Anda di halaman 1dari 41

Beranda

Search...

learning together
not the result but the process

About me

LEARNING TOGETHER Mahasiswa Pendidikan bahasa dan sastra indonesia di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta Lihat profil lengkapku

Rabu, 16 Juni 2010


IMPLIKATUR, PRAANGGAPAN DAN INFERENSI DALAM KOLOM NUWUN SEWU SOLOPOS

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi (Leech, 1993: 1). Leech (1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions). http://lisadypragmatik.blogspot.com/2007/07/pragmatik-oleh-sidon.html. Penerapan pragmatik dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dengan menganalisis bentukbentuk penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulisan yang berwujud tuturan. Menurut Cruse (dalam Louise Cummings, 2007:3) pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspekaspek informasi (dalam pengertian yang luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut [penekanan ditambahkan]. Dalam tulisan Tri Sulistyaningtyas, Yule (1996:3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (a) bidang yang mengkaji makna pembicara; (b) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (c) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasi-kan oleh pembicara; (d) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Bahasa merupakan alat pertukaran informasi, namun kadang kala informasi yang dituturkan olah komunikator memiliki maksud terselubung. Oleh karena itu setiap manusia harus dapat memahami maksud dan makna tuturan yang diucapkan oleh lawan tuturnya. Dalam hal ini tidak hanya sekedar mengerti apa yang telah diujarkan oleh si penutur tetapi juga konteks yang digunakan dalam ujaran tersebut. Kegiatan semacam ini akan dapat dianalisis dan dipelajari dengan pragmatik dalam kajian ilmu pragmatik juga dibahas tentang implikatur. Bahkan implikatur disebut-sebut sebagai penemuan yang mengagumkan dan mengesankan dalam kajian ilmu pragmatik. Hal ini patut dinilai kebenarannya karena pada penggunaan bahasa di kehidupan sehari-hari sering terjadi salah paham (misunderstanding) yang menyebabkan maksud dan informasi dari sebuah ujaran tidak tersampaikan dengan baik. Masalahmasalah seperti ini adalah kajian pragmatik yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Dapat kita ketahui berapa banyak macam penggunaan bahasa yang bersifat implikatif seperti iklan, kolom-kolom di surat

kabar, SMS, tindak tutur dalam telepon, bahkan tindak tutur yang terjadi secara langsung antara dua orang. Untuk memahami bentuk-bentuk bahasa yang implikatif perlu adanya pengajian dan analisis yang mendalam. Selain itu, dalam mengaji dan menganalisis memerlukan kepekaan dengan konteks yang melingkupi peristiwa kebahasaan itu. Solopos adalah salah satu surat kabar yang menempatkan diri sebagai koran daerah yang terbit di daerah yaitu sekitar Solo. Pasalnya koran ini ingin menjadi besar di daerah bersama dengan kian meningkatnya dinamika masyarakat Surakarta yang bakal menjadi kota internasional. Nuwun Sewu adalah salah satu judul kolom dalam surat kabar Solopos. Bahasa yang digunakan di kolom ini bersifat implikatif sehingga dapat menjadi sebuah kajian yang menarik. Implikasi pada bahasa kolom ini menyebabkan efek tertentu bagi khalayak yang membacanya. Kolom ini lebih menekankan bahasa yang menyatakan sindiran pada pihak-pihak tertentu. Sindiran ini tidak disampaikan langsung namun disampaikan secara tersirat. Untuk memahami implikatur pada kolom ini pembaca juga harus memahami konteks yang menyertainya. Humor juga ditekankan pada penggunaan bahasa di kolom ini. Sindiran-sindiran yang digunakan pada kolom ini seringkali menjadi sebuah hal yang lucu. Tulisan ini akan membahas tentang implikasi-implikasi berdasarkan konteksnya yang terdapat pada kolom Nuwun Sewu surat kabar Solopos. Pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 21, 24, 25, dan 27 Mei 2010. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang dapat diidentifikasi yaitu: 1. Bagaimana implikatur dalam kolom Nuwun Sewu Solopos? 2. Bagaimana praanggapan dalam kolom Nuwun Sewu Solopos? 3. Bagaimana inferensi dalam kolom Nuwun Sewu Solopos? BAB II KAJIAN TEORI A. PENGERTIAN IMPLIKATUR Konsep tentang implikatur pertama kali dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk memecahkan masalah tentang makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan dengan teori semantik biasa. Suatu konsep yang paling penting dalam ilmu pragmatik dan yang menonjolkan pragmatik sebagai suatu cabang ilmu bahasa ialah konsep implikatur percakapan. Konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara apa yang diucapkan dengan apa yang diimplikasi. Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan proposisi, yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari ujaran tersebut dan bukan pula merupakan konsekuensi logis dari ujaran. Dapat didefinisikan bahwa implikatur adalah maksud yang tersirat dalam sebuah ujaran. Kadang kala suatu ujaran sulit mendapat pengertian karena menyembunyikan suatu maksud tertentu. Levinson (dalam Rani dkk, 2006:173) mengemukakan ada empat kegunaan konsep implikatur, yaitu: 1. Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta yang tidak terjangkau oleh teori linguistik. 2. Dapat memberikan suatu penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa. 3. Dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama. 4. Dapat memBerikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora).

Penggunaan implikatur dalam berbahasa bukan berarti sebuah ketidaksengajaan atau tidak memiliki fungsi tertentu. Penggunaan implikatur dalam berbahasa mempunyai pertimbangan seperti untuk memperhalus tuturan, menjaga etika kesopanan, menyindir dengan halus (tak langsung), dan menjaga agar tdak menyinggung perasaan secara langsung. Dalam tuturan implikatif, penutur dan lawan tutur harus mempunyai konsep yang sama dalam suatu konteks. Jika tidak, maka akan terjadi suatu kesalahpahaman atas tuturan yang terjadi di antara keduanya. Dalam hubungan timbal balik di konteks budaya kita, penggunaan implikatur terasa lebih sopan, misalnya untuk tindak tutur menolak, meminta, memberi nasihat, menegur dan lain-lain. Tindak tutur yang melibatkan emosi mitra tutur pada umumnya lebih diterima jika disampaikan dengan implikatur. Kemampuan untuk memahami implikatur dalam sebuah tuturan tergantung pada kompetensi linguistik yang dikuasai seseorang. Seorang penutur tidak mungkin menguasai seluruh unsur bahasa karena kompetensi linguistik seseorang itu terbatas. Namun dengan keterbatasan ini, seorang penutur mampu menghasilkan ujaran yang tidak terbatas. Seorang penutur dan lawan tutur akan mampu memahami dan menghasilkan ujaran baru yang benar-benar baru dalam bahasanya. B. PRAANGGAPAN ATAU PRESUPOSISI Prsuposisi atau praanggapan berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang lawan bicara atau yang dibicarakan. Selain definisi tersebut beberapa definisi lain tentang praanggapan diantaranya adalah: Levinson (dalam Nababan, 19887: 48) memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna. Louise Cummings (1999: 42) mwnyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Nababan (1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. C. INFERENSI Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).

D. HAKIKAT KONTEKS Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yang juga berupa teks atau bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama dapat disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa, seperti partisipan, topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan

peristiwa), saluran (bahasa lisan atau tulis), bentuk komunikasi (dialog, monolog atau polilog) Pengguna bahasa harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa. Konteks yang harus diperhatikan adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik. Wujud koteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, paragraf, dan bahkan wacana. Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa. Konteks ekstralinguistik itu mencakup praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran, dan kode. Partisipan adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan pendengar. Latar adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi. Saluran adalah ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana. Dalam menganalisis wancana sasaran utamanya bukan pada struktur kalimat tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks linguistik ataupun konteks ekstralinguistik. Tiga manfaat konteks dalam analisis wacana. 1. Penggunaan konteks untuk mencari acuan, yaitu pembentukan acuan berdasarkan konteks linguistik. 2. Penggunaan konteks untuk menentukan maksud tuturan, yaitu bahwa maksud sebuah tuturan ditentukan oleh konteks wacana. 3. Penggunaan konteks untuk mencari bentuk tak terujar, yaitu bentuk yang memiliki unsur tak terujar atau bentuk eliptis adalah bentuk yang hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks. http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=164:pbin4216-wacana-bahasa-indonesia&catid=30:fkip&Itemid=75. BAB III PEMBAHASAN Solopos adalah salah satu surat kabar yang menempatkan diri sebagai koran daerah yang terbit di daerah yaitu sekitar Solo. Pasalnya koran ini ingin menjadi besar di daerah bersama dengan kian meningkatnya dinamika masyarakat Surakarta yang bakal menjadi kota internasional. Nuwun Sewu merupakan salah satu kolom dalam surat kabat Solopos (SP). Nuwun Sewu dalam surat kabar lain, sering disebut dengan wacana pojok, karena biasanya terdapat di pojok dalam sebuah surat kabar. Di Harian Kompas dan Kedaulatan Rakyat menggunakan istilah Pojok. Di Jawa Pos menggunakan istilah Mr. Pecut dan di Suara Merdeka menggunakan istilah Semarangan. Kolom Nuwun Sewu terdiri dari nama kolom, dan inti wacana. Wacana pojok disusun oleh redaktur surat kabar untuk menanggapi, berita-berita yang pernah tampil di medianya dengan singkat dan bergaya ironi. Nama kolom ini juga mempunyai implikatur yakni pada penggunaan kata Nuwun Sewu. Nuwun Sewu berasal dari bahasa Jawa yang mengandung arti dalam bahasa Indonesia adalah Minta Maaf. Digunakan kata Minta Maaf dalam penamaan kolom tersebut alasannya karena pada kolom pojok ini lebih menekankan bahasa yang menyatakan sindiran yang menyakitkan pada pihak-pihak tertentu. Oleh karenanya kolom Nuwun Sewu ini sebagai istilah permohonan maaf bagi pihakpihak yang merasa tersindir dengan bahasa di kolom pojok tersebut yang mengandung sindiran atau sentilan. Situasi berisi tentang kejadian nyata atau opini yang diambil dari sebuah berita yang sebelumnya dimuat di dalam surat kabar tersebut. Sentilan merupakan komentar atas kejadian atau opini dalam inti wacana. Komentar-komentar tersebut bisa berupa sanggahan, sindiran, kritikan,

masukan, saran, ejekan dan lain-lain. Komentar-komentar tersebut sering menggunakan katakata pedas yang disajikan secara singkat dan implisit. Komentar-komentar dalam kolom Nuwun Sewu atau dalam wacana pojok pada umumnya cenderung memihak rakyat. Komentar-komentar tersebut mempunyai implikatur-implikatur yang dapat dipahami dengan mengaitkannya dengan konteks yang ada. Ada pun contoh-contoh implikatur dalam kolom Nuwun Sewu adalah sebagai berikut:

1. Polisi membidik Susno Duadji dalam kasus dugaan pengamanan Pilkada Jawa Barat tahun 2008. Mencari kesalahan memang lebih gampang daripada mencari kebenaran. (SP, 21 Mei 2010) Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa polisi membidik Susno Duadji dalam kasus dugaan pengamanan Pilkada Jawa Barat tahun 2008. Situasi diatas menunjukkan kecurigaan Polisi terhadap Susno dalam dugaan pengamanan Pilkada Jawa Barat. kemudian wacana diatas ditegaskan dengan implikatur seperti pada kalimat mencari kesalahn memang lebih gampang daripada mencari kebenaran. Artinya polisi belum mendapatkan bukti atas dugaan pengamanan Pilkada Jawa Barat yang dilakukan Susno tapi polisi langsung menuduh Susno sebagai tersangka. Praanggapan polisi membidik Susno Duadji dalam kasus dugaan pengamanan Pilkada Jawa Barat tahun 2008. Implikatur 1) Polisi dengan mudah munuduh Susno yang belum terbukti kasus dugaan pengamanan Pilkada Jawa Barat tahun 2008. 2) Polisi sebaiknya mencari bukti yang kuat sebelum menuduh Susno dalam dugaan pengamanan Pilkada Jawa Barat tahun 2008. Inferensi Polisi belum mendapatkan bukti atas dugaan pengamanan Pilkada Jawa Barat yang dilakukan Susno tapi polisi langsung menuduh Susno sebagai tersangka.

2. Pendapatan Taman Satwa Taru Jurug Solo ditarget naik 3 hingga 4 kali lipat. Hewannya bakal gemuk-gemuk nih? (SP, 21 Mei 2010) Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa dengan terbentuknya perusahaan daerah (Perusda), Walikota Solo, Joko Widodo mengharapka pendapatan Taman Satwa Taru Jurug Solo (TSTJS) dapat naik tiga hingga empat kali lipat. Dalam masalah ini muncul sentilan Hewannya bakal gemuk-gemuk nih?. Sentilan tersebut mempunyai implikatur berupa sindiran dan anggapan bahwa pendapatan (TSTJS) yang ditarget naik tiga sampai empat kali lipat itu bisa menguntungkan semua pihak yang terlibat dalam Perusda tersebut. Praanggapan Dengan terbentuknya perusahaan daerah (perusda), Walikota Solo, Joko Widodo mengharapkan pendapatan Taman Satwa Taru Jurug Solo (TSTJS) dapat naik tiga hingga empat kali lipat. Implikatur

1) Naiknya harga tiket masuk Taman Satwa Taru Jurug sangat tinggi. 2) Pihak yang terlibat dalam Perusda bisa jadi kaya karena pandapatan TSTJS naik. 3) Pendapatan (TSTJS) yang ditarget naik tiga sampai empat kali lipat itu bisa menguntungkan semua pihak yang terlibat dalam Perusda tersebut. Inferensi Dalam pendapatan Taman Satwa Taru Jurug Solo (TSTJS) yang ditarget dapat naik tiga hingga empat kali lipat bisa memberi banyak keuntungan pada semua pihak yang terlibat dalam Perusda. 3. Pengunduran diri Anggito Abimanyu sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal bukan karena sakit hati. Justru mundur karena hatinya sehat. (SP, 24 Mei 2010) Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa mundurnya Anggito Abimanyu sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) bukan karena sakit hati tidak terpilihnya Anggito Abimanyu sebagai wakil Menteri Keuangan. Situasi dalam wacana di atas mendapat penguatan dari pengelola Nuwun Sewu yakni Justru mundur karena hatinya sehat. Penguatan wacana di atas mempunyai implikatur bahwa Anggito Abimanyu mundur karena dia ingin pulang ke Yogyakarta, ingin mengabdi ke institusi yang membesarkannya selama ini dengan kembali pada almamaternya di UGM. Akan tetapi, munculnya kalimat Justru mundur karena hatinya sehat juga bisa menjadi implikatur sindiran dari pengelola Nuwun Sewu yakni mundurnya Anggito Abimanyu dari kepala (BKF) itu adalah keputusan yang tepat. Anggito Abimanyu sebelumnya mengungkapkan kekecewaannya kepada lingkungan istana karena tidak ada konfirmasi dan pemberitahuan kepada dirinya soal pembatalan dirinya menjadi Wakil Menteri Keuangan. Padahal Anggito sudah menandatangani pakta integritas dan kontrak kinerja soal penunjukkannya sebagai Wakil Menteri Keuangan. Praanggapan Mundurnya Anggito Abimanyu sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) bukan karena sakit hati tidak terpilihnya Anggito Abimanyu sebagai wakil Menteri Keuangan. Implikatur 1) Anggito mengundurkan diri karena ingin mengabdi ke institusi yang membesarkannya selama ini dengan kembali pada almamaternya di UGM. 2) Mundurnya Anggito adalah keputusan yang tepat. 3) Anggito abimanyu sudah lama ingin mengundurkan diri. Inferensi Anggito abimanyu sudah lama ingin mengundurkan diri. Anggito mengundurkan diri karena ingin mengabdi ke institusi yang membesarkannya selama ini dengan kembali pada almamaternya di UGM. 4. Sidak, Komisi III DPRD Kota Solo menemukan aksi pungli di Terminal Tirtonadi. Percuma kalau ditemukan tapi tidak ditindaklanjuti. (SP, 24 Mei 2010) Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa Komisi III DPRD Kota Solo menemukan aksi pungli atau pungutan liar di Terminal Tirtonadi saat melakukan inspeksi mendadak (Sidak). Implikatur sindiran yang terdapat pada wacana di atas yaitu mengharapkan kasus aksi pungli ini jangan hanya didiamkan saja atau hanya sekedar tahu bahwa ada aksi pungli di Terrminal Tirtonadi. Akan tetapi harapannya bisa ditindaklanjuti dengan pengamanan ketat dari Komisi III

terkait aksi Pungli tersebut. Praanggapan Komisi III DPRD Kota Solo menemukan aksi pungli atau pungutan liar di Terminal Tirtonadi saat melakukan inspeksi mendadak (Sidak). Implikatur 1) Masyarakat mengharapkan agar Komisi III DPRD Kota Solo menindaklanjuti kejadian aksi pungli di Terminal Tirtonadi. 2) Komisi III DPRD Kota Solo seharusnya melakukan pengamanan ketat terkait aksi pungli. 3) Seharusnya Komisi III DPRD Kota Solo bersikap tegas kepada tersangka aksi pungli di Terminal Tirtonadi. Inferensi Mengharapkan kasus aksi pungli ini jangan hanya didiamkan saja atau hanya sekedar tahu bahwa ada aksi pungli di Terrminal Tirtonadi. Akan tetapi harapannya bisa ditindaklanjuti dengan pengamanan ketat dari Komisi III DPRD Kota Solo terkait aksi Pungli tersebut. 5. Kemenangan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dinilai sebagai babak baru pemimpin muda. Sayangnya masih banyak yang tua-tua keladi. (SP, 25 Mei 2010) Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa kemenangan Anas yang baru berusia 41 tahun sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dinilai sebagai babak baru pemimpin muda. Artinya keberhasilam Anas akan mendorong lahirnya pemimpin muda di partai lain. Akan tetapi implikatur wacana diatas adalah menyayangkan bahwa masih banyak pemimpin dari partai lain yang usianya jauh di atas Anas. Seperti; Ketum Partai Golkar Abu Rizal Bakrie saat ini berusia 64 tahun, PDIP Megawati (63), Ketum PAN Hatta Rajasa (57), Ketum PPP Suryadharma Ali (54), Ketum Partai Hanura Wiranto (63) dan Ketum Partai Gerindra Prabowo (51). Sedangkan Pjs Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq berusia 49 tahun. Praanggapan Kemenangan Anas yang baru berusia 41 tahun sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dinilai sebagai babak baru pemimpin muda. Implikatur 1) Masih banyak orang tua, tapi yang terpilih pemimpin muda. 2) Masih banyak pemimpin dari partai lain yang usianya jauh di atas Anas. 3) Kemenangan Anas akan mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin muda. Inferensi Kemenangan Anas adalah keberhasilannya meruntuhkan hegemoni elite partai politik dan akan mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin muda di partai lain.

6. Serangan hama wereng cokelat di Klaten menjadi perhatian pemerintah pusat. Di pusat juga banyak wereng cokelat. (SP, 25 Mei 2010) Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa serangan hama wereng cokelat yang mengganas di Kabupaten Klaten dan di wilayah tetangga menjadi perhatian pemerintah pusat. Implikatur sentilan di atas menyatakan bahwa bukan hanya di desa saja yang terdapat wereng cokelat.

Wereng di sini sebagai istilah sindiran kepada pihak-pihak yang berada di pemerintah pusat. Dalam kamus KBBI wereng adalah binatang kecil yang sering merusak tanaman padi dan merugikan para petani. Kaitannya dengan implikatur di atas yang menyatakan di pusat juga banyak wereng coklat dalam tanda kutip adalah munculnya anggapan tentang kasus korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang sering merugikan rakyat. Praanggapan Serangan hama wereng cokelat yang mengganas di Kabupaten Klaten dan di wilayah tetangga menjadi perhatian pemerintah pusat. Implikatur 1) Wereng di sini sebagai istilah sindiran kepada pihak-pihak yang berada di pemerintah pusat. 2) Di pusat juga banyak wereng coklat dalam tanda kutip adalah munculnya anggapan tentang kasus korupsi. Inferensi Wereng cokelat adalah binatang kecil yang sering merusak tanaman padi dan merugikan para petani di desa. Di pusat juga banyak wereng coklat dalam tanda kutip adalah munculnya anggapan tentang kasus korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang sering merugikan rakyat. 7. Gubernur Jateng Bibit Waluyo meminta kepada 26 Bupati agar mengoptimalkan tanaman tebu. Tebu sekarang belum tentu manis lho. (SP, 27 Mei 2010) Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa Gubernur Jateng Bibit Waluyo meminta kepada 26 Bupati agar mendayagunakan tanaman tebu secara optimal. Imlikatur pada wacana di atas yang dibuat oleh redaktur Nuwun Sewu seperti menyindir gubernur yang meminta untuk mengoptimalkan tanaman tebu di kabupaten masing-masing. Seperti pada kalimat tebu sekarang belum tentu manis lho. Tebu disini untuk menyebutkan Bibit Waluyo supaya jangan hanya meminta bupati saja untuk mengoptimalkan tanaman tebu akan tetapi sebagai Gubernur juga supaya mendampingi, mengawal, dan memfasilitasi para petani tebu dalam mengoptimalkan kinerja tim teknis akselerasi peningkatan produksi tebu kabupaten. Praanggapan Gubernur Jateng Bibit Waluyo meminta kepada 26 Bupati agar mendayagunakan tanaman tebu secara optimal. Implikatur 1) Gubernur harus mendampingi para bupati dalam mengoptimalkan tanaman tebu. Inferensi Gubernur seharusnya jangan hanya meminta bupati saja untuk mengoptimalkan tanaman tebu akan tetapi sebagai Gubernur juga supaya mengoptimalkan kinerja tim teknis akselerasi peningkatan produksi tebu kabupaten dalam mendampingi, mengawal, dan memfasilitasi para petani tebu.

8. Ingin membokar kasus suap di tubuh Polri, Susno Duadji malah jadi tersangka korupsi. Buaya kok mau melawan Godzilla. (SP, 27 Mei 2010) Situasi dalam wacana di atas menyatakan bahwa Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. Susno Duadji,

S.H., M.Sc yang mempunyai harapan ingin membokar kasus suap di tubuh Polri ternyata malah menjadi tersangka korupsi. Implikatur sindiran pada wacana diatas diungkapkan pada munculnya kalimat buaya kok mau melawan godzila maksud dari kalimat tersebut menyatakan bahwa Susno seorang diri yang menginginkan membongkar kasus suap di tubuh Polri yang begitu banyak. Akhirnya malah Susno sendiri yang menjadi tersangka korupsi. Selain itu juga sikap Susno yang tidak bertanggung jawab atas apa yang ingin dilakukannya seperti ingin membokar kasus suap di tubuh Polri tapi malah Susno yang menjadi tersangka korupsi. Praanggapan Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H., M.Sc yang mempunyai harapan ingin membokar kasus suap di tubuh Polri ternyata malah menjadi tersangka korupsi. Implikatur 1) Susno tidak konsekuen dengan tindakannya yang ingin membongkar kasus suap di Polri. 2) Keberanian Susno yang ingin membokar kasus suap di tubuh Polri malah menjadi musibah pada Susno yang menjadi tersangka korupsi. Inferensi Sikap Susno yang tidak bertanggung jawab atas apa yang ingin dilakukannya seperti ingin membokar kasus suap di tubuh Polri tapi malah Susno yang menjadi tersangka korupsi.

BAB IV PENUTUP KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa implikatur dalam kajian Pragmatik merupakan suatu hal yang sangat penting karena pada kehidupan sehari-hari kita sering menemukan fenomena kebahasan yang mengandung implikatur. Wacana Pojok dalam hal ini Nuwun Sewu menggunakan implikatur sebagai sarana untuk menyindir, menanggapi, mengkritik, memberi simpati dan lain-lain kepada pihak-pihak tertentu dengan tujuan agar pihakpihak yang menjadi objek implikatur mengerti dan merefleksikan apa yang telah dilakukannya. Nuwun Sewu memakai implikatur dengan aplikasi konteks sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pemakaian implikatur dalam wacana ini juga dapat menjadi sebuah dasar jika sindiran, kritikan, bahkan makian tidak selalu disampaikan secara langsung dan transparan.

DAFTAR PUSTAKA http://edisicetak.solopos.com/zindex_menu.asp?kodehalaman=206&id=70183. http://lisadypragmatik.blogspot.com/2007/07/pragmatik-oleh-sidon.html. http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php. http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=164:pbin4216-wacana-bahasa-indonesia&catid=30:fkip&Itemid=75. Louise, Cummings. 2007. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahadi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Diposkan oleh LEARNING TOGETHER di 07:43 Reaksi:

2 komentar:

hampahatiku2009 mengatakan... semoga sukses ya nduk,,,:D:D 4 Mei 2011 18:58 LEARNING TOGETHER mengatakan... Amin,,,doanya ya den :D:D 20 Juli 2011 04:39 Poskan Komentar Posting Lebih Baru Beranda Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Blog Archive

2010 (7) o Desember (2) SOSIOKULTURAL NOVEL DADAISME KARYA DEWI SARTIKA ... Salah satu kebudayaan di Serang o Juni (5) Kajian Film Anak Indonesia Denias dan Film Anak ... Analisis Cerpen Anak Pelajaran Berharga dari Retno...

Mama Ica Minta Maaf ! ! ! sastra perbandingan IMPLIKATUR, PRAANGGAPAN DAN INFERENSI DALAM KOLO...

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Blog Archive

2010 (7) o Desember (2) SOSIOKULTURAL NOVEL DADAISME KARYA DEWI SARTIKA ... Salah satu kebudayaan di Serang o Juni (5) Kajian Film Anak Indonesia Denias dan Film Anak ... Analisis Cerpen Anak Pelajaran Berharga dari Retno... Mama Ica Minta Maaf ! ! ! sastra perbandingan IMPLIKATUR, PRAANGGAPAN DAN INFERENSI DALAM KOLO...

About Me

LEARNING TOGETHER Mahasiswa Pendidikan bahasa dan sastra indonesia di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta Lihat profil lengkapku Cerdas Berbahasa Feb 17

PRAANGGAPAN DAN IMPLIKATUR WACANA DIALOG DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Oleh Arono
Abstract: Not all of presupposition and implicatur have relation each other. Research problems that were discussed in this research were teachers presupposition and students implicatur. The aim of this research was to know teachers presupposition and students implicatur. This research was descriptive qualitative by using content analysis. The result of this research showed that there were cooperation without unsure answer (quantity contexts), cooperation using appropriate answer (quality), cooperation dends on questioner interpretation (relation), cooperation because of habit (manner). So, presupposition and implicatur had based on appropresteness, mutual knowledge, and cooperative principle. Kata kunci: praanggapan, implikatur, wacana dialog, pembelajaran bahasa PENDAHULUAN Interaksi pembelajaran bahasa Indonesia menciptakan suatu tindak turur antara siswa dengan guru atau sebaliknya. Tindak tutur tersebut perlu dicermati agar tujuan dan ketercapaian pembelajaran dapat diukur atau dilaksanakan dengan baik. Interaksi yang baik ketika tindak tutur antara penutur dan petutur dapat saling memahami, namun pada kenyataannya interaksi tersebut masih didominasi oleh guru bahkan belum bisa dipahami dengan baik oleh mitra tuturnya. Guru lebih dominan yang berbicara dalam pembelajaran, sedangkan siswa jarang diberikesempatan untuk mengemukakan pendapatnya apalagi bisa berinteraksi dengan baik. Kondisi demikian akan berpengaruh terhadap tindak tutur yang mereka lakukan serta akan tercermin dalam kemampuan memahami bahasa lisan. Selaian itu, dalam setiap tindak tutur yang mereka lakukan sangat tergantung dengan situasi lisan saat itu serta yang tidak kalah pentingnya berdasarkan kompetensi dasar yang telah guru rancang dalam setiap pembelajaran. Guru merupakan cermin bagi siswa dalam berbahasa. Baik buruknya suatu ujaran guru disadari atau tidak akan menjadikan pembelajaran bagi anak. Hal tersebut sangat terlihat ketika guru mengajukan pertanyaan kepada anak atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu. Ujaran yang demikian akan menciptakan reaksi yang beragam bagi anak, seperti anak akan malas belajar, tidak berani bertanya, tidak mau melakukan perintah gurunya, bahkan setiap pembelajaran anak tidak mau masuk kelas. Atau sebaliknya anak akan lebih bergairah, semangat, aktif, kreatif, bahkan berprestasi. Hal tersebut merupakan salah satu reaksi dari tuturan yang dilakukan oleh guru apalagi dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa yang kurang menyenangkan bagi kalangan siswa saat ini salah satu permasalahannya, yaitu kemasan bahasa yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia kurang menarik. Misalnya kehalusan bahasa yang digunakan, kesantunan dalam bertutur sapa, sikap dan keramahtamahan guru, serta wawasan kebahasaan dan sastra guru dalam penerapannya masih belum terkuasai dengan baik. Padahal bahasa sebagai cermin bangsa. Kalau gurunya sebagai pemakai bahasa sekaligus pengembang dan pembina bahasa Indonesia kurang

baik maka secara otomatis akan sulit menerapkan pemakaian bahasa Indonesia dengan baik pula. Bahasa bukan saja merupakan property yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antarpersona komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, maka tidak pernah bersifat absolute; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tandatanda yang yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu, tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaaannya selalu dibayangi oleh budaya (Yasin, 2002). Oleh karena itu, analsis wacana merupakan upaya mengkaji rekaman kebahasaan secara utuh dalam peristiwa komunikasi sehingga mampu mengungkapkan kajian wacana tulis dan wacana lisan. Brown dan Yule (1996: 1-4) membedakan wacana berdasarkan dua kriteria. Pertama adalah berdasarkan fungsi bahasa. Berdasarkan fungsi itu wacana dibedakan menjadi dua kategori, yakni wacana transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional adalah wacana yang digunakan untuk mengekspresikan isi atau informasi yang ditujukan kepada pendengar, sedangkan wacana interaksional digunakan untuk menciptakan hubungan sosial dan hubungan personal, seperti wacana yang terdapat dalam dialog dan polilog. Dalam hal ini initeraksi dalam pembelajaran de kelas antara siswa dan guru, guru dengan siswa atau anatara siswa dengan siswa. Hal ini sesuai dengan namanya, wacana interaksional lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat interaksi. Pada dasarnya analisis wacana ingin menganalisis atau menginterpretasikan pesan dimaksud pembicara atau penulis dengan cara merekonstruksi teks sebagai produk ujaran atau tulisan sehingga diketahui segala konteks yang mendukung wacana pada saat wacana itu dalam proses dihasilkan melingkupi pembicara atau penulis akan dihadirkan kembali (direkonstruksi) dan dijadikan alat untuk menginterpretasi. Hal tersebut dapat menggunakan prinsip lokalitas dan analogi. Jika penganalisis melakukan analisis terhadap wacana lisan atau tulisan, analisis itu dapat dilakukan pada tingkat tataran, yaitu (1) tataran struktural gramatikal kalimat, (2) tataran makna, dan (3) tataran organisasi ujaran. Ketiga tataran ini menuntun penganalisis untuk bisa membedakan pola gramatikal, pola kalimat semantis, dan pola kalimat komunikatif. Praanggapan dan implikatur dalam wacana dialog seperti yang akan dibahas dalam tulisan ini bisa dikatakan sebagai konstruksi pada kalimat komunikatif, yang bisa diorientasikan pada istilah pragmatic function termasuk analisis fungsi pragmatik. Van Dijk (dalam Suparno, 1991: 19) manyatakan bahwa informasi pragmatis terdiri atas tiga komponen, yaitu (1) informasi lama yang berhubungan dengan dunia, yang juga informasi umum (general information), (2) informasi situasional (situational information), yaitu infomasi diturunkan dari pemahaman atau pengalaman partisipan dalam situasi tempat terjadinya interaksi, dan (3) informasi kontekstual (contextual information) yaitu informasi yang diturunkan dari ekspresi yang telah diarahkan peristiwa komunikasi. Sebagai wacana lisan interaksional dalam pembelajaran di kelas dianalisis merupakan bahan yang menarik bagi penganalisis wacana. Hal ini terjadi karena di samping memuat hubungan antara pernyataan, juga dialog sangat kaya dengan unsur-unsur paralinguistik yang akan membantu pendengar atau penganalisis dalam menginterpretasi, memberi makna, dan menemukan hubungan antarpernyataan tersebut. Analisis wacana menganalisis penggunaan bahasa dalam konteks pembicara atau penulis. Dengan demikian analisis wacana akan mendeskripsikan apa yang dimaksudkan oleh pembicara dan pendengar melalui wacana tersebut. Dalam kaitan dengan ini yang perlu diperhatikan adalah

referensi (reference) dan infrensi (inference), praanggapan (presuppotion) dan implikatur (implicature), konteks situasi (the contex of situation) dan ko-teks (co-text), tematisasi dan penahapan, konstruksi tema-rema, pronomina serta interpretasi lokal (local interpretation). Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, dalam kajian analisis wacana secara langsung ataupun tidak semua aspek tersebut akan mempengaruhi dan saling keterkaitan. Oleh karena itu, untuk melihat keterkaitan tindak tutur antara guru dengan siswa atau sebaliknya maka dalam kesempatan ini penulis hanya memfokuskan pada kajian praanggapan dan implikatur dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada kompetensi pembelajaran sastra, baik puisi maupun prosa dalam bentuk transkripsi. Tuturan yang telah transkripsi itulah penulis menganalisis tuturan tersebut berdasarkan praanggapan dan implikatur guru dengan siswa atau sebaliknya dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Sesuai dengan pemikiran di atas, maka tulisan bertujuan untuk mendeskripsikan keterakitan antara praanggapan guru dengan implikatur siswa dan menemukan hubungan antara pernyataanpernyataan guru dan siswa pada pembelajaran bahasa Indonesia khususnya pembelajaran prosa dan puisi. Kemudian dilanjutkan dengan menginterpretasi, merekontruksi, dan memberi makna pada wacana tersebut. Analisis wacana adalah kajian tentang penggunaan oleh komunitas bahasa yang melibatkan baik kajian tentang bentuk maupun fungsi bahasa (Yasin, 2002). Analisis wacana berkaitan juga dengan masyarakat dan masalah komunikasi setiap hari yang bersifat interaktif atau dialogis (M. Stubbs, 1983; dalam Yasin, 2002). Selanjutnya ia membagi wacana secara garis besar yaitu ada wacana lisan dan ada wacana tulis. Wacara lisan berbentuk komunikasi verbal antarpersona, sedangkan wacana tulis menampilkan dalam bentuk teks. Wacana harus dibedakan dari teks. Wacana menekankan pada proses, sedangkan teks pada produk kebahasaan. Sebuah unit percakapan dapat dilihat dari teks apabila menganalisis melihat hubungan kebahasaan antartuturan. Sebaliknya, percakapan dilihat dari wacana apabila dikaji adalah proses komunikasi sehingga menghasilkan interpretasi. Adapun wacana lisan tersebut yang akan dibahas di sini adalah dalam bentuk dialog Liputan Enam Petang SCTV sebagai suatu ucapan, percakapan, dan kuliah yang berbentuk ujaran lisan dalam proses komunikasi. Praanggapan adalah praanggapan pragmatis, yaitu yang ditentukan batas-batasnya berdasarkan anggapan berbicara mengenai apa yang kemungkinan akan diterima oleh pendengar tanpa tantangan (Givon, 1979; dalm Brown dan Yule, 1996: 28-29). Senada dengan itu praanggapan apa yang dikemukakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan (Stalnaker, 1978; dalam Brown dan Yule, 1996: 29). Dalam hal ini praanggapan kedua belah pihak, baik itu dari guru ataupun siswa atau sebaliknya memiliki dasar pemahaman yang sama sehingga komunikasi dapat berlangsung sehingga diperlukan juga implikatur di dalam suatu percakapan/dialog penutur dengan petutur. Dalam artian bahwa praanggapan adalah sebagai suatu hal yang dianggap penutur sebagai dasar berpijak untuk menuturkan suatu kalimat dalam ujaran. Hubungan antara pernyataan dalam analisis wacana menggunakan dua konsep dasar, yaitu kewajaran (apropresteness atau felicity) dan pengetahuan bersama (mutal knowledge atau commen ground atau join assumtion) (Lawrensen, 1983 dalam Lubis, 1991: 61). Oleh sebab itu, tuturan guru hendaklah dapat diketahui oleh siswa supaya siswa dapat memahami tuturan guru. Istilah implikatur dipakai oleh Grice (1975) untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disamakan atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur (Brown dan Yule, 1996: 31). Artinya implikatur adalah informasi implisit yang dapat ditentukan berdasarkan suatu tuturan. Dalam implikatur hanya sebagian arti literal yang turut

mendukung artinya sebenarnya dari sebuah kalimat, selebihnya berasal dari fakta-fakta di sekeliling kita dalam hal ini analogi lokal sangat berperan penting, situasi, dan kondisinya. Secara garis besar implikatur dikelompokan menjadi dua hal yaitu implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Implikatur konvensional, diartikan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai. Sedangkan implikatur percakapan yang dituturkan dari asas umum percakapan ditambah sejumlah petuah yang biasanya dipatuhi oleh penutur. Asas umum ini disebut Asas Kerja Sama (cooperative principle) baik itu konteks kuanatitas (kerja sama dalam bentuk jawaban yang belum pasti), kualitas (kerja sama dalam bentuk sesuai), hubungan atau relasi (kerja sama dalam bentuk jawaban yang belum sesungguhnya, bergantung pada interpretasi penanya), maupun cara (kerja sama dalam bentuk yang tidak langsung menjawab pertanyaan karena kebiasaan) (Brown dan Yule, 1996: 30). Dalam banyak hal, implikatur itu harus tidak dinyatakan karena sudah menjadi pengetahuan umum. Menurut Levenson (dalam Lubis, 1991: 70) ada empat macam faedah konsep implikatur itu, yaitu (1) dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tak terjangkau oleh teori linguistik, (2) dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah yang dari yang dimaksud si pamakai bahasa, (3) dapat memberikan pemerian sementik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama, dan (4) dapat memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora). Hal tersebut telah dibuktikan juga oleh H.P. Grice tahun 1967 yang menyatakan bahwa implikatur percakapan untuk menanggulangi persoalan makna bahasa yang tak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Jadi konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara apa yang diucapkan dengan apa yang diimplikasikan (Nababan, 1989: 28). METODOLOGI Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan content analysis dengan tidak mengabaikan konteks dalam dialog. Secara deskriptif penelitian ini dilakukan semata-mata berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara emperis dilakukan oleh penuturnya, sedangkan secara kualitatif dengan pendekatan content analysis bertujuan mengungkapkan isi dan pesan-pesan/maksud yang terkandung pada setiap ujaran berdasarkan hubungan kerja samanya pada setiap ujaran yangdikemukakan baik oleh guru maupun siswa. Hal tersebut untuk memberi makna pada pesan yang terkandung di dalamnya terutama praanggapan dan implikatur setiap ujaran dengan menggambarkan gejala tindak ujar yang terjadi (Mardalis, 1995:26 dan Muhadjir, 1996:49). Data dari tulisan ini adalah turan siswa dengan guru dari dua belas kegiatan pembelajaran pada saat pembelajaran bahasa Indonesia telah ditranskripsikan oleh Suryanti (2009), Maria (2000), dan Subekti (2006). Kemudian data dianalisis dengan teknik meyeleksi tindak tutur guru dengan siswa tersebut untuk layak dianalisis berdasarkan transkipsi rekaman yang sudah ada, menginventarisasikan dan mengklasifikasikan, menabuliasikan, dan merumuskan kesimpulan (Irawan, 1999:85). PEMBAHASAN Tindak tutur pembelajaran dianalisis berdasarkan kompetensi dasar yang telah ditranskripsikan, baik pada pada jenjang SD, SMP, ataupun SMA. Adapun kompetensi yang dikaji, yaitu mendengarkan puisi dan cerita rakyat, menulis berbagai karya sastra, mendiskusikan masalah, membaca puisi, memahami pantun, menentukan kalimat utama, membaca puisi, menemukan pokok isi bacaan, menggunakan huruf kapital, membandingkan isi teks, menggunakan kata

