Anda di halaman 1dari 21

Pemeriksaan Fisik Sistem Panca Indera

A. Pemeriksaan Fisik Mata

1. Pemeriksaan mata untuk penglihatan jauh (visus)

Pemeriksaan tajam penglihatan :


 lakukan uji penglihatan dalam ruangan yang cukup tenang, tetapi anda
dapat mengendalikan jumlah cahaya.
 gantungkan kartu snellen atau kartu e yang sejajar mata responden dengan
jarak 6 meter
 pemeriksaan dimulai dengan mata kanan.
 mata kiri responden ditutup dengan penutup mata atau telapak tangan
tanpa menekan bola mata.
 responden disarankan membaca huruf dari kiri ke kanan setiap baris kartu
snellen atau memperagakan posisi huruf e pada kartu e  dimulai baris
teratas atau huruf yang paling besar sampai huruf terkecil (baris yang
tertera angka 20/20).
 penglihatan normal bila responden dapat membaca sampai huruf terkecil
20/20 (tulis 020/020).
 bila dalam baris tersebut responden dapat membaca atau memperagakan
posisi huruf e kurang dari setengah baris maka yang dicatat ialah baris
yang tertera angka di atasnya.
 bila dalam baris tersebut responden dapat membaca atau memperagakan
posisi huruf e lebih dari setengah baris maka yang dicatat ialah baris yang
tertera angka tersebut.

2. Pemeriksaan uji penglihatan dengan hitung jari :


 bila responden belum dapat melihat huruf teratas atau terbesar dari kartu  
snellen atau kartu e maka mulai hitung jari pada jarak 3 meter (tulis
03/060).
 hitung jari 3 meter belum bisa terlihat maka maju 2 meter (tulis 02/060),
bila belum terlihat maju 1 meter (tulis 01/060). Bila belum juga terlihat
maka lakukan goyangan tangan pada jarak 1 meter (tulis 01/300).
 goyangan tangan belum terlihat maka senter mata responden dan tanyakan
apakah responden dapat melihat sinar senter (jika ya tulis 01/888).
 bila tidak dapat melihat sinar senter disebut buta total (tulis 00/000)

Selanjutnya, uji fungsi visual, termasuk ketajaman penglihatan jarak dekat dan
jarak jauh, persepsi warna dan penglihatan perifer.
1 Uji penglihatan jarak jauh
Untuk menguji penglihatan jarak jauh pada klien yang dapat membaca
bahasa inggris, gunakan grafik alfabet snellen yang berisi berbagai ukuran
huruf. Untuk klien yang buta huruf atau tidak dapat berbicara bahasa
inggris, gunakan grafik snellen e, yang menunjukkan huruf-huruf dalam
berbagai ukuran dan posisi. Klien menunjukkan posisi huruf e dengan
menirukan posisi tersebut dengan jari tangannya.
 uji setiap mata secara terpisah dengan terlebih dahulu menutup satu
mata dan kemudian mata yang lain dengan kartu buram berukuran 3 x
5 atau penutup mata. Setelah itu, uji penglihatan binokular klien
dengan meminta klien membaca gambar dengan kedua mata terbuka.
Klien yang normalnya memakai lensa korektif untuk penglihatan jarak
jauh harus memakainya untuk uji tersebut.
 mulai dengan baris yang bertanda 20/20. Jika klien salah membaca
lebih dari dua huruf, pindahlah ke baris berikutnya 20/25. Lanjutkan
sampai klien dapat membaca baris tersebut dengan benar dengan
kesalahan yang tidak lebih dari dua. Baris tersebut menunjukkan
ketajaman penglihatan jarak jauh klien.

2 Uji penglihatan jarak dekat


Uji penglihatan jarak dekat klien dengan memegang grafik snellen atau
kartu dengan kertas koran berukuran 30,5 sampai 35,5 cm di depan mata
klien, klien yang normalnya memakai kacamata baca harus memakainya
untuk uji ini. Seperti pada penglihatan jarak jauh, uji setiap mata secara
terpisah dan kemudian bersamaan.

3 Uji persepsi warna


Minta klien untuk mengidentifikasi pola bulatan-bulatan warna pada plat
berwarna. Klien yang tidak dapat membedakan warna tidak akan
mendapatkan polanya.

4 Uji fungsi otot ekstraokuler


Untuk mengkaji fungsi otot ekstraokuler klien, perawat harus melakukan
tiga tes : enam posisi kardinal tes penglihatan, tes terbuka-tertutup, dan tes
refleks cahaya korneal.

 Enam posisi kardinal tes penglihatan


- duduk langsung di depan klien, dan pegang objek silindris, seperti
pensil, tepat di depan hidung klien, dan menjauh sekitar 46 cm dari
hidung klien.
- minta klien untuk memperhatikan objek tersebut pada saat dan
menggerakkannya searah jarum jam melewati enam posisi kardinal-
medal superior, lateral superior, lateral, lateral inferior, dan medial-
kembalikan objek ke titik tengah setelah setiap gerakan.
- melalui tes ini, mata klien akan tetap paralel pada saat bergerak.
Perhatikan adanya temuan abnormal, seperti nistagmus, atau deviasi
salah satu mata yang menjauh dari objek.
 Tes tertutup-terbuka
- minta klien menatap suatu objek pada dinding yang jauh yang
berhadapan. Tutupi mata kiri klien dengan kartu buram dan observasi
mata kanan yang tidak ditutp akan adanya gerakan atau berputar-putar.
- kemudian, lepas kertas dari mata kiri. Mata harus tetap diam dan
berfokus pada objek, tanpa bergerak atau berputar-putar. Ulangi proses
tersebut dengan mata kanan.
 Tes refleks cahaya korneal
- minta klien untuk melihat lurus ke depan sementara anda mengarahkan
sinar senter ke batang hidung klien dari jarak 30,5 sampai 38 cm.
Periksa untuk memastikan apakah kornea memantulkan cahaya di
tempat yang tepat sama di kedua mata. Refleks yang tidak simetris
menunjukkan ketidakseimbangan otot yang menyebabkan mata
menyimpang dari titik yang benar.

5 Uji penglihatan perifer


- duduk berhadapan dengan klien, dengan jarak 60 cm, dengan mata
anda sejajar dengan mata klien. Minta klien menatap lurus ke depan.
- tutupi satu mata anda dengan kertas buram atau tangan anda dan minta
kien untuk menutup matanya yang tepat bersebrangan dengan mata
anda yang ditutup
- kemudian, ambil sebuah objek, misalnya pensil dari bidang superior
perifer ke arah lapang pandang tengah. Objek tersebut harus berada
pada jarak yang sama di antara anda dan klien.
- minta klien untuk mengatakan pada anda saat objek tersebut terlihat.
Jika penglihatan perifer anda utuh, anda dan klien akan melihat objek
tersebut pada waktu yang bersamaan.
- ulangi prosedur searah jarum jam pada sudut 45 derajat, periksa lapang
pandang superior, inferior, temporal, dan nasal. Ketika menguji lapang
pandang temporal, anak akan mengalami kesulitan menggerakkan
objek sampai cukup jauh sehingga anda dan klien tidak dapat
melihatnya. Jadi lakukan uji lapang pandang temporal ini dengan
meletakkan pensil sedemikian rupa di belakang klien dan di luar
lapang pandang klien. Bawa pensil tersebut berkeliling secara perlahan
sampai klien dapat melihatnya.

6 Reflek pupil
- pasien disuruh melihat jauh
- setelah itu pemeriksa mata pasien di senter / diberi cahaya dan lihat
apakah ada reaksi pada pupil. Normal akan mengecil
- perhatikan pupil mata yang satunya lagi, apakah ikut mengecil karena
penyinaran pupil mata tadi disebut dengan reaksi cahaya tak langsung
- cegah reflek akomodasi dengan pasien disuruh tetap melihat jauh

7 Pemeriksaan sensibilitas kornea

Tujuan : untuk mengetahui apakah sensasi kornea normal, atau menurun


Cara pemeriksaan
Alat : kapas steril
Caranya :
 bentuk ujung kapas dengan pinset steril agar runcing dan halus
 fiksasi mata pasien keatas agar bulu mata tidak tersentuh saat kornea
disentuh
 fiksasi jari pemeriksa pada pipi pasien dan ujung kapas yang halus dan
runcing disentuhkan dengan hati-hati pada kornea, mulai pada mata
yang tidak sakit.
Hasil
 Pada tingkat sentuhan tertentu reflek mengedip akan terjadi.
 Penilaian dengan membandingkan sensibilitas kedua mata pada pasien
tersebut.

8 Eversi kelopak mata


Pemeriksaan untuk menilai konyungtiva tarsalis
Cara pemeriksaan :
 cuci tangan hingga bersih
 pasien duduk didepan slit lamp
 sebaiknya mata kanan pasien diperiksa dengan tangan kanan
pemeriksa.
 ibu jari memegang margo, telunjuk memegang kelopak bagian atas dan
meraba tarsus, lalu balikkan.
 setelah pemeriksaan selesai kembalikan posisi kelopak mata. Biasakan
memeriksa kedua mata.

9 Pemeriksaan dengan oftalmoskop


 untuk melakukan pemeriksaan dengan oftalmoskop, tempatkan klien di
ruang yang digelapkan atau setengah gelap, anda dan klien tidak boleh
memakai kacamata kecuali jika anda sangan miop atau astigmatis.
Lensa kontak boleh dipakai oleh anda atau klien.
 duduk atau berdiri di depan klien dengan kepala anda berada sekitar 45
cm di depan dan sekitar 15 derajat ke arah kanan garis penglihatan
mata kanan klien. Pegang oftalmoskop dengan tangan kanan anda
dengan apertura penglihat sedekat mungkin dengan mata kanan anda.
Letakkan ibu jari kiri anda di mata kanan klien untuk mencegah
memukul klien dengan oftalmoskop pada saat anda bergerak
mendekat. Jaga agar telunjuk kanan anda tetap berada di selektor lensa
untuk menyesuaikan lensa seperlunya seperti yang ditunjukkan di sini.
 instruksikan klien untuk melihat lurus pada titik sejajar mata yang
sudah ditentukan di dinding. Instruksikan juga pada klien, bahwa
meskipun berkedip selama pemeriksaan diperbolehkan, mata harus
tetap diam. Kemudian, mendekat dari sudut oblik sekitar 38 cm dan
dengan diopter pada angka 0, berfokuslah pada lingkaran kecil cahaya
pada pupil. Cari cahaya oranye kemerahan dari refleks merah, yang
harus tajam dan jelas melewati pupil. Refleks merah menunjukkan
bahwa lensa bebas dari opasitas dan kabut.
 bergerak mendekat pada klien, ubah lensa dengan jari telunjuk untuk
menjaga agar struktur retinal tetap dalam fokus.
 ubah diopter positif untuk melihat viterous humor, mengobservasi
adanya opasitas.
 kemudian, lihat retina, menggunakan lensa negatif yang kuat. Cari
pembuluh darah retina dan ikuti pembuluh darah tersebut ke arah
hidung klien, rotasi selektor lensa untuk menjaga agar pembuluh darah
tetap dalam fokus. Karena fokus tergantung pada anda dan status
refraktif klien maka diopter lensa berbeda-beda untuk sebagian besar
klien. Periksa dengan cermat seluruh struktur retina, termasuk
pembuluh darah retina, diskus optikus, latar belakang retina, makula
dan fovea.
 periksa pembuluh darah dan struktur retina untuk warna, perbandingan
ukuran arteri dan vena, refleks cahaya arteriol, dan persilangan
arteriovenosa. Mangkuk fisiologis normalnya berwarna kuning-putih
dan dapat terlihat.
 periksa makula pada bagian akhir karena sangat sensitis terhadap
cahaya.

10 Pemeriksaan fisik mata pada anak


 goyangkan kepala bayi secara perlahan-lahan supaya mata bayi
terbuka.
 periksa jumlah, posisi atau letak mata
 periksa adanya strabismus yaitu koordinasi mata yang belum sempurna
 periksa adanya glaukoma kongenital, mulanya akan tampak sebagai
pembesaran kemudian sebagai kekeruhan pada kornea.
 katarak kongenital akan mudah terlihat yaitu pupil berwarna putih.
Pupil harus tampak bulat.
 terkadang ditemukan bentuk seperti lubang kunci (kolobama) yang
dapat mengindikasikan adanya defek retina.
 periksa adanya trauma seperti palpebra, perdarahan konjungtiva atau
retina.
 periksa adanya sekret pada mata, konjungtivitis oleh kuman
gonokokus dapat menjadi panoftalmia dan menyebabkan kebutaan.
 apabila ditemukan epichantus melebar kemungkinan bayi mengalami
sindrom down.
B. Telinga

1. Pengkajian Sistem Indera Pendengaran

- Memulai pengkajian dengan menanyakan beberapa hal berikut:


 Bagaimanakah kondisi pendengaran Bapak/Ibu/Saudara/i?
 Apakah ada gangguan pada pendengaran yang saat ini dirasakan?
- Apabila pasien mengalami gangguan, tanyakan:
 Apakah gangguan yang dialami hanya terjadi pada 1 sisi pendengaran atau
keduanya
 Apakah gangguan terjadi secara tiba-tiba atau bertahap?
 Gejala apakah yang dirasakan?
- Bedakan jenis gangguan apakah gangguan konduksi atau sensori neural:
o Pada individu dengan gangguan konduksi maka kondisi lingkungan
yang berisik akan membantu proses pendengaran.
o Individu yang dengan gangguan sensorineural akan mengalami
kesulitan memahami pembicaraan orang lain (orang lain dianggap
bergumam). Kondisi lingkungan yang berisik akan memperparah
gangguan pendengaran tersebut.
 Apakah ada kesulitan memahami percakapan orang lain yang dialami?
 Apakah ada perbedaan kondisi yang dialami dengan adanya perubahan
lingkungan?
- Kaji tanda dan gejala yang berhubungan dengan gangguan pendengaran:
 Nyeri pada telinga
 Tinnitus
o Merupakan suara yang secara kontinyu terdengar tanpa adanya stimulus
dari luar. Gangguan ini dapat dihubungkan dengan adanya gangguan
fungsi pendengaran dan belum dapat dijelaskan secara detil
penyebabnya.
 Vertigo
o Merupakan persepsi pasien dimana dirinya atau lingkungan
disekitarnya seperti berputar. Gangguan ini dapat disebabkan karena
adanya gangguan pada telinga dalam, lesi N. VIII atau adanya
gangguan pada jalur persarafan dari telinga ke SSP.
 Discharge dari telinga
o Dapat berbentuk cairan kental yang merupakan debris dari proses
inflamasi yang terjadi di kanal auditorius (pada telinga luar) atau
sebagai akibat adanya perforasi pada membran tymphani.

- Kaji penyakit lain yang dapat menimbulkan nyeri pada telinga


o Gangguan pada mulut, tenggorokan, hidung atau saluran nafas bagian
atas yang berisiko menimbulkan gangguan fungsi pendengaran
- Kaji penggunaan obat yang dapat menimbulkan risiko gangguan pendengaran
- Kaji riwayat operasi dan alergi

2. Pemeriksaan Fisik Telinga

- Pemeriksaan Daun Telinga & bagian-bagiannya:

 Lakukan inspeksi pada setiap daun telinga (kanan dan kiri) dan bagian
bagiannya, apakah terdapat deformitas, benjolan atau lesi kulit
o Deformitas dapat ditemukan apabila terdapat trauma. Benjolan yang
dijumpai pada saat inspeksi dapat berupa kelloid, kista, basal cell
carcinoma, tophi.
 Lihat kesimetrisan kedua daun telinga

 Lihat apakah ada Battle’s Sign pada bagian belakang telinga


o Battle’s Sign merupakan suatu kondisi dimana terdapat echymosis
pada tulang mastoid dan merupakan indikator adanya fraktur pada
basis cranii.

 Apabila terdapat nyeri pada telinga, adanya discharge atau proses


inflamasi maka lakukan pemeriksaan dengan cara menggerakkan daun
telinga secara lembut ke atas dan ke bawah (= tug test) serta berikan tekan
lembut pada bagian belakang telinga dari atas ke bawah.
o Saat dilakukan tug test akan dijumpai adanya rasa nyeri pada kondisi
Acute Otitis Externa (inflamasi pada kanal auditorius) namun tidak
pada kondisi Otitis Media.

- Pemeriksaan Kanal Auditorius & Membran Tymphani:

 Lakukan pemeriksaan dengan menggunakan otoscope


o Pada kondisi Acute Otitis Externa dapat dijumpai tanda inflamasi
pada kanal auditorius berupa adanya pembengkakan, penyempitan,
lembab dan tampak pucat atau bahkan kemerahan. Pada kondisi
Chronic Otitis Externa permukaan kulit pada kanal auditorius
tampak menebal, merah dan terasa gatal.

 Periksa ada tidaknya serumen (catat warna dan konsistensinya), benda


asing, discharge, kemerahan dan atau edema

 Inspeksi membran tymphani, perhatikan dan catat warna dan konturnya


(ada tidaknya perforasi, sklerosis)

o Warna normal pada mebran tymphani adalah merah muda keabuabuan.


Pada Otitis Media Akut Purulenta dapat dijumpai warna merah
membesar pada membran tymphani yang disertai adanya pengeluaran
cairan. Pada kondisi sklerosis maka akan dijumpai area pada membran
tymphani yang berwarna keputihan dengan batas yang tidak rata.

3. Tes Pendengaran

- Tes sederhana/klasik: tes arloji, tes berbisik, tes garpu tala


 Semi kuantitatif
 Berfungsi menentukan derajat ketulian secara kasar
 Pastikan melakukan pemeriksaan ini dalam kondisi ruangan yang betul-
betul tenang,
 Pemeriksaan dilakukan dari jarak (1-2 feet = 30,5-61 cm = 0,3-0,6 m)

 Pada tes berbisik:


o Lakukan pemeriksaan dari samping
o Tutup telinga lain yang belum diperiksa dengan jari dan pastikan pasien
tidak membaca gerakan bibir pemeriksa
o Gunakan angka atau kata yang terdiri dari 2 suku kata yang beraksen
sama: “tigalima”; “bola-bata”, dst
o Minta pasien untuk mengulangi kata atau angka yang telah disebutkan
o Penilaian (menurut Feldmann):
 Normal: 6-8 m
 Tuli ringan: 4 - <6m
 Tuli sedang: 1 - <4 m
 Tuli berat: 25 cm - <1 m
 Tuli total: <25 cm

 Tes garpu tala:


o Semi kualitatif
o Menggunakan garpu tala yg memiliki frekuensi 512 Hz
o Jenis-jenisnya : tes Rinne, tes Weber, tes Schwabach

 Tes Rinne: membandingkan hantaran tulang (BC) dengan hantaran udara


(AC) pada telinga yang diperiksa

Gambar 4 Tes Rinne (Schwatrz, n.d)


- Hasil tes Rinne:
o Positif: bila masih terdengar
o Negatif: bila tidak terdengar
- Interpretasi Hasil:
o Positif (AC = 2 kali lebih lama daripada): Normal
o Positif (AC>BC): Tuli sensorineural
o Negatif (AC<BC atau AC=BC): Tuli konduktif

 Tes Weber: membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga


kanan

Gambar 5 Tes Weber (Schwatrz, n.d)


- Hasil tes Weber:
o Bila terdengar lebih keras ke salah satu telinga: lateralisasi ke telinga
tersebut
o Bila tdk dapat dibedakan ke arah mana yang lebih keras: tidak ada
lateralisasi
- Interpretasi Hasil:
o Normal: tidak ada lateralisasi
o Tuli konduktif: lateralisasi ke telinga yang sakit
o Tuli sensorineural: lateralisasi ke telinga yang sehat

 Tes Schwabach: membandingkan hantaran tulang telinga orang yang


diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal
- Hasil tes Schwabach dan interpretasinya:
o Sama: normal
o Memanjang: Tuli konduktif
o Memendek: Tuli sensorineural
- Pemeriksaan pendengaran subjektif: audiometri
 Tes pengukuran fungsi pendengaran secara kuantitatif dan kualitatif
dengan melakukan penilaian pada:
o berapa besar gangguan pendengaran (derajat gangguan dengar) dan
lokalisasi gangguan dengar
o menggunakan alat audiometer
 Hasil pemeriksaan dicatat dalam audiogram
- Pemeriksaan pendengaran objektif: BERA (Brainstem Evoked Response
Audiometry)
 Bersifat objektif dan non-invasif.
 Prinsip pemeriksaan BERA adalah menilai potensial listrik di otak setelah
pemberian rangsang sensoris berupa bunyi.
 Pemeriksaan BERA dpt dilakukan pada: bayi, anak dengan gangguan sifat
dan tingkah laku, retardasi mental, cacat ganda dan kesadaran menurun.
 Pada orang dewasa dapat digunakan untuk memeriksa orang yang berpura-
pura tuli atau ada kecurigaan tuli saraf retrocochlea.

C. Hidung

1. Pemeriksaan Fisik Sistem Indera Penciuman.


Indra penciuman merupakan penentu dalam identifikasi aroma dan cita
rasa makanan-minuman yang dihubungkan oleh saraf trigeminus sebagai
pemantau zat kimia yang terhirup. Indra penciuman dianggap salah satu sistem
kemosensorik karena sebagian besar zat kimia menghasilkan persepsi olfaktorius,
trigeminus, dan pengecapan. Hal ini dikarenakan sensasi kualitatif penciuman
ditangkap neuroepitelium olfaktorius sehingga menimbulkan sensibilitas somatic
berupa rasa dingin, hangat, dan iritasi melalui serabut saraf aferen trigeminus,
glosofaringeus, dan vagus dalam hidung, kavum oris, lidah, faring, dan laring.
Adanya gangguan penciuman (osmia) dapat diakibatkan oleh proses
patologis sepanjang olfaktorius yang hampir serupa dengan gangguan
pendengaran berupa defek konduktif maupun defek sensorineural. Defek
konduktif (transport) terjadi akibat adanya gangguan transisi stimulus  bau menuju
neuroepitel, sedangkan defek sensorineural cenderung melibatkan struktur saraf
yang lebih sentral. Namun penyebab utama dari gangguan penciuman, yaitu
penyakit rongga hidung maupun sinus, sebelum terjadi infeksi saluran nafas atas,
dan trauma kepala (Kris, 2006).
Gangguan penciuman (osmia) memiliki sifat total (seluruh bau), parsial
(sejumlah bau), atau spesifik (satu atau sejumlah kecil bau). Jenis-jenis gangguan
penciuman, yaitu:
1. Anosmia merupakan ketidak-mampuan mendeteksi bau
2. Hiposmia merupakan penurunan kemampuan mendeteksi bau
3. Disosmia merupakan distorsi identifikasi bau (tidak bisa membedakan
bau)
4. Parosmia merupakan perubahan persepsi pembauan
5. Phantosmia merupakan persepsi bau tanpa adanya sumber bau
6. Agnosia merupakan ketidakmampuan menyebutkan maupun membedakan
bau, meski pasien dapat mendeteksi bau. 
 
Untuk mengidentifikasi adanya gangguan penciuman diperlukan
pemeriksaan fisik untuk menentukan sensasi kualitatif dan ambang batas deteksi.
1. Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif
Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif yang paling sederhana
dapat menggunakan bahan-bahan odoran berbeda. Contohnya kopi, vanilla, selai
kacang, jeruk, limun, coklat, dan lemon. Pasien diminta untuk mengidentifikasi
bau dengan mata tertutup dan kemudian mencium aroma dari bahan-bahan odoran
tersebut.
 
Sedangkan saat ini terdapat beberapa metode yang tersedia untuk pemeriksaan
penciuman, yaitu:
a. Tes odor stix
Uji ini menggunakan pena penghasil bau-bauan. Penba ini dipegang dalam jarak
sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk mengkaji persepsi bau pasien secara
kasar.
b. Tes alkhohol 12 inci
Merupakan metode pemeriksaan persepsi bau secara kasar dengan menggunakan
paket alkhohol isopropil yang dipegang pada jarak 12 inci.

c. Scratch and sniff card


Metode ini menggunakan kartu yang memiliki 3 bau untuk menguji penciuman
secara kasar.
d. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT)
Merupakan metode paling baik untuk menguji penciuman dan paling
direkomendasikan. Uji ini menggunakan 40 item pilihan ganda berisi bau-bauan
berbentuk kapsul mikro. Orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya
memiliki skor kisaran 1-7 dari skor maksimal 40. Untuk anosmia total, skor yang
dihasilkan lebih tinggi karena terdapat adanya sejumlah bau-bauan yang bereaksi
terhadap rangsangan terminal.

e. Pemeriksaan fisik untuk emenentukan ambang batas


Penentuan ambang deteksi bau menggunakan alkhohol feniletil yang ditetapkan
dengan menggunakan rangsangan bertingkat. Masing-masing lubang hidung harus
diuji sensitivitasnya melalui ambang deteksi untuk fenil-etil metil etil karbinol.

D. Lidah

1. Pemeriksaan Fisik Sistem Indera Pengecapan

Pada hakekatnya, lidah mempunyai hubungan erat dengan indera khusus


pengecap. Zat yang memberikan impuls pengecap mencapai sel reseptor lewat
pori pengecapan. Ada empat kelompok pengecap atau rasa yaitu manis, asin,
asam, dan pahit.
Gangguan indera pengecap biasanya disebabkan oleh keadaan yang
mengganggu tastants atau zat yang memberikan impuls pengecap pada sel
reseptor dalam taste bud (gangguan transportasi) yang menimbulkan cedera sel
reseptor (gangguan sensorik) atau yang merusak serabut saraf aferen gustatorius
serta lintasan saraf sentral gustatorius (gangguan neuron).
Manifestasi klinis dari indera pengecap apabila dilihat dari sudut pandang
psikofisis, gangguan pada indera pengecap dapat digolongkan menurut keluhan
pasien atau menurut hasil pemeriksaan sensorik yang objektif missal sebagai
berikut.
1. Ageusia total adalah ketidakmampuan untuk mengenali rasa manis, asin,
pahit, dan asam.
2. Ageusia parsial adalah kemampuan mengenali sebagian rasa saja.
3. Ageusia spesifik adalah ketidakmampuan untuk mengenali kualitas rasa
pada zat tertentu.
4. Hipogeusia total adalah penurunan sensitivitas terhadap semua zat
pencetus rasa.
5. Hipogeusia parsial adalah penurunan sensitivitas terhadap sebagian
pencetus rasa.
6. Disgeusia adalah kelainan yang menyebabkan persepsi yang salah ketika
merasakan zat pencetus rasa.

Pasien dengan keluhan hilangnya rasa bisa dievaluasi secara psikofisis


untuk fungsi gustatorik selain menilai fungsi olfaktorius. Langkah pertama
melakukan tes rasa seluruh mulut untuk kualitas, intensitas, dan persepsi
kenyamanan dengan sukrosa, asam sitrat, kafein, dan natrium klorida.
Tes rasa listrik (elektrogustometri) digunakan secara klinis untuk
mengidentifikasi defisit rasa pada kuadran spesifik dari lidah. Biopsi papilla
foliate atau fungiformis untuk pemeriksaan histopatologik dari kuncup rasa masih
eksperimental akan tetapi cukup menjanjikan mengetahui adanya gangguan rasa.

E. Kulit

1. Pemeriksaan Fisik Sistem Indera Perabaan


Pemeriksaan fisik indra perabaan didasarkan pada sensibilitas. Pemeriksaan fisik
sensori indra perabaan (taktil)  terbagi atas 2 jenis, yaitu basic sensory modalities
dan testing higher integrative functions. Basic sensory modalities (pemeriksaan
sensori primer) berupa uji sensasi nyeri dan sentuhan, uji sensasi suhu, uji sensasi
taktil, uji propiosepsi (sensasi letak), uji sensasi getar (pallestesia), dan uji sensasi
tekanan. Sedangkan testing higher integrative functions (uji fungsi integratif
tertinggi) berupa stereognosis, diskriminasi 2 titik, persepsi figure kulit
(grafitesia), ekstinksi, dan lokalisasi titik.

Sensasi raba dihantarkan oleh  traktus spinotalamikus ventralis. Sedangkan


sensasi nyeri dan suhu dihantarkan oleh serabut saraf menuju ganglia radiks
dorsalis dan kemudian serabut saraf akan menyilang garis tengah dan akan masuk
menuju traktus spinotalamikus lateralis kontralateral yang akan berakhir di
talamus sebelum dihantarkan ke korteks sensorik dan diinterpretasi.  Adanya lesi
pada traktus-traktus tersebutlah yang dapat menyebabkan gangguan sensorik
tubuh.

1. Basic sensory modalities(pemeriksaan sensori primer)

a. Uji sensasi nyeri dan sentuhan

Uji sensasi nyeri dan sentuhan terbagi menjadi 2 macam, yaitu nyeri
superficial (tajam-tumpul) dan nyeri tekan.

1)      Nyeri superficial

Merupakan metode uji sensasi dengan menggunakan benda yang


memiliki 2 ujung, yaitu tajam dan tumpul. Benda tersebut dapat berupa
peniti terbuka maupun jarum pada reflek hammer. Pasien dalam keadaan
mata terpejam saat dilakukan uji ini dan dilakukan pengkajian respon
melalui pertanyaan “apa yang anda rasakan?” dan membandingkan sensasi
2 stimulus yang diberikan. Apabila terjadi keraguan respon maupun
kesulitandan ketidakmampuan  dalam membedakan sensasi, maka hal ini
mengindikasikan adanya deficit hemisensori berupa analgesia, hipalgesia,
maupun hiperalgesia pada sensasi nyeri. Sedangkan gangguan pada sensasi
sentuhan berupa anestesia dan hiperestesia.

2)      Nyeri tekan

Merupakan metode uji sensori dengan mengkaji nyeri melalui penekanan


pada tendon dan titik saraf. Metode ini sering digunakan dalam uji sensori
protopatik (nyeri superficial, suhu, dan raba) dan uji propioseptik (tekanan,
getar, posisi, nyeri tekan). Misalnya, berdasarkan Abadie sign pada daerah
dorsalis, tekanan ringan yang diberikan pada tendon Achilles normalnya
adalah ‘hilang’. Dengan kata lain tidak dapat dirasakan sensasi nyeri bila
diberikan tekanan ringan pada tendon Achilles.

b. Uji sensasi suhu

Uji sensasi suhu pada dasarnya lebih direkomendasikan apabila pasien


terindikasi gangguan sensasi nyeri. Hal ini dikarenakan pathways dari indra nyeri
dan suhu saling berbuhungan. Metode ini menggunakan gelas tabung yang berisi
air panas dan dingin. Pasien diminta untuk membedakan sensasi suhu yang
dirasakan tersebut. Apabila pasien tidak dapat membedakan sensasi,maka pasien
dapat diindikasikan mengalami kehilangan “slove and stocking” (termasuk dalam
gangguan neuropati perifer).

c. Uji sensasi taktil

Uji sensasi taktil dilakukan dengan menggunakan sehelai dawai (senar) steril atau
dapat juga dengan menggunakan bola kapas.  Pasien yang dalam keadaan mata
terpejam akan diminta menentukan area tubuh yang diberi rangsangan dengan
memberikan hapusan bola kapas pada permukaan tubuh bagian proksimal dan
distal. Perbandingan sensitivitas dari tubuh proksimal dan distal akan menjadi
tolak ukur dalam menentukan adanya gangguan sensori. Indikasi dari gangguan
sensori pada uji sensasi taktil ini berupa hyperestetis, anastetis, dan hipestetik.

d. Uji propiosepsi (sensasi letak)


Uji ini dilakukan dengan menggenggam sisi jari pada kedua tungkai yang
disejajarkan dan menggerakkannya ke arah gerakan jari. Namun yang perlu
diperhatikan adalah menghindari menggenggam ujung dan pangkal jari atau
menyentuh jari yang berdekatan karena lokasi sensasinya mudah ditebak
(memberikan isyarat sentuh).  Pasien yang dalam keadaan mata terpejam diminta
untuk menentukan lokasi jari yang digerakkan.

Selain itu, uji ini juga dapat dilakukan dengan menguji posisi sensasi di sendi
metakarpalia palangeal untuk telapak kaki besar. Orang muda normal memiliki
derajat diskriminasi sebesar 1 sampai 2 derajat untuk gerakan sendi distal jari dan
3 sampai 5 derajat untuk kaki besar.

e. Uji sensasi vibrasi (pallestesia)

Uji sensasi vibrasi  dilakukan menggunakan garpu tala frekuensi rendah (128 atau
256 Hertz) yang diletakkan pada bagian tulang yang menonjol pada tubuh pasien.
Kemudian pasien diminta untuk merasakan sensasi yang ada dengan memberikan
tanda bahwa ia dapat merasakan sensasi getaran. Apabila pasien masih tidak bisa
merasakan sensasi getaran, maka perawat menaikkan frekuensi garputala sampai
pasien dapat merasakan sensasi getaran tersebut. Pasien muda dapat merasakan
getaran selama 15 detik di ibu jari kaki dan 25 deti di sendi distal jari. Sedangkan
pasien usia 70 tahun-an merasakan sensasi getaran masing-masing selama 10
detik dan 15 detik.

f. Uji sensasi tekanan

Uji sensasi tekanan menerapkan kemampuan pasien dalam membedakan tekanan


dar sebuah objek pada ujung jari. Uji ini dilakukan dengan cara menekan aspek
tulang sendi dan subkutan untuk mempersepsikan tekanan. Rekomendasi untuk uji
tekanan ini diutamakan pada penderita diabetes dan dilakukan minimal sekali
setahun.

2. Testing higher integrative functions(uji fungsi integratif tertinggi)

a. Stereognosis
Stereognosis merupakan kemampuan untuk mengenali objek dengan perasaan. Uji
ini merupakan identifikasi benda yang dikenal dan diletakkan di atas tangan
pasien sehingga pasien dapat mengidentifikasi benda yang berada di tangannya.
Adanya kesulitan identifikasi benda (gangguan stereognosis) mengindikasikan
adanya lesi pada kolumna posterior atau korteks sensori.

b. Diskriminasi 2 titik

Diskriminasi 2 titik merupakan metode identifikasi sensasi 2 titk dari penekanan 2


titik pin yang berada pada permukaan kulit. Uji ini terus dilakukan berulang
hingga pasien tidak dapat mengidentifikasi sensasi 2 titik yang terpisah. Lokasi
yang sering digunakan untuk uji ini adalah ujung jari, lengan atas, paha, dan
punggung. Adanya gangguan identifikasi 2 titik mengindikasikan adanya lesi pada
kolumna posterior atau korteks sensori.

c. Identifikasi angka (grafitesia)

Grafitesia merupakan metode penggambaran angka di mana nantinya pasien


diminta untuk mengidentifikasi angka yang tergambar pada telapak tangan.
Metode grafitesia dapat menggunakan ujung tumpul pulpen sebagai media
stimuli. Kesulitan pada identifikasi angka menunjukkan adanya glesi pada
kolumna posterior atau korteks sensori.

d. Ekstinksi

Ekstinksi merupakan salah satu uji sensori yang menggunakan metode sentuhan
pada kedua sisi tubuh. Uji ini dilakukan pada saat yang sama dan lokasi yang
sama pada kedua sisi tubuh, misalnya lengan bawah pada kanan dan kiri lengan.
Apabila pasien tidak bisa menggambarkan jumlah titik lokasi sentuhan (biasanya
psien hanya merasakan satu sensasi), maka dapat dipastikan pasien teridentifikasi
adanya lesi sensoris.

e. Lokalisasi titik

Lokalisasi titik merupakan metode didentifikasi letak lokasi sensasi stimulus.


Metode ini dilakukan dengan cara memberikan sensasi sentuhan ringan pada
permukaan kulit dan meminta pasien untuk menyebutkan atau menunjukkan letak
sensasi yang dirasakan. Adanya penurunan sensasi sensori dibuktikan dengan
adanya ketidak-akuratan identifikasi lokalisasi. Hal ini disebabkan adanya lesi
pada korteks sensori sehingga terjadi penurunan maupun hilangnya sensasi
sentuhan pada sisi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai