Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bahasa adalah sebuah faktor komunikasi, dengan komunikasi masyarakat bisa


membangun sebuah hubungan yang baik. Untuk membuat komunikasi yang baik, mereka
harus mengerti dengan baik apa yang si penutur katakan. Dalam hal ini mempelajari tindak
tutur adalah penting untuk mengatasi masalah ini. Tindak tutur adalah sebuah aksi yang bisa
dilakukan melalui ucapan. Bahasa dan manusia merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, karena dengan bahasa kita dapat mengartikan maksud yang dituturkan oleh
penutur kepada lawan tutur. Manusia adalah makhluk yang mempunyai kelebihan untuk
dapat menuturkan apa yang kita inginkan dan apa yang kita rasakan, sehingga dalam
lingkungannya mereka bisa berinteraksi lebih baik dari makhluk lainnya.

Prinsip kerja sama merupakan salah satu prinsip percakapan dalam ilmu pragmatik.
Prinsip ini menekankan pada adanya upaya kerjasama yang terjalin antara penutur dan mitra
tutur dalam sebuah percakapan. Kerjasama yang dimaksud berhubungan dengan tuturan yang
diujarkan. Oleh karena itu, penutur selalu berusaha agar tuturannya relevan dengan konteks,
jelas dan mudah dipahami, padat dan ringkas, dan selalu pada persoalan. Hal tersebut
dirangkum dalam maksim-maksim yang terdapat dalam prinsip kerjasama.Aturan-aturan
dalam sebuah percakapan dikenal dengan istilah maksim. Gricedalam (Wijana, 1996: 46)
mengatakan bahwa “di dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama itu, setiap penutur
harus mematuhi 4 maksim percakapan (conversationalmaxim), yakni maksim kuantitas
(maximofquantity), maksim kualitas (maximofquality), maksim relevansi (maksim
ofrelevance) dan maksim pelaksanaan (maximofmanner)”. Dalam setiap maksim percakapan
tersebut, terdapat aturan yang diharapkan untuk dipatuhi oleh setiap partisipan.Kontribusi
menjadi kunci utama dalam prinsip kerjasama ini. Maksim kuantitas mengharapkan setiap
partisipan memberikan kontribusi sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tutur. Maksim
kualitas mengharapkan setiap partisipan memberikan kontribusi sesuai dengan fakta/
kenyataan dan tidak mengada-ada. Maksim relevansi mengharapkan setiap partisipan
memberikan kontribusi yang berhubungan dengan konteks pembicaraan. Maksim cara
mengharapkan setiap partisipan memberikan kontribusi secara langsung, jelas dan tidak
ambigu.
Dalam sebuah percakapan, prinsip kerjasama ini diharapkan dapat dipatuhi oleh setiap
partisipan. Namun, ketidakpatuhan terhadap prinsip kerjasama ini juga dapat terjadi. Salah
satu bentuk ketidakpatuhan tersebut adalah pelanggaran terhadap prinsip kerjasama.
Pelanggaran ini terjadi karena adanya implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh
penuturnya. Implikasi yang dimaksud berhubungan dengan implikasi makna tidak langsung/
makna tersirat, yang dalam ilmu pragmatik dikenal dengan istilah implikaturkonversasional.
Grice dalam (Wijana, 1996: 37) dalam artikelnya yang berjudul LogicandConversation
mengatakan bahwa “sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan
merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut dengan
implikatur”. Implikatur atau makna tersirat mengharapkan setiap partisipan untuk saling
memahami apa yang dituturkan oleh mitra tutur. Sehingga, dibutuhkan kerjasama yang baik
antar partisipan agar percakapan diantara keduanya berjalan dengan lancar.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara mengetahui speech act theory?
2. Bagaimana cara mengetahui the cooperative principle?

