Anda di halaman 1dari 11

PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA

A. RAGAM BAHASA TULIS, LISAN, LISAN TERTULIS, DAN TULIS TERLISAN


1. RAGAM BAHASA TULIS
Ragam bahasa tulis menggunakan huruf sebagai unsur dasarnya.Hal ini berkaitan
dengan ejaan, tata bahasa, dan kosa kata.Kelengkapan tata bahasa seperti bentuk kata
atau pun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan dalam
mengungkapkan ide.
2. RAGAM LISAN
Ragam lisan merupakan bahasa yang digunakan oleh pemakai bahasa dalam
berkomunikasi.Ragam lisan standar, misalnya orang berpidato atau memberi
sambutan dalam situasi perkuliahan dan ceramah.Ragam lisan non-standard, misalnya
dalam percakapan antarteman di pasar atau dalam kesempatan nonformal lainnya.
3. LISAN TERTULIS
4. TULIS TERLISAN
B. PEMBAKUAN BAHASA INDONESIA
Pembakuan atau penstandaran bahasa adalah pemilihan acuan yang dianggap
paling wajar dan paling baik dalam pemakaian bahasa.Masalah kewajaran terkait dengan
berbagai aspek. Dalam berbahasa, misalnya,aspek ini meliputi situasi,tempat,mitra
bicara,alat,status penuturnya,waktu,dan lain-lain.Aspek-aspek tersebut disebut juga
dengan istilah konteks. Konteks itulah yang menuntut adanya variasi bahasa.Dalam
pemakaiannya, variasi bahasa berhubungan dengan masalah fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi sosial. Berdasarkan fungsinya itu,maka bahasa tidak menunjukkan adanya
satu acuan yang dipergunakan untuk berkomunikasi dalam segala fungsinya.
Setiap acuan cenderung dipergunakan sesuai konteks yang mempengaruhinya.
Karena adanya berbagai acuan itu, maka masalah untama standardisasi bahasa adalah
acuan manakah yang harus dipilih di antara berbagai acuan yang ada dalam berbagai
variasi pemakaian sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang akan
ditetapkan sebagai acuan standar. Ada beberapa hal yang perlu dipedomani untuk
penetapan bahasa baku atau standar. Pedoman itu meliputi hal sebagai berikut:
1. Dasar keserasian; bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi,baik tulis maupun
lisan.
2. Dasar keilmuan; bahasa yang digunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah.
3. Dasar kesastraan; bahasa yang digunakan dalam berbagai karya sastra.
Masalah pembakuan bahasa terkait dengan dua hal, yakni kebijaksanaan bahasa
dan perencanaan bahasa.Melalui kebijaksanaan bahasa dipilih dan ditentukan salah satu
dari sejumlah bahasa yang ada untuk dijadikan bahasa nasional atau bahasa resmi
kenegaraan. Sedangkan melalui perencanaan bahasa dipilih dan ditentukan sebuah ragam
bahasa dari ragam-ragam yang ada untuk dijadikan ragam baku atau ragam standar
bahasa tersebut. Proses pemilihan atau penyeleksian dan penetapan salah satu ragam
bahasa resmi kenegaraan/kedaerahan, serta usaha-usaha pembinaan dan
pengembangannya yang dilakukan secara kontinu disebut pembakuan bahasa atau
penstandaran bahasa.

