Anda di halaman 1dari 15

ASPEK-ASPEK PRAGMATIK: TINDAK

TUTUR, PRAANGGAPAN,
DAN IMPLIKATUR
Ditulis pada Maret 1, 2012 oleh edisuryadimaranaicindo
ASPEK-ASPEK PRAGMATIK:
TINDAK TUTUR, PRAANGGAPAN, IMPLIKATUR

Oleh
edisuryadimaranaicindo

1. 1. Pendahuluan
Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Di antaranya cabang-cabang itu ialah Fonologi, Morfologi,
Sintaksis, dan Pragmatik. Fonologi, Morfologi, Sintaksi, dan Semantik mempelajari struktur bahasa secara internal, yaitu
berhubungan dengan unsur bagian dalam bahasa. Semantik dan Pragmatik memiliki kesamaan, yaitu cabang-cabang ilmu
bahasa yang menelaah makna-makna satuan bahasa. Namun, di antara kedua cabang ilmu bahasa itu memiliki perbedaan,
yaitu semantik mempelajari makna satuan bahasa secara internal sedangkan pragmatik mempelajari makna satuan bahasa
secara eksternal.

Contoh penggunaan kata pintar, rajin, dan menyukai

1) Karena pintar, Dinudin disenagi teman-temannya.

2) Orang yang rajin disenangi teman-temannya.

3) Guru sangat menyukai murid yang rajin dan pandai.

Kata pintar dalam kalimat (1) secara internal bermakna ‘pandai’ atau ‘cakap’. Kata rajin secara internal bermakna ‘suka
bekerja atau suka belajar’ atau ‘sungguh-sungguh bekerja’. Kata menyukai secara internal bermakna ‘menyayagi’. Kata
‘pandai’ atau ‘cakap’ tetapi bermakna sebaliknya, yaitu ‘bodoh’. Kata suka bekerja atau suka belajar’ atau ‘sungguh-
sungguh bekerja sebaliknya, yaitu ‘malas’. Demikian juga pada kata ‘menyayagi’ bermakna ‘tidak menyayangi’.

Dari uraian di atas makna yang digeluti cabang bahasa semantik ialah makna bebas konteks, sedangkan cabang makna yang
digeluti cabang ilmu bahasa pragmatik ialah makna yang terikat konteks (Kaswati Purwo, 1990:16).

Dibawah ini dikutip beberapa definisi pragmatik yang dikemukan oleh para ahli. Menurut Levinson (1983:9), ilmu
pragmatik didefinisikan sebagai berikut:
(1) Pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Di sini,
pengertian atau pemahaman bahasa menghunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan atau ujaran bahasa
diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks
pemakaiannya. (2) Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahsa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-
konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu´. (Nababan, 1987:2). Pragmatik juga diartikan sebagai syarat-syarat yang
mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar
bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 1993: 177). Menurut Ver haar (1996:14),
pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat
komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal ekstralingual yang
dibicarakan. Purwo (1990:16) mendefinisikan pragmatik sebagai telaah mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan
makna yang terikat konteks. Sedangkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah memperlakukan bahasa dengan
mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa komunikasi (Purwo, 1990:31).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan tentang batasan pragmatik. Pragmatik adalah suatu telaah umum
mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat atau menelaah makna dalam
kaitannya dengan situasi ujaran.

Pragmatik memiliki kajian atau bidang telaah tertentu yaitu dieksis, praanggapan (presupposition), tindak tutur
(speech acts), dan implikatur percakapan (conversational implicature) (Kaswanti Purwo, 1990:17). Namun, pada makalah
ini akan membahas tindak tutur, praanggapan dan implikatur.
1. 2. Pembahasan
2.1 Pengertian Tindak Tutur
Tindak tutur adalah bagian dari pragmatik. Tindak tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ / speech act, speech event):
pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar (Kridalaksana, 1984:154).
Tindak tutur (speech atcs) adalah ujaran yang dibuat sebagai bagian dari interaksi sosial (Hudson dikutif Alwasilah,
1993:19). Menurut Hamey (dikutif Sumarsono, dan Paina Partama, 2002:329-330)tindak tutur merupakan bagian dari
peristiwa tutur, dan peristiwa tutur merupakan bagian dari situasi tutur. Setiap peristiwa tutur terbatas pada kegiatan, atau
aspek-aspek kegiatan yang secara langsung diatur oleh kaidah atau norma bagi penutur. Ujaran atau tindak tutur dapat terdiri
dari satu tindak turur atau lebih dalam suatu peristiwa tutur dan situasi tutur. Dengan demikian, ujaran atau tindak tutur
sangat tergantung dengan konteks ketika penutur bertutur. Tuturan-tuturan baru dapat dimengerti hanya dalam kaitannya
dengan kegiatan yang menjadi konteks dan tempat tuturan itu tejadi. Sesuai dengan pendapat Alwasilah (1993:20) bahwa
ujaran bersifat context dependent (tergantung konteks)
Tindak tutur merupakan gejala individu, bersifat psikologis, dan ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam
menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur di titikberatkan kepada makna atau arti tindak, sedangkan peristiwa tutur lebih
dititikberatkan pada tujuan peristiwanya (Suwito, 1983:33). Dalam tindak tutur ini terjadi peristiwa tutur yang dilakukan
penutur kepada mitra tutur dalam rangka menyampaikan komunikasi. Agustin (dikutuf Subyakto, 1992:33) menekankan
tindak tutur dari segi pembicara. Kalimat yang bentuk formalnya berupa pertanyaan memberikan informasi dan dapat pula
berfungsi melakukan suatu tindak tutur yang dilakukan oleh penutur. Dengan demikian, penutur yang diucapkan suatu
tindakan, seperti “Pergi!”, “Silahkan Anda tinggalkan rumah ini, karena Anda belum membayar kontraknya!”, “Saya mohon
Anda meninggaln rumah ini” tindak tutur ini merupakan suatu perintah dari penutur kepada mitra tutur untuk melakukan
tindakan.

Tindak tutur adalah kegiatan seseorang menggunakan bahasa kepada mitra tutur dalam rangka mengkomunikasikan sesuatu.
Apa makna yang dikomukasikan tidak hanya dapat dipahami berdasarkan penggunaan bahasa dalam bertutur tersebut tetapi
juga ditentukan oleh aspek-aspejk komunikasi secara komprehensif, termasuk aspek-aspek situasional komunikasi.

Dalam menuturkan kalimat, seorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan mengucapkan kalimat itu. Ketika ia
menuturkan kalimat, berarti ia menindakkan sesuatu. Dengan mengucapkan, “Mau makan apa?” sipenutur tidak semata-mata
menanyakan atau jawaban tertentu, ia juga menindakkan sesuatu, yakni menawarkan makan siang. Seorang ibu berkata
kepada anak perempuannya yang dikunjungi oleh pacarnya “Sudah pukul sembilan”. Ibu tadi tidak semata-mata
memberitahukan tentang keadaan yang berkaitan dengan waktu, tetapi juga menindakkan sesuatu yakni memerintahkan
mitra tutur atua orang laian (misalnya anaknya ) agar pacarnya pulang.

2.1.1 Jenis-Jenisnya Tindak Tutur


Tindak tutur atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena TT
adalah satuan analisisnya. Uraian berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT. Menurut pendapat Austin (dikutif
Chaer dan Leonie Agustina, 1995:68-69) merumuskan adanya tiga jenis tindak tutur, yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi, dan
tindak perlokusi.
1. Tindak tutur lokusi atau apa yang dikatakan (locutionary act) adalah tindak tutur yang untuk menyatakan sesuatu.
Misal; kakinya dua, pohon punya daun. Tindak tutur yang dilakukan oleh penutur berkaitan dengan perbuatan
dalam hubungannya tentang sesuatu dengan mengatakan sesuatu (an act of saying something), seperti memutuskan,
mendoakan, merestui dan menuntut.
2. Tindak tutur ilokusi (illocutionary act) yaitu, tindak tutur yang didepinisikan tidak tutur ilokusi sebagi sebuah
tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau mengimformasikan sesuatu dapat juga digunakan untuk melakukan
sesuatu. Dengan kata lain, tindak tutur yang dilakukan oleh penutur berkaitan dengan perbuatan hubungan dengan
menyatakan sesuatu. Tindak tutur ilokusi berkaitana dengan nilai yang ada dalam proposisinya. Contoh, “Saya tidak
dapat datang”. Kalimat ini oleh seseorang kepada temannya yang baru melaksanakan resepsi pernikahan anaknya,
tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu yakni meminta maaf karena tidak
datang.
3. Tindak tutur perlokusi: Austin, Searle, perbuatan yang dilakukan dengan mengujarkan sesuatu, membuat orang lain
percaya akan sesuatu dengan mendesak orang lain untuk berbuat sesuatu, dll. atau mempengaruhi orang lain
(perlocutionary speech act)
Misalnya:
Tempat itu jauh.

mengandung pesan. metapesan ‘Jangan pergi ke sana!’ metapesan (Dalam pikiran mitratutur ada keputusan) “Saya tidak
akan pergi ke sana.”

Pembagian tindak tutur berdasarkan maksud penutur ketika berbicara (ilokusi) Searle membagi dalam lima jenis.
Pembagian ini menurut Searle (1980:16) didasarkan atas asumsi “Berbicara menggunakan suatu bahasa adalah mewujudkan
prilaku dalam aturan yang tertentu”. Kelima tindak tutur tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tindak tutur repesentatif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk menetapan atau menjelakan sesuatu apa adanya.
Tindak tutur ini, seperti menyatakan, melaporkan, memberitahukan, menjelaskan, mempertahankan, menolak dan
lain-lain. Tindak menyatakan, mempertahankan maksudnya adalah penutur mengucapkan sesuatu, maka mitra tutur
percaya terhadat ujaran penutur. Tindak melaporkan memberitahukan, maksudnya ketika penutur mengujarkan
sesuatu, maka penutur percaya bahwa telah terjadi sesuatu. Tindak menolak, menyangkal, maksudnya penutur
mengucapkan sesuatu maka mitra tutur percaya bahwa terdapat alasan untuk tidak percaya. Tindak menyetujui,
menggakui, maksudnya ketika penutur mengujarkan sesuatu, maka mitra tutur percaya bahwa apa yang diujarkan
oleh penutur berbeda dengan apa yang ia inginkan dan berbeda dengan pendapat semula.
Contoh

Guru : Pokok bahasan kita hari ini mengenai analisis wacana.

Tuturan guru di atas, merupakan salah satu contoh tindak tutur representatif yang termasuk mdalam tindak memberitahukan.

1. Tindak tutur komisif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pembicaraan melakukan sesuatu, seperti
berjanji, bernazar, bersumpah, dan ancaman. Komisit terdiri dari 2 tipe, yaitu promises (menyajikan)
dan offers (menawarkan) (Ibrahim, 1993:34). Tindak menjanjikan, mengutuk dan bersumpah maksudnya adalah
penutur menjajikan mitra tutur untuk melakukan A, berdasarkan kondisi mitra tutur menunjukkan dia ingin penutur
melakukan A.
Contoh saya berjanji akan datang besok

Tuturan di atas, merupakan salah satu contoh tindak komisif yang termasuk dalam menjanjikan

1. Tinddak tutur direkfif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar melakukan sesuatu, misalnya
menyuruh, perintah, meminta. Menutur Ibrahim (1993:27) direktif mengespresikan sikap penutur terhadap tindakan
yang akan dilakukan oleh mitra tutur, mislnya meminta, memohon, mengajak, bertanya, memerintah, dan
menyarankan. Tindak meminta maksunya ketika mengucapkan sesuatu, penutur meminta mitra tutur untuk
melakukan A, maksudnya mitra tutur melakukan A, karena keinginan penutur. Tindak memerintah, maksudnya
ketika penutur mengekspresikan keinginannya pada mitra tutur untuk melakukan A, mitra tutur harus melakukan A,
mitra tutur melakukan A karena keinginan penutur. Tindak bertanya, ketika mengucapkan sesuatu penutur bertanya,
mengekspresikan keingin kepada mitratutur, mitra tutur menjawab apa yang ditanya oleh penutur.
Contoh

Guru : Siapa yang piket hari ini?

Siswa : Ani (siswa yang bersangkutan maju)

Tuturan di atas, merupakan suatu pernyatan yang tujuannya meminta informasi mitra tutur.

Guru : Coba, ulangi jawabannya.

Tuturan ini juga termasuk tindak tutur direktif yang maksudnya menyuruh meminta si A mengulangi kembali jawabannya.

1. Tindak tutur ekspresif, tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berupa
tindak meminta maaf, berterimakasih,menyampaikan ucapan selamat, memuji, mengkritik. Penutur
mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur baik yang berupa rutinitas maupun yang murni. Perasaan dan
pengekspresian penutur untuk jenis situasi tertentu yang dapat berupa tindak penyampaian salam (greeting) yang
mengekspresikan rasa senang, karena bertemu dan melihat seseorang, tindak berterimakasih (thanking) yang
mengekspresikan rasa syukur, karena telah menerima sesuatu. Tindak meminta maaf (apologizing) mengekspresikan
simpati, karena penutur telah melukai atau mengganggu mitra tutur.
Contoh : Ya, bagus sekali nilai rapormu.

Tuturan di atas, merupakan salah satu contoh tindak ekspresif yang termasuk pujian.

1. Tindak tutur deklaratif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untk memantapkan sesuatu yang dinyatakan, atara lain
dengan setuju, tidak setuju, benar-benar salah, dan sebagainya.
Tindak tutur langsung-tidak langsung dan literal-tidak literal
Berdasarkan isi kalimat atau tuturannya, kalimat dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu kalimat berita (deklaratif), kalimat
tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif).
Adiknya sakit. Di mana handuk saya? Pergi!. Berdasarkan mudusnya, kalimat atau tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan
langsung dan tuturan tidak langsung. Misalnya:

Tuturan langsung
A: Minta uang untuk membeli gula!
B: Ini.
Tuturan tidak langsung
A: Gulanya habis, yah.
B: Ini uangnya. Beli sana!

Kadang-kadang secara pragmatis kalimat berita dan tanya digunakan untuk memerintah, sehingga merupakan TT tidak
langsung (indirect speech). Hal ini merupakan sesuatu yang penting dalam kajian pragmatik. Misalnya:
1. Rumahnya jauh. (ada maksud: jangan pergi ke sana).
2. Adiknya sakit. (ada maksud: jangan ribut atau tengoklah!)

