Pendapat lain mengatakan, pengertian ambigu adalah suatu kata, frasa, atau kalimat yang
memiliki makna ganda/ taksa sehingga menimbulkan keraguan atau ketidakjelasan bagi
orang lain. Suatu kata atau kalimat menjadi ambigu biasanya karena struktur kalimat
yang tidak tepat, intonasi, serta penggunaan kata yang sifatnya Polisemi (kata yang
mempunyai banyak makna).
Keambiguan sering terjadi pada penggunaan kata, frasa, atau kalimat. Untuk
menghindari keambiguan tersebut maka pemilihan kata yang tepat, tanda baca, dan
intonasi, harus sesuai dengan yang seharusnya.
Agar lebih memahami apa itu ambigu, maka kita dapat merujuk pada pendapat beberapa
ahli berikut ini:
Menurut Crane, Yeager, dan Whitman, arti ambigu adalah suatu hal (kalimat) yang
memiliki lebih dari satu interpretasi normal.
Menurut KBBI, arti ambigu adalah suatu kondisi yang bermakna lebih dari satu (sehingga
kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan, dan sebagainya);
bermakna ganda; taksa (mempunyai makna lebih dari satu; kabur atau meragukan
tentang makna).
Jenis-Jenis Kalimat Ambigu
Berdasarkan bentuknya, kalimat ambigu dapat dibedapat menjadi tiga jenis. Adapun
beberapa jenis kalimat ambigu adalah sebagai berikut:
1. Ambiguitas Fonetik
Pengertian ambiguitas fonetik adalah jenis keambiguan yang terjadi karena adanya
persamaan bunyi kata yang diucapkan. Jenis keambiguan seperti ini sering terjadi dalam
percakapan sehari-hari.
Contoh kalimat:
Dalam kalimat tersebut terjadi keambiguan pada frasa “memberi tahu”. Dalam hal ini
“memberi tahu” dapat bermakna memberikan makanan berupa tahu, namun juga bisa
bermakna memberikan informasi.
2. Ambiguitas Gramatikal
Pengertian ambiguitas gramatikal adalah jenis keambiguan yang terjadi karena proses
pembentukan ketatabahasaan. Umumnya jenis ambiguitas ini akan hilang ketika masuk
dalam konteks kalimat.
Contoh kata:
Orang tua; dalam hal ini kata “orang tua” dapat memiliki makna ganda, yaitu (1) orang
yang sudah tua, dan (2) ibu dan bapak. Kerancuan yang ada pada kata tersebut akan
hilang ketika kata “orang tua” masuk dalam sebuah kalimat.
“Kedua orang tua Rudi bekerja di pasar setiap hari”(maknanya; ibu dan bapak).
“Orang tua bertopi hitam itu setiap hari berjalan kaki ke pasar untuk berbelanja”
(maknanya; orang yang sudah tua).
3. Ambiguitas Leksikal
Pengertian ambiguitas leksikal adalah jenis keambiguan yang terjadi karena faktor kata
itu sendiri. Jenis ambiguitas ini terjadi karena kata yang memiliki lebih dari satu makna,
tergantung penggunaannya.
Contoh kalimat:
Rudi sedang menggali tanah di halaman belakang rumahnya untuk membuat kolam ikan.
Pihak kepolisian sedang menggali informasi lebih dalam mengenai gembong narkoba yang
tertangkap itu.
Pada kalimat pertama, kata “menggali” dapat diartikan sedang membuat lubang di tanah.
Sedangkan pada kalimat kedua, kata “menggali” bermakna sedang mencari atau
menelusuri.
Faktor Penyebab Ambiguitas
Ambiguitas dapat terjadi karena beberapa faktor penyebab. Adapun beberapa penyebab
kalimat ambigu adalah sebagai berikut:
1. Faktor Morfologi
Contoh;
“Malam itu Rudi membuka pintu lebar-lebar dan masuklah angin ke rumahnya dengan
kencang”
Kata “masuk angin” pada kedua kalimat di atas memiliki makna yang berbeda. Kedua
kalimat tersebut menjelaskan bahwa ambiguitas bisa terjadi karena proses pembentukan
kata di dalam kalimat.
Faktor sintaksi adalah penyebab ambiguitas yang terjadi karena susunan kata pada suatu
kalimat.
