Anda di halaman 1dari 27

BLAPORAN TINJAUAN KRITIS BUKU

(CRITICAL BOOK REPORT)

IDENTITAS BUKU I

Judul Buku : PRAGMATIK


Penulis : Dr. M. Oky F Gafari, S.Sos., M.Hum.
Penerbit : Padang Bulan
Kota Terbit : Medan
Tahun Terbit :2016
Edisi :-
Jumlah halaman : 128

IDENTITAS BUKU II

Judul Buku : Pragmatik & Pengajaran Bahasa


Penulis :Drs. M. Joharis Lubis, MM., M.Pd.
Penerbit : Unimed
Kota Terbit : Medan
Tahun Terbit : 2012
Edisi :-
Jumlah halaman :108

I. Pengantar
Buku I
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna tuturan penutur pada
situasi ujar tertentu. Pada buku ini membahas tentang hakikat bahasa, dalam hakikat bahasa
ini dipaparkan defenisi bahasa dan keadaan berbahasa di Indonesia. Pada pembahasan
selanjutnya adalah pragmatik:konsep dasar memahami tuturan. Pada bagian berikutnya,
membahas tentang ruang lingkup pengkajian pragmatik dilanjut pada deiksis, implikatur, dan
peranggapan. Selanjutnta kepada pembahasan peristiwa tutur dan tindak tutur, setelah itu
membahas tentang kesantunan berbahasa dan metode penelitian pragmatik.

1
Buku II
Istilah pragmatik digunakan dalam bidang lingusitik sejak tahun 1938, yaitu Charles
Morris menegmbangkan linguistik semiotik. Charles Morris mengemukakan bahwasemiotik
terbagi atas tiga yaitu: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Pada buku ini akan dibahasa
tentang pengejaran bahasa, sejarah pragmatic, pengertian pragmatik, peranan bahasa secara
pragmatic, tindak tutur, deiksis, implikatur, anggapan, analisis wacanamdan konteks.

II. Ringkasan Isi Buku


1. Buku pertama
BAB I
HAKIKAT BAHASA
A. Defenisi Berbahasa

Bahasa adalah seperangkat ujaran yang bermkna, yang dihasilkan oleh alat ucapa
manusia. Sehubungan dengan itu ada beberap hal yang ingin dikemukakan. Pertama , bahasa
dikatakan sebagai seperangkat ujaran yang bermakna meskipun yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia. Kedua catatan memberikan gambaran bahawa yang disebut dengan bahasa
adalah seperangkat ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Dari penegertian tersebut
dapat kita ketahui bahwa bahasa dalam hal ini mempunyai dua aspek,yaitu aspek sistem
(lambang) bunyi dan aspek makna.
a. Bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa digunakan oleh anggota masyarakat
peneuturnya untuk menjalin hubungan dengan anggota masyarakat yang lain yang
mempunyai kesamaan bahasa
b. Bahasa sebagai alat ekpresi diri, bahasa merupakan saran untuk mengekspresikan
atau mengungkapkan segala sesuatu yang mengendap di dalam batin seseorang, baik berupa
gagasan, pikiran, perasaan, maupun pengalamanyang dimilikinya.
c. Bahasa sebagai alat itrerasi, bahasa memungkinkan setiap penutunya merasa diri
terikat dengan kelompok sosial atau masyarakat yang menngunakan bahasa yang
sama.kemampuan bahasa sebagai alat intregrasi ini telah dilihat oleh para pendiri negar kita
sejak masa perjuangan.
d. Bahasa sebagai alat kontrol sosial, bahasa dapat digunakan untuk mengatur berbagai
aktivitas sosial, merencanakan berbagai kegiatan, yang mengarahkannya ke dalam suatu
tujuan yang didinginkan.

2
B. Keadaan Kebahasaan di Indonesia

Di indonesia palaing tidak terdapat tiga jenis bahasa, yaitu bahasa daeahm bahasa
nasional, dan bahasa asing.Bahasa daerah, bagi sebagian besar masyarakatnya indonesia,
merupkan bahasa ibu atau bahasa yang pertama kali dikuasai sejak seorang mulai
mengenal bahasa atau mulai dapat berbicara. Sementara itu,bahasa indonesia umumya
merupakan bahasa kedua, yang rata- rata diperoleh melalaui jalur pendidikan fotmal. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa dapat dikatakan bahwa para pemakai bahasa Indonesia
selain dapat menguasai bahasa Indonesia,umunya jug dapat menguasai bahasa daerah
tertentu yang merupakan bahasa ibu.

BAB II
PRAGMATIK : KONSEP DASAR MEMAHAMI TUTURAN

A. Defenisi Istilah Pragmatik


Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna yang
dikehendaki oleh penutur Cahyana (dalam Gafari2016:15). Pendapat Cahyana lebih
menekankan pada makna yang dikehendaki penutur. Penegertian bahasa menunjuk kepada
fakta bahwa untuk memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks
yang mewadahi pemakaian bahas tersebut. Kridalaksana (dalam Gafari2016:15)
menyatakan bahwa pragmatic (pragmatics) adalah ilmu yang menyelidiki pertuturan,
konteksnya dan maknanya. Selain itu Taringan (1986:25) memyatakan bahwa pragmatik
adalah suatu telaah makna dalam hubungan dengan aneka stuasi ujaran. Sehingga dapat
dsiimpulkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna tuturan
penutur pada situasi ujar tertentu.

B. Hubungan Pragmatik dengan Linguistik


Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan pragmatik
pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis,
sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force)
pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan
pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed).
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa
adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain
kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik
3
(sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa
tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan
untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence)
yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang
berlaku khusus dalam setiap bahasa.
C. Hubungan Pgarmatik Dengan Semantik
Masalah perbedaan antara ‘bahasa’ (langue) dengan ‘penggunaan bahasa’ (parole)
berpusat pada perselisihan antara semantik dengan pragmatik mengenai garis batas bidang-
bidang ini. Kedua bidang ini berurusan dengan makna. Pragmatik dan semantik adalah dua
bidang yang berbeda namun saling melengkapi (komplementer) dan saling berhubungan.
Pemahaman makna dari dua verba to mean di atas termasuk bidang semantik, sedangkan
penggunaan makna pada kedua contoh tersebut termasuk bidang pragmatik.

Menurut Peccei (1998), semantik menekankan pada makna yang berasal dari pengetahuan
linguistik secara murni, sedangkan pragmatik menekankan pada aspek-aspek makna yang
tidak dapat diramalkan dengan pengetahuan linguistik dan mempertimbangkan pengetahuan
tentang dunia fisik dan sosial.
BAB III
RUANG LINGKUP PRAGMATIK
Pragmatik mengacu pada kajian penggunaan bahasa yang berdasarkan pada konteks.
Bidang kajian yang berkenaan dengan penggunaan bahasa pada konteks disebut bidang
kajian pragmatic adalah deiksis (dexis), praanggapan (presupposition), tindak tutur (speech
act) dan implikatur percakapan (conversational inplicature). Masing bidang kajian di atas
dibahas secara singkat di bawah ini :
1. Deiksis
Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat
ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan konteks pembicaraan.
Deiksis dibagi menjadi 5 kategori yaitu :
a. Deiksis orang b. Deiksis waktu c. Deiksis tempat d. Deiksis wacana
2. Praanggapan (Presupposition)
Praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para
peserta percakapan (Brown dan yule, 1996). Asumsi tersebut ditentukan batas-batasannya
berdasarkan anggapan-anggapan pembicara mengenai apa yang kemungkinan akan diterima
oleh lawan bicara tanpa tantangan.

