Anda di halaman 1dari 23

MENCARI HUBUNGAN PERISTIWA TUTUR DAN TINDAK

TUTUR
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiolinguistik

Dosen Pengampu:
Bapak Eggie Nugraha, S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh:
Diki Dermawan 185030029
Nabila Erditha 185030038
Alya Nur Fadila 185030041
M. Farhan Al Rasyid 185030103
Mustika Fatmasari 185030120
Didik Wahyu Anugrah 185030126

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASADAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PASUNDAN

BANDUNG

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur ke hadirat Allah Swt. atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tepat pada
waktunya. Makalah ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah
Sosiolinguistik.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Allah Swt. dan Rasullah
Muhammad saw., yang telah memberikan kami rahmat dan kemudahan, kemudian
dosen pembimbing mata kuliah Sosiolinguistik, yang telah memberikan banyak
arahan dalam terciptanya makalah ini. Rasa terima kasih juga kami sampaikan
kepada orang tua yang senantiasa mendoakan dan rekan-rekan yang telah
memberikan semangat dan bantuan yang berguna.
Dengan adanya makalah ini, penulis berharap dapat membantu
mahasiswa-mahasiswa lain dalam belajar. Terutama, pemahaman dalam
memahami tentang Mencari Hubungan Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur. Oleh
karena itu, kritik dan saran saya terima dengan senang hati guna penyempurnaan
makalah yang telah kami susun ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah wawasan kita seputar Mencari
Hubungan Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur. Aamiin.

Bandung, 21 Februari 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1. Latar Belakang..............................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................2

1.3. Tujuan Masalah.............................................................................................2

1.4. Manfaat penelitian.........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................3

2.1. Peristiwa Tutur..............................................................................................3

2.2. Tindak Tutur.....................................................................................................6

2.3. Tindak Tutur dan Pragmatik...........................................................................13

BAB III PENUTUP............................................................................................18

3.1. Simpulan.....................................................................................................18

3.2. Saran............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bahasa merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia.
Dalam setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang
dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara
langsung. Menurut pengalaman nyata, bahasa itu selalu muncul dalam
bentuk tindakan atau tingkah tutur individual. Karena itu tiap telaah
struktur bahasa harus dimulai dari pengkajian tindak tutur. Tindak tutur
merupakan perwujudan konkret fungsi-fungsi bahasa, yang merupakan
pijakan analisis pragmatik (Rahardi, 2005).

Keberadaan bahasa pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari


kehidupan manusia, terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang
menuntut manusia tersebut berhubungan dan bekerja sama dengan
sesamanya, sehingga untuk memenuhi hasratnya sebagai makhluk sosial
yang perlu berinteraksi dengan orang lain, maka manusia memerlukan alat
yang disebut bahasa. Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan
manusia, dengan bahasa manusia dapat menyampaikan berbagai gagasan,
pikiran, dan perasaannya.
Tindak tutur adalah salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai
makhluk yang berbahasa. Karena sifat tindak tutur yang fungsional, setiap
manusia selalu berupaya untuk melakukan dengan sebaik-baiknya, baik
melalui pemerolehan maupun pembelajaran. Pemerolehan bahasa
lazimnya dilakukan secara nonformal, sedangkan pembelajaran dilakukan
secara formal (Subyakto, 1992:88).
Menurut Searle (1962) dalam (Rani dkk, 2006:158) dikatakan bahwa
di dalam komunikasi bahasa terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa
komunikasi bahasa bukan sekadar lambang kata atau kalimat, tetapi akan
lebih tepat apabila disebut produk atau hasil lambang, kata atau kalimat
yang berwujud perilaku tindak tutur. Lebih jelasnya, tindak tutur adalah

1
hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan
terkecil dari komunikasi bahasa.
Tindak tutur dalam ujaran suatu kalimat merupakan penentu makna
kalimat itu. Namun, makna suatu kalimat tidak ditentukan oleh satu-
satunya tindak tutur seperti yang berlaku dalam kalimat yang sedang
diujarkan itu, tetapi selalu terdapat kemungkinan untuk menyatakan secara
tepat apa yang dimaksud oleh penuturnya. Oleh sebab itu, sangat mungkin
dalam setiap tindak tutur, penutur menuturkan kalimat yang unik karena
berusaha menyesuaikan ujaran dengan konteksnya (Jayanti, 2010).

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang di maksud dengan peritiwa tutur, tindak tutur serta tindak
tutur dan pragmatik?
2. Apa saja jenis peritiwa tutur, tindak tutur serta tindak tutur dan
pragmatik?
3. Mendeskripsikan dan menjelaskan peritiwa tutur, tindak tutur serta
tindak tutur dan pragmatik?

1.3. Tujuan Masalah


1. Mengetahui pengertian peritiwa tutur, tindak tutur serta tindak tutur
dan pragmatik.
2. Mengetahui jenis peritiwa tutur, tindak tutur serta tindak tutur dan
pragmatik.
3. Mengetahui peritiwa tutur, tindak tutur serta tindak tutur dan
pragmatik.

1.4. Manfaat penelitian


Manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini, pembaca dapat
mengetahui hubungan peristiwa tutur dan tindak tutur seperti peritiwa
tutur, tindak tutur serta tindak tutur dan pragmatik.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau


berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih
yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu
pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer dan
Agustina, 1995: 61). Jadi interaksi yang berlangsung antara seorang
pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan
bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur.
Peristiwa serupa kita dapati juga dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat
dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya.
Bagaimana dengan percakapan di bus kota atau di kereta api yang
terjadi di antara penumpang yang tidak saling mengenali, pada mulanya
dengan topik yang tidak menentu, tanpa tujuan, dengan ragam bahasa yang
berganti-ganti, apakah dapat juga disebut dengan sebuah peristiwa tutur?
Secara sosiolingiustik percakapan tersebut tidak dapat disebut sebagai
sebuah peristiwa tutur, sebab pokok percakapannya tidak menentu
(berganti-ganti menurut situasi), tanpa tujuan, dilakukan oleh orang-orang
yang tidak sengaja untuk bercakap-cakap, dan menggunakan ragam bahasa
yang berganti-ganti.
Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa
tutur, apabila memenuhi syarat-syarat seperti yang disebutkan di atas, atau
seperti dikatakan Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 1995:62),
seorang pakar Sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus
memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamannya
dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu
adalah sebagai berikut:
S :  (Setting and Scene)
P :  (Participants)
E :  (Ends: purpose and goal)

3
A :  (Act sequences)
K :  (Key: tone or spirit of act)
I  :  ( Instrumentalities)
N :  (Norms of interaction and interpretation)
G :  (Genres)
1. Setting and scene. Di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat
tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi, tempat dan
waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi
tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang
berbeda juga. Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada
pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan
pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca
dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola kita bisa berbicara
dengan keras tapi di ruang perpustakaan harus bicara seperlahan mungkin.
2. Participant adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan
penerima pesan. Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran
sebagai pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah masjid, khotib
sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar
peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang
digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya
bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila
dibandingkan kalau dia berbicara dengan teman-teman sebayanya.
3. End, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang
terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus
perkara; namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai
tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa,
pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah,
sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.
4. Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran . Bentuk ujaran
dan isi ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana
penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dan topik

4
pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa,
dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.
5. Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan
disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga
ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
6. Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur
lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga
mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialeg ragam
atau register.
7. Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan
dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi,
bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap
ujaran dari lawan bicara.
8. Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa dan sebagainya. Dari uraian yang dikemukakan Hymes itu
dapat kita lihat betapa kompleksnya terjadinya peristiwa tutur yang kita
lihat, atau kita alami sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Dari yang dikemukakan Hymes dapat dilihat betapa komleksnya
terjadinya peristiwa tutur yang kita lihat, atau kita alami sendiri dalam
kehidupan sehari-hari. Komponen tutur yang diajukan Hymes itu dalam
rumusan lain tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Fishman
disebut sebagai pokok pembicaraan sosiolinguistik, yaitu “who speak,
what languange, to whom,when, and what end”.

5
2.2. Tindak Tutur
Tindak Ujaran merupakan aksi (tindakan) dengan menggunakan
bahasa (Djajasudarma, 1994: 63). Bahasa digunakan pada hampir semua
aktivitas. Kita menggunakan bahasa untuk menyatakan informasi
(permohonan informasi, memerintah, mengajukan, permohonan,
mengingatkan, bertaruh, menasihati, dan sebagainya). Kemudian tindak
tutur (istilah kridalaksana penuturan atau speech act, speech event) adalah
pengajaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara
diketahui oleh pendengar (Kridalaksana, 1984: 154). Chaer (1995: 65),
menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individu, bersifat
psikolinguistik dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan
bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.

Searle di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy


of Language (dalam Wijana,1996: 17). Mengemukakan bahwa secara
pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan
oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi
(illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).

Tindak tutur merupakan aksi (tindakan) dengan menggunakan


bahasa (Djajasudarma, 1994:63). Bahasa digunakan pada hampir semua
aktivitas. Kita menggunakan bahasa untuk menyatakan informasi
(permohonan informasi, memerintah, mengajukan, permohonan,
mengingatkan, bertaruh, menasehati, dan sebagainya). Kemudian tindak
tutur (istilah Kridalaksana penuturan atau speech act, speech event) adalah
pengajaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara
diketahui oleh pendengar (Kridalaksana, 1984:154). Richard (1995)
mengemukakan bahwa tindak tutur (dalam arti yang sempit sekarang)
adalah istilah minimal dari pemakaian situasi tutur/peristiwa tutur/tindak
tutur.

6
Ketika kita berbicara, kita melakukan tindakan-tindakan seperti
memberi laporan, membuat pernyataan-pernyataan, mengajukan
pertanyaan, memberi peringatan, memberi janji, menyetujui, menyesal dan
meminta maaf. Pada bagian lain ia juga mengemukakan bahwa tindak
tutur dapat diberikan sebagai sesuatu yang sebenarnya kita lakukan ketika
berbicara. Ketika kita terlihat dalam percakapan, kita melakukan beberapa
tindakan seperti: melaporkan, menyatakan, memperingatkan, menjanjikan,
mengusulkan, menyarankan, mengkritik, meminta dan lain-lain. Suatu
tindak tutur dapat didefinisikan sebagai unit terkecil aktivitas berbicara
yang dapat dikatakan memiliki fungsi.
Berkenaan dengan tindak tutur ini Chaer dan Leonie Agustine
(1995) berpendapat bahwa tindak tutur merupakan gejala individual,
bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan
bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur
itu yang lebih dilihat adalah makna atau arti tindakan dalam tuturannya.
Kemudian Sinclair dan Coulthard R. (1995) dalam Richard (1995) yang
pernah mengadakan suatu pengamatan terhadap peristiwa sosial
(pelajaran) dalam ruang belajar, dan peristiwa sosial (pelajaran) itu
disebutnya sebagai kerangka analitis yang berada paling luas dan
selanjutnya secara berturut-turut membagi urutan wacana hingga ke bagian
yang paling kecil yakni tindak. Tindak ini didefenisikan sebagai unit
berbicara yang paling kecil yang bisa dikatakan mempunyai suatu fungsi.
Berbagai tindak diberi nama yang disesuaikan dengan setiap fungsi
wacana, seperti mencari keterangan, bertanya dan sebagainya.
Untuk memahami tindak tutur ini, lebih lanjut Richard (1995)
mengutip pendapat seorang filsuf yang bernama Austin (1992) yang
menyatakan bahwa ada ribuan kata kerja dalam bahasa Inggris yang
menandakan sebuah tindak tutur.

7
Contoh: ask (bertanya), request (meminta), direct (memimpin), re
quire (membutuhkan), order(menyuruh), command (memerintah),  suggest 
(menyarankan), beg (memohon), plead (menuntut) yang kesemuanya
menandai tindak tutur. Tetapi tindak tutur itu tidak sekadar setara dengan
kata kerja yang digunakan untuk menggambarkan tindak tutur itu.

Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak


tutur adalah kemampuan seorang individu melakukan tindak ujaran yang
mempunyai maksud tertentu sesuai dengan situasi tertentu. Dari definisi
tersebut dapat dilihat bahwa tindak tutur yang lebih ditekankan ialah arti
tindakan dalam tuturannya. Hal ini sesuai dengan fungsi bahasa sebagai
alat komunikasi, yang bertujuan untuk merumuskan maksud dan
melahirkan perasaan penutur. Selain itu, tindak tutur juga mencakup
ekspresi psikologis (misalnya berterima kasih dan memohon maaf), dan
tindak sosial seperti memengaruhi tingkah laku orang lain (misalnya
mengingatkan dan memerintahkan) atau membuat kontrak (misalnya
berjanji dan menamai).

Kajian Austin merinci tindak tutur menjadi beberapa kelompok. Di


antaranya adalah sebagai berikut.

a) Representative (representatif): tindak tutur yang memeriksa suatu keadaan


atau peristiwa: pernyataan, dugaan, laporan, pemerian. Tindak tutur ini
dapat saja benar atau salah. Misalnya: Ini namanya lumpia (padahal
mestinya: risoles).

b) Commissive (komisif): tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk


melakukan sesuatu: janji, sumpah, ancaman. Misalnya: Siapa saja yang
ketahuan nyontek, langsung saya kasih nilai E.

c)  Directive (direktif): tindak tutur yang dimaksudkan agar pendengarnya


melakukan suatu tindakan. Seperti minta tolong, perintah, menantang,
mengundang. Misalnya: Harap Tenang.

8
d)  Declaration (deklarasi): tindak tutur yang dapat mendatangkan atau
mengubah suatu keadaan. Seperti pembabtisan, pengukuhan, keputusan.
Misalnya: Saudara kami nyatakan lulus menjadi doctor.

e)  Expressive (ekspresif): tindak tutur yang menunjukkan keadaan psikologis


atau sikap penuturnya. Seperti member salam, minta atau memberi maaf,
ucapan selamat, ucapan bela sungkawa, memberi pujian. Misalnya: Maaf,
pak, saya terlambat (Searle (1981).

Menurut tata bahasa tradisional ada tiga jenis kalimat, yaitu


kalimat deklaratif, kalimat interogatif, dan kalimat imperatif. Austin
(1962) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi
kalimat konstatif dan performatif. Yang dimaksud dengan kalimat
konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka. Sementara itu yang
dimaksud dengan kalimat performatif adalah kalimat yang berisi
perlakuan. Artinya apa yang diucapkan oleh si pengujar berisi apa yang
dilakukannya.

1. Jenis-Jenis Tindak Tutur

Dilihat dari konteks situasinya, ada dua macam tindak tutur, yaitu
tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.

a. Tindak Tutur Langsung, merupakan tindak tutur yang mudah dipahami


oleh pendengar karena ujaran-ujarannya berupa kalimat-kalimat dengan
makna lugas.
Contoh:
Tempat  : Halaman rumah
Bapak     : Aisyah, tolong sapu halaman itu!
Aisyah    : Baik Pak, segera saya sapu.
1) Tindak Tutur Langsung Literal, (direct literal speech act) adalah tindak
tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan
maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan
kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan

9
dengan kalimat Tanya, dan sebagainya.
Contoh:
(a) Orang itu sangat pandai.
(b) Buka mulutmu!
(c) Jam berapa sekarang?

Tuturan (a), (b), dan (c) merupakan tindak tutur langsung literal
bila secara berturut-turut dimaksudkan untuk memberitakan bahwa orang
yang dibicarakan sangat pandai, menyuruh agar lawan bicara membuka
mulut, dan menanyakan pukul berapa ketika itu. Maksud memberitakan
dengan kalimat berita (a), maksud memerintah dengan kalimat perintah
(b), dan maksud bertanya dengan kalimat Tanya (c).

2) Tindak Tutur Langsung Tidak Literal (direct nonliteral speech act) adalah
tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan
dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak
memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya.

Contoh:

(a) Suaramu bagus, kok.

(b) Kalau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu!

Dengan tindak tutur langsung tidak literal penutur dalam (a)


memaksudkan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus. Sementara itu
dengan kalimat (b) penutur menyuruh lawan tuturnya yang mungkin
dalam hal ini adalah anaknya atau adiknya untuk menutup mulut sewaktu
makan agar terlihat sopan. Kalimat (a) dan (b), menunjukkan bahwa di
dalam analisis tindak tutur bukanlah apa yang dikatakan yang penting,
tetapi bagaimana cara mengatakannya.

b. Tindak Tutur Tidak Langsung, hanya dapat dipahami oleh si pendengar


yang sudah cukup terlatih dalam memahami kalimat-kalimat yang
bermakna konteks situsional.
Contoh :

10
Tempat : Halaman rumah
Bapak    : Halaman rumah kita tampak kotor ya?
Aisyah   : Baik Pak, segera saya sapu

1) Tindak Tutur Tidak Langsung Literal (indirect literal speevh act),


merupakan tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang
tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang
sesuai maksud.
Contoh:
(a) Lantainya kotor.
(b) Di mana handuknya?
Dalam konteks seorang ibu rumah tangga berbicara dengan
pembantunya pada kalimat (a), tuturan ini tidak hanya informasi tetapi
juga terkandung maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak
langsung dengan kalimat berita. Demikian pula dalam konteks suami
bertutur dengan istrinya pada kalimat (b) maksud memerintah untuk
mengambilkan handuk diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat
Tanya.

2) Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal, (indirect nonliteral speech


act), merupakan tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan
makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud.
Contoh:
(a) Lantainya bersih sekali.
(b) Radionya terlalu pelan, tidak kedengaran.
(c) Apakah radio yang pelan seperti itu dapat kau dengar?
Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai yang kotor,
seorang majikan dapat saja mengutarakan kalimat (a). Demikian pula
untuk menyuruh seorang teman mematikan atau mengecilkan volume
radionya, penutur dapat mengutarakannya dengan kalimat berita (b) dan
kalimat Tanya (c).

11
Percakapan sebagai suatu bentuk komunikasi berbahasa, jelas
bahwa antara penatur dengan petutur terjadi interaksi. Oleh karena itu
tindak tutur pun akan terealisasi. Bagaimana tindak tutur itu terealisasi
dalam percakapan, Richard (1995) mengutip pendapat Brown dan Levinon
yang menegaskan bahwa untuk berbagai tindak tutur, ketika dua berbicara
berinteraksi bermacam-macam bentuk tantangan yang muncul baik
terhadap penutur maupun petutur. Posisi dasar mereka adalah penutur
maupun petutur berdasarkan jarak sosial dan tingkat kekuasaan pembicara,
dan kemudian memilih strategi percakapan yang sesuai. Ada dua strategi
percakapan yang mereka ajukan, yakni strategi kesopanan positif dan
strategi kesopanan negatif. Strategi-strategi kesopanan positif itu
menekankan pada solidaritas, hubungan baik, dan persamaan antara
penutur dan petutur. Beberapa strategi kesopanan positif itu adalah:

1. Menarik perhatian, keinginan dan kebutuhan petutur. Contoh : (Amboi,


anda baru potong rambut ya!, omong-omong, saya mau pinjam uang).

2. Melebih-lebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, dan simpati terhadap


petutur. Contoh: (Ya hebat bukan, selalu tampak seperti hujan jika anda
akan menjemur pakaian).

