Anda di halaman 1dari 13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Bahasa sebagai Alat Komuniksi

Sebagai alat komunikasi Bahasa merupakan saluran perumusan maksud,

melahirkan perasaan dan memungkinkan menciptakan kerjasama dengan orang

lain (Gorys Keraf, 1997 : 4). Secara umum sudah jelas bahwa fungsi bahasa

adalah sebagai alat komunikasi. Bahasa sebagai wahana komunikasi bagi

manusia, baik komunikasi lisan maupun komunikasi tulis. Saat menggunakan

bahasa sebagai alat komunikasi, sudah memiliki tujuan tertentu. Ingin dipahami

oleh orang lain, ingin menyampaikan gagasan dan pemikiran yang dapat diterima

oleh orang lain, ingin membuat orang yakin terhadap pandangan, dan ingin orang

lain menanggapi hasil pemikiran.

Gorys Keraf (1997 : 1) menyatakan Bahasa adalah alat komunikasi antara

anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.

Mungkin ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-

satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Menunjukkan bahwa dua orang atau

pihak yang mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu

yang telah disepakati bersama, Harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan

dengan bahasa, semua alat komunikasi mengandung banyak segi yang lemah.

Saat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, mempertimbangkan juga

apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali

mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Sebagai contoh kata makro hanya

9
10

dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun

kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Dengan kata

lain besar atau luas, dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum.

Sebaliknya, kata makro akan memberikan nuansa lain pada bahasa, misalnya,

nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional.

Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks

daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media tersebut. Bahasa

harus merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi itu sendiri

haruslah merupakan simbol atau perlambang.

Felicia (2001 : 1) menyatakan bahwa dalam berkomunikasi sehari-hari,

salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan

maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia,

sehingga dirasa tidak perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia

secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak

terampil menggunakan bahasa.

Bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan

kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat

untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi

sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan

kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).

Fungsi Bahasa adalah suatu kenyataan bahwa manusia mempergunakan

bahasa sebagai sarana komunikasi vital dalam hidup. Bahasa adalah milik

manusia. Bahasa adalah salah satu ciri pembeda utama kita umat manusia dengan

makhluk hidup lainnya didunia (tarigan, 1986 : 3).


11

Setiap anggota masyarakat terlibat dalam komunikasi linguistik, satu pihak

bertindak sebagai pembicara dan di pihak yang lain sebagai penyimak.

Komunikasi yang lancar, proses perubahan dari pembicara menjadi penyimak,

dari penyimak menjadi pembicara begitu cepat, terasa sebagai suatu peristiwa

biasa dan wajar, bagi orang kebanyakan tidak perlu dipermasalahkan apalagi di

analisis dan di telaah.

Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan

menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa

Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di

dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu

menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern.

2.2 Tindak Tutur

Teori tindak tutur berawal dari ceramah yang disampaikan oleh filsuf

berkebangsan inggris, John L. Austin, pada tahun 1955 di universitas Harvard,

kemudian diterbitkan pada tahun 1962 dengan judul “ How to do things with

words”. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Austin (1962 : 98-99) menyatakan

bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga

melakukan sesuatu. Waktu seseorang menggunakan kata-kata kerja berjanji, minta

maaf, menamakan, menyatakan. Sebagai contoh dalam tuturan “Saya berjanji

saya akan datang tepat waktu, “Saya minta maaf karena datang terlambat”, dan

“Saya menamakan kapal ini Elizabeth”. Oleh karena itu yang bersangkutan tidak

hanya mengucapkan tetapi juga melakukan tindakan berjanji, meminta maaf, dan
12

menamakan. Tuturan-turan tersebut dinamakan tuturan performatif, kata kerjanya

juga disebut kata kerja performatif.

Selanjutnya . Kajian tersebut didasarkan pandangan bahwa (1) tuturan

merupakan sarana utama komunikasi dan (2) tuturan baru memiliki makna jika

direalisasikan dalam tindak komunikasi nyata, sebagai contoh membuat

pernyataan, pertanyaan, perintah atau permintaan.

Austin (1962) menyatakan agar dapat terlaksana ada tiga syarat yang harus

dipenuhi dalam tuturan-tuturan performatif seperti yang dijelaskan diatas. Syarat-

syarat yang dipelukan dan harus dipenuhi agar suatu tindakan dapat berlaku

disebut dengan facelity conditions, yaitu.

