Anda di halaman 1dari 64

BAHAN AJAR

MK PRAGMATIK
Deskripsi Mata Kuliah
Modul ini disusun sebagai bahan ajar perkuliahan Pragmatik di Program

Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Palangka Raya. Modul

ini disusun untuk membantu mahasiswa untuk memahami mengenai (1) definisi,

sejarah dan latar belakang pragmatik, (2) Situasi Tutur, (3) Tindak Tutur, (4)

Tuturan Performatif dan Tuturan Konstatif, (5) Jenis-Jenis Tindak Tutur, (6)

Presuposisi, Implikatur, dan Entailment, (7) Kalimat Analitis, Kontradiktif, dan

Sintetis, (8) Prinsip Kerjasama, (9) Prinsip Kesopanan, dan (10) Parameter

Pragmatik.

Dari aspek isi modul ini cukup komprehensif. Materi yang dibahas tidak

hanya terkait dengan bidang kajian Pragmalinguistik, tetapi sudah terkait dengan

Sosiopragmatik, bahkan Pragmatik lintas kultural. Modul ini menyajikan sumber

pustaka pengayaan yang memungkinkan pemakai modul ini dapat melacak materi

lebih jauh pada sumber-sumber lainnya.

BAB 1
DEFINISI DAN LATAR BELAKANG PRAGMATIK

1.1 Standar Kompetensi

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan (1) memiliki

pengetahuan tentang definisi pragmatik, (2) sejarah dan latar belakang

pragmatik, (3) perbedaan titik sorot keberadaan Pragmatik dan Sosiolinguistik

terhadap linguistik struktural.

1
1.2 Definisi
Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai c abang.
Cabang-cabang itu di antaranya adalah fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, pragmatik, dsb. Fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang
mengkaji seluk-beluk bunyi-bunyi bahasa. Morfologi adalah cabang ilmu
bahasa yang mempelajari seluk-beluk morfem dan penggabungannya untuk
membentuk satuan lingual yang disebut kata polimorfemik. Sintaksis adalah
cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggabungan satuan-satuan lingual
yang berupa kata itu untuk membentuk satuan kebahasaan yang lebih besar,
seperti frase, klausa, kalimat, dan wacana. Semantik adalah disiplin ilmu
bahasa yang menelaah makna satuan lingual, baik makna leksikal maupun
makna gramatikal. Makna leksikal adalah makna unit semantik yang terkecil
yang disebut leksem, sedangkan makna gramatikal adalah makna yang
berbentuk dari penggabungan satuan-satuan kebahasaan. Berbeda dengan
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik yang mempelajari struktur
bahasa secara internal, pragmatik adalah rahang ilmu bahasa yang
mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan
kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi. Mengenai definisi
pragmatik ini ada baiknya disimak kutipan di bawah ini :
"Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the
internal structure of language. Pragmatics is the study of how language
is used to communicate (Parker, 1986, 11)"
Semantik dan pragmatik adalah cabang-cabang ilmu bahasa yang
menelaah makna-makna satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari
makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara
eksternal. Kata bagus secara intem;il bermakna ’baik’ atau ’tidak buruk’, dan
kata presiden secara internal bermakna "kepala negara’, seperti terlihat
dalam kalimat (1) dan (2) di bawah ini :
(1) Prestasi kerjanya yang bagus membuat ia dapat diangkat untuk masa
jabatan yang kedua.
(2) Presiden itu sedang menuruni tangga pesawat.

2
Secara eksternal, bila dilihat dari penggunaannya, kata bagus tidak
selalu bermakna ’baik’ atau ’tidak buruk’. Begitu pula presiden tidak selalu
bermakna Tcepala negara’, seperti terlihat dalam dialog (3) dan kalimat (4)
di bawah ini :
(3) Ayah : Bagaimana ujian matematikamu ?
Anton : Wah, hanya dapat 45, Pak.
Ayah : Bagus, besok jangan belajar. Nonton terus saja.
(4) Awas presidennya datang!
Kata bagus dalam (3) tidak bermakna baik’ atau tidak buruk, tetapi
sebaliknya. Sementara itu, bila kalimat (4) digunakan untuk menyindir, kata
presiden dalam kalimat (4) tidak bermakna 'kepala negara’, tetapi bermakna
’seseorang yang secara ironis pantas mendapatkan sebutan itu’.
Dari uraian di atas terlihat bahwa makna yang ditelaah oleh semantik
adalah makna yang bebas konteks, sedangkan makna yang dikaji oleh
pragmatik adalah makna yang terikat konteks. Sehubungan dengan
keterikatan konteks ini tidak hanya bagiis‘ dalam dialog (3) bermakna
buruk’, tetapi Besok jangan belajar dan Nonton terus saja juga bermakna
besok rajin-rajinlah belajar’ dan ’hentikan hobi menontonmu’. Dengan
demikian semantik ber sifat bebas konteks (context independent), sedangkan
pragmatil bersifat terikat konteks (context dependent) (Kaswanti Purwc
1990, 16).
Bila diamati lebih jauh, makna yang menjadi kajian seman tik adalah
makna linguistik (linguistic meaning) atau makna semantik (semantic sense),
sedangkan yang dikaji oleh pragmati adalah maksud penutur (speaker
meaning) atau (speaker sensi (Periksa Verhaar, 1977; Parker, 1986, 32).
Makna yang dikaji oleh semantik bersifat diadis. Makna it dapat
dirumuskan dengan kalimat Apa makna x itu? Makna yan ditelaah oleh
pragmatis bersifat triadis. Makna itu dapat dir\. muskan dengan kalimat
Apakah yang kau maksud denga berkata x itu? Dalam bahasa Inggris kedua
konsep makna it dibedakan dengan kalimat What does x mean? dan What do
you mean by x?

3
Menurut Leech (1983, 13) pragmatik sebagai cabang ilm bahasa yang
mengkaji penggunaan bahasa berintegrasi denga tata bahasa yang terdiri dari
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik melalui semantik, seperti
terlihat dalam diagram berikut ini :
Fonologi
Morfologi
Sintaksis
Pragmatik
Semantik

1.3 Sejarah dan Latar Belakang


Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semak dikenal pada
masa sekarang ini walaupun pada kira-kira di dasawarsa yang silam ilmu ini
jarang atau hampir tidak pemí disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini
dilandasi oleh semak sadamya para linguis bahwa upaya mengutik hakikat
bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari
pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan
dalam komunikasi (Leech, 1983, 1; Wijana, 1995, 46).
Linguistik pada era Bloomfield dan para pengikutnya berarti fonetik,
fonemik, atau sedikit lebih jauh morfologi. Sintaksis pada masa ini
dipandang sebagai sesuatu yting abstrak yang jauh berada di luar jangkauan
penelitian mereka. Kesemua ini berubah setelah Chomsky pada akhir tahun
1950-an menemukan sentralitas sintaksis dalam kajian bahasa. Akan tetapi,
seperti halnya kaum strukturalis, dia memandang makna sebagai sesuatu
yang terlalu rumit untuk dianalisis.
Pada awal tahun 1960-an Katz bersama kawan-kawannya mulai
menemukan menemukan cara mengintegrasikan makna dalam teori
linguistik. Mulai tahun-tahun ini keberadaan semantik diperhitungkan oleh
para ahli bahasa. Kemudian Lakoff dan Ross pada tahun 1971 menandaskan
bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari kajian pemakaian bahasa (Leech,
1983, 2; Kaswanti Purwo, 1990, 10). Bila makna telah diakui sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari bahasa, maka sulit diingkari pentingnya konteks

4
pemakaian bahasa karena makna itu selalu berubah-ubah berdasarkan
konteks pemakaian itu. Kenyataan ini membawa konsekuensi bahwa
semantik tidak selalu mudah dibedakan dengan pragmatik, seperti terlihat
dalam kutipan berikut ini :
"... But once meaning has been admitted to a central place in
language, it is notoriously difficult to exclude the way meaning
varies from context to context, and so semantics spills over into
pragmatics (Leech, 1983, 2).
Kehadiran pragmatik hanyalah tahap terakhir dari perkembangan
linguistik yang berangsur-angsur, mulai dari disiplin ilmu yang menangani
data fisik tuturan menjadi disiplin ilmu yang sangat luas bersangkutan
dengan bentuk, makna, dan konteks.
Nama-nama ahli bahasa Amerika yang disebutkan di atas memang
memperlihatkan dominasi Amerika dalam perkembang;in linguistik. Hal ini
sama sekali tidak berarti tidak ada pakar-pakar lain yang patut
diperhitungkan sumbangannya di dalam perkembangan linguistik. Di luar
aliran Amerika ini, jasa Firth karena telaah studi bahasanya yang
mempertimbangkan situasi dan makna, dan Halliday karena teori sosial yang
dikembangkannya agaknya tidak dapat diabaikan begitu saja (Kaswanti
Purwo, 1990, 11).
Firth mengemukakan bahwa kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa
mempertimbangkan konteks situasi yang meliputi partisipasi, tindakan
partisipasi (baik tindak verbal maupun nonverbal), ciri-ciri situasi lain yang
relevan dengan hal yang sedang berlangsung, dan dampak-dampak tindakan
tutur yang diwujudkan dengan bentuk-bentuk perubahan yang timbul akibat
tindakan partisipan. Sementara itu, Halliday memandang studi bahasa
sebagai kajian tentang sistem tanda. Sehiigai salah satu sistem tanda,
menurutnya bahasa adalah sistem makna yang membentuk budaya manusia.
SisU-.m makna ini berkaitan dengan struktur sosial masyarakat. Kata-kata
atau secara lebih luas ba hasa yang digunakan oleh manusia memperoleh
maknanya dari aktivitas-aktivitas yang merupakan kegiatan sosial dengan

5
perantara -perantara dan tujuan-tujuan yang bersifat sosial juga (llalli day &
Hasan, 1985).
Pragmatik merupakan bagian dari ilmu tanda sebenarnya telah
dikemukakan sebelumnya oleh seorang filsuf yang bernama Charles Morris.
Menurut Morris, dalam kaitannya dengan ilmu bahasa, semiotika (semiotics)
memiliki tiga cabang, yakni sintak-tika ’studi relasi formal tanda-tanda’,
semantika 'studi relasi tanda dengan penafsirnya’ (Levinson, 1983, 1). Akan
tetapi, pragmatik yang berkembang saat ini yang mengubah orientasd
linguistik di Amerika pada tahun 1970-an sebenarnya diilhami oleh karya-
karya filsuf seperti Austin (1962) dan Searle (1969) yang termashur dengan
teori tindak tuturnya (Kaswanti Purwn, 1990, 11; Leech, 1983, 2).

1.4 Perbedaan Titik Sorot Keberatan Pragmatik dan Sosiolinguistik


Terhadap Linguistik Struktural
Pragmatik dan sosiolinguistik adalah dua cabang ilmu bahasa yang
muncul akibat adanya ketidakpuasan terhadap penanganan bahasa yang
terlalu bersifat formal yang dilakukan oleh kaum strukturalis. Dalam
hubungan ini pragmatik dan sosiolinguistik masing-masing memiliki titik
sorot yang berbeda di dalam melihat kelemahan pandangan kaum
strukturalis.
Yang menjadi keberatan kaum pragmatisi adalah analisis-analisis
kaum struktural yang semata-mata berorientasi pada bentuk, tanpa
mempertimbangkan bahwa satuan-satuan itu sebenarnya hadir dalam
konteks, baik konteks yang bersifat lingual (co-text) maupun konteks yang
bersifat ekstralingual yang berupa seting spatial dan temporal (spatio-
temporal setting). Diabaikannya konteks tuturan menyebabkan aliran
struktural gagal menjelaskan berbagai masalah kebahasaan. Salah satu di
antaranya adalah masalah kalimat anomali (Cf. Fromkin & Rodman, 1990,
190).
Kalimat anomali adalah kalimat yang secara kategorial gramatikal,
tetapi secara semantis melanggar kaidah kolokasi. Dengan kata lain, kalimat

6
anomali mematuhi kaidah leksemik, tetapi melanggar kaidah sememik
(Lamb, 1969), seperti kalimat (5) dan (6) dibawah ini :
(5) Jono dipermainkan Bola
(6) Mobil saya hanya gerobak
Kalimat (5) secara struktural tidak benar (nonsense) karena hanya Jono
yang mungkin mempermainkan bola, sedangkan bola tidak dapat
mempermainkan Jono. Jadi, di dalam bahasa Indonesia secara formal
kalimat (7) dan (8) yang dapat diterima bukan kalimat (5).
(7) Jono mempermainkan bola
(8) Bola dipermainkan (oleh) Jono.
Demikian pula hadnya dengan kalimat (6). Kalimat ini secara
kategorial tidak menimbulkan masalah karena subjek yang diisi oleh frase
nomina mobil saya dipredikasi oleh frase nomina hanya gerobak Dalam
bahasa Indonesia predikasi semacam itu memungkinkan. Akan tetapi, bila
dilihat secara semantis, subjek dan predikat kalimat ini tidak menampakkan
keselarasan. Entitas makna yang ditunjuk oleh unsur mobil itu tidak
kongruen dengan yang ditunjuk oleh hanya gerobak. Kedua konstituen itu
secara logis tidak berkolokasi. Jawaban-jawaban terhadap keberadaan
kalimat-kalimat sejenis (5) dan (6) tidak dapat diperoleh secara memuaskan
bila konteks pemakaian kalimat bersangkutan yang meliputi penutur dan
lawan tutur, waktu pertuturan, maksud tuturan, dsb. tidak dipertimbangkan.
Adapun konteks pertuturan secara luas yang di dalam pragmatik disebut
(speech situation) akan dibicarakan dalam bab II.
Sementara itu, yang dirasakan memberatkan oleh kaum sosiolinguis
adalah konsep masyarakat homogen (homogenous speech community) yang
dipandang terlalu abstrak dan ideal (War daugh, 1986, 113), seperti terlihat
dalam kutipan berikut :
"However, such a speech community cannot tie our concern. It is a
theoretical construct employed for a narrow purpose. Our speech
community, whatever they are, exist in 'real’ world. Consequently
some alternative view must be developed of speech cofnmunity, one

