Soft skills/Karakter: Mempertimbangkan tata nilai dan norma sosial budaya dalam
kegiatan berbahasa sesuai dengan karakteristik daerah dan mengaplikasikannya dalam
rancangan pembelajaran dan pemilihan materi pembelajaran.
MATERI 7-8
INTERFERENSI DAN INTEGRASI BAHASA
A. Pengertian Interferensi
Kata interferensi berasal dari bahasa Inggris interference, yang berarti gangguan. Lado
(1977: 217) mengungkapkan bahwa interferensi adalah kesulitan yang timbul dalam proses
penguasaan bahasa kedua dalam hal bunyi, kata, atau konstruksi lainnya misalnya frase dan
kalimat sebagai akibat perbedaan kebiasaan pengenalan individu terhadap bahasa pertama.
Jadi, semakin berbeda sistem bahasa pertama yang dikuasai siswa (selanjutnya disebut B1),
baik tataran fonem, morfem, frase, sintaksis, maupun semantik dengan sistem bahasa kedua
(disingkat B2) atau bahasa target (bahasa yang dipelajari seseorang, baik B2 maupun bahasa
asing atau BA, dan selanjutnya bahasa target disingkat BT), semakin berpotensi individu itu
Pakar lain, Valdman (1966: 289) memandang peristiwa interferensi sebagai suatu efek
dari kebiasaan seseorang. Menurut pakar ini, interferensi adalah hambatan akibat kebiasan
pemakaian bahasa ibu ketika individu berusaha menguasai bahasa yang dipelajari atau BT.
Sementara itu, Weinreich (1968: 12), lebih menitikberatkan pengertian interferensi sebagai
penyimpangan dari norma bahasa masing-masing (baik B1 mau-pun BT) dalam tuturan
dwibahasawan sebagai akibat pengenalan dwibahasawan tadi terhadap dua bahasa atau lebih.
Lado (1977: 2) juga mengungkapkan adanya pengaruh kontak dua bahasa atau lebih
dalam diri individu yang mengakibatkan terjadinya pentransferan unsur-unsur satu bahasa ke
bahasa lain oleh dwibahasawan atau multibahasawan. Pakar ini menyatakan bahwa
interferensi merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan oleh seorang dwibaha-sawan atau
multibahasawan. Hal ini juga diungkapkan Samsuri (1994: 55) yang memandang interferensi
sebagai efek logis yang ditimbulkan oleh pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergiliran
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya pakar bahasa
dan pembelajaran bahasa menyepakati suatu pandangan bahwa hampir setiap dwibahasawan
dengan bahasa lain. Sedikit sekali dwibahasawan yang tidak melakukan atau mengalami
peristiwa interferensi. Hal ini diungkapkan Martinet (dalam Badudu, 1985: 170) yang
menyatakan bahwa hanya ada beberapa orang jenius yang mampu menggunakan dua bahasa
atau lebih tanpa terjadi dalam dirinya gejala yang disebut interferensi bahasa.
Selain simpulan di atas, juga dapat disimpulkan adanya berbagai asumsi mengenai
beberapa penyimpangan dari norma-norma bahasa yang terjadi dalam tuturan para
seperti yang dikemukakan itu tampaknya hanya memperhatikan gejala tutur. Oleh karena itu,
pengertian interferensi diperluas lagi oleh para pakar lain. Haugen (1974:12) mengatakan
bahwa interferensi adalah peng-ambilan unsur-unsur dari suatu bahasa dan dipergunakan
dalam hubungannya dengan bahasa lain. Penggunaan unsur yang termasuk ke dalam satu
bahasa waktu berbicara atau menulis dalam bahasa lain disebut interferensi. Jadi, menurut
pakar ini, interferensi bukan hanya dalam bidang bahasa lisan, tetapi juga tulis.
unsur satu bahasa yang terbawa pada waktu berbicara atau menulis dalam bahasa lain. Tipe
interferensi bergantung pada apakah individu berbicara dalam bahasa kedua atau hanyalah
sekedar untuk memahami apa yang didengar atau dibacanya. Jika individu itu berbicara dalam
bahasa kedua sedangkan pola-pola bahasa ibunya sudah sangat berakar dalam dirinya, maka
bahasa ibunya akan mengganggu penggunaan bahasa kedua yang sedang dipelajarinya.
Sebaliknya, jika individu itu hanya berusaha untuk memahami bahasa kedua tersebut, maka
pemahaman itu lebih mudah jika kedua bahasa tersebut mirip satu dengan lainnya. Dengan
demikian, cakupan interferensi itu tidak hanya terbatas pada bahasa lisan, tetapi juga bahasa
tulis.
Rusyana (1975: 53) mengatakan bahwa interferensi itu meliputi baik penggunaan
unsur yang termasuk ke dalam suatu bahasa waktu berbicara atau menulis dalam bahasa lain,
maupun penerapan dua buah sistem secara serempak pada suatu unsur bahasa, atau akibatnya
yang berupa penyimpangan dari norma masing-masing bahasa yang terjadi dalam tuturan
interferensi pada gejala tuturan. Menurut Rusyana, interferensi pada tuturan dwibahasawan
atau multibahasawan terjadi sebagai akibat pengenalannya terhadap bahasa lain. Hal senada
juga diungkapkan Diebold (dalam Rusyana, 1989:7) yang membatasi interferensi dalam gejala
gejala parole dari pemakai atau masyarakat bahasa itu, sedangkan integrasi merupakan gejala
enam hal. Pertama, interferensi adalah pengaruh penguasaan bahasa yang dikenal atau
dikuasai oleh seorang dwibahasawan sehingga unsur-unsur bahasa yang telah dikuasai itu
muncul atau digunakan ketika dwibahasawan menggunakan bahasa lain. Kedua, interferensi
mencakup bahasa tulis dan lisan. Ketiga, interferensi dapat terjadi pada tataran bunyi (fonem)
kata (morfem), frase, klausa, dan kalimat. Keempat, interferensi hanya dilakukan oleh
dwibahasawan yang tidak memiliki penguasaan yang berimbang terhadap bahasa-bahasa yang
dikenal atau dikuasainya itu. Kelima, interferensi berlangsung pada tingkat ambang dan tidak
sadar (berbeda dengan alih kode dan campur kode). Keenam, peristiwa atau tindakan
B. Tataran Interferensi
Interferensi dapat terjadi pada semua komponen kebahasaan, yaitu bidang tata bunyi,
tata bentuk, tata kalimat, leksikal, dan semantik. Lebih lanjut Mackey (dalam Fishman, 1972:
semantic, lexical, grammatical (parts of speech, grammatical categories, function, forms), and
suatu bahasa ke dalam konteks bahasa yang lain yang dapat terjadi pada subsistem-subsistem
bahasa seperti fonologis, leksikon atau semantik sebagai akibat dari kontak bahasa. Jadi,
semantis dan interferensi itu disebabkan oleh kontak bahasa. Hal senada juga diungkapkan Dil
(1982:4) yang menyatakan bahwa kontak bahasa merupakan faktor utama penyebab
timbulnya interferensi.
nonlinguistik yang paling mempengaruhi pemakaian bahasa itu adalah faktor sosial dan
situasional. Sebagai con-toh, dalam suatu peristiwa komunikasi, seorang dokter sedang
berbincang-bincang dengan beberapa orang pengurus masjid. Jika hanya dilihat faktor
pendidikan dan profesinya, dapat diramalkan bahwa dokter tersebut akan menggunakan
beberapa istilah bidang medis. Dalam kenyataannya, dokter tadi tidak pernah menggunakan
istilah medis dalam berbincang-bincang, bahkan cenderung menggunakan beberapa istilah
bidang agama (Islam), misalnya jihad, jihad fisabilillah, amar maruf nahi munkar, dan
sebagainya. Jadi, faktor sosial (mitra tutur) dan situasional (dalam masjid) lebih cenderung
mengakibatkan interferensi maupun gejala tutur lainnya seperti alih kode dan campur kode.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa interferensi disebabkan oleh tiga
faktor utama. Pertama, faktor individu, yaitu ketidakseimbangan penguasaan atau kemampuan
individu (penutur) terhadap bahasa-bahasa yang dikuasainya. Kedua, faktor kebahasaan, yaitu
kesamaan struktur bahasa beberapa bahasa yang dikuasai oleh penutur atau kekurangan
(lazimnya bidang leksikal) suatu bahasa yang dikuasai penutur sehingga penutur tadi
meminjam istilah atau kosakata bahasa lain yang dikuasainya. Ketiga, faktor nonkebahasaan
Mengkaji gejala interferensi tidak mungkin dipisahkan dengan bidang kajian lain yang
relevan yaitu analisis kontrastif dan analisis kesalahan berbahasa. Hal itu didasarkan oleh
kenyataan bahwa pandangan tentang gejala interfernsi semakin berkembang, di antaranya oleh
pakar analisis kontrastif (contrastive analisys) dan analisis kesalahan berbahasa (error
analisys), meskipun pada masa sekarang analisis kesalahan berbahasa cenderung lebih populer
perkembangan anakes pada dasarnya merupakan revisi terhadap kelemahan anakon. Untuk
itu, akan dilacak hal-hal mendasar tentang analisis kontrastif dan analisis kesalahan berbahasa,
oleh psikologi kognitivistik (mentalistik modern). Untuk memperjelas hal itu, cermati
Tokoh ini terkenal sejak pertengahan abad XX di AS. Menurutn Thorndike, belajar pada
manusia pada dasarnya menganut prinsip-prinsip yang sama dengan belajar pada binatang.
Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan pancaindera dengan
kecenderungan untuk bertindak, melalui tahapan trial and error. Teori/hukum-hukum yang
dikemukakan Thorndike adalah (1) hukum kesiapan atau law of readiness, (2) hukum latihan
atau law of exercise, (3) hukum akibat atau law of effect. Ketiga hukum tersebut dinamakan
hukum primer, sedangkan transfer latihan atau transfer of training, disebut sebagai hukum
tambahan.
2. Ivan Palov
Ivan Pavlov terkenal dengan teorinya yang dinamakan Classical Conditioning melalui
percobaan pemberian makanan terhadap anjing. Menurut Pavlov, tingkah laku tertentu dapat
dibentuk dengan cara memancing agar tingkah laku tersebut muncul, dan pemancingan ter-
sebut berlangsung secara berulang-ulang. Konsep-konsep yang dikemu-kakan Pavlov adalah (1)
perangsang tak bersyarat, perangsang alami, atau unconditioned stimulus, yaitu perangsang
yang memang secara alami dapat menimbulkan respons tertentu, misalnya makanan bagi
anjing yang dapat menimbulkan keluarnya air liur, (2) perangsang bersyarat atau conditioned
stimulus, yaitu perangsang yang secara alami tidak menimbulkan respons tertentu, tetapi
melalui proses persyaratan dapat menimbulkan respons, misalnya suara lonceng yang mampu
merangsang keluarnya air liur, (3) respons tak bersyarat atau conditioned response, yaitu
respons yang ditimbulkan oleh perangsang tak bersyarat, dan (4) respons bersyarat atau
3. B. F. Skinner
mengemukakan konsep (1) kontrol tingkah laku, atau behavior control dan (2) modifikasi
tingkah laku atau behavior modification. Melalui konsep-konsepnya ini, dikemukakan konsep
belajar yang berkaitan dengan pemberian (1) penguatan, (2) hadiah, (3) hukuman, dan (4)
penundaan.
Penguatan (reinforcement) diberikan jika tingkah laku individu pada suatu saat sesuai
dengan respons yang diharapkan lingkungan (misalnya guru dalam hubungannya dengan
siswa). Penguatan dimak-sudkan agar pada masa mendatang tingkah laku positif tersebut
Hadiah diberikan jika serangkaian penguatan diterima oleh individu (misalnya siswa
dalam hubungannya dengan guru). Pemberian hadiah ini dimaksudkan agar tingkah laku
positif yang sudah menetap tersebut tidak surut, memudar, atau hilang, bahkan diharapkan
dapat dikembangkan lagi oleh siswa. Di samping itu, hadiah juga dimak-sudkan sebagai
Hukuman diberikan jika tingkah laku individu ternyata menyimpang dari respons yang
diberikan dengan maksud tingkah laku menyimpang tersebut tidak diulang lagi, bahkan kalau
Penundaan diberikan jika lingkungan atau guru meyakini bahwa tingkah laku individu
atau siswa yang belum sesuai dengan respons diharapkan pada masa-masa mendatang dapat
berubah. Penundaan juga dimaksudkan untuk memancing kemunculan respons atau tingkah
Berdasarkan pandangan para pakar tersebut, kaum linguist struktural, yang juga
menyebabkan lahir dan berkembangnya analisis kontrastif. Dua hal tersebut adalah
pembelajar B2 atau bahasa asing (selanjutnya disingkat BA) cenderung memindahkan atau
mentransfer pengetahuannya tentang sistem B1 atau bahasa yang telah dikuasainya. Dalam
kajian tentang kontak bahasa, istilah transefer negatif merupakan bentuk bersaing dengan
istilah interferensi.
Menurut Pateda (1989: 20), pakar pembelajaran merumuskan empat tujuan Anakon.
Keempat tujuan tersebut adalah (1) menganalisis perbedaan antara bahasa Ibu dengan bahasa
yang sedang dipelajari agar pengajaran bahasa berjalan dengan baik, (2) menganalisis
perbedaan antara bahasa ibu dengan bahasa yang sedang dipelajari agar kesalahan
berbahasa siswa dapat diramalkan yang pada gilirannya kesalahan yang diakibatkan oleh
pengaruh bahasa ibu itu dapat diperbaiki, (3) hasil analisis digunakan untuk menuntaskan
keterampilan berbahasa siswa, dan (4) membantu siswa untuk menyadari kesalahan berbahasa
yang dibuatnya sehingga siswa diharapkan dapat menguasai bahasa yang sedang dipelajari
Baradja (1981: 22) mengemukakan bahwa secara umum dapat dibedakan antara
penganjur anakon yang berhaluan keras dan penganjur anakon yang berhaluan lunak.
Penganjur anakon berhaluan keras me-ngemukakan enam asumsi yaitu (1) kesalahan-
kesalahan siswa dalam belajar bahasa sebagian besar disebabkan oleh intrferensi yang
datangnya dari B1 ke B2, (2) unsur-unsur yang tidak serupa antara B1 dan B2 akan
menimbulkan kesukaran bagi siswa, (3) unsur-unsur yang sama dan berbeda antara B1 dan B2
dapat dihilangkan pengaruh negatifnya dalam proses belajar B2 jika terdapat rumusan yang
jelas tentang perbandingan antara B1 dan B2, (4) hasil perbandingan itu dapat dipakai sebagai
dasar untuk meramalkan kesulitan belajar yang manifestasinya dapat dilihat dari kesalahan-
kesalahan yang dibuat siswa, (5) bahan pelajaran yang disusun berdasarkan butir 1, 2, 3 dan 4
di atas merupakan bahan ajar yang efektif dan efisien, dan (6) hasil perbandingan B1 dan B2
dapat didayagunakan untuk menentukan hierarki kesulitan yaitu semakin jauh perbedaan yang
ada di antara B1 dan B2 akan semakin menghambat siswa memahami B2, semakin dekat atau
banyak persamaan antara B1 dengan BT (target) maka akan semakin sedikit hambatan atau
Antara anakon berhaluan keras dengan anakon berhaluan lunak terdapat perbedaan
yang sangat mendasar. Penganjur anakon berhaluan keras memandang bahwa setiap kesalahan
Sebaliknya, penganjur anakon berhaluan lunak menyatakan bahwa penguasaan siswa terhadap
B1 bukan merupakan satu-satunya sumber kesalahan siswa dalam menguasai B2 atau BA.