Berdasarkan keliteralannya, tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan literal dan tuturan tidal literal.

1. Tuturan literal: tuturan yang sesuai dengan maksud atau modusnya. Misalnya, Buka mulutnya! (makna lugas: buka).

2. Tuturan tidak literal: tuturan yang tidak sesuai dengan maksud dalam tulisan/tuturan. Misalnya, Buka mulutnya! (makna
tidak lugas: tutup). Hal ini disebut juga ‘nglulu’
Dalan bahasa kadang-kadang terjadi, yang bagus dikatakan jelek (hal ini disebut banter ([bEnte]), yang jelek dikatakan
bagus (disebut ‘ironi’).

Masing-masing tindak tutur (langsung, tidak langsung, literal, dan tidak literal) apabila disinggungkan
(diinterseksikan) dapat dibedakan menjadi 8 macam seperti sebagai berikut.

1. TT langsung
2. TT tidak langsung
3. TT literal
4. TT tidak literal
5. TT langsung literal
6. TT tidak langsung literal
7. TT langsung tidak literal
8. TT tidak langsung tidak literal
Misalnya, kalimat Radione kurang banter.
1. TT langsung Radione kurang banter. betul-betul kurang keras.
2. TT tidak langsung keraskan radionya!
3. TT literal betul-betul kurang keras.
4. TT tidak literal suara radionya keras sekali.
5. TT langsung literal betul-betul kurang keras
6. TT tidak langsung literal keraskan radionya!
7. TT langsung tidak literal suara radionya keras sekali.
8. TT tidak langsung tidak literal matikan!

2.2 Pengertian Praanggapan (Presuppotion)


Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose
beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki
dugaan sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan.
Selain definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang praanggapan di antaranya adalah: Levinson (dikutif Nababan,
1987:48) memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam
anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna. George
Yule (2006:43) menyatakan bahwa praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai
kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur bukan kalimat. Louise Cummings
(1999: 42) menyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-
ungkapan linguistik tertentu. Nababan (1987:46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan
dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan)
mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-
bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.
Dari beberapa definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal
penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas
hal ini, perhatikan contoh berikut :

(1) a : “Aku sudah membeli bukunya Pak Udin kemarin”


b : “Dapat potongan 30 persen kan?

Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur (1A) memiliki praanggapan bahwa B mengetahui
maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis oleh Pak Pranowo.

Kesalahan membuat praanggapan efek dalam ujaran manusia. Dengan kata lain, praanggapan yang tepat dapat
mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Makin tepat praanggapan yang dihpotesiskan, makin
tinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Menurut Chaika (1982:76), dalam beberapa hal, maka wacana
dapat dicari melalui praanggapan. Ia mengacu pada makna yang tidak dinyatakan secara eksplisit.
Contoh:

(2a) “Ayah saya datang dari Surabaya”.

(3a) “Minuman nya sudah selesai”.

Dari contoh (2a) praanggapan adalah: (1) saya mempunyai ayah; (2) Ayah ada disurabaya. Pada contoh (3a) praanggapannya
adalah silahkan diminum. Oleh karena itu, fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan respons orang
terhadap penafsiran suatu ujaran.

2.2.1 Ciri Praanggapan


Ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat keajegan di bawah penyangkalan (Yule, 2006:45). Hal ini memiliki
maksud bahwa praanggapan (presuposisi) suatu pernyataan akan tetap ajeg (tetap benar) walaupun kalimat itu dijadikan
kalimat negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh perhatikan beberapa kalimat berikut :

(4) a: “Gitar Budi itu baru”.

b: “Gitar Budi tidak baru”.

Kalimat (b) merupakan bentuk negatif dari kaliamt (4a). Praanggapan dalam kalimat (4a) adalah Budi mempunyai gitar.
Dalam kalimat (b), ternyata praanggapan itu tidak berubah meski kalimat (b) mengandung penyangkalan tehadap kalimat
(4a), yaitu memiliki praanggapan yang sama bahwa Budi mempunyai gitar.

Wijana (dikutif, 2009:64) menyatakan bahwa sebuah kalimat dinyatakan mempresuposisikan kalimat yang lain jika
ketidakbenaran kalimat yang kedua (kalimat yang diprosuposisikan) mengakibatkan kalimat pertama (kalimat yang
memprosuposisikan) tidak dapat dikatakan benar atau salah. Untuk memperjelas pernyataan tersebut perhatikan contoh
berikut.

(5) a. “Istri pejabat itu cantik sekali”.


b. “Pejabat itu mempunyai istri”.

Kalimat (b) merupakan praanggapan (presuposisi) dari kalimat (5a). Kalimat tersebut dapat dinyatakan benar atau salahnya
bila pejabat tersebut mempunyai istri. Namun, bila berkebalikan dengan kenyataan yang ada (pejabat tersebut tidak
mempunyai istri), kalimat tersebut tidak dapat ditentukan kebenarannya.

2.2.2 Jenis-jenis Praanggapan


Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur (Yule, 2006:46).
Selanjutnya Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu presuposisi eksistensial,
presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual.

1. Presuposisi Esistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah preaanggapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang
diungkapkan dengan kata yang definit.

(6) a. Orang itu berjalan


b. Ada orang berjalan

2. Presuposisi Faktif

Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat
dianggap sebagai suatu kenyataan.

(7) a. Dia tidak menyadari bahwa ia sakit


b. Dia sakit
(8) a. Kami menyesal mengatakan kepadanya
b. Kami mengatakan kepadanya

3. Presuposisi Leksikal

Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara
konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami.

(9) a. Dia berhenti merokok


b. Dulu dia biasa merokok
(10)a. Mereka mulai mengeluh
b. Sebelumnya mereka tidak mengeluh

4. Presuposisi Non-faktif

Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.

(11) a. Saya membayangkan bahwa saya kaya


b. Saya tidak kaya
(12) a. Saya membayangkan berada di Hawai
b. Saya tidak berada di Hawai

5. Presuposisi Struktural

Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan
secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat
tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah.

(12) a. Di mana Anda membeli sepeda itu?


b. Anda membeli sepeda
(13) a. Kapan dia pergi?
b. Dia pergi

6. Presuposisi konterfaktual

Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan
kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan.

(14) a. Seandainya
2.3 Pengertian Implikatur (Makna Tersirat)
Konsep implikatur kali pertama dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk memcahkan persoalan makna bahasa yang tidak
dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang
dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah Brown dan Yule (1983:1. Sebagai
contoh, kalau ada ujaran panas disini bukan? Maka secara implisit penutur menghendaki agar mesin pendingin di hidupkan
atau jendela dibuka.
Makna tersirat (implied meaning) atau implikatur adalah makna atau pesan yang tersirat dalam ungkapan lisan dan atau
wacana tulis. Kata lain implikatur adalah ungkapan secara tidak langsung yakni makna ungkapan tidak tercermin dalam kosa
kata secara literal (Ihsan, 2011:93)
Menurut Grice (dikutif Rani, Arifin dan Martutik, 2004:171), dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut
implikatur konvensional, yaitu implikatur yang ditentukan oleh ‘arti konvensional kata-kata yang dipakai’.

