Anda di halaman 1dari 29

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. KAJIAN TEORI
1. Bahasa
Bahasa merupakan sarana komunikasi, oleh karena itu yang berkaitan dengan komunikasi
tidak terlepas dari bahasa. Menurut Yendra (2018:4) bahasa merupakan bunyi yang
mengandung makna, lambang bunyi, dan yang dikeluarkan dari sistem arbiterari manusia
dengan situasi yang wajar, kemudian digunakan sebagai alat komunikasi. Menurut Siswanto
(2015:10) bahasa adalah alat yang digunakan untuk berkomunikasi dengan manusia lain
dalam sehari-hari. Bahasa merupakan suatu ungkapan secara lisan dan tulis yang memiliki
makna keterkaitan dengan keadaan sosial manusia (Sunadi, 2014:4)

Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yaitu untuk menuangkan ide, gagasan, konsep,
pesan, dan maksud tertentu dari seseorang. Selain itu, bahasa juga berfungsi untuk bekerja
sama dan mengidentifikasi diri. Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling praktis dan
sempurna dibandingkan alat-alat komunikasi lainnya seperti morse, bendera, tanda- tanda
lalu lintas, dan sebagainya.

Keraf (2014:3) mengemukakan bahwa fungsi bahasa terdapat empat yang pertama
sebagai alat untuk mengekspresikan diri. Mengekspresikan diri berarti mengutarakan segala
apa yang dirasakan oleh pikiran dan perasaan manusia. Kedua sebagai alat komunikasi yang
digunakan untuk bertukar pendapat, karena pada dasarnya manusia tidak lepas dari kegiatan
komunikasi agar dapat menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ketiga sebagai
adaptasi sosial dan fungsi bahasa. Dalam kehidupan masyarakat selalu membutuhkan adanya
keberadaan untuk saling menerima dan mengakui antar masyarakat. Dalam keberadaan itulah
manusia akan melakukan adaptasi untuk menggunakan bahasa sebagai perantaranya. Dalam
proses ini dengan bahasa seorang anggota masyarakat akan memahami dan mendalami
segala adat istiadat, tingkah laku, dan tata krama. Oleh karena itu, bahasa memiliki peran
penting untuk membentuk keselarasan kehidupan masyarakat dalam proses berbaur dan
adaptasi. yang keempat yaitu sebagai alat mengadakan kontrol sosial maksudnya adalah
bahasa memberikan tindakan seseorang sebagai usaha untuk mempengaruhi pikiran dan
tindakan orang. Hampir setiap hari kontrol sosial terjadi, misalnya guru menasehati
muridnya, dokter menasehati pasiennya untuk menjaga kesehatan. Untuk itu, diperlukan
penggunaan bahasa yang mudah dimengerti. Dengan menggunakan bahasa yang baik dan
mudah dimengerti oleh karena itu, seseorang dapat mempengaruhi pikiran dan tindakan
orang lain sesuai dengan tindakannya.

2. Pragmatik

Pragmatik merupakan salah satu cabang linguistik yang mempelajari syarat serasi
tidaknya penggunaan bahasa dalam komunikasi. Menurut Yule (2016: 3), pragmatik
merupakan kajian tentang makna yang berhubungan dengan apa yang disampaikan oleh
penutur atau penulis agar penyampaian maksud dapat diterima oleh pembaca atau pendengar.
Pragmatik merupakan tuturan yang diucapkan secara khusus di dalam situasi tertentu dan
memusatkan perhatian kepada aneka ragam yang merupakan wadah konteks sosial.
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji struktur bahasa secara eksternal
yang mana kala satuan kebahasaan digunakan di dalam berkomunikasi. Pragmatik
merupakan ilmu bahasa yang mempelajari keadaan penggunaan bahasa manusia yang pada
dasarnya ditentukan oleh konteks yang melatarbelakangi bahasa itu (Rahardi 2015: 49).

Pragmatik ialah ilmu bahasa yang berkaitan dengan serasi tidaknya penggunaan bahasa di
dalam situasi tertentu agar penyampaian dari penutur dapat tersampaikan oleh lawan tutur
sesuai dengan konteks yang bicarakan. Pada dasarnya pragmatik terdapat konteks, peristiwa
tutur, situasi tutur, tindak tutur dan tuturan. Pragmatik mengartikan makna yang berhubungan
dengan konteks tuturan, sehingga terdapat beberapa aspek dalam ilmu pragmatik. Aspek-
aspeknya yaitu; (a) penulis berperan sebagai penutur dan pembaca berperan sebagai
pembaca, sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu pragmatik tidak hanya mengkaji bahasa
lisan, namun juga bahasa tulis; (b) aspek-aspek yang sesui tentang latar fisik dan sosial
berasal dari konteks ujaran. Dapat disimpulkan bahwa konteks tersebut berarti sebagai situasi
pada tuturan tersebut; (c) tuturan ujaran memiliki makna tertentu, sehingga pembicara dan
penyimak saling berorientasi (Tarigan, 2019:32).

Rahardi (2013:15) menyatakan pragmatik adalah salah satu dari ilmu bahasa yang
berfungsi untuk mempelajari kegunaan dari bahasa yang pada dasarnya di dalam pragmatik
terdapat konteks, peristiwa tutur, situasi tutur, tindak tutur, dan tuturan.

a. Konteks

Pragmatik membahas makna, sehingga dibutuhkan konteks untuk menganalisis tuturan


(Nadar, 2019:4). Konteks merupakan aspek-aspek yang membahas mengenai lingkungan fisik
dan sosial dari sebuah tuturan. Selaras dengan pendapat sebelumnya, Nadar (2019:4)
berpendapat konteks merupakan keadaan lingkungan yang membutuhkan penutur dan mitra tutur
untuk dapat berinteraksi, dan membuat ucapan atau ujaran yang dapat dimengerti. Konteks
adalah sesuatu yang berhubungan dengan kejadian yang menjadi sarana memperjelas suatu
maksud dengan apa yang dilakukan. Rustono (2019: 19) konteks memiliki dua sarana yaitu
sarana ekspresi dan sara situasi. Sarana ekspresi merupakan sebagai sarana untuk memperjelas
maksud. Di dalam ko-teks, ekspresi mendukung kejelasan suatu maksud tuturan dengan
mendahuluinya. Seperti : “terima kasih”, “selamat jalan” sebagai rambu-rambu lalu lintas di
sebuah ujung jalan jelas didukung oleh ekspresi sebelumnya. Sarana situasi merupakan sarana
yang berhubungan dengan suatu kejadian yang sudah biasa terjadi atau sering terjadi disebut
dengan konteks (cotex).

Terdapat unsur-unsur pembangun dalam konteks. Rustono (2019:21) membagi unsur


tersebut menjadi sebelas yaitu sebagai berikut situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat,
adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Unsur sarana yang dimaksud dalam
konteks yaitu segala macam alat untuk berkomunikasi seperti gawai, surat, radio, televisi.

Ciri-ciri konteks menurut Rustono mencakup delapan hal yaitu penutur, mitra tutur, topik
tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode (dialek atau gaya) amanat atau
pesan dan peristiwa atau kejadian.

b. Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur merupakan terjadinya interaksi linguistik yang sedang berlangsung berupa
berupa satu atau lebih tuturan pada suatu topik yang melibatkan dua orang, seorang penutur dan
lawan bicaranya, pada waktu, tempat, dan situasi tertentu. (Chaer dan Agustina, 2016:47).
Seperti interaksi dan komunikasi dalam sebuah forum diskusi, transaksi jual beli baik di
swalayan maupun di pasar, interaksi sosial ketika naik kendaraan umum dan melakukan pos
ronda bersama. Seperti interaksi antara penumpang bus dengan penumpang lainnya pada waktu
tertentu yang menggunakan alat komunikasi bahasa.