1. Bahasa Baku
Bahasa baku atau bahasa standar adalah bahasa yang memiliki nilai komunikatif
yang tinggi, yang digunakan dalam kepentingan nasional, dalam situasi resmi atau
dalam lingkungan resmi dan pergaulan sopan yang terikat oleh tulisan baku, ejaan
baku, serta lafal baku (Junus dan Arifin Banasuru, 1996:62). Bahasa baku tersebut
merupakan ragam bahasa yang terdapat pada bahasa bersangkutan. Ragam baku itu
merupakan ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga
masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan diakui oleh sebagian kerangka
rujukan norma bahasa dalam penggunaannya. Untuk menentukan apakah sebuah
ragam bahasa itu baku atau tidak, maka ada tiga hal yang dijadikan patokan. Ketiga
hal tersebut adalah kemantapan dan kedinamisan, kecendikian dan kerasionalan, serta
keseragaman.
a. Kemantapan dan Kedinamisan
Mantap artinya sesuai atau taat dengan kaidah bahasa.Kata rasa, misalnya kalau
dibubuhi imbuhan pe- maka terbentuklah kata jadian perasa.Begitu juga kata raba.
Kata tersebut bila dibubuhi imbuhan pe- maka akan terbentuk kata jadian peraba.
Kata rajin juga demikian. Kalau kita taat asas maka kita akan mengatakan pengaji
bukan pengkaji untuk orang yang melakukan kajian (research).
Dinamis artinya tidak statis alias tidak kaku. Bahasa baku tidak menghendaki
bentuk yang kaku, apalagi mati. Kata langganan mempunyai makna ganda, yaitu
orang yang berlangganan dan tokohnya disebut langganan dan orang yang
berlangganan di tokoh itu disebut pelanggan.

b. Kecendikian atau Kerasionalan


Ragam baku bersifat cendikia karena ragam baku dipakai di tempat-tempat resmi
dan oleh orang terpelajar. Selain itu, ragam baku dapat menjembatani
antarpengguna, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam pemerosesan pesan.
Dapat juga dikatakan ragam baku memberikan gambaran apa yang ada di dalam
otak pembicara atau penulis, serta memberikan gambaran yang jelas dalam otak
pendengar atau pembaca.
Contoh kalimat yang tidak cendikia:
1) Dukun beranak di jalan.
2) Saya akan membeli buku sejarah baru.
3) Permasalahan itu telah disampaikan berulang kali.
Kontruksi dukun beranak dan buku sejarah baru pada kalimat (1) dan (2) di atas
bermakna ganda.Makna pada kalimat (1) kemungkinan ada dua, yaitu dukun
melahirkan di jalan dan dukun yang profesinya sebagai dukun beranak berada di
jalan.Kalimat (2) juga memiliki kegandaan makna.Makna kalimat tersebut bisa
saja buku yang baru dan bisa juga sejarahnya yang baru.Sedangkan kalimat (3)
terdapat kekurangtepatan dalm menentukan pasangan kata –yang cocok.Perbaikan
kata yang kurang tepat itu adalah berulang-ulang atau berkali-kali.

c. Penyeragaman
Pada hakikatnya pembakuan bahasa berarti penyeragaman bahasa. Dengan kata
lain, pembakuan bahasa artinya pencarian atau penentuan titik-titik keseragaman.
Sebagai contoh, sebutan pelayanan kapal terbang dianjjurkan mengguanakan
istilah pramugara untuk laki-laki dan pramugari untuk perempuan. Andaikata ada
orang yang menggunakan kata steward/stewardes dan penyerapan itu
seragam,maka kata-kata tersebut menjadi kata-kata baku. Akan tetapi,
kenyataannya hingga saat ini kedua kata tersebut tidak kita gunakan dalam konteks
keindonesiaan.
2. Fungsi Bahasa Baku
Selain berfungsi sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi,
bahasa baku mempunyai fungsi lain. Gravin dan Mathint (Chaer : 252) menjelaskan
bahwa bahasa baku bersifat sosial politik, yaitu fungsi pemersatu, fungsi pemisah,
fungsi harga diri, dan fungsi kerangka acuan. Alwi, dkk. (1998:14-20) menjelaskan
bahwa bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga di antaranya bersifat pelambang
atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif. Fungsi – fungsi tersebut
adalah (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa
kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.Kridalaksana (1975) mencatat
empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam baku, yaitu (1) komunikasi
resmi, (2) wacana teknis, (3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan
dengan orang yang dihormati. Dari empat fungsi bahasa yang menuntut ragam baku
itu, hanya dua yang terakhir yang langsung berkaitan dengan komunikasi verbal
secara lisan. Dengan kata lain, lafal baku perlu digunakan dalam pembicaraan di
depan umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah, pidato, dsb. atau dalam pembicaraan
dengan orang yang dihormati seperti pembicaraan dengan atasan, dengan guru,
dengan orang yang baru dikenal dsb. Di atas telah kita lihat bahwa ragam bahasa
baku dianggap sebagai ragam bahasa yang baik yang cocok untuk keperluan
komunikasi verbal yang penting, yang menjadi tolok untuk pemakaian bahasa yang
benar, dan yang bergengsi serta berwibawa. Dalam hubungan dengan fungsi sosial
bahasa baku itu, Moeliono (1975) mencatat empat fungsi pokok, yaitu
(1) fungsi pemersatu,
(2) fungsi penanda kepribadian,
(3) fungsi penanda wibawa, dan
(4)fungsi sebagai kerangka acuan.
Dengan demikian, lafal baku–sebagai perwujudan bahasa baku secara fonetis–
mempunyai fungsi sosial sebagai
(1) pemersatu,
(2) penanda kepribadian,
(3) penanda wibawa, dan
(4) sebagai kerangka acuan.
3. Pemilihan Ragam Baku
Moeliono (1972:2) mengatakan bahwa pada umumnya yang layak adalah ujaran dan
tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan
paling besar kewibawaannya. Termasuk di dalamnya para pejabat negara, para guru,
warga media massa, alim ulama, dan cendikiawan.
Penggunaan ragam baku
– Surat menyurat antarlembaga
– Laporan keuangan
– Karangan ilmiah
– Lamaran pekerjaan
– Surat keputusan
– Perundangan
– Nota dinas
– Rapat dinas
– Pidato resmi
– Diskusi
– Penyampaian pendidikan
– Dan lain-lain.
4. Bahasa Indonesia Baku
Andaikata kita sudah memiliki salah satu ragam bahasa untuk dijadikan ragam
baku,maka pembakuan itu harus dilakukan pada semua tataran, baik fonologi,
morfologi, sintaksis, leksikon, maupun semantik. Secara resmi,berdasarkan Ejaan
Yang Disempurnkan, fonem-fonem bahasa Indonesia sudah ditentukan, tetapi yang
berhubungan dengan pelafalan belum pernah dilakukan pembakuan. Menurut
Konsensus, seseorang telah berbahasa Indonesia dengan lafal baku apabila ia tidak
menampakkan cirri-ciri bahasa daerah. Dengan pelafalan baku itu,seseorang tidak
diketahui secara linguistik darimana ia berasal. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
dalam berbahasa Indonesia baku,ia tidak terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain yang
dikuasainya.
Dalam konteks lafal baku ini,sebagai contoh penggunaannya adalah lafal para
penyiar TVRI dan RRI. Lafal mereka sudah dianggap memenuhi kriteria sebagai lafal
baku. Di bawah ini disajikan contoh lafal baku dan lafal tidak baku.
Tulisan lafal baku lafal tidak baku
analisis analisis analisa
apotek apotek apotik
atlet atlet atlit
bus bus bis
besok besok esok
dapa dapat dapet
enam enam anam
kalau kalaw Kalow,kalo

Dalam bidang ejaan,pembakuan telah lama dilakukan dan telah melalui proses
yang panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan van Ophuijsen pada tahun
1901,dilanjutkan dengan ejaan Swandi atau Ejaan Republik pada tahun
1947,diteruskan dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Bahkan EYD ini berlaku juga
bagi bahasa Melayu Malaysia dan bahasa Melayu Brunei Darussalam. Di bawah ini
disajikan perubahan dalam EYD : Ejaan Lama Yang Disempurnakan

Ejaan lama Yang di sempurnakan


Dj→ Djalan j→ jalan
J →Pajung y → Payung
Nj → Njonja Ny → Nyonya
Sj →Sjarat Sj →Syarat
Tj → Tjakap C → Cakap
Dalam bidang tata bahasa,pembakuan telah dilakukan,yakni dengan
diterbitkannya buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang saat ini telah tiga edisi.
Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosa kata dan peristilahan juga telah lama
dilakukan. Pembakuan tersebut dapat dilihat dari (1)ejaannya, (2)lafalnya,
(3)bentuknya, (4)sumber pengambilannya. Dalam bidang peristilahannya misalnya,
bahasa Indonesia memiliki aturan sendiri. Dari segi sumbernya, istilah-istilah yang
diambil dapat bersumber dari(1)kosa kata bahasa Indonesia(baik yang lazim maupun
tidak), (2)kosakata bahasa serumpun, dan (3)kosakata bahasa asing. Penjelasan lebih
lanjut tentang sumber istilah itu terlihat pada uraian berikut ini :
1) Kosakata Bahasa Indonesia
Kata bahasa Indonesia yang dapat dijadikan bahan istilah ialah kata umum,baik
yang lazim maupun tidak lazim. Kata-kata tersebut harus memenuhi salah satu
syarat(boleh lebih)berikut ini.
a. Kata dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau
sifat yang dimaksudkan,seperti tunak (steady), telus(percolate), imak
(simulate).
b. Kata lebih singkat daripada kata yang lain yang berujukan sama, seperti
gulma jika dibandingkan dengan tumbuhan pengganggu,suaka(politik)
dibandingkan dengan perlindungan(politik).
c. Kata yang tidak bernilai rasa(konotasi)buruk dan yang sedap
didengar(eufonik), seperti pramuria jika dibandingkan dengan hostes,
tunakarya dbandingkan dengan penganggur. Disamping itu, istilah dapat
berupa kata umum yang diberi makna baru atau makna khusus dengan jalan
menyempitkan atau meluaskan makna asalnya, misalnya: Berumah
dua,gaya, pejabat teras, tapak, garam, hari jatuh, peka.
2) Kosakata Bahasa Serumpun
Jika dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah yang dengan tepat dapat
mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan, maka
istilah dicari dalam bahasa serumpun, baik yang lazim maupun yang tidak lazim
yang memenuhi syarat pada bagian 1)di atas. Misalnya: istilah yang
lazim:gambut(banjar), nyeri(sunda), timbel(jawa), istilah yang tidak lazim atau
sudah kuno: gawai(jawa), luah(bali, bugis, minangkabau, sunda).
3) Kosakata Bahasa Asing
Jika baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa serumpun tidak
ditemukan istilah yang tepat, maka bahasa asing dapat dijadikan sumber
peristilahan Indonesia. Istilah baru dapat dibentuk dengan jalan menerjemahkan,
menyerap, menyerap sekaligus menerjemahkan istilah asing itu.
5. Ragam Baku Tulis Dan Baku Lisan
Dalam kehidupan berbahasa, kita sudah mengenal ragam lisan dan ragam
tulis,ragam baku dan ragam tidak baku. Oleh sebab itu, muncul ragam baku tulis dan
ragam baku lisan. Ragam baku tulis adalah ragam baku yang dipakai dengan resmi
dalam buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah lainnya. Pemerintah sekarang
mendahulukan ragam baku tulis secara nasional. Usaha itu dilakukan dengan
menerbitkan masalah ejaan bahasa Indonesia, yang tercantum dalam buku Pedoman
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan,Pedoman Umum Pembentukan
Istilah,dan pengadaan Kamus Besar Bahasa Indonesia(Arifin,1996:19-20).
Seiring dengan perubahan orientasi, dari budaya dengar-bicara menuju budaya
baca-tulis, yang tak terelakkan di dalam era globalisasi seperti sekarang ini, maka
Pusat Bahasa Depdiknas melakukan berbagai upaya. Upaya-upaya tersebut antara lain
pada tahun 2003 Pusat Bahasa menerbitkan beberapa buku seri pedoman. Buku-buku
tersebut adalah (1)Pdm 001 Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan, (2)Pdm 002 Pedoman Umum Pembentukan Istilah, (3)Pdm 003 Buku
Praktis Bahasa Indonesia 1, (4)Pdm 004 Buku Praktis Bahasa Indonesia 2, dan (5)
Pdm 005 Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing. Selain itu, para ahli dari
berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan Pusat Bahasa menyusun sebuah buku
rujukan utama, yakni Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.Buku teraebut hingga saat
ini telah berada pada edisi ketiga. Untuk lebih jelas tentang ragam baku tulis yang
digunakan dalam karya ilmiah perhatikan kertas kerja Amrin Saragih,2004 dan Khairil
Ansari,2003.
Disamping ragam baku tulis, ragam baku lisan juga dimasyarakatkan. Berbeda
dengan ragam baku tulis, ragam baku lisan penanganannya sangat sulit. Kesulitan itu
muncul karena umumnya para penutur bahasa Indonesia memiliki bahasa Indonesia
sebagai bahasa kedua. Implikasi dari itu,kemungkinan besar pengaruh bahasa
pertama,baik fonologi, morfologi, sintaksis maupun logat atau dialek akan terjadi bila
ia bertutur dengan menggunakan bahasa Indonesia. Seseorang dikatakan menggunakan
ragam baku lisan apabila ia dapat meminimalkan atau menghilangkan ragam daerah
dalam tuturan. Ini berarti, bila ia berbicara maka orang lain tidak dapat
mengidentifikasi secara linguistik dari mana ia berasal.
1. Ciri-Ciri Lafal Baku Bahasa Indonesia
Bahasa baku baik ragam lisan maupun tulisan selalu dikaitkan dengan
bahasa sekolah yang juga disebut ragam tinggi. Ragam bahasa tinggi ini lazim
digunakan oleh mereka yang menganggap dirinya terpelajar.Salah satu ciri yang
menonjol bahasa kaum terpelajar ini, yang menyangkut lafal, adalah bahwa sistem
bunyinya lebih kompleks dibandingkan dengan sistem bunyi yang dimiliki kaum
tak-terpelajar.Bahasa kaum terpelajar cenderung mempunyai khasanah bunyi yang
lebih banyak.Karena itu, kaum terpelajar cenderung membedakan kata seni dari
zeni, kata sarat dari syarat, kata kas dari khas, dan kata teras (rumah) dari teras
(dalam arti inti) sedangkan kaum tidak terpelajar cenderung tidak membedakan
pasangan-pasangan kata itu dalam berbicara.
Bahasa kaum terpelajar juga cenderung mempunyai kaidah fonotaktis yang
lebih rumit. Kaum terpelajar akan mengacu kumpulan bangunan sejenis di suatu
tempat sebagai kompleks, aksi-aksi mahasiswa yang menuntut reformasi sebagai
demonstrasi, dan olahraga konglomerat yang dilakukan di padang-padang bekas
kebun teh dan sawah rakyat sebagai golf, sementara kelompok tidak terpelajar
cenderung akan mengacunya masing-masing sebagai komplek, demonstrasi, dan
golop, paling tidak, dalam berbahasa lisan.
Selain khasanah bunyi yang lebih banyak dan kaidah fonotaktis yang
menyatakan kombinasi-kombinasi bunyi yang lebih kompleks, bahasa kaum
terpelajar cenderung juga berbeda dari bahasa kaum tak-terpelajar dalam hal
kaidah pemberian tekanan pada kata.Bahasa kaum terpelajar cenderung
memperlihatkan kaidah tekanan yang lebih teratur dan lebih berdasar daripada
bahasa kaum tak-terpelajar. Perbedaan lafal akibat perbedaan kaidah penempatan
tekanan antara kedua kelompok penutur bahasa Indonesia itu akan lebih tajam bila
kata-kata itu berada dalam untaian kalimat. Bandingkan kolom A dan B berikut
(suku kata yang mendapat tekanan dinyatakan dengan kapital).

C. BAHASA YANG BAIK DAN BENAR


Berbahasa Indonesia yang baik berarti bahwa kita harus menggunakan bahasa
Indonesia sesuai dengan konteks berbahasa yang selaras dengan nilai sosial masyarakat.
Peraturan ini berkaitan penggunaan ragam bahasa secara tulis dan lisan untuk kebutuhan
berkomunikasi.Ragam bahasa dari sisi penggunaan bahasa ada dua, yaitu ragam formal
dan ragam nonformal.Ada dua hal yang kita perhatikan dalam kalimat ini.Pertama,
berbahasa sesuai dengan konteksnya dan, kedua, berbahasa selaras dengan nilai sosial
masyarakat. Hal itu yang menjadi alasan mengapa Kurikulum 2013 menggunakan
pendekatan berbasis teks dalam pengajaran berbahasa, baik bahasa Indonesia maupun
bahasa lainnya.
Bahasa diperkenalkan kepada siswa dalam konteksnya dan tidak sebagai satuan-
satuan kata yang berdiri sendiri.Dengan demikian, siswa dihadapkan dengan konsep-
konsep bahasa sejak awal.Misalnya, perbedaan penggunaan kata cuma dan hanya.
Adapun, bahasa Indonesia yang baik berkaitan dengan nilai sosial masyarakat. Artinya,
pada saat menggunakan bahasa, wajib diperhatikan kepada siapakah kita berkomunikasi.
Berkomunikasi dengan teman tentu akan berbeda dengan berkomunikasi dengan orang
tua. Kata aku digunakan kepada teman-teman dan kata saya digunakan kepada orang
yang lebih tua atau yang dihormati.Dalam hal ini, kesantunan berbahasa mulai diajarkan.
Berbahasa Indonesia yang benar berarti bahwa harus digunakan bahasa Indonesia
yang sesuai dengan kaidah atau aturan bahasa Indonesia. Kaidah bahasa Indonesia
meliputi kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, dan kaidah pembentukan istilah. Kaidah tata
bahasa dan kaidah pembentukan istilah berkaitan dengan bahasa Indonesia lisan dan tulis.
Penggunaan bahasa yang tidak memperhatikan kaidah tata bahasa akan membingungkan.
Misalnya, kesalahan tata bahasa dalam kalimat “Karena sering kebanjiran, gubernur
melarang pembangunan gedung di sana”.Apakah “gubernur” yang sering kebanjiran atau
“suatu daerah”?Kesalahan seperti itu sering terjadi dalam kalimat majemuk. Kaidah
ketatabahasaannya adalah “Dalam kalimat majemuk bertingkat, subjek dalam anak
kalimat dapat dihilangkan jika induk kalimat dan anak kalimat mengandung subjek yang
sama”. Dalam kalimat contoh, subjek pada induk kalimat tidak sama dengan subjek pada
anak kalimat. Akibatnya, subjek pada anak kalimat wajib hadir.Kaidah pembentukan
istilah berkaitan penggunaan kata serapan.Seringkali, ditemukan ucapan “Selamat
pagi.Selamat menjalankan aktifitas hari ini”.

Pengguna bahasa tidak secara cermat membedakan penulisan aktif dan aktivitas
karena dalam bahasa Indonesia bunyi [f] dan [v] tidak membedakan arti. Contoh lainnya,
dalam kalimat Pengakuannya menunjukkan sisi gentle dari dirinya.Seharusnya, istilah
yang digunakan adalah gentlemen.Kedua kata sifat ini berbeda arti. Kata gentle berarti
‘lemah lembut’, sedangkan gentlemen berarti ‘lelaki yang memiliki etika, moral, dan
berbudi bahasa halus’. Penggunaan istilah asing, sebaiknya, disertai dengan pengetahuan
tentang bahasa asing yang digunakan.

Adapun kaidah ejaan hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa Indonesia tulis
dan berkaitan dengan dua hal. Pertama, kaidah ejaan berkaitan dengan penulisan kata,
misalnya sekadar bukan *sekedar; di antara bukan *diantara sebaliknya ditonton bukan
*di tonton.Kedua, kaidah ejaan berkaitan dengan penggunaan tanda baca. Misalnya,
“Yuk, kita makan, Eyang” akan berbeda artinya dengan “Yuk, kita makan Eyang”.
Kalimat pertama ‘mengajak eyang untuk makan bersama’, sedangkan kalimat kedua
berarti ‘mengajak kita untuk memakan eyang’.Penggunaan koma yang kecil
menghasilkan perbedaan arti yang besar.
Lalu, apakah itu berarti bahwa kita harus selalu berbahasa ragam formal?Pada
saat kita berbicara dengan tukang sayur atau kepada teman, kita tentu tidak perlu
menggunakan ragam formal.Permasalahannya adalah apakah pada saat berbahasa ragam
nonformal, kita harus tetap mengindahkan kaidah berbahasa? Jawabannya adalah ya!
Menggunakan kaidah dalam ragam nonformal berarti menggunakan pilihan kata yang
sesuai dan tepat serta menggunakan kaidah tata bahasa yang benar.Misalnya, pada saat
membeli bakso, jangan mengatakan, “*Bang, saya bakso pake bihun.”Kalimat itu bukan
kalimat yang benar.Saya bukan bakso, saya orang.Untuk menjadi kalimat yang baik dan
benar, hanya dibutuhkan satu kata, yaitu “mau” menjadi “Bang, saya mau bakso pake
bihun.”

Jadi, berbahasa Indonesia yang baik dan benar berarti menyampaikan pikiran
dengan informasi yang lengkap secara teratur.Ragam bahasa yang digunakan dapat
berupa ragam bahasa formal atau nonformal, bergantung pada konteksnya.

D. BAHASA ILMIAH
1. Pengertian Bahasa Ilmiah
a) Bahasa ilmiah ialah bahasa yang mendefinisikan secara tepat istilah dan pengertian
yang berkaitan dengan suatu penelitian, agar tidak menimbulkan kerancuan.
b) Bahasa ilmiah berarti sesuai dengan kaidah dan gaya penulisan jurnalistik, namun
tidak meninggalkan sifat ilmiah.
c) Bahasa ilmiah ialah bahasa yang penulisan dan pengucapannya sesuai dengan ejaan
yang disempurnakan (EYD).
d) Bahasa ilmiah ialah bahasa yang memiliki kemampuan untuk membedakan gagasan
atau pengertian yang memang berbeda-beda strukturnya yang baku dan cermat,
dengan karakteristik ini suatu gagasan dapat terekspresi dengan cermat tanpa
kesalahan makna bagi penerimanya.

2. Ciri-ciri Bahasa Ilmiah


Ciri-ciri bahasa ilmiah antara lain :
a) Bahasa ilmiah harus tepat dan tunggal makna, tidak remang nalar ataupun
bermakna ganda.
Contoh : Penelitian ini mengkaji teknik pentajaman objek yang efektif dan efisien.
b) Bahasa ilmiah harus singkat, jelas dan efektif.
Contoh : Tulisan ini membahas kecenderungan teknologi informasi menjelang abad
ke-21.

E. ETIKA DAN KESOPANAN DALAM BERBAHASA


1. Etika Berbahasa
Menurut Masinambow dalam Chaer dan Agustina (2010:172) Sistem bahasa
mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam
masyarakat, oleh karena itu di dalam tindak laku berbahasa hendaknya disertai dengan
norma-norma yang berlaku dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut
norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa. 
Etika berbahasa merupakan subsistem dari kebudayaan hal ini terbukti dengan
kemampuan seseorang dalam berbahasa diukur melalui pengetahuannya mengenai
suatu budaya dalam suatu masyarakat tempat ia tinggal. Melalui budaya yang ia
pelajari ia akan dapat dengan mudah menggunakan bahasa sesuai dengan tata cara atau
etika berbahasa yang berlaku di masyarakat tersebut. Etika berbahasa erat kaitannya
dengan keberadaan suatu kelompok masyarakat, oleh karena itu seharusnya etika
berbahasa dimiliki oleh seseorang maupun kelompok masyarakat itu sendiri, karena
melalui bahasa seseorang akan tahu status sosial dan budaya dalam masyarakat itu
sehingga dapat memudahkan orang tersebut dalam memilih atau menggunakan bahasa
secara tepat pada tempatnya. Dalam menerapkan etika berbahasa hendaknya seseorang
atau masyarakat diberi pengetahuan mengenai aturan-aturan sosial berbahasa, seperti:
siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, tentang apa, kapan, di mana,
dan dengan tujuan apa. Dengan mengetahui aturan-aturan tersebut seseorang atau
masyarakat akan lebih mudah dalam memilih kata-kata dalam berkomunikasi.
Hal di atas sesuai dengan pendapat Hymes dalam Chaer dan Agustina
(2010:172) yang mengatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan
komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim
SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah: Setting and scane yaitu berkenaan
dengan waktu dan tempat tutur berlangsung. Participant yaitu pihak-pihak yang
terlibat dalam pertututran. Ends yaitu maksud dan tujuan pertuturan. Act
sequence yaitu bentuk ujaran da isi ujaran. Key yaitu nada, cara dan semangat dimana
suatu pesan disampaikan. Instrumentalities yaitu jalur bahasa yang
digunakan. Genre yaitu jenis bentuk penyampaian.
Aspek sosial budaya dalam memilih kata sapaan juga harus dipertimbangkan
dalam etika berbahasa seperti: yang disapa itu lebih tua, sederajat, lebih muda, atau
kanak-kanak; status sosialnya lebih tinggi, sama, atau lebih rendah; situasinya formal
atau tidak formal; akrab atau tidak akrab; wanita atau pria; sudah dikenal atau belum
dikenal dan sebagainya.
Selain aspek sosial yang harus diperhatikan dalam etika berbahasa adalah
ketepatan waktu, artinya dengan mengetahui kapan waktunya kita berbicara dan
mendengarkan. Dengan memperhatikan hal seperti ini maka seseorang atau
masyarakat akan saling menghargai satu sama lain dalam berinteraksi atau
berkomunikasi.
Kualitas volume suara dan gerak-gerik anggota tubuh saat berbicara juga
sangat berpengaruh pada etika berbahasa. Mengenai kualitas volume suara untuk
menjaga etika berbahasa kita harus mengenal terlebih dahulu penuturnya berasal dari
mana atau kebiasaan di daerahnya, karena biasanya penutur yang berasal dari Sumatra
akan menggunakan volume suara yang lebih tinggi. Oleh karena itu dalam
menerapkan etika berbahasa hendaknya mempelajari dahulu kebudayaan, norma dan
kode bahasa dalam masyarakat tersebut.

2. Kesopanan dalam Berbahasa


Nadar (2013:251) mengatakan bahwa kesopanan berbahasa dapat
disebut kesantunan berbahasa yang dipakai penutur untuk mengurangi rasa
tidak senang, tidak berkenan hati, atau sakit hati akibat tuturan yang diucapkan
oleh penutur.Maksudnya, dengan komunikasi bahasa yang santun dapat menjadikan
kegiatan berkomunikasi menjadi baik dan saling menghormati.Seperti yang dikatakan
Chaer (2010:10) kesantunan berbahasa pada suatu tuturan terdapat tiga kaidah yang
harus dipatuhi seperti; formalitas, kesamaan, dan ketidaktegasan.Kaidah formalitas
memiliki arti jika tuturan tidak boleh ada unsur pemaksaan.Kaidah kesamaan berarti
adanya kesetaraan penutur dengan lawan tutur, dan kaidah ketidaktegasan dapat
diartikan bahwa lawan tutur mempunyai pilihan untuk mersepon tuturan yang telah
disampaikan.

Anda mungkin juga menyukai