3. Menekankan rasa ketertarikan kepada pendengar. Gunakan cara


penyampaian kejadian secara historis. (saya turun ke lantai bahwa dan
tebak apa yang saya lihat?)

4. Menggunakan penanda identitas kelompok. Contoh : (Tolong bawakan tas


ini kawan)

Strategi kedua adalah strategi kesopanan negatif. Tipe kesopanan


negatif ini tidak menekankan solidaritas atau persamaan antara penutur
dengan petutur, tetapi petutur berhak untuk bebas dari beban serta tekanan-
tekanan. Tipe kesopanan negatif ini berfungsi sebagai upaya untuk
meminimalkan beban tertentu bila tindak tutur menimbulkan dampak yang
tidak terhindarkan. Oleh karena itu tipe strategi negatif ini bersifat benar-

12
benar menghormati dan tidak langsung. Berikut ini adalah beberapa
strategi kesopanan negatif.

1. Meminta secara tidak langsung menurut kebiasaan Contoh : (Tolong


ambilkan garam tersebut)

2. Bersikap pesimis Contoh : (Saya tidak yakin Anda akan meminjamkan


saya 10 ribu, hanya untuk sebentar saja)

3. Meminimalkan beban, Contoh : (Dapatkah saya menemui anda sebentar


saja?)

4. Memohon maaf, Contoh : (“Saya harap anda tidak keberatan bila saya
mampir)

2.3. Tindak Tutur dan Pragmatik

Pragmatik adalah studi tentang makna yang mengkaji makna


tuturan dengan cara menghubungkan faktor nonlingual seperti konteks,
pengetahuan, komunikasi, serta situasi pemakaian bahasa dalam rangka
penggunaan tuturan oleh penutur dan lawan tutur. Makna tuturan dalam
pragmatik lebih mengacu pada maksud dan tujuan penutur terhadap
tuturannya.
Yule (1996) menjelaskan pengertian pragmatik, yaitu studi tentang
hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk
bahasa. Levinson (dalam Tarigan, 1990: 33) menjelaskan pragmatik
adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang yang
merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa
dengan kata lain: telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa
menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks
secara tepat.
Berdasarkan landasan di atas, dapat ditegaskan bahwa pragmatik
adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara
eksternal, yaitu berkaitan dengan bagaimana suatu bahasa itu digunakan
dalam komunikasi. Pragmatik pada dasarnya menyelidiki bagaimana
makna dibalik tuturan yang terikat pada konteks yang melingkupinya di

13
luar bahasa, sehingga dasar dari pemahaman terhadap pragmatik adalah
hubungan antara bahasa dengan konteks.
Searle (dalam Wijaya dan Rohmadi, 2011: 21) menyatakan bahwa
dalam praktik penggunaan bahasa terdapat setidaknya tiga macam tindak
tutur. Ketiga macam tindak tutur adalah sebagai berikut. Pertama, tindak
tutur lokusi, yaitu tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai
dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Kedua,
tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur untuk melakukan sesuatu dengan
maksud dan fungsi tertentu pula. Ketiga, tindak tutur perlokusi, yaitu
tindak tutur yang menumbuhkan pengaruh (effect) kepada mitra tutur.
Secara garis besar kategori-kategori menurut (Searle dalam
Gunarwan, 1994: 85-86) dikelompokkan menjadi lima: (1) representataif,
yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa
yang dikatakannya (misalnya: menyatakan, melaporkan, menunjukkan,
menyebutkan); (2) direktif, yaitu tindak ujaran yang dilakukan penuturnya
dengan maksud agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di
dalam ujaran itu (misalnya: menyuruh, memohon, menuntut,
menyarankan, menantang); (3) ekspresif, yaitu tindak ujaran yang
dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi
tentang hal yang disebutkan di dalam ujaran (misalnya: memuji,
mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh); (4) komisif, yaitu
tindak ujaran yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang
disebutkan di dalam ujarannya (misalnya: berjanji, bersumpah,
mengancam); (5) deklarasi, yaitu tindak ujaran yang dilakukan si penutur
dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya)
yang baru (misalnya: memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan,
memberi maaf).
Dari kategorisasi yang dibuat oleh Searle, dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya semua tuturan adalah performatif atau sebuah tindak
tutur. Oleh karena itu Searle menyarankan bahwa unit dasar komunikasi
linguistik adalah tindak tutur. Ini bisa berupa kata, frasa, kalimat atau
suara, yang mempunyai makna mengekspresikan niat pengguna. Sehingga

14
dapat dikatakan bahwa tindak tutur adalah satuan bahasa dalam pragmatik,
seperti halnya morfem, kata, frasa, dan kalimat sebagai satuan bahasa
dalam linguistik. Jenis satuan tindak tutur dapat beragam dari suara
tertentu, kata, frasa, kalimat, dan bahkan sampai dengan wacana. Dalam
arti, selama bunyi itu dimaksudkan untuk makna tertentu, dapat dikatakan
sebagai tindak tutur.
Konsekuensi dari adanya daya ilokusi dalam sebuah tindak tutur
adalah memungkinkan terjadinya ilokusi yang tidak sesuai dengan tuturan.
Faktor penentunya adalah pemahaman bersama di antara partisipan
tuturan, yang dalam hal ini adalah kondisi felisitas seperti yang
dikemukakan oleh Searle. Tuturan dapat berilokusi langsung maupun tidak
langsung. Ilokusi langsung berarti ketika ada hubungan langsung antara
struktur dan fungsi komunikatif ujaran atau tuturan yang lokusinya secara
jelas menggunakan verba yang sesuai dengan daya ilokusinya.

Ilokusi langsung berdasarkan persamaan struktur dan fungsi komunikatif


Tindak Tutur Jenis Fungsi Contoh
Kalimat
Pernyataan deklaratif Menyampaikan Situasinya aman dan
informasi terkendali.
(benar/salah)

Pertanyaan interogatif Menanyakan Di mana kejadiannya?


informasi

Perintah, imperatif Membuat mitra Tolong ambilkan


permintaan tutur melaksanakan berkasnya!
tindakan tertentu

Ilokusi langsung berdasarkan kesesuaian verba lokusi dan ilokusinya


Tindak Tutur Ilokusi Contoh
Pernyataan Asertif (menyatakan) Saya menyatakan bahwa situasinya
aman dan terkendali.

15
Pertanyaan Direktif (menanyakan} Siapa yang akan mengerjakan tugas
ini?

Permintaan Direktif (meminta) Tolong pinjami saya uang.


Berjanji Komisif (menjanjikan) Saya berjanji akan mengembalikan
uangnya.

Sebaliknya, ilokusi tidak langsung terjadi karena perbedaan antara


lokusi dan ilokusinya. Apa yang dituturkan oleh penutur mempunyai
maksud atau makna yang berbeda, atau dapat terjadi karena tidak adanya
hubungan langsung antara struktur/bentuknya dengan ilokusinya. Apabila
dalam ilokusi langsung tidak diperlukan adanya konteks, ilokusi tidak
langsung justru wajib menghadirkan konteks tuturan. Penutur dan mitra
tutur harus mempunyai latar belakang pengetahuan yang sama terhadap
tindak tutur. Perbedaan ilokusi langsung dan tidak langsung dapat dilihat
sebagai berikut.

1) Tolong tutup jendela itu.

2) Bisakah menutup jendela itu?

3) Aku kedinginan.