Chaer dan Agustina (2010:47) mengemukakan bahwa peristiwa tutur dapat terjadi ketika
memenuhi syarat-syarat yaitu SPEAKING.

S (Setting atau Scene) setting yaitu tempat atau suasana peristiwa tutur. sedangkan scene
mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Bisa disimpulkan
bahwa saat melakukan komunikasi peristiwa tutur harus memperhatikan situasi dan kondisi.

P (Participant) adalah orang-orang yang terlibat dalam komunikasi tuturan, baik penutur
ataupun mitra tutur yang menerima pesan. Misalnya komunikasi antara teman, dosen dan orang
tua tentunya bahasa yang digunakan berbeda.

E (End) memiliki makna maksud dan tujuan pertuturan. Misalnya dosen memberikan
ilmu sedangkan mahasiswa sebagai pencari ilmu.

A (Act Sequences) mengacu pada bentuk ujaran serta isi ujaran. Bentuk ujaran ini
berkenaan dengan bagaimana cara penggunaannya, serta keterkaitan antara ujaran yang
dikatakan dengan tema topik yang dibicarakan. Misalnya pembicaraan di pasar, pembicaraan
saat diskusi, percakapan sehari-hari dan percakapan di dalam sebuah pesta. Begitu juga dengan
isi yang dibicarakan pastinya berbeda dengan topik yang dibicarakan.

K (Key) mengacu pada nada, cara dan semangat seperti salah satu pesan di
penyampaiannya dengan semangat, bergembira dan dapat ditunjukkan dengan gerak tubuh
ataupun isyarat.

I (Instrumentalities) mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan,
tertulis maupun gawai. Instrument ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti
bahasa, dialek, fragma, atau register.

N (Norm of Interaction and Interpretation) mengacu pada pedoman norma atau aturan
yang berlaku dalam melakukan interaksi komunikasi. Misalnya dalam komunikasi dalam
mengajukan pertanyaan,memberikan sebuah jawaban serta meminta sesuatu hal.
G (Genres) mengarahkan pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
peribahasa, doa, dan sebagainya. Seperti pembacaan doa, pembacaan pidato, pembacaan puisi.

c. Tuturan

Tuturan menurut Kridalaksana (2016:222) merupakan kalimat yang dilisankan.


Maksudnya tuturan adalah pemakaian satuan bahasa seperti kalimat seorang penutur tertentu
pada situasi tertentu. Berikut kutipan tuturan yang dimaksudkan:

KONTEKS : P2 YANG MENGGODA P1 UNTUK SEGERA MENIKAH

P1 : “Aku udah nemu tempat magang”

P2 : “Serius, Terus dapat pacarnya kapan?”

P1 : “Ye gak penting”

P2 : “Penting atuh kalau kemana mana ada yang nemenin”

Pada tuturan di atas ketika P2 bertanya kapan dapat pacarnya dan P2 memberikan alasan
bahwa memiliki pacar sangat penting karena kalau mau pergi kemana-mana ada yang nemenin.
Hal tersebut dipahami oleh P2 karena P2 memahami konteks untuk menyuruh P1 segera
menikah.

3. Prinsip Percakapan

Prinsip percakapan (conversational principle) adalah prinsip yang mengatur percakapan


antar pesertanya agar dapat berkomunikasi secara kooperatif dan santun (Rustono, 2019:51).
Prinsip percakapan dibagi menjadi dua yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) dan
prinsip kesantunan (politeness principle). Prinsip kerja sama (cooperative principle)
dikemukakan oleh Grice yang dijabarkan menjadi empat bidal yaitu bidal kuantitas, bidal
kualitas, bidal relevansi, dan bidal cara. Prinsip kesantunan (politeness principle) dikemukakan
pertama oleh Lecch (2015:132) yang meliputi bidal ketimbangrasaan, bidal kemurahhatian, bidal
keperkenaan, bidal kerendahhatian, bidal kesetujuan, dan bidal kesimpatian. Kedua prinsip
tersebut memiliki aturan yang berbeda dalam kebudayaan dan masyarakat yang berbeda, stuasi
yang berbeda, serta kelas sosial yang berbeda (Lecch, 2015:15).

a. Prinsip Kerja Sama


Penutur yang tidak memberikan kontribusi terhadap koherensi percakapan, berarti sama
dengan tidak mentaati prinsip percakapan (Rustono, 2019:53). Jika penutur tidak mentaati
prinsip percakapan, maka komunikasi tersebut akan terhambat dan maksud yang disampaikan
tidak akan sampai ke penerima pesan. Kridalaksana (2018:199) berpendapat bahwa prinsip kerja
sama (cooperative principle) adalah kesepakatan tersirat antara penutur bahasa untuk mengikuti
seperangkat konvensi dalam berkomunikasi. Seperangkat konvensi dibutuhkan agar komunikasi
antara penutur dengan lawan tutur dapat berlangsung dengan lancar.

1) Bidal kuantitas

Bidal kuantitas memiliki prinsip memberikan informasi yang mengarahkan kontribusi


yang cukup dari penutur ke lawan tutur di dalam percakapan (Rustono, 2019:54). Selaras dengan
Wijana (2016:46) bidal kuantitas merupakan penutur yang memberikan kontribusi yang
memaksimalkan ke pihak lain. Leech (2018:11) mengungkapkan bidal kuantitas yaitu
memberikan informasi yang sesuai yaitu informasi yang diberikan harus seinformatif yang
diperlukan dan sumbangan informasi tersebut tidak boleh melebihi yang dibutuhkan. Pada
hakikatnya bidal kuantitas menjelaskan peserta percakapan wajib memberikan informasi yang
tepat dalam peristiwa tutur. Bidal kuantitas mengarah pada konstribusi yang memadai dari
seorang penutur dan mitra tutur di dalam suatu percakapan. Contoh:

(a) “Adik saya telah beristri”.

(b) “Adik saya yang laki-laki telah beristri”.

Tuturan (a) tentu dipilih penutur di dalam percakapan yang wajar daripada tuturan (b).
Hal tersebut terjadi karena percakapan yang wajar hanya membutuhkan kontribusi seperti yang
terdapat di dalam tuturan (a), sedangkan tuturan (b) memberikan kontribusi yang berlewah ke
dalam percakapan yang wajar.

2) Bidal Kualitas

Bidal kualitas menurut Leech (2016:11) memiliki prinsip informasi yang diberikan harus
benar. Menurut Rustono (2019:56) bidal kualitas berisi nasihat untuk memberikan kontribusi
yang benar dengan bukti-bukti. Bidal kualitas menurut Rustono (2019:56) memiliki dua ajaran
yaitu “Jangan mengatakan apa yang Anda yakini salah!” dan “Jangan mengatakan sesuatu yang
Anda tidak mempunyai buktinya!”. Sub bidal tersebut mewajibkan penutur dan mitra tutur
mengatakan hal yang benar. Contoh :

(a) Peringatan upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia diselenggarakan di Istana


Merdeka.

Tuturan (a) tersebut secara kualitatif benar karena memang penutur meyakininya dan
memiliki bukti yang cukup memadai tentang pelaksanaan peringatan itu. Bukti yang memadai
tentang tuturan (a) itu misalnya penutur menyaksikan berlangsungnya peristiwa itu di layar
televisi.

(b) Ibu kota provinsi Jawa Tengah Solo.

Tuturan (b) itu tidak kooperatif karena tidak memenuhi bidal kualitas. Ketidakbenaran
tuturan (b) itu memenuhi bidal kualitas. Ketidakbenaran tuturan (b) itu diketahui banyak orang,
setidaknya orang Indonesia yang terpelajar.