ulang, dan membaca cerita rakyat. Berdasarkan kompetensi dasar inilah akan dianalisis tidak tutur yang guru dan siswa lakuakan karena suatu tindak tutur yang dihasilkan sangat tergantung kepada kompetensi atau tujuan pembelajaran. Untuk memudahkan dalam penganalisisan baik itu menginterpretasikan, memberikan makna, melihat keterkaitan antar ujaran praanggapan dan implikatur dalam dialog yang dikemukakan guru dengan siswa, penulis membagi ke dalam tiga bagian besar kelompok isi wacana lisan antara lain bagian pembuka, isi, dan penutup. Pembagian ini sesuai dengan kegiatan pembelajaran di kelas. 1. Pembuka Membuka pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan suasana siap mental dan menimbulkan perhatian siswa agar terpusat pada hal-hal yang akan dipelajari (Saadie, 2007:3.46). Kegiatan membuka pelajaran tersebut tidak hanya dilakukan pada awal jam pelajaran, melainkan juga pada awal setiap penggal kegiatan dari inti kegiatan yang diberikan selama jam pelajaran itu berlangsung. Untuk menciptakan suasana siap mental siswa terhadap hal-hal yang dipelajari, guru dapat melakukan usaha-usaha, seperti memberikan acuan dan apersepsi (membuat kaitan antara pelajaran yang telah diberikan dengan bahan baru yang akan dipelajari). Apabila guru sudah melaksanakan membuka pelajaran dengan baik, siswa akan siap secara mental karena guru telah memberikan atau menjelaskan tujuan pembelajaran, masalah-masalah pokok yang harus diperhatikan, langkah-langkah kegiatan belajar yang akan dilakukan, dan batas-batas tugas yang harus dikerjakan untuk mengusasi pelajaran tersebut. Selian itu, untuk menumbukan perhatian dan motivasi siswa terhadap hal-hal yang dipelajari, guru dapat melakukan usaha-usaha, seperti menimbulkan rasa ingin tahu, menunjukkan sikap hangat dan antusias, memberikan variasi mengajar (termasuk di dalamnya variasi gaya mengajar, gerak dan mimik, variasi media dan alat pembelajaran, serta variasi pola interaksi). Siswa yang telah termotivasi dan penuh perhatian, akan melaksanakan tugas dengan penuh gairah, semangat yang tinggi, serta cepat bereaksi terhadap pertanyaan-pertanyaan guru. Adapun komponen-komponen membuka pelajaran yang harus dikuasai guru, yaitu menarik perhatian siswa, menimbulkan motivasi, memberikan acuan, dan membuat kaitan (Saadie, 2007:3.49 s.d. 3.53). Menarik perhatian siswa dapat dilakukan dengan gaya mengajar, seperti gerak atau posisi guru, kontak pandang atau suara guru, dan penggunaan pause atau kementar yang jelas; penggunaan berbagai media, seperti gambar disertai model atau benda yang sebenarnya; perubahan pola interaksi guru, seperti guru bertanya siswa menjawab atau sebaliknya atau siswa diskusi dalam kelompok kecil. Menimbulkan motivasi dapat dilakukan dengan kehangatan dan penerimaan guru, seperti semangat, antusias, dan bersahabat; menimbulkan rasa ingin tahu, seperti bercerita dalam bentuk teka-teki; mengemukakan konsep bertentangan, seperti mengemukakan suatu masalah; memperhatikan minat siswa, seperti menyesuaikan pokok pelajaran dengan tingkat perkembangan;karakteristik anak. Memberikan acuan dapat dilakukan dengan komentar pada awal pelajaran, seperti menghubungkan sedikit materi yang lalu; menentapkan tujuan untuk tugas tertentu, seperti memberikan gambaran ruang lingkup materi; menyarankan langkah-langkah yang akan dilakukan, seperti penjelasan cara kerja sebelum praktik; mengajukan pertanyaan, seperti mennanyakan seusatu apa yang dilihat atau diamati. Membuat kaitan dapat dilakukan dengan menghubungkan aspek yang relevan, seperti meninjau kembali; membandingkan pengetahuan baru dengan yang sudah; menyajikan konsep. Berbagai variasi guru dalam memulai pembelajaran. Hal tersebut kadang kala disesuaikan

dengan aturan yang berlaku di sekolah, seperti pada pembuka pelajaran berikut ini. Saat guru measuki kelas, semua siswa sudah dalam keadaan berdiri untuk menghormati dan memberi salam kepada guru atas instruksi dari ketua kelas. Kemudian guru memriksa masing-masing siswa mengenai kerapian dan kebersihan pakaian dan kelas. Setelah guru sudah memeriksa satu persatu, guru akhirnya berpraanggapan dengan tuturan G: Ketua kelas siapkan! Tanpa menjawab ya atau tidak atau baik, Bu, ketua kelas langsung mengomandoi teman-teman dengan implikaturnya S: Beri salam kepada Ibu guru. Itu mengimplikasikan bahwa kondisi kelas sudah baik dan siap untuk menerima materi pembelajaran oleh guru sehingga siswa yang lain mengucapkan salam dan guru pun menjawab salam. Kondisi ini mengimplikasikan bahwa dalam tuturan antara siswa dan guru dalam prinsip kerja sama mengacu pada maksim relevansi. Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Seperti yang dilakukan oleh guru dan siswa tersebut. Hal itu juga terlihat pada tuturan berikut. G: Ketua kelas sepidolnya mana? Saat itu guru mengecek kesiapan siswa sebelum memulai pelajaran, tetapi sudah mencari-cari sepidol di laci meja dan di tempat kotak sepidol, guru tidak menemukan sepidol sehingga guru bertanya kepada ketua kelas. Ketua kelas menjawab S: Bu Meri belum datang Bu. Sebelum pembelajaran di mulai sebenarnya ketua kelas sudah menyiapkan semua perlengkapan kelas, tetapi sepidol masih belum bisa didapatkan karena ruang TU masih tutup atau dalam artian staf/Bu Meri sampai pembelajaran dimulai belum juga datang. Implikatur siswa walaupun sepidolnya diambil maka akan percuma atau tidak bisa didapatkan. Guru pun memahami hal itu sehingga guru mengeluarkan sepidol yang ada di dalam tasnya. Saat guru membuka pelajaran yang tidak kalah pentingnya, yaitu memberikan acuan dan apersepsi (membuat kaitan antara pelajaran yang telah diberikan dengan bahan baru yang akan dipelajari). Dalam konteks ini sebenarnya prinsip kerja sama pada maksim relevansi jarang terjadi, tetapi hal tersebut masih ada tuturan siswa yang implikaturnya mengacu pada maksim relevansi, seperti pada tuturan guru dengan siswa berikut. G: Pada pelajaran yang lalu kita telah belajar tentang pantun. Anak-anak sebagian ada yang sudah bisa membuat pantun? Sebelum kita belajar anak-anak ini ada pantun. Coba Adi bacakan di depan kelas! Guru menyuruh Adi membacakan di depan kelas karena praanggapan guru bahwa Adi sangat mahir dalam membaca pantun sehingga guru menyuruh Adi untuk memberikan model/contoh yang baik bagi temantemannya. S: Saya masih batuk, Bu. Implikatur Adi sebenarnya ingin membacakan pantun itu, tetapi karena batuk sehingga suaranya agak terganggu. Membaca pantun bagi Adi memerlukan suara yang baik agar enak didengar oleh teman-teman dan gurunya. Guru sangat memahami implikaturnya Adi. Apalagi ketika Adi menjawab pertannyaan darinya suara Adi memang agak serak. Prinsip kerja sama dalam praanggapan dan implikatur guru dan siswa lebih dominan terjadi pada maksim kualitas. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya dengan bukti-bukti yang memadai. Hal ini terjadai pada tuturan saat guru dan siswa melakukan apersepsi dalam pembelajarannya, seperti pada tuturan berikut ini. G: Kalau kata teman Anda, narasi itu cerita. Cerita yang bagaimana? S: Cerita yang memiliki tema, alur, tokoh, amanat, setting. G: Cerita ada setting, ada tokoh, ada amanat, ada apa lagi? Ditambah lagi apa? S: Alur G: Alur itu menceritakan berdasarkan apa? S: Berdasarkan urutan waktu.

Guru mengajukan pertannyaan berturut-turut kepada siswanya itu praanggapan guru bahwa guru ingin menggali informasi pemahaman siswa terhadap materi yang sudah dipelajari agar dapat menghubungkan materi yang akan dipelajari. Implikasinya bahwa siswa sangat memahami pelajaran yang telah dipelajari sehingga siswa menjawab pertanyaan guru dengan pemahaman yang sebenarnya. Setelah mengajukan pertanyaan, guru memngajak siswa untuk melanjutkan materi pelajaran yang masih ada hubungan dengan pelajaran sebelumnya, yaitu membaca wacana eksposisi. Guru dapat juga melakukan suatu tuturan yang dapat menarik perhatian siswa. Tuturan ini lebih mengacu kepada prinsip kerja sama maksim cara. Maksim cara di sini dimaksudkan guru menuturkan praanggapan berikut dikarenakan suatu kebiasaan. Kebiasaan ini merupakan retoris dalam berbahasa. Hal tersebut mengmpliasikan bahwa keinginan guru agar siswa tidak lagi ribut. Walaupun jawaban siswa sebenarnya hanya sekadar penguatan semata karena tanpa ditanyapun sebenarnya guru sudah tahu jawaban dari siswa tersebut, seperti pada tuturan berikut ini. G: Mau belajar enggak? S: Mau..(menjawab serentak) G: Kalau mau belajar, jangan ribut. Bagaimana mau belajar kalau ribut terus itu(membuka buku paket dan mencari materi pelajaran yang akan diajarkan) 2. Isi Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Dalam kegiatan eksplorasi, guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber; guru menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar lain; guru memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; guru melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan guru memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan. Guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan atau sedang dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber. Hal itu terlihat ketika guru menanyakan tentang gravitasi bumi yang berhubungan dengan teks bacaan. Tindak tutur ini lebih menerapkan prinsip kerja sama maksim kualitas. Kesesuaian jawaban tersebut terlihat ketika siswa menjawab dan guru membenarkan dari jawabannya dalam bentuk pengulangan di dalam pertanyaannya, seperti pada penggalan tuturan berikut ini G: Ya, ada yang pernah baca gravitasi bumi? Ada yang tahu? Apa itu gravitasi bumi, Alita? S: Gaya tarik. G: Siapa bisa mencontohkan terjadinya gaya tarik bumi. Eko coba contohkan! S: Suatu benda jatuh. Guru menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar lain. ; .. Guru memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru,

lingkungan, dan sumber belajar lainnya. Selain itu guru juga melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran, seperti pada tuturan berikut. G: Kalau puisi karangan terikat, kalau prosa karangan bebas. Terikat bagaiman bingung ibu? S: Maksudnya kalau puisi itu ada aturan-aturannya misalnya bait. G: Ada baitnya. S: Terus maknanya ada tersirat. G: Kata-katanya bermakna konotasi, kalau prosa maknanya denotasi. Berdasarkan tuturan di atas dapat diimplikasikan bahwa guru dengan aktifnya berusaha melibatkan siswa supaya terjadi interaksi secara aktif. Hal itu terlihat ketika praanggapan guru seolah-olah bingung yang menginginkan pembenaran dan jawaban dari siswa agar yang diinginkan guru dalam pemahaman siswa menjadi benar adanya. Interaksi tuturan tersebut menggunakan prinsip kerjasama kamsim kualitas. Kesesaian jawaban menjadikan tuturan demi tuturan berjalan dengan baik. Dalam kegiatan elaborasi, guru membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna; guru memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; guru memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; guru memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif can kolaboratif; guru memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; guru memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan balk lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; guru memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan r iasi; kerja individual maupun kelompok; guru memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan; guru memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik. Guru membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna, seperti pada tuturan dialog berikut. Walaupun teks bacaan sudah dibacakan oleh siswa yang lain, guru masih mencoba membiasakan agar siswa yang lain dapat membacanya kembali. Secara lisan, guru menginginkan apa yang dibaca bisa dipahami dengan baik dan membacanya juga dengan suar yang nyaring. Hal itu tidak saja paham secara individu, tapi paham juga bagi teman yang lain selain melatih artikulasi anak dalam membaca nyaring. G: Tadi kaliansudah membaca semua, tapi ada yang belum mendengar karena suaranya kurang keras atau kurang lantang. Sekarang kita ulangi sekali lagi. Bapak mulai dari kelompok empat silahkan! S: (siswa membaca bergantian hingga selesai) G: Jadi, dari bacaan itu tentu kamu dapat mengetahui apa tujuan daripada kisah si Badi tadi. Tentu setelah kamu baca berulang-ulang kamu dapat memahami hal-hal tersirat dalam hati kita tentang si Bandi tadi. Mengapa si Bandi tadi menurut kamu? (memandang seluruh siswa) Apa anak pintar, apa anak durhaka? S: Anak durhaka (menjawab serentak) Tuturan di atas berdasarkan prinsip kerja sama menggunakan maksim kualitas. Artinya adanya kesesuaian apa yang diinginkan dengan penutur dengan petutur. Keseuaian tersebut terlihat dari jawaban siswa secara serentak. Selain itu, apa yang diinginkan oleh penutur dapat dipahami dengan baik oleh siswa. Hal itu juga terlihat bahwa guru memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas dan diskusi dalam kelompok untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis. Guru memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak

tanpa rasa takut. Di sini siswa memberikan pemecahan suatu masalah dalam pendapatnya. Guru menyiasati siswanya agar rasa takut itu dapat diatasi oleh mereka maka guru membentuk diskusi dalam bentuk debat sehingga apa yang dikemukakan oleh siswa dapat membangun suatu opini yang alami dari teman-temannya. Dalam kelompok itu siswa bekerja sama dalam membahas dan menyelesaikan suatu permasalahan sehingga apa yang diputuskan/dihasilkan menjadi suatu kesepakatan bersama. Itu artinya bahwa guru juga memfasilitasi siswa dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif. Jika dilihat berdasarkan dialog berikut, tuturan berikut ini lebih mengacuk pada prinsip kerja sama dengan maksim kualitas karena jawaban dari siswa dalam memecahkan suatu masalah sudah didukung dengan bukti-bukti yang kuat. G: Ya, kita anggap di sini adalah sebuah kerajaan. Di sini ada anak dalangnya. Silahkan! Silahkan, Nak! Mau pro pada Mohammad Yofanza atau pro kepada kepala suku. S: Kalau masalah kebersihan tidak mungkin bisa menimbulkan penyakit. Lain seperti malaria, demam berdarah, penderita TBC. Kalau penyakit flu burung itukan berasal dari hewan. Hewan itukan bernafas dengan mengeluarkan virus. Virus yang mereka keluarkan kepada orang lain sehingga orang tersebut terkena virus tersebut. Jadinya saya tidak setuju dengan pendapat Mohammad Yofanza yang mengatakan baahwa virus flu burung itu berasal dari kebersihan karena virus flu burung itu menyebar melalui udara, Bu. Guru memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar. Bekompetensi secara sehat di sini bahwa guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menampilkan kemampuannya baik secara lisan maupun tulis. Secara lisan misalnya siswa tampil di depan kelas untuk membacakan puisi. Siswa yang lain diberi kesempatan untuk memberikan penilaian pada teman yang tampil. Sebaliknya yang menilai tadi akan tampil juga untuk dinilai. Selian itu, dapat dikatakan bahwa guru telah memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; guru memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan kreasi; kerja individual maupun kelompok. Itu artinya, penialaian dari mereka untuk mereka akan memberikan perbaikan pembelajaran yang baik sehingga siswa bekompetensi dengan temannya sendiri secara sehat dan wajar, seperti pada tuturan berikut ini. G: Diana, Erin mana? S: Saya Bu. G: Ya, Erin. S: (siswa membacakan puisi di depan kelas) S: (menyimak dengan saksama) S: (selesai membacakan puisinya) S: (bertepuk tangan) S: Terlalu monoton. G: Suaranya keras lagi, Van. S: Terlalu monoton, Mimik wajahnya seperti itu-itu terus, Nilainya 7,5. Tuturan di atas implikaturnya bahwa yang diinginkan oleh guru dari siswanya dapat memberikan suatu penampilan puisi yang baik. Tuturan yang dikemukakan oleh guru dalam menanyakan siswanya menunjukkan bahwa gurunya ingin informasi yang jelas dan mendukung shingga apa yang diharapkan memang demikian adanya. Beigitu juga pada komentar terhadap penempilan siswa lainnya dalam membacakan puisi. Jawaban siswa tersebut sangat diharapkan oleh gurunya dapat memberikan data yang kuat terhadap penampilan temannya. Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan itu menggunakan maksim kuantitas.

Guru memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan di sini maksudnya adalah puisi yang telah dibuat oleh siswa kemudian diberikan kesempatan untuk membacakannya di depan kelas. Hal tersebut dapat kita lihat dalam dialog berikut. G: Sekarang kita lihat dulu Vina. Nuri kamu beri penilaian untuk Vina (Vina selesai membaca puisi di depan kelas. Guru dan seluruh siswa bertepuk tangan) G: Nuri berikan komentar. S: EhmVina masih terpaku pada teks. Matanya masih terfokus pada teks. G: Jadi kontak dengan penonton kurang? Ya, terus. S: Cara membacanya terlalu cepat. Jedahnya, Bu. Kesesuaian tuturan dari dialog di atas dapat dilihat ketika praanggapan dari impilkatur siswa diulang kembali oleh guru. Kata ya, terus membuktikan bahwa jawaban yang telah dikemukakan sebelumnya memang demikian adanya. Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan di atas mengacu pada maksim kualitas. Alasan lain selain itu adalah bahasa yang digunakan oleh guru secara lugas sehingga dapat dipahami dengan baik oleh siswa. Guru memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik. Tuturan yang bisa dilakukan guru dalam menumbuhkan rasa percaya diri siswa seperti pada turan berikut ini. G: Ya, bagus. Siapa lagi yang mau mencoba? Jangan takut, siapa yang mau mencoba majulah ke depan ini. Pelangi kan bisa. Kalau Pelangi bisa, kalian harus bisa. S: (Siswa yang lain maju) G: Ya, bagus Rani. Tepuk tangan. Siapa lagi? Tuturan yang dikemukakan guru sangat bijaksana dalam menumbuhkan rasa percaya diri anak Kalau Pelangi bisa, kalian harus bisa. Itu artinya siswa akan lebih tertantang untuk mencoba dan percaya diri pun lebih kuat untuk mencoba. Praanggapan guru dengan kata-kata demikian akan memberikan peluang besar bagi siswa yang lain untuk mencoba. Begitu juga sebaliknya, siswa dalam implikaturnya akan merasa lebih mudah dalam mengerjakan latihan tersebut. Ini terbukti setelah siswa mengerjakan tugasnya baru ada pembenaran dsari guru terhadap apa yang telah dikerjakannya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip kerja sama pada maksim kualitas. Dalam kegiatan konfirmasi, guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, guru memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber, guru memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan, guru memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar: berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar; membantu menyelesaikan masalah; memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi; memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif. Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, seperti pada tuturan berikut. Guru memberikan penguatan secara verbal maupun nonverbal. Hal itu bukan saja dilakukan oleh guru, melainkan siswa yang lain ikut berpartisipasi aktif terhadap keberhasilan teman-temannya. G: Ya, bagus! Tepuk tangan! S: (bertepuk tangan) G: Sekarang siapa lagi yang berani. Coba yang laki-laki. Ayo siapa bisa! Megi bisa?

S: (Megi maju ke depan membacakan pantun) G: Ya, bagus. Tepuk tangan lagi! S: (bertepuk tangan) Penguatan tersebut berdasarkan prinsip kerja sama termasuk maksim kualitas. Walaupun tidak dijawab secara langsung atau lisan melainkan sebgian ada dalam bentuk tepukan dan sebagian lagi dalam bentuk ujaran, penguatan tersebut sudah ada kerja sama dengan baik dalam kesamaan pemahaman antara siswa dengan guru atau antara siswa dengan siswa. Guru memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber. Eksplorasi tersebut berupa kalimat yang digunakan guru lebih kontektual atau ada di lingkungan siswa sendiri. Seperti pada tuturan berikut bahwa guru memberikan konfirmasi kepada siswa terhadap jawaban yang telah mereka kemukakan sendiri. Jawaban dari tuturan siswa memberikan kontribusi yang cukup yang dibutuhkan guru. Kata Satu antaranya ingat! Utuh yang dituturkan oleh guru membuktikan bahwa informasi yang dibutuhkannya sudah cukup sehingga guru melanjutkan ke pertanyaan berikutnya.Hal tersebut terlihat bahawa guru menggali informasi terhadap pertanyaan yang dikemukakan. Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan berikut mengacu pada maksim kuantitas. G: Sekarang coba coba perhatikan. Di ruang kelasku, banyak terdapat jendela-jendela yang terbuka. Jendela-jendela itu kata apa itu? S: Kata ulang (serentak) G: Kata ulang, kata ulang itu ada berapa macam? S: Ada empat. G: Empat? Yakin empat? Empat atau lima? S: Empat (serempak). G: Siapa yang lima? Empat atau tiga? S: Empat (serempak). G: Empat atau lima? S: empat (serempak) G: Kita buktikan sekarang. Sekarang tidak usah saling curiga, saling suara nanti kalian bingung. Kalau utuh bagaimana? S: Tidak berubah (serempak). G: Kalau jendela-jendela di kelasku banyak terbuka. Itu jenis kata ulang apa? S: Utuh (serempak). G: Sekarang yang kedua. Satu antaranya ingat! Utuh. Yang kedua tidak ada yang menulis. Kalau mobil-mobilan? S: Berimbuhan (serempak) Guru memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan. Refleksi di sini diberikan oleh guru dalam mendukung dalam memperkuat argumen siswa. Argumen siswa tersebut dapat meyakinkan guru bahwa yang terjadi memang benar adanya, seperti pada tuturan berikut. G: Ohbegitu. S: Melalui foto mesra itu akan nampak biar orang tahukan. Wah ini pasangan yang setia, mesra, dan serasi. S: Huuuu(sebagian siswa bertepuk tangan) G: O..ya bagus sekali. Silahkan dari kubu yang tidak setuju.

S: Haha..ha(tertawa serempak) G: Ayo lagi yang mana Ki lawan Ki! S: Saya perwakilan dari kubu yang tidak setuju karena kan rata-rata yang undangan yang ada foto mesra itukan, rata-rata kelas elite kan Bu. Jadi, nampak nanti kesenjangan sosial kalau undangan yang bagus ada foto-foto berartikan itu orang-orang kaya, sedangkan yang sederhana itu kurang mampu. Tuturan guru dengan siswa di atas memperlihatkan hubungan kerja sama dengan menggunakan maksim kualitas. Maksim ini memberikan praanggapan dan implikatur adanya kesesuaian antara pertanyaan dengan jawaban. Di sini guru menginginkan siswa menjawab dengan baik dan siswapun menjawabnya sesuai apa yang diinginkan berdasarkan pertanyaan yang diajukan oleh guru. Hak tersebut membuktikan bahwa guru dapat memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar. Selain itu, guru juga berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar; membantu menyelesaikan masalah; memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi; memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif. 3. Penutup Kegiatan menutup pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru untuk mengakhiri kegiatan inti pembelajaran (Saadie, 2007:3.47). Kegiatan menutup pelajaran dimaksudkan untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang apa yang telah dipelajari siswa, serta mengetahui tingkat pencapaian siswa dan tingkat keberhasilan guru dalam proses pembelajaran. Usaha-usaha yang dapat dilakukan guru, antara lain merangkum kembali atau meminta siswa membuat ringkasan dan mengadakan evaluasi tentang materi pelajaran yang baru saja dibahas. Kegiatan menutup pelajaran ini juga dilakukan guru tidak saja pada akhir pelajaran, tetapi juga pada akhir setiap penggal kegiatan dari inti pembelajaran yang diberikan selama jam pelajaran itu. Tuturan kegiatan menutup pelajaran dalam prinsip kerjasama lebih dominan mengacu pada maksim kualitas. Maksim kualitas ini mengimplikasikan bahwa siswa dan guru sudah sangat saling memahami apa yang telah dipelajari sehingga tuturan yang dihasilkan sesuai dengan keadaan sebenarnya, seperti pada tuturan beikut ini. G: Ada lagi Nak selain tempo? S: Ekspresi, Bu. G: Ya, membaca puisi tidak bisa dikatakan berhasil jika kalian tidak bisa mempengaruhi orang yang mendengar. Jangan ragu-ragu menampakkan mimik muka kalian. Kalau sedih, tunjukkan sedih. Kalau gembira, tunjukkan gembira. Kalau meremehkan, tunjukkan dengan meremehkan. Seperti tadi kata Ade, Bu puisi ini saya ciptakan sebagai kritik terhadap wanita. Jadi selamat berkarya dan sampai jumpa. Tuturan dalam bentuk pertanyaan mengimplikasikan bahwa guru menginginkan penguatan dari siswa bahwa siswa telah memahami terhadap materi yang telah dipelajari. Selain itu, guru berpraanggapan hal itu perlu dikuatkan lagi dalam bentuk simpulan. Namun, berdasarkan tuturan yang ditemui dari sembilan kegiatan pembelajaran, guru jarang menyimpulkan dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Kegiatan yang dilakukan lebih kepada penugasan. Kegiatan menutup ini lebih pada inti dari menutup pelajaran, seperti pada tuturan berikut. G: Anak-anak waktu sudah habis. S: Sudah (sebagian) S: Belum, Bu (sebagian)