Contoh:

(15) Dia orang Palembang karena itu dia pemberani.

Pada contoh (15) tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri (pemberani) disebabkan oleh ciri lain
(jadi orang Palembang), tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu
ada. Kalau individu itu dimaksud orang Palembang dan tidak pemberani, implikaturnya yang keliru tetapi ujaran tidak salah.

Contoh:

(16) Minumnya sudah tersedia, Pak!

Pada contoh (16) tersebut, Anda tentu akan mengatakan bahwa orang yang mengucapkan kalimat itu sedang
memberitahukan bahwa minuman telah telah selesai dihidangkan. Yang menjadi persoalan kita bbukan apakah orang itu
telah selesai atau belum selesai menghidangkan minuman tetapi apa maksud ucapan itu sebenarnya? Nah sekarang
minumannya sudah tersedia maka silahkan diminum.

Ternyata dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam percapan umunnya dari ucapan yang dikeluarkan oleh
pelaku tindak berbahasa mengandung makna. Oleh karena itu, pendengar harus mampu menetapkan bahwa ada makna atau
maksud lain di balik ucapan yang telah dikeluarkan oleh pembicara itu. Dengan demikian, secara efektif pendengar dapat
memberi respon atau tanggapan yang sesui dengan implikator yang muncul.
Untuk dapat menetukan apa yang dimaksud dibalik apa yang dikatakan kita memerlukan pengetahuan tentang kaidah
pragmatiknya. Dengan kata lain, untuk menentukan implikatur suatu ucapan kita harus memahami apa kaidah pragmatiknya.

2.4 Kesimpulan
Pragmatik mempelajari makna satuan bahasa secara eksternal. Pragmatik merupakan suatu telaah umum mengenai
bagaimana caranya konteks mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat atau menelaah makna dalam kaitannya
dengan situasi ujaran. Dengan memahami kaidah-kaidah pragmatik baik bagi pembicara atau penutur, pendengar atau mitra
tutur diharpkan dapat menggunakan bahasa dalam percakapan sehari-hari. Dengan harapan, kalimat-kalimat yang digunakan
lebih efektif dengan kata lain dapat lebih mengenai sasaran yang diinginkan. Disamping itu, jika Anda seorang pendengar
Anda dapat lebih responsif menanggapi pembicaraan orang lain. Anda dapat memberikan arah pembicaraan orang tesebut
lebih tepat. Dengan demikian komunikasi Anda dengan orang lain dapat berlangsung dengan wajar dan lancar.

Pemahaman terhadap tindak tutur dalam pembicaraan implikatur juga sangat bergantung pada situasi dan kondisi saat tutur
tersebut berlangsung. Kalau suatu ucapan mempunyai makna dibalik sesuatu yang dikatakan, maka ucapan tersebut
mempunyai implikatur.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiolinguistik Bahasa. Bandung: Angkasa.


Chaer, Abdul dan Leoni Agustin. 1995. Sosiolinguistik Pengenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
George, Yuli. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.
Ihsan, Dimroh. 2011. Pragmatik, Anasilisis Wacana, dan Guru Bahasa. Palembang: Universitas Sriwiwjaya.
Kridalaksana. Hari Muriti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Nababan, P.W.J.1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT Remeja Rusdakarya.
Rani, A. Arifin, B. dan Martutik. 2004. Analisis Wancana Sebuah Kajian Ba

Materi 2: Kaidah Pragmatik dalam Tindak Tutur


Pragmatik erat sekali hubungannya dengan tindak berbahasa. Secara pragmatik setidak-
tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur yang terjadi
secara serentak, yaitu :
1) Tindak lokusi (locutionary act).
2) Tindak ilokusi (illocutionary act), dan
3) Tindak perlokusi (perlocutionary act)

1. Tindak Lokusi (Locutonary act)


Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak lokusi yang mengaitkan
suatu topik dengan keterangan dalam suatu ungkapan, seperti
hubungan pokok dengan predikat atau topik dengan penjelasan dalam sebuah kalimat.
Cobalah Anda bandingkan kalimat di bawah ini.
(1) Harimau termasuk binatang buas.

(2) Orang Indonesia umumnya berkulit sawo matang.

Apa yang Anda lihat dari kedua kalimat di atas? Ya, kalimat (1) dan (2) diutarakan
penuturnya semata-mata hanya untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk
melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan bicaranya. Informasi yang
disampaikan yaitu tentang harimau yang termasuk binatang buas dan corak kulit orang
Indonesia.
Konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. Tuturan dalam hal ini
dipandang sebagai satu satuan yang terdiri dari dua unsur yaitu subjek (topik) dan
predikat (penjelasan) (Nababan, 1987). Tindak lokusi termasuk tindak tutur yang relatif
paling mudah untuk diidentifikasikan.

2. Tindak Ilokusi
Cobalah Anda perhatikan contoh-contoh kalimat berikut!
(3) Saya sakit perut

Kalimat (3) ini diutarakan oleh seorang guru kepada kepala sekolahnya yang baru saja
mengadakan rapat dewan guru. Apa yang ingin diutarakan oleh guru tersebut? Tentu selain
menginformasikan bahwa ia sakit perut, ia juga minta izin kepala sekolahnya tidak bisa
mengikuti rapat. Informasi tentang ketidakhadirannya tentu tidak begitu penting karena
kepala sekolah atau lawan tuturnya sudah mengetahui hal tersebut.
Selanjutnya coba Anda perhatikan kalimat berikut!
(4) Awas, ada anjing galak!

Di mana bisa kita temui kalimat di atas? Ya, di pagar pemilik anjing, bukan?
Makna apa yang dikandung kalimat (4) di atas? Pertama tentu memberi informasi bahwa ada
anjing galak. Yang kedua, selain memberi peringatan untuk berhati-hati, tentu dapat pula
berfungsi untuk menakut-nakuti kalau ditujukan kepada pencuri.
Dari contoh di atas, Anda dapat membaca suatu tuturan selain berfungsi
untuk menginformasikan sesuatu, dapat juga digunakan untuk melaksanakan sesuatu. Bila
hal ini terjadi, tindak tutur yang terjadi ialah tindak tutur ilokusi (Putu Wijana, 1996). Tindak
ilokusi (illocutionary act) merupakan pengucapan suatu pernyataan, tawaran, janji, pujian,
pemintaan, dan sebagainya yang dinyatakan dengan bentuk-bentuk kalimat yang
mewujudkan suatu ungkapan. (Nababan, 1987). Perlu Anda perhatikan bahwa tindak tindak
ilokusi ini sangat ditentukan oleh siapa penuturnya dan siapa lawan tuturnya, dalam situasi
bagaimana tuturan itu terjadi (kapan dan di mana).

3. Tindak Perlokusi
Yang dimaksud dengan tindak perlokusi ialah hasil atau efek yang ditimbulkan oleh suatu
ungkapan pada pendengar atau lawan tutur sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan
sebuah
Perhatikan contoh kalimat berikut.
(5) Ibunya sedang dirawat di rumah sakit.

Seandainya kalimat ini ditujukan kepada seorang kepala sekolah, tindak bahasa apa yang
terjadi. Cocalah Anda cermati dengan seksama.
a. Menginformasikan tentang ibunya yang sakit (tindak lokusi),
b. Pengucapan satu pernyataan untuk melakukan sesuatu atau menawarkan sesuatu. Jadi,
mungkin minta izin tidak melaksanakan tugas yaitu tidak mengajar (tindak ilokusi).
c. Menimbulkan efek terhadap pendengar atau lawan tutur, misalnya : tugasnya dapat
digantikan oleh guru lain (tindak perlokusi).
Jadi, apa yang dimaksud dengan tindak perlokusi? Ya, sebuah kalimat atau tuturan yang
mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi lawan tutur atau pendengar
(Putu Wijana, 1996). Efek atau daya pengaruh tutur ini dapat secara sengaja atau tidak
disampaikan oleh penutur untuk mempengaruhi lawan tutur.
Nah, apakah Anda sudah dapat memahami pengertian tindak tutur atau tindakan yang dapat
diwujudkan oleh seorang penutur yang berbentuk lokusi, ilokusi, dan perlokusi? Ingat, ketiga
tindak tutur ini terjadi secara serentak. Namun, perlu diingat, faktor-faktor penentu seperti
siapa penutur, siapa lawan tutur, kapan dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan dalam situasi
yang bagaimana tutur itu terjadi sangat menentukan makna tuturan yang digunakan.
Sekarang, silakan Anda buka video berikut ini mengenai tindak tutur. Video ini berisi video
mengenai konsep dan contoh tindak tutur bahasa Indonesia yang bisa dirujuk sebagai bahan
pemerkaya wawasan Anda. Selamat menyimak!
PRAANGGAPAN, IMPLIKATUR, INFERENSI dan DIEKSIS
A. PRAANGGAPAN
Presuposisi atau praanggapan berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose
beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah
memiliki dugaan sebelumnya tentang lawan bicara atau yang dibicarakan.
Sebenarnya, praanggapan (presupposition) ini berasal dari perdebatan dalam ilmu falsafah, khususnya tentang
hakekat rujukan (apa-apa, benda/keadaan, dan sebagainya) yang dirujuk atau dihunjuk oleh kata, frase, atau
kalimat dan ungkapan-ungkapan rujukan (Nababan melalui Lubis, 2011:61).
Praanggapan (presupposition) adalah cabang dari kajian pragmatik yang berhubungan dengan adanya makna
yang tersirat atau tambahan makna dari makna yang tersurat
(http://pribadiuntuksemua.blogspot.com/2010/11/analisis-wacana.html).
Praanggapan terdiri dari 2 bentuk, yaitu :
1. Praanggapan Semantik
Praanggapan semantik adalah praanggapan yang dapat ditarik dari pernyataan atau kalimat melalui leksikon
atau kosakatanya.
Contoh: Bu Evi tidak jadi berangkat kuliah. Anak bungsunya demam.
Dari kata-kata yang ada dalam pernyataan itu dapat ditarik praanggapan sebagai berikut :
a. Bu Evi seharusnya berangkat kuliah.
b. Bu Evi mempunyai beberapa anak.
2. Praanggapan Pragmatik
Praanggapan pragmatik adalah anggapan yang ditarik berdasarkan konteks suatu kalimat atau pernyataan itu
diucapkan. Konteks disini dapat berupa situasi, pembicara, lokasi, dan lain-lain.
Contoh praanggapan pragmatik : “Harganya murah benar”, sebagai jawaban pertanyaan,” Berapa harganya?”
Praanggapan tak dapat kita berikan kalau konteksnya tidak kita ketahui karena mungkin kata “murah” itu berarti
“mahal sekali”. Praanggapan adalah sesuatu yang dijadikan oleh pembicara sebagai dasar pembicaraan.
Untuk melihat perbedaan antara praanggapan semantik dengan praanggapan pragmatik, dapat dilihat dalam
contoh berikut ini.
Suatu hari pak Zau bertamu ke rumah pak Munir. Keduanya bercakap-cakap sambil merokok dan minum kopi.
Ketika sudah habis sebatang rokok, pak Zau memegang kotak tempat rokok pak Munir dan sambil mengamati
kotak kayu yang sudah kosong itu berkata.
Pak Zau :“ Alangkah bagus kotak rokok ini, dimana pak Munir beli?“
Sambil mencabut dompet yang kempes dari kantongnya, pak Munir berkata.
Pak Munir :“ Kotak itu kubeli bersama dompet ini tempo hari.“
Pak Zau :“Oooh“.
Praanggapan semantik kalimat pak Zau itu adalah: Pak Munir telah membeli sebuah kotak rokok yang bagus.
Namun secara pragmatik praanggapan itu tidaklah demikian. Praanggapan yang telah ditentukan oleh konteks
itu adalah sebagai berikut. Sebenarnya, pak Zau ingin merokok lagi, tetapi rokok sudah habis terlihat kotak rokok
sudah kosong. Sebenarnya pak Zau ingin minta rokok.
Jadi praanggapannya adalah:
a. Pak Zau meminta sesuatu.
b. Pak Zau mengatakan sesuatu.
Pak Munir yang paham akan kalimat pak Zau, tidak menjawab di mana kotak rokok itu dibelinya, tetapi
menunjukkan isi dompetnya yang lagi kempes, yang berarti lagi tidak punya uang.
Jadi praanggapannya adalah: Pak Munir mengatakan tentang uang. Dari uraian contoh tersebut jelas bahwa
sangat berbeda antara praanggapan semantik dengan praanggapan pragmatik.
Suatu kalimat A berpraanggapan semantik, jika :
a. Dalam semua keadaan dimana A benar, maka B juga benar.
b. Dalam semua keadaan dimana A tidak benar, maka B (tetap) benar.
Perbedaannya dengan praanggapan pragmatik adalah pada praanggapan semantik hubungan antarkalimat,
sedangkan pada praanggapan pragmatik adalah hubungan antarpernyataan ( Lubis, 2011:63).
Teori praanggapan pragmatik biasanya menggunakan dua konsep dasar, yaitu kewajaran dan pengetahuan
bersama. Bila praanggapan dapat ditarik dari pernyataan itu melalui leksikonnya, maka praanggapan itu adalah
praanggapan semantik. Bila hanya dapat ditarik melalui konteksnya, maka praanggapan itu adalah praanggapan
pragmatik.
B. IMPLIKATUR
Dijelaskan lebih lanjut bahwa Grice (dalam Suseno,1993:30 via Mulyana) mengemukakan bahwa implikatur
adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang
berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur
adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.
Secara etimologis, implikatur diturunkan dari kata implicatum dan secara nomina kata ini hampir sama dengan
kata implication, yang artinya maksud, pengertian, keterlibatan (Echols,1984:313 via Mulyana). Secara structural,
implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai yang menghubungkan antara “yang diucapkan” dengan “yang
diimplikasikan”.
Menurut PWJ Nababan (1987:28) dalam Abdul Rani menyatakan bahwa implikatur berkaitan erat dengan
konvensi kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. Konsep itu kemudian dipahami untuk
menerangkan perbedaan antara hal “yang diucapkan” dengan hal “yang diimplikasikan”.

1. Jenis-jenis Implikatur
Grice (1975) dalam Abdul Rani (2006: 171) menyatakan, bahwa ada dua macam implikatur
I. Implikatur konvensional
Implikatur konvensional yaitu implikatur yang ditentukan oleh “arti konvensional kata-kata yang dipakai”.
Maksudnya adalah pengertian yang bersifat umum, semua orang umumnya sudah mengetahui tentang maksud
atau pengertian sesuatu hal tertentu.
Contoh:
(1). Lestari putri Solo, jadi ia luwes.
Implikasi umum yang dapat diambil antara putri Solo dengan luwes pada contoh di atas bahwa selama ini, kota
Solo selalu mendapat predikat sebagai kota kebudayaan yang penuh dengan kehalusan dan keluwesan putrid-
putrinya. Implikasi yang muncul adalah, bahwa perempuan atau wanita Solo umumnya dikenal luwes
penampilannya.
Implikatur konvensional bersifat nontemporer. Artinya, makna atau pengertian tentang sesuatu bersifat lebih
tahan lama. Suatu leksem, yang terdapat dalam suatu bentuk ujaran, dapat dikenali implikasinya karena
maknanya “yang tahan lama” dan sudah diketahui secara umum.
II. Implikatur percakapan
Implikatur jenis ini dihasilkan karena tuntutan dari suatu konteks pembicaraan tertentu. Implikatur percakapan ini
memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi. Pasalnya, pemahaman terhadap hal “yang dimaksudkan:
sangat bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Jadi, bila implikatur konvensional memiliki makna
yang tahan lama, maka implikatur percakapan ini hanya memiliki makna yang temporer yaitu makna itu berarti
hanya ketika terjadi suatu percakapan tersebut/terjadi pembicaraan dalam konteks tersebut.
Dalam suatu dialog (percakapan), sering terjadi seorang penutur tidak mengutarakan maksudnya secara
langsung. Hal yang hendak diucapkan justru ‘disembunyikan’, diucapkan secara tidak langsung, atau yang
diucapkan sama sekali berbeda dengan maksud ucapannya.
Contoh:
(2) Ibu : Ani, adikmu belum makan.
Ani : Ya, Bu. Lauknya apa?
Pada contoh di atas, percakapan antara Ibu dengan Ani mengandung implikatur yang bermakna ‘perintah
menyuapi’. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan Ibu
hanyalah pemberitahuan bahwa ‘adik belum makan’. Namun, karena Ani dapat memahami implikatur yang
disampaikan Ibunya, ia menjawab dan kesiapan untuk melaksanakan perintah ibunya tersebut.
Grice menjelaskan bahwa implikatur percakapan itu mengutip prinsip kerjasama atau kesepakatan bersama,
yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus saling berkait. Grice mengemukakan pula
bahwa prinsip kerjasama yang dimaksud sebagai berikut: Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan
sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan Anda terlihat di
dalamnya. Dengan prinsip umum tersebut, dalam perujaran, para penutur disarankan untuk menyampaikan
ujarannya sesuai dengan konteks terjadinya peristiwa tutur, tujuan tutur, dan giliran tutur yang ada. Prinsip
kerjasama ini, ditopang oleh seperangkat asumsi yang disebut prinsip-prinsip percakapan (maxims of
conversation) yang meliputi: (1) prinsip kuantitas, memberi informasi sesuai dengan yang diminta (2) prinsip
kualitas, menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya (3) prinsip hubungan,
memberi sumbangan informasi yang relevan dan (4) prinsip cara, menghindari ketidakjelasan pengungkapan,
menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan. Tiga yang pertama
berkenaan dengan ‘apa yang dikatakan’, dan yang keempat berkenaan dengan ‘bagaimana mengatakannya’.
Namun, prinsip kerjasama ini disanggah oleh Leech (1985:17) via Abdul Rani (2006) yang mengatakan bahwa,
dalam pragmatik, komunikasi bahasa merupakan gabungan antara tujuan ilokusi dan tujuan sosial. Dengan
demikian, dalam komunikasi bahwa itu, di samping menyampaikan amanat dan bertindak tutur, kebutuhan dan
tugas penutur adalah menjaga agar percakapan berlangsung lancar, tidak macet, tidak sia-sia, dan hubungan
sosial antara penutur pendengar tidak terganggu. Untuk itu, menurut Leech, prinsip kerjasama Grice harus
berkomplemen (tidak hanya sekedar ditambah) dengan prinsip sopan santun agar prinsip kerjasama
terselamatkan dari kesulitan menjelaskan antara makna dan daya.
Contoh:
(3) Ibu (I) : “Ada yang memecahkan pot ini”
Anak (A) : “Bukan saya!”
Dari contoh di atas, si Anak (A) memberikan jawaban yang seakan-akan tidak gayut (pelanggaran prinsip
hubungan): A bereaksi seolah-olah dia harus menyelamatkan dirinya dari suatu perbuatan jahat padahal dalam
kalimat si Ibu (I) tidak ada kata-kata menuduh A melakukan perbuatan tersebut. Dalam situasi seperti itu,
jawaban berupa penyangkalan A sebetulnya dapat diramalkan dan ketidakgayutan (pelanggaran prinsip
hubungan) dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kita andaikan I tidak tahu siapa yang melakukan perbuatan tersebut, tetapi ia mencurigai A. Karena I ingin
bersifat sopan, I tidak mengucapkan tuduhan langsung. Sebagai pengganti, ia membuat pernyataan yang kurang
informatif, tetapi benar, yaitu mengganti pronominal kamu dengan ‘ada yang’. A menangkap maksud I dan
pernyataan I ditafsirkan oleh A sebagai suatu tuduhan tidak langsung. Akibatnya, ketika A mendengar
pernyataan itu, A memberi respons sebagai orang yang dituduh, yaitu A menyangkal suatu perbuatan yang
belum dituduhkan secara terbuka. Jadi, pelanggaran maksum hubungan dalam jawaban A disebabkan oleh
implikatur di dalam ujaran I, sebuah implikatur tidak langsung yang dimotivasi oleh sopan santun. Jadi, sasaran
jawaban A adalah implikatur ini, bukan ujaran I yang sesungguhnya diucapkan.
Menurut Levinson (1983) via Abdul Rani (2006:173), ada empat macam faedah konsep implikatur, yaitu:
1. Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori
linguistik.
2. Dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa
3. Dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan
kata penghubung yang sama.
4. Dapat memerikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti
metafora).
Dari keterangan itu, jelas bahwa kalimat-kalimat yang secara lahiriah kita lihat tidak berkaitan, tetapi bagi orang
yang mengerti penggunaan bahasa itu dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh pembicara, seperti:
(4).Suami : “Si Cuplis menangis minta mimik ibunya!”
Istri : “Saya sedang menggoreng.”
Kedua kalimat di atas secara konvensional struktural tidak berkaitan. Tetapi, bagi pendengar yang sudah
terbiasa dengan situasi yang demikian akan paham apa arti kalimat kedua itu. Si istri tidak menjawab ujaran
suami bahwa Si Cuplis (anaknya) menangis karena diduga oleh si suami haus dan minta minum susu ibunya,
tetapi hanya menyatakan bahwa dirinya sedang menggoreng. Dan, jelas kalimat tersebut hanya dapat dijelaskan
oleh kaidah-kaidah pragmatik saja.
Keberadaan implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan antara lain untuk:
1. Memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik
struktural.
2. Menjembatani proses komunikasi antarpenutur.
3. Memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana kemungkinan pemakai bahasa dapat
menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud.
4. Dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antarklausa, meskipun klausa-klausa
itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama.
5. Dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara lahiriah tidak berkaitan
(Levision dalam PWJ Nababan, 1987:28).
Istilah implikatur berantonim dengan kata eksplikatur. Menurut Grice (Brown & Yule, 1986:31 dalam Abdul Rani
(2006), istilah implikatur diartikan sebagai “what a speaker can imply, or mean, as distinct from what a speaker
literally says”. Senada dengan itu, Pratt menyatakan (1981; 1977 via Abdul Rani) “what is said is implicated
together from the meaning of the utterance in that context.” Dari pengertian dia atas. diketahui bahwa implikatur
adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).
Menggunakan implikatur dalam berkomunikasi berarti menyatakan sesuatu secara tidak langsung.

