Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat,
manusia tidak pernah terlepas dari pemakaian bahasa. Manusia sebagai makhluk
sosial pada dasarnya selalu menginginkan adanya kontak dengan manusia lain,
sedangkan alat yang paling efektif untuk keperluan itu adalah bahasa, dengan
bahasa seseorang dapat menunjukkan peranan dan keberadaannya dalam
lingkungan. Pemakaian bahasa dapat dijumpai dalam berbagai segi
kehidupan.Kenyataan menunjukkan bahawa pemakaian bahasa dalam segi
kehidupan yanglain. Termasuk di dalamnya bahasa yang dipakai dalam suatu
pembelajaran di lembaga pendidikan. Keberhasilan suatu program pembelajaran
ditentukan oleh beberapa komponen dan semua komponen tersebut harus saling
berinteraksi. Salah satu komponen tersebut adalah bahasa. Sejalan dengan pendapat
di atas, Nababan (1991) berpendapat bahwa dalam usaha memberikan kenyataan
yang konkret pada keterampilan berbahasa inilah dimasukkan suatu komponen
khusus yang disebut pragmatik. Komponenkomponen ini terdiri atas percakapan-
percakapan antara orang-orang tertentu dalam keadaan berkomunikasi tertentu
untuk tujuan komunikasi tertentu.
Para linguis biasanya memberikan batasan tentang bahasa sebagai suatu
sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok
anggota msyarakat untuk berinteraksi serta mengidentifikasikan diri (Abdul Chaer,
1994). Di sisi lain setiap sistem dan lambang bahasa menyiratkan bahwa setiap
lambang bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana saelalu memiliki
makna tertentu, yang bisa saja berubah pada saat dan situasi terentu. Atau bahkan
juga tidak berubah sama sekali.
Namun demikian, biasanya tidak banyak orang yang mempermasalahkan
bagaimana bahasa dapat digunakan sebagai media berkomunikasi yang efektif,
sehingga sebagai akibatnya penutur sebuah bahasa sering mengalami
kesalahpahaman dalam suasana dan kontekstuturannya. Salah satu cara untuk
mengetahui tentang hal itu adalah melalui sudut pandang pragmatik.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Pragmatik?
2. Bagaimanakah sejarah perkembangan Pragmatik?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pragmatik.
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan pragmatik.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pragmatik


Seorang filosof yang bernama Charles Morris, memperkenalkan sebuah
cabang ilmu yaitu pragmatik. Pragmatik adalah kajian tentang hubungan tanda
dengan orang yang menginterpretasikan tanda itu (Moris, 1938: 6 dalam Levinson,
1997: 1). Batasan pengertian ilmu pragmatik juga dikemukakan oleh para ahli yang
lain.
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule
(1996: 3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji
makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3)
bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang
dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang
mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang
terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi
menjadi dua bagian. Pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial,
menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan
kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik
dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995:
22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang
melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran
(fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran
ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam
interaksi (meaning in interaction).
Pragmatik menurut Geoffrey Leech (1993: 8) adalah ilmu tentang maksud
dalam hubungannya dengan situasi-situasi tuturan (speech situation). Proses tindak
tutur ditentukan oleh konteks yang menyertai sebuah tuturan tersebut. Dalam hal ini
Leech menyebutnya dengan aspek-aspek situasi tutur, antara lain : pertama, yang
menyapa (penyapa) dan yang disapa (penyapa); kedua, konteks sebuah tuturan;

3
ketiga, tujuan sebuah tuturan; keempat, tuturan sebagai bentuk tindakan atau
kegiatan tindak tutur (speech act); dan kelima, tuturan sebagai hasil tindak verbal
(Leech, 1993: 19-20). George Yule dalam bukunya Pragmatics (1996)
mengemukakan bahwa “Pragmatics is the study of speaker meaning as distinct
from word or sentence meaning (1996: 133), yang berarti pragmatik mempelajari
tentang makna yang dimaksudkan penutur yang berbeda dengan makna kata atau
makna kalimat. Batasan ini mengemukakan bahwa makna yang dimaksudkan oleh
penutur merupakan tuturan yang telah dipengaruhi oleh berbagai situasi tuturan, hal
ini berbeda dengan makna kata atau kalimat, karena makna kata atau kalimat
merupakan makna yang sesuai dengan makna yang berdasarkan arti yang tertulis
saja. Pengertian pragmatik dapat diintisarikan sebagai ilmu yang mempelajari
struktur bahasa secara eksternal, yang ditentukan oleh konteks dan situasi yang
melatarbelakangi pemakaian bahasa dalam komunikasi yang merupakan dasar
penentuan pemahaman maksud penggunaan tuturan oleh penutur dan mitra tutur.
Menurut pendapat Parker (1986) pragmatik adalah mempelajari bagaimana
bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Pragmatik berbeda dengan tata bahasa,
yang mempelajari struktur internal bahasa. Jadi menurut Parker bahwa studi tata
bahasa dianggapnya sebagai studi bahasa secara internal, dan pragmatik studi
bahasa secara eksternal. Batasan yang dikemukakan parker tersebut dapat dikatakan
pula bahwa studi kajian tata bahasa dianggap sebagai studi yang bebas konteks
(context independent).
Menurut Rohmadi (2004:2) pragmatik adalah studi kebahasaan yang terikat
konteks. Konteks memiliki peranan kuat dalam menentukan maksud penutur dalam
berinteraksi dengan lawan tutur. Menurut Rahardi (2005:49) pragmatik adalah ilmu
bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya
sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu.