1. Pelaku dan Situasi Harus Sesuai

Sebagai contoh tuturan yang sering disampaikan kepada sepasang

pengantin “Saya nyatakan saudara-saudara sebagai suami istri” hanya dapat

dipenuhi jika yang mengucapkan adalah seseorang yang memang berwenang

untuk mengucapkan tuturan tersebut, contohnya pendeta atau pastur.

2. Tindakan Harus Dilaksanakan Dengan Lengkap dan Benar Oleh Semua Pelaku

Sebagai contoh seorang pimpinan yang mengatakan “Anda betul-betul

salah” kepada bawahannya namun tidak mampu menunjukkan kesalahannya

ataupun peraturan apa yang membuatnya dianggap salah merupakan tuturan yang

tidak valid.

3. Pelaku Harus Mempunyai Maksud Yang Sesuai

Sebagai contoh tuturan “Saya akan menemui Anda di kantor pukul tiga”,

sebenarnya pukul tiga penutur tersebut telah mengadakan janji lain dengan pihak

tertentu, tuturan tersebut adalah tidak valid.


13

Searle (1975) menyatakan bahwa unsur yang paling kecil dalam komunikasi

adalah tindak tutur seperti menyatakan, membuat pertanyaan, memberi perintah,

menguraikan, menjelaskan, minta maaf, berterima kasih, mengucapkan selamat,

dan lain-lain. Tuturan “Maaf, saya terlambat” bukanlah sekedar tuturan yang

menginformasikan penyesalan bahwa seseorang menyesal karena sudah datang

terlambat, melainkan tindakan minta maaf itu sendiri.

2.2.1 Klasifikasi Tindak Tutur

Tindak tutur juga dibagi menjadi tiga macam tindakan yang berbeda, yaitu

tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak perlokusioner. Tindakan-

tindakan tersebut diatur oleh aturan atau norma penggunaan bahasa dalam situasi

percakapan antara dua pihak. Sebagai contoh situasi perkuliahan, situasi

perkenalan, situasi upacara keagamaan, dan lain-lain (Schmidt dan Ricards,

1983:37).

Tindak lokusioner adalah tindak tutur yang semata-mata menyatakan

sesuatu, biasanya dipandang kurang penting dalam kajian tindak tutur. Berbeda

dengan tindak lokusioner, tindak ilokusioner adalah apa yang ingin dicapai oleh

penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu dan dapat merupakan tindakan

menyatakan, berjanji, minta maaf, mengancam, meramalkan, memerintah,

meminta, dan lain sebagainya. Tindak ilokusioner dapat dikatakan sebagai tindak

terpenting dalam kajian dan pemahaman tindak tutur. Jenis tindak tutur yang lain

adalah tindak perlokusioner, yaitu tindakan untuk mempengaruhi lawan tutur

seperti memalukan, mengintimidasi, membujuk, dan lain-lain.

Seperti halnya dalam kajian pragmatik, konteks juga sangat penting dalam

pemahaman tindak tutur. Konteks tuturan sangat mempengaruhi interpretasi


14

tindak tutur oleh penutur maupun lawan tuturnya. Sebagai contoh tuturan “Kamu

lebih baik belajar sekarang” yang dimaksudkan sebagai tindak ilokusioner akan

tergantung kepada siapa yang menuturkan dan kepada siapa tuturan tersebut

dituturkan. Seandainya tuturan tersebut dituturkan oleh seorang ayah kepada

anakya yang masih sekolah dasar, tuturan itu merupakan sebuah perintah. Namun,

bila tuturan tersebut dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya dalam

satu rumah kos, tentu tidak dapat dianggap sebagai perintah. Tuturan tersebut

lebih tepat dimaknai sebagai anjuran atau bujukan.

Mengenai tindak lokusioner, ilokusioner dan perlokusioner, hakekatnya

ketiga tindakan tersebut dapat di jelaskan sebagai tindakan untuk menyatakan

sesuatu, tindakan untuk melakukan sesuatu dan tindakan untuk mempengaruhi

(Wijana, 1996:17-20). Tuturan “Saya tidak dapat datang” memang menyatakan

ketidakmampuan penutur untuk tidak dapat datang, bila dituturkan kepada teman

yang baru saja merayakan ualang tahun berarti juga melakukan sesuatu yaitu

meminta maaf. Tuturan “Rumahnya jauh” yang disampaikan kepada ketua

perkumpulan, kepanitiaan atau organisasi dapat mempunyai makna ilokusi secara

tidak langsung bahwa orang yang rumahnya jauh tersebut tidak dapat terlalu aktif

dalam organisasi, sedangkan efek perlokusi yang diharapkan adalah agar ketua

tidak memberikan terlalu banyak tugas kepada orang yang rumahnya jauh tersebut

(Wijana, 1996:18-19).

2.2.2 Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung

Parker (1986 : 17-20) menyatakan bahwa tindak tutur dapat berbentuk

langsung maupun tidak langsung, dan literal maupun tidak literal. Menurut Parker

tuturan “Ambilkan jaket saya” menunjukan suatu tindak ilokusioner meminta,


15

sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan tersebut merupakan tindak tutur

langsung. Sedangkan tuturan ini berbeda “Dapatkah Anda mengambilkan jaket

saya?”. Tuturan ini merupakan tindak ilokusioner bertanya, secara tidak langsung

merupakan tindak ilokusioner meminta, sehingga tuturan tersebut merupakan

tindak tutur tidak langsung.

Tindak tutur langsung dapat ditengarai dari wujud formal sintaktiknya.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tindak tutur langsung adalah tuturan yang

sesuai dengan modus kalimatnya, sebagai contoh kalimat berita untuk

memberitakan, kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, atau memohon,

kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu. Tuturan-tuturan “Ali mempunyai rumah

bagus”, “Dimanakah letak kota Yogyakarta?”, “Kirimkan surat ini segera”

merupakan contoh tindak tutur langsung.

Sedangkan tindak tutur tidak langsung berbeda dengan tindak tutur

langsung seperti yang dijelaskan diatas. Tuturan “Dapatkah Anda mengambilkan

garam itu” merupakan tindak tutur tidak langsung. Dikatakan demikian karena

modusnya adalah kalimat tanya, sedangkan fungsinya untuk menyuruh.

Tindak tutur tidak langsung adalah tuturan yang berbeda dengan modus

kalimatnya, maksud dari tindak tutur tidak langsung dapat beragam dan

tergantung pada konteksnya. Tururan “Di mana jaketku?” apabila dituturkan oleh

seorang ibu rumah tangga kepada pembantunya mengandung tujuan menyuruh

untuk mengambilkan atau mencarikan jaketnya. Demikian juga, tuturan seorang

ibu “Banyak tikus lho” kepada pembantu mungkin berarti perintah agar makanan

yang tidak diperlukan lagi jangan dibirakan di meja makan, sebaiknya disimpan di

almari makan. Tindak tutur tidak langsung ini mempunyai kedudukan yang sangat
16

penting dalam kajian tentang tindak tutur, sebagian besar tuturan memang

disampaikan secara tidak langsung (Searle, 1975:59).

Selain tindak tutur langung dan tindak tutur tidak langsung, sejumlah

tindak tutur mempunyai tuturan yang sesuai dan tidak sesuai dengan kata-kata

yang menyusunnya. Wijana (1996:32) menyatakan bahwa tindak tutur literal

adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang

menyusunnya, sedangkan tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang

maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan makna kata-kata yang

menyusunnya.

Jenis tindak tutur yang dapat dicermati dari sudut pandang langsung atau

tidak langsung serta literal atau tidak literal tersebut, Parker (1986:20)

menyatakan bahwa keduanya dapat berinteraksi. Sehubungan dengan interaksi ini,

tindak tutur dapat dilihat dari sudut pandang langsung dan tidak langsung, dan

juga dari sudut pandang literal atau tidak literal. Secara ringkas klasifikasi dan

interaksi tindak tutur dibedakan menjadi.

2.2.2.1 Tindak Tutur Literal dan Langsung

Tindak tutur ini dapat dijumpai dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh

seorang guru berkata “Coba, buka tugas yang saya kasih kemarin, saya akan

melihat hasilnya”. Seorang guru sedang memeriksa hasil tugas yang telah

diberikan. Tuturan guru tadi dapat diklasifikasikan sebagai tuturan literal dan

langung karena guru tersebut mengunakan modus kalimat perintah untuk

menyuruh dan guru tersebut benar-benar ingin muridnya membuka tugas dan

memeriksa hasilnya.
17

2.2.2.2 Tindak Tutur Tidak Literal dan Langsung

Tuturan dalam kelompok ini dapat dilihat dalam contoh tuturan berikut.

Seorang mahasiswa mendapat nilai B untuk mata kuliah Sintaksis, dia

mengatakan kepada teman dekatnya “Wah, saya gagal lagi dalam ujian sintaksis.

Saya hanya mendapat nilai B”. Tuturan tersebut bukan tindak tutur literal, dia

maksudkan adalah dia lulus dan bukan gagal. Oleh karena itu tuturan tadi

merupakan tindak tutur langsung karena menggunakan kalimat berita untuk

memberitakan hasil ujian sintaksis kepada teman dekatnya.

2.2.2.3 Tindak Tutur Literal dan Tidak Langsung

Contoh tuturan dalam kelompok ini dapat ditemukan dalam situasi berikut.

Suatu keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak sedang makan malam

bersama. Suami yang suka rasa pedas menginginkan sambal yang terletak agak

jauh darinya, dan kemudian dia berkata “Bu, boleh minta sambalnya?”. Tuturan

suami kepada istrinya tersebut dapat diklasifikasikan sebagai tuturan literal karena

memang yang bersangkutan minta sambal. Namun tuturan tersebut merupakan

tuturan tidak langsung karena yang bersangkutan menggunakan kalimat tanya

untuk membuat suatu tindak ilokusi tidak langsung yaitu menyuruh istrinya untuk

mengambilkan sambal.

2.2.2.4 Tindak Tutur Tidak Literal dan Tidak Langsung

Seorang kakak yang sudah mahasiswa mengatakan kepada adiknya yang masih

duduk dikelas satu SMP yang sedang menghadapi ulangan umum dengan tuturan

“Terus aja nonton TV, besok kan bisa mengerjakan ulangan”. Tuturan tersebut

tidak dapat dikatakan sebagai tuturan literal dan tuturan langsung karena kalimat
18

yang dipergunakan adalah kalimat tanya, sedangkan maksudnya adalah untuk

menyuruh.

2.3 Implikatur

Istilah implikatur diturunkan dari verba to imply yang berarti menyatakan

sesuatu secara tidak langsung. Secara etimologis, to imply berarti membungkus

atau menyembunyikan sesuatu dengan menggunakan sesuatu yang lain. Oleh

karena itu, implikatur percakapan adalah sesuatu yang disembunyikan dalam

sebuah percakapan, yakni sesuatu yang secara implisit terdapat dalam penggunaan

bahasa secara aktual (Rusminto, 2009: 70).

Menurut Mey (1993:99) implikatur berasal dari kata kerja to imply

sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata kerja ini bersal dari bahasa

latin plicare yang berarti to fold “melipat”, sehingga untuk mengerti apa yang

dilipat atau disimpan tersebut haruslah dilakukan dengan cara membukanya. Guna

memahami apa yang dimaksudkan oleh seorang penutur, lawan tutur harus selalu

melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya.

Percakapan itu dapat berlangsung dengan lancar berkat adanya semacam

“Kesepakatan bersama”. Kesepakatan itu antara lain, berupa kontrak tak tertulis

bahwa sesuatu yang dibicarakan itu harus saling berhubungan atau berkaitan.

Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing kalimat

(yang dipersambungkan itu) secara lepas. Makna keterkaitan itu tidak terungkap

secara literal pada kalimat itu sendiri.

Penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka

berdua memiliki semacam kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu

yang dipertuturkan tersebut. Antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam
19

kontrak percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang di tuturkan itu saling

dimengerti. Grice menyatakan (dalam Kunjana, 2005:43) bahwa sebuah tuturan

dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan

tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur

percakapan.

Tuturan yang berbunyi Bapak datang, jangan menangis! Tidak semata-

mata dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa sang ayah sudah datang dari

tempat tertentu. Penutur bermaksud memperingatkan mitra tutur bahwa sang ayah

yang bersikap keras dan sangat kejam itu akan melakukan sesuatu terhadapnya

apabila dia masih masih terus menangis. Tuturan itu mengimplikasikan bahwa

sang ayah adalah orang yang keras dan sangat kejam dan sering marah-marah

pada anaknya yang sedang menangis. Di dalam implikatur, hubungan antara

tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan itu bersifat tidak

mutlak. Inferensi maksud tuturan itu harus didasarkan pada konteks situasi tutur

yang mewadahi munculnya tuturan tersebut.

Penjelasan diatas dapat dipahami bahwa pemahaman mengenai implikatur

diperlukan dalam pembahasan pragmatik. Levinson (1983:97) menyatakan bahwa

implikatur sebagai salah satu gagasan atau pemikiran terpenting dalam pragmatik.

Salah satu alasan penting yang diberikannya adalah implikatur memberikan

penjelasan eksplisit tentang cara bagaimana dapat mengimplikasikan lebih banyak

dari apa yang dituturkan. Sebagai contoh adalah jawaban terhadap permintaan

informasi mengenai waktu.

(+) Dapatkah kamu menunjukan sekarang jam berapa?

(-) Baik, tukang susu akan datang


20

Jawaban yang diberikan oleh penutur nampaknya tidak relevan dengan

permintaan informasi mengenai waktu, oleh karena itu penutur jawaban tersebut

sebenarnya ingin mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak secara tepat

mengetahui pada saat itu pukul berapa. Dia mengharapkan penanya dapat

memperkirakan sendiri waktu itu pukul berapa dengan mengatakan bahwa tukang

susu datang. Konteks ini nampaknya penutur dan lawan tutur sama-sama sudah

mengetahu pukul berapa tukang susu biasanya datang.

Wijana (1996:37-38) menyatakan bahwa sebuah tuturan memang dapat

mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan yang

bersangkutan. Implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang

mengimplikasikannya, hubungan kedua proposisi itu bukan merupakan

konsekuensi mutlak. Sebagai contoh yang dipergunakan untuk memperjelas

pernyataan bahwa implikatur bukan berupakan bagian dari tuturan yang

mengimplikasikannya adalah sebagai berikut.

(+) Ali sekarang memelihara kucing

(-) Hati-hati menyimpan daging

Tuturan (-) bukan merupakan bagian tuturan (+) karena tuturan (-) muncul akibat

inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang kucing dengan

segala sifatnya. Salah satu sifatnya adalah senang makan daging.

Grice (dalam Rusminto, 2009: 73) menyatakan bahwa untuk sampai pada

suatu implikatur percakapan, penutur dan mitra tutur harus mengembangkan suatu

pola kerja sama yang mengatur hak dan kewajiban penutur dan mitra tutur

sehingga terjadi kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur demi

keberlangsungan komunikasi sesuai dengan yang diharapkan. Pola kerja sama


21

tersebut dikenal sebagai prinsip kerja sama. Disamping itu, Grice juga

mengingatkan bahwa prinsip kerja sama tersebut perlu dilengkapi dengan prinsip

yang lain yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan sosial dan keramahan

hubungan dalam komunikasi, yaitu prinsip sopan santun.

2. 4 Tindak Tutur dan Implikatur sebagai Kajian Pragmatik

Searle (dalam Rusminto, 2009: 74) menyatakan bahwa tindak tutur adalah

teori yang mencoba mengkaji makna bahasa yang didasarkan pada hubungan

tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penuturnya. Kajian tersebut

didasarkan pandangan bahwa (1) tuturan merupakan sarana utama komunikasi dan

(2) tuturan baru memiliki makna jika direalisasikan dalam tindak komunikasi

nyata, sebagai contoh membuat pernyataan, pertanyaan, perintah atau permintaan.

Selanjutnya menurut Mey (1993:99) implikatur berasal dari kata kerja to

imply sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata kerja ini bersal dari

bahasa latin plicare yang berarti to fold “melipat”, sehingga untuk mengerti apa

yang dilipat atau disimpan tersebut haruslah dilakukan dengan cara membukanya.

Guna memahami apa yang dimaksudkan oleh seorang penutur, lawan tutur harus

selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya.

Disamping definisi tersebut, pragmatik sendiri mempunyai definisi kajian

mengenai dieksis, implikatur, presuposisi, tindak tutur dan aspek-aspek struktur

wacana. Jadi, dari pengertian pragmatik diatas dapat disimpulkan bahwa tindak

tutur dan implikatur percakapan merupakan bagian dari pragmatik. Keduanya

mempunya hubungan yang sangat penting dalam pembelajaran pragmatik.

Anda mungkin juga menyukai