Contoh:
(5) (Konteks: Udara sangat dingin. Seorang suami yang mengatakan pada istrinya yang sedang berada di
sampingnya).
Suami : “Dingin sekali!”
Transkip ujaran suami yang tidak disertai dengan konteks yang jelas dapat ditafsirkan bermacam-macam, antara
lain:

(5a) permintaan kepada istrinya untuk mengembalikan baju hangat, jaket, atau selimut, atau minuman hangat
untuk menghangatkan tubuhnya
(5b) permintaan kepada istrinya untuk menutup jendela agar angin tidak masuk kamar sehingga udara di dalam
ruangan menjadi hangat.
(5c) pemberitahuan kepada istrinya secara tidak langsung bahwa kesehatannya sedang terganggu.
(5d) permintaan kepada istrinya agar ia dihangati dengan tubuhnya.

Makna dari keempatnya tersebut merupakan makna implikatur. Makna umum secara tersurat (literal), yang biasa
disebut eksplikatur, contoh di atas adalah “informasi bahwa keadaan (saat itu) sangat dingin”. Dari sini, terlihat
jelas perbedaan makna implikatur dan ekplikatur.
Dari penjelasan di atas, ternyata implikatur dapat dibedakan menjadi beberapa macam berdasarkan bentuk
eksplikaturnya. Berikut ini paparannya lebih lanjut:
1. Implikatur yang berupa makna yang tersirat dari sebuah ujaran (between the line), merupakan implikatur yang
sederhana.
2. Implikatur yang berupa makna yang tersorot dari sebuah ujaran (beyond the line), yang merupakan lanjutan
dari implikatur yang pertama.
3. Implikatur yang berkebalikan dengan eksplikaturnya. Meskipun berkebalikan, hal itu pada umumnya tidak
menimbukan pertentangan logika.
2. Ciri-ciri Implikatur
Gunarwan (dalam Rustono, 1999:89 via guru-umarbakri.blogspot.com) menegaskan adanya tiga hal yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan implikatur, yaitu:
(1) implikatur bukan merupakan bagian dari tuturan,
(2) implikatur bukanlah akibat logis tuturan,
(3) sebuah tuturan memungkinkan memiliki lebih dari satu implikatur, dan itu bergantung pada konteksnya.
C. INFERENSI
Sebuah pekerjaan bagai pendengar (pembaca) yang selalu terlibat dalam tindak tutur selalu harus siap
dilaksanakan ialah inferensi. Inferensi dilakukan untuk sampai pada suatu penafsiran makna tentang ungkapan-
ungkapan yang diterima dan pembicara atau (penulis). Dalam keadaan bagaimanapun seorang pendengar
(pembaca) mengadakan inferensi. Pengertian inferensi yang umum ialah proses yang harus dilakukan pembaca
(pendengar) untuk melalui makna harfiah tentang apa yang ditulis (diucapkan) sampai pada yang diinginkan oleh
saorang penulis (pembicara).
Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat
inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang
ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).
Inferensi atau kesimpulan sering harus dibuat sendiri oleh pendengar atau pembicara karena dia tidak
mengetahui apa makna yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh pembicara/penulis. Karena jalan pikiran
pembicara mungkin saja berbeda dengan jalan pikiran pendengar, mungkin saja kesimpulan pendengar meleset
atau bahkan salah sama sekali. Apabila ini terjadi maka pendengar harus membuat inferensi lagi. Inferensi
terjadi jika proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara
harfiah tidak terdapat pada tuturan yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis. Pendengar atau pembaca
dituntut untuk mampu memahami informasi (maksud) pembicara atau penulis.
Inferensi terdiri dari tiga hal, yaitu inferensi deduktif, inferensi elaboratif, dan inferensi percakapan (Cummings,
1999).
a. Inferensi Deduktif
Inferensi deduktif memiliki kaitan dengan makna semantik. Implikatur percakapan, pra-anggapan, dan sejumlah
konsep lain memuat kegiatan inferensi. inferensi dapat diperoleh dari kaidah deduktif logika dan dari makna
semantik item leksikal. Inferensi menggunakan penalaran deduksi dalam kegiatan penalaran dan interpretasi
ujaran. Inferensi Deduktif dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Inferensi Langsung
Inferensi yang kesimpulannya ditarik dari hanya satu premis (proposisi yang digunakan untuk penarikan
kesimpulan). Konklusi yang ditarik tidak boleh lebih luas dari premisnya.
Contoh:
Bu, besok temanku berulang tahun. Saya diundang makan malam. Tapi saya tidak punya baju baru, kadonya
lagi belum ada”.
Maka inferensi dari ungkapan tersebut: bahwa tidak bisa pergi ke ulang tahun temanya.
Contoh:
Pohon yang di tanam pak Budi setahun lalu hidup.
dari premis tersebut dapat kita lansung menari kesimpulan (inferensi) bahwa: pohon yang ditanam pak budi
setahun yang lalu tidak mati.
2. Inferensi Tak Langsung
Inferensi yang kesimpulannya ditarik dari dua / lebih premis. Proses akal budi membentuk sebuah proposisi baru
atas dasar penggabungan proposisi-preposisi lama.
Contoh:
A : Anak-anak begitu gembira ketika ibu memberikan bekal makanan.
B : Sayang gudegnya agak sedikit saya bawa.
Inferensi yang menjembatani kedua ujaran tersebut misalnya (C) berikut ini.
C : Bekal yang dibawa ibu lauknya gudek komplit.
Contoh yang lain;
A : Saya melihat ke dalam kamar itu.
B : Plafonnya sangat tinggi.
Sebagai missing link diberikan inferensi, misalnya:
C: kamar itu memiliki plafon

b. Inferensi Elaboratif
adalah urutan dari sederhana-ke-kompleks atau dari umum-ke-rinci, yang memiliki karakteristik khusus.
Inferensi elaboratif memiliki peran dalam interpretasi ujaran. Cummings (1999) menggambarkan adanya integrasi
interpretasi ujaran dari tiga subkomponen yang berpa abstrak (pengetahuan dunia), abstrak (pengetahuan
komunikatif), dan fungsional (interferensi elaboratif).
Contoh: dalam mengajar Sejarah, seseorang dapat saja mulai dengan memberikan rangkuman mengenai
peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah, kemudian menjelaskan rincian peristiwa-peristiwa penting itu.
Ini dirinci dalam satu tahap sampai mencapai tingkat keterincian yang sudah dispesifikasi oleh tujuan.
c. Inferensi Percakapan
Dalam percakapan menuntut hadirnya komponen tutur. Jhon L. Austin (1962) menyatakan ada tiga syarat yang
harus dipenuhi dalam tuturan performatif, syarat itu disebut felicity conditions, yaitu (1) pelaku dan situasi harus
sesuai, (2) tindakah dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua pelaku, dan (3) pelaku punya maksud
yang sesuai.
Inferensi percakapan dapat terjadi dalam tuturan/percakapan. Grice (1975) dalam artikel ‘Logic and
Conversation’ menyatakan bahwa tuturan dapat berimplikasi proposisi yang bukan merupakan bagian dari
tuturan tersebut, atau disebut implikatur percakapan. Untuk mengetahui implikatur percakapan harus diteliti
meskipun dapat dipahampi secara intuitif. Argumen merupakan manifestasi proses bawah sadar secara publik
dapat digunakan pendengar untuk menemukan kembali implikatur percakapan.