4
3. Tindak Tutur (Speech Act)
Tindak tutur merupakan bagian dari kajian pragmatik. Leech (1993) menyatakan bahwa
pragmatic mempelajari maksud ujarran, menanyakan apa yang seseorrang maksudkan dengan
suatu tindak tutur dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara, kepada siapa, dimana dan
bagaimana.
4. Implikatur Percakapan
Menurut Levinson (melalui Nadar, 2009: 61), menyebutkan implikatur sebagai salah satu
gagasan atau pemikiran terpenting dalam pragmatik. Salah satu alasan penting yang
diberikannya adalah bahwa implikatur memberikan penjelasan eksplisit tentang cara
bagaimana dapat mengimplikasikan lebih banyak dari apa yang dituturkan.
Contoh :
Ibu : “jam berapa sekarang Yah?
Ayah : “ pedagang sayurnya belum datang”.
Jawaban dari pertanyaan di atas nampaknya tidak relevan dengan permintaan Ibu tentang
waktu, namun ayah sebenarnya ingin mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak tahu secara
tepat pada saat itu pukul berapa. Dia berharap penanya dapat memperkiraka waktunya sendiri
dengan mengatakan bahwa tukang sayur sudah datang. Dalam konteks ini, nampaknya
penutur dan lawan tutur sama-sama sudah mengetahui pukul berapa tukang sayur biasanya
datang.
5. Komponen Tutur
Peristiwa tutur (Inggris speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi
linguistik dalam satu bentuk ujran atau lebih anatara dua pihak yaitu peneutur dan lawan
tutur, dengan satu pokok tuturan , di dalam waktu dan situasi tertentu Chaer (dalam
Gafari,2016:25) peristiwa tindak tutur terdiri dari delapan komponen, yaitu (1) Setting Dan
Scene (2) Participans (P) (3) Ends (E) (4) key (K) (5) Instrumentalities (6) Act sequence
(7)Noam is Interaction and Interpretation(N), dan (8) Genre (G. komponen tutur tersebut
digunakan sebagai faktor pendukung dalam analisis bahasa basa –basi dalam bahasa Jawa
6. Variasi Bahasa
Nababan ( dalam Gafari, 2016: 27) menjelaskan bahwa bahasaa mempunyai bentuk –
bentuk yang sesuai dengan konteks dan keadaan. Adaa empat vaariasi bahasa tergantung
pada faktor yang berhunbungan atau sejalan dengan bahasa- bahasa itu. Keempat kategori
itu adalah sebagi berikut Faktor geografis, faktor situasi barbahasa, faktor kemasyarakatan,
dan faktor waktu (temporal)

5
BAB IV
DEIKSIS
A. Pengertian Deiksis

Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”.
Dengan kata lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk
pada hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan
deiksisDeiksis didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya.

Dalam KBBI (1991: 217), deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk
sesuatu di luar bahasa Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang,
objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam
hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau
yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43).

B. Jenis Deiksis
1. Deiksis Persona=> secara langsung diwujudkan dalam kategori gramatikal tentang
persona (orang), menjadi persona 1, persona 2, dan persona 3. Dalam deiksis yang menjadi
kriteria adalah peran partisipan yaitu paran sebagi penutur (orang ke 1),sebagai (orang Ke
2), dan “yang dibicarakan” menjadi orang ke -3.
2. Deiksis Penunjuk => ini untuk menunjuk sesuatu yang dekat dengan penutur, dan itu
untuk menunjuk sesuatu yang jauh dari pembicara. “Sesuatu” itu bukan hanya benda atau
barang melainkan juga keadaan, peristiwa, bahkan waktu.
3. Deiksis tempat => berkaitan dengan spesifikasi tempat relative ke titik labuh dan
peritiwa tutur. Pentingnya spesifikasi tempat ini tampak pada kenyataan bahwa ada dua
cara mendasar dalam mengacu objek, yaitu dengan mendeskripsikan atau menyebut objek
atau dengan menempatkannya di sautu lokasi . deiksis tempat adalah pemberian bentuk
kepada lokasi ruang dipandang dari lokasi pemeran dalam peristiwa tindak tutur.
4. Deiksis waktu => deiksis ini, yang dalam tata bahasa disebut adverbial atau
keterangan waktu, adalah pengungkapan kapada titik atau jarak waktu dipandang dari saat
suatu ujaran terjadi, atau pada saat seseorang penutur berujar. Dalam hal deiksis waktu
patut dicatat pentingnya membedakan saat ujaran atau pengkodean dan waktu penerimaan.
5. Deiksis Wacana => harus merumuskan dengan lebih dahulu melihatnya dai dalam
wacana tertentu. Deiksis di sini misalnuya mengacu kepada tempat yang dekat dengan
penutur. Deiksis wacana atau deiksis teks . Tidak dapat dikatakan dengan cara begitu,
6
melainkan menangacu kepada bagian- bagian tertentu dalam wacan ayang diperankan
sebelumnya atau hal yang sedang dikembangkan.
6. Deiksis Sosial => berhubugan dengan aspek- aspek kalimat yang mencerminkan
kenyataan- kenyataan tertentu tentang situasi sosial ketika tindak tutur terjadi. Deiksis sosial
menunjukkan perbedaan- perbedaan yang disebabkan oleh factcor-factor seperti jenis
kelamin,usia, kedudukan di dalam masyarakat, pendidikan ,dsb.
C. Bentuk Deiksis
1. Deiksis Morfem, yakni deiksis yang tidak berbentuk kata morfem bebas ,melainkan
morfem terikat.
2. Deiksis kata,yakni deiksis hanya terdiri dari satu kata
3. Deiksis frase, yakni yang terdiri dari dua kata atau lebih
BAB V

IMPLIKATUR

A. Defenisi Implikatur

Implikatur berasal dari bahasa latin omplicare yang berarti “melipat” hal ini dijelaskan
oleh Mey melalui Nadar (2009:60) bahwa untuk menegtahui apa yang dilipat harus dengan
cara membukanya dengan kata lain, implikatur dapat dikatakan sebagai seseutu yang terlipat.
Secara sederhana implikatur dapat diartikan sebagai makna tambahan yang disampaikan
oleh penutur yang kadan g terdapat dalam tuturan itu sendiri. Secara garis besar implikatur
terdiri dari jenis, yaitu implikatur konvensional dan implikatur percakapan.

B. Prinsip Kerja Sama

Grice (dalam Gafari 2016:41) memberikan sebuah prinsip yang disebut prinsip
kooperatif dan empat buah maksim yang menunjang peinsip tersebut. Keempat maksim
tersebut antara lain.

1. Maksim kuantitas (maxim of quality)


2. Maksim kualitas (maxim of quality)
3. Maksim relevansi (maxim of relefance)
4. Maksim pelaksanaan (maxim of manner)
Berikut ini prinsip kerja sama Grince (1975) tersebut selengkapanya

7
1. Maksim kuantitas (The Maxim Of Quantity) => Seorang penutur diharapkan dapat
memberikan informasi yang cukup relative memadai, dan seinformatif mungkin
2. Maksim kualitas ( The maxim of quality)=> seorang peserta tutur diharapkan dapat
menyapaikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya di dalam
bertutur.
3. Maksim relevansi ( The maxim of relefance)=> dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama
yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing- masing hendaknya dapat
memberikan kontibusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu
4. Maksim pelaksanaan ( The maxim of manner)=> peserta tutur dalam sebuah interaksi
manaati maksim cara dengan cara menghindari tuturan yang berarti ganda, tidak
berbelit-belit, dan menyampaikan tuturan secara teratur.
BAB VI

PRAANGAANGAPAN

A. Defenisi Praangapan

Presuposisi atau praanggapan berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris
berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau
penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang lawan bicara atau
yang dibicarakan. Menurut Chaer ( dalam Gafari,2016:48) mengatakan praagapan atau
presuposisi adalah ‘pengetahuan” yang dimiliki oleh penutur dan lawan tutur dan lawan
tutur yang melatarbelakangi suatu tindak tutur.

Dari beberapa defenisi praangapan di atas dapat disimpulkan bahwa praangapan


adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang
disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur.

B. Jenis Praangapan
1. Praangpaan eksistensial (existensial presupposition) adalah praangapan yang
menunjukkan eksistensi/ keberadaan yang diungkapkan dengan kata yang defenit.
2. Praangpaan Faktif ( factive presupposition) praangapan yang di mana informasi yang
dipraagapan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.

8
3. Praangpaan Leksikal (lexical presupposition) dipahami sebagai bentuk praangapan
menghasilkan makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan
praangapan bahwa suatu lain ( yang tidak dinyatakan) dipahami.
4. Praangapan Non- faktif (non-factive presupposition) adalah suatu praangapan yang
diasumsikan tidak benar.
5. Praangapan Struktural (stuktral presupposition) mengacu kepada stuktur kalimat-
kalimat tertentu telah dianaisis sebagai praangapan seacara tatap dan konvesional
bahwa stuktur sudah diasumsikan kebenarannya.
6. Praangapan konterfaktual (counter- factual presupposition) adalah bahwa yang di
praangapan tidak hanya tidak benar, tatapi juga merupakan kebalikan dari benar atau
bertolak belakang dengan kenyataan.
BAB VII

PERISTIWA TUTUR DAN TINDAK TUTUR

A. Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistic dalam satu
bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak yaitu penutur dan lawan tutur, dengan
satu pokok tuturan,di dalam, tempat, dan situasi tertentu. Terjadinya peristiwa tutur itu harus
memenuhi apa yang dikatakan oleh Delhaems yang disebut dengan SPEAKING “

1. Setting and scene


Dipakai untuk menunjuk kepada aspek tempat dan waktu dari terjadinya sebuah tuturan.
Secara umum karakter ini menunjuk kepada keadaan dan lingkungan fisik tempat tuturan itu
terjadi. Suasana tutur berkaitan erat dengan faktor psikologis sebuah tuturan.
2. Participants
Dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua pihak dalam bertutur. Pihak yang pertama
adalah orang kesatu atau sang penutur dan pihak kedua adalah mitra tutur. Dalam waktu dan
situasi tertentu dapat pula terjadi bahwa jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni dengan
hadirnya pihak ketiga.
3. Ends= purpose and goal
Tujuan suatu peristiwa dalam suatu perintah di harapkan sejalan dengan tujuan lain warga
masyarakat itu. Sebuah tuturan mungkian sekali dimaksudkan untuk menyampaikan
informasi atau sebuah pikiran. Tuturan itu dipakai untuk merayu, membujuk, mendapatkan
kesan, dan sebagainya.

9
4. Act sequences
Pokok tuturan merupakan bagian dari komponen tutur yang tidak pernah tetap, artinya
bahwa pokok pikiran itu akan selalu berubah dalam deretan pokok-pokok tuturan dalam
peristiwa tutur. Perubahan pokok tuturan itu sudah barang tentu berpengaruh terhadap bahasa
atau kode yang dipilihnya dalam bertutur.
5. Key
Nada tutur menunjuk kepada nada, cara, dan motivasi di mana suatu tindakan dapat
dilakukan dalam bertutur. Nada tutur ini berkaitan eret dengan masalah modalitas dari
kategoti-kategori gramatikal dalam sebuah bahasa
6. Intrumentalities
Tutur menunjuk kepada salutan tutur (channels) dan bentuk tutur (form of speech).
Adapun yang dimaksud dengan saluran tutur adalah alat di mana tuturan tiu dapat
dimunculkan oleh penutur dan sampai kepada mitra tutur.
7. Norms of interaction and interpretation
Norma tutur dibedakan atas dua hal yakni norma interaksi (interaction norm) dan norma
interpretasi (interpretation norms) dalam bertutur. Norma interaksi menunjuk kepada
dapat/tidaknya sesuatu dilakukan oleh seseorang dalam bertutur dengan mitra tutur.
8. Genres
Menunjuk kepada jenis kategori kebahasaan yang sedang dituturkan. Maksudnya
adalah bahwa jenis tutur ini akan menyangkut kategori wacana seperti percakapan, cerita,
pidato dan semacamnya. Berbeda jenis tuturnya akan berbeda pula kode yang dipakai dalam
bertutur itu.

B. Tindak Tutur
Menurut tata bahasa tradisional, ada tiga jenis kalimat, yaitu kalimat deklaratif,
kalimat interogatif dan kalimat imperatif. Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya
hanya meminta pendengar untuk menaruh perhatian saja, sebab, maksud pengujar hanya
memberitahukan saja. Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya meminta agar
pendengar memberi jawaban secara lisan, sedangkan kalimat imperatif adalah kalimat yang
isinya meminta agar si pendengar atau yang mendengar kalimat itu memberi tanggapan
berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.
Austin membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat
konstatif dan kalimat performatif. Kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan
belaka, seperti, "Ibu dosen kami cantik sekali", atau "Pagi tadi dia terlambat bangun".
10
Sedangkan kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya, apa yang
diucapkan oleh si pengujar berisi apa yang dilakukannya, misalnya, "Saya menamakan kapal
ini "Liberty Bell", maka makna kalimat itu adalah apa yang diucapkannya.
Austin membagi kalimat performatif menjadi lima kategori, yaitu:
a. Kalimat verdiktif d. Kalimat eksersitif
b. Kalimat komisif e. Kalimat behatitif
c. Kalimat ekspositif
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin, dirumuskan
sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
a. Tindak tutur
b. Tindak tutur ilokusi
c. Tindak tutur perlokusi
C. Tindak Tutur Dan Pragmatik
Tindak tutur sebenarnya merupakan salah satu fenomena dalam masalah yang lebih
luas, yang dikenal dengan istilah pragmatik. Fenomena lainnya didalam kajian pragmatik
adalah deiksis, presuposisi dan implikatur percakapan.

