Anda di halaman 1dari 8

Ragam Bahasa Indonesia.

Keterampilan berbahasa setiap individu seseorang dapat diukur melalui


kekayaan perbendaharaan kosakatanya. Artinya, semakin banyak kosakata yang
dikuasai setiap individu seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat keterampilan
berbahasanya. Kosakata yang dimiliki setiap orang juga dapat dijadikan sebagai
ukuran untuk mengetahui kadar pengetahuan, kecerdasan, dan pengalaman
berbahasa seseorang. Dengan demikian, kekayaan kosakata yang memadai bisa
tercermin dari penggunaan bahasa seseorang dalam menyatakan pikiran, perasaan,
pengalaman, dan gagasan kepada orang lain secara jelas dan tepat, baik dalam
bentuk lisan maupun tulisan. Seiring dengan peralihan zaman dan perkembangan
IPTEK, bahasa Indonesia yang kian hari banyak dipakai atau digunakan oleh
beragam etnik penuturnya mengalami perubahan, baik dalam bentuk kaidah tata
bunyi, pembentukan kata, tata makna, dan lain sebagainya. Perubahan kaidah,
baik yang menyangkut masalah kelisanan dan keberaksaraan yang seperti inilah
yang dianggap sebagai bentuk ragam bahasa. Ragam bahasa yang berbedabeda
setiap antarwilayah tetap dinyatakan sebagai bahasa Indonesia. Sependapat
dengan pernyataan Pamungkas (2012:27), bahwa untuk mengenali dan memahami
ragam bahasa Indonesia di setiap daerah yang berbeda-beda, kita bisa memahami
dan mengidentifikasinya berdasarkan golongan penuntur bahasa dan ragam
berdasarkan jenis pemakai bahasa.

Adapun ragam bahasa yang bisa ditinjau dari sudut pandang golongan
penutur didasarkan pada patokan daerah penutur, pendidikan pemakai bahasa, dan
sikap penutur bahasa. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri dari
berbagai macam wilayah daerah, yang banyak dipisahkan oleh selat, pegunungan,
dan lautan. Seiring dengan adanya jarak dan perbedaan wilayah geografis inilah
logat atau dialek daerah berbeda-beda. Ragam bahasa (dialek) setiap daerah
penutur atau antarwilayah pasti berbeda. Logat daerah pulau Jawa misalnya, bisa
dipastikan antara daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat berbeda baik
dalam kaidah tata bunyi, struktur kata, dan lain sebagainya. Dan, akan tampak
berbeda lagi antara logat daerah penutur antarpulau, semisal logat atau dialek
masyarakat penutur di Jawa dan Bali. Contoh konkritnya adalah pada pelafalan
bunyi /t/ dan /d/ pada setiap tutur katanya. Berbeda halnya dengan patokan daerah,
ragam penutur bahasa yang didasarkan pada potokan pendidikan juga pasti
berbeda. Hal semacam ini bisa dibuktikan dari perbedaan penggunaan bahasa
Indonesia anatar kaum yang pernah mengenyam pendidikan formal dengan kaum
yang tidak pernah mengenyam pendidikan. Salah satu contoh riil tampak pada
penggunaan huruf /f/ dan akhiran /ks/ pada kata dasar fakultas, film, dan
kompleks yang dikenal dalam ragam orang yang berpendidikan, bervariasi dengan
kata pakultas, pilem, dan komplek dalam ragam orang nonpendidikan. Ragam
bahasa yang didasarkan oleh sikap penutur lebih disebut dengan istilah lenggam
atau gaya. Hal ini juga didukung oleh lawan penutur atau orang yang diajak
berkomunikasi. Ragam bahasa semacam ini pada umumnya dipengaruhi oleh
faktor umur dan kedudukan, materi yang dibicarakan, dan tujuan dari
penyampaian pembicaraan. Misalnya, gaya bahasa yang dipakai seseorang untuk
memberikan laporan kepada atasannya, gaya memarahi orang, gaya menulis surat
untuk kekasih, gaya mengobrol dengan sahabat atau teman sejawat, dan lain
sebagainya.

Ragam Lisan dan Ragam Tulis

Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah penutur atau pemakaiannya,


dan bermacam-macam pula latar belakang penuturnya, mau tidak mau akan
melahirkan sejumlah ragam bahasa. Adanya bermacam-macam ragam bahasa ini
sesuai dengan fungsi, kedudukan, serta lingkungan yang berbedabeda. Ragam
bahasa pada pokoknya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ragam lisan dan
ragam tulis. Tidak dapat dipungkiri, bahasa Indonesia ragam lisan sangat berbeda
dengan bahasa Indonesia ragam tulis. Ada pendapat yang menyatakan bahwa
ragam tulis adalah pengalihan ragam lisan ke dalam ragam tulis (huruf). Pendapat
ini tidak dibenarkan seratus persen, sebab tidak semua ragam bahasa lisan dapat
dituliskan. Sebaliknya, tidak semua ragam tulis dapat dilisankan. Kaidah yang
berlaku bagi ragam lisan belum berlaku bagi ragam tulis.
Tasai dan Zainal Arifin (2000:15) mengemukakan bahwa antara ragam
tulis itu berbeda. Adapun letak perbedaannya adalah sebagai berikut :

1. Ragam lisan menghendaki adanya orang kedua, teman berbicara yang


berada di depan pembicara, sedangkan ragam tulis tidak mengharuskan
adanya teman bicara ada di depan.
2. Di dalam ragam lisan unsur-unsur fungsi gramatikal, seperti subjek,
predikat, dan objek tidak selalu dinyatakan. Unsur-unsur tersebut
kadang-kadang dapat ditinggalkan. Hal ini disebabkan ragam bahasa
lisan didukung oleh gerak, mimik, pandangan, ekspresi, dan intonasi.
Berbeda halnya dengan ragam bahasa tulis, yang harus lebih lengkap
dan lebih terang. Fungsi-fungsi gramatikal harus tampak nyata karena
ragam tulis tidak mengharuskan orang kedua berada di depan
pembicara. Karena ragam tulis menghendaki agar orang yang diajak
bicara mengerti maksud dan tujuan dari tulisannya.
3. Ragam lisan sangat terikat pada kondisi, situasi, ruang, dan waktu.
Artinya, apa yang dibicarakan secara lisan di dalam sebuah ruang
kuliah, hanya berarti dan berlaku untuk waktu itu saja. Berbeda halnya
dengan ragam tulis yang tidak terikat oleh kondisi, situasi, ruang, dan
waktu.
4. Ragam lisan dipengaruhi oleh tinggi rendah dan panjang pendek suara,
sedangkan ragam tulis dilengkapi dengan pemakaian tanda baca.

Ragam Bahasa Indonesia Baku dan Tidak Baku

Pada dasarnya, antara ragam bahasa tulis dan ragam lisan bahasa Indonesia
juga terdapat ragam baku dan tidak baku. Ragam baku adalah ragam yang
dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya
sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya. Sedangkan,
ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilembagakan dan ditandai dengan ciri-
ciri yang menyimpang dalam norma ragam baku.
Penjelasan ini dipertegas lagi oleh pendapat Tasai dan Zaenal Arifin
(2000:19) bahwa ragam baku mempunyai sifat-sifat (1) kemantapan dinamis, (2)
cendekia, dan (3) seragam. Kemantapan dinamis. Kata mantap di sini diartikan
sesuai dengan kaidah bahasa. Kalau kata rasa dibubuhi awalan pe-, akan terbentuk
perasa. Kata raba dibubuhi pe- akan terbentuk kata peraba. Oleh karena itu,
menurut kemantapan berbahasa, kata rajin yang dibubuhi pe- akan menjadi
perajin, bukan pengrajin. Dengan demikian, kalau kita berpegang pada sifat
mantap, kata pengrajin tidak dapat kita terima sebagai ragam bahasa yang baku.
Dinamis artinya stastis, tidak kaku. Bahasa baku tidak menghendaki adanya
bentuk mati. Cendekia. Ragam bahasa baku bersifat cendekia karena ragam baku
dipakai pada tempat-tempat resmi. Pewujud ragam baku ini adalah orangorang
yang terpelajar atau pernah mengenyam di pendidikan formal. Hal ini
dimungkinkan oleh pembinaan dan pengembangan bahasa yang lebih banyak
melalui jalur pendidikan formal (sekolah). Seragam. Ragam bahasa baku selalu
bersifat seragam. Artinya, pada hakikatnya proses pembakuan bahasa ialah proses
penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa adalah titik-titik
keseragaman. Ragam Baku Tulis dan Ragam Baku Lisan Bahasa Indonesia Dalam
kehidupan berbahasa, manusia sudah mengenal ragam bahasa tulis dan lisan,
ragam bahasa baku dan tidak baku. Oleh sebab itu, muncul istilah ragam bahasa
baku tulis dan ragam bahasa baku lisan. Ragam bahasa baku tulis adalah ragam
yang dipakai dengan resmi dalam buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah.
Saat ini, pemerintah mendahulukan pembakuan ragam baku tulis. Hal ini bisa
dibuktikan dengan penerbitan buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan, buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah, dan pengadaan
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lalu, bagaimana dengan masalah ragam bahasa
baku lisan? Ukuran dan nilai ragam bahasa baku lisan tergantung pada besar atau
kecilnya ragam daerah yang terdengar dalam ucapan. Artinya, seseorang dapat
dikatakan berbahasa lisan yang baku jikalau dalam pembicaraannya tidak terlalu
menonjolkan logat atau dialek daerahnya.
Fungsi Bahasa Indonesia Baku

Pamungkas (2012:32) mengemukakan bahwa bahasa baku mendukung


empat fungsi.Tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolis, dan satu
pendukung fungsi yang bersifat objektif. Masing-masing fungsi tersebut diberi
nama (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa
kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan. Fungsi pemersatu dalam hal
ini diartikan sebagai fungsi bahasa baku yang menghubungkan berbagai bahasa
dialek (bahasa daerah). Dengan demikian, bahasa baku mempersatukan menjadi
satu masyarakat bahasa dan meninggalkan proses identifikasi penutur. Fungsi
pemberi kekhasan bahasa baku adalah membedakan bahasa baku dengan bahasa
lain. Fungsi semacam inilah yang mampu memperkuat perasaan kepribadian
nasional masyarakat bahasa. Pemilihan dan penggunaan bahasa baku membawa
kewibawaan pembawa atau penutur bahasa. Fungsi pembawa wibawa yang
bersangkutan dengan usaha seseorang untuk mencapai kesederajatan dengan
peradaban lain yang dikagumi melalui pemerolehan bahasa baku itu sendiri.
Fungsi kerangka acuan bahasa mengandung pengertian bahwa bahasa Indonesia
juga melalui tahapan penstandaran bahasa. Pembakuan atau penstandaran bahasa
Indonesia dilakukan oleh badan pemerintah resmi yang disebut Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa. Dengan demikian, dengan adanya penstandaran dan
pembakuan khusus, kerangka acuan bahasa bisa digunakan sebagai acuan bagi
para pendidik (guru atau dosen), praktisi, maupun pemerhati bahasa bahwa ada
hal-hal khusus yang harus diperhatikan dalam pengolahan kata (diksi), ejaan,
tanda baca, dan kaidah lain yang ada kaitannya dengan bahasa Indonesia resmi.
Ragam Bahasa Indonesia Formal dan Nonformal

Bahasa Indonesia mempunyai ragam bahasa formal dan nonformal.


Artinya, penggunaan bahasa Indonesia, oleh penutur bisa didasarkan atau
digunakan sesuai situasi formal atau nonformal. Contoh sederhana dari ragam
bahasa formal adalah penulisan surat resmi bahasa Indonesia, pidato kenegaraan,
dan lain sebagainya. Sedangkan, contoh ragam bahasa Indonesia nonformal
adalah bahasa dalam komunikasi sehari-hari, menulis surat pribadi, dan lain-lain.

Nasucha dkk (2009:13) menyatakan bahwa bahasa formal mempunyai


ciri-ciri berikut.

1. Menggunakan unsur gramatikal secara ekspisit dan konsisten

2. Menggunakan imbuhan secara lengkap

3. Menggunakan kata ganti resmi

4. Menggunakan kata baku

5. Menggunakan EYD

6. Menghindari unsur kedaerahan (dialek).

Membaca dan memahami keenam ciri-ciri bahasa resmi di atas, bisa


disimpulkan bahwa bahasa formal tersusun secara sistematis dan resmi. Dan,
mengutip pendapat Kridalaksana (2008) bahwa fungsi bahasa yang menuntut
penggunaan ragam bahasa, antara lain (1) komunikasi resmi, (2) wacana teknis,
(3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan dengan orang yang
dihormati. Misalnya, ketika berdialog dengan atasan atau pimpinan, berbicara
dengan guru, atau berbicara dengan orang yang baru kita kenal. Berbeda halnya
dengan ragam bahasa Indonesia nonformal, Pamungkas (2012:35) juga
menjelaskan bahwa ragam bahasa Indonesia nonformal mempunyai pengertian
sebagai ragam bahasa yang digunakan dalam situasi nonformal (tidak resmi).
Ragam bahasa nonformal biasanya cenderung digunakan dalam situasi santai dan
penuh keakraban.
Adapun bahasa Indonesia nonformal mempunyai sifat yang khas berikut.

1. Kalimat-kalimat yang digunakan adalah kalimat-kalimat sederhana


(kalimat yang tidak lengkap), yang tidak berpatok pada aturan gramatikal
atau struktur kalimat. Dengan demikian, kalimat yang tersusun tidak harus
berpola SP, SPO, SPOK, dan seterusnya. Contoh kalimat nonformal dalam
sehari-hari yang sering kita gunakan adalah “Sudah makan?”. Struktur
kalimat hanya terdiri atas predikat saja. Dan, bisa dipastikan makna di
dalam sebuah teks sudah bisa dipahami seutuhnya
2. Subjek jarang dimunculkan. Misalnya, “Mau ke mana?”
3. Kalimat pertanyaan seperti di atas berdasarkan aturan ragam bahasa formal
(baku) seharusnya diawali dengan kata subjek. Namun demikian, subjek di
atas dihilangkan karena orang yang diajak berbicara dianggap sudah
mengetahui siapa yang dimaksudkan oleh pembicara
4. Menggunakan kata-kata yang lazim dipakai sehari-hari (kata-kata atau
diksi ragam nonformal). Misalnya, “Ia bilang kalau mau ke Wonokromo”.
Kata ‘bilang’ dan ‘mau’ merupakan bentuk kata yang tidak lazim dipakai
dalam bahasa formal (resmi atau baku), tetapi sangat lazim sering
digunakan dalam bahasa nonformal.

Dari beberapa sifat-sifat khas bahasa nonformal di atas, bisa disumpulkan


bahwa prinsip yang paling mendasari pemakaian bahasa nonformal adalah “mana
suka atau bebas”, dengan dasar antara pemakai bahasa (antara komunikator dan
komunikan) sama-sama tahu maksud atau makna di dalam penggunaan bahasa.
Sehingga, proses terjadinya komunikasi antarbahasa berjalan lancar. Contoh lain
dari penggunaan bahasa Indonesia nonformal adalah bahasa gaul yang sering
digunakan oleh kalangan remaja. Berdasarkan fungsinya, Pateda (1984:70)
mengemukakan bahwa bahasa gaul memiliki persamaan dengan bentuk-bentuk
slang, jargon, dan prokem. Fungsi bahasa slang dan prokem digunakan untuk
merahasiakan sesuatu kepada kelompok lain. Sedangkan, jargon disebut sebagai
kosakata khusus yang dipergunakan di bidang kehidupan (lingkungan tertentu).
Dengan demikian, bahasa menjadi nonformal, karena bersifat merahasiakan dan
menjadi kesan yang susah untuk dipahami.

Anda mungkin juga menyukai