Makalah Pragmatik
Di susun oleh :
Fifit Pitaloka
Dosen pengasuh:
Drs. Marwan Pulungan,M.Pd
BAB1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial, sehingga secara naluriah terdorong untuk bergaul
dengan manusia lain, baik untuk mengekspresikan kepentingannya, mengatakan
pendapatnya, maupun mempengaruhi orang lain. Manusia dapat memenuhi semua
kepentingan tersebut dengan bahasa.Eksistensi bahasa hampir mencakup segala bidang
kehidupan karena segala sesuatu yang dihayati, dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh
seseorang hanya dapat diketahui orang lain, jika telah diungkapkan dengan bahasa.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat
untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana dalam
Chaer, 2007: 32). Tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi apabila manusia tidak memiliki
bahasa. Oleh karena itu, kebutuhan manusia untuk selalu berinteraksi dengan lingkungannya,
baik dalam bentuk komunikasi, kerja sama, maupun mengidentifikasikan diri, menyebabkan
bahasa tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia.
Perlu disadari bahwa komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan yang
berlangsung apabila antara penutur dan mitra tutur memiliki kesamaan makna tentang pesan
yang dikomunikasikan tersebut. Kesamaan makna antara penutur dan mitra tutur tersebut
sangat bergantung pada konteks tuturannya. Artinya, makna sebuah tuturan akan berbeda jika
konteks tuturannya berbeda. Oleh sebab itu, untuk mempelajari dan memahami makna
bahasa (tuturan) dibutuhkan disiplin ilmu yang mampu menjabarkan bentuk bahasa dengan
konteksnya, yaitu Pragmatik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dikaji dalam makalah ini
adalah sebagai berikut.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai makalah ini adalah sebagai
berikut.
Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi pembelajaran Pragmatik dan peneliti bidang
Pragmatik.
BAB 2
PEMBAHASAN
Sejak masa pemunculannya, definisi pragmatik sangat banyak, di antaranya adalah (1)
kajian mengenai hubungan di antara tanda (bahasa) dan penafsirannya (Poerwo, 1990:15), (2)
telaah mengenai hubungan antara bentuk bahasa dan konteksnya (Tarigan, 1990:33), (3)
kajian tentang hubungan-hubungan di antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar dari
penjelasan tentang pemahaman bahasa (Levinson dalam Gunarwan, 1993:3), dan (4)
penelitian tentang hubungan antara bahasa dan konteks yang ditatabahasakan atau yang
dikodekan di dalam struktur bahasa (Levinson, 1983:9).
Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa makna bahasa (khususnya
dalam wujud tuturan) ditentukan berdasarkan penggunaannya dalam komunikasi antara
penutur dan mitra tutur, pemakaian bahasa atau tuturan selalu koheren dengan konteks dan
bersama-sama membangun makna, hubungan antara tuturan dan konteks bisa dikaidahkan.
Pada hakikatnya pragmatik sama dengan semantik, sama-sama membahas makna.
Perbedaannya terletak pada arah kajiannya, semantik mengkaji secara internal (ujaran dan
makna), sedangkan pragmatik mengkaji secara eksternal (ujaran, makna ujaran,
konteks/situasi).
B. Sejarah Pragmatik
(1) Bagi generasi Bloomfield, linguistik berarti fonetik dan fonemik. Mereka menganggap
sintaksis terlalu abstrak untuk dapat diteliti dan dipahami.
(2) Sikap dan pandangan generasi Bloomfield berubah ketika pada akhir tahun 1950-an
Chomsky menemukan titik pusat sintaksis (sintaksis mulai diteliti dan dipahami). Akan tetapi
dia masih menganggap ‘makna’ terlalu rumit untuk dipikirkan secara sungguh-sungguh.
(3) Permulaan tahun 1960 (perkembangan linguistik meningkat) Katz dan kawan-kawan
menemukan cara memasukkan makna ke dalam teori linguistik yang formal dan tak lama
kemudian semangat California atau Bust membuat pragmatik mulai tercakup.
(4) Tahun 1971 Lakoff dan lain-lainnya berargumentasi bahwa sintaksis tidak dapat
dipisahkan dari studi penggunaan bahasa. Sejak saat itulah pragmatik masuk ke dalam peta
linguistik.
Para strukturalis Amerika yakin sekali bahwa linguistik merupakan suatu ilmu eksakta
dan karena itu berusaha keras agar masalah makna dibuang dari bidang ini. Namun Chomsky
mulai menerima ketaksaan dan sinonim sebagai salah satu data linguistik yang dasariah, ia
telah membuka pintu bagi studi semantik. Kemudian murid-murid Chomsky dari aliran
semantik generatif yang kurang puas, bertindak selangkah lebih jauh dan menggunakan
semantik sebagai dasar teori-teori linguistik mereka. Tetapi setelah semantik berhasil
menduduki tempat yang sentral dalam bahasa, semakin tampak betapa sulitnya memisahkan
makna dari konteksnya, karena makna itu berbeda dari konteks satu ke yang lain. Akibatnya
ialah semantik masuk ke dalam pragmatik.
Pada intinya, tata bahasa (misalnya kaidah sintaksis dalam analisis kalimat) dan pragmatik
(prinsip-prinsip penggunaan bahasa) merupakan ranah-ranah yang saling melengkapi dalam
linguistik.Kita tidak dapat memahami hakikat bahasa bila kita tidak mempelajari kedua ranah
ini dan interaksi yang terjadi antara dua ranah tersebut.
C. Prinsip-prinsip Pragmatik
Menurut Leech (1993), pragmatik umum tidak dikendalikan atau tidak diatur (regulated)
oleh kaidah seperti dalam semantik, melainkan prinsip (=retoris) yang bersifat
nonkonvensional, yaitu dimotivasi oleh tujuan-tujuan sosial. Misalnya, seorang guru yang
bermaksud menyuruh muridnya untuk membersihkan kelas, dia dapat memilih satu di antara
tuturan-tuturan berikut.
Hal ini karena dalam pragmatik makna diperlakukan sebagai suatu hubungan triadik.
Makna bukan hanya ditentukan oleh tanda (unsur formal bahasa) dan acuannya melainkan
juga penggunaannya yang notabene cara penggunaan bahasa setiap orang berbeda-beda.
Dengan demikian, pragmatik bukan menyoal ”Apa artinya X” melainkan ”Apa yang
dimaksud dengan X”.
Prinsip-prinsip pragmatik pada umumnya berasal dari teori Grice dan Leech yang mencakup
Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS).
(1) Maksim kuantitas: berikan jumlah informasi yang tepat; termanifestasikan dalam sub-sub
maksim berikut.
Contoh:
X: Siapa yang tidak mengerjakan PR?
Y: Saya Pak, karena sakit. (yang ditanyakan hanya siapa, bukan mengapa)
(2) Maksim kualitas: usahakan sumbangan indormasi Anda benar; termanifestasikan dalam
sub-sub maksim berikut.
Contoh:
X: Siapa yang mengambil buku di meja saya?
Contoh:
X: Siapa yang mengambil buku di meja saya?
Contoh:
X: Siapa yang mengambil buku di meja saya?
Y: Harga buku itu lebih mahal ya Pak?
(4) Maksim cara: usahakan perkataan Anda mudah dimengerti; termanifestasikan dalam sub-
sub maksim berikut.
Contoh:
X: Kenapa dia juga ditahan?
Y: Ya kena getahnya.
Contoh:
X: Anda memenuhi panggilan pengadilan untuk diperiksa. Anda bersalah?
Contoh:
X: Apakah dengan menikah lagi Aa’ tidak takut ditinggalkan jama’ah?
Y: Saya hanya ingin melaksanakan ajaran agama dengan baik dan benar. Karena itulah tugas
yang harus saya emban sampai saya mati nanti.
Contoh:
X: Jelaskan apa tujuan penelitian Anda!
Y: Adapun yang menjadi tujuan daripada penelitian yang ada di dalam penelitian adalah
untuk dapatnya memperoleh deskripsi struktur mantra saja.
Contoh:
X: Aduh bagaimana ini pak? Harus dibagi berapa-berapa berasnya?
Y: Tidak apa-apa.
Contoh:
X: Bagaimana pendapatmu tentang novelku ini?
Y: Warna sampulnya saja yang kurang menarik. Isinya bagus sekali Pak.
Contoh:
X: Wah hebat bisa kamu juara!
Y: Ah cuma tingkat RT. Kalau tingkat RW, saya ini tidak ada apa-apanya.
Contoh:
X: Anda setuju dengan ide saya?
Y: Satu saja yang kurang setuju Pak. Lainnya, saya setuju semua.
(a) kurangilah rasa antipati kepada orang lain hingga sekecil mungkin.
(b) tingkatkanlah rasa simpati kepada orang lain hingga sebesar mungkin.
