Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Mata Kuliah Ouyou Nihongogaku


Analisis Percakapan

Dosen Pembimbing : Rahadiyan Duwi Nugroho, S.S., M.Hum.

Kelompok 3 :
1. Farid Putra Yuana 201912620001
2. Najmi Sita Nahela 2018620024
3. Nisrina Nurul Jannati 2018620025

FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG
UNIVERSITAS DR. SOETOMO SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia, serta hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Ouyou Nihongogaku yang berjudul “Analisis Percakapan” yang
membahas mengenai tinjauan strategi teori komunikasi yang berhubungan dengan
analisis percakapan dalam bahasa Jepang.
Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah banyak membantu dalam pembuatan makalah ini, terutama kepada bapak
Rahadiyan Duwi Nugroho, S.S., M.Hum. selaku dosen yang mengajar dan
membimbing kami pada mata kuliah Ouyou Nihongogaku.
Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat ini sangatlah jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangatlah diharapkan demi terciptanya
makalah yang lebih baik lagi di masa mendatang. Meskipun demikian, semoga
memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Besar harapan agar tugas makalah ini
dapat diterima dan dapat menambah wawasan tentang “Analisis Percakapan” bagi
pembaca dan juga penulis. Aamiin yaa Robbal ‘alamiin.

Surabaya, 9 November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
A. PERCAKAPAN..............................................................................................1
1. Pengertian percakapan....................................................................................................1
2. Hal yang harus diperhatikan dalam percakapan..............................................................2
B. ANALISIS PERCAKAPAN..........................................................................3
1. Sejarah.............................................................................................................................3
2. Pengertian........................................................................................................................4
C. TOPIK PERCAKAPAN................................................................................5
D. KOMPONEN DASAR DALAM ANALISIS PERCAKAPAN...................6
1. Giliran bicara...................................................................................................................6
2. Urutan bicara...................................................................................................................8
3. Pasangan sepadan............................................................................................................9
E. JEDA, TUMPANG TINDIH DAN SALURAN BELAKANG..................12
1. Jeda................................................................................................................................12
2. Tumpang tindih.............................................................................................................12
3. Saluran belakang...........................................................................................................13
F. GAYA PERCAKAPAN................................................................................15
KESIMPULAN......................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

ii
A. Percakapan
1. Pengertian Percakapan
Percakapan merupakan pertukaran linguistis di antara dua orang atau lebih
yang disebut dengan pelaku percakapan (Mey, 2001: 134). Dari segi
pragmatik, Mey melihat percakapan sebagai lingkungan tempat tindak tutur
biasanya muncul secara alamiah (2001: 135). Menurut Cook (1993: 116),
percakapan adalah suatu bentuk interaksi yang memiliki beberapa sifat: tidak
terencana, tidak didukung oleh tulisan, biasanya tidak dapat dipresiksi, serta
meliputi banyak pergantian bicara. Percakapan menurut Parera, sebagaimana
dikutip Hilyati (1998), adalah “kegiatan atau peristiwa berbahasa lisan antara
dua penutur atau lebih yang saling memberikan informasi dan
mempertahankan hubungan baik.”
Pada bagian pengantar dalam bukunya, Schegloff (2007: xiii)
menggarisbawahi bahwa dia memilih untuk menggunakan istilah talk-in-
interaction ketika mengacu pada kata percakapan. Dengan menggantikan kata
percakapan dengan istilah talk-in-interaction, pertama Schegloff menghindari
konotasi negatif dari makna prcakapan yang dianggap sebagai sesuatu yang
sepele. Kedua, dia berusaha untuk memperluas ruang lingkup dari apa yang
sebenarnya sedang kita hadapi agar setting interaksional yang tdak termuat di
dalam kata percakapan dapat dijangkau juga. Schegloff dalam penjelasan
Heritage (2001: 47) berpendapat bahwa talk-in-interaction merupakan tempat
primordial bagi sifat-sifat kemasyarakatan manusia. Heritage bahkan
beranggapan bahwa talk-in-interaction adalah sumber daya yang penting.
Melalui kegiatan itu, bisnis semua lapisan masyarakat diatur, kebudayaan
mereka disampaikan, identitas orang-orangnya dinyatakan, dan struktur
sosialnya dibangun kembali. Heritage juga menambahkan bahwa kemampuan
kita memahami sifat dari dunia sosial dan ikut serta didalamnya bergantung
pada kapasitas, keahlian, dan kepanjangan akal daya kita sebagai pelaku
interaksi sosial.

1
2. Hal yang Harus Diperhatikan dalam Percakapan
Rakhmat (2011:1) mengatakan di antara karunia Tuhan yang paling besar
bagi manusia ialah kemampuan berbicara. Kemampuan untuk
mengungkapkan isi hatinya dengan bunyi yang dikeluarkan dari mulutnya.
Dengan berbicara, kita bisa menyampaikan aspirasi kita dan kita mampu
bertukar pikiran dengan orang lain. Sehingga tidak heran jika ada asumsi
yang mengatakan selama ada kesempatan untuk berbicara, tidak ada masalah
yang tidak dapat dipecahkan dan diselesaikan.
Berbicara merupakan salah satu tindak komunikatif berupa percakapan.
Tarigan (2009:131) mengatakan bahwa percakapan merupakan wadah yang
paling ampuh bagi penggunaan kaidah-kaidah atau aturan-aturan wacana
secara fungsional. Dalam percakapan tentu saja ada hal atau aturan yang
harus kita perhatikan. Menurut Purba (2002:96) hal yang harus diperhatikan
tersebut dibagi menjadi 6 bagian, yaitu:
1) Bagaimana menarik perhatian seseorang
2) Bagaimana cara memulai pembicaraan
3) Bagaimana cara mengakhiri pembicaraan
4) Bagaimana cara memilih topik pembicaraan
5) Bagaimana cara menginterupsi atau memotong pembicaraan
6) Bagaimana cara memperbaiki kesalahan
Sedangkan Tarigan (2009:132) membaginya menjadi tiga kelompok besar,
yaitu:
1) Bagaimana cara menarik perhatian seseorang
2) bagaimana cara memulai, memprakarsai pokok pembicaraan, dan
menyudahi pembicaraan
3) Bagaimana cara menginterupsi, menyela, memotong pembicaraan,
mengoreksi, memperbaiki kesalahan, atau meminta penjelasan
Memperhatikan suatu hal atau aturan tentu saja memiliki tujuan tersendiri.
Begitu juga halnya dengan percakapan. Kita memperhatikan hal
atau aturan-aturan dalam percakapan agar aktivitas berbahasa tersebut
berjalan secara efektif dan efisien.

2
B. Analisis Percakapan
1. Sejarah
Masalah percakapan bukanlah sesuatu yang baru karena sebenarnya topik
mengenai percakapan sudah ada sejak lama. Analisis percakapan muncul di
saat kebingungan teoretis setelah adanya revolusi linguistic yang digagas
oleh Noam Chomsky di akhir tahun 50an dan di awal tahun 60an.
Selanjutnya, topik itu mendapatkan perhatian khusus dari kalangan sosiolog
untuk diteliti secara ilmiah.
Analisis percakapan ini diprakarsai oleh sekelompok orang pemerhati
bahasa nonprofesional (para sosiolog seperti Sacks, Schegloff, dan
Jefferson). Mereka melihat bahwa contoh-contoh bahasa yang diberikan oleh
para linguis profesional sering kali tidak alami, bahkan sebagian dari contoh-
contoh ujaran tersebut tidak muncul dalam percakapan yang
alamiah. Kemudian, mereka pun menemukan bahwa aturan-aturan yang
dipatuhi dalam percakapan lebih mirip dengan aturan-aturan yang dipakai
masyarakat dalam aktivitas sosial daripada dengan aturan-aturan yang
terdapat dalam linguistik. Aturan-aturan tersebut pun hampir sama dengan
aturan yang ditemui oleh para peneliti dari
bidang sosiologi dan antropologi. Oleh karena itu, kemudian munculah
metode ethnomethodology yang digunakan untuk mengkajian
percakapan. Topik yang menjadi pusat perhatian para ahli analisis percakapan
tersebut adalah organisasi dan struktur percakapan.
Sebelumnya, segala keterangan yang ditulis perihal subyek itu pada
umumnya bersifat normatif, yaitu bagaimana selayaknya seseorang harus
berbicara dan bukan bagaimana sesungguhnya orang berbicara. Pada
umumnya, percakapan biasa terkesan berantakan dan tidak sistematis. Hanya
setelah menggunakan bantuan alat perekam dan didukung keinginan kuat
serta kemampuan melakukan penelitian secara mendalam terhadap fenomena
sehari-hari yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat itulah, susunan
sebuah percakapan dapat terungkap (Have, 2007: 3).
Menurut Steensig (2003), analisis percakapan adalah satu set metode dan
sebuah mentalitas analitis tertentu dalam mempelajari talk-in-interaction dan

3
biasanya dihubungkan dengan nama-nama para pendirinya, yaitu Sacks,
Schegloff, dan Jefferson. Metodologi itu sudah hadir selama hampir empat
dekade dan berhasil memperoleh pemahaman dan memperluas wawasan
mengenai berbagai sisi bahasa sebagaimana digunakan dalam interaksi
verbal. Akan tetapi, sebagian besar analisis yang dilakukan dalam kerangka
itu haya mengkaji materi-materi yang bersifat monolingual dan pada
umumnya merupakan bahasa-bahasa Anglo-Eropa.

2. Pengertian
Dalam arti luas, analisis percakapan dapat dipahami sebagai penelitian
mengenai orang yang berbicara bersama-sama, komunikasi secara lisan, atau
penggunaan bahasa. Sedangkan dalam arti sempitna, analisis percakapan
mengacu pada sebuah tradisi kegiatan analitis tertentu yang digagas oleh
Harvey Sacks serta rekan-rekannya Emanuel Schegloff, dan Gail Jefferson
(Have, 2007: 5) sekitar tahun 1960-an.
Analisis percakapan merupakan disiplin ilmu yang masih tergolong muda
yang berfokus pada pembicaraan orang. Analisis percakapan berkaitan
dengan bagaimana kontribusi pembicara yang berbeda-beda bercampur di
dalam percakapan serta cara beragam tindakan (e.g. menyapa, menuduh, dan
lain-lain) diproduksi dan dikelola (Potter dan Wetherell, 1987: 80).
Cook (1989: 52) yang mengutip Levinson (1983: 286) menuliskan bahwa
analisis percakapan seringkali dipandang sebagai kajian yang berbeda dari
analisis wacana. Hal itu dikarenakan Analisis percakapan (kaiwa bunseki)
merupakan salah satu pendekatan analisis wacana dalam disiplin ilmu
sosiologi yang dipelopori oleh Harold Garfinkel yang dikenal juga sebagai
bapak sosiologi. Analisis percakapan  berakar dari pendekatan yang telah
dikembangkan sebelumnya, yaitu etnometodologi (yang dipengaruhi
fenomenologi Alfred Schutz).  Namun, Analisis percakapan  berbeda dengan
cabang sosiologi lainnya karena Analisis percakapan  bukan menganalisis
pranata sosial itu sendiri, melainkan menemukan bagaimana cara anggota
masyarakat membentuk hakikat dari sebuah pranata sosial.

4
Meskipun percakapan umumnya berlangsung secara berpasangan, ada cara
yang memungkinkan diperluasnya pasangan, yaitu sebelum diawali (lihat
Schegloff 1980; Levinson 1983: 345-64), setelah selesai (lihat Fox 1987: 23-
8), atau bahkan persis ketika berlangsung percakapan berpasangan  (lihat
Jefferson 1972). Persoalan penting yang mendasari percakapan adalah
masalah ”distribusi”, yaitu penempatan giliran penutur ketika berbicara,
perkiraan waktu orang akan berbicara yang otomatis akan mempengaruhi
kediaman dari mitra tutur. Kemudian, antara perhentian berbicara, dan titik
mulai berbicara dari mitra tutur, dengan sekecil mungkin jarak pertuturan dan
jarak bertutur bersamaan antara giliran merupakan bagian dari Analisis
percakapan.
Analisis percakapan  meneliti masalah tersebut (dan yang sejenisnya)
seputar ganti-giliran dalam percakapan; hingga sebuah solusi yang prosesnya
teramati ketika sedang berlangsung percakapan. Solusi tersebut merupakan
”seperangkat aturan dasar yang mengatur formasi giliran, memberikan alokasi
giliran berikutnya pada suatu kelompok percakapan, dan mengkoordinasikan
pergantian giliran sehingga memperkecil jarak pertuturan dan jarak bertutur
bersamaan” [Sacks (1974) dalam Schiffrin, 1994:238].
Ringkasnya, fokus Analisis percakapan  adalah percakapan sebagai
peristiwa aktual, dengan cara percakapan direkam tanpa rekayasa, hasil
rekaman ditranskrip sebagaimana adanya. Pada prinsipnya, konteks perlakuan
Analisis percakapan  masih didasarkan pada etnometodologi. Walaupun
demikian, dalam membuat transkrip percakapan, Analisis percakapan  tidak
terlalu memperhatikan hubungan sosial atau konteks sosial, seperti identitas
sosial, latar, dan atribut personal (Schiffrin, 1994:235).

C. Topik Percakapan
Topik dalam wacana percakapan sering berganti. Samsuri menegaskan bahwa
dua orang peserta percakapan dapat berbicara dengan dua topik yang berbeda
(Samsuri, 1989:17). Lebih jelasnya, dalam satu peristiwa pembicaraan, para
peserta percakapan dapat mengembangkan topiknya masing-masing. Ada topik
inti, kemudian dikembangkan ke berbagai topik bawahan.

5
Pembagian topik percakapan ada dua. Pertama, topik umum yaitu pokok
pangkal pembicaraan yang berperan sebagai judul atau tema. Topik ini yang
mengarahkan seluruh percakapan, sehingga tujuan percakapan bisa tercapai.
Kedua, topik-topik kecil yaitu aspek-aspek tertentu yang timbul dalam rangkaian
keseluruhan percakapan (Syamsudin, 1992:55). Kadang-kadang topik-topik itu
berubah-ubah dan meloncat-loncat sesuai dengan situasi percakapan.
Selanjutnya, berdasarkan tipenya, topik dibagi menjadi empat, antara lain (1)
topik yang berkelanjutan, (2) topik yang tidak berkelanjutan, (3) topik nyata, dan
(4) topik imajiner (Rani, 1992:14). Topik berkelanjutan merupakan topik yang
dikembangkan dalam percakapan dan topik yang dilanjutkan pada segmen
percakapan berikutnya. Hal ini dikarenakan adanya jawaban yang memunculkan
pertanyaan baru sebagai lanjutan percakapan. Sebaliknya, topik yang tidak
berkelanjutan merupakan topik percakapanyang tidak dikembangkan dan dapat
ditemukan pada percakapan yang singkat. Topik nyata merupakan topik
pembicaraan yang menunujukan kefaktualisasi dalam sebuah percakapan.

D. Komponen Dasar dalam Analisis Percakapan


Cutting (2003) membagi tiga komponen yang mendasar dalam mengalisi
percakapan. Yaitu, giliran bicara (turn-taking organization), urutan bicara
(sequence organization) dan pasangan sepadan (adjacency pairs).
1. Giliran Bicara
Giliran bicara (turn-taking) adalah waktu dimana penutur kedua
mengambil alih giliran berbicara dari penutur sebelumnya, dan juga
sebaliknya. Giliran berbicara (turn-taking) berkenaan dengan bagaimana
pelaku percakapan mengambil bagian dalam pembicaraan dan bagaimana
pula kedua belah pihak mengatasi masalah apabila terjadi tuturan yang
berjeda, tumpang tindih atau berbenturan. Secara normal, giliran berbicara
tersusun dengan urutan A-B-A-B dalam porsi yang relatif sama, tanpa ada
salah satu pihak yang lebih mendominasi.
Giliran bicara dalam sebuah proses percakapan ini mempunyai tiga poin.
Yang pertama, penutur mempersilahkan mitra tuturnya untuk memberikan
respon, dan mitra tutur yang ditunjuk berkewajiban untuk menggunakan

6
gilirannya atau memberikan respon. Yang kedua, jika penutur tidak
mempersilahkan mitra tuturnya untuk menggunakan gilirannya, maka mitra
tutur ini boleh tetap menggunakan gilirannya tetapi dia tidak diwajbkan untuk
itu. Yang ketiga, jika tidak ada mitra tutur yang menggunakan giliran
bicaranya, maka penutur sebelumnya boleh melanjutkan giliran bicaranya,
tetapi dia tidak diwajibkan untuk melakukannya. Sebagai contoh dari kaidah
tersebut yaitu:
A: Sono hako, hitotsu motte kureru?
B: Hai
Pada percakapan diatas, A memberikan pertanyaan kepada B dan B
memberikan jawaban karena B mempunyai kewajiban untuk itu.
A: gaikoku ni naratta koto ni shita.
B: Sou suru houga ii to omou.
Pada percakapan diatas, A memberikan sebuah pernyataan atau opini. Pada
kasus ini B memberikan respon atas pernyataan yang diungkapkan oleh A,
namun sebenarnya B tidak berkewajiban untuk melakukannya.
Strategi dalam turn-taking ada tiga jenis, yaitu:
a. Taking the floor, yaitu waktu dimana penutur pertama dan penutur
selanjutnya mengambil alih giliran bicara. Jenis-jenisnya antara lain:
 Starting up (mengawali pembicaraan), bisa dilakukan dengan
keragu-raguan atau ujaran yang jelas.
 Taking over, yaitu mengambil alih giliran berbicara (bisa diawali
dengan konjungsi).
 Interupsi, yaitu mengambil alih giliran berbicara karena penutur
yang akan mengambil alih giliran bicara merasa bahwa pesan yang
perlu disampaikan oleh penutur sebelumnya sudah cukup sehingga
giliran bicara diambil alih oleh penutur selanjutnya.
 Overlap, yaitu penutur selanjutnya memprediksi bahwa penutur
sebelumnya akan segera memberikan giliran berbicara kepada
penutur selanjutnya, maka ia mengambil alih giliran berbicara.

7
b. Holding the floor, yaitu waktu dimana penutur sedang mengujarkan
ujaran-ujaran, serta bagaimana penutur mempertahankan giliran
berbicaranya.
c. Yielding the floor, yaitu waktu dimana penutur memberikan giliran
berbicara kepada penutur selanjutnya.
Giliran bicara ini berlangsung dengan teratur, dimana para pelaku
percakapan menentukan giliran bicara masing-masing pihak secara berturut-
turur. Mereka juga menentukan sendiri tata cara pelaksanaan, bentuk dan
durasi atau panjangnya giiran bicara masing-masing pihak. Pada akhirnya,
dapat disimpulkan bahwa giliran bicara yang terjadi ini saling berkaitan dan
bergantung dari giliran yang dimiliki oleh masing-masing pihak, yang juga
dapat disebut sebagai bentuk interaksi yang menghasilkan percakapan yang
relevan.