2.2 Sejarah Pragmatik


2.2.1 Perkembangan Pragmatik

4
Di pihak lain, Mey (2001:21-22) menyatakan bahwa pragmatik lahir karena
adanya konflik “internal” didalam linguistik. Konflik ini bermula dari adanya
ketidakpuasan para linguis yang menganggap bahwa teori linguistik terlalu sempit
dan kurang mencerminkan penggunaan bahasa dalam praktik yang sebenarnya.
Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak
tahun 1970-an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat
pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang:
sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kemudian Halliday (1960) yang berusaha
mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang memandang bahasa sebagai
fenomena sosial. Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle
(1969, 1975), banyak mengilhami perkembangan pragmatik. Karya Austin yang
dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words
(1962).
Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika
sejak tahun 1970-an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat
pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang:
sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kemudian Halliday (1960) yang berusaha
mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang memandang bahasa sebagai
fenomena sosial.
Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969, 1975),
banyak mengilhami perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap sebagai
perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words (1962). Dalam karya
tersebut, Austin mengemukakan gagasannya mengenai tuturan performatif dan
konstatif.
Dalam berkomunikasi, Grice (1975) mencetuskan teori tentang prinsip kerja
sama (cooperative principle) dan implikatur percakapan (conversational
implicature). Menurut Grace, prinsip kerja sama adalah prinsip percakapan yang
membimbing pesertanya agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif dan
dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Prinsip ini terdiri atas empat
bidal: kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Menurut Gunarwan (1994: 54),
keunggulan teori prinsip kerja sama ini terletak pada potensinya sebagai teori

5
inferensi apakah yang dapat ditarik dari tuturan yang bidal kerja sama itu. Sejalan
dengan Keenan (1976) menyimpulkan bahwa bidal kuantitas, yaitu “buatlah
sumbangan Anda seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan”. Hal
ini berdasarkan penelitian tentang penerapan prinsip kerja sama di masyarakat
Malagasi.
Goody (1978) menemukan bahwa pertanyaan tidak hanya terbatas
digunakan untuk meminta informasi, melainkan juga untuk menyuruh, menandai
hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status. Fraser
(1978) telah melakukan deskripsi ulang tentang jenis tindak tutur. Gadzar (1979)
membicarakan bidang pragmatik dengan tekanan pada tiga topik, yaitu: implikatur,
praanggapan, dan bentuk logis. Gumperz (1982) mengembangkan teori implikatur
Grizer dalam bukunya Discourse Strategies. Ia berpendapat bahwa pelanggaran
atas prinsip kerja sama seperti pelanggaran bidal kuantitas dan cara menyiratkan
sesuatu yang tidak dikatakan. Sesuatu yang tidak diekspresikan itulah yang
dinamakan implikatur percakapan. Levinson (1983) mengemukakan revisi sebagai
uapaya penyempurnaan pendapat Grize tentang teori implikatur. Leech (1983)
mengemukakan gagasannya tentang prinsip kesantunan dengan kaidah yang
dirumuskannya ke dalam enam bidal: ketimbangrasaan, kemurahhatian,
keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian. Schiffrin (1994)
mambahas berbagai kemudian kajian wacana dengan menggunakan pendekatan
pragmatik.

