DISUSUN OLEH :
NOPI LESTARI ( B2001020 )
RIDWAN KRISMARWATI ( B2001025 )
YUNI NIRMAWATI ( B2001038 )
PENDAHULUAN
Bagaimanakah penerapan bladder training pada pasien yang terpasang kateter tetap dalam
pemenuhan kebutuhan eliminasi?
C. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penerapan bladder training pada pasien yang terpasang kateter tetap
dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi.
b. Tujuan Khusu
Diketahuinya pengaruh bladder training pada pasien yang terpasang kateter tetap dalam
pemenuhan kebutuhan eliminasi. Diketahuinya prosedur penerapan bladder training pada
pasien yang terpasang kateter tetap dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi. Diketahuinya
hubungan karateristik umur dan jenis kelamin terhadap penerapan bladder training pada
pasien yang terpasang kateter tetap dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Eliminasi Menurut kamus bahasa Indonesia, eliminasi adalah pengeluaran, penghilangan,
penyingkiran, penyisihan.Dalam bidang kesehatan, Eliminasi adalah proses pembuangan
sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau bowel (feses). Eliminasi pada manusia
digolongkan menjadi 2 macam, yaitu:
a. Defekasi Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk
hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang
berasal dari sistem pencernaan (Dianawuri, 2009).
b. Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Miksi ini
sering disebut buang air kecil.
B. Fisiologi Dalam Eliminasi
a. Fisiologi Defekasi Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang
yang mempunyai kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air besar kira-
kira pada waktu yang sama setiap hari. Hal ini disebabkan oleh refleks gastro-kolika
yang biasanya bekerja sesudah makan pagi. Setelah makanan ini mencapai lambung
dan setelah pencernaan dimulai maka peristaltik di dalam usus terangsang, merambat
ke kolon,dan sisa makanan dari hari kemarinnya, yang waktu malam mencapai
sekum mulai bergerak. Isi kolon pelvis masuk ke dalam rektum, serentak peristaltik
keras terjadidi dalam kolon dan terjadi perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-
abdominal bertambah dengan penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot
abdominal, sfinkter anus mengendor dan kerjanya berakhir (Pearce, 2002).
b. Fisiologi Miksi Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine
adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Proses ini terjadi dari dua langkah
utama yaitu: Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya
meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu
timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha
mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan
kesadaran akan keinginan untuk berkemih.
C. Proses Eliminasi Fekal dan Urine
a. Proses Defekasi
Gerakan peristaltis dari otot-otot dinding usus besar menggerakkan tinja dari saluran
pencernaan menuju ke rektum. Pada rektum terdapat bagian yang membesar (disebut
ampulla) yang menjadi tempat penampungan tinja sementara. Otot-otot pada dinding
rektum yang dipengaruhi oleh sistem saraf sekitarnya dapat membuat suatu
rangsangan untuk mengeluarkan tinja keluar tubuh. Jika tindakan pembuangan terus
ditahan atau dihambat maka tinja dapat kembali ke usus besar yang menyebabkan air
pada tinja kembali diserap, dan tinja menjadi sangat padat. Jika buang air besar tidak
dapat dilakukan untuk masa yang agak lama dan tinja terus mengeras, konstipasi
dapat terjadi. Sementara, bila ada infeksi bakteri atau virus di usus maka secara
refleks usus akan mempercepat laju tinja sehingga penyerapan air sedikit. Akibatnya,
tinja menjadi lebih encer sehingga perut terasa mulas dan dapat terjadi pembuangan
secara tanpa diduga. Keadaan demikian disebut dengan diare. Ketika rektum telah
penuh, tekanan di dalam rektum akan terus meningkat dan menyebabkan rangsangan
untuk buang air besar. Tinja akan didorong menuju ke saluran anus. Otot sphincter
pada anus akan membuka lubang anus untuk mengeluarkan tinja. dalam recum
terdapat dua otot yang berperan dalam proses defekasi yaitu otot sphincter ani
internus dan otot shpincter ani eksternus. Otot sphincter ani internus bekerja secara
tidak sadar sehingga sewaktu faecal material (feses) menekan otot tersebut akan
berelaksasi tetapi tidak akan terjadi proses defekasi apabila otot sphincter ani
eksternus berkontraksi. Namun apabila otak menghendaki adanya proses defekasi
maka otak mengirimkan sinyal kepada otot sphincter ani eksternus yang bekerja
secara sadar untuk berelaksasi sehingga terjadi proses defekasi. Selama buang air
besar, otot dada, diafragma, otot dinding abdomen, dan diafragma pelvis menekan
saluran cerna. Pernapasan juga akan terhenti sementara ketika paru-paru menekan
diafragma dada ke bawah untuk memberi tekanan. Tekanan darah meningkat dan
darah yang dipompa menuju jantung meninggi. Buang air besar dapat terjadi secara
sadar dan tak sadar. Kehilangan kontrol dapat terjadi karena cedera fisik (seperti
cedera pada otot sphinter anus), radang, penyerapan air pada usus besar yang kurang
(menyebabkan diare, kematian, dan faktor faal dan saraf).