Contoh:
“Rudi merupakan seorang pria yang keras kepala dan sulit dinasihati”
“Rudi memiliki kepala keras seperti batu sehingga ia dapat memecahkan balok es dengan
kepalanya”
Pada contoh kalimat di atas, kata “keras kepala” dan “kepala keras” memiliki makna
yang berbeda setelah berubah susunan katanya.
3. Faktor Struktural
Faktor struktural adalah penyebab ambiguitas yang terjadi karena struktur kata pada
suatu kalimat.
Contoh:
“Rudi, Adik Ronaldo, sedang dirawat di RS Cinere” (maknanya Rudi dan Adik Ronaldo
sedang dirawat di RS).
“Rudi, Adik, Ronaldo, sedang dirawat di RS Cinere” (maknanya ketiganya sedang dirawat
di RS)
“Rudi! Adik Ronaldo sedang dirawat di RS Cinere” (maknanya Adik Ronaldo sedang
dirawat di RS)
Dari contoh kalimat di atas terlihat bahwa struktur kalimat berpengaruh pada makna
sebuah kalimat. Tanda baca dan tambahan kata pada suatu kalimat akan mengubah
makna suatu kalimat secara keseluruhan.
Contoh Kekeliruan Istilah Dalam Bahasa Hukum
1. kata atau gabungan kata yang dengan cermat meng-ungkapkan makna konsep, proses,
keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu;
Istilah ini terdapat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan (termasuk ilmu hukum) dan teknologi
yang berkembang secara dinamis.
Dalam bidang (ilmu) hukum terdapat istilah kata hukum yang dirasa keliru penggunaannya
sehingga kurang tepat apabila ditelisik lebih dalam. Kekeliruan tersebut tidak hanya terjadi di
kalangan masyarakat awam, tetapi terjadi juga di masyarakat jurnalistik. Selain di masyarakat
jurnalistik, yang lebih parah lagi kekeliruan penggunaan istilah hukum juga terjadi di masyarakat
profesi hukum, atau setidaknya berlatar belakang pendidikan strata 1 (satu) hukum.
Penulis tidak mengada-ada dalam mengungkapkan kekeliruan penggunaan istilah hukum ini.
Berdasarkan pengalaman penulis menjadi penyuluh hukum, lebih lanjut lagi ketika penulis
beraktivitas sebagai peserta seminar/sosialisasi hukum, pembaca media cetak/online (termasuk
mengisi Teka-Teki Silang (TTS)), pendengar radio, penonton televisi, telah terjadi kekeliruan
dalam penerapan istilah hukum. Istilah hukum yang sering keliru penerapannya adalah istilah
Paten, Gratifikasi dan Deponering.
A. Paten
Kata paten, berasal dari bahasa inggris patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti
membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat
keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku
bisnis tertentu.[2] Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang
Paten, Pasal 1 angka 1 berbunyi :
“Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di
bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau
memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya”
Sering terdengar dalam sosialisasi kekayaan intelektual, peserta sosialisasi bertanya kepada
narasumber, “saya telah mematenkan merek saya di kanwil kemenkumham, tetapi sampai
sekarang belum keluar sertifikatnya ?”.
Terlihat juga dalam suatu percakapan di website kaskus, ada member kaskus yang menanyakan
tentang merek, demikian pertanyaannya : “Misi agan2 sekalian.. Ane seorang wirausaha,
rencananya ane mau mematenkan merk dagang ane.. Prosedurnya gimana ya? Trus gimana cara
tau nya merk yg mau ane paten kan, sudah dipatenkan/blm oleh orang lain? Mohon infonya yaa...
Thankzzz gan...”[3]
Dalam suatu percakapan pada saat seorang temen sedang sakit, seorang teman lainnya berkata:
“supaya cepat sembuh, minum ini nih … Obat Paten, sekali minum langsung sembuh”.
Dari uraian diatas, maksud istilah kata “mematenkan merek” adalah mendaftarkan merek,
sedangkan istilah kata “Obat Paten” adalah obat yang manjur/mujarab, bukan resep obat yang
masih dalam perlindungan hak paten.
Masyarakat harus tahu bahwa merek dan paten, merupakan dua istilah yang berbeda dan
keduanya merupakan bagian dari kekayaan intelektual. Merek diatur oleh Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek.
B. Gratifikasi
Menurut penjelasan Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31/
1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Pengertian Gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan
dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Apabila merujuk pada kamus bahasa Inggris, nampaknya sudah terjadi kekeliruan dalam
penggunaan istilah ’gratifikasi’ yang merupakan kata terjemahan dari Bahasa inggris :
“gratification”. Definisi dari Collins English Dictionary - Complete & Unabridged 2012 Digital
Edition, yaitu “gratification” is [4] :
pleasure, especially when gained from the satisfaction of a desire (kenikmatan, khususnya kepuasan
yang didapat karena terpenuhinya keinginan)
an obsolete word for ’gratuity’ (kata usang yang bermakna ’hadiah’ atau ’ganjaran’).
Dari definisi di atas, (setidak-tidaknya di wacana bahasa Inggris) gratifikasi tidak dipakai untuk
merujuk kepada ’uang sogok atau uang suap’. Seperti terlihat pada definisi istilah ’gratuity’ lebih
sesuai (lebih mutakhir) dipakai ketimbang istilah ’gratification’. Namun sekali lagi, kata ’gratuitas’
menyiratkan ’uang sebagai tanda terima kasih yang tulus’, bukan ’uang tanda terima kasih yang
mempunyai pamrih terselubung’. [5]
C. Deponering
Akhir tahun 2009, terjadi perseteruan antara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Bibit &
Chandra) dengan Bareskrim POLRI. Perseteruan tersebut memunculkan istilah “ CICAK VS
BUAYA”[6], dan istilah yang sering muncul saat itu adalah “Deponering” ketika Jaksa Agung
mengenyampingkan perkara pidana dengan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian
Penuntutan (SKPP) sebagaimana rekomendasi Tim 8 [7]. Begitu pula saat pimpinan KPK (Samad
& Bambang) dijadikan tersangka tahun 2015 dan Jaksa Agung mengenyampingkan perkara
pidana dengan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) [8], istilah
“Deponering” muncul kembali di media cetak maupun elektronik.
Dalam Penjelasan pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan R.I.
disebutkan:
“Yang dimaksud dengan ‘kepentingan umum’ adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau
kepentingan masyarakat. mengesampingkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan
pelaksanaan asas opportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah
memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang memepunyai
hubungan dengan masalah tersebut”.
“Perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi
hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk
melakukan suatu tindak pidana”, dan terdapat dalam Penjelasan Pasal 77 KUHAP berbunyi: “Yang
dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan
umum menjadi wewenang Jaksa Agung”.
Dari uraian diatas, menjadi permasalahan Istilah apakah yang tepat untuk menggantikan kata
atau ungkapan khusus dari “pengesampingan perkara demi kepentingan umum” ?
Guru Besar Hukum Acara Pidana, yang juga Ketua Tim Penyusun RUU KUHAP, Prof. Andi
Hamzah berpendapat istilah yang benar adalah seponering. Istilah ini berasal dari kata
kerja seponeren, dengan kata dasar sepot. Pandangan Andi Hamzah itu juga dia sampaikan secara
terbuka di depan peserta Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2010 yang dilaksanakan Komisi
Hukum Nasional. Dua pakar hukum pidana, Prof. Mardjono Reksodiputro dan Prof. J.E. Sahetapy
berada di acara tersebut ketika Prof. Andi Hamzah menyampaikan pandangannya. Ketika
melakukan studi banding ke Belanda untuk kebutuhan penyusunan RUU KUHAP, Andi Hamzah
membuktikan istilah yang dipakai adalah seponeren.[10]
Lebih lanjut, menghentikan atau menyampingkan perkara seperti dimaksudkan para ahli hukum
di tanah air adalah bukan deponering, melainkan seponeren. Seponeren artinya terzijde
leggen (menyampingkan), niet vervolgen (tidak menuntut). Terminologi ini hanya dikenal dalam
hukum pidana sebagaimana diatur dalam Het Nederlands Strafprocesrecht (KUHAP Belanda).[11]
Atau kenapa tidak dipergunakan kalimat lengkap sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku yaitu “pengesampingan perkara demi kepentingan umum”, daripada menggunakan istilah
Belanda deponering tapi keliru, karena toh dalam KUHAP dan UU Kejaksaan R.I. tidak
menggunakan istilah itu.
“Suatu istilah hukum memiliki makna tertentu dan terkadang membawa akibat hukum tertentu.”