C. TUJUAN

Makalah ini di buat untuk memnabah pengetahuan tentang speech act theory dan the
cooperative principle.
BAB II
PEMBAHASAN

A. SPEECH ACT THEORY


Peristiwa tutur (inggris: speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi
linguistic dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan
lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi,
interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli dipasar pada waktu tertentu
dengan mengggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur.
Peristiwa serupa kita dapati pula dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat dinas di kantor,
siding dipengadilan, dan sebagainya.
Sebuah percakapan dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur kalau memenuhi
beberapa persyaratan. Del Hymes (1972), seorang pakar linguistic terkenal menjelaskan,
bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang apabila huruf
pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut
adalah:
S = (setting and scene)
P = (participants)
E = (ends : purpose and goal)
A = (act sequences)
K = (key : tone or spirit of act)
I = (instrumentalities)
N = (norms of interaction and interpretation)
G = (gennres)
Setting and scene.Di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur
berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis
pembicaraan.Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan
penggunaan variasi bahasa yang berbeda.Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada
pertandingan sepak bola dalam situasi ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang
perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi.Di lapangan
sepak bola kita bisa berbicara keras-keras, tapi di ruang perpustakaan harus seperlahan
mungkin.

Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan


pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Dua orang yang
bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar, tetapi dalam khutbah
di masjid, khotib sebagai pembicara dan jamaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar
peran.Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya,
seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan
orang tuanya atau gurunya bila dibandingan kalau dia berbicara terhadap teman-teman
sebayannya.

Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.Peristiwa tutur yang terjadi di
ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara, namun, para
partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda.Jaksa ingin
membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa
tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan dengan adil.

Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan
dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya dan hubungan antara apa yang
dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan
biasa, dan dalam pesta adalah berbeda.Begitu pula dengan isi yang dibicarakan.

Key, mengacu pada nada, cara dan semangat di mana suatu pesan disampaian dengan
senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan
sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan,
tertulis, melalui telegraf atau telepon.Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran
yang digunakan, seperti bahasa, dialek, ragam, atau register.

Norm of interaction and interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam
berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan
sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa
dan sebagainya.

Bahasa dalam keadaannya yang abstrak (karena berada di dalam benak) tidak bisa
langsung dicapai oleh pengamat tanpa melalui medium buatan seperti kamus dan buku tata
bahasa. Menurut pengalaman nyata, bahasa itu selalu muncul dalam bentuk tindakan atau
tingkah tutur individual. Karena itu tiap telaah struktur bahasa harus dimulai dari pengkajian
tindak tutur. Wujudnya ialah bahasa lisan.

Peristiwa tutur merupakan peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang


bertutur dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan
rangkaian dari sejumlah tindak tutur (inggris: speechact) yang terorganisasikan untuk
mencapai suatu tujuan. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di atas,
maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya
ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Kalau
dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwannya, tetapi dalam tindak
tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur dan
peristiwa tutur merupakan dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses
komunikasi.

Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin,
seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi
kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965) dengan judul HowtodoThingwith
Word ? tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969)
menerbitkan buku berjudul SpeechActandEssay in The PhilosophyofLanguage.

Speech act theory atau tindak tutur adalah gejala individual yang bersifat psikologis
dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi
situasi tertentu (Rohmadi,2004:29). Tindak tutur atau tindak ujar dapat dinyatakan bahwa
mengucapkan suatu ekspresi, pembicara tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan
mengucapkan ekspresi itu tetapi juga ‘menindakkan’ sesuatu.Tindak tutur merupakan suatu
tindakan yang diikuti oleh pengungkapan kata-kata atau kalimat, yang didukung oleh ekspresi
tertentu.Dalam tindak tutur, satu bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi dan di
dalam komunikasi yang sebenarnya satu fungsi ujaran dapat dinyatakan, dilayani atau
diutarakan dalam berbagai jenis ujaran.Dalam menyampaikan maksud tersebut ada yang
disampaikan dengan tindak tutur langsung dan ada yang disampaikan dengan tindak tutur
tidak langsung.
Didalam bukunya How To Do Things With Words, Austin (1962:1-11) membedakan
tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif.
Tindak tutur konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat
di uji benar atau salah dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia.Sedangkan tindak
tutur performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan
sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan tuturan itu salah atau benar tetapi shahih
atau tidak.
Dalam peristiwa tutur dilihat  tujuan peristiwanya, tetapi dalam  tindak tutur lebih dilihat
pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.

Menurut tata bahasa tradisional ada tiga jenis kalimat, yaitu:

1. Kalimat deklaratif, adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang
mendengar kalimat itu untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa, sebab
maksud si pengujar hanya untuk memberitahukan saja.
2. Kalimat interogatif, adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang
mendengar kalimat itu untuk memberi jawaban secara lisan.
3. Kalimat imperatif, adalah kalimat yang isinya meminta agar si pendengar atau yang
mendengar kalimat itu memberi tanggapan beruapa tindakan atau perbuatan yang
diminta.

Pembagian  kalimat atas kalimat deklaratif, interogatif, dan impertif adalah berdasarkan
bentuk kalimat itu secara terlepas. Artinya kalimat dilihat atau dipandang sebagai satu bentuk
keutuhan tertinggi. Kalau kalimat atau kalimat-kalimat itu dipandang dan tataran lebih tinggi,
yakni dari tingkat wacana, maka kalimat-kalimat tersebut dapat saja menjadi tidak sama
antara bentuk formalnya dengan bentuk isinya. Ada kemungkinan kalimat deklaratif atau
kalimat interogatif tidak lagi berisi pernyataan dan pertanyaan, tetapi menjadi berisi perintah.
Austin (1962) membedakan kalimat deklaratif  berdasarkan maknanya menjadi kalimat
konstatif dan kalimat performatif. Kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan
belaka, seperti “ Ibu dosen kami, cantik sekali”, atau “ pagi tadi dia terlambat bangun”.
Kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuannya. Artinya, apa yang diucapkan
oleh si pengujar berisi apa yang dilakukannya. Misalnya, kalau seorang rektor mengatakan, “
dengan mengucap Bismillah acara lomba joged ini saya buka”, maka makna kalimat itu
adalah apa yang diucapkannya.
Austin (1962: 150-163) menjadi kalimat performatif menjadi lima kategori:

1. Kalimat verdiktif (verdictives) yakni kalimat perlakuan yang menyatakan keputusan atau


penilaian, misalnya, “ kami menyatakan terdakwa bersalah”.
2. Kalimat eksersitif (exercitives), yakni kalimat perlakuan yang menyatakan perjanjian,
nasihat, peringatan dan sebagainya. Misalnya, “ kami harap kalian setuju dengan
keputusan ini.
3. Kalimat komisif (commissives), adalah kalimat perlakuan yang dicirikan dengan
perjanjian; pembicara berjanji dengan anda untuk melakukan sesuatu, misalnya, “ besok
kita menonton sepak bola.
4. Kalimat behatitif ( behatitives) adalah kalimat perlakuan yang berhubungan dengan
tingkah laku sosial karena seseorang mendapat keberuntungan atau kemalangan,
misalnya, “ saya mengucapkan selamat atas pelantikan anda menjadi mahasiswa
teladan”.
5. Kalimat ekspositif (exspositives) adalah kalimat perlakuan yang memberi penjelasan ,
keteranagan, atau perincian kepada seseorang, misalnya, “ saya jelaskan kepada anda
bahwa dia tidak bersalah”.

Kalimat tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962: 100-
102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:

1. Tindak Tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata”
atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Misalnya, “
ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya”. Searle menyebut tindak tutur
lokusi ini dngan istilah tindak bahasa preposisi karena tindak tutur ini hanya berkaitan
dengan makna.

Dua tipe lokusi yaitu :

a. Utterance acts, suatu kata atau suara yang diucapkan yang tidak memiliki
arti yang berarti. Contoh : Oh! (ketika terkejut)
b. Propositional acts, makna baru yang dibentuk oleh susunan kata, tanpa ada
komunikasi yang dimaksudkan. Contoh : kucing hitam.

2. Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat
performatif yang eksplisit. Tindak ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin,
mengucapkan terima kasih, menyuruh menawarkan, dan menjanjikan. Misalnya, ibu
guru menyuruh saya agar segera berangkat”. Kalau tindak tutur ilokusi hanya berkaitan
dengan makna, maka makan tindak tutur ilkusi berkaitan dengan nilai, yang dibawakan
preposisinya.

Jenis-jenis Ilokusi :

a. Representatif (Asertif) Adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada


kebenaran atas hal yang dikatakannya (menyatakan, menuntut, dan lain-lain).
Contoh : “Joko Widodo Presiden Indonesia”
b. Direktif (imposif) adalah tindak tutur yang dilakukan agar lawan tuturnya
melakukan tindakan yang diujar (memaksa, mengajak, meminta, dll). Contoh : ”
berikan laptop itu”.
c. Ekspresif (evaluatif) adalah tindak tutur yang dimaksudkan agar ujarannya
diartikan sebagai evaluasi (memuji, mengkritik, dll.). contoh : “ terimakasih atas
sanjunganmu”.
d. Komisif, adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa
yang disebutkan di dalam tuturannya (berjanji,dll.). contoh : “saya akan segera
datang ke rumahmu”.
e. Deklaratif (isbati) adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk
menciptakan hal yang baru (mengesahkan, memutuskan, dll.). contoh : “kamu
jangan keluar rumah ya, nak”.

3. tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain
Tindak sehubungan dengan sikap dan perilaku non linguistik dari orang lain itu.
Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “ mungkin ibu menderita
penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik atau sedih. Ucapan si dokter itu
adalah tindak tutur perlokusi.

Catatan

Ada kemungkinan jadi untuk merasa kesu;itan untuk mengenali apakah suatu kalimat
berupa lokusi, ilokusi maupun perlokusijika tidak berhadapan langsung dengan seorang
penetur kalimat dan keadaan /suasana pada saat kalimat itu dituturkan. Contoh:”dingin
sekali disini”.

 Regulative Rule
Adalah suatu aturan yang berhubungan dengan kondisi suatu bentuk tingkah laku
tertentu pada suatu peristiwa. Contoh: “anak-anak dilarang bermain bola diatas
rumput”
 Constitutive Rules
Adalah suatu aturan yang mendefinisikan tingkah laku itu sendiri.contoh:’’seorang
pemain bola akan di nyatakan offside,apabila…”
Felicity Condition
Adalah kondisi yang harus ada dan kriteria yang harus dipenuhi untuk tindak tutur untuk
mencapai tujuannya.Kondisi ini tideak menyatakan benar atau salah tetapi sah atau tidak
sah.Contoh : saya berkata “ saya berkata sekolah dibubarkan”.

Ada beberapa jenis felicity condition, yaitu :


a. Konten proposisional, yang mengharuskan peserta untuk memahami bahasa, bukan
untuk bertindak seperti aktor.
b. Persiapan, dimana otoritas pembicara dan keadaan tindak tutur sesuai untuk dilakukan
dengan sukses.
c. Ketulusan, dimana tindak tutur dilakukan dengan serius dan tulus.
d. Penting, dimana pembicara bermaksud bahwa ucapan harus ditindaklanjuti oleh
penerima.

B. THE COOPERATIVE PRINCIPLE

Dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari manusia akan selalu bertemu dan berinteraksi
dengan orang lain. Dalam berinteraksi dengan orang lain, manusia menggunakan bahasa
sebagai media komunikasi. Di dalam komunikasi yang wajar, masing-masing pihak yang
terlibat, yaitu antara penutur dan mitra tutur akan selalu berusaha menyampaikan tuturannya
secara efektif dan efisien. Hal ini senada dengan pendapat Wijana (1996:450) yang
mengatakan bahwa seorang penutur akan berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan
konteks, jelas dan mudah dipahami, padat dan ringkas dan selalu pada persoalan sehingga
tidak menghabiskan waktu lawan bicara.
Agar tuturan –tuturan dapat diutarakan  dapat diterima oleh lawan bicaranya, penutur
pada lazimya mempertimbangkan secara seksama berbagai faktor pragmatik yan terlibat atau
mungkin terlibat dalam suatu proses komunikasi tersebut (Wijana, 2004:54). Secara
sederhana ada tiga aspek yang dipertimbangkan oleh penutur dan lawan tutur. Aspek-aspek
itu adalah prinsip kerjasama, prinsip kesopanan dan parameter pragmatik. Berikut akan diulas
salah satunya, yaitu prinsip kerjasama.

PRINSIP KERJA SAMA

Grice (1975:45-47) mengemukakan bahwa wacana yang wajar dapat terjadi apabila antara
penutur dan petutur patuh pada prinsip kerja sama komunikasi. Prinsip kerja sama tersebut
terdiri dari empat maksim percakapan (conversational maxim), yaitu:

a)      maksim kuantitas (maxim of quantity),

b)      maksim kualitas (maxim of quality),

c)      maksim relevansi ( maxim of relevance)


d)      dan maksim pelaksanaan(maxim of manner).

A.     MAKSIM KUANTITAS

Dalam pertuturan setiap peserta percakapan diharuskan untuk memberi sumbangan informasi
yang dibutuhkan saja, dan jangan memberikan sumbangan yang lebih informatif daripada
yang diperlukan. Misalnya penutur yang wajar tentu akan memilih tuturan (1) dibanding
dengan tuturan (2) :

(1)   Orang buta itu tenyata tukang pijat.

(2)   Orang yang tidak dapat melihat itu ternyata tukang pijat.

Tuturan 1 dianggap lebih efektif dan efisien, serta mengandung nilai kebenaran (truth value).
Setiap orang tentu paham bahwa orang buta pasti tidak dapat melihat. Dengan demikian
elemen tidak dapat melihat dalam tuturan (2) dianggap berlebihan. Adanya elemen yang tidak
dapat melihat dalam (2) dianggap bertentangan dengan maksim kuantitas karena hanya
menambahkan hal-hal yang sudah jelas dan tidak perlu diterangkan lagi.

Contoh lain dapat dijumpai dalam kalimat bahasa Inggris dari Beatrice (1997) dalam
bukunya Reading Power, sebagai berikut :

(3)   John put on his raicoat, picked up his umbrella from the table near the door, turned off
the lights, put out the cat, got ready for his ten-minute walk to the bus-stop

(4)   John went out.

Dalam tuturan yang wajar kalimat  (3) dianggap terlalu panjang. Oleh karena itu untuk
mengungkapkan konsep yang sama, tuturan (4) cenderung lebih digunakan.

B.      MAKSIM KUALITAS

Maksim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memberikan sumbangan informasi
yang benar. Dengan kata lain baik penutur maupun mitra tutur tidak mengatakan apa-apa
yang dianggap salah, dan setiap kontribusi percakapan hendaknya didukung oleh bukti yang
memadai. Apabila dalam suatu pertuturan ada peserta tutur yang tidak mempunyai bukti yang
memadai mungkin ada alasan-alasan tertentu yang mendasarinya. Perhatikan tuturan (5)
berikut ini

 A : Ada berapa maksim kerjasama menurut Grice?

B :  Menurut buku Grice yang saya baca, ada empat maksim dalam prinsip kerja

sama.

A :  Maksim apa sajakah itu ?

B :  Maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim

cara(pelaksanaan).
Pada contoh di atas, (B)memberi sumbangan informasi yang benar, bahwa menurut buku
Grice yang dia baca ada empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim
relevansi dan maksim cara (pelaksanaan).

C.      MAKSIM RELEVANSI

Maksim ini mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang


relevan dengan masalah pembicaraan. Perhatikan contoh (7) berikut ini :

(6)   A : There is somebody at the door

B : I’m in the bath.

(Joan Cutting , 2002:36)

Ketika A mengatakan kepada B bahwa ada seseorang yang datang di depan pintu
rumah mereka dan berharap B untuk membukakan pintu untuk tamu itu, maka  B mengatakan
bahwa dia sedang berada di kamar mandi pada saat itu.  Jawaban B mengimplikasikan bahwa
dia mengharapkan A untuk mengerti di mana B berada pada saat itu, sehingga B tidak bisa
membukakan pintu dan melihat siapa yang datang pada saat itu. Dengan demikian, maka
dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara peserta tutur tidak selalu terletak pada makna
ujarannya, tetapi dapat pula terletak pada apa yang diimplikasikan ujaran tersebut.

D. MAKSIM PELAKSANAAN

Dengan maksim ini, para peserta pertuturan diharapkan untuk berbicara secara langsung,
tidak kabur, tidak taksa dan tidak berlebih-lebihan  serta runtut. Dalam wacana tuturan sehari-
hari sering dapat dijumpai seorang penutur yang dengan sengaja tidak mengindahkan maksim
ini, seperti yang terlihat pada dialog yang diambil dari Parker (1986) di bawah ini:

(7)   A: Let’s stop and get something to eat.

B: Okey, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S

(Parker, 1986)

Dalam dialog (10),ejaan dalam tuturan B tersebut bertujuan untuk membuat anak
yang menggemari Mc. Donalds tidak menyadari bahwa orangtuanya tidak ingin makan di
Mc. Donalds.Seorang penutur harus menafsirkan kata-kata yang digunakan oleh lawan
bicaranya. Secara taksa (ambigu) berdasarkan konteks pemakaiannya. Hal ini berdasarkan
prinsip ketaksaan (ambiguitas) tidak akan muncul bila kerjasama antara peserta tindak tutur
selalu dilandasi oleh pengamatan yang seksama terhadap kriteria-kriteria pragmatik yang
digariskan oleh Leech dengan konsep situasi tuturnya. Dialog (8) di bawah ini memberikan
gambaran yang nyata mengenai kalimat taksa

(8)   A: Mas aslinya mana ?

B:  Saya aslinya Purworejo, Mbak.

A: Aduh, mas ini GR banget. Maksud saya, KTP asli saya mana ?
Dialog tersebut sering terjadi ketika (A) sedang memfotokopi KTP di sebuah tempat fotokopi
di Jogja. Setelah KTP selesai difotokopi, (A) bermaksud meminta KTP yang asli dengan
mengatakan “Mas, aslinya mana?” dan ternyata ditafsirkan keliru oleh (B) karena dia
menyangka bahwa (A) menanyakan asal-usul dia. Tuturan yang bersifat taksa seperti ini
sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat membuat malu bagi pihak yang salah
menafsirkan sebuah tuturan. Oleh karena itu, seyogyanya para peserta tutur menyadari bahwa
hanya dengan memberikan kontribusi yang kooperatif maka sebuah komunikasi dapat
berjalan dengan wajar.

PELAKSANAAN MAKSIM

Dalam kenyataan berkomunikasi sehari-hari, pelaksanaan maksim-maksim tersebut


dapat dibedakan ke dalam dua cara, yakni dengan menaati (observing) ataupun dengan tidak
menaati maksim. Kegiatan tidak menaati maksim  dapat dibedakan menjadi dua, antara lain,
melakukan pelanggaran terhadap maksim (violating) atau membuat mengambang (flouting).

1. Ketaatan terhadap Maksim

Bentuk ketaatan (observing) maksim adalah dengan berujar atau berkomunikasi sesuai
dengan ketentuan yang dijelaskan dalam tiap-tiap maksim yang telah dijelaskan di atas.

1. Penyimpangan Maksim

Diantara penyimpangan-penyimpangan dalam prinsip kerjasama adalah sebagai berikut:

1)      Pelanggaran Maksim

a)      Pelanggaran maksim kuantitas

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam maksim kuantitas menghendaki tiap
peserta tuturan memberi kontribusi yang cukup dan sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan
bicaranya. Tetapi tidak selalu tuturan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan dari maksim
kuantitas, seperti dalam tuturan:

(9)         A: Does your dog bite?

                  B: No

                  A: [Bends down to stroke it and gets bitten] ow! You said your dog doesn’t bite

                  B: That isn’t my dog

                                                    (Joan Cutting: 2002:40)

Di dalam percakapan di atas, si istri tidak  ini mengatakan hal yang sebenarnya ketika
suaminya bertanya berapa harga baju baru yang dia beli. Si istri  menjawab pertanyaan
suaminya itu dengan menyebutkan harga yang lebih rendah daripada harga yang sebenarnya.
Si Istri berusaha untuk tidak mengatakan hal yang sebenarnya, karena dia khawatir kalau
suaminya akan marah kepadanya kalau dia tahu bahwa harga baju barunya itu sangat mahal.
c)      Pelanggaran maksim relevansi

Terjadi pelanggaran terhadap maksim relevansi  jika pembicara tidak memberikan kontribusi
yang relevan dengan masalah pembicaraan.

Contoh

(11)                        Husband:        How much did the new dress cost, honey?

                               Wife:               I know. Let’s go out tonight

(Joan Cutting:2002:40)

Pada contoh dialog (11), ketika suami bertanya kepada istrinya tentang berapa harga baju
baru yang dia beli itu, istrinya  menjawab dengan jawaban yang tidak relevan dengan apa
yang ditanyakan oleh suaminya tersebut.

d)      Pelanggaran maksim pelaksanaan

Terjadi pelanggaran terhadap maksim pelaksanaan jika pembicara tidak berbicara secara
langsung. Tuturannya kabur, taksa (ambigu) berlebihan  dan tidak  runtut.

Contoh:

(12)                        Husband:        How much did the new dress cost, darling?

                               Wife        :       A tiny fraction of my salary, though probably a bigger


fraction of the salary of the woman that sold it to me

                                                                                  (Joan Cutting, 2002:40)

Pada contoh dialog (12), ketika suami bertanya kepada istrinya tentang harga baju baru yang  
dia beli, istrinya memberikan jawaban yang tidak jelas. Jawabannya kabur dan ambigu.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Speechact atau tindak tutur pertama kali di kenalkan oleh Austin (1911-1960) dalam
bukunya yang berjudul Howto Do ThingswithWords (1965). Menurutnya, saat bertutur, orang
tidak hanya bertutur namun juga melakukan suatu tindakan. Misalnya, pada tuturan I bet
youtenpenceshewillcometomorrow, penutur tidak hanya bertutur, namun juga melakukan
tindakan, yakni bertaruh. Tuturan seperti itu disebut tuturan performatif. Tuturan performatif
adalah lawan dari tuturan konstatif, yakni tuturan yang dapat dinyatakan benar atau takbenar.
Dalam ilmu sosial secara umum dan linguistik secara khusus, prinsip kerja sama
menggambarkan bagaimana orang mencapai komunikasi percakapan yang efektif dalam
situasi sosial yang umum — yaitu, bagaimana pendengar dan penutur bertindak secara
kooperatif dan saling menerima satu sama lain untuk dipahami dengan cara tertentu. Seperti
yang diungkapkan oleh Paul Grice, yang memperkenalkannya dalam teori pragmatisnya
DAFTAR ISI

SAMPUL........................................................................ i
KATA PENGANTAR........................................................ 1
DAFTAR ISI.................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN.................................................... 3
A. LATAR BELAKANG................................................. 3
B. RUMUSAN MASALAH............................................ 4
C. TUJUAN................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN..................................................... 5
A. SPEECH ACT THEORY............................................. 5
B. THE COOPERATIVE PRINCIPLE............................... 8
BAB III PENUTUP........................................................... 13
A. KESIMPULAN........................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA......................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
 Austin, J.L. (1962), Howto Do ThingsWithWords, New York: OxfordUniversityPress
 Chaer, A. (2010), Kesantunan Berbahasa, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 26–31
 Kushartanti (2009), "Pragmatik", dalam Kushartanti, Yuwono, U., Lauder, M., Pesona Bahasa,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 109–110
 Searle, J.R. (1969), SpeechAct, London: CambridgeUniversityPress
 Cutting, Joan. 2002. PragmaticsandDiscourse: A Resource BookforStudents. New York:
Routledge
 Leech, Geoffrey. 1991. PrincipleofPragmatics. London: Longman
 Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi
 Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: OxfordUniversityPress
 Cameron, D. (2001). WorkingwithSpokenDiscourse. London: Sage Publications. ISBN 978-
0761957737.
 Mey, Jacob (2001). Pragmatics: An Introduction. Blackwell. pp. 76–77. ISBN 978-0631211327.
 Wardhaugh, Ronald (2006). An IntroductiontoSociolinguistics. Blackwell. ISBN 978-1118732298.
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah AWT. Berkat rahmat dan
karunia-Nya Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan makalah ini,dalam rangka memenuhi
tugas individu.Penyusun sudah berusaha dengan segala kemampuan untuk menyusun
makalah ini dengan baik. Meski demikian sebagai manusia biasa tidaklah selalu terlepas dari
kesalahan maupun kekurangan. Dalam penulisan makalah yang berjudul “ Speech Act
Theory Dan The Cooperative Principle ” ini saya menyadari makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan,tetapi saya tidak akan menyerah begitu saja,saya akan terus berusaha
mempersembahkan yang terbaik. Maka dari itu saya sangat mengharapkan
bantuan,bimbingan,arahan,sertamotifasi,kritik dan saran yang bersifat membangun guna
mencapai hasil yang lebih baik lagi.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat,saya selaku penyusun mengucapkan terima


kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu dalam kelancaran penyusunan makalah
ini,dan mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya
bagi pembaca.

Unaaha,9 Februari 2020

Anda mungkin juga menyukai