b. Proses Pembetukan Urine
Pembentukan urine melalui tiga proses penting yaitu filtrasi, reabsorbsi dan sekresi
yang berlangsung pada nefron.
a) Filtrasi
Kira kira 25% dari jumlah keseluruhan darah yang dipompakan dari ventrikel kiri
pada setiap siklus jantung dialirkan ke ginjal melalui arteri renalis untuk proses
filtrasi. Proses filtrasi terjadi pada glomerulus. Semua plasma darah dan
komponen lainnya difiltrasi kecuali molekul yang berukuran besar seperti protein
dan sel darah.
b) Reabsorbsi dan sekresi
Cairan yang telah difiltrasi kemudian mengalir ke tubulus renalis. Bahan bahan
yang diperlukan oleh tubuh diserap kembali sehingga yang tersisa adalah bahan
bahan yang tidak diperlukan oleh tubuh. Sel sel tubulus proksimal menyekresi
urea, kreatinin, hydrogen, dan ammonia kedalam urine (filtrate). Pada lengkung
henle, filtrate (urine) menjadi lebih tinggi konsentrasinya. Selanjutnya, urine
dibuang melalui uretra dengan produksi urine sekitar 1 – 2 cc/kgBB.
c. Proses Berkemih/ Miksi
Urine normal adalah pengeluaran cairan yang prosesnya tergantung pada fungsi
organ-organ eliminasi urine seperti ginjal, ureter, bladder dan uretra.
Berkemih merupakan proses pengosongan vesika urinaria (kandung kemih). Vesika
urinaria dapat menimbulkan rangsangan s`raf bila urinaria berisi ± 250-450 cc (pada
orang dewasa) dan 200-250 cc (pada anak-anak). Ginjal memindahkan air dari darah
berbentuk urine. Ureter mengalirkan urine ke bladder. Dalam bladder urine
ditampung sampai mencapai batas tertentu. Kemudian dikeluarkan melalui uretra.
Komposisi urine : Air (96%), Larutan (4%) Larutan Organik: Urea, ammonia,
keratin, dan asam urat. Larutan Anorganik: Natrium (sodium), klorida, kalium
(potasium), sufat, magnesium, fosfor. Natrium klorida merupakan garam anorganik
yang paling banyak.
a) Miksi(berkemih)
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi.
Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu : Kandung kemih secara progresif
terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang
kemudian mencetuskan langkah kedua Timbul refleks saraf yang disebut refleks
miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika
ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk
berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik medula spinalis,
refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau
batang otak.