3) Bidal Relevensi

Bidal relevansi menurut Leech (2016:11) merupakan mengusahakan agar tuturan penutur
terdapat relevansinya. Penutur sebaiknya melakukan tuturan dengan hal yang relevan sesuai
dengan topik pembicaraan. Bidal relevansi menekankan tentang keterkaitan isi tuturan antara
penutur dan mitra tutur. Menurut Rustono (1999:56) bidal relevansi yaitu penutur disarankan
untuk mengatakan hal-hal yang relevan. Mengikuti nasihat bidal relevansi dapat dikategorikan ke
dalam pematuhan bidal relevansi. Sebaliknya, jika tidak mengikuti nasehat bidal relevansi dapat
dikategorikan ke dalam pelanggaran bidal relevansi. Contoh :

(a) A : “Aduh, aku laper nih, Pak”.

B : “Bagaimana kalau kita ke warung makan saja?”

Tuturan (a) yang dikatakan penutur B tersebut relevan dengan masalah yang dihadami di
dalam pembicaraan. Tuturan A berisi keluhan bahwa perutnya merasa lapar. Tuturan itu
menyebabkan B mengekspresikan tuturan yang sesuai atau terkait dengan pokok persoalan yang
diutarakan A.
Berikut merupakan contoh tuturan yang tidak memberikan konstribusi yang relevan.

(b) A : “Aduh, aku laper nih, Pak”.

B : “Sebentar guntingnya sedang saya pakai”.

Gunting yang dimaksud dalam tuturan (b) alat untuk menggunting, secara wajar tuturan
B tidak mengikuti bidal relevansi dan itu berarti tidak kooperatif. Perut lapar dan gunting (alat
pemotong) tidaklah merupakan dua hal yang etrkait di dalam kondisi yang wajar.

4) Bidal Cara

Bidal cara pada hakikatnya menjelaskan tentang tuturan yang terjadi antara penutur dan
mitra tutur dalam berkomunikasi haruslah dipahami. Bunyi dari bidal cara yaitu usahan agar
perkataan yang diujarkan dapat dipahami. Tuturan untuk dapat dipahami, maka seharusnya
menghindari pernyataan-pernyataan yang samar. Hindari ketaksaan atau ambiguitas, dan
mengusahakan untuk tidak panjang lebar.

Menurut Rustono (2019:57) ada empat subbidal yang merupakan jabaran dari bidal cara.

a) Subbidal 1 : Hindarkan ketidakjelasan tuturan!

b) Subbidal 2 : Hindarkan ketaksaan.

c) Subbidal 3 : Singkat (Hindarkan uraian panjang lebar yang berlebihan!)

d) Subbidal 4 : Tertib-teratur

Bidal keempat ini mewajibkan penutur berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak
taksa, tidak berlebih-lebihan, dan runtut. Berbicara jelas berarti penutur hendaknya
mengupayakan tuturan yang jelas dapat didengar dan maksud yang jelas pula. Contoh:

(a) Bersihkan kamar mandi!


Penutur yang normal dapat menangkap tuturan (a) dengan jelas. Hal kedunguan, mungkin
tuturan (a) menyebabkan penutur membebaskan semua benda yang ada di kamar mandi, tetapi
kedunguan-kedunguan merupakan ketidakhormatan. Sementara itu, tuturan (a) yang wajar
memang dimaksudkan untuk pentuur yang normal.

Makna taksa tidak dikehendaki di dalam bidal cara karenanya harus dihindari. Tuturan
(a) mengandung ketaksaan dan berarti melanggar bidal cara dan juga berarti tidak kooperatif.

(b) Apakah arti kata bisa!

Ketaksaan tuturan (b) terjadi karena ketidakjelasan kata bisa. Bahasa Indonesia ada dua
kata bisa, yang pertama berarti „dapat‟ dan yang kedua berarti „racun‟. Tuturan (b) akan sejalan
dengan bidal cara dan berarti kooperatif jika diubah menjadi tuturan (c) seperti berikut.

(c) Apakah arti nomina bisa itu?

Pembicaraan yang panjang lebar dan berlebihan utnuk menyampaikan sedikit maksud
harus pula dijauhi. Sebaliknya, supaya berbicara secara singkat justru disarankan.

b. Prinsip Kesantunan

Wijana (2016:55) mengungkapkan bahwa sebagai keterampilan berbahasa secara


interpersonal pragmatik membutuhkan (politeness principle) prinsip kesopanan ini berhubungan
dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri
adalah penutur dan orang lain sebagai lawan tutur. Senada dengan hal di atas, menurut Rahardi
(2015:60) dalam bertutur harus yang santun, agar maksud dari pesan dapat disampaikan dengan
baik kepada peserta tutur. Adanya komunikasi membertimbangan prinsip-prinsip kesantunan
berbahasa. Penelitian ini menggunakan teori dari Rahardi dan dikuatkan dengan menggunakan
teori Leech yang didasarkan pada kaidah-kaidah yang berlaku. Kaidah-kaidah tersebut meliputi
maxim-maxim. Rahardi menjelaskan prinsip kesantunan terdiri dari enam maxim, keenam
maxim yang dimaksudkan sebagai berikut. Beserta penjelasannya:

1. Maxim Kebijaksanaan

Maxim kebijaksanaan merupakan tuturan untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya


sendiri dan memaksimalkan keuntungan kepada pihak lain (Rahardi, 2015: 60). Maxim
kebijaksanaan dapat menghindari sikap dengki, iri hati, dan perilaku-perilaku lain yang kurang
santun terhadap mitra tutur.

Maxim kebijaksanaan merupakan tuturan yang berusaha membuat kerugian orang lain
sekecil mungkin dan membuat keuntungan orang lain sebesar mungkin (Leech, 2018:206).
Maxim kebijaksanaan dapat dilihat pada kutipan teks di bawah ini:

Sebaliknya pelanggaran maxim kebijaksanaan merupakan tuturan membuat kerugian


orang lain sebesar mungkin dan membuat keuntungan orang lain sekecil mungkin.

KONTEKS : P1 SEBAGAI MURID MENAWARKAN DIRI UNTUK


MEMBAWAKAN TAS KE RUANG KANTOR.

Tuturan I :

P1 : “Biar saya saja Bu yang membawakan Tas Ibu ke kantor. Ibu tunggu saja di ruang
kantor!”

P2 : “Terima kasih, Mas. Ibu tidak merasakerepotan kok”.

Tuturan II

P1 : “Biar saya saja Bu yang membawakan tas Ibu ke ruang kantor!”

P2 : “Nah, begitu dong. Jadi murid haruspengertian sama gurunya”.

Tuturan I mematuhi maxim kebijaksanaan. Hal tersebut karena tuturan I meminimalkan


biaya kepada pihak lain dan memaksimalkan keuntungan kepada pihak lain, yaitu dengan tidak
mengizinkan mahasiswa untuk membantu membawakan tasnya untuk diletakkan di ruang kantor.
Sementara itu, tuturan II melanggar maxim kebijaksanaan, yaitu memaksimalkan biaya kepada
pihak lain yaiu kepada gurunya karena sudah dibantu dibawakan tasnya oleh siswanya dan
meminimalkan keuntungan kepada pihak lain, yaitu dengan mengizinkan mahasiswa untuk
menghapuskan papan.

2. Maxim Kedermawanan

Maxim kedermawanan merupakan tuturan yang diharapkan menghargai orang lain


supaya mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi orang
lain (Rahardi, 2015:61). Menghargai orang lain dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan
keuntungan kepada pihak lain dan meminimalkan keuntungan kepada diri sendiri. Oleh karena
itu, dapat terciptanya rasa saling menghargai satu sama lain.

Maxim kedermawanan merupakan tuturan yang membuat keuntungan pribadi sekecil


mungkin dan membuat kerugian diri sendiri sebanyak mungkin (Leech, 2018:209).

Sebaliknya pelanggaran maxim kedermawanan merupakan tuturan yang membuat


keuntungan terhadap diri sendiri sebesar mungkin dan membuat kerugian terhadap diri sendiri
sekecil mungkin.

KONTEKS : MAHASISWA SEMESTER 6 MELAKUKAN LATIHAN MENJADI


PEWARA DI RUANG KELAS A.307.

Tuturan I :

P1 : “Kamu latihan menjadi pewaranya tadi bagus banget”.

P2 : “Biasa saja kok, Ran”.

Tuturan II :

P1 : “ Kamu latihan menjadi pewaranya tadi bagus banget”.

P2 : “Iya dong, siapa dulu?”

Tuturan I mematuhi maxim kedermawanan. Hal tersebut karena tuturan Imeminimalkan


keuntungan kepada diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan kepada pihak lain, yaitu dengan
tidak merasa dirinya bagus saat melakukan latihan menjadi pewara. Sementara itu, tuturan II
melanggar maxim kedermawanan, yaitu memaksimalkan keuntungan kepada diri sendiri dan
meminimalkan keuntungan kepada pihak lain, yaitu dengan menyombongkan dirinya bahwa
menadi pewaranya bagus.

3. Maxim Penghargaan

Maxim penghargaan merupakan tuturan yang bertujuan memberikan penghargaan kepada


orang lain supaya tuturan tersebut tidak saling mengejek, mencela, ataupun merendahkan
(Rahardi, 2015:62). Selaras dengan Rahardi, Leech berpendapat bahwa maksim penghargaan
yang memiliki istilah rayuan biasa digunakan untuk penghargaan yang tidak tulus (Leech, 2018:
211).

Maxim Penghargaan merupakan penutur yang meminimalkan penjelekan terhadap orang


lain dan memaksimalkan pujian terhadap orang lain (Jumanto, 2017: 87).

Sebaliknya pelanggaran maxim penghargaan merupakan tuturan yang memaksimalkan


penjelekan terhadap orang lain dan meminimalkan pujian terhadap orang lain.

KONTEKS : MAHASISWA SEDANG ULANG TAHUN DIBERIKAN KEJUTAN


KUE ULANG TAHUN SAHABATNYA SAAT JAM ISTIRAHAT DI KANTIN.

Tuturan I :

P1 : “Selamat ulang tahun, Star. Maaf hanya bisa memberikan kue ulang tahun ini ya!”

P2 : “Ini mah kamu baik banget. Terima kasih ya”.

Tuturan II :

P1 : Selamat ulang tahun, Star. Maaf hanya bisa memberikan kue ulang tahun ini ya!”

P2 : “Iya, ndak papa. Dari pada nggak dikasih kejutan”.

Tuturan I mematuhi maxim penghargaan. Hal tersebut karena tuturan I meminimalkan


penjelekkan kepada pihak lain dan memaksimalkan pujiankepada pihak lain, yaitu dengan
memuji kue ulang tahun yang diterimanya. Sementaraitu, tuturan II melanggar maxim
penghargaan, yaitu memaksimalkan penjelekkan kepada pihak lain dan meminimalkan pujian
kepada pihak lain, yaitu dengan memberikan respon dari pada ngak dikasih kejutan. 4. Maxim
Kesederhanaan

Maxim kesederhanaan merupakan maxim yang menunjukkan penutur yang


meminimalkan pujian kepada diri sendiri dan memaksimalkan penjelekan kepada diri sendiri
(Wijana dan Rohmadi, 2018:57).

Maxim kesederhanaan merupakan tuturan yang bersikap rendah hati dengan


menggurangi pujian terhadap diri sendiri (Rahardi, 2015:63).
Sebaliknya pelanggaran maxim kerendahan hati merupakan tuturan yang tidak
meminimalkan pujian terhadap diri sendiri dan tidak memaksimalkan pujian terhadap dirinya
sendiri.

KONTEKS : P1 MENGAJAK P2 UNTUK MENGERJAKANTUGAS PERKULIAHAN


BERSAMA DI RUMAH P1.

Tuturan I :

P1 : “Gas, nanti sehabis pulang kuliah ngerjain tugas di rumah sederhanaku ya. Buat
mengerjakan tugas dari Bu Yuli”.

P2 : “Iya, Shin. Rumahmu ngak sederhana kok, orang rumah kamu bagus kok Shin”.

Tuturan II:

P1 : “Gas, nanti sehabis pulang kuliah ngerjain tugas di rumah sederhanaku ya. Buat
mengerjakan tugas dari Bu Yuli.”

P2 : “Iya, Shin. Nanti ngerjain di istana kamu ya”.

Tuturan I mematuhi maxim kesederhanaan. Hal tersebut karena tuturan I meminimalkan


pujian kepada diri sendiri dan memaksimalkan penjelekkan kepada diri sendiri, yaitu dengan
merendahkan rumahnya dengan menyebutnya rumah sederhana. Sementara itu, tuturan II
melanggar maxim kesederhanaan, yaitu memaksimalkan pujian kepada diri sendiri dan
meminimalkan penjelekkan kepada diri sendiri, yaitu dengan meyebut rumahnya seperti istana.

5. Maxim Permufakatan

Maxim permufakatan merupakan maxim yang menaytakan bahwa penutur


meminimalkan ketidaksepakatan antara diri sendiri dengan orang lain dan memaksimalkan
kesepakatan antara diri sendiri dengan orang lain Leech (dalam Jumanto, 2017:87).

Maxim permufakatan merupakan tuturan yang digunakan untuk menemukan sebuah


permufakatan dan kecocokan di dalam bertutur (Rahardi, 2015:64).
Sebaliknya pelanggaran maxim permufakatan merupakan tuturan yang tidak
meminimalkan kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain dan tidak memaksimalkan antara
diri sendiri dengan orang lain.

KONTEKS : P1 YANG MEMINTA P2 UNTUK PULANG BARENG KARENA P1


INGIN BONCENG P2.

Tuturan I :

P1 :“Rin, nanti setelah pulang kuliah aku bonceng kamu ya?”

P2 : “Iya,Din nanti tak boncengin”.

Tuturan II :

P1 :“Rin, nanti setelah pulang kuliah aku bonceng kamu ya?”

P2 :”Ngak ah salah siapa ngak bawa motor”.

Tuturan I mematuhi maxim permufakatan. Hal tersebut karena tuturan I meminimalkan


ketidakkesepatan antara diri sendiri dan pihak lain dan memaksimalkan ketidakkesepakatan
antara diri sendiri dan pihak lain, yaitu dengan mengizinkan P1 untuk bonceng P2. Sementara
itu, tuturan II melanggar maxim permufakatan, yaitu memaksimalkan ketidakkesepakatan antara
diri sendiri dan pihak lain dan meminimalkan kesepakatan antara diri sendiri dan pihak lain,
yaitu dengan tidak mengizinkan P1 bonceng P2.

6. Maxim Kesimpatian

Maxim kesimpatian yaitu penutur memaksimalkan simpati antara diri sendiri dan pihak
lain serta meminimalkan antipati antara diri sendiri dan pihak lain. Hal tersebut selaras dengan
pendapat Chaer (2018:61) bahwa bidal kesimpatian adalah penutur harus memaksimalkan rasa
simpati dan meminimalkan rasa antipati terhadap mitra tutur. Selaras dengan Chaer, Rahardi
berendapat Maxim kesimpatian merupakan tuturan yang memaksimalkan rasa simpati, dan
meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya (Rahardi, 2015:65).
Sebaliknya, pelanggaran kesimpatian yaitu penutur memaksimalkanantipati antara diri
sendiri dan pihak lain dan meminimalkan simpati antaradiri senduri dan pihak lain.