G: Ya, yang belum selesai lanjutkan di rumah sekarang kumpulkan tugas puisi yang kemarin. G: Siapkan ketua! Berdasarkan prinsip kerja sama pada maksim kualitas memang guru dan siswa sudah melakukan tuturan dengan sebenarnya, tetapi guru masih belum memahami dalam kegiatan pembelajaran. Implikaturnya bahwa guru masih kurang mampu mengajak siswa untuk menerapkan kegiatan pembelajaran menutup yang baik. Menutup tidak sekadar tutup dan salam saja. Padahal, menutup pelajaran dilakukan untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang pokok-pokok materi yang dipelajari dengan cara meninjau kembali dan mengevaluasi (Saadie, 2007:3.53 s.d. 3.54). Meninjau kembali dapat dilakukan dengan cara merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan, sedangkan mengevaluasi dapat dilakukan dengan cara mendemonstrasikan keterampilan, mengaplikasikan ide baru, mengekspresikan ide guru, mengekspresikan ide baru, mengekspresikan pendapat, dan memberikan soal. PENUTUP Berdasarkan pembahasan dan analisis di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tidak semua peranggapan guru dan implikatur siswa memiliki kesesuaian atau dalam arti hanya pada maksim kualitas, melainkan ada juga maksim yang lain yaitu maksim kuantitas, maksim hubungan, dan maksim cara. Ada beberapa gejala konsep pemahaman yang guru dengan siswa perlihatkan ketika peristiwa tutur terjadi antara lain: [a] Ada kesamaan pemahaman secara langsung atau eksplisit yang diperlihatkan guru dan siswa sehingga praanggapan implikatur yang mereka perlihatkan sesuai dalam hal ini menggunakan prinsip kerja sama maksim kualitas. (b) ada kesamaan pemahaman secara tidak langsung atau implisit, tetapi untuk sampai pada pengertian yang maksudkan, guru harus menggali jawaban yang dimaksud siswa dengan memunculkan pertanyaan baru. Kecenderungan hal ini prinsip kerjasama yang digunakan dengan maksim kuantitas, dan cara. (c) tidak ada kesesuaian antara praanggapan dan implikatur dalam arti lain yang ditanya, lain yang dijawab (maksim relevansi atau hubungan). Praanggapan dan implikatur hanyalah salah satu bagian dari kajian analisis wacana. Karena itu, pada kesempatan lain bagi penganalisis wacana agar dapat melakukan peninjauan lebih jauh dan aspek lain dan kompleks atau pada konteks wacana yang berbeda, baik itu mengenai kontruksi tema rema, referensi (Reference), dan infrensi (inference), konteks situasi (the contec optituation) dan ko-teks (co-text), tematisasi dan penahapan, pronomina dalam wacana, serta yang lainnya. Dengan analisis yang lebih mendalam dan beragam diharapkan dapat merepresentasikan isi wacana dalam rangka menemukan makna wacana lisan yang bersangkutan. DAFTAR PUSTAKA Brown, Gillian dan Yuli. 1996. Analisis Wacana. (Terj. I Soetikno). Jakarta: PT Gramedia. Irawan, Prasetya. 1999. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: STIA-LAN Press. Mardalis. 1995. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Maria S., Rumi. 2000. Pelaksanaan Pengajaran Apresaisi Puisi Siswa Kelas 1 SMUN 1 Kuala Lempuing Kotamadya Bengkulu. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib. Muhadjir, Neong. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Nababan.. 1989. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi. Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Saadie, Mamur. dkk. 2007. Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka. Subekti, Susilo. 2006. Pelaksanaan Pengelolaan Kelas dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas X SMAN 2 Kota Bengkulu Tahun Ajaran 2005/2006. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib. Sukarno. 1993. Kontruksi Tema Rema dalam Bahasa Indonesia Lisan tidak Resmi masyarakat Kodya Malang. Jakarta: Depdikbud. Suryanti, Lilis. 2009. Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Guru Sekolah Dasar Negeri di Seluma. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib. Yasin, Anas. 1991. Gramatika Komunikatif: Sebuah Model. (Disertasi) IKIP Malang. Yasin, Anas. 2002. Aplikasi Analisis Wacana dalam Pengajaran Bahasa Asing. Makalah disampaikan pada pertemuan regional Masyarakat linguistik Indonesia (PIR-MLI) 18 Mei 2002. Yasin, Anas. 2002. Arah kajian bahasa: Kaitannya dengan Perkembangan Pendidikan, Iptek, dan Sosial Budaya. Makalah dalam SEKOLAR Volume 3, Nomor 1, Juni 2002. Posted in Uncategorized |

Leave a Comment
38 /blog/dank_aron/2

Name

Mail (will not be published)

Website

Please note: Comment moderation is enabled and may delay your comment. There is no need to resubmit your comment.
Submit Comment

Recent Posts

CONTOH MEREVIEW BAB VI TES BAHASA DAN IDENTITAS SOSIAL Oleh Arono Hegemoni Bahasa Politik dalam Kasus Sidang Dispendagate Gubernur Nonaktif Provinsi Bengkulu Oleh Arono Puisi-puisi Dank-Aron PENERAPAN MODEL KAJIAN SINTAKSIS WARRINER PADA BENTUK REDUNAN DAN SALINAN BAHASA BAWAAN: STUDI KASUS BAHASA BIMA DAN BAHASA INDONESIA Oleh Arono STUDI PENDIDIKAN PERBANDINGAN NEGARA AMERIKA SERIKAT: LATAR BELAKANG FILSAFAT DAN BUDAYA YANG MEWARNAI FILSAFAT DAN TEORI PENDIDIKAN DI AMERIKA Oleh Arono dan Elvi Susanti PRAANGGAPAN DAN IMPLIKATUR WACANA DIALOG DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Oleh Arono Beberapa Studi Kasus dalam Penelitian Pendidikan Bahasa Oleh Arono Kritik Disertasi (Mengkritisi Disertasi) oleh Arono Pengalaman tentang Membaca Oleh Arono PIDATO DENGAN TEMA EKONOMI PEMBANGUNAN

Pages:

Home About

Categories

Uncategorized

Archives

August 2011 February 2011 May 2009

Search
Search

Meta:

RSS Comments RSS

Valid XHTML XFN

2006 Cerdas Berbahasa . Ported to Wordpress | Sponsored By Website Traffic Promotion |

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA


ILMU ILMIAH ALAMIAH

Minggu, 29 Maret 2009


KAJIAN PRAANGGAPAN DAN IMPLIKATUR WACANA LISAN DIALOG LIPUTAN ENAM PETANG SCTV
KAJIAN PRAANGGAPAN DAN IMPLIKATUR WACANA LISAN DIALOG LIPUTAN ENAM PETANG SCTV Oleh Arono1 FKIP Universitas Bengkulu ABSTRACT Liputan Enam SCTV was kind of oral discourse that was dialogue. Research problems that were discussed in this eresearch were kind of speech act, function of speech act, and the continuation of speech act. The aim of this research was to know speech act based on those three points of view. This research was descriptive qualitative research by using content analysis. The result of this research showed that kind and function of speech acts were: representative speech act was function as to convey, to explain, to clarify, to ask, and to assume; directive speech act was function as to suggest and to request; expressive speech act was function as to say thank you and congratulation; and declarative speech act was function as to agree and disagree, and to make solid. Based on the continuation of speech act directly appeared statements that were mood imperative and performative explicits. Kata kunci: tindak tutur, tindak ujar, wacana dialog. PENDAHULUAN Media elektronika sebagai satu wadah penentu perkembangan bahasa Indonesia yaitu media audiovisual. Saat ini hampir seluruh masyarakat Indonesia dapat menikmati acara-acara televisi ditambah lagi menjamurnya digital atau yang dulunya parabola di sebagian besar rumah-rumah penduduk. Seiring dengan itu bermunculan pula program-program siaran televisi swasta seperti RCTI, SCTV, TPI, AN TEVE, METRO TV, dan INDOSIAR yang meyuguhkan berbagai bentuk siaran atau berita aktual dengan kemasan yang berbeda. 2Dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas BengkuluDiperkirakan 65% dari penduduk Indonesia ini merupakan generasi muda, dan mereka ini dibesarkan oleh TV. Menurut statistik 1993 (dalam Alwasilah, 1997:72), 66% dari anak-anak usia 10 tahun lebih banyak nonton TV daripada membaca koran atau majalah, yang hanya dibaca oleh 22,25%. Secara tidak langsung hal itu akan berpengaruh terhadap penggunaan bahasa media televisi terhadap pemakaian bahasa penontonnya. Apalagi saat itu (saat penelitian ini dialakukan) tahun 2001/2002 berita merupakan informasi yang ditunggu-tunggu sebagai informasi utama dalam mengamati pemerintahan, sosial, budaya, politik, dan hankam di dalam bergulirnya erareformasi. Acara Liputan Enam SCTV merupakan salah satu acara yang ditayangkan Surya Citra Televisi (SCTV). Acara dengan jam tayang tiga kali sehari ini banyak diminati oleh penonton, selain

karena beritanya aktual, tajam, dan terpercaya, acara ini juga dilengkapi dialog secara langsung dengan durasi sepuluh menit dari satu jam penayangan. Hal ini juga didukung oleh pembawa acara yang punya kemampuan berbahasa yang baik, ditambah dengan narasumber yang berbobot. Sebagai wacana lisan, bahasa bukan saja merupakan properti yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antarpersona. Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna, dari sudut pandang wacana, maka tidak pernah bersifat absolut; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu, tidak pernah lepas dari konteks Dialog yang dilakukan oleh pewawancara, narasumber, dan telewawancara bahwa tidak tutur yang mereka gunakan tidak selalu mengatakan maksud seperti apa yang mereka maksudkan sebagaimana adanya, tentu akan terdapat permasalahan dalam tuturan. Selain itu, tindak tutur dalam bahasa Indonesia ada banyak kata kerja yang mengacu pada mereka seperti bertanya, memohon, memohon dengan syarat, dan lain-lain. Walaupun kata kerja-kata kerja dalam bahasa Indonesia Indonesia dilengkapi dengan taksonomi awal yang berguna untuk tindak tutur, tetapi tidak sama dengan nama-nama dengan kata kerja yang ada. Oleh sebab itu, kedalaman indereksi dalam wacana yakni jarak antara apa yang dikatakan dengan apa yang dimaksudkan dan banyaknya lapisan makna di bawah makna proposisi literal ujaran dan tindakan yang diperformasikan dalam konteks. Selain itu, para penutur tidak selalu menyatakan maksud seperti apa yang mereka katakan (Ibrahim, 1993:105). Untuk menghasilkan gambaran yang jelas diperlukan suatu analisis kerjasama partisipan, tindak tutur, penggalan pasangan percakapan, pembukaan dan penutupan percakapan, topik percakapan, tata bahasa percakapan, dan analisis alih kode. Wacana dialog merupakan suatu ucapan, percakapan, dan kuliah yang berbentuk lisan dan tulisan. Namun untuk kepentingan ini wacana yang dipilih berbentuk ujaran lisan, terutama wacana yang dilakukan dalam rangka berbicara atau suatau inti bahasa yang berfungsi dalam suatau percakapan yang disebut tindak tutur. Sebagai ujaran lisan, membicarakan suatu hal, penyajian teratur dan sistematis, memiliki satu kesatuan misi, serta dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental dapat dikatakan sudah memenuhi persyaratan sebagai wacana dialog (Syamsuddin, 1997:8). Oleh karena itu, tindak tutur dalam wacana dialog dapat dianalisis berdasarkan jenis, sifat hubungan, dan hakikat pemakaiannya. Mengingat keterbatasan yang ada, penulis hanya memfokuskan pada jenis dan fungsi, serta sifat hubungan. Tidak tutur berdasarkan jenis artinya maksud atau fungsi penutur ketika berbicara berupa tindak representatif, komisif, direktif, ekspresif, dan deklaratif, sedangkan fungsinya merupakan ujaran yang dimaksudkan atau penjabaran dari jenis tuturan itu sendiri. Untuk tingkat kelangsungan mengacu pada tuturan ilokusi artinya jarak tempuh yang diambil sebuah ujaran yaitu titik lokusi ( di benak penutur) ke titik ujaran ilokusi (di benak mitratutur atau pendengar). Sehubungan dengan permasalahan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan jenis, fungsi, dan tingkat kelangsungan tindak tutur yang digunakan di dalam wacana dialog Liputan Enam SCTV. Dengan mengungkapkan hal tersebut diharapakan akan berguna bagi perkembangan ilmu linguistik khususnya analisis wacana dialog, bahan dalam pembelajaran bahasa, dan sumbangsih terhadap bahasa penyiaran dalam dunia pertelevisian. Istilah wacana dalam bahasa Inggris adalah discourse berasal dari bahasa Latin discursus yang berarti lari kian kemari (Tarigan, 1987:23). Dalam KBBI (1994:1122) wacana berarti (1) ucapan; perkataan; tuturan, (2) keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan, (3) satuan bahasa

terlengkap; realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh. Hal itu diperjelas Samsuri (dalam Syamsuddin, 1997:6) wacana adalah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, dalam hal ini komunikasi verbal antara pembicara dan teman atau lawan bicara dalam proses berkesinambungan proposisi. Senada dengan itu Kridalaksana (1982:179) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal/subjek yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsure segmental maupun nonsegmental bahasa. Peristiwa tutur merupakan sebuah tindak tutur yang berfungsi dalam interaksi verbal dan nonverbal. Peristiwa tindak tutur dapat berbentuk mengundang, meminta, meyakinkan, dan melaporkan (Suwito, 1982:88). Peristiwa tutur menitikberatkan pada kajian peristiwa sedangkan tindak tutur menitikberatkan pada makna atau arti tindak tutur tersebut. Dalam peristiwa tutur terdapat tindak tutur yang jenisnya bermacam-macam. Fenomena tindak tutur inilah sebenarnya yang merupakan fenomena aktual dalam situasi tutur. Richard (dalam Syamsuddin, 1992:46) mengartikan tindak tutur adalah sesuatu yang dilakukan dalam rangka berbicara atau suatu inti bahasa yang berfungsi di dalam sebuah percakapan. Kalau peridstiwa itu dalam bentuk praktisnya adalah wacana yang berupa percakapan, maka tindak tutur merupakan unsur pembentuknya yang berupa tuturan. Austin (dalam Ibrahim, 1993:106) menyatakan bahwa terdapat banyak hal yang berbeda yang bisa dilakukan dengan kata-kata. Pandangannya yang paling besar adalah bahwa sebagian ujaran bukanlah pernyataan tentang informasi tertentu, tetapi ujaran itu merupakan tindakan. Fokusnya adalah pada ujaran yang dikemukakan secara penuh dalam mode linguistik penjelasan dan masalah yang timbul ketika konsep tindak tutur diterapkan pada percakapan alami, seperti Dialog Liputan Enam SCTV. Teori tindak tutur menekankan pada penggunaan bahasa dan dalam kenyataannya berlaku pada ujaran bukan kalimat, tetapi telah tergantung pada keputusan introspektif mengenai kalimat-kalimat lepas. Menurut Austin jenis tidak tutur sengat banyak kemudian disederhanakan oleh Searle (dalam Syamsuddin, 1992:97) menjadi lima kelompok: (1) tindak representatif yaitu tindak tutur yang berfungsi menetapkan atau menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya seperti tindakan menyatakan, mengemukakan, meminta, dan mengira. (2) tindak komisif yaitu tindak tutur yang berfungsi mendorong pembicara untuk melakukan sesuatu seperti tindak berjanji, bersumpah, ancaman, dan bernazar. (3) tindak direktif yaitu tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar untuk melakukan sesuatu seperti mengususlkan, memohon, mendesak, menentang, dan memerintahkan. (4) tindak ekspresif yaitu tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap seperti tindakan meminta maaf, berterima kasih, ucapan selamat, mengkritik, dan memuji. (5) tindak diklaratif yaitu tindak tutur yang berfungsi menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan misalnya menyetujui, tidak setuju, dan memmantapkan. Austin juga membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran. Ketiganya adalah lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak berbicara atau tindak bertutur dengan mengucapkan sesuatu sesuai dengan makna kata itu dan menurut kaidah sintaksisnya. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan maksud, fungsi, daya ujaran yang bersangkutan, sedangkan tindak perlokusi adalah mengacu ke efek yang dihasilkan penutur dengan mengatakan sesuatu. Lokusi dan ilokusi dikatakan sebagai act (tindak) dan perlokusi dikatakan sebagai efek, bedanya terletak pada dalam mengetakan sesuatu dan dengan mengatakan sesuatu (Leech, 1983:199).

Dalam satu bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Kebalikannya adalah kenyataan di dalam komunikasi yang sebenarnya yakni bahwa satu fungsi dapat dinyatakan, dilayani atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran. Menyuruh misalnya dapat diungkapkan dengan menggunakan bentuk ujaran yang berupa kalimat bermodus imperatif, kalimat performatif eksplisit, kalimat performatif berpagar, pernyataan keharusan, pernyataan keinginan, rumusan saran, persiapan pertanyaan, isyarat kuat, dan isyarat halus (Blum-Kulka, 1987). Jika kesembilan ujaran itu kita ujarkan, kita memperoleh sembilan tindak ujaran yang berbeda-beda derajat kelangsungannya dalam hal menyampaian maksud Dialog Liputan Enam SCTV. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan content analysis dengan tidak mengabaikan konteks tuturan. Secara deskriptif penelitian ini dilakukan sematamata berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara emperis dilakukan oleh penuturnya, sedangkan secara kualitatif dengan pendekatan content analysis bertujuan mengungkapkan isi dan pesan-pesan/maksud yang terkandung pada tindak tutur dan memberi makna pada pesan yang terkandung di dalamnya dengan menggambarkan gejala tindak ujar yang terjadi (Mardalis, 1995:26 dan Muhadjir, 1996:49). Data dari penelitian ini adalah Wacana Dialog SCTV (87 tuturan) yang digunakan pembawa acara dan narasumber. Masing-masing liputan diambil satu dialog yang versinya berbeda yaitu Liputan Enam Siang SCTV (57 tuturan; Rabu, 24 Februari 1999) dengan narasumber dua orang mengenai Penyadapan Telepon Andi M. Ghalib dengan Habibie dan Liputan Enam Petang SCTV (30 tuturan; Kamis, 4 September 1998) dengan narasumber satu orang mengenai Masalah Penggulingan Presiden Habibie. Data diperoleh dengan cara merekam dialog Liputan Enam SCTV secara langsung melalui televisi, baik itu waktunya siang maupun petang. Masing-masing satu dialog setiap liputan. Data yang terkumpul dianalisis dengan teknik meyeleksi rekaman dialog yang layak dianalisis, mentranskipsikan rekaman dialog ke dalam bahasa tulis, menginventarisasikan dan mengklasifikasikan, menabuliasikan, dan terakhir menghitung persentase untuk memberi informasi yang lebih pasti dan lengkap, artinya data kulitatif yang dikuanifikasikan (Irawan, 1999:85). PEMBAHASAN Tindak Tutur Wacana Dialog Liputan Enam Siang (LES) dan Liputan Enam Petang (LEP) SCTV Berdasarkan Jenis dan Fungsi Tuturan Ditinjau dari segi jenisnya tindak tutur dapat diklasifikasikan atas empat macam yaitu tindak representatif, direktif, ekspresif, dan deklaratif. Tindak representatif yang ditemukan dalam wacana ini adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengemukakan, menjelaskan, menyatakan, meminta, dan mengira. Misalnya pada 1-(1) yang mengemukakan dengan menyatakan bahwa untuk membahas Penyadapan Telepon Andi M. Ghalib dengan Presiden Habibie telah hadir dua orang narasumber. Tuturan tersebut dapat dilihat dengan nyata oleh narasumber, pewawancara, dan pemirsa di rumah. Tuturan mengemukakan disini merupakan pernyataan suatu gagasan kepada orang lain sehingga orang lain dapat mengetahuinya. Tuturan menjelaskan yaitu mengutarakan sesuatu dengan jelas atau menerangkan sesuatu dengan sejelas-jelasnya. Setelah penutur melakukan tindakan menjelaskan ini diharapkan mitratutur memahami penjelasan penutur dengan baik seperti tuturan 12-(13) yang mejelaskan kepada mitratutur tentang keadaan yang sebenarnya bahwa kasus penyadapan itu merupakan soal politik.

Banyak kasus yang lebih berat untuk diselesaikan. Konsisten pemerintah dan MPR sangat tidak menentukan setiap kasus yang ditemui. Tuturan menyatakan adalah mengungkapkan suatu pernyataan. Bentuknya berupa pernyataan dari penutur tentang pendapat dan gagasan. Pada tuturan 6-(7) tuturan yang menyatakan suatu pendapat dari narasumber bahwa penyadapan disebabkan adanya semacam peluang politik yang terekspos memperlihatkan moralitas publik telah rusak. Lain halnya dengan tuturan meminta yaitu mengarahkan kepada siapa ditujukan pertanyaan. Dengan menunjuk atau meminta ini orang yang ditunjuk menyiapkan diri untuk mendengar dan dapat menjawab dengan baik dan benar. Gunanya adalah untuk mempersiapkan diri mitratutur agar menyimak sekaligus menjawab apa yang ingin disampaikan oleh penutur. Sperti tuturan 5(6) yang merupakan permintaan dilakukan oleh pewawancara untuk memulai pembicaraan dan membuka pembicaraan yang berupa peretanyaan. Untuk tuturan mengira merupakan tuturan suatu pendapat dan gagasan dari seorang penutur yang kebenarannya masih dipertanyakan. Tuturan direktif bertujuan untuk menhasilkan suatu efek tindakan yang diinginkan penutur oleh mitratuturnya. Tindak direktif yang ditemukan dalam wacana ini berfungsi untuk mengusulkan atau saran dan memohon atau permintaan. Tuturan mengusulkan bertujuan untuk menyampaiakan gagasan atau ide tentang apa yang akan dilakukan. Tuturan memohon merupakan mengajukan permintaan atau permohonan kepada orang lain sebagai mitratutur dengan harapan permohonan tersebut dikabulkan. Seperti tuturan 14-(17) penutur mengusulkan dengan disertai harapan permohonan bahwa kasus tersebut disebabkan demi kepentingan umum hingga diketahui semua orang. Penutur lalu khawatir kasus penyadapan nantinya selesai begitu saja. Tindakan permohonan ini disampaikan permintaan dengan cara merendah dengan bahasa yang halus serta tidak bernada memerintah. Tindak ekspresif adalah tindak tutur yang mempunyai fungsi mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat. Fungsi tuturan ini adalah untuk mengucapan terima kasih dan mengucapkan selamat. Tuturan berterima kasih dalam mengucap syukur atau membalas budi setelah menerima kebaikan. Seperti yang diungkapkan pewawancara kepada narasumber telah hadir dan memeberi keterangan mengenai penyadapan telepon Andi M. Ghalib dengan Habibie. Tuturan berterima kasih diungkapkan pewawancara ketika mengakhiri acara dialog. Untuk ucapan salam merupakan suatu pernyataan memberikan salam mudah-mudahan dalam keadaan baik, sejahtera, sehat, dan walafiat. Ucapan selamat ini disampaian penutur ketika membuaka acara dialog dengan kedua mitratuturnya yang menyatakan ucapan selamat siang atau selamat petang untuk memberikan salam mudah-mudahan dalam keadaan baik dan bertambah akrab antarpenutur. Tindak deklaratif adalah tuturan yang mengeluarkan pernyataan yang ringkas dan jelas untuk menyetujui, tidak menyetujui, dan memantapkan. Tindak menyetujui merupakan tindakan menyatakan setuju atau sepakat dengan membenarkan, menerima, memperkenankan usul dari perkataan mitratutur. Seperti tuturan 18-(25) merupakan tuturan tindak menyetujui dengan memperkenankan atau menerima usul dari pendapat orang lain. Penutur dalam tuturan tersebut mempunyai persamaan pendapat dengan diikuti penjelasn untuk memperkuat pernyataan tersebut. Lain halnya dengan tuturan tidak menyetujui merupakan tindakan menindakkan terhadap suatu pendapat, kurang sependapat, tidak sesuai terhadap usulan atau pendapat dari mitratutur. Tuturan tidak menyetujui terdapat pada tuturan 12-(14) penutur tidak mnyetujui terhadap suatu pendapat atau penutur kurang sependapat karena penyadapan itu bukan urusan pemerintah saja, tetapi MPR juga bertanggung jawab terhadap penjelasan kasus penyadapan itu. Untuk tindak memantapkan adalah mengukuhkan atau menjadikan teguh suatu pernyataan

umumnya dilakukan dalam betuk pengulangan apa yang telah dilakukan oleh narasumber ditegaskan kembali oleh pewawancara. Tabel 1 Tindak Tutur Wacana Dialog Liputan Enam Siang SCTV Berdasarkan Jenis dan Fungsi Tuturan No. Jenis Fungsi Jlh. Tuturan (Persentase) Total (Persentase) 1. Representatif Mengemukakan Menjelaskan Menyatakan Meminta Mengira 1 (1,3%) 5 (6,4%) 14 (18%) 7 (9%) 6 (7,7%) 33 (42,3%) 2. Direktif Saran Memohon 7 (9%) 1 (1,3%) 8 (10,3%) 3. Ekspresif Terima kasih Selamat 1 (1,2%) 4 (5,1%) 5 (6,4%) 4. Deklaratif Menyetujui Tidak menyetujui Memantapkan 17 (21,8%) 6 (7,7%)

9 (11,5%) 32 (41%) Total (Persentase) 78 (100%) Ditinjau dari segi tindak tutur berdasarkan jenis dan fungsi tuturan dialog Liputan Enam Siang (LES) SCTV pada tabel di atas terdapat jenis tindak representatif (42,3%) yang berfungsi unutk menyatakan (18%), meminta (9%), mengira (7,7%), menjelaskan (6,4%), dan mengemukakan (1,3%). Jenis tidak deklaratif (41%) yang ditemukan adalah tuturan yang berfungsi untuk menyetujui (21,8%), memantapkan (11,5%), dan tindak menyetujui (7,7%). Jenis tindak direktif (10,3%) yang berfungsi untuk mengusulkan (9%) dan tuturan memohon (1,3%). Jenis tindak ekspresif (6,4%) yang berfungsi untuk menyampaikan ucapan selamat (5,1%) dan ucapan terima kasih (1,2%). Tabel 2 Tindak Tutur Wacana Dialog Liputan Enam Petang SCTV Berdasarkan Jenis dan Fungsi Tuturan No. Jenis Fungsi Jlh. Tuturan (Persentase) Total (Persentase) 1. Representatif Mengemukakan Menjelaskan Menyatakan Meminta Mengira 1 (1,8%) 4 (7,4%) 5 (9,3%) 7 (12,9%) 8 (14,9%) 25 (46,2%) 2. Direktif Saran Memohon 7 (12,9%) 2 (3,8%) 9 (16,7%) 3. Ekspresif Terima kasih Selamat