2.2.2 Perkembangan Pragmatik di Indonesia


Istilah pragmatik secara nyata di Indonesia muncul pada 1984 ketika
diberlakukannya Kurikulum Sekulah Menengah Atas tahun 1984. Dalam
kurikulum ini pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi bahasa
Indonesia (Depdikbud, 1984).
Beberapa karya mengenai pragmatik mulai bermunculan. Diawali oleh
Tarigan (1986) yang membahas tentang pragmatik secara umum. Nababan (1987)
dan Suyono (1990) juga masih terkesan „memperkenalkan pragmatik“, sebab
belum membahas pragmatik secara rinci dan luas. Pada karya Tallei (1988), Lubis

6
(1993), dan Ibrahim (1993) tampak deskripsi yang agak mendalam, tetapi
orisinalitas gagasanya agak diragukan karena, terutama pada karya Tallei, hampir
sepenuhnya mengacu pada buku Discourse Analyses karya Stubbs (1983). Buku
pragmatik pertama yang tergolong kritis adalah karya Bambang Kaswanti Purwo
(1990) dengan judul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Karya Wijana (1996)
yang berjudul Dasar-dasar Pragmatik sudah menuju ke arah pragmatik yang
lebih lengkap dan mendalam. Beberapa penelitian pun telah dilakukan dalam
rangka disertasi, di antaranya adalah Kaswanti Purwo (1984), Rofiudin (1994),
Gunarwan (1992-1995), Rustono (1998), dan terakhir Saifullah (2001) dalam tesis
magisternya.

2.2.3 Pragmatik dalam Linguistik


Salah satu kecenderungan yang melatarbelakangi berkembangnya
pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam sintaksis, seperti
dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk
linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan
bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan secara gramatikal. Secara umum,
sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna
bahasanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata
didasarkan pada sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi
tetap dapat berjalan. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian
bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik
yang dalam hal ini dapat dipahami sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara
struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari
tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik,
dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan
mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan,
dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.
Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa
digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling

7
memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan
memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun
menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan
para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan
mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan
dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama
antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik
dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.
Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, penulis
akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001:
6) perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji
makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik
mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan
kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat
pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun
makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar
dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik
mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna
ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda
dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau
bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya,
sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat
bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan
dengan prinsip lain. Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti
diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat keterkaitan yaitu bahwa pengetahuan
pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali
peserta didik dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi
tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting
untuk membimbing peserta didik agar dapat menggunakan ragam bahasa yang
sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik.
Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik

8
dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik
dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara
pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang
mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal
(grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic
competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu,
kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan
untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic
competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui
beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.

9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pragmatik adalah kajian tentang hubungan tanda dengan orang yang
menginterpretasikan tanda itu (Moris, 1938: 6 dalam Levinson, 1997: 1). Batasan
pengertian ilmu pragmatik juga dikemukakan oleh para ahli yang lain. Di pihak lain,
Mey (2001:21-22) menyatakan bahwa pragmatik lahir karena adanya konflik
“internal” didalam linguistik. Konflik ini bermula dari adanya ketidakpuasan para
linguis yang menganggap bahwa teori linguistik terlalu sempit dan kurang
mencerminkan penggunaan bahasa dalam praktik yang sebenarnya. Istilah pragmatik
secara nyata di Indonesia muncul pada 1984 ketika diberlakukannya Kurikulum
Sekulah Menengah Atas tahun 1984.

3.2 Saran
Demikian makalah yang telah kami susun, kami menyadari masih terdapat
beberapa kekurangan dalam penulisan ini, kami sebagai penyusun mengharap kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan serta lebih bisa memahami pokok
bahasan, bagi para pembacanya dan khususnya bagi kami sebagai penyusun.

10
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2006. “Pragmatik: Konsep Dasar Memahami Konteks Tuturan.”
Jurnal Ilmu Bahasa Dan Sastra. Vol. 1 Nomor 2.
Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word. Oxford: Oxford University.
Leech, Geoffery. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press.
Mey, Yakob L. 1994. Pragmatic: An Introduction. Oxford: Blackwell Publisher
Ltd.
Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga
Rohmadi, Muhammad. 2004. Praktik Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar
Media.
Thomas. Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics.
London/New York: Longman.
Try Widyahening Evi. 2011. ”Pentingnya Tindak Tutur Kesantunan Siswa
Kepada Guru dalam Proses Belajar Mengajar.” Jurnal Ilmiah Vol 7, No 3.
Yuliana Rina, Rohmadi Muhamad, Suhita Raheni. 2013. “Daya Pragmatik TIndak
Tutur Guru dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa Sekolah
Menengah Pertama.” Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan
Pengajarannya. Vol. 2, No. 1.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.

11

Anda mungkin juga menyukai