b) Refleks Berkemih
Kita dapat mengetahui selama kandung kemih terisi, banyak yang menyertai
kontraksi berkemih mulai tampak, seperti diperlihatkan oleh gelombang tajam
dengan garis putus putus. Keadaan ini disebabkan oleh refleks peregangan yang
dimulai oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung kemih, khususnya
oleh reseptor pada uretra posterior ketika daerah ini mulai terisi urin pada tekanan
kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor regang kandung
kemih dihantarkan ke segmen sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus dan
kemudian secara refleks kembali lagi ke kandung kemih melalui serat saraf
parasimpatis melalui saraf yang sama ini. Ketika kandung kemih hanya terisi
sebagian, kontraksi berkemih ini biasanya secara spontan berelaksasi setelah
beberapa detik, otot detrusor berhenti berkontraksi, dan tekanan turun kembali ke
garis basal. Karena kandung kemih terus terisi, refleks berkemih menjadi
bertambah sering dan menyebabkan kontraksi otot detrusor lebih kuat. Sekali
reflex berkemih mulai timbul, refleks ini akan “ menghilang sendiri. “ Artinya,
kontraksi awal kandung kemih selanjutnya akan mengaktifkan reseptor regang
untuk menyebabkan peningkatan selanjutnya pada impuls sensorik ke kandung
kemih dan uretra posterior, yang menimbulkan peningkatan refleks kontraksi
kandung kemih lebih lanjut, jadi siklus ini berulang dan berulang lagi sampai
kandung kemih mencapai kontraksi yang kuat. Kemudian, setelah beberapa detik
sampai lebih dari semenit, refleks yang menghilang sendiri ini mulai melemah dan
siklus regeneratif dari refleks miksi ini berhenti, menyebabkan kandung kemih
berelaksasi. Jadi refleks berkemih adalah suatu siklus tunggal lengkap dari
peningkatan tekanan yang cepat dan progresif Periode tekanan dipertahankan dan
kembalinya tekanan ke tonus basal kandung kemih. Sekali refleks berkemih
terjadi tetapi tidak berhasil mengosongkan kandung kemih, elemen saraf dari
refleks ini biasanya tetap dalam keadaan terinhibisi selama beberapa menit sampai
satu jam atau lebih sebelum reflex berkemih lainnya terjadi. Karena kandung
kemih menjadi semakin terisi, refleks berkemih menjadi semakin sering dan
semakin kuat. Sekali refleks berkemih menjadi cukup kuat, hal ini juga
menimbulkan refleks lain, yang berjalan melalui nervus pudendal ke sfingter
eksternus untuk menghambatnya. Jika inhibisi ini lebih kuat dalam otak daripada
sinyal konstriktor volunter ke sfingter eksterna, berkemih pun akan terjadi. Jika
tidak, berkemih tidak akan terjadi sampai kandung kemih terisi lagi dan refleks
berkemih menjadi makin kuat.
a) Ginjal
Merupakan organ retropenitoneal (di belakang selaput perut) yang terdiri atas ginjal
sebelah kanan dan kiri tulang punggung. Ginjal berperan sebagi pengatur komposisi
dan volume cairan dalam tubuh.
b) Kandung kemih ( Bladder, Buli)
Merupakan sebuah kantung yang terdiri atas otot halus yang berfungsi sebagai
penampung air seni (urine).
c) Uretra
Merupakan organ yang berfungsi untuk menyalurkan urine ke bagian luar.
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi
Banyak faktor yang mempengaruhi proses eliminasi fekal. Pengetahuan tentang faktor-
faktor ini memungkinkan perawat melakukan tindakan antisipasi yang diperlukan untuk
mempertahankan pola eliminasi normal.
a. Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan yang memepengaruhi status eliminasi
terjadi di sepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan lebih
sedikit menyekresikan enzim pencernaan. Beberapa makanan, seperti zat yang
kompleks, ditoleransi dengan buruk. Makanan melewati sakuran pencernaan dengan
cepat karena gerakan peristaltic berlangsung dengan cepat. Bayi tidak mampu
mengontrol defekasi karena kurangnya perkembangan neuromusukular.
Perkembangan biasanya tidak terjadi sampai usia 2-3 tahun. Pertumbuhan usus besar
terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCL meningkat, khususnya pada
anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengonsumsi makanan dalam jumlah lebih
besar. Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses
pencernaan dan eliminasi. Beberapa perubahan sering pada saluran GI, yang
berlangsung seiring dengan proses. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi
sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang
memasuki sakuran GI, hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena
jumlah enzim pencernaan didalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring
dengan proses penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang
mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim lipase. Lansia yang
dirawat di rumah sakit terutama berisiko mengalami perubahan fungsi usus. Selain
itu, gerakan peristaltic menurun seiring dengan peningkatan usia dan melambatnya
pengosongan esofagus. Pengosongan esofagus yang melambat dapat menimbulkan
rasa tidak nyaman di bagian epgester abdomen. Materi pengabsorpsi pada mukosa
usus berubah menyebabkan protein, vitamin dan mineral berkurang. Lansia juga
kehilangan tonus otot pada otot dasar perineum dan sfingter anus. Walaupun
integritas sfingter eksterna tetap utuh, lansia mungkin mengalami kesulitan dalam
mengontrol pengeluaran fese. Beberapa lansia kurang menyadari kebutuhanya untuk
berdefekasi akibat melambatnya impuls saraf sehingga mereka cenderung mengalami
konstipasi.
b. Diet
Asupan makanana seriap hari secara teratur membantu memoertahankan pola
peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu
mempengaruhi eliminasi. Serta, residu makanan yang tidak dpat dicerna,
memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan pembentuk masa
mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa fese. Dinding usus tergang,
menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi. Usus bayi yang
belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makan berserat sambil sampai
usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa makanan
berjalan dengan cepat melalui usus, mempertahankan fese tetap lunak. Makanan-
makanan berikut mengandung serat dalam jumlah tinggi ( masa) :
a) Buah-buahan mentah (apel, jeruk)
b) Buah-buahan yang diolah (prum, apricot)
c) Sayur-sayuran (bayam, kangkung, kubis)
d) Sayur-sayuran mentah (seledri, mentimun)
e) Gandum utuh ( sereal, roti)
Mengonsumsi makanan tinggu serat meningkatkan kemungkinan normalnya pola
elominasi jika faktor lain juga normal. Makanan yang menghasilkan gas, seperti
bawang, kembang kol, dan buncis juga menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan
membuat dinding usus berdistensi, meningkatkan motilitas kolon.beberapa makanan
pedas dapat meningkatkan peristaltic, tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan
tidak berlangsung dan fese menjadi encer. Beberapa makanan, seperti susus dan
produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini
disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana
yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi
terhadap makanan tertentu dapat mengakibatkan diare, distensi gas, dan kram.
c. Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang meyebabkan kehilangan
cairan( seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus,
memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yagng menurun
memperlambat pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum
6-8 gelas ( 1400-2000 ml) cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus
buah memperlunak fese dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah
besar dapat memperlambat peristaltic pada beberapa individu dan menyebabkan
konstipasi.
d. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik meningkatkan peristaltic, sementara imobilitas menekan motilitas
kolon. Ambukasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk
meningkatkan dipertahankanya eliminasi normal. Upaya mempertahankan tonus otot
rangka,yang digunakan selama poses defeasi, merupakan hal yang penting.
Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan indivuidu
untuk meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol sfingter eksterna.
Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang belangsung dalam jangka
waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.
e. Faktor Psikologis
Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress
emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau
marah, muncul respons stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan.
Untuk menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses
pencernaan dipercepat dan peristaltic meningkat. Efek samping peristaltic yang
meningkat antara lain diare dan distensi gas. Apabila individu mengalami depresi,
sistem saraf otonom memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun.
Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini
meliputi colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian
berulang yang dilakukan sejak lama telah gagal mempuktikan mitos bahwa penyebab
klien mengalami penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi psikopatologis.
Namun, ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik
tersebut.
Faktor yang meningkatkan Eliminasi
a) Lingkungan yang bebas stress
b) Kemampuan untuk mengikuti pola defekasi pribadi, privasi
c) Diet tinggi serat
d) Asupan cairan normal (jus buah, cairan hangat)
e) Olahraga ( berjalan)
f) Kemampuan untuk mengambil posisi jongkok
g) Diberikan laksatif dan katartik secara tepat
Faktor yang merusak Eliminasi
a) Stress emosional ( ansietas atau depresi)
b) Gagal mencetuskan reflex defekasi, kurang waktu atau kurang privasi
c) Diet tinggi lemak, tinggi karbohidrat
d) Asupan cairan berkurang
e) Imobilitas atau tidak aktif
f) Tidak mampu jongkok akibat imobililtas, usia lanjut, deformitas musculoskeletal,
nyeri dan nyeri selama defekasi
g) Penggunan analgesic narkotik, antibiotic dan anesthesia umum, serta penggunaan
katartik yang berlebihan
f. Kebiasaan Pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan individu
merasa lebih mudah melakukan defekasi di kamar mandi mereka sendiri pada waktu
yang paling efektif dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal kerja yang sibuk dapat
mengganggu kebiasaan dan dapat mengakibatkan perubahan,seperti konstipasi.
Individu harus mencari waktu terbaik untuk melaksanakan eliminasinya. Reflex
gastrokolik adalah refleks yang paling mudah distimulus untuk menimbulkan
defekasi setelah sarapan. Klien yang dirawat di rumah sakit jarang dapat
mempertahankan privasi saat melakukan defekasi. Fasilitas kamar mandi sering kali
digunakan bersama – sama dengan teman sekamarnya, yang kebiasaan higienenya
mungkin cukup berbeda. Penyakit yang diderita klien sering membatasi aktivitas
fisiknya dan ia membutuhkan pispot atau commode yang ditempatkan disamping
tempat tidurnya. Pemandangan , suara, dan bau yang dihubungkan dengan kondisi
tempat fasilitas toilet digunakan bersama – sama atau saat menggunakan pispot
sering menimbulkan rasa malu. Rasa malu sering membuat klien mengabaikan
kebutuhannya untuk berdefekasi, yang dapat memulai siklus rasa tidak nyaman yang
hebat.
g. Posisi Selama Defekasi
Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet
modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan individu
untuk duduk tegak kearah depan, mengeluarkan tekanan intraabdomen dan
mengkontraksi otot – otot pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang
menderita penyakit sendi, seperti arthritis, mungkin tidak mampu bangkit dari tempat
duduk toilet yang rendah. Alat untuk meninggikan tempat duduk toilet memampukan
klien untuk bangun dari posisi duduk ditoilet tanpa bantuan. Klien yang
menggunakkan alat tersebut dan individu yang berpostur pendek, mungkin
membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia menekuk pinggulnya dengan
benar. Untuk klien imobilisasi ditempat tidur, defekasi sering kali dirasakan sulit.
Posisi terlentang tidak memungkinkan klien mengkontraksi otot – otot yang
digunakan selam defekasi. Membantu klien keposisi duduk yang lebih normal pada
pispot akan meningkatkan kemampuan defekasi.
h. Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada
sejumlah kondisi, termasuk hemoroid, bedah rectum, fistula rectum , bedah abdomen
dan melahirkan anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada
kondisi – kondisi seperti ini, klien seringkali mensupresi keinginannya untuk
berdefekasi guna menghindari rasaa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi
merupakan masalah umum pada klien yang merasa nyeri selama defekasi.
i. Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan
pada rectum. Obstruksi sementara akibat keberadaan fetus mengganggu pengeluaran
feses. Konstipasi adalah masalah umum yang muncul pada trimester terakhir. Wanita
hamil sering mengedan selama defekasi dapat menyebabkan terbentuknya hemoroid
yang permanen.
j. Pembedahan dan Anestesi
Agens anestesi yang digunakan selama proses pembedahan, membuat gerakan
peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agens anestesi yang dihirup menghambat
implus saraf parasimpatis keotot usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau
menghentikan gerakan peristaltic. Klien yang menerima anestesi local atau regional
beresiko lebih kecil untuk mengalami perubahan eliminasi Karena aktivitas usus
hanya dipengaruhi sedikit atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali. Pembedahan
yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan menghentikan
gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut ileus paralitik yang biasanya berlangsung
sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan
setelah pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat tehambat lebih lanjut.
k. Obat – obatan
Obat – obatan dapat untuk meningkatkan defekasi telah tersedia. Laksatif dan
katartik melunakkan feses dan meningkatkan gerakan peristaltic. Walaupun sama,
kerja laktasif lebih ringan daripada katartik. Apabila digunakan dengan benar,
laksatif dan katartik mempertahankan pola eliminasi normal dengan aman. Namun,
penggunaan katartik dalam jangka waktu lama menyebabkan usus besar kehilangan
tonus ototnya dan menjadi kurang responsive terhadap stimulus yang diberikan oleh
laksatif. Penggunaan laksatif yang berlebihan juga dapat menyebabkan diare
beratyang dapat menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Minyak mineral,
sebuah laksatif umum, menurunkan absorbsi vitamin yang larut dalam lemak.
Laksatif dapat mempengaruhi kemanjuran kerja obat lain dengan mengubah waktu
transit( mis : waktu obat berada di dalam saluran GI ). Obat – obatan, seperti
disiklomin HCL ( Bentyl ) menekan gerakan peristaltik dan mengobati diare.
Beberapa obat memeiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi. Obat
analgesic narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumnya menyebabkan
konstipasi. Obat – obatan antikolinergic, seperti atropine atau glikopirolat (Robinul),
menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walaupun
bermanfaat dalam mengobati gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agens
antikolinergic dapat menyebabkan konstipasi. Banyak antibiotic menyebabkan diare
dengan mengganggu florabakteri normal didalam saluran GI. Apabila diare dan kram
abdomen yang terkait denagn diare semakin parah, obat – obatan yang diberikan
kepada klien mungkin perlu diubah. Intervensi keperawatan yang dapat digunakan.
E. Asuhan Keperawatan Teoritis
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan identitas
penanggung jawab.
b. Keluhan utama (alasan dirawat di rumah sakit)
Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan mengganggu oleh klien
pada saat perawat mengkaji, dan pengkajian tentang riwayat keluhan utama
seharusnya mengandung unsur PQRST (Paliatif/Provokatif, Quality, Regio,
Skala, dan Time)
c. Riwayat kesehatan sekarang
Kaji status kesehatan pasien saat dilakukannya pengkajian.
d. Riwayat kesehatan dahulu (perawatan di rs terakhir)
Riwayat kesehatan dahulu terutama yang berkaitan dengan gangguan pemenuhan
kebutuhan eliminasi urin dan fekal. Ataupun riwayat dirawat di rumah sakit atau
pembedahan.
o. Pola keyakinan-nilai
Agama yang dianut pasien dan pengaruhnya terhadap kehidupan.
p. Pemeriksaan fisik
1. Abdomen
Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi bladder, pembesaran
ginjal, nyeri tekan, tenderness, bising usus.
2. Genetalia wanita
Inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, keadaan atropi jaringan
vagina.
3. Genetalia laki-laki
Kebersihan, adanya lesi, terderness, adanya pembesaran skrotum.
4. Intake dan output cairan
- Kaji intake dan output cairan dalam sehari (24 jam).
- Kebiasaan minum di rumah.
- Intake, cairan infus, oral, makanan, NGT.
- Kaji perubahan volume urine untuk mengetahui ketidakseimbangan cairan.
- Output urine dari urinal, cateter bag, drainage ureterostomy, sistostomi.
- Karakteristik urine : warna, kejernihan, bau, kepekatan.
q. Pemeriksaan penunjang
Terapi yang diberikan baik oral maupun parenteral yang diberikan dalam
pemenuhan atau gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin dan fekal
2. Diagnosa Keperawatan
a. Konstipasi
b. Diare
c. Inkontinensia defekasi
e. Inkontinensia urine
f. Retensi urine
3. Intervensi
- Nyeri perut
- Ketegangan perut
- Anoreksia
- Perasaan tekanan
pada rektum
- Nyeri kepala
- Peningkatan tekanan
abdominal
- Mual
- Defekasi dengan nyeri
DO:
4. Implementasi
pencegahan, pengaturan posisi dan intervensi mandiri. Tindakan keperawatan
mencangkup tindakan mandiri dan kolaborasi
Tindakan mandiri : aktivitas perawat yang dilakukan atau yang didasarkan pada
kesimpulan sendiri dan bahan petunjuk dan perintah tenaga kesehatan lain.
Tindakan kolaborasi: tindakan yang dilaksanakan atas hasil keputusan bersama
dengan dokter dan petugas kesehatan lain.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari suatu proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana ksehatan pasien dengan tujuan yang
telah ditetapkan, dilakukan dengan cara melibatkan pasien.
S : Subjektif
O : Objektif
A : Analisa
P : Plaining
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebutuhan eliminasi terdiri dari atas dua, yakni eliminasi urine
(kebutuhan buang air kecil) dan eliminasi alvi (kebutuhan buang air besar).
Organ yang berperan dalam eliminasi urine adalah: ginjal, kandung kemih
dan uretra. Dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi urine terjadi proses
berkemih. Berkemih merupakan proses pengosongan vesika urinaria
(kandung kemih). Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi urine adalah
diet, asupan, respon keinginan awal untuk berkemih kebiasaan seseorang
dan stress psikologi.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://www.academia.edu/4799238/KONSEP_DASAR_KEBUTUHAN_ELIMINASI
http://www.proses_pencernaan_makanan.html
http://www.siklus_alami_tubuh_dalam_proses_pencernaan_makanan.html.
http://ninanuranisa14.blogspot.co.id/p/faktor-yang-mempengaruhi-eliminasi-fekal.html
https://wadung.wordpress.com/2010/03/21/menolong-pasien-bab-diatas-tempat-tidur-huknah-
dan-kolostomi/
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Fundamental Keperawatan (Edisi 4). Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta