Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH ETIKA PERAWATAN

MALPRAKTEK

Dosen Pengampu :

Hj. Cek Masnah, S.P., M.Pd

Disusun Oleh :
Kelompok 3
1. Erna Pasaribu
2. Erwin Fibri Saputra
3. Fathia Ulfa
4. Fadhli Rahman
5. Febi Anggraeni

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI


JURUSAN D3 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karuniannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah berisi tentang ”Pidato”
tepat pada waktunya.

Kami berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah


pengetahuan bagi para pembaca dan dapat digunakan sebagai salah satu pedoman
dalam proses belajar.

Kami menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan karena pengetahuan


yang kami miliki masih terbatas. Oleh karena itu, kami berharap kritik dan saran
bagi pembaca yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah kami ini.

Jambi, November 2019

` Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Malpraktek................................................................................... 3
2.2 Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan ............................. 4
2.3 Tanggung Jawab Hukum ............................................................................... 7
2.4 Upaya Pencegahan Dan Menghadapi Tuntutan Malpraktek ......................... 8
2.5 Asumsi masyarakat terhadap malpraktek ...................................................... 10
2.6 Kasus Malpraktek .......................................................................................... 12
2.7 Pembahasan Kasus Kasus Mal Pratek ........................................................... 14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah
satu indikator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi
negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus malpraktek
dikalangan kedokteran, diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya
seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kedokteran yang pada
gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan dimasa yang akan
datang. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu
memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah
menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek.
Kasus malpraktek yang sering dipahami sebagai kelalayan dokter juga harus
dianalisis lebih dalam terkait alat-alat kedokteran yang menjadi penunjang
keberhasilan pada proses pelayanan kesehatan. Terkait kasus-kasus yang muncul
mengenai malpraktek, kasus yang baru-baru ini terjadi adalah dugaan kasus
malpraktek Mauren di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang Banten. Mengingat
semakin maraknya kemunculan kasus-kasus malpraktek yang terjadi akhir-akhir ini
bersamaan dengan semakin meningkatnya kemajuan dalam pelayanan medis, maka
kasus malpraktek ini harus dikaji sebagai sebuah kasus kriminalitas yang terjadi
akibat suatu kelalayan dan propesionalitas tenaga kedokteran.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilihat masih adanya pelayanan kesehatan
oleh tenaga medis yang kurang memuaskan pada pasien. Maka permasalahan yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang permasalahan malpraktek tenaga
medis dan upaya pencegahannya.

1.3 Tujuan
1. Menjelaskan pengertian malpraktek
2. Menjelaskan jenis-jenis malpraktek kedokteran

1
3. Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
4. Menjelaskan tentang tanggung jawab secara hukum
5. Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi
tuntutan hukum.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Malpraktek


Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan
“praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek
berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian
tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan
yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang
dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan
dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien
atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La
Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam
setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum.
Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut.
Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut
pandang hukum disebut yuridical malpractice.Hal ini perlu difahami mengingat
dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga
apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena
antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut
substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk
menentukan adanya ethicalmalpractice atau yuridical malpractice dengan
sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical
malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua
bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief
Justice, 1893).

3
2.2 Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan
Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau bidan
untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati
dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de
Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah
terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut.
Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan
resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (riskof
treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan
dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya(inspaning
verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaatverbintenis).
Sebagai contoh adanya komplain terhadap tenaga bidan dari pasien yang menderita
radang uretra setelah pemasangan kateter. Apakah hal ini dapat dimintakan
tanggung jawab hukum kepada tenaga bidan? Yang perlu dipahami semua pihak
adalah apakah ureteritis bukan merupakan resiko yang melekat terhadap
pemasangan kateter? Apakah tenaga bidan dalam memasang kateter telah sesuai
dengan prosedur profesional ?.
Hal-hal inilah yang menjadi pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya
malpraktek. Apabila tenaga bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal
ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami
profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.
Dalam hal tenaga bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus
dibuktikan apakah perbuatan tenaga bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak
pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah
(sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus

4
dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan
sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga bidan dengan pasien, tenaga bidan
haruslah bertindak berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga bidan melakukan asuhan kebidanan menyimpang dari apa
yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut
standard profesinya, maka tenaga bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal
(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh
karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini
haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar
menyalahkan tenaga bidan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya
kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung


Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien,
yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan
bidan (doktrin res ipsa loquitur).

5
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi
kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain
tidak ada contributory negligence.
Misalnya ada kasus saat tenaga bidan akan mengganti/memperbaiki
kedudukan jarum infus pasien bayi, saat menggunting perban ikut terpotong jari
pasien tersebut .
Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung
dapat membuktikan kesalahan tenaga bidan, karena:
a. Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga bidan.
b. Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab
bidan.
c. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.
Malpraktek dalam asuhan kebidanan adalah suatu kelalaian dari seseorang
bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Jika dilihat dari pengertian tersebut dan dihubungkan dengan kasus Bidan
Handayani, maka bisa dikatakan Bidan Handayani telah melakukan malpraktek.
Bisa dikatakan demikian karena berdasarkan informasi yang telah kami dapat. Tapi
mengenai bukti kebenarannya secara pasti, dibutuhkan data – data lengkap
mengenai riwayat kehamilan Ibu Nunuk sampai mengenai prosedur persalinan yang
digunakan Bidan Handayani pada Ibu Nunuk. Tidak bisa kita simpulkan hanya
berdasarkan informasi sederhana yang kami dapat. Harus ditelaah lebih dalam
bukan hanya saat kejadian. Tapi juga saat proses kehamilan. Apakah Ibu Nunuk
rutin memeriksakan kehamilannya? Apakah Ibu Nunuk selalu memeriksakan
kehamilan pada Bidan Handayani atau bidan lain? Apakah Bidan Handayani telah
memperoleh informasi lengkap mengenai kondisi kehamilan Ibu Nunuk? Apakah
Bidan Handayani telah melakukan proses persalinan dengan prosedur professional
sesuai dengan keadaan kehamilan? Pertanyaan – pertanyaan itulah yang perlu

6
dijawab untuk membuktikan apakah Bidan Handayani melakukan malpraktek atau
tidak.

2.3 Tanggung Jawab Hukum


Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu
dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan
kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang
perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau
merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat
apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian tenaga bidan.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari
hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban
yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan,
karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya
bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar
profesi/standar pelayanan.
1. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul
atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung
jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas
kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
1. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan
hukum(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya
perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri
maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan
kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan
hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

7
2.4 Upaya Pencegahan Dan Menghadapi Tuntutan Malpraktek
1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan
karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya
selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan
sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah
bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian
bidan
.Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga
bidan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal
bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-
doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan
disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau
mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men
rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau
menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan
dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan

8
pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan
mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa
penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat
membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-
dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus
membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus
membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung
jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya
tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur),apalagi
untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban(dereliction of
duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan
adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah
orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga
kebidanan
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada
peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa
yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan
tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk
kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan
informed consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan
adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya
pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis
yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan
lisan atau sikap diam.

9
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta
maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila
dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan
kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada
keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat
dengan pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah
penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang
direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya
diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan
informed consent).

2.5 Asumsi masyarakat terhadap malpraktek


Maraknya malpraktek di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi
pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun
khawatir kalau para tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan
medis karena takut berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena
kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak jarang
seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan
medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai
penyakitnya. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan perlu mengadakan
penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang
tenaga medis.
Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita
yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan
dibidang medis bermunculan. Di Negara-negara maju yang lebih dulu mengenal
istilah makpraktek medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang
melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang menjadi
sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf),
spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.
Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga
berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang

10
dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan
tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan
malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.
Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit
jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara
hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media
massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik
medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui
sistem peradilan.
Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang
penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun
tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada
manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya
adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan
kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan
peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi,
banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut
memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta
memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal
pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya
peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus
ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang
melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga
menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan
pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk
menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya
penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian,
perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi.
Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga
medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya
dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek. Hal

11
ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain
pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter
Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di
jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk
masuk ke Indonesia, begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar
negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal
ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita.
Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis
yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan
ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati,
terjadilah malpraktek. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut
tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat
berharap akan peran dari Pemerintah pada umumnya dan peran dari Departemen
Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia
dalam menghadapi era globalisasi saat ini.

2.6 Kasus Malpraktek


Penyelesaian kasus malpraktek RS. X yang menimpa si A tak kunjung usai,
meskipun sudah lebih dari enam bulan bergulir di Pengadilan Negeri M. Kuasa
hukum A , B menilai proses peradilan terhadap kasus malpraktek tersebut
berlangsung lambat dan terdapat banyak ketidaksesuaian. Gugatan sudah dilakukan
sejak Juli 2009, namun hingga saat ini belum juga selesai karena banyak
pelaksanaannya yang tidak sesuai, jelas B, di Jakarta, Kamis.
B menjelaskan dalam beberapa sidang sering terjadi keterlambatan dari pihak
kuasa hukum tergugat yang menyebabkan saksi yang dihadirkan penggugat tidak
dapat menunggu dan berdampak pada dibatalkannya sidang. Bahkan, tambah B,
dalam sidang terakhir Selasa (9/2) terjadi ketidaksesuaian hukum acara. Seharusnya
saksi dari penggugat diselesaikan seluruhnya terlebih dahulu, tetapi kemarin justru
dihadirkan saksi dari pihak tergugat,? ujar B. Selain terdapat ketidaksesuaian dalam
proses peradilan, Didit menilai ahli yang dihadirkan untuk memberikan keterangan
tidak independen. Kedua ahli yang dihadirkan, yaitu Prof. Dr. D dan E. "Saksi
menjelaskan bagaimana injeksi cemen tersebut seharusnya dilakukan, namun ia

12
menjelaskannya dihubungkan dengan kondisi pasien," jelas B. Menurutnya, ahli
hanya berkompeten memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya, bukan
menambahkannya dengan informasi lain atau pun melakukan pembelaan.
Hingga saat ini sudah dilaksanakan 16 persidangan untuk menghadirkan saksi
dan ahli. Aberharap kasus ini dapat bisa segera selesai. "Saya berharap kasus ini
bisa cepat selesai karena ini bukan hanya masalah saya, tetapi menyangkut hak
pasien dan konsumen Indonesia," jelas Kasus ini bermula pada oktober 2005 ABS
mengeluh sakit pada punggungnya dan berobat di RS. Siloam Internasional di
Karawaci, Tanggeran. Berbagai pemeriksaan, seperti MRI pun dilakukan.
Kemudian dokter syaraf, Dr. F yang memeriksannya menyarankan untuk dilakukan
?injeksi cement?, yaitu menyuntikan kandungan tulang ke dalam tulang. Namun,
yang terjadi adalah terjadi kegagalan dalam operasi tersebut. "Setelah operasi saya
sadar saya tidak bisa menggerakan tubuh kiri saya, dan ternyata yang melakukan
suntikan tersebut bukan F, tetapi asistennya dokter G," jelas. A mengatakan, pihak
rumah sakit atau pun dokter tidak memberitahukan sebelumnya bahwa ada
pergantian dokter, padahal sebelum operasi dimulai dokter eka masih ada.
Alasannya dokter F. Padahal selama ini dia yang merawat, tetapi tiba-tiba
dialihkan begitu saja ke asisten,?ujar ABS Selain itu, B mengatakan dokter tidak
memberitahukan resiko kegagalan suntik injeksi ini. "Pasien kan berhak tau segala
kemungkinan yang bisa menimpanya. Ini pelanggaran hak konsumen," jelas B.
Bahkan, ia menambahkan pasien kesulitan mendapatkan rekam medis dari
rumah sakit dengan alasan isi rekam medis tersebut milik rumah sakit dan tidak
boleh dibawa keluar. Kini, A harus berjalan dengan tongkat karena kaki kirinya
lumpuh. Selain itu, pinggang kirinya sering sekali kram dan kaki kanan sering
terasa terbakar. "Menurut dokter daya mengalami `brown sequard syndrome`
semacam trauma dibagian tulang belakang," jelas abs.
Akibat malpraktik ini A mengalami banyak kerugian, ia tak lagi seproduktif
dulu karena terhambat geraknya dan harus rutin melakukan terapi. "Saya sekarang
lima kali seminngu terapi otot kaki agar sensor motoriknya bisa kembali dan otot
tidak menjadi kecil," A.

13
2.7. Pembahasan Kasus Kasus Mal Pratek
Hal – hal yang menjadi masalah dalam mal praktek di atas adalah :
1. 1. Tidak ada pemberitahuan pergantian petugas medis dalam penanganan
pasien
2. 2. Tidak memberitahukan resiko kegagalan suntik ijeksi “cement” yaitu
menyuntikan kandungan tulang kepada tulang.
3. 3. Kesulitan mendapatkan rekam medis rumah sakit dengan alasan isi rekam
medis tersebut milik rumah sakit dan tidak boleh dibawa keluar.
Dengan masalah – masalah mal praktek di atas dapat di lihat dari sudut pandang :
1. Aspek Hukum
- pidana pasal pasal 360 KUHP yaitu Kelalaian yang menyebabkan seseorang
luka berat dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. karena pasien
menderita kelumpuhan pada tubuh bagian kiri.
- Melanggar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996
Tentang Tenaga Kesehatan Bab V Standard Profesi Pasal 21, 22, 23
- Melangar Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan pasal 8, 24, 58
2. Aspek Kode Etik
- Pada perinsip etik di sebutkan “Tidak merugikan (Nonmaleficience)” artinya
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada
klien.
- Kejujuran (Veracity) yang intinya memberikan informasi kepada klien
tentang keadaan yang sedang di alaminya. . Prinsip veracity berhubungan
dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus
ada agar menjadi akurat, komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi
pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang
sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
keadaan dirinya selama menjalani perawatan.
3. Aspek Disiplin Praktik
- SOP di kerjakan sesuai prosedure

14
- Melangar Standar profesi kerena seharusnya yang melakukan injeksi kepada
pasien adalah dokter utama tetapi di berikan kepada pasienya tanpa memberi
informasi kepada pasien
- Standar pelayanan adanya jaminan kesehatan pada klien.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan
“praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek
berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian
tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan
yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari
seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan
terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”
(Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berdasarkan kasus Bidan Linda Handayani yang telah kami pelajari, dapat
disimpulkan bahwa masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur
sengaja atau tidak sengaja. Masih banyak hal yang harus dibuktikan dalam kasus
ini. Jadi bidan Linda Handayani hendaknya menjelaskan pada proses keadilan
tentang hal sebenarnya.
Selanjutnya apabila keluarga menuduh bidan Linda Handayani telah
melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, maka yang
harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan
dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.


Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.

Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai