Dosen Pengajar:
Dr. Ifrani S.,S.H.,M.H.
Oleh:
1. Saskiya Marshanda Putri (2010211120031)
2. Viona Zahwa Salsabila (2010211120064)
3. Riskya Desty Ramadhini (2010211120041)
4. Lusiana (2010211120066)
5. Jamilah Tunnisa (2010211120044)
6. nurraya safitri (2010211220164)
7. Julia putri (2010211320091)
BANJARMASIN
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dalam Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap kegiatan
dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan
dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan
daya saing bangsa bagi pembangunan nasional.
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum
dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Perlindungan hukum merupakan gambaran fungsi
hukum yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan keadilan, ketertiban, kepastian,
kemanfaaatn dan kedamaian. Perlindungan hukum bagi pasien menyangkut berbagai hal yaitu
masalah hubungan hukum pasien dengan tenaga kesehatan, hak dan kewajiban para pihak dan
pertanggungjawaban dan aspek penegakan hukumnya.
1.2. Tujuan
Ada ungkapan 'Dokter Juga Manusia'. Artinya, sebagai manusia, wajar kalau dokter
melakukan kesalahan. Ungkapan itu memang benar. Tapi bila memperhatikan kasus-kasus
malpraktik di dunia kedokteran selama ini. Di Indonesia misalnya, ada kasus bayi yang salah
potong jari, salah tranfusi darah, salah suntik, hingga salah diagnosis yang berujung pada
kematian. Berikut ini beberapa kasus malpraktek yang dilakukan oleh dokter dan tenaga
kesahatan yang terjadi di Indonesia.
a. Infeksi Pasca Operasi Cesar
Kasus malpraktik ini terjadi di Bintan Utara, seorang perempuan berusia 30 tahun
mengalami infeksi pasca operasi cesar. Bahkan perutnya berlubang dan mengeluarkan bau
busuk. Diketahui perempuan tersebut menjalani rawat inap selama tiga hari pasca operasi cesar.
Selama tiga hari itu pula, rupanya pihak rumah sakit tak memeriksa luka bekas operasi, bahkan
tak mengganti perbannya. Setelah itulah ia mengeluh sakit di bagian perut. Saat dilihat, ternyata
dinding perut istrinya sudah basah dan menimbulkan bau bahkan berlubang.
b. Kesalahan Menangani Persalinan
Berikutnya ada malpraktik yang terjadi di Palembang, sepasang suami istri harus
menerima kenyataan pahit jika bayi mereka ternyata tewas usai dilahirkan dengan kondisi leher
patah dan kulit terkelupas. Kondisi ini diduga terjadi karena kesalahan bidan dalam menangani
proses persalinan sang istri. Menurut keterangan, rupanya ini bukan kali pertama ada kasus bayi
meninggal di tangan bidan tersebut. Pihak keluarga pun akhirnya melaporkan hal ini ke pihak
berwajib.
c. Kebutaan Pasca Operasi Usus Buntu
Kali ini nasib tragis dialami seorang anak berusia 14 tahun asal Nusa Tenggara Timur.
Setelah jalani operasi usus buntu, mata kanannya malah mengalami kebutaan. Padahal
sebelumnya kedua matanya baik-baik saja.
Awalnya mata kanannya hanya bengkak, ayah pasien pun mengeluhkan kondisi mata
kanan anaknya yang mulai memburuk, hingga lama kelamaan penglihatan dari mata kanannya
tersebut benar-benar hilang.
d. Salah Obat
Lagi-lagi malpraktik menyebabkan kebutaan, mulanya warga yang berprofesi sebagai
petani di Kabupaten Bone ini memeriksakan diri dengan keluhan sakit di bagian kepalanya.
Dokter pun memberikan obat berupa salep kepada pasiennya dengan cara mengoleskan salep
kulit di bagian pinggir mata atas dan bawah. Tidak lama setelah dioleskan kedua matanya terasa
panas dan tidak dapat melihat sama sekali.
e. Kasus Suntikan Maut
Terakhir kasus malpraktik yang terjadi di Rumah Sakit Cut Nyak Dhien (RSCUND)
Meulaboh-Kabupaten Aceh Barat yang dilakukan oleh tenaga medis yang mengakibatkan
kematian pasien setelah disuntik atas nama Alfa Reza. Pihak protes lantaran pasien meninggal
dunia setelah disuntik petugas medis. Sebelumnya, korban sempat menjalani perawatan usai
dioperasi di Ruang Anak. Aflareza meninggal dunia lima menit mendapat suntikan lebih dari
dua kali dari tim medis RSCUND. Pihak rumah sakit membenarkan insiden tersebut dan
mengakui ada dua anak yang meninggal setelah disuntik oleh tim medis.
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang
hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative
malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
• Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia
(pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan
palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
• Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan
medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
• Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat
melakukan operasi.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada
rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula
dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.Dengan prinsip ini maka rumah
sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya
(tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas
kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan
tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police
power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang
kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya
(Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hokum administrasi.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua
cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban) : Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah
bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus
dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider
baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan
yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan
yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya
rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat
sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum (onrechtmatige daad).
Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban
hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang
berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam
tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang
dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak
yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan)
bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya
fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya
tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang
menguntungkan tenaga kebidanan.
• Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan
pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang
bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed
consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau
sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak
diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa
informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat
memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada
keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah
penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik
diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat
pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ada banyak penyebab mengapa persoalan malpraktik medik mencuat akhir-akhir ini
dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara tenaga medis dan pasien yang tadinya
bersifat paternalistic tidak seimbangdan berdasarkan kepercayaan (trust, fiduciary relationship)
bergantidengan pandangan masyarakat yang makin kritis serta kesadaranhukum yang makin
tinggi. Selain itu jumlah dokter di Indonesia dianggap belum seimbang dengan jumlah pasien
sehingga seorang tenaga medis menangani banyak pasien (berpraktek di berbagai tempat) yang
berakibat diagnosa menjadi tidak teliti.
Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam melakukan
hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat memaksimalkan pelayanan
medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan penyakitnya. Selama ini masyarakat menilai
banyak sekali kasus dugaan malpraktik medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi
sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum.
Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya
karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktik
medik ini.
Masih ada masyarakat (pasien) yang belum memahami hak-haknya untuk dapat
meloprkan dugaan malpraktik yang terjadi kepadanya baik kepada penegak hukum atau melalui
MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya lembaga
MKDKI sebagai suatu peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya sehingga mendapat
kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom, independent dan memperhatikan
juga nasib korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI tahun 1982 menyarankan
agar untuk kasus dugaan malpraktik medik sebaiknya diselesaikan dulu lewat peradilan profesi
ini.
Dari sudut hukum acara (pembuktian) terkadang penegak hukum kesulitan mencari
keterangan ahli yang masih diliputi esprit de corps. Mungkin sudah saatnya diperlukan juga
saksi yang memahami ilmu hukum sekaligus ilmu kesehatan.
Bahaya malpraktek memang luar biasa. Tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau
gangguan fatal organ tubuh, tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang ditimbulkan pun
bisa sampai pada masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara, seperti yang dipaparkan
waktu penjelasan fenomena malpraktek pada era globalisasi tadi. Benar-benar kompleks sekali
permasalahan yang timbul akibat malpraktek ini. Sehingga benar bahwa malpraktek dikatakan
sebagai sebuah malapetaka bagi dunia kesehatan di Indonesia.
2.1.Saran
Terhadap dugaan malpraktik medik, masyarakat dapat melaporkan kepada penegak
hukum (melalui jalur hukum pidana), atau tuntutan ganti rugi secara perdata, ataupun
menempuh ketentuan pasal 98 KUHAP memasukkan perkara pidana sekaligus tuntutan
gantirugi secara perdata.