Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KERANGKA KERJA PARTISIPASI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Linguistik Forensik

Dosen Pengampu : Ika Febriani, S.S., M.Pd.

Oleh :

Albara Oktovaricho Hidayat (180621100088)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

TAHUN PELAJARAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita, sehingga penulis berhasil menyelesaikan makalah ini yang
alhamdulillah selesai tepat pada waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Linguistik Forensik. Dalam penyusunan makalah ini tentunya tak lepas dari bimbingan
dosen dan berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih untuk berbagai pihak
yang ikut membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Makalah ini telah kami buat dengan sebaik-baiknya. Tentunya akan menjadi
kebanggaan tersendiri apabila makalah ini selesai dengan hasil yang baik. Penulis menyadari
atas ketidaksempurnaan penyusunan makalah ini. Namun, penulis tetap berharap makalah ini
akan memberikan manfaat lebih bagi para pembaca. Tentunya, penulis mengharapkan adanya
masukan berupa kritik atau saran yang nantinya dapat membangun dan menjadikan penulisan
makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Akhir kata, mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan yang dalam makalah ini.
terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita.
Serta makalah ini bisa menambah wawasan pengetahuan dan inspirasi bagi para pembaca
nantinya.

Bangkalan, 5 Desember 2020

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketika orang membicarakan partisipasi (dalarn sesuatu program atau kegiatan) maka akan
sering kali terumuskan sebagai harus mencakup partisipasi dalam perencanaan (pengambilan
keputusan), pelaksanaan, pemanfaatanhasil, dan pemantauan serta evaluasi. Dalam konteks ini
maka ada sebutan partisipasi aktif yang dilawankan dengan partisipasipasif

Partisipasi harus selalu dimaknai serupa itu, maka konsekuensinya apabila seseorang
"evaluator" (peneliti) akan mencoba mengukur tingkat partisipasi masyarakatl, yang menjadi
tolok ukumya adalah partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses pembangunan
(mencakup Iebih kurang: perencanaan program, pelaksanaan propan, pemeliharaan hasil
program, pemanfaatan hasil program, dm monitoring serta evaluasi program) disertai ragam
wujud partisipasi (ide, tenaga, materi, uang dsb). Contohnya : Nafiri F.Paramasiwi, (2004),
Hubungan Antara Faktor Sosial Ekonomi dengan Partisipasi Petani dalam Pengembangan
Wisata Agro Salak Pondoh. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Konsekuensi Iebih lanjut, jika terdata, misalnya, partisipasi masyarakat itu hanya dalam
program"-saja, itupun mungkin, seperti disebut-sebutArbi Sanit dan Sayogyo di atas, hanya
sebagai "pekerja pelaksana" yang "ikut-ikutan" saja, maka tingkat partisipasi masyarakat
tersebut akan dikategorikan sebagai sangat Pendah.

Permasalahannya dengan demikian adalah: Apakah ada yang salah dengan pemaknaan
konsep (kerangka kerja) partisipasi (dan teori partisipasi secara keseluruhan) serupa itu?
Jawabannya: Ya, dan Untuk itu perlu kiranya dibedah-dikaji bagaimana seharusnya Kerangka
kerja dan teori paritipasi itu diberi makna, sehingga ketika seseorang akan melakukan
penelitian mengenai parfisipasi, operasionalisasinya akanmenjadijauh Iebih sahih (valid).

1.2 Rumusan Masalah

1.) Apa pengertian dari partisipasi?


2.) Bagaimana konsep atau kerangka kerja partisipasi?

1.3 Tujuan

Berdasarkan permasalahan yang sudah dirumuskan, maka dapat diketahui apabila tujuan
dari pembuatan makalah ini yaitu :

1.) Untuk mengetahui pengertian partisipasi.


2.) Untuk mengetahui konsep-konsep dan kerangka kerja partisipasi serta penerapannya.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Partisipasi : Peran Penutur Dalam Berkomunikasi


Kata partisipasi diambil dari bahasa Inggris participation. Dalam penggunaannya sehari-
hari di Indonesia istilah "participation" tersebut ada kalanya diserap begitu saja menjadi
partisipasi, ada kalanya diterjemahkan menjadi: ikut serta (keikutsertaan), peran serta (berperan
serta), ambil bagian, dan terlibat (keterlibatan). Contoh penggunaan "gabungan" dari istilah-
istilah tersebut sebagai berikut (Ndraha, 1990:102). Partisipasi yang dimaksud dalam tulisan
ini ialah partisipasi vertical dan horisontal masyarakat. Disebut partisipasi vertikal karena bisa
terjadi dalam kondisi tertentu masyarakat terlibat atau mengambil bagian dalam suatu program
pihak lain (Dawam Raharjo, 1983 :78), dalam hubungan mana masyarakat berada pada posisi
sebagai bawahan, pengikut atau klien. Contoh lain yang juga menggabungkan beberapa
terjemahan dari participation itü tampak dalam definisi partisipasi Mardikanto (1994:317;
menukil Theodorson, 1969; juga kata-kata tertentu dengan sengaja dicetak tebal dan atau
miring).

Dalam pengertian sehari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan


seseorang (individü atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau
keterlibatan yang dimaksudkan di sini bersifat pasif, dan aktif ditunjukkan oleh yang
bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagai keikutsertaan
seseorang di dalam suatu kelompok sosial untuk mengambil bagian dari kegiatan
masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri.

Perbedaan antara ikut serta dan ambil bagian. Jelasnya, keikutsertaan seseorang dalam
suatu kegiatan atau program, banı akan disebut sebagai partisipasi jika orang tersebut ambil
bagian dalam kegiatan atau program tersebut. lika keikutsertaan dalam kegiatan atau program
tersebut tidak disertai dengan ambil bagian, hanya sekedar ikut-ikutan saja (keikutsertaannya
bersifat pasif).

Bidal relevansi adalah bidal yang berupa nasihat bahwa penutur hendaknya bertutur
tentang hal-hal yang relevan dengan topik percakapan yang sedang diikutinya. Bidal ini
menekankan keterkaitan isi tuturan antarpeserta percakapan. Hasil yang diharapkan dari
pematuhan bidal ini adalah terciptanya koherensi percakapan. Penutur saling memberikan
kontribusi yang relevan dengan topik pembicaraan sehingga tujuan percakapan tercapai
secara efektif (Rustono, 1999:85).
2.2 Konsep Percakapan
Pada dasarnya percakapan adalah manifestasi penggunaan bahasa untuk
berinteraksi, bahwa wujud penggunaan bahasa tersebut dapat dilihat dari dua aspek.
Aspek pertama adalah isi, yaitu aspek yang memperhatikan hal-hal seperti topik apa
yang didiskusikan dalam percakapan; bagaimana topik disampaikan dalam percakapan:
apakah secara eksplisit, melalui presuposisi, atau diimplisitkan dengan berbagai
macam cara; jenis topik apa yang mengarah pada topik lain dan apa alasan yang
melatarbelakangi hal semacam ini terjadi. Selain itu, fokus lain dari aspek ini adalah
organisasi topik dalam percakapan dan bagaimana topik dikelola, baik disampaikan
dengan cara terbuka maupun dengan manipulasi secara tertutup: biasanya dalam
bentuk tindak ujar taklangsung. Kedua adalah aspek formal percakapan. Fokus utama
dalam aspek ini adalah hal-hal seperti bagaimana percakapan bekerja; aturan-aturan
apa yang dipatuhi; dan bagaimana sequencing „keberurutan‟ dapat dicapai
(memberikan dan memperoleh giliran atau mekanisme turn-taking, jeda, interupsi,
overlap, dan lain-lain).

Bila dilihat dari sudut pandang historis, analisis percakapan muncul di tengah-
tengah kebingungan teoretis setelah munculnya revolusi linguistik yang digagas oleh
Chomsky di akhir tahun 50an dan di awal tahun 60an. Analisis percakapan ini
diprakarsai oleh sekelompok orang pemerhati bahasa non- profesional (para sosiolog
seperti Sacks, Schegloff, dan Jefferson). Mereka melihat bahwa contoh-contoh bahasa
yang diberikan oleh para linguis profesional seringkali tidak alami, bahkan sebagian
dari contoh-contoh ujaran tersebut tidak muncul dalam percakapan yang alamiah.
Kemudian, mereka pun menemukan bahwa aturan-aturan yang dipatuhi dalam
percakapan lebih mirip dengan aturan- aturan yang dipakai masyarakat dalam aktivitas
sosial daripada dengan aturan- aturan yang terdapat dalam linguistik. Aturan-aturan
tersebut pun hampir sama dengan aturan yang ditemui oleh para peneliti dari
bidang sosiologi dan antropologi. Oleh karena itu, kemudian munculah metode
ethnomethodology yang digunakan untuk mengkajian percakapan. Topik yang menjadi
pusat perhatian para ahli analisis percakapan tersebut adalah organisasi dan struktur
percakapan.
Mereka menganalisis percakapan alami melalui data-data yang direkam dan di
transkrip. Mentranskrip bukan hanya sekedar memberikan nuansa fonetis untuk
mendeskripsikan dan mengklasifikasikan fonem dan variasinya, tetapi sebagai
teknik yang mampu membantu mengidentifikasi cara-cara orang membangun
„aturan lalu lintas‟ dalam berbicara menggunakan perangkat bahasa. Hal ini berarti
bahwa dengan teknik transkripsi, aturan-aturan yang membentuk struktur dan
organisasi percakapan dapat diidentifikasi. Aturan-aturan ini penting untuk dipelajari
karena dengan memahami aturan-aturan tersebut diharapkan proses produksi verbal
partisipan percakapan dapat berjalam lancar atau tidak mengalami hambatan. Dari
hasil kerja para ahli analisis percakapan ini, terdapat beberapa temuan yang mendasar.
Salah satunya adalah mekanisme turn-taking.
Terdapat dua unsur pembentuk wacana untuk menganalisis konsep percakapan
yang menjadi perhatian utama. Kedua unsur tersebut adalah kohesi dan koherensi.
1) Kohesi
Kohesi pada dasarnya berkaitan erat dengan aspek semantis antara unsur di
dalam teks. Kohesi merupakan hubungan yang diciptakan sebagai hasil ketika
interpretasi suatu unsur tekstual bergantung pada unsur di dalam teks. Dengan kata
lain, kajian kohesi mengindikasikan bahwa makna yang digambarkan di dalam teks
adalah makna yang diinterpretasikan oleh penutur dan petutur berdasarkan kesimpulan
yang mereka buat tentang hubungan proposisi yang melandasi apa yang diujarkan.
Kohesi ada lima jenis. kelima jenis tersebut adalah (1) substitusi, yaitu
penyulihan suatu kata atau kelompok kata oleh kata lain untuk tujuan tertentu; (2)
referensi, yaitu hubungan pengacuan suatu unsur dengan unsur lain baik yang
muncul sebelumnya, sesudahnya, atau bahkan di luar teks; (3) elipsis, yaitu pelesapan
suatu kata atau bagian dari kalimat yang dilakukan untuk kepaduan wacana; (4)
konjungsi; yaitu hubungan yang mengindikasikan bagaimana sebuah kalimat atau
klausa dihubungkan dengan kalimat atau klausa lain; dan (5) kohesi leksikal, yaitu
hubungan semantis antarunsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur
leksikal atau kata. Dalam hal ini tidak menyangkut hubungan gramatikal tetapi
hubungan tersebut didasari oleh makna kata yang digunakannya. Terdapat dua wujud
kohesi leksikal, yaitu reiterasi dan kolokasi.
Perangkat kohesi di bedakan ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) kohesi
gramatikal, yang terdiri atas referensi, substitusi, dan elipsis; dan (2) kohesi leksikal,
yang terdiri atas repetisi, sinonimi, superordinat, dan general words „kata-kata umum‟.
2) Koherensi
Kepaduan suatu wacana tidak hanya ditentukan oleh kehadiran pemarkah
kohesi yang mengacu pada perangkat formal sebuah teks, seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya. Kepaduan suatu wacana dapat pula ditunjukkan oleh perangkat
kontekstual suatu teks, yang berupa situasi yang melatarbelakangi teks sehingga teks
tersebut dapat dipahami sebagai wacana yang padu. Sebagai ilustrasi, perhatikanlah
contoh berikut ini :
A : Ada telepon
B : saat itu saya sedang mandi
A : baik.
Dalam petikan percakapan di atas tidak ada pemarkah kohesi yang digunakan.
Namun partisipan dalam percakapan tersebut saling mengerti. Kita pun sebagai
pembaca kiranya dapat memahami percakapan di atas, yaitu ketika penutur A
menginformasikan kepada B bahwa seseorang menunggunya di telepon, petutur B
merespon dengan menuturkan ujaran bahwa ia sedang mandi. Secara gramatikal sama
sekali tidak tampak adanya relasi antara ujaran A dan B. Akan tetapi, ketika
dihubungkan dengan konteks di luar teks, yaitu kegiatan partisipan B yang sedang
mandi, partisipan A dapat memahami bahwa karena kegiatan yang belum selesai
dilakukan partisipan B tersebut, partisipan B tidak bisa menjawab telepon. Pada
dasarnya kedua partisipan tersebut dapat saling memahami karena adanya pengetahuan
bersama berdasarkan pengalaman atau kebiasaan yang dimiliki kedua partisipan
tersebut. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa percakapan di atas merupakan wacana
yang koheren.

2.3 Tindak Tutur


Sebagaimana yang dikemukakan oleh Leench (1983) yang memberikan konteks
sebagai salah satu komponen dalam situasi tutur. Konteks merupakan aspek-aspek yang
berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial, sebuah tuturan yang menunjukkan latar
belakang pengetahuan yang secara bersama dimiliki oleh penutur. Konteks ini
membantu penutur menafsirkan atau menginterpretasi maksud penutur.
a) Tindak tutur deklaratif. Tindak tutur ini menandakan tuturan yang bisa mengubah
dunia, artinya setiap tuturan dari penutur (P) menyebabkan perubahan atau intimidasi
pada situasi tertenu (X).

1) P : “saya menyatakan Anda bersalah dan dihukum dengan hukuman penajara


sekurangkurangnya 15 tahun.”

2) P : “sekarang saya nyatakan anda sebagai pasangan suami istri”.

3) P : “pergi kau dari sini.. keluar !!!!” (tuan rumah sedang mengusir tamu karena
marah)
Kalau kita telaah percakapan di atas adalah pernyataan yang diungkapkan oleh
orang yang memiliki kekuasaan atau kedudukan tertentu dalam suatu kelembagaan,
dalam contoh di atas adalah hakim dan pendeta. Secara tidak langsung percakapan
tersebut menunjukkan kekuasaan menentukan dan menlegatimasi pada pemikiran
orang bahwa putusannya mengandung makna tertentu. Perkataan hakim, pendeta
dan tuan rumah mampu mengubah situasi A menjadi B, dari pencuri menjadi
terpidana (1), dari pasangan kekasih menjadi suami istri (2), dan dari penerimaan
menjadi pengusiran (3).

b) Tindak tutur representatif adalah tuturan yang diyakini penutur. Pada saat guru
menjelaskan pada siswa tentang fakta sejarah, guru telah melakukan tindak tutur
representatif. Memperesentasikan fakta atau kenyataan yang diyakini dari sesuatu yang
telah dipelajari.

4) P : 17 Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan kita.

5) P : Dalam teori nativisme dikemukakan oleh Chomsky, sejak di dalam kandungan


bayi
telah dibekali kecerdasan

6) P : Kabut asap disebabkan oleh kebakaran hutan Pada percakapan (4)


menyampaikan bkeyakinan tentang tanggal kemerdekaan, (5) menyampaikan
sebuah teori yang telah dipelajari, diteliti, dan diyakini kebenarannya, dan (6)
menyampaikan keyakinan bahwa kabut asap bisa terjadi karena pembakaran hutan
(liar). Ketiga percakapan di atas menunjukkan tindak tutur berdasarkan keyakinan
penutur. Di mana P menyakini X dan X disampaikan berdasarkan keyakinan P.

c) Tindak tutur ketiga adalah ekspresif yang menyatakan sesuatu yang dirasakan penutur.
Tindak tutur berupa pernyataan-pernyataan psikologis (bisa berupa kegembiraan,
kesenangan, kesulitan, kesukaan, kebencian, atau kesengsaraan).

7) “Oh maaf, maafkan saya, saya sangat menyesal”

8) “Ohw, hebat ini luar biasa…!!”

9) “Ehmm,,,ini nikmat sekali…”


2.4 Konsep Interogasi
Konsep interogasi. Pemanfaatan impikatur percakapan menciptakan situasi yang
nyaman dan humanis, yaitu:
a. Membangun Hubungan Kepercayaan Interogator membangun hubungan kepercayaan
berdasarkan pertimbangan kemanusiaan, karena terinterogasi berada pada situasi tidak
nyaman. Cara membangun kepercayaan tergantung pada jenis kelamin, usia, latar
belakang sosial, etnis, bahasa ibu, dan kemampuan mental dari terinterogasi.
Membangun kepercayaan adalah faktor penting karena terinterogasi mungkin takut
pada dampak dari berbicaradengan interogator, Menginterogasi adalah tugas yang
membutuhkan pemikiran dan penanganan seksama. Jika salah dilakukan, maka
resikonya adalah mendapat informasi yang tidak lengkap dan sengaja disesatkan oleh
terinterogasi. Interogator dapat mengawali dengan percakapan pribadi, misalnya,
berposisi sebagai teman dalam percakapan tidak resmi (Jw: jagongan)untuk
menciptakan suasana nyaman dan humanis. Percakapan pribadi dilakukan untuk
mencairkan suasana dengan topik yang sesuai situasi.

b. Bijaksana dan Humanis, Interogator dituntut memiliki pribadi yang ramah dan
bijaksana, yaitu bersikap sabar dan empati, meskipun terinterogasi bertele-tele atau
berbelit-belit (Jw: nganyelke). Sikap humanis ditunjukkan dengan menyadari
pembawaan diri, yaitu mengamati diri sendiri dalam ucapan dan tindakan dari sudut
pandang terinterogasi. Kegiatan mendengarkan bukan aktivitas pasif, karena harus
mempertimbangkan bahasa tubuh dengan seksama untuk menerapkan implikatur
percakapan sesuai dengan situasi komunikasi. Suasana nyaman dan humanis
merupakan salah satu pelayanan polisi, yaitu memperlakukan semua orang secara
manusiawi dan tetap menghormati harga diri terinterogasi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individü atau warga


masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksudkan
di sini bersifat pasif, dan aktif ditunjukkan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi
akan lebih tepat diartikan sebagai keikutsertaan seseorang di dalam suatu kelompok sosial
untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnyya, di luar pekerjaan atau profesinya
sendiri.
Pada dasarnya percakapan adalah manifestasi penggunaan bahasa untuk berinteraksi,
bahwa wujud penggunaan bahasa tersebut dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah
isi, yaitu aspek yang memperhatikan hal-hal seperti topik apa yang didiskusikan dalam
percakapan; bagaimana topik disampaikan dalam percakapan: apakah secara eksplisit,
melalui presuposisi, atau diimplisitkan dengan berbagai macam cara; jenis topik apa yang
mengarah pada topik lain dan apa alasan yang melatarbelakangi hal semacam ini terjadi.
Kedua adalah aspek formal percakapan. Fokus utama dalam aspek ini adalah hal-hal seperti
bagaimana percakapan bekerja; aturan-aturan apa yang dipatuhi; dan bagaimana sequencing
„keberurutan‟ dapat dicapai. Terdapat dua unsur pembentuk wacana untuk menganalisis
konsep percakapan yang menjadi perhatian utama. Kedua unsur tersebut adalah kohesi dan
koherensi.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Leench (1983) yang memberikan konteks
sebagai salah satu komponen dalam situasi tutur. Konteks merupakan aspek-aspek yang
berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial, sebuah tuturan yang menunjukkan latar
belakang pengetahuan yang secara bersama dimiliki oleh penutur. Konteks ini membantu
penutur menafsirkan atau menginterpretasi maksud penutur.Sedangkan Konsep interogasi.
Pemanfaatan impikatur percakapan menciptakan situasi yang nyaman dan humanis, yaitu:
a) Membangun Hubungan Kepercayaan Interogator membangun hubungan kepercayaan
berdasarkan pertimbangan kemanusiaan, karena terinterogasi berada pada situasi tidak
nyaman.
b) Bijaksana dan Humanis, Interogator dituntut memiliki pribadi yang ramah dan
bijaksana, yaitu bersikap sabar dan empati, meskipun terinterogasi bertele-tele atau
berbelit-belit
DAFTAR PUSTAKA

Amirin, Tatang M. 2005. Membedah Konsep Dan Teori Partisipasi Sertaimplikasi


Operasionalnya Dalam Penelitian Pendidikan.
https://journal.uny.ac.id/index.php/dinamika-pendidikan/article/view/6004, diunduh
4 Desember 2020, pukul 12.00 WIB

Resmiati, Nur Hikmah. 2018. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Kerja


Perempuan Menikah Indonesia
https://eprints.uny.ac.id/63011/1/Skripsi_Nur%2520Hikmah%2520Resmia
14804241003.p df, diunduh 4 Desember 2020, pukul 13.00 WIB

Sri Waljinah. Linguistik Forensik Interogasi: Kajian Implikatur Percakapan Dari Perspektif
Makna Simbolik Bahasa Hukum. International Seminar Prasasti III. Di unduh 11
Desember 2020, pukul 09.47 WIB.

Anda mungkin juga menyukai