2. Urutan Bicara
Urutan-urutan tuturan dalam sebuah percakapan akan memberikan kepastian
informasi yang dikehendaki oleh para pelaku percakapan. Dalam analisisnya,
Cutting (2003) di dalam Morrisan & Wardhany (2009), membagi urutan
bicara menjadi tiga bagian yaitu:
a. Pre-sequences, yaitu kalimat awal dalam sebuah urutan percakapan,
yang terdiri dari kalimat undangan awal (Pre-invitation ), kalimat
permintaan awal, dan kalimat pemberitahuan awal. Kalimat pembuka
yang mengawali kalimat-kalimat selanjutnya sebelum masuk ke topik
atau maksud pembicaraan yang sebenaranya. Berikut adalah contoh dari
percakapan yang menggunakan kalimat undangan awal:
A: Atarashii anime, CGV ni jouei sareteiru datte. Shitteru?
B: Hai, doushite?
A: Konban, mi ni ikou ka?
B: Ii yo, ikou.
b. Insertion sequences, merupakan kalimat tambahan dalam percakapan
yang digunakan pada bagian tengah urutan percakapan, yang bersifat
bebas, artinya boleh digunakan bila perlu dan tidak ada hubungannya

8
dengan topik atau kalimat sebelumnya. Pada contoh yang telah
disebutkan diatas, jika ditambahkan insertion sequences akan menjadi
seperti berikut:
A: Atarashii anime, CGV ni jouei sareteiru datte. Shitteru?
B: Hai, doushite?
A: Konban, mi ni ikou ka?
B: Nanji?
A: roku ji han
B: Ii yo, ikou
c. Opening-closing sequence. Opening sequence biasanya merupakan
kalimat salam, pertanyaan tentang kondisi lawan bicara, dan sebuah
referensi tentang hal yang sudah terjadi. Sedangkan closing sequence
adalah kalimat perpisahan yang berada di akhir urutan percakapan.
Contoh:
A: Jaa, sorosoro ikanakya
B: Un, mata ne
A: Mata

3. Pasangan Sepadan / Pasangan Berdekatan


Definisi dari pasangan sepadan yang paling sederhana seperti yang
diungkapkan oleh Pridham (2001: 26) adalah pasangan ujaran yang biasanya
muncul bersamaan. Menurut Schegloff dan Sacks, seperti yang terdapat pada
Schiffrin (1994: 236), mengemukakan bahwa pasangan sepadan adalah
sebuah urutan dari dua ajaran, yang sepadan, dihasilkan oleh penutur yang
berbeda, berurutan dari bagian pertama dan kedua, sehingga bagian pertama
membutuhkan bagian yang kedua atau serangkaian bagian kedua. Pasangan
sepadan merupakan jenis tuturan oleh penutur yang membutuhkan jenis
tuturan dari penutur yang lain. Tuturan ini terjadi secara berpasangan, yang
terdiri atas bagian pertama dan bagian kedua. Misalnya tuturan: “Siapa
namamu?” Tuturan ini secara tidak langsung mempunyai esensi sebuah
jawaban yang ditujukan terhadap penutur kedua.

9
Cutting (2003: 30) juga mengungkapkan bahwa sebuah percakapan yang
mengandung pola yang timbul berkali-kali, berpasang-pasang ujaran disebut
pasangan sepadan. Sedangkan menurut Kridalaksana (2001: 156), pasangan
sepadan yang disebut juga pasangan berdampingan adalah pasangan ujaran
dari dua pembicara, yang pertama membangkitkan yang kedua, misalnya
urutan tanya-jawab, atau salam dengan salam.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pasangan
sepadan ini terdiri dari bagian pertama dan bagian kedua yang muncul
berurutan dan menghasilkan serangkaian kalimat pada sebuah percakapan. Di
dalam percakapan ini terdapat struktur dasar, struktur yang dimaksud adalah
seperti yang dituturkan oleh Psathas (1994: 18), di antaranya adalah pasangan
sepadan ini harus terdiri dari dua giliran bicara, tidak boleh kurang. Oleh
karena terdapatnya dua giliran bicara ini, maka terbentuklah dua bagian
pasangan, dimana bagian pertama dihasilkan oleh penutur dan bagian yang
kedua dihasilkan oleh mitra tuturnya. Kedua bagian tersebut tersusun secara
relative dan saling berhubungan dengan conditional relevance, seperti ujaran
dari penutur mengatur apa yang mungkin muncul sebagai respon dari mitra
tuturnya, dan respon tersebut bergantung dengan apa yang telah diucapkan
oleh penutur. Dalam prosesnya, pasangan sepadan ini berlangsung dengan
jeda waktu minimum atau menggunakan pergiliran bicara yang cepat.
Dalam pasangan sepadan, ujaran kedua sebagai tanggapan atau respon dari
ujaran pertama. Ujaran dapat dipilah menjadi dua macam, yaitu ujaran yang
disukai dan ujaran yang tidak disukai. Ujaran yang berisi permintaan dapat
memunculkan respon dikabulkan atau ditolak. Pengabulan merupakan respon
yang disukai, sementara pengelakan atau penolakan menjadi respon yang
tidak disukai.
Jika melihat struktur dasar diatas, maka dapat diketahui bahwa pasangan
sepadan ini banyak sekali jenisnya. Hubungan antara ujaran pertama dan
kedua dalam pasangan sepadan digambarkan oleh Levinson sebagai berikut:
Ujaran Kedua
Ujaran Pertama
Disukai Tidak Disukai
Permintaan Pengabulan Penolakan
Penawaran Penerimaan Penolakan
Penilaian Persetujuan Ketidaksetujuan