KONTEKS : SUASANA SAAT SIDANG SKRIPSI DI RUANG KELAS A.308. P1


MENANGIS KARENA TERINGAT KELUARGANYA DI RUMAH.

Tuturan I :

P1 : “Kamu kenapa kok nangis, seharusnya kamu senang kan sudah sidang?”

P2 : “Saya teringat keluarga di rumah, Pak karenasudah beberapa bulan tidak pulang ke
rumah dan saat sidang pun harus jauh dari orang tua”.

P1 : “ Yang sabar,Nok nanti setelah ini kabari orang tuamu bilang kalau kamu sudah
ujian dan sudah lulus.”

P2 : “Iya, Pak terima kasih,Bapak. Mohon maaf ya, Pak jika saya menangis saat sidang”.

P1 : “Ngak papa, Nok semangat ya.”

Tuturan II :

P1 : “Kamu kenapa kok nangis, seharusnya kamu senang kan sudah sidang?”

P2 : “Saya teringat keluarga di rumah, Pak karenasudah beberapa bulan tidak pulang ke
rumah dan saat sidang pun harus jauh dari orang tua”.

P1 : “Ngak usah nangis, yang jauh dari orang tua itu tidak kamu saja”.

Tuturan I mematuhi maxim kesimpatian. Hal tersebut karena tuturan I meminimalkan


antipati antara diri sendiri dan pihak lain dan memaksimalkan simpati antara diri sendiri dan
pihak lain, yaitu dengan mengucapkan sabar dan memberikan semangat terhadap P2, tuturan II
melanggar maxim kesimpatian, karena memaksimalkan antipati antara diri sendiri dan pihak lain
dan meminimalkan simpati anatra diri sendiri dan pihak lain, yaitu dengan tidak ikut simpati
terhadap P2 yang sedangjauh dengan kedua orang tuanya.
4. Kesantunan Berbahasa
Seperti yang dikemukakan oleh Markhamah dan Atiqa Sabardila (2018:153) kesantunan
merupakan cara yang dilakukan oleh penutur saat berkomunikasi kepada lawan tuturnya agar
penutur tidak merasa tertekan, tersudut, dan tersinggung.
Menurut Zamzani (2017:2) kesantunan merupakan perilaku yang diungkapkan dengan
baik dan beretika. Kesantunan menjadi fenomenal kultural atau yang berhubungan dengan
budaya sehingga apa yang dianggap santun oleh suatu kultur, belum tentu sama dengan kultur
yang lain.
Fraser (melalui Rahardi, 2015: 38-40) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat empat
pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur.
1) Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social norm view).
Dalam pandangan ini, kesantunan dalam bertutur dipengarui oleh norma-norma sosial dan
budaya yang ada dan berlaku di dalam masyarakat. Kesopanan dalam berbicara sama dengan
kaidah penggunaan bahasa. aturan berbahasa (language etiquette). Misalnya mereka yang berani
melakukan perbuatan dimintai pertanggungjawaban atas kesalahannya.
2) Pandangan yang melihat kesantunan menjadi maksim percakapan (conversational maxim)
sebagai upaya penyelamatan muka (face saving). Pandangan kesantunan sebagai maksim
percakapan dianggap sebagai prinsip kesantunan (politeness principle) serta sebagai pelengkap
prinsip kerja sama (cooperative principle).
3) Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi syarat sebuah kontrak
percakapan (conversational contract). Bertindak santun sama dengan melakukan tindakan untuk
memenuhi syarat etika berbahasa. Misalnya ketika berbicara dengan teman guru, dosen maupun
orang tua pastinya menggunakan bahasa yang berbeda.
4) Pandangan kesantunan yang keempat berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Dalam
pandangan ini kesantunan sebagai indeks sosial (social indexing). Indeks sosial ada pada bentuk-
bentuk referensi sosial (social reference), honorific (honorific), dan gaya bicara (style of
speaking). Misalnya berbicara dengan atasan dan karyawan saat bekerja dengan teman sesama
karyawan pastinya bahasa yang digunakan lebih sopan saat berbicara dengan atasan saat bekerja.
Menurut Rahardi (2015:41) secara singkat ada tiga ketentuan untuk dapat terpenuhinya
kesantunan di dalam kegiatan bertutur. Ketiga ketentuan dapat disebutkan sebagai berikut: (1)
skala formalitas (formality scale), (2) skala ketidaktegasan (hesiancy scale), dan (3) skala
kesamaan atau kesekawanan (equality scale). Jadi menurut Rahardi (2015:41) dapat dikatakan
bahwa sebuah tuturan disebut santun apabila peserta tutur dapat merasa nyaman tidak terdengar
angkuh, tuturan tidak memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur dan lawan tutur bersikap
ramah.

5. Debat
a. Pengertian
Debat adalah suatu kegiatan yang saling membahas atau bertukar pendapat saat beradu
argumentasi antar dua pihak untuk mempertahanan pendapat masing-masing. Menurut Tarigan
(2013:70) debat pada dasarnya adu beragumentasi atau pendapat yang akan di sampai dari dua
belah pihak kelompok pro dan kontra hanya bertujuan mencari menang dari satu pihak.
Sebuah pengungkapan gagasan perseorangan terhadap suatu permasalahan dan saling
mempertahankan pendapatnya satu sama lain. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, Tim
Kemantrian Pendidikan dan Kebudayaan (2015:227) debat sebuah proses saling bertukar
pendapat untuk membahas suatu isu dengan masing-masing pihak yang berdebat memberi
alasan, bila perlu ditambah dengan informasi, bukti, dan data untuk mempertahankan pendapat
masing-masing. Kedua belah pihak saling menerima atau menolak mosi dengan menyatakan
argumen yang baik dan kuat untuk mempertahankan pendapatnya.
Debat merupakan suatu kegiatan bertukar pikiran antara dua orang atau lebih yang
masing-masing berusaha untuk mempengaruhi orang lain untuk menerima usulan yang
disampaikan oleh pembicara (Wiyanto, 2018:92). Usaha yang dilakukan untuk menyakinkan
orang lain itu, yaitu dengan cara mengungkapkan pendapat disertai dengan fakta yang benar dan
jelas.

b. Jenis Debat

Di dalam debat biasanya membahas suatu mosi. Mosi adalah masalah yang diperdebatkan
bermacam-macam disesuaikan dengan minat dan kebutuhan peserta. Tidak hanya itu, masalah
dalam debat juga disesuaikan dengan permasalahan yang terjadi pada masa kini. Berikut
penjelasan mengenai jenis debat menurut beberapa ahli.
Debat bisa dilihat berdasarkan bentuknya. Hendrikus (2015:121) mengatakan ada dua
bentuk debat di antaranya, debat Inggris dan debat Amerika. Dalam debat Inggris ada dua
kelompok yang berhadapan yaitu, kelompok pro dan kontra. Sebelum dimulai ditentukan dua
pembicara dari setiap kelompok. Tema dan nama para pembicara diperkenalkan. Dalam debat
Amerika juga sama dibagi kedalam dua kelompok. Bedanya, masing-masing regu menyiapkan
tema melalui pengumpulan bahan secara teliti dan penyusunan argumentasi yang cermat.

Berdasarkan bentuk, maksud, dan metodenya jenis debat menurut Tarigan (2018:95--96)
1) Debat parlementer/majelis (assembly or parlementary debating); 2) debat pemeriksaan
ulangan untuk mengetahui kebenaran pemeriksaan terdahulu (cross-examination debating); dan,
3) debat formal, konvensional, atau debat pendidikan (formal, conventional, or educational
debating).

Dari penjelasan Tarigan penulis dapat menyimpulkan bahwa jenis debat di antaranya,
debat parlementer, yaitu debat yang biasanya dilakukan oleh badan legislatif, kemudian yang
kedua adalah debat pemeriksaan ulangan yaitu, debat yang terjadi di kantor-kantor pengadilan,
dan yang terakhir debat formal yaitu, debat yang didasarkan pada konversi-konversi debat
bersama secara politis.

c. Ciri-ciri debat

Debat mempunyai ciri-ciri agar kita mudah menentuntukan dalam berdebat. Menurut
Maarif (2015:41) ciri dalam debat yaitu,

1) Debat memiliki pihak yang mengarahkan jalannya debat. Biasanya yang melakukan tugas ini
adalah seorang moderator

2) Hasil akhir atau kesimpulan debat didapat dengan cara voting maupun keputusan juri debat

3) Terdapat dua sudut pandang yaitu pro dan kontra

4) Terjadi kegiatan saling beradu argumentasi untuk memperoleh kemenangan salah satu pihak

5) Terdapat suatu proses untuk saling mempertahankan argumentasi di antara kedua belah pihak
yang sedang berdebat (pihak pro dan kontra)
6) Di sesi tertentu terdapat kegiatan hanya tanya jawab antar pihak yang berdebat dengan
dipimpin oleh moderator.

d. Unsur-unsur Debat

Debat dapat terwujud apabila unsur-unsurnya terpenuhi. Menurut Kemedikbud


(2016:179) unsur-unsur dalam debat, di antaranya:

1) Mosi ialah topik atau pernyataan positif yang akan menentukan arah dan isi untuk bahan
perdebatkan

2) Tim afirmasi ialah tim yang mendukung mosi atau topik saat beragumentasi

3) Tim oposisi ialah tim yang tidak mendukung atau menolak saat beragumen karena tidak setuju
dengan mosi

4) Tim netral ialah tim yang tidak mendukung atau menolak mosi. Tim netral tidak berpihak
kepada keduanya karena sebagai penengah

5) Moderator ialah orang yang mengatur jalannya debat

6) Penulis ialah orang yang bertugas mencatat jalannya debat dan menulis hasil atau simpulan

dari debat.

e. Struktur

Debat yang baik harus memenuhi struktur debat yang telah disepakati bersama. Menurut
Hendrikus (2015:113) struktur debat yang baik dan benar sebagai berikut,

1) Perkenalan harus dilakukan oleh masing-masing tim atau pihak (afirmasi, oposisi, dan netral)

2) Penyampaian argumentasi. Dalam debat, masing-masing tim pro maupun kontra


menyampaikan argumentasi atau gagasan tentang mosi yang telah diberikan. Penyampaian
argumentasi ini dimulai dari tim pro, lalu tim kontra, kemudian diakhiri oleh tim netral.

3) Melakukan debat merupakan hal utama. Tim harus diharuskan menyampaikan argumentasi
maupun sanggahan kepada lawan.

4) Kesimpulan merupakan hasil akhir debat yang sebelumnya diawali dengan penutup dan
disampaikan oleh masing-masing tim.

5) Keputusan diambil dari hasil vosting, mosi, resolusi, dan sebagainya. Jenis keputusan ada tiga
yaitu keputusan oleh para pendengar atau decision by the audience, keputusan oleh hakim atau
decision by judges, dan keputusan dengan kritis atau decision by critique.

f. Kaidah Kebahasaan Debat

Debat mempunyai aturan ragam bahasa yang dipakai. Menurut Hendrikus (2015:126)
ragam bahasa yang digunakan dalam debat merupakan ragam ilmiah yang harus memenuhi
syarat berikut,

1) Kaidah bahasa harus sesuai dengan bahasa baku Indonesia, baik melalui kaidah ejaan maupun
tata bahasa yang dipelajari seperti, pembentukan kata, frasa, klausa, kalimat, dan paragraf.

2) Menuangkan ide-ide yang akan diungkapkan harus benar dan memiliki fakta. Sehingga
penyampaiannya akan diterima secara logis, harus tepat dan langsung menuju sasaran.

3) Kata yang akan dipilih memiliki makna sebenarnya (denotatif).

g. Simpulan Hasil Debat

Tahapan terakhir dalam kegiatan debat adalah menyampaikan simpulan. Setiap tim
diharuskan menyampaikan simpulan akhir dari mosi yang telah diperdebatkan. Simpulan
tersebut dirumuskan berdasarkan pendapat dan argumen yang telah disampaikan sebelumnya.
Simpulan dalam debat disusun berdasarkan pendapat dan argumen yang telah disampaikan
sebelumnya, maka penalaran yang digunakan dalam menyusun simpulan debat termasuk dalam
penalaran induktif.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2016: 248) ada tiga cara untuk menarik
simpulan dalam debat dengan penalaran induktif yaitu, dengan cara generalisasi, analogi dan
sebab akibat.
1) Generalisasi

Penarikan simpulan yang termasuk dalam penalaran induktif, yaitu generalisasi. Seperti
yang kita ketahuai, penalaran merupakan cara berpikir tinggi seseorang yang logis dan tersusun
secara sistematis untuk memperoleh suatu simpulan. Generalisasi adalah suatu cara menarik
kesimpulan dari beberapa gagasan-gagasan yang disederhanakan. Menurut Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Guru (2015:248) penarikan simpulan dengan cara
generalisasi berpangkal pada pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus, fenomena-fenomena
khusus kemudian ditarik pernyataan yang bersifat general (umum).

Hal tersebut senada dengan pernyataan Wiyanto (2015:49) yang mengatakan bahwa
generalisasi merupakan proses penalaran yang mengandalkan beberapa pernyataan yang
mempunyai sifat tertentu untuk mendapatkan kesimpulan secara umum.

Begitu pula dengan pendapat Keraf (2017:43) generalisasi adalah suatu proses penalaran
yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu inferensi yang bersifat
umum yang mencakup semua fenomena tadi. Jadi penarikan simpulan tersebut bertolak dari
beberapa fenomena yang bersifat umum, yang mencakup semua fenomena tadi.

2) Analogi

Tahapan selanjutnya dalam penarikan simpulan hasil debat adalah analogi. Analogi
merupakan persamaan antara dua hal yang berlainan. Jadi dari dua pernyataan yang diungkapkan
dicari persamaannya terlebih dahulu, kemudian dari persamaan itu dijadikan satu simpulan yang
dapat mewakilkan pernyataan tersebut.

Tim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Peserta didik (2015:190) analogi
merupakan sebuah proses penarikan simpulan yang didasarkan perbandingan dua hal yang
berbeda, kemudian keduanya dibandingkan dan dilihat persamaannya. Kesamaan keduanya
inilah yang menjadi dasar penarikan simpulan. Hal tersebut senada dengan pernyataan Wiyanto
(2003:49) analogi cara menarik kesimpulan dengan membandingkan dua hal yang berbeda,
namun memiliki sifat yang sama. Sifat yang sama itulah yang kemudian dijadikan sebagai suatu
simpulan.
Begitu pula dengan pendapat Keraf (2017:48) suatu proses penalaran yang bertolak dari
dua peristiwa khusus yang mirip satu sama lain, kemudian menyimpulkan bahwa apa yang
berlaku untuk suatu hal akan berlaku pula untuk hal yang lain.

3) Sebab-Akibat

Penarikan kesimpulan secara induktif berikutnya adalah sebab-akibat. Dalam pola


penalaran ini kita dapat menarik kesimpulan yang bertolak pada penyebabnya dan akibat dari
suatu pernyataan tersebut. Hal yang harus dilakukan adalah mencari tahu dulu pernyataan mana
yang menjadi sebab dan akibatnya. Setelah diketahui baru kita dapat mengambil simpulan dari
proses sebab akibat tersebut. Tim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Peserta didik
(2015:190) pola penalaran ini, sebab bisa saja menjadi gagasan utamanya, sedangkan akibat
menjadi gagasan penjelasnya, atau bisa saja sebaliknya. Dalam debat, penarikan simpulan
dilakukan setelah pernyataan pendapat dan argumen disampaikan lebih dulu, maka pola akibat-
sebab lebih tepat digunakan dalam kegiatan menyimpulkan hasil debat.

Hal tersebut senada dengan pernyataan Keraf (2017:105) hubungan sebab-akibat, sebab
bisa bertindak sebagai gagasan utama, sedangkan akibat sebagai perincian pengembangannya,
tetapi dapat juga terbalik. Akibat dijadikan gagasan utama sedangkan untuk memahami
sepenuhnya akibat itu perlu dikemukakan sejumlah sebab segai perinciannya. Wiyanto (2018:49)
hubungan sebab akibat adalah hubungan ketergantungan antara gejala-gejala yang saling
berhubungan. Artinya dalam hubungan ini antara sebab dan akibat saling berkaitan tidak dapat
dipisahkan. Sebab bisa menjadi gagasan utamanya, dan akibat menjadi gagasan penjelasnnya
ataupun bisa terjadi sebaliknya.

6. Calon Presiden dan Wakil Presiden

Pengertian calon presiden dan wakil presiden yaitu : orang-orang yang memenuhi syarat
sebagai calon presiden dan namanya terdaftar di Komisi Pemilihan Umum sebagai peserta
pemilihan presiden. Seseorang bisa mencalonkan diri menjadi presiden/wakil presiden di
Indonesia harus memenuhi syarat presiden dan wakil presiden Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yaitu
sebagai berikut:
1) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2) Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain
karena kehendaknya sendiri
3) Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan
tindak pidana berat lainnya
4) Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden
dan Wakil Presiden
5) Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
6) Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan
penyelenggara negara
7) Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum
yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara
8) Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan
9) Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
10) Terdaftar sebagai Pemilih
11)Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar
pajak selama 5 tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
12)Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa
jabatan dalam jabatan yang sama
13)Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945
14)Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
5 (lima) tahun atau lebih
15) Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun
16)Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA),
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat
17)Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi
massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI
18)Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan Negara Republik
Indonesia.

Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden Sebelumnya, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Dengan adanya Perubahan UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada
MPR, dan kedudukan antara Presiden dan MPR adalah setara. Calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelumnya.
Pilpres pertama kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun 2004. Jika dalam Pilpres didapat
suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di setiap provinsi yang tersebar
di lebih dari separuh jumlah provinsi Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil
Presiden terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka
pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti Pilpres
Putaran Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam pilpres putaran kedua
dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.

Bagaimanapun juga dalam sebuah Negara yang menganut demokrasi presidensial, jabatan
Presiden sangatlah penting, selain sebagai kepala Negara juga sebagai kepala pemerintahan.
Oleh karena itu banyak hal sangat tergantung pada kepemimpinan Presiden. Kegagalan Presiden
bisa mengakibatkan sistem demokrasi itu sendiri gagal diterapakan dalam praktek. Oleh karena
demikian pentingnya jabatan presiden, sehingga cara memilihnya pun menjadi penting. Sebab, ia
pasti akan ikut mempengaruhi tingkat efektivitas politik Presiden terpilih (Triwahyuningsih,
2021: 12).

Pengertian Pilpres sendiri sudah termuat dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
Tentang “Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden” dan tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1
yaitu Tentang Ketentuan Umum yang berbunyi :

“Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, selanjutnya disebut Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden, adalah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasilan dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

B. KAJIAN PUSTAKA

Penelitian mengenai kesantunan berbahasa sebenarnya telah banyak dilakukan oleh


peneliti-peneliti terdahulu. Penelitian ini juga memerlukan dukungan dari hasil-hasil penelitian
yang telah ada sebelumnya, tentunya berkaitan dengan kesantunan berbahasa. Acuan pada
penelitian ini tentunya menggunakan penelitian yang relevan. Beberapa penelitian yang terkait
dengan penelitian ini sebagai berikut.

Gunawan (2014) dengan penelitian tentang “Representasi Kesantunan Brown dan


Levinson dalam Wacana Akademik (Brown And Levinson‟s Politeness Representation In
Academic Discourse)”. Hasil penelitian yang dikakukan oleh Gunawan ditemukan strategi
kesantunan negatif mahasiswa terhadap dosen yang meliputi penggunaan ungkapan tidak
langsung, penggunaan ungkapan yang penuh kehati-hatian dan cenderung pesimis, penggunaan
kata hormat, dan permintaan maaf, sementara strategi kesantunan positif mahasiswa terhadap
dosen berupa penggunaan penanda identitas kelompok, penggunaan basa-basi dan presuposisi,
penggunaan penawaran dan janji, serta mencari alasan atau memberikan pertanyaan. Persamaan
penelitian yang dilakukan oleh Gunawan dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan
kajian tentang kesantunan berbahasa. Perbedaan penelitian dari Gunawan dengan penelitian ini
terletak pada objek yang diteliti, pada penelitian yang dilakukan oleh Gunawan menggunakan
objek kajian Wacana Akademik (Brown And Levinson‟s Politeness Representation In Academic
Discourse)”.

Ponco Hapsari (2020) dalam penelitiannya berjudul Kesantunan Bahasa Dalam Sinema
Wajah Indonesia Lubang Tikus Karya Deddy Mizwar. Perbedaan penelitian Ponco dengan
penelitian ini yaitu objek kajian penelitian Ponco berupa film, sedangkan penelitian ini
menggunakan objek kajian debat. Penelitian Ponco berfokus untuk mendeskripsikan bentuk-
bentuk pematuhan dan pelanggaran kesantunan bahasa, fungsi pematuhan dan pelanggaran
kesantunan bahasa, dan faktor terjadinya pelanggaran dan pematuhan kesantunan berbahasa.
Penelitian ini berfokus untuk mendeskripsikan bentuk pematuhan dan pelanggaran prinsip
kesantunan berbahasa. Penelitian Ponco menggunakan metode padan, heuristik, dan normatif,
sedangkan penelitian ini meggunakan metode padan dan normatif. Penelitian Ponco belum cukup
untuk menunjukkan seberapa besar peran pematuhan dan pelanggaran kesantunan berbahasa
dalam mempengaruhi masyarakat sehingga keterkaitan antara kesantunan bahasa dengan budaya
masih perlu dikaji lebih mendalam.
Penelitian oleh Vita Aprilia Kartikasari (2020) dengan judul penelitian Kesantunan
Berbahasa Dalam Film Dilan 2020. Perbedaan penelitian Vita dengan penelitian ini yaitu jika
penelitian Vita menggunakan objek penelitian berupa film, sedangkan penelitian ini
menggunakan debat sebagai objek penelitiannya. Metode pengumpulan data yang digunakan
penelitian Vita hanya menggunakan metode simak, sedangkan penelitian ini menggunaka teknik
simak dan teknik catat. Hasil akhir dari penelitian Vita yaitu terdapat 34 bidal pematuhan dan 11
bidal pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa dalam film Dilan 1990. 34 bidal pematuhan
tersebut antara lain 2 bidal kebijaksanaan, 1 bidal kedermawanan, 6 bidal kesimpatian, 3 bidal
perminta maaf, 1 bidal pemberi maaf, 5 bidal perasaan, dan 2 bidal berpendapat dan bersikap
diam. 11 bidal pelanggaran prinsip kesantunan meliputi 1 bidal kebijaksanaan, 1 bidal
penghargaan, 3 bidal kesederhanaan, 4 bidal pemufakatan, 1 bidal pemberi maaf, dan 1 bidal
perasaan. Penelitian Vita menemukan paling banyak bidal pematuhan dan bidal pelanggaran
dalam film Dilan 1990 yaitu bidal pemufakatan.

