PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Prinsip kerja sama merupakan salah satu prinsip percakapan dalam ilmu pragmatik.
Prinsip ini menekankan pada adanya upaya kerjasama yang terjalin antara penutur dan mitra
tutur dalam sebuah percakapan. Kerjasama yang dimaksud berhubungan dengan tuturan yang
diujarkan. Oleh karena itu, penutur selalu berusaha agar tuturannya relevan dengan konteks,
jelas dan mudah dipahami, padat dan ringkas, dan selalu pada persoalan. Hal tersebut
dirangkum dalam maksim-maksim yang terdapat dalam prinsip kerjasama.Aturan-aturan
dalam sebuah percakapan dikenal dengan istilah maksim. Gricedalam (Wijana, 1996: 46)
mengatakan bahwa “di dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama itu, setiap penutur
harus mematuhi 4 maksim percakapan (conversationalmaxim), yakni maksim kuantitas
(maximofquantity), maksim kualitas (maximofquality), maksim relevansi (maksim
ofrelevance) dan maksim pelaksanaan (maximofmanner)”. Dalam setiap maksim percakapan
tersebut, terdapat aturan yang diharapkan untuk dipatuhi oleh setiap partisipan.Kontribusi
menjadi kunci utama dalam prinsip kerjasama ini. Maksim kuantitas mengharapkan setiap
partisipan memberikan kontribusi sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tutur. Maksim
kualitas mengharapkan setiap partisipan memberikan kontribusi sesuai dengan fakta/
kenyataan dan tidak mengada-ada. Maksim relevansi mengharapkan setiap partisipan
memberikan kontribusi yang berhubungan dengan konteks pembicaraan. Maksim cara
mengharapkan setiap partisipan memberikan kontribusi secara langsung, jelas dan tidak
ambigu.
Dalam sebuah percakapan, prinsip kerjasama ini diharapkan dapat dipatuhi oleh setiap
partisipan. Namun, ketidakpatuhan terhadap prinsip kerjasama ini juga dapat terjadi. Salah
satu bentuk ketidakpatuhan tersebut adalah pelanggaran terhadap prinsip kerjasama.
Pelanggaran ini terjadi karena adanya implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh
penuturnya. Implikasi yang dimaksud berhubungan dengan implikasi makna tidak langsung/
makna tersirat, yang dalam ilmu pragmatik dikenal dengan istilah implikaturkonversasional.
Grice dalam (Wijana, 1996: 37) dalam artikelnya yang berjudul LogicandConversation
mengatakan bahwa “sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan
merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut dengan
implikatur”. Implikatur atau makna tersirat mengharapkan setiap partisipan untuk saling
memahami apa yang dituturkan oleh mitra tutur. Sehingga, dibutuhkan kerjasama yang baik
antar partisipan agar percakapan diantara keduanya berjalan dengan lancar.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara mengetahui speech act theory?
2. Bagaimana cara mengetahui the cooperative principle?
C. TUJUAN
Makalah ini di buat untuk memnabah pengetahuan tentang speech act theory dan the
cooperative principle.
BAB II
PEMBAHASAN
Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.Peristiwa tutur yang terjadi di
ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara, namun, para
partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda.Jaksa ingin
membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa
tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan dengan adil.
Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan
dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya dan hubungan antara apa yang
dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan
biasa, dan dalam pesta adalah berbeda.Begitu pula dengan isi yang dibicarakan.
Key, mengacu pada nada, cara dan semangat di mana suatu pesan disampaian dengan
senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan
sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan,
tertulis, melalui telegraf atau telepon.Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran
yang digunakan, seperti bahasa, dialek, ragam, atau register.
Norm of interaction and interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam
berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan
sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.
Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa
dan sebagainya.
Bahasa dalam keadaannya yang abstrak (karena berada di dalam benak) tidak bisa
langsung dicapai oleh pengamat tanpa melalui medium buatan seperti kamus dan buku tata
bahasa. Menurut pengalaman nyata, bahasa itu selalu muncul dalam bentuk tindakan atau
tingkah tutur individual. Karena itu tiap telaah struktur bahasa harus dimulai dari pengkajian
tindak tutur. Wujudnya ialah bahasa lisan.
Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin,
seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi
kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965) dengan judul HowtodoThingwith
Word ? tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969)
menerbitkan buku berjudul SpeechActandEssay in The PhilosophyofLanguage.
Speech act theory atau tindak tutur adalah gejala individual yang bersifat psikologis
dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi
situasi tertentu (Rohmadi,2004:29). Tindak tutur atau tindak ujar dapat dinyatakan bahwa
mengucapkan suatu ekspresi, pembicara tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan
mengucapkan ekspresi itu tetapi juga ‘menindakkan’ sesuatu.Tindak tutur merupakan suatu
tindakan yang diikuti oleh pengungkapan kata-kata atau kalimat, yang didukung oleh ekspresi
tertentu.Dalam tindak tutur, satu bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi dan di
dalam komunikasi yang sebenarnya satu fungsi ujaran dapat dinyatakan, dilayani atau
diutarakan dalam berbagai jenis ujaran.Dalam menyampaikan maksud tersebut ada yang
disampaikan dengan tindak tutur langsung dan ada yang disampaikan dengan tindak tutur
tidak langsung.
Didalam bukunya How To Do Things With Words, Austin (1962:1-11) membedakan
tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif.
Tindak tutur konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat
di uji benar atau salah dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia.Sedangkan tindak
tutur performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan
sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan tuturan itu salah atau benar tetapi shahih
atau tidak.
Dalam peristiwa tutur dilihat tujuan peristiwanya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat
pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.
1. Kalimat deklaratif, adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang
mendengar kalimat itu untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa, sebab
maksud si pengujar hanya untuk memberitahukan saja.
2. Kalimat interogatif, adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang
mendengar kalimat itu untuk memberi jawaban secara lisan.
3. Kalimat imperatif, adalah kalimat yang isinya meminta agar si pendengar atau yang
mendengar kalimat itu memberi tanggapan beruapa tindakan atau perbuatan yang
diminta.
Pembagian kalimat atas kalimat deklaratif, interogatif, dan impertif adalah berdasarkan
bentuk kalimat itu secara terlepas. Artinya kalimat dilihat atau dipandang sebagai satu bentuk
keutuhan tertinggi. Kalau kalimat atau kalimat-kalimat itu dipandang dan tataran lebih tinggi,
yakni dari tingkat wacana, maka kalimat-kalimat tersebut dapat saja menjadi tidak sama
antara bentuk formalnya dengan bentuk isinya. Ada kemungkinan kalimat deklaratif atau
kalimat interogatif tidak lagi berisi pernyataan dan pertanyaan, tetapi menjadi berisi perintah.
Austin (1962) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat
konstatif dan kalimat performatif. Kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan
belaka, seperti “ Ibu dosen kami, cantik sekali”, atau “ pagi tadi dia terlambat bangun”.
Kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuannya. Artinya, apa yang diucapkan
oleh si pengujar berisi apa yang dilakukannya. Misalnya, kalau seorang rektor mengatakan, “
dengan mengucap Bismillah acara lomba joged ini saya buka”, maka makna kalimat itu
adalah apa yang diucapkannya.
Austin (1962: 150-163) menjadi kalimat performatif menjadi lima kategori:
Kalimat tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962: 100-
102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
1. Tindak Tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata”
atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Misalnya, “
ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya”. Searle menyebut tindak tutur
lokusi ini dngan istilah tindak bahasa preposisi karena tindak tutur ini hanya berkaitan
dengan makna.
a. Utterance acts, suatu kata atau suara yang diucapkan yang tidak memiliki
arti yang berarti. Contoh : Oh! (ketika terkejut)
b. Propositional acts, makna baru yang dibentuk oleh susunan kata, tanpa ada
komunikasi yang dimaksudkan. Contoh : kucing hitam.
2. Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat
performatif yang eksplisit. Tindak ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin,
mengucapkan terima kasih, menyuruh menawarkan, dan menjanjikan. Misalnya, ibu
guru menyuruh saya agar segera berangkat”. Kalau tindak tutur ilokusi hanya berkaitan
dengan makna, maka makan tindak tutur ilkusi berkaitan dengan nilai, yang dibawakan
preposisinya.
Jenis-jenis Ilokusi :
3. tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain
Tindak sehubungan dengan sikap dan perilaku non linguistik dari orang lain itu.
Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “ mungkin ibu menderita
penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik atau sedih. Ucapan si dokter itu
adalah tindak tutur perlokusi.
Catatan
Ada kemungkinan jadi untuk merasa kesu;itan untuk mengenali apakah suatu kalimat
berupa lokusi, ilokusi maupun perlokusijika tidak berhadapan langsung dengan seorang
penetur kalimat dan keadaan /suasana pada saat kalimat itu dituturkan. Contoh:”dingin
sekali disini”.
Regulative Rule
Adalah suatu aturan yang berhubungan dengan kondisi suatu bentuk tingkah laku
tertentu pada suatu peristiwa. Contoh: “anak-anak dilarang bermain bola diatas
rumput”
Constitutive Rules
Adalah suatu aturan yang mendefinisikan tingkah laku itu sendiri.contoh:’’seorang
pemain bola akan di nyatakan offside,apabila…”
Felicity Condition
Adalah kondisi yang harus ada dan kriteria yang harus dipenuhi untuk tindak tutur untuk
mencapai tujuannya.Kondisi ini tideak menyatakan benar atau salah tetapi sah atau tidak
sah.Contoh : saya berkata “ saya berkata sekolah dibubarkan”.
Dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari manusia akan selalu bertemu dan berinteraksi
dengan orang lain. Dalam berinteraksi dengan orang lain, manusia menggunakan bahasa
sebagai media komunikasi. Di dalam komunikasi yang wajar, masing-masing pihak yang
terlibat, yaitu antara penutur dan mitra tutur akan selalu berusaha menyampaikan tuturannya
secara efektif dan efisien. Hal ini senada dengan pendapat Wijana (1996:450) yang
mengatakan bahwa seorang penutur akan berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan
konteks, jelas dan mudah dipahami, padat dan ringkas dan selalu pada persoalan sehingga
tidak menghabiskan waktu lawan bicara.
Agar tuturan –tuturan dapat diutarakan dapat diterima oleh lawan bicaranya, penutur
pada lazimya mempertimbangkan secara seksama berbagai faktor pragmatik yan terlibat atau
mungkin terlibat dalam suatu proses komunikasi tersebut (Wijana, 2004:54). Secara
sederhana ada tiga aspek yang dipertimbangkan oleh penutur dan lawan tutur. Aspek-aspek
itu adalah prinsip kerjasama, prinsip kesopanan dan parameter pragmatik. Berikut akan diulas
salah satunya, yaitu prinsip kerjasama.
Grice (1975:45-47) mengemukakan bahwa wacana yang wajar dapat terjadi apabila antara
penutur dan petutur patuh pada prinsip kerja sama komunikasi. Prinsip kerja sama tersebut
terdiri dari empat maksim percakapan (conversational maxim), yaitu:
A. MAKSIM KUANTITAS
Dalam pertuturan setiap peserta percakapan diharuskan untuk memberi sumbangan informasi
yang dibutuhkan saja, dan jangan memberikan sumbangan yang lebih informatif daripada
yang diperlukan. Misalnya penutur yang wajar tentu akan memilih tuturan (1) dibanding
dengan tuturan (2) :
Tuturan 1 dianggap lebih efektif dan efisien, serta mengandung nilai kebenaran (truth value).
Setiap orang tentu paham bahwa orang buta pasti tidak dapat melihat. Dengan demikian
elemen tidak dapat melihat dalam tuturan (2) dianggap berlebihan. Adanya elemen yang tidak
dapat melihat dalam (2) dianggap bertentangan dengan maksim kuantitas karena hanya
menambahkan hal-hal yang sudah jelas dan tidak perlu diterangkan lagi.
Contoh lain dapat dijumpai dalam kalimat bahasa Inggris dari Beatrice (1997) dalam
bukunya Reading Power, sebagai berikut :
(3) John put on his raicoat, picked up his umbrella from the table near the door, turned off
the lights, put out the cat, got ready for his ten-minute walk to the bus-stop
Dalam tuturan yang wajar kalimat (3) dianggap terlalu panjang. Oleh karena itu untuk
mengungkapkan konsep yang sama, tuturan (4) cenderung lebih digunakan.
B. MAKSIM KUALITAS
Maksim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memberikan sumbangan informasi
yang benar. Dengan kata lain baik penutur maupun mitra tutur tidak mengatakan apa-apa
yang dianggap salah, dan setiap kontribusi percakapan hendaknya didukung oleh bukti yang
memadai. Apabila dalam suatu pertuturan ada peserta tutur yang tidak mempunyai bukti yang
memadai mungkin ada alasan-alasan tertentu yang mendasarinya. Perhatikan tuturan (5)
berikut ini
B : Menurut buku Grice yang saya baca, ada empat maksim dalam prinsip kerja
sama.
cara(pelaksanaan).
Pada contoh di atas, (B)memberi sumbangan informasi yang benar, bahwa menurut buku
Grice yang dia baca ada empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim
relevansi dan maksim cara (pelaksanaan).
C. MAKSIM RELEVANSI
Ketika A mengatakan kepada B bahwa ada seseorang yang datang di depan pintu
rumah mereka dan berharap B untuk membukakan pintu untuk tamu itu, maka B mengatakan
bahwa dia sedang berada di kamar mandi pada saat itu. Jawaban B mengimplikasikan bahwa
dia mengharapkan A untuk mengerti di mana B berada pada saat itu, sehingga B tidak bisa
membukakan pintu dan melihat siapa yang datang pada saat itu. Dengan demikian, maka
dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara peserta tutur tidak selalu terletak pada makna
ujarannya, tetapi dapat pula terletak pada apa yang diimplikasikan ujaran tersebut.
D. MAKSIM PELAKSANAAN
Dengan maksim ini, para peserta pertuturan diharapkan untuk berbicara secara langsung,
tidak kabur, tidak taksa dan tidak berlebih-lebihan serta runtut. Dalam wacana tuturan sehari-
hari sering dapat dijumpai seorang penutur yang dengan sengaja tidak mengindahkan maksim
ini, seperti yang terlihat pada dialog yang diambil dari Parker (1986) di bawah ini:
(Parker, 1986)
Dalam dialog (10),ejaan dalam tuturan B tersebut bertujuan untuk membuat anak
yang menggemari Mc. Donalds tidak menyadari bahwa orangtuanya tidak ingin makan di
Mc. Donalds.Seorang penutur harus menafsirkan kata-kata yang digunakan oleh lawan
bicaranya. Secara taksa (ambigu) berdasarkan konteks pemakaiannya. Hal ini berdasarkan
prinsip ketaksaan (ambiguitas) tidak akan muncul bila kerjasama antara peserta tindak tutur
selalu dilandasi oleh pengamatan yang seksama terhadap kriteria-kriteria pragmatik yang
digariskan oleh Leech dengan konsep situasi tuturnya. Dialog (8) di bawah ini memberikan
gambaran yang nyata mengenai kalimat taksa
A: Aduh, mas ini GR banget. Maksud saya, KTP asli saya mana ?
Dialog tersebut sering terjadi ketika (A) sedang memfotokopi KTP di sebuah tempat fotokopi
di Jogja. Setelah KTP selesai difotokopi, (A) bermaksud meminta KTP yang asli dengan
mengatakan “Mas, aslinya mana?” dan ternyata ditafsirkan keliru oleh (B) karena dia
menyangka bahwa (A) menanyakan asal-usul dia. Tuturan yang bersifat taksa seperti ini
sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat membuat malu bagi pihak yang salah
menafsirkan sebuah tuturan. Oleh karena itu, seyogyanya para peserta tutur menyadari bahwa
hanya dengan memberikan kontribusi yang kooperatif maka sebuah komunikasi dapat
berjalan dengan wajar.
PELAKSANAAN MAKSIM
Bentuk ketaatan (observing) maksim adalah dengan berujar atau berkomunikasi sesuai
dengan ketentuan yang dijelaskan dalam tiap-tiap maksim yang telah dijelaskan di atas.
1. Penyimpangan Maksim
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam maksim kuantitas menghendaki tiap
peserta tuturan memberi kontribusi yang cukup dan sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan
bicaranya. Tetapi tidak selalu tuturan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan dari maksim
kuantitas, seperti dalam tuturan:
B: No
A: [Bends down to stroke it and gets bitten] ow! You said your dog doesn’t bite
Di dalam percakapan di atas, si istri tidak ini mengatakan hal yang sebenarnya ketika
suaminya bertanya berapa harga baju baru yang dia beli. Si istri menjawab pertanyaan
suaminya itu dengan menyebutkan harga yang lebih rendah daripada harga yang sebenarnya.
Si Istri berusaha untuk tidak mengatakan hal yang sebenarnya, karena dia khawatir kalau
suaminya akan marah kepadanya kalau dia tahu bahwa harga baju barunya itu sangat mahal.
c) Pelanggaran maksim relevansi
Terjadi pelanggaran terhadap maksim relevansi jika pembicara tidak memberikan kontribusi
yang relevan dengan masalah pembicaraan.
Contoh
(Joan Cutting:2002:40)
Pada contoh dialog (11), ketika suami bertanya kepada istrinya tentang berapa harga baju
baru yang dia beli itu, istrinya menjawab dengan jawaban yang tidak relevan dengan apa
yang ditanyakan oleh suaminya tersebut.
Terjadi pelanggaran terhadap maksim pelaksanaan jika pembicara tidak berbicara secara
langsung. Tuturannya kabur, taksa (ambigu) berlebihan dan tidak runtut.
Contoh:
(12) Husband: How much did the new dress cost, darling?
Pada contoh dialog (12), ketika suami bertanya kepada istrinya tentang harga baju baru yang
dia beli, istrinya memberikan jawaban yang tidak jelas. Jawabannya kabur dan ambigu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Speechact atau tindak tutur pertama kali di kenalkan oleh Austin (1911-1960) dalam
bukunya yang berjudul Howto Do ThingswithWords (1965). Menurutnya, saat bertutur, orang
tidak hanya bertutur namun juga melakukan suatu tindakan. Misalnya, pada tuturan I bet
youtenpenceshewillcometomorrow, penutur tidak hanya bertutur, namun juga melakukan
tindakan, yakni bertaruh. Tuturan seperti itu disebut tuturan performatif. Tuturan performatif
adalah lawan dari tuturan konstatif, yakni tuturan yang dapat dinyatakan benar atau takbenar.
Dalam ilmu sosial secara umum dan linguistik secara khusus, prinsip kerja sama
menggambarkan bagaimana orang mencapai komunikasi percakapan yang efektif dalam
situasi sosial yang umum — yaitu, bagaimana pendengar dan penutur bertindak secara
kooperatif dan saling menerima satu sama lain untuk dipahami dengan cara tertentu. Seperti
yang diungkapkan oleh Paul Grice, yang memperkenalkannya dalam teori pragmatisnya
DAFTAR ISI
SAMPUL........................................................................ i
KATA PENGANTAR........................................................ 1
DAFTAR ISI.................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN.................................................... 3
A. LATAR BELAKANG................................................. 3
B. RUMUSAN MASALAH............................................ 4
C. TUJUAN................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN..................................................... 5
A. SPEECH ACT THEORY............................................. 5
B. THE COOPERATIVE PRINCIPLE............................... 8
BAB III PENUTUP........................................................... 13
A. KESIMPULAN........................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA......................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
Austin, J.L. (1962), Howto Do ThingsWithWords, New York: OxfordUniversityPress
Chaer, A. (2010), Kesantunan Berbahasa, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 26–31
Kushartanti (2009), "Pragmatik", dalam Kushartanti, Yuwono, U., Lauder, M., Pesona Bahasa,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 109–110
Searle, J.R. (1969), SpeechAct, London: CambridgeUniversityPress
Cutting, Joan. 2002. PragmaticsandDiscourse: A Resource BookforStudents. New York:
Routledge
Leech, Geoffrey. 1991. PrincipleofPragmatics. London: Longman
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: OxfordUniversityPress
Cameron, D. (2001). WorkingwithSpokenDiscourse. London: Sage Publications. ISBN 978-
0761957737.
Mey, Jacob (2001). Pragmatics: An Introduction. Blackwell. pp. 76–77. ISBN 978-0631211327.
Wardhaugh, Ronald (2006). An IntroductiontoSociolinguistics. Blackwell. ISBN 978-1118732298.
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah AWT. Berkat rahmat dan
karunia-Nya Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan makalah ini,dalam rangka memenuhi
tugas individu.Penyusun sudah berusaha dengan segala kemampuan untuk menyusun
makalah ini dengan baik. Meski demikian sebagai manusia biasa tidaklah selalu terlepas dari
kesalahan maupun kekurangan. Dalam penulisan makalah yang berjudul “ Speech Act
Theory Dan The Cooperative Principle ” ini saya menyadari makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan,tetapi saya tidak akan menyerah begitu saja,saya akan terus berusaha
mempersembahkan yang terbaik. Maka dari itu saya sangat mengharapkan
bantuan,bimbingan,arahan,sertamotifasi,kritik dan saran yang bersifat membangun guna
mencapai hasil yang lebih baik lagi.