10
Jawaban yang tidak
Jawaban yang tidak
Pertanyaan diharapkan/tidak
diharapkan
dijawab
Penyalahan Penyangkalan Pengiyaan

Berikut adalah beberapa contoh pasangan sepadan:


 Salam – salam
A: Konnichiwa
B: Konnichiwa.
 Pertanyaan – jawaban
A: Tonari no Totoro to iu eiga, shitteru?
B: Un, shitteru..
 Permintaan – penerimaan
A: Satou o totte kureru?
B: Hai, douzo.
 Penawaran – penerimaan
A: Kono sushi, douzo tabete kudasai?
B: Hai, arigatou gozaimasu.
 Undangan – penerimaan
A: Isshoni hirugohan o tabemasen ka?
B: Hai, onegaishimasu.
Namun, tidak semua bagian yang pertama segera menerima bagian yang
kedua. Seringkali terjadi rangkaian tanya jawab tertunda, sedangkan
rangkaian tanya jawab tanya jawab yang lain langsung terjadi. Maka
rangkaian tersebut akan berbentuk Q1-Q2-A2-A1, dengan pasangan tengah
(Q2-A2) yang disebut rangkaian sisipan. Meskipun tampaknya mungkin ada
pertanyaan (Q2) dalam menjawab pertanyaan (Q1), asumsinya adalah bahwa
jika bagian kedua (A2) dari rangkaian sisipan tersebut disediakan, maka agian
kedua (A1) pertanyaan awal (Q1) akan mengikuti.
A: Kyouto e ikanai? (Q1)
B: Nanji ni? (Q2)

11
A: 10ji (A2)
B: ikou (A1)

E. Jeda, Tumpang Tindih, dan Saluran Belakang


1. Jeda
Menurut KBBI, jeda merupakan waktu beristirahat diantara dua kegiatan.
Jika di aplikasikan pada percakapan, jeda merupakan waktu berhenti sebagai
peralihan dari pembicara yg satu ke pembicara yang lain. Menurut Fauzan
(brainly.co.id) Jeda adalah hentian sementara pada ujaran. Jeda biasanya
ditandai dengan tanda : koma (,), titik (.), titik koma (;), titik dua (:), tanda
tanya ( ? ), dan tanda seru (!). Jeda-jeda yang pendek ditandai dengan tanda
pisah (-) hanya merupakan keragu-raguan, tetapi jeda-jeda yang panjang
menjadi diam dalam artian tidak dapat dikaitkan dengan penutur kedua
karena masing-masing telah menyelesaikan giliran tuturnya. Jika seorang
penutur benar-benar mengambil alih floor dari yang lain dan orang yang lain
tersebut tidak berbicara, diam dapat dikaitkan dengan penutur kedua dan
menjadi signifikan. Dapat dilihat seperti pada contoh berikut:
Taro : Kenji, aku akan ke toko ( 2 detik )
Taro : Kenji? ( 2 detik )
Taro : Kenji – ada yang salah?
Kenji : Apa? Apa yang salah?
Taro : Tak apa-apa.

2. Tumpang Tindih
Percakapan yang dilakukan oleh kaum wanita memiki ciri khas
bertumpang-tindih ketika sekelompok teman wanita sedang berbicara.
Menurut Coates (dalam Guritno 2008 : 26) tumpang tindih merupakan salah
satu kriteria yang mendominasi dilihat dari data rekaman percakapan di
antara sekelompok teman wanita yang dia miliki. Ujaran yang saling

12
tumpang-tindih merupakan ujaran yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
secara hampir bersamaan, dengan selisih waktu yang sangat kecil, dan tidak
selalu merupakan kata-kata yang sama, namun memiliki makna yang sama,
dengan kata lain untuk makna yang sama digunakan ungkapan atau parafrase
yang berbeda.
Lazimnya, tumpang-tindih pertama terjadi saat kedua penutur berusaha
memulai pembicaraan. Namun, untuk dua penutur yang sedang mengalami
kesusahan yang terlibat dalam irama percakapan yang dilakukan bersama,
pola berhenti-mulai-tumpang-tindih-berhenti bisa diulangi-ulangi. Namun
demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam ujaran yang saling
tumpang-tindih tema yang dibicarakan sama, hal yang diucapkan berbeda
tetapi masih berhubungan, dan diutarakan di saat yang bersamaan. Dapat
dilihat seperti pada contoh berikut:
Rika : Apakah kau melihatnya dalam video?
Hikaru : Ya, sebagian di pantai.
Rika : Ya Tuhan // dia begitu seksi.
Hikaru : Dia hanya begitu dingin!
Rika : Dan semua gelombang // menghantam di sekelilingnya
Hikaru : Ya itu benar-benar ganas!

