Anda di halaman 1dari 15

BAHAN AJAR (HAND OUT)

Nama Bahan Kajian : Pengantar Sosiolinguistik Sks : 2


Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kode:IND
Pertemuan ke- : 7 dan 8
Dosen : Nursaid/Mohd. Hafrison

Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mata Kuliah terkait KKNI

Menguasai konsep dan kaidah perencanaan, perubahan, dan pemakaian bahasa


berdasarkan konteks sosial dan budaya; Menganalisis pemakaian bahasa berdasarkan
konteks sosial dan budaya masyarakat dan implikasinya dalam pembelajaran bahasa
Indonesia; Mengaplikasikan konsep dan kaidah pemakaian bahasa berdasarkan
konteksnya dalam program pembelajaran bahasa Indonesia yang sesuai dengan tuntutan
kurikulum.

Soft skills/Karakter: Mempertimbangkan tata nilai dan norma sosial budaya dalam
kegiatan berbahasa sesuai dengan karakteristik daerah dan mengaplikasikannya dalam
rancangan pembelajaran dan pemilihan materi pembelajaran.

MATERI 7-8
INTERFERENSI DAN INTEGRASI BAHASA

A. Pengertian Interferensi

Kata interferensi berasal dari bahasa Inggris interference, yang berarti gangguan. Lado

(1977: 217) mengungkapkan bahwa interferensi adalah kesulitan yang timbul dalam proses

penguasaan bahasa kedua dalam hal bunyi, kata, atau konstruksi lainnya misalnya frase dan

kalimat sebagai akibat perbedaan kebiasaan pengenalan individu terhadap bahasa pertama.

Jadi, semakin berbeda sistem bahasa pertama yang dikuasai siswa (selanjutnya disebut B1),

baik tataran fonem, morfem, frase, sintaksis, maupun semantik dengan sistem bahasa kedua

(disingkat B2) atau bahasa target (bahasa yang dipelajari seseorang, baik B2 maupun bahasa

asing atau BA, dan selanjutnya bahasa target disingkat BT), semakin berpotensi individu itu

melakukan interferensi ketika menggunakan BT.

Pakar lain, Valdman (1966: 289) memandang peristiwa interferensi sebagai suatu efek

dari kebiasaan seseorang. Menurut pakar ini, interferensi adalah hambatan akibat kebiasan
pemakaian bahasa ibu ketika individu berusaha menguasai bahasa yang dipelajari atau BT.

Sementara itu, Weinreich (1968: 12), lebih menitikberatkan pengertian interferensi sebagai

penyimpangan dari norma bahasa masing-masing (baik B1 mau-pun BT) dalam tuturan

dwibahasawan sebagai akibat pengenalan dwibahasawan tadi terhadap dua bahasa atau lebih.

Lado (1977: 2) juga mengungkapkan adanya pengaruh kontak dua bahasa atau lebih

dalam diri individu yang mengakibatkan terjadinya pentransferan unsur-unsur satu bahasa ke

bahasa lain oleh dwibahasawan atau multibahasawan. Pakar ini menyatakan bahwa

interferensi merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan oleh seorang dwibaha-sawan atau

multibahasawan. Hal ini juga diungkapkan Samsuri (1994: 55) yang memandang interferensi

sebagai efek logis yang ditimbulkan oleh pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergiliran

oleh seorang dwibahasawan atau multibahasawan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya pakar bahasa

dan pembelajaran bahasa menyepakati suatu pandangan bahwa hampir setiap dwibahasawan

dan multibahasawan melakukan interferensi. Hal itu terjadi disebabkan perkenalannya

dengan bahasa lain. Sedikit sekali dwibahasawan yang tidak melakukan atau mengalami

peristiwa interferensi. Hal ini diungkapkan Martinet (dalam Badudu, 1985: 170) yang

menyatakan bahwa hanya ada beberapa orang jenius yang mampu menggunakan dua bahasa

atau lebih tanpa terjadi dalam dirinya gejala yang disebut interferensi bahasa.

Selain simpulan di atas, juga dapat disimpulkan adanya berbagai asumsi mengenai

pengertian interferensi. Weinreich (1968: 1) mengemukakan bahwa inteferensi adalah

beberapa penyimpangan dari norma-norma bahasa yang terjadi dalam tuturan para

dwibahasawan sebagai akibat pengenalannya terhadap bahasa lain. Pengertian inter-ferensi

seperti yang dikemukakan itu tampaknya hanya memperhatikan gejala tutur. Oleh karena itu,

pengertian interferensi diperluas lagi oleh para pakar lain. Haugen (1974:12) mengatakan

bahwa interferensi adalah peng-ambilan unsur-unsur dari suatu bahasa dan dipergunakan

dalam hubungannya dengan bahasa lain. Penggunaan unsur yang termasuk ke dalam satu
bahasa waktu berbicara atau menulis dalam bahasa lain disebut interferensi. Jadi, menurut

pakar ini, interferensi bukan hanya dalam bidang bahasa lisan, tetapi juga tulis.

Mackey (dalam Fishman, 1972: 565) mendefinisikan interferensi sebagai penggunaan

unsur satu bahasa yang terbawa pada waktu berbicara atau menulis dalam bahasa lain. Tipe

interferensi bergantung pada apakah individu berbicara dalam bahasa kedua atau hanyalah

sekedar untuk memahami apa yang didengar atau dibacanya. Jika individu itu berbicara dalam

bahasa kedua sedangkan pola-pola bahasa ibunya sudah sangat berakar dalam dirinya, maka

bahasa ibunya akan mengganggu penggunaan bahasa kedua yang sedang dipelajarinya.

Sebaliknya, jika individu itu hanya berusaha untuk memahami bahasa kedua tersebut, maka

pemahaman itu lebih mudah jika kedua bahasa tersebut mirip satu dengan lainnya. Dengan

demikian, cakupan interferensi itu tidak hanya terbatas pada bahasa lisan, tetapi juga bahasa

tulis.

Rusyana (1975: 53) mengatakan bahwa interferensi itu meliputi baik penggunaan

unsur yang termasuk ke dalam suatu bahasa waktu berbicara atau menulis dalam bahasa lain,

maupun penerapan dua buah sistem secara serempak pada suatu unsur bahasa, atau akibatnya

yang berupa penyimpangan dari norma masing-masing bahasa yang terjadi dalam tuturan

dwibahasawan. Pada perkembangan berikutnya, Rusyana (1989:7) membatasi pengertian

interferensi pada gejala tuturan. Menurut Rusyana, interferensi pada tuturan dwibahasawan

atau multibahasawan terjadi sebagai akibat pengenalannya terhadap bahasa lain. Hal senada

juga diungkapkan Diebold (dalam Rusyana, 1989:7) yang membatasi interferensi dalam gejala

tuturan, serta membedakan interferensi dari integrasi. Interferensi ditempatkan sebagai

gejala parole dari pemakai atau masyarakat bahasa itu, sedangkan integrasi merupakan gejala

language dalam diri pemakai atau masyarakat bahasa itu.

Berdasarkan pandangan para pakar di atas tentang interferensi, dapat disimpul-kan

enam hal. Pertama, interferensi adalah pengaruh penguasaan bahasa yang dikenal atau

dikuasai oleh seorang dwibahasawan sehingga unsur-unsur bahasa yang telah dikuasai itu

muncul atau digunakan ketika dwibahasawan menggunakan bahasa lain. Kedua, interferensi
mencakup bahasa tulis dan lisan. Ketiga, interferensi dapat terjadi pada tataran bunyi (fonem)

kata (morfem), frase, klausa, dan kalimat. Keempat, interferensi hanya dilakukan oleh

dwibahasawan yang tidak memiliki penguasaan yang berimbang terhadap bahasa-bahasa yang

dikenal atau dikuasainya itu. Kelima, interferensi berlangsung pada tingkat ambang dan tidak

sadar (berbeda dengan alih kode dan campur kode). Keenam, peristiwa atau tindakan

interferensi dapat diminimalisasi-kan, atau justru dapat dihilangkan jika dwibahasawan

memiliki penguasaan bahasa secara berimbang.

B. Tataran Interferensi

Interferensi dapat terjadi pada semua komponen kebahasaan, yaitu bidang tata bunyi,

tata bentuk, tata kalimat, leksikal, dan semantik. Lebih lanjut Mackey (dalam Fishman, 1972:

572) membicarakan tingkat-tingkat interferensi sebagai cultural (phenomena and experience),

semantic, lexical, grammatical (parts of speech, grammatical categories, function, forms), and

phonological (intonation, rhytms, catenation, and articulation).

Beardsmore (dalam Dil, 1982:4) memandang interferensi merupakan penggunaan kode

suatu bahasa ke dalam konteks bahasa yang lain yang dapat terjadi pada subsistem-subsistem

bahasa seperti fonologis, leksikon atau semantik sebagai akibat dari kontak bahasa. Jadi,

Beardsmore memandang tataran interferensi mencakup fonologis, morfologis, sintaksis, dan

semantis dan interferensi itu disebabkan oleh kontak bahasa. Hal senada juga diungkapkan Dil

(1982:4) yang menyatakan bahwa kontak bahasa merupakan faktor utama penyebab

timbulnya interferensi.

Suwito (1984:2-3) menyatakan bahwa faktor-faktor nonlinguistik juga turut

mempengaruhi pemakaian bahasa, termasuk di dalamnya gejala interferensi. Faktor-faktor

nonlinguistik yang paling mempengaruhi pemakaian bahasa itu adalah faktor sosial dan

situasional. Sebagai con-toh, dalam suatu peristiwa komunikasi, seorang dokter sedang

berbincang-bincang dengan beberapa orang pengurus masjid. Jika hanya dilihat faktor

pendidikan dan profesinya, dapat diramalkan bahwa dokter tersebut akan menggunakan

beberapa istilah bidang medis. Dalam kenyataannya, dokter tadi tidak pernah menggunakan
istilah medis dalam berbincang-bincang, bahkan cenderung menggunakan beberapa istilah

bidang agama (Islam), misalnya jihad, jihad fisabilillah, amar maruf nahi munkar, dan

sebagainya. Jadi, faktor sosial (mitra tutur) dan situasional (dalam masjid) lebih cenderung

mengakibatkan interferensi maupun gejala tutur lainnya seperti alih kode dan campur kode.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa interferensi disebabkan oleh tiga

faktor utama. Pertama, faktor individu, yaitu ketidakseimbangan penguasaan atau kemampuan

individu (penutur) terhadap bahasa-bahasa yang dikuasainya. Kedua, faktor kebahasaan, yaitu

kesamaan struktur bahasa beberapa bahasa yang dikuasai oleh penutur atau kekurangan

(lazimnya bidang leksikal) suatu bahasa yang dikuasai penutur sehingga penutur tadi

meminjam istilah atau kosakata bahasa lain yang dikuasainya. Ketiga, faktor nonkebahasaan

yaitu faktor-faktor konteks komunikasi.

C. Interferensi Bahasa dalam Pandangan Psikologi Behavioral

Mengkaji gejala interferensi tidak mungkin dipisahkan dengan bidang kajian lain yang

relevan yaitu analisis kontrastif dan analisis kesalahan berbahasa. Hal itu didasarkan oleh

kenyataan bahwa pandangan tentang gejala interfernsi semakin berkembang, di antaranya oleh

pakar analisis kontrastif (contrastive analisys) dan analisis kesalahan berbahasa (error

analisys), meskipun pada masa sekarang analisis kesalahan berbahasa cenderung lebih populer

dibandingkan dengan analisis kontrastif.

Menelaah tentang analisis kesalahan berbahasa (selanjutnya disingkat anakes) tidak

mungkin dilepaskan dari analisis kontrastif (selanjutnya disingkat anakon) karena

perkembangan anakes pada dasarnya merupakan revisi terhadap kelemahan anakon. Untuk

itu, akan dilacak hal-hal mendasar tentang analisis kontrastif dan analisis kesalahan berbahasa,

meskipun kajian berikut bersifat umum.

Sementara itu, berdasarkan sudut pandang psikologi, konsep tentang anakon

dilatarbelakangi oleh psikologi behavioral, sedangkan konsep tentang anakes dilatarbelakangi

oleh psikologi kognitivistik (mentalistik modern). Untuk memperjelas hal itu, cermati

pandangan para penganjur psikologi behavioral berikut, tarmasuk di dalamnya tentang


pengajaran bahasa. Uraian lebih lengkap dapat Sdr. baca dalam buku Psikologi Umum dan Sosial

(Depdikbud, 1979: 13-21).

1. Edward Lee Thorndike

Tokoh ini terkenal sejak pertengahan abad XX di AS. Menurutn Thorndike, belajar pada

manusia pada dasarnya menganut prinsip-prinsip yang sama dengan belajar pada binatang.

Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan pancaindera dengan

kecenderungan untuk bertindak, melalui tahapan trial and error. Teori/hukum-hukum yang

dikemukakan Thorndike adalah (1) hukum kesiapan atau law of readiness, (2) hukum latihan

atau law of exercise, (3) hukum akibat atau law of effect. Ketiga hukum tersebut dinamakan

hukum primer, sedangkan transfer latihan atau transfer of training, disebut sebagai hukum

tambahan.

2. Ivan Palov

Ivan Pavlov terkenal dengan teorinya yang dinamakan Classical Conditioning melalui

percobaan pemberian makanan terhadap anjing. Menurut Pavlov, tingkah laku tertentu dapat

dibentuk dengan cara memancing agar tingkah laku tersebut muncul, dan pemancingan ter-

sebut berlangsung secara berulang-ulang. Konsep-konsep yang dikemu-kakan Pavlov adalah (1)

perangsang tak bersyarat, perangsang alami, atau unconditioned stimulus, yaitu perangsang

yang memang secara alami dapat menimbulkan respons tertentu, misalnya makanan bagi

anjing yang dapat menimbulkan keluarnya air liur, (2) perangsang bersyarat atau conditioned

stimulus, yaitu perangsang yang secara alami tidak menimbulkan respons tertentu, tetapi

melalui proses persyaratan dapat menimbulkan respons, misalnya suara lonceng yang mampu

merangsang keluarnya air liur, (3) respons tak bersyarat atau conditioned response, yaitu

respons yang ditimbulkan oleh perangsang tak bersyarat, dan (4) respons bersyarat atau

conditioned response, yaitu respons yang ditimbulkan oleh perangsang bersyarat.

3. B. F. Skinner

B. F. Skinner terkenal dengan teorinya yang dinamakan Operant Conditioning dan

mengemukakan konsep (1) kontrol tingkah laku, atau behavior control dan (2) modifikasi
tingkah laku atau behavior modification. Melalui konsep-konsepnya ini, dikemukakan konsep

belajar yang berkaitan dengan pemberian (1) penguatan, (2) hadiah, (3) hukuman, dan (4)

penundaan.

Penguatan (reinforcement) diberikan jika tingkah laku individu pada suatu saat sesuai

dengan respons yang diharapkan lingkungan (misalnya guru dalam hubungannya dengan

siswa). Penguatan dimak-sudkan agar pada masa mendatang tingkah laku positif tersebut

merupakan tingkah laku yang menetap.

Hadiah diberikan jika serangkaian penguatan diterima oleh individu (misalnya siswa

dalam hubungannya dengan guru). Pemberian hadiah ini dimaksudkan agar tingkah laku

positif yang sudah menetap tersebut tidak surut, memudar, atau hilang, bahkan diharapkan

dapat dikembangkan lagi oleh siswa. Di samping itu, hadiah juga dimak-sudkan sebagai

pemberian motivasi. Secara teori, motivasi ekstrinsik ini diharapkan dapat

menumbuhkembangkan motivasi instrinsik.

Hukuman diberikan jika tingkah laku individu ternyata menyimpang dari respons yang

diharapkan lingkungan (misalnya guru dalam hubungannya dengan siswa). Hukuman

diberikan dengan maksud tingkah laku menyimpang tersebut tidak diulang lagi, bahkan kalau

mungkin dihilangkan pada masa mendatang.

Penundaan diberikan jika lingkungan atau guru meyakini bahwa tingkah laku individu

atau siswa yang belum sesuai dengan respons diharapkan pada masa-masa mendatang dapat

berubah. Penundaan juga dimaksudkan untuk memancing kemunculan respons atau tingkah

laku positif siswa.

Berdasarkan pandangan para pakar tersebut, kaum linguist struktural, yang juga

dilatarbelakangi oleh prikologi behavioral, mengembangkan teori linguistik-paedagogis.

Linguistik terapan tersebut adalah analisis kontrastif.

Baradja (1981: 5) menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada dua alasan yang

menyebabkan lahir dan berkembangnya analisis kontrastif. Dua hal tersebut adalah

perkembangan ilmu bahasa deskriptif-sinkronik termasuk kajian tentang kedwibahasaan dan


perkembangan kajian-kajian dalam teori belajar yang disebut transfer of learning (transfer

dalam pembelajaran). Dalam konsep transfer dalam pembelajaran diasumsikan bahwa

pembelajar B2 atau bahasa asing (selanjutnya disingkat BA) cenderung memindahkan atau

mentransfer pengetahuannya tentang sistem B1 atau bahasa yang telah dikuasainya. Dalam

kajian tentang kontak bahasa, istilah transefer negatif merupakan bentuk bersaing dengan

istilah interferensi.

Menurut Pateda (1989: 20), pakar pembelajaran merumuskan empat tujuan Anakon.

Keempat tujuan tersebut adalah (1) menganalisis perbedaan antara bahasa Ibu dengan bahasa

yang sedang dipelajari agar pengajaran bahasa berjalan dengan baik, (2) menganalisis

perbedaan antara bahasa ibu dengan bahasa yang sedang dipelajari agar kesalahan

berbahasa siswa dapat diramalkan yang pada gilirannya kesalahan yang diakibatkan oleh

pengaruh bahasa ibu itu dapat diperbaiki, (3) hasil analisis digunakan untuk menuntaskan

keterampilan berbahasa siswa, dan (4) membantu siswa untuk menyadari kesalahan berbahasa

yang dibuatnya sehingga siswa diharapkan dapat menguasai bahasa yang sedang dipelajari

dalam waktu yang tidak lama.

Baradja (1981: 22) mengemukakan bahwa secara umum dapat dibedakan antara

penganjur anakon yang berhaluan keras dan penganjur anakon yang berhaluan lunak.

Penganjur anakon berhaluan keras me-ngemukakan enam asumsi yaitu (1) kesalahan-

kesalahan siswa dalam belajar bahasa sebagian besar disebabkan oleh intrferensi yang

datangnya dari B1 ke B2, (2) unsur-unsur yang tidak serupa antara B1 dan B2 akan

menimbulkan kesukaran bagi siswa, (3) unsur-unsur yang sama dan berbeda antara B1 dan B2

dapat dihilangkan pengaruh negatifnya dalam proses belajar B2 jika terdapat rumusan yang

jelas tentang perbandingan antara B1 dan B2, (4) hasil perbandingan itu dapat dipakai sebagai

dasar untuk meramalkan kesulitan belajar yang manifestasinya dapat dilihat dari kesalahan-

kesalahan yang dibuat siswa, (5) bahan pelajaran yang disusun berdasarkan butir 1, 2, 3 dan 4

di atas merupakan bahan ajar yang efektif dan efisien, dan (6) hasil perbandingan B1 dan B2

dapat didayagunakan untuk menentukan hierarki kesulitan yaitu semakin jauh perbedaan yang
ada di antara B1 dan B2 akan semakin menghambat siswa memahami B2, semakin dekat atau

banyak persamaan antara B1 dengan BT (target) maka akan semakin sedikit hambatan atau

kesulitan yang dihadapi siswa dalam mempelajari BT.

Antara anakon berhaluan keras dengan anakon berhaluan lunak terdapat perbedaan

yang sangat mendasar. Penganjur anakon berhaluan keras memandang bahwa setiap kesalahan

berbahasa B2 siswa, termasuk di dalamnya interferensi, disebabkan oleh penguasaan B1 siswa.

Sebaliknya, penganjur anakon berhaluan lunak menyatakan bahwa penguasaan siswa terhadap

B1 bukan merupakan satu-satunya sumber kesalahan siswa dalam menguasai B2 atau BA.

Penganjur anakon berhaluan lunak ini pada akhirnya meninggalkan teori anakon dan

mengembangkan teori analisis kesalahan berbahasa (disingkat anakes).

D. Interferensi Bahasa dalam Pandangan Psikologi Mentalistik

Pateda (1989: 25) juga mengungkapkan bahwa pada tahun 1950-an kritik terhadap

keampuhan anakon terhadap pembelajaran bahasa semakin kuat. Kritik itu muncul terutama

dari linguis yang beraliran transformasi-generatif. Penganut anakon berpandangan bahwa

mempelajari bahasa bertujuan untuk mengubah tingkah laku berbahasa sehingga siswa harus

menguasai kata dan kalimat yang nyata saja yang ada dalam lingkungan pengalaman siswa.

Menurut penganut transformasi-generatif, bahasa tidak hanya dipelajari sebagai perubahan

tingkah laku manusia saja karena tingkah laku manusia hanyalah manifestasi lahiriah dari

sesuatu yang lebih dalam yang lazim disebut sebagai pengetahuan. Dengan demikian,

kesalahan berbahasa siswa hendaknya lebih dicermati lagi, bukan semata-mata disebabkan

oleh penguasaan B1 siswa. Pada akhirnya, kelompok yang tidak puas terhadap anakon ini

mengembangkan teori analisis kesalahan berbahasa (anakes).

Menurut Crystal (dalam Pateda, 1989: 32) anakes adalah suatu teknik untuk

mengidentifikasikan, mengklasifikasikan, dan menginterpretasikan secara sistematis kesalahan-

kesalahan yang dibuat oleh siswa yang sedang mempelajari bahasa asing atau bahasa kedua

dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur lingusitis. Kesalahan tersebut

biasanya ditentukan berdasarkan ukuran keberterimaan, yaitu sejauh mana apa yang disebut
sebagai kesalahan memang merupakan suatu kesalahan (mistake) atau hal lain, misalnya

kekhiafan (error).

Corder (dalam Pateda, 1989: 32) membedakan pengertian kesalahan atau kekeliruan

sebagai terjemahan kata bahasa Inggris mistake dan kesalahan atau kekhilafan sebagai

terjemahan kata error. Kekeliruan mengacu kepada performansi, sedangkan kekhilafan

mengacu kepada kompetensi. Di samping itu, ditambahkan juga pengertian tentang lapses atau

keseleo yang cenderung disebabkan oleh faktor-faktor situasional ketika seseorang berbahasa

lisan, misalnya karena terlalu letih.

Untuk menganalisis kesalahan bahasa (misalnya untuk kepentingan pengajaran

bahasa), menurut Pateda (1989:35) hendaknya difokuskan pada objek bahasa formal.

Sementara itu, menurut Corder (dalam Baradja, 1981:12) analisis kesalahan yang

disempurnakan mempunyai dua tujuan, yaitu sifatnya lebih teoretis dan lebih praktis. Tujuan

yang bersifat praktis tidak berbeda dengan tujuan analisis kesalahan tradisional, sedangkan

tujan yang bersifat teoretis ialah adanya usaha untuk memahami proses belajar-mengajar

bahasa kedua. Bagi guru, yang penting menemukan kesalahan itu, lalu menganalisisnya. Hasil

analisis sangat berguna untuk menindaklanjuti proses belajar-mengajar bahasa terutama untuk

merevisi kesalahan berbahasa siswa. Tindakan merevisi tidak mungkin dilaksanakan jika guru

tidak memahami apa konsep kesalahan yang diperbuat siswa (dalam berbahasa), dan mengapa

kesalahan itu diperbuat siswa. Pemahaman atas dua hal itu merupakan langkah untuk

menghilangkan kelemahan berbahasa siswa sekaligus membina dan mengembangkan

kemampuan berbahasa siswa.

Tarigan dan Sulistyaningsih (1997: 23) menggambarkan hubungan antara berbagai

konsep keilmuan yang berhubungan, yaitu pembelajaran bahasa, pemerolehan bahasa,

kedwibahasaan, interferensi, dan kesa-lahan berbahasa. Keterkaitan hal-hal itu digambarkan

sebagai berikut.
Pengajaran Bahasa

Pemerolehan Bahasa U
M
P
A
Kedwibahasaan N

B
A
Interferensi L
I
K

Kesalahan Berbahasa

Gambar 4 Keterkaitan antarkonsep dalam Pembelajaran Bahasa

Tarigan dan Sulistyaningsih (1998:48--9) menyatakan bahwa pengklasifikasian

kesalahan dalam Anakes tergantung atas lima sudut pandang. Pertama, kesalahan berbahasa

dapat dipilah-pilah berdasarkan tataran linguistik, misalnya fonetik/fonologi, morfologi,

sintaksis (frase, klausa, dan kalimat), wacana, dan semantik. Kedua, kesalahan berbahasa

berdasarkan kegiatan berbahasa atau keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara,

membaca, dan menulis. Ketiga, kesalahan berbahasa berdasarkan jenis bahasa yang

digunakan, misalnya bahasa lisan dan tulis. Keempat, kesalahan berbahasa berdasarkan

penyebab kesalahan berbahasa, misalnya apakah kesalahan itu disebabkan oleh pelaksanaan

pengajaran yang kurang sempurna ataukah oleh interfe-rensi B1. Kelima, kesalahan berbahasa

berdasarkan frekuensi terjadinya kesalahan, misalnya tidak ada, jarang, kadang-kadang, sering,

dan sangat sering terjadi.

Jadi, dalam pandangan kaum mentalistik, interferensi bahasa bukanlah disebabkan oleh

pengaruh penguasaan bahasa ibu/pertama ketika individu berbahasa lain. Interfe-rensi


ditempatkan sebagai suatu proses dalam pembelajaran. Jika proses pembelajaran

dikembangkan secara berkelnajutan, maka interferensi dapat diminimalkan atau justru dapat

dihilangkan sama sekali.

E. Integrasi Bahasa

Sama halnya dengan permasalahan kebudayaan, karena bahasa merupakan bagian dari

kebudayaan, dalam bahasa pun berkembang peristiwa yang disebut integrasi bahasa. Integrasi

bahasa juga merupakan akibat dari kontak bahasa maupun kontak budaya. Oleh sebab itu,

pemahaman Sdr. tentang konsep integrasi bahasa sangat tergantung pada pemahaman Sdr.

terhadap kontak bahasa dan kontak budaya..

Mackey dan Ornstein (1979: 64) menjelaskan bahwa integrasi bahasa adalah proses

penggunaan unsur-unsur bahasa lain dalam bahasa tertentu dan dalam bahasa tertentu itu

sudah dianggap sebagai unsur sah. Jika sebuah unsur, misalnya kata radio, sudah dianggap

sebagai kosakata bahasa Indonesia baku, berarti unsur bahasa (kata radio) tersebut dianggap

sudah berintegrasi dengan bahasa Indonesia karena sebenarnya kata itu berasal dari bahasa

Inggris radio.

Penerimaan unsur bahasa lain ke dalam bahasa tertentu sampai menjadi berstatus

integrasi memerlukan waktu dan tahap yang relatif panjang. Pada awalnya, seorang atau

beberapa orang penutur bahasa menggunakan unsur bahasa tertentu sebagai pinjaman

(borrowing). Pada tahap perkembangan berikutnya, ternyata frekuensi kata pinjaman itu

semakin meningkat sehingga pada akhirnya diakui sebagai warga bahasa si peminjam tadi.

Tentu saja, peminjaman terjadi karena si peminjam merasa perlu dan dalam unsur bahasa si

peminjam tadi belum ada.

Proses penerimaan unsur bahasa asing, khususnya unsur kosakata, dalam bahasa

Indonesia pada awalnya tampaknya dilakukan secara audial. Artinya, mula-mula penutur

bahasa Indonesia mendengar butir-butir leksikal itu dituturkan oleh penutur aslinya, lalu

penutur bahasa Indonesia tadi mencobakanya dan menggunakannya dalam berkomu-nikasi.

Oleh sebab itu, wajar jika pada masa sekarang banyak kosakata bahasa Indonesia yang tidak
sesuai dengan bentuk tulis bahasa sumber, misalnya /buku/ dari kata /boek/ (Belanda),

/lampu/ dari kata /lamp/ (Inggris), /gelas/ dari kata /glass/ (Inggris), dan sebagainya.

Pada tahap berikutnya, terutama setelah pemerintah mengeluarkan Pe-doman Umum

Pembentukan Istilah (lazim disingkat PUPI) dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang

Disempurnakan (lazim disingkat EYD), penerimaan dan penyerapan itu dilakukan melalui

bentuk tulisan bahasa aslinya, kemudian bentuk tulisan itu disesuaikan menurut aturan yang

tedapat pada kedua acuan tadi (PUPI dan EYD). Selain itu, banyak pula yang dilakukan melalui

cara-cara (1) penerjemahan langsung dan (2) penerjemahan konsep. Penerjemahan langsung,

artinya, kosakata itu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan tidak

langsung artinya, kosakata asing itu diteliti baik-baik konsepnya lalu dicarikan kosakata bahasa

Indonesia yang konsepnya dekat dengan kosakata tersebut.

Kalau sebuah kata serapan sudah pada tingkat integrasi, maka artinya serapan kata itu

sudah disetujui dan converged into the new language. Karena itu, proses yang terjadi dalam

integrasi ini lazim juga disebut konvergensi.

Dalam kenyataan sekarang, sangat banyak kosakata nonbahasa Indonesia yang masuk

ke bahasa Indonesia melalui proses integrasi dan konvegensi. Bahkan, diakui lebih sukar

mencari kosakata asli bahasa Indonesia dibandingkan kosakata nonasli.

Banyaknya kosakata yang masuk menjadi kosakata bahasa Indonesia relevan dengan

perkembangan ilmu pengetahuan, sosial, dan kebudayaan. Meskipun demikian, jika

direnungkan lebih lanjut, dalam bahasa Indonesia terlalu banyak kosakata nonasli yang

sebenarnya tidak diperlukan, terutama berkaitan dengan afiks bahasa asing seperti /-isasi/,

/isme/, dan sebagainya. Memang, bahasa asing, misalnya bahasa Inggris pun menyerap

beberapa kosakata bahasa Indonesia seperti /durian/, /batik/, dan / bambu/, namun dalam

bahasa Inggis tidak akan dijumpai bentuk-bentuk seperti /pembatik/, /perbatikan/, /dibatik/,

dan sebagainya. Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia ditemukan kata /sistem/, /sistemik/,

/sistematis/, /sistematisasi/, yang sebenarnya dapat diindo-nesiakan menjadi /sistem/,

/tersistem/, /penyisteman/, /disistemkan/, dan sebagainya.


Bahasa daerah (lazim disebut bahasa Nusantara) pun memberikan andil yang cukup

besar terhadap pemekaran kosakata bahasa Indonesia melalui integrasi dan konvergensi.

Namun sebaliknya, bahasa Indonesia pun memberikan andil terhadap pemekaran kosakata

bahasa Nusantara. Dalam bahasa Minangkabau, misalnya, lazim digunakan kata /merdeka/ atau

/mardeka/ padahal kosakata itu dalam bahasa Minangkabau sebenarnya tidak ada. Sebaliknya,

dalam bahasa Indonesia juga lazim digu-nakan /imbau/, /mangkus/, dan sebagainya yang

berasal dari bahasa Minangkabau. Jadi, dalam hubungannya dengan proses integrasi dan

konvergensi bahasa, terdapat hubungan timbal-balik antara bahasa Indonesia dengan bahasa

daerah (bahasa Nusantara). Sementara itu, antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing tidak

terdapat hubungan timbal-balik. Hubungan itu hanya bersifat satu arah: bahasa asing

mempengaruhi bahasa Indonesia tetapi tidak sebaliknya.

Untuk lebih memperjelas uraian tentang kemungkinan integrasi dan konvergensi

bahasa dalam kaitannya dengan bahasa asing (BA), bahasa Indonesia, dan bahasa Nusantara

atau bahasa daerah (BD), perhatikan bagan berikut.

Bahasa Bahasa
Asing Daerah

A1 D1
Bahasa
A2 Indonesia D2

A3, dst D3

Gambar 5 Hubungan Integratif antara Bahasa Asing, Bahasa Indonesia, dan Bahasa
Daerah

DAFTAR RUJUKAN
1. Badudu, J.S. 1985. Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta:Gramedia.
2. Baradja, MF. 1981. Peranan Analisis Kontrastif. Jakarta: Penlok Tahap II Proyek P3G
Depdikbud.
3. Depdikbud. 1979. Psikologi Umum dan Sosial. Jakarta: Depdikbud.
4. Dil, Anwar. 1982. Language in Sociocultural Change. Stanford: Stanford University Press.
5. Fishman, Joshua. A. 1972. The Sociology of Language. Massachusetts: Newbury House
Publisher.
6. Haugen, Einar. 1974. "Dialect, Language Nation" (dalam Pride Holmes, editor).
Sociolingustics. London: Penguin.
7. Lado, Robert. 1977. Language Teacing: A Scientific Approach. New Delhi: Tata McGraw Hill.
8. Mackey, William & Ornstein, Jacob. 1979. Sociolinguistics Studies in Language Contact:
Methods and Cases. The Hague: Moutaon.
9. Pateda, Mansoer.1989. Analisis Kesalahan. Flores, Ende: Nusa Indah.
10. Rusyana, Yus. 1975. Interferensi Morfologi pada Penggunaan Bahasa Indonesia oleh
Anak-anak yang Berbahasa Pertama Bahasa Sunda Murid Sekolah Dasar di Daerah
Jawa Barat. (Disertasi yang tidak Dipublikasikan). Jakarta: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
11. Rusyana, Yus. 1989. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualism). Jakarta: Dep-dikbud
12. Samsuri. 1994. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
13. Suwito. 1984. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problem. Surakarta: Henry Offset
14. Tarigan, Djago & Lilis Siti Sulistyaningsih. 1997. Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Bagian
Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III.
15. Valdman, Albert. 1966. Language Standardization in a Diglossia Situation: Haiti.
Harmonsworth, England: Penguin Books.
16. Weinreich, Uriel. 1968. Languages in Contact. The Hague: Mouton.

Anda mungkin juga menyukai