1. Bahasa Baku
Bahasa baku atau bahasa standar adalah bahasa yang memiliki nilai komunikatif
yang tinggi, yang digunakan dalam kepentingan nasional, dalam situasi resmi atau
dalam lingkungan resmi dan pergaulan sopan yang terikat oleh tulisan baku, ejaan
baku, serta lafal baku (Junus dan Arifin Banasuru, 1996:62). Bahasa baku tersebut
merupakan ragam bahasa yang terdapat pada bahasa bersangkutan. Ragam baku itu
merupakan ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga
masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan diakui oleh sebagian kerangka
rujukan norma bahasa dalam penggunaannya. Untuk menentukan apakah sebuah
ragam bahasa itu baku atau tidak, maka ada tiga hal yang dijadikan patokan. Ketiga
hal tersebut adalah kemantapan dan kedinamisan, kecendikian dan kerasionalan, serta
keseragaman.
a. Kemantapan dan Kedinamisan
Mantap artinya sesuai atau taat dengan kaidah bahasa.Kata rasa, misalnya kalau
dibubuhi imbuhan pe- maka terbentuklah kata jadian perasa.Begitu juga kata raba.
Kata tersebut bila dibubuhi imbuhan pe- maka akan terbentuk kata jadian peraba.
Kata rajin juga demikian. Kalau kita taat asas maka kita akan mengatakan pengaji
bukan pengkaji untuk orang yang melakukan kajian (research).
Dinamis artinya tidak statis alias tidak kaku. Bahasa baku tidak menghendaki
bentuk yang kaku, apalagi mati. Kata langganan mempunyai makna ganda, yaitu
orang yang berlangganan dan tokohnya disebut langganan dan orang yang
berlangganan di tokoh itu disebut pelanggan.
c. Penyeragaman
Pada hakikatnya pembakuan bahasa berarti penyeragaman bahasa. Dengan kata
lain, pembakuan bahasa artinya pencarian atau penentuan titik-titik keseragaman.
Sebagai contoh, sebutan pelayanan kapal terbang dianjjurkan mengguanakan
istilah pramugara untuk laki-laki dan pramugari untuk perempuan. Andaikata ada
orang yang menggunakan kata steward/stewardes dan penyerapan itu
seragam,maka kata-kata tersebut menjadi kata-kata baku. Akan tetapi,
kenyataannya hingga saat ini kedua kata tersebut tidak kita gunakan dalam konteks
keindonesiaan.
2. Fungsi Bahasa Baku
Selain berfungsi sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi,
bahasa baku mempunyai fungsi lain. Gravin dan Mathint (Chaer : 252) menjelaskan
bahwa bahasa baku bersifat sosial politik, yaitu fungsi pemersatu, fungsi pemisah,
fungsi harga diri, dan fungsi kerangka acuan. Alwi, dkk. (1998:14-20) menjelaskan
bahwa bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga di antaranya bersifat pelambang
atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif. Fungsi – fungsi tersebut
adalah (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa
kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.Kridalaksana (1975) mencatat
empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam baku, yaitu (1) komunikasi
resmi, (2) wacana teknis, (3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan
dengan orang yang dihormati. Dari empat fungsi bahasa yang menuntut ragam baku
itu, hanya dua yang terakhir yang langsung berkaitan dengan komunikasi verbal
secara lisan. Dengan kata lain, lafal baku perlu digunakan dalam pembicaraan di
depan umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah, pidato, dsb. atau dalam pembicaraan
dengan orang yang dihormati seperti pembicaraan dengan atasan, dengan guru,
dengan orang yang baru dikenal dsb. Di atas telah kita lihat bahwa ragam bahasa
baku dianggap sebagai ragam bahasa yang baik yang cocok untuk keperluan
komunikasi verbal yang penting, yang menjadi tolok untuk pemakaian bahasa yang
benar, dan yang bergengsi serta berwibawa. Dalam hubungan dengan fungsi sosial
bahasa baku itu, Moeliono (1975) mencatat empat fungsi pokok, yaitu
(1) fungsi pemersatu,
(2) fungsi penanda kepribadian,
(3) fungsi penanda wibawa, dan
(4)fungsi sebagai kerangka acuan.
Dengan demikian, lafal baku–sebagai perwujudan bahasa baku secara fonetis–
mempunyai fungsi sosial sebagai
(1) pemersatu,
(2) penanda kepribadian,
(3) penanda wibawa, dan
(4) sebagai kerangka acuan.
3. Pemilihan Ragam Baku
Moeliono (1972:2) mengatakan bahwa pada umumnya yang layak adalah ujaran dan
tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan
paling besar kewibawaannya. Termasuk di dalamnya para pejabat negara, para guru,
warga media massa, alim ulama, dan cendikiawan.
Penggunaan ragam baku
– Surat menyurat antarlembaga
– Laporan keuangan
– Karangan ilmiah
– Lamaran pekerjaan
– Surat keputusan
– Perundangan
– Nota dinas
– Rapat dinas
– Pidato resmi
– Diskusi
– Penyampaian pendidikan
– Dan lain-lain.
