Anda di halaman 1dari 11

1

BAHAN KAJIAN

RAGAM BAHASA, SIKAP BERBAHASA,


DAN BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR

Dosen Pengampu:
PERAWATI, M.Pd.

UNIVERSITAS RIAU
2021
2

RAGAM BAHASA, SIKAP BERBAHASA,


DAN BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR

TUJUAN KEGIATAN PEMBELAJARAN


Mahasiswa mampu memahami ragam bahasa, sikap berbahasa, dan bahasa Indonesia yang baik dan
benar

URAIAN MATERI
1. Ragam Bahasa
A. Pengertian Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik
yang di bicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang di bicarakan, serta
menurut medium pembicara. Dengan kata lain, ragam bahasa adalah variasi bahasa yang di sebabkan
karena berbagai faktor yang terdapat dalam masyarakat seperti usia, pendidikan, agama, bidang
kegiatan dan profesi, serta latar belakang budaya daerah. Akibat berbagai faktor yang di sebutkan di
atas maka bahasa Indonesia pun mempunyai ragam bahasa.
Sugono (1999) menjelaskan bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul
dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi resmi, seperti
di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi
tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.
Selanjutnya, Chaer (2006:3) membagi ragam bahasa Indonesia menjadi empat ragam bahasa,
di antaranya:
- Ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Ragam bahasa ini di sebut dengan istilah idiolek.
Idiolek adalah variasi bahasa yang menjadi ciri khas individu atau seseorang pada saat berbahasa
tertentu.
- Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari wilayah tertentu yang
biasanya disebut dengan istilah dialek. Misalnya ragam bahasa Indonesia dialek Bali berbeda
dengan dialek Yogyakarta.
- Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari golongan sosial tertentu
misalnya sosiolek. Misalnya ragam bahasa masyarakat umum ataupun golongan buruh kasar tidak
sama dengan ragam bahasa golongan terdidik.
- Ragam bahasa yang digunakan dalam kegiatan suatu bidang tertentu, seperti kegiatan ilmiah,
sastra, dan hukum. Ragam ini disebut juga dengan istilah fungsiolek.
3

B. Jenis-jenis Ragam Bahasa


Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakainya ini bermacam-macam pula latar
belakang penuturnya, mau tidak mau akan melahirkan sejumlah ragam bahasa. Adanya bermacam-
macam ragam bahasa ini sesuai dengan fungsi, kedudukan, serta lingkungan yang berbeda-beda.
Ragam bahasa ini dibagi menjadi ragam bahasa berdasarkan media, ragam bahasa berdasarkan
penutur, dan ragam bahasa berdasarkan situasi.
(1) Ragam Bahasa Berdasarkan Media
a) Ragam Bahasa Lisan
Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar
terjadi pelesapan kalimat. Namun hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian
ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan kalimat dan unsur-unsur di dalam
struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan, karena situasi dan kondisi
pembicara menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan.
Pembicara lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicara lisan
dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa dituliskan, ragam bahasa itu tidak bisa
disebut ragam bahasa tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan. Oleh karena itu, bahasa yang
dilihat dari ciri- cirinya tidak menunjukan cir-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dengan
tulisan, ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis.
Adapun ciri-ciri ragam bahasa lisan, yaitu memerlukan orang kedua/teman bicara. tergantung
kondisi, ruang, dan waktu, tidak harus memperhatikan gramatikal, hanya perlu intonasi serta bahasa
tubuh, dan berlangsung cepat
Contoh: “Sudah saya baca buku itu”
b) Ragam Tulis
Penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh
situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karrena itu,
penggunaan ragam baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan dalam pemilihan kata, penerapan
kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapaan unsur-unsur bahasa di
dalam struktur kalimat.
Adapun ciri-ciri ragam tulis, yaitu tidak memerlukan orang kedua/teman bicara, tidak
tergantung kondisi, situasi dan ruang serta waktu, harus memperhatikan unsur gramatikal, berlangsung
lambat, selalu memakai alat bantu, kesalahan tidak dapat langsung dikoreksi dan tidak dapat dibantu
dengan gerak tubuh dan mimik muka, hanya terbantu dengan tanda baca.
Contoh: “Saya sudah membaca buku itu”.
4

Tabel 1.
Perbedaan antara Ragam Lisan dan Tulis Berdasarkan Tata Bahasa dan Kosa Kata
Tata Bahasa
Ragam Bahasa Lisan Ragam Bahasa Tulis

Nia sedang baca surat kabar. Nia sedang membaca surat kabar.
Ari mau nulis surat. Ari mau menulis surat.

Tapi kau tak boleh menolak lamaran itu. Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran
itu.

(2) Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur


a) Ragam Bahasa Berdasarkan Pendidikan Penutur
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan
yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing,
misalnya fitnah, kompleks, vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin
akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata
bahasa misalnya mebawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata
dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai.

b) Ragam Bahasa Berdasarkan Sikap Penutur


Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau
sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai.
Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap
tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada
atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan
digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan
makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah
tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.

(3) Ragam Bahasa Berdasarkan Situasi


a) Ragam baku, yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam forum resmi. Ragam ini bisa juga
disebut ragam resmi.
b) Ragam tidak baku yaitu ragam bahasa yang menyalahi kaidah-kaidah yang terdapat dalam
bahasa baku.
5

(4) Ragam Bahasa Berdasarkan Bidang


Ragam bahasa berdasarkan bidang diantaranya ragam ilmu dan teknologi adalah ragam bahasa
yang digunakan dalam bidang keilmuan dan teknologi. Contohnya terbagi dua, yaitu ragam sastra dan
ragam niaga. Ragam satra adalah ragam bahasa yang bertujuan untuk memperoleh kepuasan estetis
dengan cara penggunaan pilih jata secara cermat dengan gramatikal dan stilistil tertentu. Ragam niaga
adalah ragam bahasa yang digunakan untuk menarik pihak konsumen agar dapat melakuakan tindak
lanjut dalam kerjasama untuk mencari suatu keuntungan finansial.

2. Sikap Bahasa
Sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi yang berdiri tegak, prilaku atau gerak-gerik,
dan perbuatan atau tindakan yang di lakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau
pendapat). Sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya, sikap itu adalah
fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau prilaku. Namun dalam
banyak penelitian tidak selalu yang dilakukan secara lahiriah merupakan cerminan dari sikap batiniah
(Chaer dan Agustina, 1995: 197-198).
Sikap bahasa pada umumnya dianggap sebagai prilaku pemakai bahasa terhadap bahasa.
Hubungan antara sikap bahasa dan pemertahanan dan pergeseran bahasa dapat dijelaskan dari segi
pengenalan prilaku itu atau di antaranya yang memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung bagi
pemertahanan bahasa. Jadi yang sangat penting adalah pertanyaan tentang bagaimana sikap bahasa
atau ragam bahasa yang berbeda menggambarkan pandangan orang dalam ciri sosial yang berbeda.
Penggambaran pandangan yang demikian memainkan peranan dalam komunikasi intra kelompok dan
antar kelompok (Siregar, 1998: 86).
Sikap bahasa (language attitude) adalah pristiwa kejiwaaan dan merupakan bagian dari sikap
(attitude) pengguna bahasa pada umumnya. Sikap berbahasa merupakan reaksi penilaian terhadap
bahasa tertentu (Fishman, 1986). Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa itu
sendiri atau orang lain (Kridalaksana, 1982: 153). Kedua pendapat di atas menyatakan bahwa sikap
bahasa merupakan reaksi seseorang (pemakai bahasa) terhadap bahasanya maupun bahasa orang lain.
Seperti dikatakan Richard, et al. dalam Longman Dictionary of Applied Linguistics (1985: 155) sikap
bahasa adalah sikap pemakai bahasa terhadap keanekaragaman bahasanya sendiri maupun bahasa
orang lain.
Lambert (1967: 91-102) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen yaitu
komponen kognitif, komponen apektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif sikap bahasa
mengacu atau berhubungan dengan pengetahuan atau suatu kategori yang disebut proses berpikir.
6

Komponen apektif menyangkut isu-isu penilaian seperti baik, buruk, suka, atau tidak suka terhadap
sesuatu atau suatu keadaan. Jika seseorang memiliki nilai rasa baik atau suka terhadap sesuatu
keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya disebut memiliki sikap
negatif. Komponen konatif menyangkut prilaku atau perbuatan sebagai putusan akhir kesiapan reaktif
terhadap suatu keadaan. Melalui kompenen ketiga inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana
sikap seseorang terhadap suatu keadaan (Chaer dan Agustina, 1995: 198-199).

A. Penggolongan Sikap Bahasa


Sikap bahasa timbul bila seseorang itu sebagai masyarakat yang dwibahasawan atau
multibahasawan. Seperti diutarakan oleh Dittmar (1976: 181) bahwa sikap ditandai oleh sejumlah ciri-
ciri, antara lain meliputi pilihan bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan
bahasa, perbedaan dialek dan problem yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara individu.
Hal ini nampak ketika suatu bangsa yang memiliki cukup banyak bahasa daerah hendak menentukan
bahasa nasionalnya. Pemilihan satu bahasa di antara sekian banyak bahasa yang dimiliki bangsa
tersebut sudah barang tentu dirasakan pada sikap positif masyarakat terhadap bahasa yang dipilihnya
itu. Tanpa sikap yang demikian hampir tidak mungkin suatu masyarakat rela mengenyampingkan
bahasa kelompok etniknya dan menyetujui dipilihnya bahasa lain sebagai bahasa nasional.
Sikap bahasa itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sikap terhadap bahasa dan
sikap berbahasa. Sikap terhadap bahasa penekanannya tertuju pada tanggung jawab dan
penghargaannya terhadap bahasa, sedangkan sikap berbahasa ditekankan pada kesadaran diri dalam
menggunakan bahasa secara tertib (Pateda, 1987: 30).
Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu:
(1) Kesetiaan Bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan
bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. Kesetiaan bahasa, adalah
sikap yang mendorong suatu masyarakat bahasa dalam mempertahankan kemandirian bahasanya,
meskipun apabila perlu, sampai dengan terpaksa mencegah masuknya pengaruh asing.
(2) Kebanggaan Bahasa (language pride) yang mendorong seseorang mengembangkan bahasanya
dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat. Kebanggaan bahasa,
merupakan sikap yang mendorong suatu masyarakat bahasa menjadikan bahasanya sebagai
lambang identitas pribadi atau kelompoknya sekaligus membedakannya dari orang atau kelompok
lainnya.
(3) Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan
bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
7

perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).


Esensi dari semuanya itu menyatakan bahwa sikap bahasa merupakan sikap yang dimiliki oleh
para pemakai bahasa. baik yang dwibahasawan maupun yang multibahasawan terhadap suatu bahasa.
Reaksi yang ditimbulkannya dapat berupa perasaan bangga, mengejek, menolak ataupun sekaligus
menerima. Dengan kata lain, sikap berbahasa itu bisa bersifat positif maupun negatif, serta memiliki
ciri-ciri yaitu kebanggaan berbahasa, kesetiaan berbahasa, dan kesadaran berbahasa.
B. Jenis-jenis Sikap Bahasa
Sikap bahasa menunjukkan senang atau tidaknya seorang penutur bahasa terhadap suatu
bahasa. Oleh karena itu, sikap bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni sikap positif dan sikap
negatif. Menurut Anderson (dalam Chaer, 1995: 200) sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi
yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberi
kecenderungan kepada seeorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Sikap itu
biasanya akan ada sikap positif (kalau dinilai baik atau disukai) dan biasanya negatif (kalau dinilai
tidak baik atau tidak disukai), maka sikap terhadap bahasapun demikian.
(1) Sikap Positif
Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan
oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang
atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka
berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Sikap positif
tentu saja berhubungan dengan sikap-sikap atau tingkah laku yang tidak bertentangan dengan kaidah
atau norma yang berlaku.
Sikap positif bahasa adalah penggunaan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa dan sesuai
dengan situasi kebahasaan. Hal-hal yang menunjukkan sikap positif seseorang terhadap bahasanya
antara lain:
- memakai bahasa sesuai dengan kaidah dan situasi kebahasaan
- memakai bahasa sendiri tanpa dicampur dengan bahasa asing walaupun lawan bicara mengerti
maksud pembicaraan tersebut, alangkah lebih baik menggunakan bahasa sesuai dengan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Dengan sikap seperti itu berarti kita bangga akan bahasa kita
sendiri.
- memakai bahasa sesuai dengan keperluan
8

Ketiga hal di atas merupakan contoh sikap postif terhadap bahasa. Sikap bahasa yang positif
hanya akan tercermin apabila si pemakai mempunyai rasa setia untuk memelihara dan
mempertahankan bahasanya sebagai sarana untuk berkomunikasi. Sikap positif terdapat pada
seseorang yang mempunyai rasa bangga terhadap bahasanya sebagai penanda jati diri.
(2) Sikap Negatif
Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak
mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan
miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain: faktor politis, faktor
etnis, ras, gengsi, menganggap bahasa tersebut terlalu rumit atau susah dan sebagainya. Adul (dalam
Purba, 1996: 35) mengemukakan bahwa pemakaian bahasa bersifat negatif adalah tidak mengacuhkan
pemakaian bahasa yang baik dan benar, tidak mempedulikan situasi bahasa, tidak berusaha
memperbaiki diri dalam kesalahan berbahasa.
Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang
harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan
norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Garvin dan
Marthiot, (dalam suwito, 1996: 33) memberikan ciri-ciri sikap bahasa negatif pemakai bahasa, yaitu:
- Jika seseorang atau sekolompok anggota masyarakat bahasa tidak ada lagi gairah atau dorongan
untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, maka hal itu merupakan suatu petunjuk bahwa
kesetiaan bahasanya mulai lemah yang pada gilaranya tidak mustahil akan menjadi hilang sama
sekali.
- Jika seseorang atau sekelompok orang sebagai anggota masyarakat tidak ada rasa bangga terhadap
bahasanya dan mengalihkan kebanggannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya.
- Jika seseorang atau sekolompok orang sebagai anggota masyarakat sampai kepada ketidak sadaran
akan adanya norma bahasa. Sikap demikian biasanya akan mewarnai hampir seluruh perilaku
berbahasanya. Mereka tidak ada lagi dorongan atau merasa terpanggil untuk memelihara cermat
bahasanya dan santun bahasanya.

3. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar


Berbahasa Indonesia yang baik adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan tempat
terjadinya kontak berbahasa, sesuai dengan siapa lawan bicaranya, dan sesuai dengan topik
pembicaraan. Jadi, berbahasa Indonesia yang baik adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan
tempat situasi pembicaraan. Sedangkan berbahasa Indonesia yang benar adalah berbahasa Indonesia
yang sesuai dengan kaidah tata bahasa baku bahasa Indonesia.
9

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berbahasa Indonesia yang baik dan benar adalah
berbahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi pembicaraan dan sesuai benar dengan kaidah atau
aturan yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Berbahasa Indonesia yang baik dan benar sesungguhnya
tidak sama dengan berbahasa Indonesia baku. Berbahasa Indonesia nonbaku pun bisa dianggap
berbahasa Indonesia yang baik apabila dipakai sesuai dengan situasinya. Pemakaian bahasa Indonesia
baku dianggap pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar apabila sesuai dengan situasinya dan
fungsinya dalam komunikasi.
(1) Bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan situasi.
Ada lima laras bahasa yang dapat digunakan sesuai situasi. Sesuai derajat keformalannya dan
ragam :
- Ragam beku (frozen); digunakan pada situasi hikmat dan sangat sedikit memungkinkan keleluasaan
seperti pada kitab suci, putusan pengadilan, dan upacara pernikahan.
- Ragam resmi (formal); digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada pidato, rapat resmi, dan
jurnal ilmiah.
- Ragam konsultatif (consultative); digunakan dalam pembicaraan yang terpusat pada transaksi atau
pertukaran informasi seperti dalam percakapan di sekolah dan di pasar.
- Ragam santai (casual); digunakan dalam suasana tidak resmi dan dapat digunakan oleh orang yang
belum tentu saling kenal dengan akrab.
- Ragam akrab (intimate); digunakan di antara orang yang memiliki hubungan yang sangat akrab dan
intim.
(2) Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa baku, baik kaidah untuk
bahasa baku tertulis maupun bahasa baku lisan.
Ciri-ciri ragam bahasa baku adalah sebagai berikut.
- Penggunaan kaidah tata bahasa normatif. Misalnya dengan penerapan pola kalimat yang baku:
acara itu sedang kami ikuti dan bukan acara itu kami sedang ikuti.
- Penggunaan kata-kata tidak baku. Misalnya cantik sekali dan bukan cantik banget; uang dan bukan
duit; serta tidak mudah dan bukan nggak gampang.
- Penggunaan ejaan resmi dalam ragam tulis. Ejaan yang kini berlaku dalam bahasa Indonesia adalah
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Bahasa baku harus mengikuti aturan ini.
- Penggunaan lafal baku dalam ragam lisan. Misalnya: /atap/ dan bukan /atep/; /habis/ dan bukan
/abis/; serta /kalaw/ dan bukan /kalo/
- Penggunaan kalimat secara efektif. Misalnya: pesan pembicara atau penulis harus diterima oleh
pendengar atau pembaca persis sesuai maksud aslinya.
10
11

DAFTAR PUSTAKA

Alwasila, A. Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa

Arifin, Zainal dan Tasai, S.Amran. 2002. Cermat Berbahasa Indonesia Untk Perguruan
Tinggi. Jakarta: Akademia Pressindo.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Fasold, Ralph. 1984. The Sosilolinguistics of Society. England: Basic Blackwell Publisher

Garvin, P.L. Mathiot M. 1968. The Urbaization of Guarani Language. Problem in Language
and Culture, dalam Fishman, J.A. (Ed) Reading in Tes Sosiology of Language,
Mounton. Paris–The Hague.

Kridalaksana, Harimurti.1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores Nusa Indah

Lambert, Wallace E. 1967. A Social Psychology of Bilingualism

Siregar, Bahrean Umar. 1996. Pemertahanan Bahasa Dan Sikap Bahasa. Medan: USU Press.

Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai