BAHAN KAJIAN
Dosen Pengampu:
PERAWATI, M.Pd.
UNIVERSITAS RIAU
2021
2
URAIAN MATERI
1. Ragam Bahasa
A. Pengertian Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik
yang di bicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang di bicarakan, serta
menurut medium pembicara. Dengan kata lain, ragam bahasa adalah variasi bahasa yang di sebabkan
karena berbagai faktor yang terdapat dalam masyarakat seperti usia, pendidikan, agama, bidang
kegiatan dan profesi, serta latar belakang budaya daerah. Akibat berbagai faktor yang di sebutkan di
atas maka bahasa Indonesia pun mempunyai ragam bahasa.
Sugono (1999) menjelaskan bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul
dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi resmi, seperti
di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi
tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.
Selanjutnya, Chaer (2006:3) membagi ragam bahasa Indonesia menjadi empat ragam bahasa,
di antaranya:
- Ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Ragam bahasa ini di sebut dengan istilah idiolek.
Idiolek adalah variasi bahasa yang menjadi ciri khas individu atau seseorang pada saat berbahasa
tertentu.
- Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari wilayah tertentu yang
biasanya disebut dengan istilah dialek. Misalnya ragam bahasa Indonesia dialek Bali berbeda
dengan dialek Yogyakarta.
- Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari golongan sosial tertentu
misalnya sosiolek. Misalnya ragam bahasa masyarakat umum ataupun golongan buruh kasar tidak
sama dengan ragam bahasa golongan terdidik.
- Ragam bahasa yang digunakan dalam kegiatan suatu bidang tertentu, seperti kegiatan ilmiah,
sastra, dan hukum. Ragam ini disebut juga dengan istilah fungsiolek.
3
Tabel 1.
Perbedaan antara Ragam Lisan dan Tulis Berdasarkan Tata Bahasa dan Kosa Kata
Tata Bahasa
Ragam Bahasa Lisan Ragam Bahasa Tulis
Nia sedang baca surat kabar. Nia sedang membaca surat kabar.
Ari mau nulis surat. Ari mau menulis surat.
Tapi kau tak boleh menolak lamaran itu. Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran
itu.
2. Sikap Bahasa
Sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi yang berdiri tegak, prilaku atau gerak-gerik,
dan perbuatan atau tindakan yang di lakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau
pendapat). Sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya, sikap itu adalah
fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau prilaku. Namun dalam
banyak penelitian tidak selalu yang dilakukan secara lahiriah merupakan cerminan dari sikap batiniah
(Chaer dan Agustina, 1995: 197-198).
Sikap bahasa pada umumnya dianggap sebagai prilaku pemakai bahasa terhadap bahasa.
Hubungan antara sikap bahasa dan pemertahanan dan pergeseran bahasa dapat dijelaskan dari segi
pengenalan prilaku itu atau di antaranya yang memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung bagi
pemertahanan bahasa. Jadi yang sangat penting adalah pertanyaan tentang bagaimana sikap bahasa
atau ragam bahasa yang berbeda menggambarkan pandangan orang dalam ciri sosial yang berbeda.
Penggambaran pandangan yang demikian memainkan peranan dalam komunikasi intra kelompok dan
antar kelompok (Siregar, 1998: 86).
Sikap bahasa (language attitude) adalah pristiwa kejiwaaan dan merupakan bagian dari sikap
(attitude) pengguna bahasa pada umumnya. Sikap berbahasa merupakan reaksi penilaian terhadap
bahasa tertentu (Fishman, 1986). Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa itu
sendiri atau orang lain (Kridalaksana, 1982: 153). Kedua pendapat di atas menyatakan bahwa sikap
bahasa merupakan reaksi seseorang (pemakai bahasa) terhadap bahasanya maupun bahasa orang lain.
Seperti dikatakan Richard, et al. dalam Longman Dictionary of Applied Linguistics (1985: 155) sikap
bahasa adalah sikap pemakai bahasa terhadap keanekaragaman bahasanya sendiri maupun bahasa
orang lain.
Lambert (1967: 91-102) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen yaitu
komponen kognitif, komponen apektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif sikap bahasa
mengacu atau berhubungan dengan pengetahuan atau suatu kategori yang disebut proses berpikir.
6
Komponen apektif menyangkut isu-isu penilaian seperti baik, buruk, suka, atau tidak suka terhadap
sesuatu atau suatu keadaan. Jika seseorang memiliki nilai rasa baik atau suka terhadap sesuatu
keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya disebut memiliki sikap
negatif. Komponen konatif menyangkut prilaku atau perbuatan sebagai putusan akhir kesiapan reaktif
terhadap suatu keadaan. Melalui kompenen ketiga inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana
sikap seseorang terhadap suatu keadaan (Chaer dan Agustina, 1995: 198-199).
Ketiga hal di atas merupakan contoh sikap postif terhadap bahasa. Sikap bahasa yang positif
hanya akan tercermin apabila si pemakai mempunyai rasa setia untuk memelihara dan
mempertahankan bahasanya sebagai sarana untuk berkomunikasi. Sikap positif terdapat pada
seseorang yang mempunyai rasa bangga terhadap bahasanya sebagai penanda jati diri.
(2) Sikap Negatif
Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak
mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan
miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain: faktor politis, faktor
etnis, ras, gengsi, menganggap bahasa tersebut terlalu rumit atau susah dan sebagainya. Adul (dalam
Purba, 1996: 35) mengemukakan bahwa pemakaian bahasa bersifat negatif adalah tidak mengacuhkan
pemakaian bahasa yang baik dan benar, tidak mempedulikan situasi bahasa, tidak berusaha
memperbaiki diri dalam kesalahan berbahasa.
Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang
harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan
norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Garvin dan
Marthiot, (dalam suwito, 1996: 33) memberikan ciri-ciri sikap bahasa negatif pemakai bahasa, yaitu:
- Jika seseorang atau sekolompok anggota masyarakat bahasa tidak ada lagi gairah atau dorongan
untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, maka hal itu merupakan suatu petunjuk bahwa
kesetiaan bahasanya mulai lemah yang pada gilaranya tidak mustahil akan menjadi hilang sama
sekali.
- Jika seseorang atau sekelompok orang sebagai anggota masyarakat tidak ada rasa bangga terhadap
bahasanya dan mengalihkan kebanggannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya.
- Jika seseorang atau sekolompok orang sebagai anggota masyarakat sampai kepada ketidak sadaran
akan adanya norma bahasa. Sikap demikian biasanya akan mewarnai hampir seluruh perilaku
berbahasanya. Mereka tidak ada lagi dorongan atau merasa terpanggil untuk memelihara cermat
bahasanya dan santun bahasanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berbahasa Indonesia yang baik dan benar adalah
berbahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi pembicaraan dan sesuai benar dengan kaidah atau
aturan yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Berbahasa Indonesia yang baik dan benar sesungguhnya
tidak sama dengan berbahasa Indonesia baku. Berbahasa Indonesia nonbaku pun bisa dianggap
berbahasa Indonesia yang baik apabila dipakai sesuai dengan situasinya. Pemakaian bahasa Indonesia
baku dianggap pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar apabila sesuai dengan situasinya dan
fungsinya dalam komunikasi.
(1) Bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan situasi.
Ada lima laras bahasa yang dapat digunakan sesuai situasi. Sesuai derajat keformalannya dan
ragam :
- Ragam beku (frozen); digunakan pada situasi hikmat dan sangat sedikit memungkinkan keleluasaan
seperti pada kitab suci, putusan pengadilan, dan upacara pernikahan.
- Ragam resmi (formal); digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada pidato, rapat resmi, dan
jurnal ilmiah.
- Ragam konsultatif (consultative); digunakan dalam pembicaraan yang terpusat pada transaksi atau
pertukaran informasi seperti dalam percakapan di sekolah dan di pasar.
- Ragam santai (casual); digunakan dalam suasana tidak resmi dan dapat digunakan oleh orang yang
belum tentu saling kenal dengan akrab.
- Ragam akrab (intimate); digunakan di antara orang yang memiliki hubungan yang sangat akrab dan
intim.
(2) Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa baku, baik kaidah untuk
bahasa baku tertulis maupun bahasa baku lisan.
Ciri-ciri ragam bahasa baku adalah sebagai berikut.
- Penggunaan kaidah tata bahasa normatif. Misalnya dengan penerapan pola kalimat yang baku:
acara itu sedang kami ikuti dan bukan acara itu kami sedang ikuti.
- Penggunaan kata-kata tidak baku. Misalnya cantik sekali dan bukan cantik banget; uang dan bukan
duit; serta tidak mudah dan bukan nggak gampang.
- Penggunaan ejaan resmi dalam ragam tulis. Ejaan yang kini berlaku dalam bahasa Indonesia adalah
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Bahasa baku harus mengikuti aturan ini.
- Penggunaan lafal baku dalam ragam lisan. Misalnya: /atap/ dan bukan /atep/; /habis/ dan bukan
/abis/; serta /kalaw/ dan bukan /kalo/
- Penggunaan kalimat secara efektif. Misalnya: pesan pembicara atau penulis harus diterima oleh
pendengar atau pembaca persis sesuai maksud aslinya.
10
11
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal dan Tasai, S.Amran. 2002. Cermat Berbahasa Indonesia Untk Perguruan
Tinggi. Jakarta: Akademia Pressindo.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Fasold, Ralph. 1984. The Sosilolinguistics of Society. England: Basic Blackwell Publisher
Garvin, P.L. Mathiot M. 1968. The Urbaization of Guarani Language. Problem in Language
and Culture, dalam Fishman, J.A. (Ed) Reading in Tes Sosiology of Language,
Mounton. Paris–The Hague.
Kridalaksana, Harimurti.1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores Nusa Indah
Siregar, Bahrean Umar. 1996. Pemertahanan Bahasa Dan Sikap Bahasa. Medan: USU Press.