Adapun ragam bahasa yang bisa ditinjau dari sudut pandang golongan
penutur didasarkan pada patokan daerah penutur, pendidikan pemakai bahasa, dan
sikap penutur bahasa. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri dari
berbagai macam wilayah daerah, yang banyak dipisahkan oleh selat, pegunungan,
dan lautan. Seiring dengan adanya jarak dan perbedaan wilayah geografis inilah
logat atau dialek daerah berbeda-beda. Ragam bahasa (dialek) setiap daerah
penutur atau antarwilayah pasti berbeda. Logat daerah pulau Jawa misalnya, bisa
dipastikan antara daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat berbeda baik
dalam kaidah tata bunyi, struktur kata, dan lain sebagainya. Dan, akan tampak
berbeda lagi antara logat daerah penutur antarpulau, semisal logat atau dialek
masyarakat penutur di Jawa dan Bali. Contoh konkritnya adalah pada pelafalan
bunyi /t/ dan /d/ pada setiap tutur katanya. Berbeda halnya dengan patokan daerah,
ragam penutur bahasa yang didasarkan pada potokan pendidikan juga pasti
berbeda. Hal semacam ini bisa dibuktikan dari perbedaan penggunaan bahasa
Indonesia anatar kaum yang pernah mengenyam pendidikan formal dengan kaum
yang tidak pernah mengenyam pendidikan. Salah satu contoh riil tampak pada
penggunaan huruf /f/ dan akhiran /ks/ pada kata dasar fakultas, film, dan
kompleks yang dikenal dalam ragam orang yang berpendidikan, bervariasi dengan
kata pakultas, pilem, dan komplek dalam ragam orang nonpendidikan. Ragam
bahasa yang didasarkan oleh sikap penutur lebih disebut dengan istilah lenggam
atau gaya. Hal ini juga didukung oleh lawan penutur atau orang yang diajak
berkomunikasi. Ragam bahasa semacam ini pada umumnya dipengaruhi oleh
faktor umur dan kedudukan, materi yang dibicarakan, dan tujuan dari
penyampaian pembicaraan. Misalnya, gaya bahasa yang dipakai seseorang untuk
memberikan laporan kepada atasannya, gaya memarahi orang, gaya menulis surat
untuk kekasih, gaya mengobrol dengan sahabat atau teman sejawat, dan lain
sebagainya.
Pada dasarnya, antara ragam bahasa tulis dan ragam lisan bahasa Indonesia
juga terdapat ragam baku dan tidak baku. Ragam baku adalah ragam yang
dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya
sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya. Sedangkan,
ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilembagakan dan ditandai dengan ciri-
ciri yang menyimpang dalam norma ragam baku.
Penjelasan ini dipertegas lagi oleh pendapat Tasai dan Zaenal Arifin
(2000:19) bahwa ragam baku mempunyai sifat-sifat (1) kemantapan dinamis, (2)
cendekia, dan (3) seragam. Kemantapan dinamis. Kata mantap di sini diartikan
sesuai dengan kaidah bahasa. Kalau kata rasa dibubuhi awalan pe-, akan terbentuk
perasa. Kata raba dibubuhi pe- akan terbentuk kata peraba. Oleh karena itu,
menurut kemantapan berbahasa, kata rajin yang dibubuhi pe- akan menjadi
perajin, bukan pengrajin. Dengan demikian, kalau kita berpegang pada sifat
mantap, kata pengrajin tidak dapat kita terima sebagai ragam bahasa yang baku.
Dinamis artinya stastis, tidak kaku. Bahasa baku tidak menghendaki adanya
bentuk mati. Cendekia. Ragam bahasa baku bersifat cendekia karena ragam baku
dipakai pada tempat-tempat resmi. Pewujud ragam baku ini adalah orangorang
yang terpelajar atau pernah mengenyam di pendidikan formal. Hal ini
dimungkinkan oleh pembinaan dan pengembangan bahasa yang lebih banyak
melalui jalur pendidikan formal (sekolah). Seragam. Ragam bahasa baku selalu
bersifat seragam. Artinya, pada hakikatnya proses pembakuan bahasa ialah proses
penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa adalah titik-titik
keseragaman. Ragam Baku Tulis dan Ragam Baku Lisan Bahasa Indonesia Dalam
kehidupan berbahasa, manusia sudah mengenal ragam bahasa tulis dan lisan,
ragam bahasa baku dan tidak baku. Oleh sebab itu, muncul istilah ragam bahasa
baku tulis dan ragam bahasa baku lisan. Ragam bahasa baku tulis adalah ragam
yang dipakai dengan resmi dalam buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah.
Saat ini, pemerintah mendahulukan pembakuan ragam baku tulis. Hal ini bisa
dibuktikan dengan penerbitan buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan, buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah, dan pengadaan
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lalu, bagaimana dengan masalah ragam bahasa
baku lisan? Ukuran dan nilai ragam bahasa baku lisan tergantung pada besar atau
kecilnya ragam daerah yang terdengar dalam ucapan. Artinya, seseorang dapat
dikatakan berbahasa lisan yang baku jikalau dalam pembicaraannya tidak terlalu
menonjolkan logat atau dialek daerahnya.
Fungsi Bahasa Indonesia Baku
5. Menggunakan EYD