Ketiga tuturan tersebut sebenarnya mempunyai maksud yang sama,


yakni permintaan penutur kepada mitra tutur untuk menutup jendela.
Tuturan 1) adalah tindak tutur langsung karena antara tuturan dan
ilokusinya sesuai. Ada pemarkah yang tegas dalam tuturan sebagai ilokusi
direktif. Tuturan 2) dan terutama 3) adalah tindak tutur tidak langsung.
Dalam tuturan 2) tindak tutur permintaan dituturkan dengan cara
menanyakan kemampuan mitra tutur untuk menutup jendela. Kemudian di
tuturan 3), untuk mengetahui bahwa tuturan tersebut adalah permintaan,

16
mitra tutur harus mengetahui konteksnya. Dalam hal ini, tuturan “aku
kedinginan” yang secara literal dimaknai sebagai informasi tentang
keadaan penutur, dimaknai sebagai permintaan karena mitra tutur melihat
bahwa penutur kedinginan karena masuknya angin dingin dari jendela,
sehingga mitra tutur menutup jendela agar tidak kedinginan.

Untuk memahami ke tiga tindak tutur itu dalam proses komunikasi


dapat digambarkan melalui proses komunikasi seperti yang digambarkan
oleh Leech (1993) berikut:

Memperhatikan gambar di atas terlihat bahwa urutan: 1-2-3-4-5-6-


7-8, atau urutan secara keseluruhan mulai dari nomor 1 hingga nomor 8,
adalah gambaran tindak perlokusi sedangkan urutan 2-3-4-5-6-7 adalah
gambaran tindak ilokusi. Urutan 3-4-5-6 menandakan tindak tutur lokusi.
Apabila urutan-urutan itu dianalogikan terhadap suatu peristiwa
pertandingan sepak bola, seseorang melakukan suatu tindakan; “Penyerang
tengah sudah menendang bola; lebih-lebih lagi dia sudah mencetak gol;
dan selanjutnya dia memenangkan pertandingan”.
Peristiwa ini digambarkan Leech (1993) sebagai berikut.

17
Memperhatikan gambar di atas, jelas bagi kita bahwa dalam
pertandingan sepak bola, untuk mencapai kemenangan ada proses. Proses
itu merupakan serangkaian kejadian yang terkordinasi, mulai cetak gol dan
akhirnya memenangkan pertandingan. Begitu juga halnya dengan tindak
tutur yang terkordinasi mulai dari lokusi, ilokusi dan perlokusi.

18
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Dalam proses komunikasi, setidak-tidaknya ada tiga komponen
terkait, yakni partisipan, hal yang diinformasikan, dan alat (bahasa). Pada
komunikasi berbahasa, ada dua gejala yang dominan; yakni tindak tutur
dan peristiwa tutur. Tindak tutur sebagai tindakan yang ditampilkan
penutur pada suatu percakapan, pada hakikatnya ada tiga jenis. Ketiga
jenis itu adalah lokusi, ilokusi dan perlokusi. Tindak tutur lokusi adalah
melakukan tindakan untuk mengatakan sesuatu. Ilokusi yaitu melakukan
suatu tindakan dalam melakukan sesuatu. Perlokusi dalam melakukan
suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Gejala kedua dalam
komunikasi berbahasa adalah peristiwa tutur, yakni gejala sosial yang
melibatkan para partisipan dengan satu pokok tuturan yang berlangsung
pada waktu, tempat dan situasi tertentu. Peristiwa tutur ini ditandai dengan
adanya delapan komponen (SPEAKING), antara lain waktu, tempat dan
situasi; partisipan; maksud dan tujuan; bentuk dan isi ujaran; nada dan
cara; ragam bahasa; norma; dan jenis bahasa penyampaian.

3.2. Saran
Setelah makalah ini selesai ditulis, kami sebagai penulis
menyarankan agar pembaca dapat mempelajari makalah yang berisi
beberapa materi mengenai Tindak Tutur ini dengan baik. Diharapkan
dengan membaca makalah ini, pembaca mendapat pengetahuan dan
informasi yang bermanfaat. 

19
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:


Rineka Cipta

Saifudin, Akhmad. 2019. Teori tindak tutur dalam studi linguistik


pragmatik. Universitas Dian Nuswantoro.

Purba, Andiopenta. 2017. TINDAK TUTUR DAN PERISTIWA


TUTUR. FKIP Universitas Jambi.

20

Anda mungkin juga menyukai