BAB VIII
KESANTUNAN BERBAHASA

A. Teori Kesantunan Bebahasa

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa tulisan ini mengandung


pandangan teoretis mengenai kesantunan berbahasa Konfusius, maka berikut ini akan diulas
secara singkat mengenai teori tersebut.

1. Teori Wajah oleh Goffman, Brown, dan Levinson

Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967),
bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “wajah” atau “muka,” baik
milik penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,” dalam hal, ini bukan dalam arti rupa
fisik, namun “wajah” dalam artian public image, atau mungkin padanan kata yang tepat
adalah “harga diri” dalam pandangan masyarakat.

11
a. Wajah Positif (Positive Face) Sebagaimana telah disebutkan bahwa wajah positif
berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara penutur dan mitra tutur.
b. Wajah Negatif (Negative Face) Berbeda dengan wajah positif, yang mana penutur dan
mitra tutur mengharapkan terjaganya nilai-nilai keakraban, ketakformalan,
kesekoncoan, maka wajah negatif ini dimana penutur dan mitra tutur mengharapkan
adanya jarak sosial.
c. Pengancaman Wajah (Face Threatening Act) Sebagaimana telah dijelaskan dengan
berbagai contoh, kesantunan (dan kesopanan) berbahasa dapat diartikan sebagai
sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain (Yule, 2006:104).
Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan
sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu yang
berkenaan dengan nama baiknya sendiri Pengancaman wajah melalui tindak tutur
(speech act) akan terjadi jikalau penutur dan mitra tutur sama-sama tidak berbahasa
sesuai dengan jarak sosial.

BAB IX

METODE PENELITIAN PRAGMATIK

A. KonsepDasarPenelitian Pragmatik
Belajar pragmatik pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu,
pembelajaran pragmatik diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam
berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Seorang filosof dan ahli logika
Carnap (1938) menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak. Pragmatik
mempelajari hubungan konsep yang merupakan tanda. Selanjutnya Montague mengatakan
bahwa pragmatik adalah studi mengenai „idexical“ atau „deictic“.
Suatu penelitian dilaksanakan untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai dengan
metode-metode ilmiah secara objektif dan bukan subjektif. Untuk dapat mencapai tujuan
tersebut, metode ilmiah harus digunakan sebagai cara dalam mencapai tujuan. Kurun
pemecahan masalah penelitian meliputi beberapa tahapan, yaitu tahapan penyediaan data,
tahap analisis data, dan tahap penyajian analisis data.
B. RancanganPenelitianPragmatikterkaitRealisasiTindakTuturPermintaan
Data dalam penelitian data diperoleh dari berbagai sumber yang disebut sumber data.
Sumber data dalam kajian linguistic menurut sifatnya dapat bersifat lisan dan tulis. Dalam
penelitian pragmatic sumber data lisan yaitu tuturan yang dipergunakan oleh penutur dan
12
lawan tutur ketika berdialog, berinteraksi, dan berkomunikasi yang dapat diperoleh dari
kehidupan sehari-hari. Sumber data lisan yang tidak alami dapat diperoleh dari film.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, ada tiga macam metode menurut
tahapannya yaitu (1) metode pengumpulan data, (2) metode analisis data, dan (3) metode
penyajian hasil analisis data.
Dengan demikian prosedur penelitian dapat diurutkan sebagai berikut.

1. Menggali, mengkaji, dan mendalami sifat khas penutur terkait dengan kesopanan
berbahasa.
2. Menggali, mengkaji, dan mendalami kajian teoretis kesopanan berbahasa.
3. Mengumpulkan data lisan maupun tulis tuturan dari sumber data. Data lisan direkam
dan dicatat dari tuturan langsung dengan konteks yang jelas, sedangkan data
tulisdiambil dari tes melengkapi wacana.

C. Mengubah Data menjadi Korpus Data


Kesulitan yang biasa dihadapi peneliti pemula adalah pada tahap penyajian data dan
mengubah data menjadi korpus data. Berikut ini adalah contoh penyajian data dan
pengubahan data menjadi korpus data.
1. Mentranskripsikan data rekaman
2. Menerjemahkan hasil rekaman yang berbahasa daerah (jikaada)
3. Mendeskripsikan karakteristik penggunaan bahasa dari masing-masing data
4. Menarik simpulan

2. RINGKASAN BUKU KEDUA


BAB I
PENGAJARAN BAHASA
Pandai berbahasa bukanlah tahu semua aturan-aturan bahasa, hafal kosa kata yang
72.000 itu dengan artinya.Hal itu tidaklah cukup untuk dikatakan bahwa seseorang pandai
berbahasa.
Sebenarnya memang banyak pembicara bahasa Indonesia itu memang tidak tahu apa
artinya istilah-istilah tersebut. Tetapi jelas si pemakai bahasa Indonesia itu tahu di mana
dipaaki apa yang dimaksud dengan subek, predikat, objek, dan lain-lain.
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa pengetahuan tentang kaidah-kaidah tata
bahasa itu bukanlah sesuatu yang mutlak harus diketahui si pembicara.Kaidah-kaidah itu

13
adalah pengetahuan periferal (sampingan) dalam berbahasa, dan juga dalam pengajaran
berbahasa.
Kemampuan bahas dalam arti pengetahuan dan penguasaan kaidah-kaidah serta
merealisasikan pengetahuan kaidah pragmatik itu adalah sesuatu yang harus dicapai oleh
siswa.Masalahnya bagaimna mengajarkan kaidah-kaidah itu dala rangka pengajaran bahasa
dengan pendekatan komunikatif. Jadi, jelaslah ini berarti bahwa umpamanya sambil kita
mengajarkan apa itu elips atau inversi kita juga mengajarkan bagaimana memakai kalimat
elips dan inversi itu.
BAB II
PRAGMATIK
2.1 Sejarah pragmatik
Berbagai-bagai mazhab telah muncul dari zaman dahulu hingga sekarang ini.Mulai
zaman Yunani atau Grik lebih kurang 500 tahun SM ahli bahasa telah menagadakan
penelitian tentang bahasa.Kaum Sofist telah mengadakan menagadakan penelitian tentang
bahasa melalui pidato –pidato orang yang mahir berbicara di samping mereka melatih murud-
murid menyusun pidato yang baik.Protagoras orang pertama yang menemui tipe-tipe kalimat
yang menyarankan bahasa kiasan seperti antitesis, analogi metafora.Georgina dan Prodicus
terkenal pula namanya karena karya mengenai sinonim.
Di India muncul ahli bahasa yang terkenal denan penelitian dan penemuannya Partini
(Shalatura, Punjab 400 SM) seorang sarjana Hindu telah menyusun lebih kuang 40.000
satements tentan strumtur bahasa Sansakerta dengan prinsip-prinsip dan gagasan yana masih
dipakai sampai sekarang. Di eropa. Alian strukturalisme dipelopori oleh Ferdinand de
Saussure, seorang sarjana Swiss yang terkenal dengan pembagiannya atas langue, la parole,
dan la langange juga pikirannyalah terbit penelitia secara sinkronis dan diakronis hbungan
sintagmatik dan paradigmatik.
2.2 Pengertian Pragmatik
Istilah pragmatik digunakan dalam bidang lingusitik sejak tahun 1938, yaitu Charles
Morris menegmbangkan linguistik semiotik. Charles Morris mengemukakan bahwasemiotik
terbagi atas tiga yaitu: sintaksis, semantik, dan pragmatik.
Sebagai contoh dapat kita berikan di sini istilah-istilah seperti dalihan natolu, hula-
hula, anak boru dalam bahasa batak, istilah pak de, mbok, bude dalm bahasa Jawa. Dengan
tidak menelusuri kebudayaan bangsa-bangsa atau suku-suku bangsa itu kita tidak akan paham
hal-hal demikian itu. Dengan menghubungkan bahasa dengan dunia luar itulah, referennya
dapat ditetapkan secara pasti.
14
2.3 Latar Belakang Kemunculan Pragmatik dalam Pembelajaran Bahasa
Diperhitungkannya kompetensi pragmatik sebagai bagian tak terpisahkan dari
pengajaran bahasa dapat ditelusuri dari perkembangan paradigma dan metode pembelajaran
bahasa mulai akhir abad 19 hingga pertengahan abad 20.Di abad 19 hingga awal abad 20
pembelajaran bahasa didominasi oleh metode tata bahasa terjemahan yang menekankan pada
pengenalan rasa bahasa dan penguasaan tata bahasa.Mereka beranggapan hal terpenting
dalam pembelajaran bahasa adalah penguasaan bahasa lisan, bukan tulis.
2.4 Kompetensi Pragmatik dan Tujuan Pembelajaran Pragmatik
Kompetensi pragmatik menurut Tguchi (2011 : 289-291) adalah kemampuan untuk
berkomunikasi dan menginterpretasi makna dalam interaksi sosial, serta mencakup 8
kemampuan untuk mengatur keterkaitan yang kompleks antar bahasa, pengguna bahasa dan
konteks interaksi.
2.5 Materi Pembelajaran Pragmatik
Dalam penyusunan materi pembelajaran ada 3 aspek yang perlu pertimbangan, yaitu
konteks sosial, pengguna bahasa secara fungsional dan interaksi (Taguchi, 2011).
2.6 Strategi Pembelajaran Pragmatik
Persoalan berikutnya yang terkait dengan pembentukan kompetensi pragmatik pada
pembelajar bahasa adalah strategi pembelajarannya. Pada sosiopragmatik, pembelajar perlu
menghadirkan fitur-fitur sosiopragmatik berdasarkan input yang terkait seperti input ekspresi
dari interlokutor, bentuk relasi dan konteks.Pada sisi pragmalinguistik pembelajar harus dapat
menghadirkan sisi aspek pragmatik dari input kebahasaan yang bersifat umum, misalnya
penggunaan modalitas dan pertanyaan untuk mengekpresikan tindak tutur permintaan maaf
secara tak langsung, sebagai alternatif penggunaan pernyataan deklaratif.
BAB III
PENGAJARAN BAHASA SECARA PRAGMATIK
Jadi, yang diharapkan bukanlah seperti yang selama ini siswa-siswa dapat
menyatakan apa itu objek, apa itu predikat, apa itu objek. Juga tidak atau kurang diperlukan
apa itu kalimat afersi, kalimat elips, malah yang diperlukan bagaimana pemakaiannya.
1. Pengajaran Kosa Kata 3. Pengajaran Sintaksis
2. Pengajaran Mengarang 4. Pengajaran Membaca

BAB IV
TINDAK TUTUR
4.1 Sejarah Teori Tindak Tutur

15
Teori tindak tutur pertama kali diungkapkan oleh Austin (1962). Teori tersebut
dikembangkan oleh Searlepada tahun 1969. Menurut Austin semua tuturan adalah
performatif dalam arti bahwa semua tuturan merupakan semua bentuk tindakan dan tidak
sekedar mengatakan sesuatu. Kemudian Austin ke pemikiran berikutnya (1962:109) yaitu,
Autin membedakan antara tindak lokusi (tindak ini kurang-lebih dapat disamakan dalam
sebuah tuturan kalimat yang mengandung makna acuan). Dengan tindak ilokusi (tuturan yang
memiliki daya konvensional tertentu). Namun, ide yang mendorong Austinuntuk kemudian
membuatklasifikasi mengenai tindak-tidak ilokusi ialah asumsinyabahwa pormatif
merupakan batu ujian yang eksplisit buat semua ilokusi.
Berdasarkan teori tindak tutur Austin, Rustono (1999:24) menegmukakan pula bahwa
aktifitas mengujarkan atau menuturkan tuturan dengan maksud tertentu merupakan tidak tutur
atau tindak ujar. Dalam menutukan sebuah tuturan, seseorang memiliki maksud-maksud
tertentu sehingga tuturan tersebut disebut juga tindak tutur. Leech (1983) berpendapat bahwa
tindak tutur terikat oleh situasi tutur yang mencakup:
a. Penutur dan mitra tutur, d. Konteks tuturan,
b. Tujuan tuturan, e. Tindak tutur sebagai tndakan atau aktivitas
c. Tuturan sebagai hasil tindakan bertutur.

Sedangkan hal-hal yang dapat ditindakkan di dalam berbicara(tutur) ialah sebagai berikut:
a. Permintaan (reguest) c. Pemberian izin (permission)
b. Ajakan (invitation) d. Penerimaan akan tawaran (acceptation of offers)

4.2 Tindak Tutur


Dari pendapat beberapa para ahli, dapat ditarik kesimpulan tentang pengertian
tindaktutur ialah, merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu
fungsional dalam komunikasi yanag mempertimbangkan aspek situasi tutur.
4.3 Jenis-Jenis Tindak Tutur
Dengan pendapat Austin, yang juga membagi tindak tutur menjadi lokusi, ilokusi, da
perlokusi akan dibahasa dan dijelaskan.
4.3.1. Tindak Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu;
tindak mengucapkan sesuai dengan kata dan makna dan makna sesuai dengan makna kata itu
dalam kamus dan makna kalimat itu menurut kaidah sintaksis (Gunarwan dalam Ruston,
1999:37). Focus lokusi adalah makna tuturan yang diujapkan, bukan mempersalahkan
maksud atau fungsi tuturan itu. Rahardi(2003) mendefenisikan bahwa lokusi adalah teindak
16
bertutur dengan kata, frase, dan kalimat dan sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata,
ftase, dan kalimat itu.
4.3.2. Tindak Ilokusi
Bila tata bahsa menganggap bahwa kesatuan-kesatuan statis yang abstrak seperti
kalimat-kalimat dalam sintaksis dan proposisi-proposisi dalam semantic, maka pragmatic
menganggap tindak-tindak verbal atau performansperpormansi yang berlangsung di dalam
sitiasi-situasi khusus dan waktu tertentu. Menurut Austin ilokusi adalah tindak melakukan
sesuatu ilokusi merupakan tindak tutur yang mengan dung maksud dan fungsi atau daya
tuturan. Rohmani mengatakan bahwa ilokusi adalh tindak tutur yang berfungsi untuk
mengatakan atau menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan Hamid Lubis mengatakan tindak ilokusi adalah pengucapan suatu pernyataan,
tawaran, janji, pertanyaan dan sebagainya. Ini erat hubungannya dengan bentuk-bentuk
kalimat yang mewujudkan suatu ungkapan.
.
4.3.3. Tindak Tutur Perlokusi
Tutur yang diucapkan penutur sering memiliki efek atau daya pengaruh. Efek yang
dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu, menurut Austin. Efek atau daya tutur itu dapat
ditimbulkan oleh penutur secara tidak sengaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur
yang dimaksud pengujaran dimaksudkan untuk memengaruhi mitra tutur inila merupakan
tindak perlokusi.
Tindak tutur digolongkan menjadi:
1. Representative => merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada
kebenaran atas hal yang dikatakannya. Tindak tutur ini juga sering disebut dengan
tindak tutur asertif. Yang termasuk jenis tindak tutur ini adalahtuturan menyatakan,
menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan.
2. Direktif => tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan
tindakan sesuai apa yang disebut dalam tuturnnya. Tindak tutur ini disebut juga
dengan tindak tutur impositif. Yang termasuk ekdalam jenis tindak tutur ini antara lain
tuturan meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih.
3. Ekspresif=> disebut juga dengan evaluative yaitu tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang ahal yang disebutkan
dalam tuturan itu, meliputi tuturan mengucapkan terimakasih, mengeluh,
mengucapkan selamta, menyanjung.

17
4. Komisif=> tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal
yang disebutkan dalam ujarannya misalnya, bersumpah, berjanji, mengancam.
5. Deklarasi=> merupakan tindak tutur yang dimaksud penuturnya untuk menciptakan
hal (status, keadaan) yang baru. Tindak tutur ini disebut juga isbati. Yang termasuk
kedalam tuturan ini adalah tuturan yang dimaksud mengesankan, memutuskan.

4.4 Prinsip Kerjasama


Bahasa sebagi gejala social, pemakaiannya jelas banyak ditentukan oleh faktor-faktor
nonlinguistik. Faktor-faktor linguistik melalui kata-kata, kalimat-kalimat saja tidak cukup
untuk melancarkan komunikasi. Mengaetahui faktor-faktor nolinguistik seperti pendidikan,
tingkat ekonomi, jenis kelamin dan lain-lain turut menentukan pemakaian bahasa itu. Juga
faktor situasi, pembicara/pendengar, bila dan dimana pembicara itu dilakukan juga menjadi
faktor yang dominan dan penentuan pemakainan bahasa, pemakaian kata-kata, frase-frase,
atau kalimat-kalimat.
BAB V
DEIKSIS
5.1 Pengertian Deiksis

Bambang dalam bukunya mengatakan bahwa deiksis adalah sebuah kata yang dikatakan
deiksis apabila referensinya berpindah-pindah atau berganti-ganti, ketergantungan pada siapa
yang menjadi si pembicara dan bergantung pada saat dan tepat dituturkannya kata itu.
Misalnya kata saya, sini, sekarang.dalam linguistic, kata deiksis dipaki untuk
menggambarkan fungsi kata ganti persona, kata ganti demonstrative, fungsi waktu dan
bermacam-macam cirri gramatikal dan leksikal lainnya yang menghubungkan ujaran dengan
jalinan ruang dan waktu dalam tindak ujaran.
Dalam bahasa Indonesia kata ganti persona itu terbagi atas 3 bagian yaitu: kata ganti
persona I, II, dan III. Kata ganti demonstratif ialah seperti kata ganti persona menjadi deiksis
atau bersifat deiksis dan menunjuk kepada suatu persina sebelum maupun sesudahnya maka
demikian juga halnya dengan kata ganti demonstratif ini. Kata ganti ini, itu, begini, begitu
adalah kata ganti demonstratif, kata ganti ini dapat digunakan untuk referensi atau rujukan
kepada yang dimukanya (endofora) dan juga untuk yang diblakangnya.
BAB VI
IMPLIKATUR

18
Penarikan kesimpulan tentang arti sebuah ucapan yang tidak dapat ditarik secara semantic
itulah yang dinamakan ilmplikatur percakapan. Jadi konsep implikatur ini dipakai untuk
menerangkan perbedaan antara “apa yang diucapkan” dengan “apa yang diimplikasikan”.
Menurut Levinson ada empat macam faedah konsep implikatur yaitu:
1. Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta kebahasaan yang tak terjangkau oleh
teori linguistic.
2. Dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang
dimaksud si pemakai bahasa.
3. Dapat memberikan pemberian semantic yang sederhana tentang hubungan klausa
yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama.
4. Dapat memberikan berbagai fakta yang yang secara lahiriah kelihatan yang tidak
berkaitan, malah berlawanan.

BAB VII
ANGGAPAN
Gottlob Prege mengemukakan suatu penjelasan tentang anggapan (presuppotion)
yang diterima oleh pakar-pakar bahasa waktu itu. Dia menyatakan: Kalau ada satu
pernyataan, maka selalu ada praanggapan bahwa nama-nama (atau kata benda) yang dipakai
baik sederhana atau majemuk mempunyai suatu rujukan (referens). Jikalau orang mengatakan
Kepler meninggal dalam kesengsaraan, maka ada praanggapan (orang-orang berpraanggapan)
bahwa nama Kepler merujuk kepada sesuatu benda atau menunjuk kepada seorang nyata,
(Nababan 1989:49)

Kesalahan membuat praanggapan menimbulkan efek kepada tuturan. Dengan kata


lain, praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikasi sebuah tuturan.
Praanggapan itu mengacu kepada makna yang tidak dinyatakan secara eksplisit.

Contoh: Bahkan Oscar datang juga

Paling sedikit terkandung dua peranggapan. Yang pertama ialah bahwa yang datang
bukan hanya Oscar. Hal ini dinyatakan oleh kata juga. Yang kedua Oscar sulit didatangkan.
Karena mempunyai inti penting. Jadi fungsi praanggapan disini ialah mengarungi hambatan
respon orang terhadap penafsiran suatu kalimat. (Tallei.1990;96)

Seperti kita katakan di atas tadi bahwa sebuah pernyataan mungkin saja mempunyai
beberapa praanggapan, menjadi jelas karena praanggapan itu adalah command ground

19
(pengetahuan perdana) antara pembicara – pendengarsehingga tidak perlu diutarakan. Hal itu
dikatakan juga oleh Stanlnaker sebagai berikut: “presuppositions are what is taken by the
speaker to be the commom ground of the participanst in the conversation. (1978:321)

Perlu pula kita ketahui bahwa tidak semua pernyataan perlu kepada praanggapan
pragmatik. Teori praanggapan pragmatik biasanya menggunaakan dua konsep dasar, yaitu
kewajaran. Praanggapan pragmatik hanya dapat ditarik via konteks.

BAB VIII
ANALISIS WACANA

Arti sebenarnya dari sebuah kalimat bukanlah semata-mata oleh faktor linguistiknya
saja tetapi sebagian besar ditentukan oleh konteksnya. Faktor-faktor kondisi, situasi,
pembicara, pendengar, topik pembicaraan dan lainnya dinamakan konteks dan haruslah
dipahami terlebih dahulu. Bila saja tuturan yang diucapkan akan beda artinya bila salah
situasi atau topiknya berbeda, mungkin saja kalimat yang sama akan mempunyai arti yang
berbeda.
Gillian Brown mengatakan tentang hal itu bahwa konteks yang lebih dahulu dipahami
sebelum menganalisis sebuah wacana atau kalimat untuk memperoleh makna yang murni. Ia
mencatat ciri-ciri konteks seperti berikut ini (Gilliant Brown, 1938:89) :
1. Advesser (pembicara) 5. Advesse (pendengar)
2. Topik pembicaraan 6. Setting (waktu, tempat)
3. Channel (penghubungnya, bahasa tulisan) 7. Code (dialeknya, stailnya)
4. Message form (debat, diskusi, seremoni) 8. Event (kejadian)
4.1 Pembicara
Mengetahui pembicara sangat penting sekali, dengan mengetahui siapa kita mudah
menafsirkan makna kalimat yang dikatakan si pembicara tersebut. Contoh pada dialog:
1. Bagaimana sekarang?
- Pasaran sepi. Kemarin masih dua lima sekarang dua empat setengah.
- Sekarang kita harus hati-hati. Kalau kemarin kita buat satu enam sekarang buatlah
satu empat.

Semua dialog tadi tidak kita pahami kalautidak tahu siapa pembicaranya. Tetapi kalau
diketahui pembicaranya seperti (1) tukang emas, dan (2) kontraktor bangunan, dengan cepat
kita mengetahui makna kalimat-kalimat tersebut.

20
4.2 Pendengar
Perhatikan contoh dibawah:
- Jangan kau pergi. Itu terlalu jauh.
- Jangan angkat, terlalu berat.

Pendengar di kedua kalimat adalah anak-anak yang masih berumur 10 tahun. Dengan
mengetahui si pendengar jelas bagi kita kata jauh dan berat itu adalah untuk ukuran anak-
anak. Jauh satu kilometer dan berat 10 kilogram.
4.3 Topik Pembicaraan
Topik pembicaraan memegan peran penting untuk menentukn arti, contohnya:
Si A karena terlambat datang pada suatu rapat hanya mendengar anggota rapat
mengatakan :
- Kami setuju

Kalimat tersebut memang biasa saja. Tetapi karena topik pembiaraan tidak diketahui si A,
maka apa yang disetujui anggota rapat itu tidak diketahui si A.
4.4 Setting
Kalau di pasar tentu akan berbeda dengan di kelas walau yang berbicara itu juga
orangnya. Contoh:
A : Saya harap saya dapat yang pertama.
B : Semuanya berdasarkan undian bu. Kalau nasib ibu baik.
C : Saya juga ingin yang pertama.
D : Nah semuanya ingin yang pertama.
E : Mari kita undi saja.
(Lubis 1993: 90) Makna semua kalimat itu akan mudah dicerna kalau kita ketahui settingnya
dan disini settingnya adalah penarikan undian arisan Dharma Wanita.
4.5 Channel
Channel ini bisa lisan atau tulisan, telegram dan lain-lain. Ini tergantung dengan
situasi, tempat, kawan yang diajak bicara. Bahkan juga bisa siulan, kentongan. Contoh kita
berikan di sini dengan memakai telegram:
Nila. Kami sampai 10.20. Harap jemput.
Ajak si Amat.
Kalimat pendek-pendek ini adalah bunyi telegram dan si pendengar akan tahu makna
kalimat tersebut karena dia tahu bahwa itu telegram. Si Nila ini tahu bahwa yang mengirim

21
telegram itu perlu jemputan dan karena membawa membawa barang yang banyak dia perlu
bantuan pembantunya si Amat.
4.6 Code
Code atau pemakaian bahasa yang baku, tidak baku, dialek, tertentu serta ragamnya
kita masukkan dalam kode. Siapa yang diajak bicara, tentang yang dibicarakan yang
menentukan pemilihan terhadap code tersebut. Di surat kabar umpamanya bermacam register
terdapat seperti: tajuk, iklan, pojok, ekonomi, bahasa dan lain yang sedikit ada perbedaannya
satu dengan yang lain. Kalau registernya register iklan tentulah tidak cocok dipakai untuk
tajuk dan demikian pula sebaliknya.

4.7 Message from


Berbeda yang ingin disampaikan akan berbeda pulalah bentuk pesan tersebut. Juga
berbeda yang menerima pesan itu akan berbeda pulalah bentuk pesan tersebut.
Terhadap orang yang masih buta huruf tentulah si pembicara harus menerangkan
sejelas-jelasnya supaya si pendengar paham semua apa yang dibicarakan. Sedangkan bagi
yang sudah terpelajar tentu saja bentuk pesan itu akan lebih sederhana.
BAB IX
KONTEKS
9.1 Pengertian Konteks
Dalam pemakaian bahasa sehari-hari, terdapat unsur penting yang memengaruhi
pemakaian bahasa. Unsur itu adalah konteks. Konteks sangat mempengaruhi bentuk bahasa
yang akan digunakan oleh seorang penutur.
Salah satu cabang liungistik yang menonjolkan konteks dalam analisisnya adalah
pragmatik. Hal ini ditegaskan oleh Levinson (1997) dalam bukunya Pragmatik. Dalam
bukunya tersebut, Levinson membuat beberapa definisi pragmatik yang dikaitkan dengan
konteks. Berikut ini adalah definisi pragmatik menurut Levinson yang berhubungan dengan
konteks.
1. ‘Pragmatik adalah kajian ihwal hubungan antara bahasa dan konteks yang
digramatikalisasikan atau dikodekan di dalam struktur bahasa.
2. ‘Pragmatik adalah kajian ihwal hubungan antara bahasa dan konteks yang merupakan
dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa’
3. ‘Pragmatik adalah kajian ihwal kemampuan pengguna bahasa untuk menyesuaikan
kalimat dengan konteks sehingga kalimat itu patut atau tepat diujarkan’.

22
Dapat disimpulkan bahwa konteks sangat diperlukan oleh pragmatik. Tanpa konteks,
analisis pragmatik tidak akan berjalan dengan lancar.

9.2 Konteks dan Pragmatik


Istilah konteks pertama kali diperkenalkan oleh Malinowski (1923: 307) dengan
senutan konteks situasi. Konteks situasi yang dikenalkan oleh Malinowski dan Firth ini lalu
dikembangkan lagi oleh Hymes (1974) yang menghubungkan dengan situasi tutur.
Menurut Leech, konteks didefinikasikan sebagai aspek-aspek yang berkaitan dengan
lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Leech menambahkan dalam definisinya tentang
konteks yaitu sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang secara bersama dimiliki oleh
penutur dan petutur dan konteks ini membantu petutur menafsirkan atau menginterpretasi
maksud tuturan penutur.
9.3 Jenis-jenis konteks
Huang (2007) menurutnya ada tiga tipe konteks dalam pragmatik, yaitu :
1. Konteks fisik (yang mengacu pada pengaturan fisik ucapan)
2. Konteks linguistik (mengacu pada ucapan-ucapan sekitarnya)
3. Konteks pengetahuan umum

9.4 Ciri konteks


Hymes (1964) dalam Gillian Brown dan eorge Yule (1983:89) memiliki ciri-ciri konteks,
yakni :
1. Pembicara 5. Kawan bicara
2. Topik 6. Waktu, tempat
3. Saluran (bahasa lisan;tulisan) 7. Kode
4. Bentuk pesan 8. Peristiwa

III. Keunggulan Buku


Buku I
a. Keterkaitan antar Bab
Pada buku PRAGMATIK oleh Oky F Gafari (2016) terdapat keterkaitan antara bab,
dimana terdapat pada bab II samapi pada bab VII. Pada bab II diterangkanny pragmatik
memahami tentang konsep dasar, memahami tuturan, selanjutnya pada bab III membahas
tentang ruanglingkup pengkajian pragmatik. Dimana ruanglingkup pragmati itu mencakup,

23
deiksis, praanggapan, tindak tutur, implikatur, komponen tutur, variasi bahasa. Pada bab IV
bab VII satu persatu dari ruanglingkup itu dijelaskan dan dipaparkan.
b. Kemutakhiran isi buku
Kemutakhiran buku ini dapat kita lihat pada referensi buku yang digunakan tidak
lebih dari limabelas tahun dari buku ini diterbitkan. Jadi buku ini diterbitkan pada tahun
2016, maka buku yang dipakai yang mutakhir adalah buku dari A.E. Aziz (2008) Horison
Baru Teori Kesantunan Berbahasa, dan buku dari G.Yule (2008) Pragmatik: Indonesia.
Buku II
a. Keterkaitan antar Bab
Pada buku ini keterkaitan antar bab dapat dilihat pada bab II sampai dengan bab IX,
membahas tentang pragmatik, namun tidak terdapat satu judul yang menyebutkan bahwa bab
IV sampai denGan bab IX merupaka bagian dari ruanglingkup pragmatik.
b. Kemutakhiran isi buku
Kemutakhiran buku ini dapat kita lihat pada referensi buku yang digunakan tidak
lebih dari limabelas tahun dari buku ini diterbitkan. Jadi buku ini diterbitkan pada tahun
2012, maka buku yang dipakai yang mutakhir adalah buku Prof. A. Hamid Hasan Lubis
(1999) Glosarium Bahasa dan Sastera.

IV. Kelemahan Buku


Buku I
a. Keterkaitan antar Bab
Pada buku ini terdapat kelemahan diantara bab I dan dan bab II tidak ada keterkaitan,
dimana pada bab I tidak ada sedikit pun disinggung tentang bab II, begitu juga dengan
sebaliknya. Alangkah baiknya jika pada bab I diterangkan sedikit materi yang akan dibahas
pada bab II. Pada babVIII dan bab IX juga tidak diterangkan apa hubungannya dengan bab
sebelumnya.
b. Kemutakhiran buku
Referensi yang digunakan untuk menciptakan buku ini lebih banyak menggunakan
buku referensiyang sudah lebih dari limabelas tahun setelah penerbitanan buku ini.
Contohnya buku I Dewa Putu Wijaya (1996) Dasar-Dasar Pragmatik dan buku Abdul Chaer
(1994) Pengantar Sematik Bahasa Indonesia.

24
Buku II
a. Keterkaitan antar Bab
pada buku ini menurut saya saling berkaitan namun pada bab III menurut saya tidak
ada kaitanya dengan bab sebelumnya dan pada bab sesudah bab tersebut. Pada bab III yang
dibaasa adalah pengajaran bahasa secara pragmatik, setelah di bab berikutnya langsung
kepada tintack tutur, jadi tidak ada kaitannya antar bab itu diterangkan. Pada bab IV sampai
dengan bab IX tidak di jelaskan itu bagian apa.
b. Kemutakhiran buku
Referensi yang digunakan untuk menciptakan buku ini lebih banyak menggunakan
buku referensiyang sudah lebih dari limabelas tahun setelah penerbitanan buku ini, buku ini
diterbitkan pada tahun 2012. Contoh bukunya adalah Drs.Ukun Suryaman (1982) Pilihan
Kata dalam Bahasa Indonesia dan Marno Soemarno (1990) Pragmatik dalam Pengajaran
Bahasa Indonesia.

V. Implikasi
a. Implikasi terhadap Teori/Konsep
Hubungan atar teori pada pemaparan kedua buku ini saling berkaitan, sehingga
pemaparan atu pembahasan yang dibahas dalam buku ini memiliki alasan yang kuat tentang
kebenaran kearena danya teori tersebut. Adanya teori yang digunakan dalam kedua buku ini
saling berkaitan, maka setiap pembaca buku ini tidak ragu lagi dengan kebenaran materi pada
buku ini. Pada buku ini juga dilengkapi dengan jurnal .
b. Implikasi terhadap Program Pembangunan di Indonesia/Institusi
Menurut saya, kedua buku ini sangan besar manfaat bagi masyarakat Indonesia.
Terkhususnya bagi pelajar, pelajar tingkat tingi yaitu mahasiswa yang membidangi bahasa
Indonesia. Manfaatnya, kita mengetahui bagaimana berbahasa yang santun atau bertindak
tutur yang baik kepada lawan tutur kita. Dengan adanya buku ini, kita sebagi mahasiswa
dapat mempelajarinya dan mengetahui bagaimana keadaan berbahasa di Negara kita pada
saat ini. Kita juga dapa mengetahui setiap tuturan itu tergolong ke bagian mana saja, apakah
itui lokusi, perlokusi dan ilokusi dan juga yang lainnya.
c. Analisis Mahasiswa (posisi kritis mahasiswa)
Buku pragmatik ini adalah buku yang penting untuk dipelajari. Dalam buku pragmatik ini
kita dapat mengetahui bagimana cara bertindak tutur yang baik, bagiamana memaknai tuuran
yang disampaikan lawantutur kepada kita. Pengetahuan yang terdapat dalam buku ini dapat
kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan mungkin sebagian telah kita jalani dan
25
lakukan. Namun, karena kita tidak memahami pragmatik maka kita tidak mengetahui jenis
tuturan apa yang telah kita ucapkan kepda lawan tutur kita itu.
V. Simpulan dan Saran
Simpulan
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna tuturan penutur pada
situasi ujar tertentu. Ruanglingkup pragmatik itu adalah tindak tutur, deiksis,
implikasi,anggapan. Dalam buku PRAGMATIK Oky F Gafari, ruanglingkup pragmatik
terdiri dari enam bagian, sama halnya dalam buku Pragmatik & Pengajran Bahasa oleh
M.Joharis. Memaparkan dengan dilengkapi dengan contoh.
Saran
Dari kedua buku ini, alangkah baiknya pada buku M. Joharis dicantumkan judul
ruanglingkup pragmatik pada pembagian jenis ruanglingkup itu, supay para pembaca tidak
bingung tindak tutur, deiksis dan yang lain itu termasuk bagian apa dalam pragmatik. Pada
buku Oky F Gafari, alangkah baiknya cara penulisan kata-kata yang slah di perhatikan lagi.
Selanjutnya, pada bagian daftar isinya tidak baik dan tidak konsisten penomoranya, ada
babnya memakai angka biasa dan ada juga memakai angka romawi, sebaiknya penulisannya
diperhatikan lagi.

26
Daftar Pustaka/Bibliografi

Joharis Lubis, M. 2012. Pragmatik & Pengajran Bahasa. Medan: Unimed


Oky F Gafari. M. 2016. PRAGMATIK. Medan : Padang Bulan

27

Anda mungkin juga menyukai