman dan kompeten. Tersirat dalam peran
ini adalah beberapa konsep hukum, yakni tanggung wajib, standar asuhan, dan kewajiban
kontrak.
Perawat yang diperkerjakan oleh suatu lembaga bekerja sebagai perwakilan lembaga tersebut
dan kontrak perawat dengan klien merupakan bentuk kontrak tersirat.
3. Warga Negara
Hak dan kewajiban perawat sebagai warga negara sama dengan setiap individu yang berada
di bawah sistem hukum. Hak-hak kewarganegaran melindungi klien dari bahaya dan
menjamin pemberian hak atas harta pribadi mereka, hak atas privasi, kerahasian, dan hak-hak
lain. Hak ini juga berlaku bagi perawat.
Pertanggungjawaban Hukum Perawat Dalam Penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan
Arrie Budhiartie,SH,M.Hum
Perawat merupakan aspek penting dalam pembangunan kesehatan Perawat merupakan
salah satu tenaga kesehatan yang diatur dalam PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan. Bahkan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, tenaga perawat
merupakan jenis tenaga kesehatan terbesar yang dalam kesehariannya selalu berhubungan
langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Namun di dalam menjalankan
tugasnya tak jarang perawat bersinggungan dengan masalah hukum.
Bahkan profesi perawat sangat rentan dengan kasus hukum seperti gugatan malpraktik
sebagai akibat kesalahan yang dilakukannya dalam pelayanan kesehatan. Terlebih lagi
bahwa perawat bukan lagi sekedar tenaga kesehatan yang pasif.
Dalam lingkup modern dan pandangan baru itu, selain adanya perubahan status yuridis
dari “perpanjangan tangan” menjadi “kemitraan” atau “kemandirian”, seorang perawat
juga telah dianggap bertanggung jawab hukum untuk malpraktik keperawatan yang
dilakukannya, berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam hal ini dibedakan
tanggung jawab untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yakni dalam bentuk
malpraktik medik (yang dilakukan oleh dokter) dan malpraktik keperawatan.
Dalam praktik keperawatan, fungsi perawat terdiri dari tiga yakni, pertama; fungsi
independent, adalah those activities that are considered to be within nursing’s scope of
diagnosos and treatment. Dalam fungsi ini tindakan perawat tidak membutuhkan perintah
dokter, kedua; fungsi interdependen adalah carried out in conjunction with other health
team members. Tindakan perawat yang berdasarkan pada kerja sama dengan tim
perawatan atau tim kesehatan. Kewenangan yang dimiliki dalam menjalankan fungsi ini
disebut sebagai kewenangan delegasi karena diperoleh karena adanya suatu pendelegasian
tugas dari dokter kepada perawat, ketiga; fungsi dependen adalah the activities performed
based on the physician’s order. Di sini perawat bertindak membantu dokter dalam
memberikan pelayanan medik, memberikan pelayanan pengobatan, dan tindakan khusus
yang menjadi wewenang dokter yang seharusnya dilakukan oleh dokter seperti
pemasangan infus, pemberian obat, melakukan suntukan dan sebagainya.
Dilihat dari peran perawat, maka secara garis besar perawat mempunyai peran sebagai
berikut peran perawatan (caring role/independent), peran koordinatif (coordinative
role/interdependent), dan peran terapeutik (therapeutik role/dependent)
Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya pengaturan tentang pelimpahan tugas yang
sesuai dengan keahlian perawat, misalnya perawat khusus gawat darurat, perawat pasien
gangguan jiwa, perawat bedah, dan seterusnya. Dalam peran terapeutik maka berlaku
verlengle arm van de arts/prolonge arm/extended role doctrine (doktrin perpanjangan
tangan dokter). Tanpa delegasi atau pelimpahan, perawat tidak diperbolehkan mengambil
inisiatif sendiri.
Gugatan keperdataan terhadap perawat bersumber pada dua bentuk yakni perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata
dan perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai dengan ketentuan Pasal 1239
KUHPerdata. Dan Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan dalam
KUHPerdata maka dapat dikatagorikan ke dalam 4 (empat) prinsip sebagai berkut: (a).
Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal liability) berdasarkan Pasal 1365
BW dan Pasal 1366 BW. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka seorang perawat
yang melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya yang
mengakibatkan kerugian pada pasien maka ia wajib memikul tanggungjawabnya secara
mandiri. (b). Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability
atau let's the master answer maupun khusus di ruang bedah dengan asas the captain of ship
melalui Pasal 1367 BW. Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka
kesalahan yang terjadi dalam menjalankan fungsi interdependen perawat akan melahirkan
bentuk pertanggungjawaban di atas. Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja
di bawah perintah dokter/rumah sakit, maka perawat akan bersama-sama bertanggung
gugat kepada kerugian yang menimpa pasien. (c). Pertanggungjawaban dengan asas
zaakwarneming berdasarkan Pasal 1354 BW. (d). Dalam hal ini konsep
pertanggungjawaban terjadi seketika bagi seorang perawat yang berada dalam kondisi
tertentu harus melakukan pertolongan darurat dimana tidak ada orang lain yang
berkompeten untuk itu.
Sementara dari aspek pertanggungjawaban secara hukum pidana seorang perawat baru
dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut;
pertama; suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum ; dalam hal ini apabila perawat
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang tertuang dalam Pasal 8
Permenkes No. 148/2010, kedua; mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang
perawat yang memahami konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan secara
kemampuan, telah mendapat pelatihan dan pendidikan untuk itu. Artinya seorang perawat
yang menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan pasien, ketiga; adanya kesalahan
(schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan (culpa), ketiga; tidak adanya
alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak ada alasan pemaaf seperti tidak
adanya aturan yang mengijinkannya melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada alasan
pembenar.
Ketiadaan persyaratan administrasi di atas akan membuat perawat rentan terhadap gugatan
malpraktik. Ketiadaan SIPP dalam menjalankan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
merupakan sebuah administrative malpractice yang dapat dikenai sanksi hukum.
Ada dua ketentuan tentang kewajiban izin tersebut untuk perawat yang bekerja di sebuah
RS. Pada UU Kesehatan dan UU RS disebutkan bahwa RS dilarang mempekerjakan
karyawan/tenaga profesi yang tidak mempunyai surat izin praktik. Sementara dalam
Permenkes No, 148/2010 SIPP bagi perawat yang bekerja di RS (disebutkan dengan
istilah fasilitas yankes di luar praktik mandiri) tidak diperlukan.
Bentuk sanksi administrasi yang diancamkan pada pelanggaran hukum adminitarsi ini
adalah teguran lisan, teguran tertulis, dan pencabutan izin. Dalam praktek pelaksanaannya,
banyak perawat yang melakukan praktik pelayanan kesehatan yang meliputi pengobatan
dan penegakan diagnosa tanpa SIPP dan pengawasan dokter. Khusus untuk Kota Jambi,
pelanggaran ini masih banyak terjadi namun tidak pernah dilakukan pengawasan dan
penerapan sanksi represif sebagai upaya pemerintah memberikan perlindungan pada
masyarakat
Etika dan hukum kesehatan
Di dalam pelayanan kesehatan tentu ada aturan-aturan yang berkaitan dengan kesehatan
yaitu bagaimana menghandle masalah-masalah itu tidak keluar dari etika dan hukum agar
apa yang dikerjakan tidak menimbulkan efek secara etika dan hukum terhadap diri sendiri
dan orang lain.
Etik berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang artinya yang baik/yang layak. Yang baik /
yang layak ini ukurannya orang banyak.
Secara lebih luas, etika merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku
kelompok profesi tertentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.
Pekerjaan profesi antara lain dokter, apoteker, ahli kesehatan masyarakat, perawat,
wartawan, hakim, pengacara, akuntan, dan lain-lain.
Katanya, kedokteran adalah profesi yang paling duluan menyusun etika. Yang mana etika
kedokteran itu adalah prinsip-prinsip moral atau azas-azas akhlak yang harus diterapkan
oleh dokter dalam hubungannya dengan pasien, sejawat, dan masyarakat umum.
Sedangkan etika ahli kesehatan masyarakat adalah bagaimana bertingkah laku dalam
memberikan jasa dalam pelayananya nanti.
Ciri-ciri pekerjaan profesi :
1. Mengikuti pendidikan sesuai standar nasional
2. Pekerjaannya berlandaskan etik profesi
3. Mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan
4. Pekerjaannya legal melalui perizinan
5. Anggotanya belajar sepanjang hayat (longlife education)
6. Mempunyai organisasi profesi (ex: IDI, IAKMI, PWI, dll)
Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam
mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat agar masyarakat bisa teratur.
Hukum perdata mengatur subjek dan antar subjek dalam hubungan interrelasi (kedudukan
sederajat) (1887)
Hukum pidana adalah peraturan mengenai hokum KUHP di Indonesia (1 Januari 1918)
Hukum kesehatan (No. 23 tahun 1992) adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan / pelayanan dan penerapannya. Yang diatur menyangkut
hak dan kewajiban baik perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima
pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala
aspeknya, organisasi, sarana pedoman standar pelayanan medic, ilmu pengetahuan
kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.
Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen yang berhubungan dengan kesehatan,
contohnya hukum pelayanan kesehatan terhadap keluarga miskin (Gakin).
Persamaan etika dan hukum :
1. Alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat
2. Objeknya tingkah laku manusia
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling merugikan.
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi
5. Sumbernya hasil pemikiran para pakar dan pengalaman senior
Etika disusun oleh pengalaman senior
Hukum disusun oleh yang memiliki kekuasaan
Perbedaan etik dan hukum :
ETIKA HUKUM
1. Berlaku untuk lingkungan professional
2. Disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi
3. Tidak seluruhnya tertulis
Etika kesehatan mencakup penilaian terhadap gejala kesehatan yang disetujui atau ditolak
dan suatu kerangka rekomendasi bagaimana bersikap/bertindak secara pantas di dalam
bidang kesehatan.
Perihal hubungan tenaga kesehatan dengan pasien dan keluarganya :
1. Paternalisme kalangan
Profesi kesehatan harus berperan sebagai orangtua terhadap pasien dan keluarganya
2. Individualisme
Pasien mempunyai hak-hak mutlak terhadap badan dan kehidupannya
3. Resiprokalisme
Kalangan profesi kesehatan harus bekerja sama dengan pasien dan keluarganya dalam
memberikan pelayanan kesehatan
Landasan pembentukan perundang-undngan pelayanan kesehatan (WB Van Der Mijn
1982)
1. Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa keahlian
2. Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian tertentu
3. Kebutuhan akan keterarahan
4. Kebutuhan akan pengendalian biaya
5. Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya dan
identifikasi kewajiban pemerintah
6. Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum
7. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi para ahli
8. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi pihak ketiga
9. Kebutuhan akan perlindungan bagi kepentingan umum
Perlu sosialisasi peraturan hukum pada masyarakat
Masalah pokok dalam pembentukan perundang-undangan kesehatan :
1. Masalah prinsipil apa yang boleh dilakuakn dan yang tidak boleh dilakukan
2. Masalah pragmatis sampai sejauh manakah pembentuk perundang-undagan dapat
berbuat atau tidak berbuat