Penganjur anakon berhaluan lunak ini pada akhirnya meninggalkan teori anakon dan
Pateda (1989: 25) juga mengungkapkan bahwa pada tahun 1950-an kritik terhadap
keampuhan anakon terhadap pembelajaran bahasa semakin kuat. Kritik itu muncul terutama
mempelajari bahasa bertujuan untuk mengubah tingkah laku berbahasa sehingga siswa harus
menguasai kata dan kalimat yang nyata saja yang ada dalam lingkungan pengalaman siswa.
tingkah laku manusia saja karena tingkah laku manusia hanyalah manifestasi lahiriah dari
sesuatu yang lebih dalam yang lazim disebut sebagai pengetahuan. Dengan demikian,
kesalahan berbahasa siswa hendaknya lebih dicermati lagi, bukan semata-mata disebabkan
oleh penguasaan B1 siswa. Pada akhirnya, kelompok yang tidak puas terhadap anakon ini
Menurut Crystal (dalam Pateda, 1989: 32) anakes adalah suatu teknik untuk
kesalahan yang dibuat oleh siswa yang sedang mempelajari bahasa asing atau bahasa kedua
biasanya ditentukan berdasarkan ukuran keberterimaan, yaitu sejauh mana apa yang disebut
sebagai kesalahan memang merupakan suatu kesalahan (mistake) atau hal lain, misalnya
kekhiafan (error).
Corder (dalam Pateda, 1989: 32) membedakan pengertian kesalahan atau kekeliruan
sebagai terjemahan kata bahasa Inggris mistake dan kesalahan atau kekhilafan sebagai
mengacu kepada kompetensi. Di samping itu, ditambahkan juga pengertian tentang lapses atau
keseleo yang cenderung disebabkan oleh faktor-faktor situasional ketika seseorang berbahasa
bahasa), menurut Pateda (1989:35) hendaknya difokuskan pada objek bahasa formal.
Sementara itu, menurut Corder (dalam Baradja, 1981:12) analisis kesalahan yang
disempurnakan mempunyai dua tujuan, yaitu sifatnya lebih teoretis dan lebih praktis. Tujuan
yang bersifat praktis tidak berbeda dengan tujuan analisis kesalahan tradisional, sedangkan
tujan yang bersifat teoretis ialah adanya usaha untuk memahami proses belajar-mengajar
bahasa kedua. Bagi guru, yang penting menemukan kesalahan itu, lalu menganalisisnya. Hasil
analisis sangat berguna untuk menindaklanjuti proses belajar-mengajar bahasa terutama untuk
merevisi kesalahan berbahasa siswa. Tindakan merevisi tidak mungkin dilaksanakan jika guru
tidak memahami apa konsep kesalahan yang diperbuat siswa (dalam berbahasa), dan mengapa
kesalahan itu diperbuat siswa. Pemahaman atas dua hal itu merupakan langkah untuk
sebagai berikut.
Pengajaran Bahasa
Pemerolehan Bahasa U
M
P
A
Kedwibahasaan N
B
A
Interferensi L
I
K
Kesalahan Berbahasa
kesalahan dalam Anakes tergantung atas lima sudut pandang. Pertama, kesalahan berbahasa
sintaksis (frase, klausa, dan kalimat), wacana, dan semantik. Kedua, kesalahan berbahasa
membaca, dan menulis. Ketiga, kesalahan berbahasa berdasarkan jenis bahasa yang
digunakan, misalnya bahasa lisan dan tulis. Keempat, kesalahan berbahasa berdasarkan
penyebab kesalahan berbahasa, misalnya apakah kesalahan itu disebabkan oleh pelaksanaan
pengajaran yang kurang sempurna ataukah oleh interfe-rensi B1. Kelima, kesalahan berbahasa
berdasarkan frekuensi terjadinya kesalahan, misalnya tidak ada, jarang, kadang-kadang, sering,
Jadi, dalam pandangan kaum mentalistik, interferensi bahasa bukanlah disebabkan oleh
dikembangkan secara berkelnajutan, maka interferensi dapat diminimalkan atau justru dapat
E. Integrasi Bahasa
Sama halnya dengan permasalahan kebudayaan, karena bahasa merupakan bagian dari
kebudayaan, dalam bahasa pun berkembang peristiwa yang disebut integrasi bahasa. Integrasi
bahasa juga merupakan akibat dari kontak bahasa maupun kontak budaya. Oleh sebab itu,
pemahaman Sdr. tentang konsep integrasi bahasa sangat tergantung pada pemahaman Sdr.
Mackey dan Ornstein (1979: 64) menjelaskan bahwa integrasi bahasa adalah proses
penggunaan unsur-unsur bahasa lain dalam bahasa tertentu dan dalam bahasa tertentu itu
sudah dianggap sebagai unsur sah. Jika sebuah unsur, misalnya kata radio, sudah dianggap
sebagai kosakata bahasa Indonesia baku, berarti unsur bahasa (kata radio) tersebut dianggap
sudah berintegrasi dengan bahasa Indonesia karena sebenarnya kata itu berasal dari bahasa
Inggris radio.
Penerimaan unsur bahasa lain ke dalam bahasa tertentu sampai menjadi berstatus
integrasi memerlukan waktu dan tahap yang relatif panjang. Pada awalnya, seorang atau
beberapa orang penutur bahasa menggunakan unsur bahasa tertentu sebagai pinjaman
(borrowing). Pada tahap perkembangan berikutnya, ternyata frekuensi kata pinjaman itu
semakin meningkat sehingga pada akhirnya diakui sebagai warga bahasa si peminjam tadi.
Tentu saja, peminjaman terjadi karena si peminjam merasa perlu dan dalam unsur bahasa si
Proses penerimaan unsur bahasa asing, khususnya unsur kosakata, dalam bahasa
Indonesia pada awalnya tampaknya dilakukan secara audial. Artinya, mula-mula penutur
bahasa Indonesia mendengar butir-butir leksikal itu dituturkan oleh penutur aslinya, lalu
Oleh sebab itu, wajar jika pada masa sekarang banyak kosakata bahasa Indonesia yang tidak
sesuai dengan bentuk tulis bahasa sumber, misalnya /buku/ dari kata /boek/ (Belanda),
/lampu/ dari kata /lamp/ (Inggris), /gelas/ dari kata /glass/ (Inggris), dan sebagainya.
Pembentukan Istilah (lazim disingkat PUPI) dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan (lazim disingkat EYD), penerimaan dan penyerapan itu dilakukan melalui
bentuk tulisan bahasa aslinya, kemudian bentuk tulisan itu disesuaikan menurut aturan yang
tedapat pada kedua acuan tadi (PUPI dan EYD). Selain itu, banyak pula yang dilakukan melalui
cara-cara (1) penerjemahan langsung dan (2) penerjemahan konsep. Penerjemahan langsung,
artinya, kosakata itu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan tidak
langsung artinya, kosakata asing itu diteliti baik-baik konsepnya lalu dicarikan kosakata bahasa
Kalau sebuah kata serapan sudah pada tingkat integrasi, maka artinya serapan kata itu
sudah disetujui dan converged into the new language. Karena itu, proses yang terjadi dalam
Dalam kenyataan sekarang, sangat banyak kosakata nonbahasa Indonesia yang masuk
ke bahasa Indonesia melalui proses integrasi dan konvegensi. Bahkan, diakui lebih sukar
Banyaknya kosakata yang masuk menjadi kosakata bahasa Indonesia relevan dengan
direnungkan lebih lanjut, dalam bahasa Indonesia terlalu banyak kosakata nonasli yang
sebenarnya tidak diperlukan, terutama berkaitan dengan afiks bahasa asing seperti /-isasi/,
/isme/, dan sebagainya. Memang, bahasa asing, misalnya bahasa Inggris pun menyerap
beberapa kosakata bahasa Indonesia seperti /durian/, /batik/, dan / bambu/, namun dalam
bahasa Inggis tidak akan dijumpai bentuk-bentuk seperti /pembatik/, /perbatikan/, /dibatik/,
dan sebagainya. Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia ditemukan kata /sistem/, /sistemik/,
besar terhadap pemekaran kosakata bahasa Indonesia melalui integrasi dan konvergensi.
Namun sebaliknya, bahasa Indonesia pun memberikan andil terhadap pemekaran kosakata
bahasa Nusantara. Dalam bahasa Minangkabau, misalnya, lazim digunakan kata /merdeka/ atau
/mardeka/ padahal kosakata itu dalam bahasa Minangkabau sebenarnya tidak ada. Sebaliknya,
dalam bahasa Indonesia juga lazim digu-nakan /imbau/, /mangkus/, dan sebagainya yang
berasal dari bahasa Minangkabau. Jadi, dalam hubungannya dengan proses integrasi dan
konvergensi bahasa, terdapat hubungan timbal-balik antara bahasa Indonesia dengan bahasa
daerah (bahasa Nusantara). Sementara itu, antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing tidak
terdapat hubungan timbal-balik. Hubungan itu hanya bersifat satu arah: bahasa asing
bahasa dalam kaitannya dengan bahasa asing (BA), bahasa Indonesia, dan bahasa Nusantara
Bahasa Bahasa
Asing Daerah
A1 D1
Bahasa
A2 Indonesia D2
A3, dst D3
Gambar 5 Hubungan Integratif antara Bahasa Asing, Bahasa Indonesia, dan Bahasa
Daerah
DAFTAR RUJUKAN
1. Badudu, J.S. 1985. Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta:Gramedia.
2. Baradja, MF. 1981. Peranan Analisis Kontrastif. Jakarta: Penlok Tahap II Proyek P3G
Depdikbud.
3. Depdikbud. 1979. Psikologi Umum dan Sosial. Jakarta: Depdikbud.
4. Dil, Anwar. 1982. Language in Sociocultural Change. Stanford: Stanford University Press.
5. Fishman, Joshua. A. 1972. The Sociology of Language. Massachusetts: Newbury House
Publisher.
6. Haugen, Einar. 1974. "Dialect, Language Nation" (dalam Pride Holmes, editor).
Sociolingustics. London: Penguin.
7. Lado, Robert. 1977. Language Teacing: A Scientific Approach. New Delhi: Tata McGraw Hill.
8. Mackey, William & Ornstein, Jacob. 1979. Sociolinguistics Studies in Language Contact:
Methods and Cases. The Hague: Moutaon.
9. Pateda, Mansoer.1989. Analisis Kesalahan. Flores, Ende: Nusa Indah.
10. Rusyana, Yus. 1975. Interferensi Morfologi pada Penggunaan Bahasa Indonesia oleh
Anak-anak yang Berbahasa Pertama Bahasa Sunda Murid Sekolah Dasar di Daerah
Jawa Barat. (Disertasi yang tidak Dipublikasikan). Jakarta: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
11. Rusyana, Yus. 1989. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualism). Jakarta: Dep-dikbud
12. Samsuri. 1994. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
13. Suwito. 1984. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problem. Surakarta: Henry Offset
14. Tarigan, Djago & Lilis Siti Sulistyaningsih. 1997. Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Bagian
Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III.
15. Valdman, Albert. 1966. Language Standardization in a Diglossia Situation: Haiti.
Harmonsworth, England: Penguin Books.
16. Weinreich, Uriel. 1968. Languages in Contact. The Hague: Mouton.