Melalui penelitian Nella Risqi Romadhoni (2020) dengan judul Pelanggaran Prinsip
Kesantunan Berbahasa Dalam Naskah Drama Dag Dig Dug Karya Putu Wijaya. Perbedaan
penelitian Nella dengan penelitian ini yaitu jika penelitian Nella menggunakan naskah drama
sebagai objek penelitiannya, sedangkan penelitian ini menggunakan debat sebagai objek
penelitiannya. Tujuan penelitian Nella yaitu untuk mendapatkan data yang bersifat deskriptif
tentang kesantunan berbahasa yang mematuhi dan melanggar, sedangkan penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan bentuk pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa. Hasil
akhir penelitian Nella untuk alternatif sebagai bahan ajar di SMA, sedangkan penelitian ini
sebagai referensi di bidang pragmatik khususnya kesantunan berbahasa. Penelitian Nella
menggunakan variabel bebas dengan menggunakan naskah drama Dag Dig Dug Karya Putu
Wijaya dan variabel terikatnya yaitu alternatif bahan ajar di SMA, sedangkan penelitian ini tidak
menggunakan variabel. Penelitian Nella menggunakan metode simak dengan teknik simak bebas
cakap dan teknik catat sedangkan penelitian ini menggunakan teknik simak dan teknik catat.
Penelitian Nella menggunakan instrumen penelitian berupa langkah- langkah pelaksanaan
penelitian, sedangkan penelitian ini menggunakan kartu data untuk mencatat dan menganalisis
data. Penelitian Nella belum menggunakan penelitian langsung, sehingga belum dapat
mengetahui keefektifan buku teks sebagai alternatif bahan ajar.
Penelitian oleh Rosita Wulandari (2016) dengan judul Kesantunan Berbahasa Pada Acara
Mata Najwa di Metro Tv. Perbedaan penelitian Rosita dengan penelitian ini yaitu jika penelitian
Rosita menggunaka media elektronik televisi sebagai objek penelitian, sedangkan penelitian ini
menggunakan debat sebagai objek penelitian. Tujuan penelitian dari Rosita untuk
mendeskripsikan bidal-bidal kesantunan yang dipatuhi dan dilanggar, mendeskripsikan satuan
lingual, dan mendeskripsikan tingkat kesantunan, sedangkan penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan bentuk pematuhan dan pelanggaran kesantunan berbahasa. Penelitian Rosita
menggunakan landasan teori kesantunan berbahasa, satuan lingual yang mendukung kesantunan,
kesantunan pragmatik tuturan impratif dalam bahasa Indonesia, skala kesantunan dan situasi
tutur, sedangkan penelitian ini menggunakan landasan teori pragmatik, kesantunan berbahasa,
prinsip-prinsip kesantunan, dan podcast. Perbedaan penelitian Nella dengan penelitian ini yaitu
dengan cakupan dan perspektif yang berbeda, sehingga penelitian ini dapat memperoleh paparan
hasil yang mendalam.

Penelitian Anzhari Djumingin (2017) dengan judul Analisis Kesantunan Berbahasa Guru
dan Siswa Pada Kegiatan Presentasi Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII SMP Negeri 12
Makasar. Perbedaan penelitian Anzhari dengan penelitian ini yaitu penelitian Anzhari
menggunakan objek penelitian guru dan siswa dalam proses pembelajaran, sedangkan penelitian
ini menggunakan debat sebagai objek penelitiannya. Penelitian Anzhari menggunakan subjek
penelitian yaitu peristiwa berbahasa guru dan siswa dalam proses belajar mengajar bahasa
Indonesia. Teknik yang digunakan Anzhari yaitu teknik rekam, teknik transkripsi, dan teknik
catat, sedangkan penelitian ini menggunakan teknik simak dan teknik catat. Penelitian Anzhari
menggunakan analisis data berupa tabulasi data, penyajian data interpretasi dan penarikan
kesimpulan, sedangkan penelitian ini menggunkan analisis data dengan menggunakan teknik
analisis padan dengan teknik Pilah Unsur Penentun yang berfungsi untuk mengetahui makna dari
sebuah tuturan. Menggunakan teknik Hubung Banding Samakan (HBS) untuk mengetahui
tuturan yang terindikasi adanya kesantunan berbahasa. Menggunakan teknik Hubung Banding
Bedakan (HBB) yang berfungsi untuk mengkalsifikasikan tuturan yang diduga terindikasi
adanya pematuhan dan pelanggaran kesantunan berbahasa dan teknik Hubung Banding Samakan
Hal Pokok (HBSP) berfungsi untuk mengklasifikasikan tuturan yang terindikasi adanya
pematuhan dan pelanggaran kesantunan berbahasa. Penelitian Anzhari menggunakan alat rekam
berupa kamera Canon EOS 600D sebagai instrumen penelitian, sedangkan penelitian ini
menggunakan kartu data sebagai instrumen penelitian untuk mencatat dan menganalisis data.
Hasil akhir dari penelitian Anzhuri adalah terindikasi adanya beberapa tuturan kesantunan
berbahasa dari guru ke siswa dan siswa ke guru. Kesantunan berbahasa dari guru ke siswa
terdapat beberapa tuturan yaitu tuturan deklaratif, tuturan interogatif, tuturan imperatif dan
tuturan ekslamatif. Tuturan deklaratif yang mematuhi bidal kearifan, bidal pujian, dan bidal
kemufakatan. Tuturan interogatif yang mematuhi bidal kearifan dan bidal pujian. Tuturan
imperatif yang mematuhi bidal kearifan. Tuturan ekslamatif yang mematuhi bidal kearifan.
Tuturan kesantunan berbahasa dari siswa ke guru.

Penelitian Deby Harlia Putri Pratama (2019) yang berjudul Analisis Kesantunan
Berbahasa Guru dan Siswa Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Labuapi
dengan objek kajiannya guru dan siswa. Hasil akhir dari penelitian Deby yaitu mendeskripsikan
sejauh mana kesantunan berbahasa yang diterapkan dalam proses pembelajaran Bahasa
Indonesia di SMP Negeri 2 Labuapi. Perbedaan penelitian Deby dengan penelitian ini yaitu jika
penelitian Deby menggunakan objek kajian guru dan siswa, melakukan penelitian di sekolahan,
tidak menggunakan kartu data sebagai instrumen penelitian, dan hasil penelitian untuk
mengetahui seberapa jauh penggunaan kesantunan berbahasa di SMP Negeri 2 Labuapi dalam
proses pembelajaran Bahasa Indonesia sedangkan penelitian ini menggunakan objek kajian
berupa youtube, tidak melakukan penelitian di lapangan, menggunakan kartu data sebagai
instrumen penelitian dan hasil akhir dari penelitian ini untuk mendeskripsikan pematuhan dan
pelanggaran kesantunan berbahasa dalam debat Capres dan Cawapres tahun 2024.

Berdasarkan sejumlah paparan penelitian di atas, dapat ditarik simpulan bahwa


kesantunan berbahasa adalah salah satu topik yang menarik untuk diteliti. Penelitian ini berbeda
dengan penelitian sebelumnya jika penelitian sebelumnya, belum membahas secara mendalam
mengenai kesantunan berbahasa hanya sekadar mengetahui seberapa jauh diterapkannya
kesantunan berbahasa, sedangkan penelitian ini membahas lebih mendalam mengenai pematuhan
dan pelanggaran kesantunan berbahasa calon presiden dan wakil presiden dalam kontes Debat
Capres Cawapres tahun 2024 yang dikategorikan ke dalam enam maxim menurut Rahardi.
Keenam maxim tersebut meliputi maxim kebijaksanaan, maxim kedermawanan, maxim
penghargaan, maxim kesederhanaan, maxim permufakatan, dan maxim kesimpatian. Untuk itu,
penelitian ini sangat besar manfaatnya dan dapat memberi masukan dalam menyelesaikan thesis
ini.

Anda mungkin juga menyukai