2 (3,8%) 4 (7,4%) 6 (11,1%) 4. Deklaratif Menyetujui Tidak menyetujui Memantapkan 10 (18,5%) 1 (1,8%) 3 (5,5%) 14 (26%) Total (Persentase) 54 (100%) Ditinjau dari segi tindak tutur berdasarkan jenis dan fungsi tuturan dialog Liputan Enam Petang (LEP) SCTV pada tabel di atas terdapat jenis tindak representatif (46,2%) yang berfungsi unutk mengira (14,9%), meminta (12,9%), menyatakan (9,3%), menjelaskan (7,4%), dan mengemukakan (1,8%). Jenis tidak deklaratif (16,7%) yang ditemukan adalah tuturan yang berfungsi untuk menyetujui (18,5%), memantapkan (5,5%), dan tindak menyetujui (1,8%). Jenis tindak direktif (16,7%) yang berfungsi untuk mengusulkan (12,9%) dan tuturan memohon (3,8%). Jenis tindak ekspresif (11,1%) yang berfungsi untuk menyampaikan ucapan selamat (7,4%) dan ucapan terima kasih (3,8%). Tindak Tutur Wacana Dialog Liputan Enam Siang SCTV Berdasarkan Tingkat Kelangsungan Searle (1975) berbicara tentang tindak ujaran langsung dan tindak ujaran tak langsung serta derajat kelangsungan tindak tutur itu diukur jarak tempuh yang diambil oleh sebuah ujaran, yaitu titik ilokusi (di benak penutur) ke titik ujaran ilokusi (di benak pendengar). Jarak paling pendek adalah garis lurus yang menghubungkan kedua titik tersebut dan ini dimungkinkan jika ujaran bermodus imperatif. Makin melengkung garis pragmatik itu, makin tidak langsuinglah ujarannya. Alih-alih jarak ilokusi derajat kelangsungan dalam tindak tutur Dialog Liputan Enam SCTV ini mengisyaratkan bahwa makin tembus pandang atau transparan atau kejelasan suatu ujaran makin langsunglah ujaran itu dan demikian pula sebaliknya. Dalam hierrarki teoretis (HT) tipe ujaran berdasarkan skala penilaiannya adalah: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 HT= MI-PE-PB-PH-PI-RS-PP-IK-IH Sedangkan di dalam Liputan Enam Siang (LES) SCTV dan Liputan Enam Petang (LEP) SCTV skala penilaiannya adalah: 123456789 HT = MI-PE-PB-PH-PI-RS-PP-IK-IH LES = MI-PE-PB-PH--RS-PP--IH LEP = MI-PE-PB-PH-PI-RS---IH Tabel 3 Tindak Tutur Wacana Dialog Liputan Enam Siang SCTV Berdasarkan Tingkat Kelangsungan No. Tipe (Kategori)

Jumlah Tuturan (Persentase) Urutan/ Peringkat 1. Modus Imperatif (MI) 30 (31,3%) 1 2. Performatif Eksplistit (PE) 17 (24%) 2 3. Performatif Berpagar (PB) 10 (14%) 3 4. Pernyataan Keharusan (PH) 6 (9%) 5 5. Rumusan Saran (RS) 7 (10%) 4 6. Persiapan Pertanyaan (RS) 5 (6,5%) 6 7. Isyarat Halus (IH) 4 (5,2%) 7 Sifat hubungan yaitu tingkat kelangsungan atau keterjalinan tindak ilokusi dialog Liputan Enam Siang (LES) SCTV seperti yang terlihat pada tabel di atas terdiri atas ujaran bermodus imperatif (31,3%), performatif eksplisit (24%), performatif berpagar (14%), rumusan saran (10%), pernyataan keharusan (9%), persiapan pertanyaan (6,5%), dan isyarat halus (5,2%). Oleh karena itu, tingkat kelangsungan tindak tutur yang digunakan lebih langsung terlihat pada ujaran MI, PE, dan PB. Lebih langsungnya tuturan tersebut menyebabkan tuturan itu kurang santun. Kesantunan itu dapat dilihat peringkat yang paling menonjola yaitu IH, PP, PH, dan RS. Jika dibandingkan dengan hierarki teoretis (HT) yang semata-mata ketembuspandangan atau

ketaklangsungan ujaran. Hierarki teoretis itu, seperti yang dikemukakan oleh Blum Kulka (1987): 123456789 MI-PE-PB-PH-PI-RS-PP-IK-IH Sedangkan hierarki yang ditemukan di dalam penelitian ini (HP) adalah: 123456789 MI-PE-PB-RS-PH-PP-IH-- Seperti yang terlihat, kesamaan di antara HT (hierarki teoretis) dan HP (hasil penelitian) hanyalah pada peringkat MI, PE, dan PB masing-masing ke-1, ke-2, dan ke-3. Yang sangat mencolok adalah bahwa: (1) RS menduduki peringkat ke-4 pada HP, padahal ke-6 pada HT (2) IH menduduki peringkat ke-7 pada HP, padahal ke-9 pada HT (3) PP menduduki peringkat ke-6 pada HP, padahal ke-7 pada HT (4) PH menduduki peringkat ke-5 pada HP, padahal ke-4 pada HT (5) PI serta IK tidak ditemukan di dalam wacana Dialog Liputan Enam Siang SCTV yang menduduki peringkat ke-5 dan ke-8 pada HT. Berdasarkan sifat hubungan yaitu tingkat kelangsungan atau ketembuspandangan tindak tutur yang digunakan lebih langsung terlihat pada ujaran MI, PE, dan PB. Lebih langsungnya tuturan tersebut menyebabkan tuturan itu kurang santun karena makin transparannya sebuah ujaran atau makin jelas maksud sebuah ujaran makin langsunglah ujaran itu atau berdasarkan kesantunannya semakin santun dan demikian pula sebaliknya, tetapi bukan berarti tidak santun karena sesuai dengan misi utama wawancara dialog ini untuk mejelaskan tetang sesuatu informasi kepada penonton. Kesantunan itu dapat dilihat pada ujaran berdasarkan peringkat yang paling menonjol adalah IH, PP, PH, dan RS. Jadi, tingkat kelangsungan atau keterjalinan antarpenutur dalam Dialog Liputan Enam SCTV berdasarkan persentase ujarannya lebih langsung dengan munculnya ujaran bermodus imperatif dan performatif eksplisit yang menduduki peringkat tertinggi dari setiap liputan. Sedangkan kalau dilihat berdasarkan kesantunan ujaran yang digunakan Liputan Enam SCTV ujarannya kurang santun. Kalngsungan itulah membuat Liputan Enam SCTV mudah dimengerti dan dipahami antarpenutur dan juga penonton pada setiap liputan. Tindak Tutur Wacana Dialog Liputan Enam Petang SCTV Berdasarkan Tingkat Kelangsungan Tingkat kelangsungan dan keterjalinan dari tuturan yang dilakukan pewawancara dengan narasumber Liputan Enam Petang SCTV berdasarkan persentase dapat dikatakan terjalin rapi terutama ujaran bermodus imperatif dan performatif eksplisit. Berdasarkan persentase dan peringkatnya Liputan Enam Petang SCTV tingkat kelangsungan ujarannnya atau tuturan yang disampaikan kurang langsung bila dibandingkan dengan modus imperatif, tetapi tuturan ini lebih santun digunakan penutur. Tabel 4 Tindak Tutur Wacana Dialog Liputan Enam Petang SCTV Berdasarkan Tingkat Kelangsungan No. Tipe (Kategori) Jumlah Tuturan (Persentase) Urutan/ Peringkat

1. Modus Imperatif (MI) 17 (31,5%) 2 2. Performatif Eksplistit (PE) 20 (37%) 1 3. Performatif Berpagar (PB) 5 (8,7%) 5 4. Pernyataan Keharusan (PH) 6 (11,1%) 3 5. Pernyataan Keinginan (RI) 2 (3,5%) 5 6. Rumusan Saran (RS) 1 (2,2%) 6 7. Isyarat Halus (IH) 4 (7,4%) 4 Tingkat kelangsungan atau keterjalinan tindak ilokusi dialog Liputan Enam Petang (LEP) SCTV seperti yang terlihat pada tabel di atas terdiri atas ujaran bermodus performatif eksplisit (37%), imperatif (31,5%), pernyataan keharusan (11,1%), performatif berpagar (7,4%), isyarat halus (7,3%), pernyataan keinginan (3,5%), dan rumusan saran (2,2%). Oleh karena itu, ketembuspandangan tindak tutur yang diguanakan LEP SCTV ujarannya lebih santun atau kurang langsung dengan ujaran performatif eksplisit yang menduduki peringkat pertama jika dibandingkan dengan LES SCTV. Seperti yang telah dijelaskan di atas tidak terdapat kesamaan di antara HT dengan HP yang menunjukkan bahwa ujaran diguanakn penutur lebih santun atau kurang langsung. Perbedaan yang sangat mencolok adalah: (1) IH menduduki peringkat ke-4 pada HP, padahal ke-9 pada HT (2) PH menduduki peringkat ke-3 pada HP, padahal ke-4 pada HT

(3) PE menduduki peringkat ke-1 pada HP, padahal ke-2 pada HT (4) PB menduduki peringkat ke-5 pada HP, padahal ke-3 pada HT (5) MI menduduki peringkat ke-2 pada HP, padahal ke-1 pada HT (6) PI menduduki peringkat ke-6 pada HP, padahal ke-5 pada HT (7) RS menduduki peringkat ke-7 pada HP, padahal ke-6 pada HT (8) IK menduduki peringkat ke-8 dan PP menduduki peringkat ke-7 pada HT, sedangkan pada HP ujaran tersebut tidak ditemukan. Jadi, hal itu menunjukkan Liputan Enam Petang SCTV kurang langsung atau lebih santun bila dibandingkan dengan Liputan Enam Siang SCTV. PENUTUP Ditinjau dari segi tindak tutur berdasarkan jenis dan fungsi tuturan dialog Lipuatan Enam SCTV terdapat tindak tutur yang mempunyai jenis tindak representatif (43,9%) yang berfungsi menyatakan (14,4%), meminta (10,6%), mengira (10,6%), menjelaskan (6,8%), dan mengemukakan (0,7%). Tindak deklaratif (34,8%) yang berfungsi untuk menyetujui (20,4%), memantapkan (12,9%), dan tidak menyetujui (6,3%). Tindak direktif (12,9%) yang berfungsi untuk menyarankan (10,6%) dan memohon (2,3%). Tindak ekspresif (8,4%) yang berfungsi untuk menyampaikan ucapan selamat (6%) dan ucapan terima kasih (2,3%). Tingkat kelangsungan atau keterjalinan antarpenutur dalam dialog Liputan Enam SCTV berdasarkan persentase ujarannya lebih langsung dengan munculnya ujaran bermodus imperatif (LES: 31,3% dan LEP: 31,5%) dan performatif eksplisit (LES: 24% dan LEP: 37%) yang menduduki peringkat tertinggi dari setiap liputan. Sedangkan kalau dilihat berdasarkan kesantunan ujaran yang digunakan Liputan Enam SCTV ujarannnya kurang santun. Kelangsungan itulah yang membuat Liputan Enam SCTV mudah dimengerti dan dipahami antarpenutur dan juga penonton pada setiap liuptan. Berdasarkan simpulan di atas maka disarankan kepada penelitian selanjutnya untuk mengkaji lebih spesifik dan mendalam dari aspek lainnya. Kepada redaksi pemberitaan terutama pewawancara dan narasumber Liputan Enam SCTV lebih ditingkatkan lagi penggunaan bahasa yang baik dan benar. Selain itu, kepada pengajar atau calon pengajar jadikanlah wacana dialog ini sebagai media pembelajaran kebahasan yang menarik selain wacana monolog apalagi dalam setiap pembelajaran bahasa Indonesia selalu didahului dengan wacana. DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, Chaedar. 1997. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Ofset. Syamsuddin, A.R. et. al. 1992. Studi Wacana: Teori-Analisis-Pengajaran. Bandung: Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni. __________. 1997. Studi Wacana Bahasa Indonesia. Jakarta: Proyek Penataran Guru SLTP setara D-III. Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. (Terj. I Soetikno) Jakarta: Gramedia Pustaka. Blum-Kulka, Shoshana. 1987. Indirectness and Politeness in Reguest: Same or Different? Journal of Paragmatics. 11-46. Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha National Indonesia. Irawan, Prasetya. 1999. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: STIA-LAN Press. Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia,

Mardalis. 1995. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Muhadjir, Neong. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman. Pateda, Mansoer. 1990. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa. Richard, Jack. 1995. Tentang Percakapan. (Terj. Ismari ) Surabaya: Airlangga University Press. Searle, J.R. 1975. Indirec Spech Acts (dalam Cole, Peter dan J. Morgan). Sintax and Semantics: Speech Acts. New York: Academic Press. Suwito. 1982. Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Henary Offset. Tarigan, H. G. 1987. Pengantar Analisis Wacana. Bandung: Ang

Anda mungkin juga menyukai