3. Saluran Belakang (Aizuchi)


Backchannel atau dalam bahasa Jepang disebut dengan Aizuchi merupakan
respon minimal yang diutarakan oleh pendengar terhadap kalimat yang
disampaikan pembicara. Yngve (dalam Indraswari 2016:6) mengungkapkan
bahwa backchannel atau aizuchi merupakan sebuah kondisi dimana seseorang
yang memeiliki giliran bicara menerimapesan pendek seperti “ya” atau “uh-
huh” tanpa melepaskan giliran bicaranya.
Mizutani (dalam Indraswari 2016:6) memyebutknan, kata aizuchi berasal
dari kata ‘ai’ (melakukan sesuatu bersama-sama) dan ‘tsuchi’ (kapak). Ketika
dua orang bercakap-cakap, kedua orang tersebut saling mengutarakan respon
terhadap apa yang diucapkan kawan bicaranya; layaknya dua orang pandai
besi yang menempa besi secara bergantian. Penggunaan aizuchi dalam

13
percakapan bahasa Jepang ibarat tanda titik dan koma dalam bahasa tulis.
Ketika aizuchi tidak muncul dalam percakapan, pendengar akan mendapat
kesan bahwa pembicara tidak mengerti, tidak mendengarkan kata-katanya,
atau tidak ingin melanjutkan pembicaraan. Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa aizuchi merupakan suatu respon yang diberikan oleh
pendengar terhadap ucapan pembicara dalam rangka menunjang percakapan
agar dapat berjalan dengan lancar.
Bentuk Aizuchi dalam Percakapan
Kata-kata yang umum digunakan sebagai aizuchi antara lain: hai, ee, un,
haa, naruhodo, sou desuka, dan sou deshoune. Menurut Mizutani (dalam
Indraswari 2016:7) hai digunakan dalam percakapan formal/sopan, ee banyak
digunakan dalam percakapan informal, un digunakan dalam situasi
percakapan yang akrab. Haa merupakan variasi lain dari Hai. Terkadang
ketiga kata ini digunakan berulang dalam percakapan, seperti hai hai, ee ee,
atau un un untuk menunjukkan antusiasme pendengar. Naruhodo umumnya
digunakan oleh para pria, tetapi dihindari penggunaannya ketika bercakap
dalam ragam sopan. Selain kata-kata yang telah disebut di atas, kata seru
seperti hoo, hee, aa, huun juga digunakan sebagai aizuchi. Tak hanya itu,
kata-kata lain seperti ie ie atau masaka yang digunakan ketika ‘menolak’
pujian dari seseorang pun, dapat dipertimbangkan sebagai aizuchi.
Bentuk aizuchi serta seberapa banyak aizuchi yang diucapkan dalam
sebuah percakapan, berbeda-beda menurut isi pembicaraan serta orang yang
mengucapkannya. Kebiasaan mengucapkan aizuchi erat kaitannya dengan
kondisi psikologis partisipan percakapan serta hubungan antarmanusia antara
pelaku percakapan. Selain aizuchi yang diucapkan secara verbal, ekspresi
non-verbal seperti anggukan kepala pun dapat berfungsi sebagai aizuchi; saat
terjadi percakapan dimana ada lebih dari dua orang yang berperan sebagai
pendengar, pendengar yang satu akan mengucapkan aizuchi secara verbal
sedangkan yang lain memberikan aizuchi secara non-verbal.
Meskipun telah dilakukan banyak penelitian mengenai aizuchi, tidak ada
konsensus mengenai definisi dan klasifikasinya, sehingga definisi serta
klasifikasi dapat berbeda-beda menurut peneliti. Kurosaki, Komiya, serta

14
Sugito (dalam Indraswari 2016:7) menetapkan kata-kata yang termasuk
dalam aizuchi hanya short token seperti hai, so, naruhodo dan kata seru.
Tetapi, Szratowski (dalam Indraswari 2016:7) mengungkapkan bahwa
kalimat atau kata yang berulang (kurikaeshi) juga dapat dikategorikan sebagai
aizuchi. Meskipun begitu, kurikaeshi yang berfungsi sebagai aizuchi sangat
bergantung pada intonasi serta jaraknya dari kalimat atau frase yang
menyertainya. Sugito (dalam Indraswari 2016:7) mendeskripsikan pengertian
aizuchi sebagai berikut: suatu ujaran yang diucapkan oleh pendengar dimana
ujaran tersebut bukan merupakan ujaran yang meminta informasi, permintaan
atau sebuah keputusan. Berdasarkan definisi tersebut, aizuchi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. ujaran pendek seperti haa, un, sou desuka, sou desune, naruhodo
b. kalimat berulang (kalimat yang mengulang ucapan pembicara)
c. kata seru, seperti eh!, haa, hoo, ah sou!.

F. Gaya Percakapan
Banyak ciri yang mengkarakterisasikan sistem giliran tutur percakapan
berkaitan dengan maksud oleh para penggunanya. Bahkan dalam suatu komunitas
penutur yang luas, sering kali ada banyak variasi yang bisa menyebabkan
kesalahpahaman. Misalnya, beberapa individu mengharapkan bahwa partisipasi
dalam suatu percakapan akan sangat aktif sehingga tingkat bertutur akan relatif
cepat, dengan hampir tidak ada jeda antara giliran-giliran tutur, dan dengan
tumpang tindih (overlap) tertentu atau bahkan penyelesaian giliran tutur penutur
lainnya. Inilah salah satu gaya percakapan. Gaya ini disebut gaya keterlibatan
tinggi. Ini sangat berbeda dengan gaya lain ketika partisipan menggunakan
tingkat percakapan yang lebih lambat, mengharapkan jeda-jeda yang lebih
panjang antar giliran tutur, tidak terjadi tumpang tindih, dan menghindari
interupsi atau penyelesaian giliran tutur pihak lain. Gaya tanpa interupsi, tanpa
desakan lain disebut gaya kecermatan yang tinggi.
Bila seorang penutur yang biasanya menggunakan gaya yang pertama terlibat
dalam percakapan dengan seorang penutur yang biasanya menggunakan gaya
yang kedua, pembicaraan cenderung berjalan satu arah. Gaya partisipasi aktif

15
akan cenderung menguasai gaya yang lain. Kedua penutur tidak selalu
mengetahui bahwa gaya percakapanlah yang sedikit berbeda. Malahan, penutur
yang lebih cepat dan berapi-api mungkin gagasan untuk dibicarakan, pemalu, dan
mungkin membosankan atau bahkan tolol. Sebaliknya, dia mungkin dipandang
sebagai orang yang bising, suka mendesak, suka menguasai, mementingkan diri
sendiri, dan bahkan mengjengkelkan. Ciri-ciri gaya percakapan akan sering
diinterpretasikan sebagai sifat-sifat kepribadian.

16
KESIMPULAN

Masalah percakapan seperti topik mengenai percakapan sebenarnya sudah


ada sejak lama hanya saja analisis percakapan baru muncul di saat kebingungan
teoretis setelah adanya revolusi linguistic yang digagas oleh Noam Chomsky di
akhir tahun 50an dan di awal tahun 60an yang kemudian akhirnya mendapatkan
perhatian khusus dari kalangan sosiolog untuk diteliti secara ilmiah.
Dalam topik percakapan memuat empat topik, yakni topik umum, topik
yang berkelanjutan, topik yang tidak berkelanjutan dan topik nyata. Topik umum
ditemukan pada pengantar awal percakapan, sedangkan topik yang berkelanjutan
ditemukan pada keseluruhan percakapan. Untuk topik yang tidak berkelanjutan
ditemukan pada percakapan yang singkat, karena topik percakapannya tidak
dikembangkan. Sedangkan topik nyata merupakan topik pembicaraan yang
menunujukan kefaktualisasi dalam sebuah percakapan.
Dalam percakapan memiliki tiga komponen dasar, yaitu giliran bicara,
urutan bicara, dan pasangan bicara. Giliran bicara (turn-taking) adalah waktu
dimana penutur kedua mengambil alih giliran berbicara dari penutur sebelumnya,
dan juga sebaliknya. Urutan bicara terbagi menjadi tiga bagian, yaitu pre
sequences, insertion sequences, dan opening-closing sequences. Kemudian
pasangan sepadan atau pasangan berdampingan adalah sebuah urutan dari dua
ajaran, yang sepadan, dihasilkan oleh penutur yang berbeda, berurutan dari bagian
pertama dan kedua, sehingga bagian pertama membutuhkan bagian yang kedua
atau serangkaian bagian kedua

17
DAFTAR PUSTAKA

Howe, Christine. 1981. Acquiring Languange in Converstional Context.


London: Academic Press Inc.
Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambrige: Cambridge University Press.
Rani, Abdul. 1992. Analisis Percakapan Anak-anak Antarteman Sebaya.
Malang: PBS IKIP Malang.
Samsuri. 1988. Analisis Wacana. Malang: IKIP Malang.
Schiffrin, Deborah. 1994. Approach to Discourse. Cambridge: Black Well
Publishers.
Syamsudin. 1992. Studi Wacana Teori-Analisis-Pengajaran. Bandung:
MimbarPendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP Bandung.

18

Anda mungkin juga menyukai