D. DIEKSIS
Dieksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan
tuturan. Deiksis berarti Penunjukan melalui bahasa. Bentuk linguistic yang dipakai untuk menyelesaikan
penunjukan disebut ungkapan deiksis. Dengan kata lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal
yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis,
misalnya he, here, now. Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks tertentu agar makna
ujaran dapat di pahami dengan tegas.Tenses atau kala juga merupakan jenis deiksis. Misalnya then hanya dapat
di rujuk dari situasinya. Deiksis juga didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya. Contohnya
dalam kalimat “Saya mencintai dia”, informasi dari kata ganti “saya” dan “dia” hanya dapat di telusuri dari konteks
ujaran. Ungkapan-ungkapan yang hanya diketahui hanya dari konteks ujaran itulah yang di sebut deiksis.
Lavinson (1983) memberi contoh berikut untuk menggambarkan pentingnya informasi deiksis. Misalnya anda
menemukan sebuah botol di pantai berisi surat di dalamnya dengan pesan sebagai berikut :
(1) Meet me here a week from now with a stick about this big.
Pesan ini tidak memiliki latar belakang kontekstual sehingga sangat tidak informatif. Karena unkapan deiksis
hanya memiliki makna ketika ditafsirkan oleh pembaca. Pada dasarnya ungkapan deiksis ini masuk dalam ranah
pragmatik. Namun karena penemuan makna ini sangat penting untuk mengetahui maksud dan kondisi yang
sebenarnya maka pada saat yang sama masuk dalam ranah semantik. Dengan kata lain dalam kasus ungkapan
deiksis, proses pragmatik dalam mencari acuan masuk dalam semantik. Umumnya kita dapat mengatakan
ungkapan deiksis merupakan bagian yang mengacu pada ungkapan yang berkaitan dengan konteks situasi,
wacana sebelumnya, penunjukan, dan sebagainya.
Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang
sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada
saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43).
Pengertian deiksis dibedakan dengan pengertian anafora. Deiksis dapat diartikan sebagai luar tuturan, dimana
yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu
sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu kata yang berada di belakang maupun
yang merujuk kata yang berada di depan (Lyons, 1977: 638 via Setiawan, 1997: 6).
Berdasarkan beberapa pendapat, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang
terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan
menunjuk pada sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya. Perujukan atau
penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat
pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora.
Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan
konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiktis. Kata-kata ini
tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini, sekarang baru dapat diketahui maknanya jika diketahui
pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis
adalah penutur.
1. Jenis-jenis deiksis
Dalam pragmatik, deiksis dibagi menjadi lima jenis meliputi: deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis
wacana, dan deiksis sosial.
a. Deiksis Persona (deiksis orang)
Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984: 21) bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi
bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu. Deiksis orang memakai istilah kata ganti diri; dinamakan demikian
karena fungsinya yang menggantikan diri orang. Bahasa Indonesia hanya mengenal pembagian kata ganti
persona menjadi tiga. Diantara ketiga kata ganti persona itu hanya kata ganti persona pertama dan kedua yang
menyatakan orang. Kata ganti persona ketiga dapat menyatakan orang maupun benda (termasuk binatang).
Referen yang ditunjuk oleh kata ganti persona berganti-ganti tergantung pada peranan yang dibawakan oleh
peserta tindak ujaran.
Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut persona pertama. Apabila dia tidak berbicara lagi
dan kemudian menjadi pendengar maka ia disebut persona kedua. Orang yang tidak hadir dalam tempat
terjadinya pembicaraan atau yang hadir dekat dengan tempat pembicaraan disebut persona ketiga. Contoh
pemakaian kata saya dan aku, masing-masing memiliki perbedaan pemakaian. Kata aku hanya dapat dipakai
dalam situasi informal. Kata saya dapat dipergunakan dalam situasi formal maupun informal. Jadi kata saya
merupakan kata tak bermarkah sedangkan kata aku bermarkah keintiman.

b. Deiksis Tempat
Deiksis tempat menyatakan pemberian bentuk kepada tempat, dipandang dari lokasi pemeran dalam peristiwa
berbahasa, yang meliputi (a) yang dekat dengan pembicara (di sini); (b) yang jauh dari pembicara tetapi dekat
dengan pendengar (di situ); (c) yang jauh dari pembicara dan pendengar (di sana).
Di bawah ini masing-masing contohnya:
(a) Duduklah bersamaku di sini!
(b) Letakkan piringmu di situ!
(c) Aku akan menemuinya di sana.
c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu berkaitan dengan pengungkapan jarak waktu dipandang dari waktu suatu tuturan diproduksi oleh
pembicara: sekarang, kemarin, lusa, dsb.
Contoh:
(a) Nanti sore aku akan datang kerumahmu.
(b) Bulan Juni nanti jumlah pengunjung mungkin lebih meningkat.

Kata nanti apabila dirangkaikan dengan kata pagi, siang, sore atau malam tidak dapat memiliki jangkauan ke
depan lebih dari satu hari. Dalam rangkaian dengan nama bulan kata nanti, dapat mempunyai jangkauan ke
depan yang lebih jauh.

d. Deiksis Wacana
Deiksis wacana yang berkaitan dengan bagian-bagian tentang dalam wacana yang telah diberikan dan atau
yang sedang dikembangkan: (a) anafora: yang pertama, berikut ini, dsb; (b) katafora: tersebut,demikian, dsb.

Contoh anafora:
Film November 1828 bisa dibuat terutama berkat kerjasama dua orang, Nyohansiang dan Teguh Karya. Yang
pertama memiliki model dan ingin membuat film lain dari yang lain, sedangkan yang satunya sutradara yang
selalu tampil dengan film-film terkenal.

Contoh Katafora:
Pak Suparman (56 tahun) seorang petani gurem yang bermukim di kalurahan Karangmojo, kecamatan Cepu,
berkisah demikian: ”Dengan berbagai cara saya berusaha agar dapat meningkatkan produksi gurem dengan
kualitas yang baik”.

e. Deiksis Sosial
Deiksis sosial mengungkapkan perbedaan-perbedaan kemasyarakatan yang terdapat antarpartisipan yang
terdapat dalam peristiwa berbahasa. Deiksis ini menyebabkan adanya kesopanan berbahasa.

Anda mungkin juga menyukai