4. Bahasa Indonesia Baku
Andaikata kita sudah memiliki salah satu ragam bahasa untuk dijadikan ragam
baku,maka pembakuan itu harus dilakukan pada semua tataran, baik fonologi,
morfologi, sintaksis, leksikon, maupun semantik. Secara resmi,berdasarkan Ejaan
Yang Disempurnkan, fonem-fonem bahasa Indonesia sudah ditentukan, tetapi yang
berhubungan dengan pelafalan belum pernah dilakukan pembakuan. Menurut
Konsensus, seseorang telah berbahasa Indonesia dengan lafal baku apabila ia tidak
menampakkan cirri-ciri bahasa daerah. Dengan pelafalan baku itu,seseorang tidak
diketahui secara linguistik darimana ia berasal. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
dalam berbahasa Indonesia baku,ia tidak terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain yang
dikuasainya.
Dalam konteks lafal baku ini,sebagai contoh penggunaannya adalah lafal para
penyiar TVRI dan RRI. Lafal mereka sudah dianggap memenuhi kriteria sebagai lafal
baku. Di bawah ini disajikan contoh lafal baku dan lafal tidak baku.
Tulisan lafal baku lafal tidak baku
analisis analisis analisa
apotek apotek apotik
atlet atlet atlit
bus bus bis
besok besok esok
dapa dapat dapet
enam enam anam
kalau kalaw Kalow,kalo
Dalam bidang ejaan,pembakuan telah lama dilakukan dan telah melalui proses
yang panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan van Ophuijsen pada tahun
1901,dilanjutkan dengan ejaan Swandi atau Ejaan Republik pada tahun
1947,diteruskan dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Bahkan EYD ini berlaku juga
bagi bahasa Melayu Malaysia dan bahasa Melayu Brunei Darussalam. Di bawah ini
disajikan perubahan dalam EYD : Ejaan Lama Yang Disempurnakan
Pengguna bahasa tidak secara cermat membedakan penulisan aktif dan aktivitas
karena dalam bahasa Indonesia bunyi [f] dan [v] tidak membedakan arti. Contoh lainnya,
dalam kalimat Pengakuannya menunjukkan sisi gentle dari dirinya.Seharusnya, istilah
yang digunakan adalah gentlemen.Kedua kata sifat ini berbeda arti. Kata gentle berarti
‘lemah lembut’, sedangkan gentlemen berarti ‘lelaki yang memiliki etika, moral, dan
berbudi bahasa halus’. Penggunaan istilah asing, sebaiknya, disertai dengan pengetahuan
tentang bahasa asing yang digunakan.
Adapun kaidah ejaan hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa Indonesia tulis
dan berkaitan dengan dua hal. Pertama, kaidah ejaan berkaitan dengan penulisan kata,
misalnya sekadar bukan *sekedar; di antara bukan *diantara sebaliknya ditonton bukan
*di tonton.Kedua, kaidah ejaan berkaitan dengan penggunaan tanda baca. Misalnya,
“Yuk, kita makan, Eyang” akan berbeda artinya dengan “Yuk, kita makan Eyang”.
Kalimat pertama ‘mengajak eyang untuk makan bersama’, sedangkan kalimat kedua
berarti ‘mengajak kita untuk memakan eyang’.Penggunaan koma yang kecil
menghasilkan perbedaan arti yang besar.
Lalu, apakah itu berarti bahwa kita harus selalu berbahasa ragam formal?Pada
saat kita berbicara dengan tukang sayur atau kepada teman, kita tentu tidak perlu
menggunakan ragam formal.Permasalahannya adalah apakah pada saat berbahasa ragam
nonformal, kita harus tetap mengindahkan kaidah berbahasa? Jawabannya adalah ya!
Menggunakan kaidah dalam ragam nonformal berarti menggunakan pilihan kata yang
sesuai dan tepat serta menggunakan kaidah tata bahasa yang benar.Misalnya, pada saat
membeli bakso, jangan mengatakan, “*Bang, saya bakso pake bihun.”Kalimat itu bukan
kalimat yang benar.Saya bukan bakso, saya orang.Untuk menjadi kalimat yang baik dan
benar, hanya dibutuhkan satu kata, yaitu “mau” menjadi “Bang, saya mau bakso pake
bihun.”
Jadi, berbahasa Indonesia yang baik dan benar berarti menyampaikan pikiran
dengan informasi yang lengkap secara teratur.Ragam bahasa yang digunakan dapat
berupa ragam bahasa formal atau nonformal, bergantung pada konteksnya.
D. BAHASA ILMIAH
1. Pengertian Bahasa Ilmiah
a) Bahasa ilmiah ialah bahasa yang mendefinisikan secara tepat istilah dan pengertian
yang berkaitan dengan suatu penelitian, agar tidak menimbulkan kerancuan.
b) Bahasa ilmiah berarti sesuai dengan kaidah dan gaya penulisan jurnalistik, namun
tidak meninggalkan sifat ilmiah.
c) Bahasa ilmiah ialah bahasa yang penulisan dan pengucapannya sesuai dengan ejaan
yang disempurnakan (EYD).
d) Bahasa ilmiah ialah bahasa yang memiliki kemampuan untuk membedakan gagasan
atau pengertian yang memang berbeda-beda strukturnya yang baku dan cermat,
dengan karakteristik ini suatu gagasan dapat terekspresi dengan cermat tanpa
kesalahan makna bagi penerimanya.