Contoh:
X: Saya sangat kecewa dengan hasil yang saya raih ini?
Y: Kenapa begitu? Tapi saya bangga kalau kamu kecewa.Karena dengan begitu berarti kamu
punya semangat yang tinggi untuk mendapat hasil yang jauh lebih baik.
Maksim-maksim yang telah dijabarkan di atas bersifat regulatif, artinya mengatur dan
bukan konstitusi atau sebagai unsur.Prinsip-prinsip itu regulatif, artinya mengatur
penggunaan bahasa (tutur) agar komunikasi berjalan dengan lancar dan mencapai tujuan
secara efektif.Misalnya, seorang bupati mengaplikasikan PK dalam pidatonya, dia
mengatakan bahwa, “Tujuan rapat ini adalah untuk mengevaluasi kinerja Panitia Perayaan
Maulid Nabi”.Dengan demikian komunikasi dapat berjalan lancar dan mencapai tujuan
dengan efektif.Namun apabila bupati tersebut tidak mengaplikasikan PK, misalnya dengan
mengucapkan, “Tujuan rapat ini tidak lain tidak bukan adalah sebagai sebuah evaluasi
daripada kinerja-kinerja panitia acara kita bersama yaitu maulid nabi”, maka komunikasi
tidak dapat berjalan lancer dan tujuannya tidak dapat dicapai secara efektif.
Berkaitan dengan tujuan komunikasi, Mey (1996:55) mengusulkan satu prinsip yang
mendasar, yakni prinsip komunikatif, karena menjadi fondasi dari semua tingkah laku
linguistik dan premis terkecil yang disepakati dalam penelitian aktivitas pragmatik
manusia.Namun demikian, pada kenyataannya, tujuan komunikasi tidak selalu dapat dicapai
dengan mematuhi prinsip-prinsip tersebut.Banyak tuturan yang justru lebih efektif dengan
melanggar prinsip-prinsip itu. Leech (1993:12) menandaskan bahwa prinsip/ maksim dapat
saling berlawanan satu sama lain dan dapat dilanggar tanpa meniadakan jenis tindakan yang
dikendalikannya. Misalnya, dalam masyarakat jawa di Indonesia, meskipun melanggar
maksim kuantitas dan mengikuti maksim kerendahan hati, tuturan (1) yang diucapkan oleh
seorang santri kepada kyainya dinilai lebih efektif daripada tuturan (2).
(1) Dalem nyuwun agunging samudra pangaksami kyai. Menawi kersa, mangga diaturi
pinarak.
(saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kyai. Apabila berkenan, saya mohon mampir dulu)
(2) Mangga pinarak.(silahkan mampir.)
BAB 3
PENUTUP
3.1KESIMPULAN
Pragmatik adalah studi yang mengkaji tuturan dari segi makna dan konteks yang
menyertai tuturan tersebut. Pada hakikatnya pragmatik sama dengan semantik, yakni sama-
sama mengkaji makna suatu tuturan. Hanya saja semantik mengkaji makna suatu tuturan
secara internal, sedangkan pragmatik mengkaji makna suatu tuturan secara eksternal.
Pada mulanya pragmatik dianggap sebagai hal yang tidak penting, namun pandangan ini
berubah ketika pada akhir tahun 1950-an Chomsky menemukan titik pusat sintaksis. Dan
semenjak munculnya semangat California atau bust pada tahun 1960-an pragmatik mulai
tercakup dalam kajian linguistik.
Pada umumnya, prinsip-prinsip pragmatik mencakup Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip
Sopan Santun (PS).Kedua prinsip ini masing-masing termanifestasikan dalam maksim-
maksim yang bersifat regulatif, yang digunakan untuk mengatur pemakaian bahasa agar
komunikasi berjalan dengan lancar dan mencapai tujuan secara efektif.Namun pada
kenyataannya, tujuan komunikasi tidak selalu dapat dicapai dengan mematuhi prinsip-prinsip
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Gunarwan, Asim. 1993. Pragmatik: Pandangan Mata Burung. Jakarta: Unika Atmajaya
Leech, Geoffrey. 1983. Prinsip-prinsip Pragmatik. (terjemahan M.D.D Oka). 1993. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. London: Cambridge University Press.
Poerwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.
Fifit Pitaloka
Lihat profil lengkapku
Arsip Blog
▼ 2014 (1)
o ▼ Agustus (1)
<!--[if !mso]>v\:* {behavior:url(#default#VML);}o\...
Tema PT Keren Sekali. Diberdayakan oleh Blogger.