7
helpful to investigation of language in society rather than necessited by
more abstract linguistic theorizing."
Konsep masyarakat homogen yang menjadi pegangan kaum
strukturalis membawa konsekuensi tidak turut dipertimbangkan nya berbagai
variasi bahasa. Bagi sosiolinguis masyarakat bahasa selalu bersifat
heterogen, dan bahasa yang digunakan selalu menunjukkan berbagai variasi
internal sebagai akibat keberagam an latar belakang sosial sosial budaya
penuturnya (Wardaugh, | 1986; Kaswanti Purwo, 1990, 16). Di dalam
menyusun teori linguistik memang tidak perlu memperhatikan variasi-variasi
kebahasaan yang disebabkan oleh kelalaian, kebingungan, dan kurangnya
perhatian penutur, yang lazim disebut mistake itu, tetapi variasi bahasa yang
nyata-nyata ada akibat berbagai faktor sosial penutur bahasa bersangkutan
hendaknya tidak diabaikan begitu saja. Adanya kenyataan bahwa wujud
bahasa yang digunakan berbeda-beda berdasarkan faktor-faktor sosial yang
tersangkut di dalam situasi pertuturan, seperti jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status sosial ekonomi penutur dan lawan tutur, dan sebagainya
menunjukkan alasan-alasan atau keberatan-keberatan yang dikemukakan
oleh kaum strukturalis untuk menolak keberadaan variasi bahasa tidak dapat
diterima. Secara singkat konsep masyarakat homogen kaum strukturalis
jelas-jelas bertentangan dengan beberapa prinsip yang dikemukakan oleh
Bell (1976, 187-191), terutama dua prinsip yang mengatakan bahwa:
a. Tidak ada penutur bahasa yang memiliki satu gaya (single style speaker)
karena setiap penutur menggunakan berbagai bahasa, dan menguasai
pemakaiannya. Tidak seorang penutur pun menggunakan bahasa secara
persis dalam situasi yang berbeda-beda.

b. Laras bahasa yang digunakan oleh penutur berbeda-beda bergantung


pada jumlah (banyaknya) perhatian yang diberikan kepada tuturan yang
diucapkan. Semakin sadar seseorang penutur terhadap apa yang
diucapkan semakin forma! pula tuturannya.

8
Prinsip yang pertama disebut prinsip pergeseran gaya (The princi-ple
of style shifting), sedangkan prinsip yang kedua disebut prinsip perhatian
(Theprinciple of attention).

9
BAB 2
SITUASI TUTUR

2.1 Standar Kompetensi

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan (1) memiliki

pengetahuan tentang aspek-aspek situasi tutur, (2) dapat membedakan analisis

linguistik struktural dengan analisis Pragmatik

2.2 Aspek-aspek Situasi Tutur


Seperti telah diuraikan dalam bab 1 bahwa pragmatik adalah studi
kebahasaan yang terikat konteks. Untuk ini Leech (1983) mengungkapkan
bahwa Pragmatics studies meaning in relation to speech situation. Untuk
memperjelas batasan ini terlebih dahulu dapat disamak kalimat (9) dan (10)
berikut:
(9) Letaknya jauh dari kota
(10) Temboknya baru dicat
Secara formal, tanpa mempertimbangkan konteks pemakaiannya,
kalimat (9) dan (10) di atas adalah kalimat deklaratif. Seb;igai ka limat
deklaratif, (9) dan (10) berfungsi untuk menginformasikan sesuatu, yakni
’tempat yang bersangkutan jauh dari kota’ dan ’tembok yang sedang
dibicarakan itu baru dicat’. Akan tetapi, bila konteks keberadaan kalimat itu
dipertimbangkan secara seksama. kedua kalimat di atas memungkinkan
dipergunakan untuk menyatakan berbagai maksud. Misalnya, tuturan
Letaknya jauh dan kota dalam (11) berbeda dengan yang terdapat dalam (12)
dan (13). Demikian pula tuturan Temboknya buru dicat dalam (14) berbeda
dengan yang terdapat dalam (15).
(11) + Kita berangkat ke Sanur hari Minggu, ya?
- Letaknya jauh dari kota. Rumahku kosong. Orang tuaku sedang
tidak di rumah.

10
(12) Telah dibuka warung sate Tegal. Letaknya jauh dari kota. Hawanya
segar. Tempat parkir luas.
(13) + Kamu tinggal di mana?
- Di Bantul
+ Naik apa kamu ke fakultas?
- Naik sepeda motor
+ Mengapa tidak naik bus saja?
- Letaknya jauh dari kota.
(14) Rumah Ali yang ada di Puncak, temboknya baru dicat.
(15) Temboknya baru dicat. Iin tadi celananya kotor.
Tuturan Letaknya jauh dari kota dalam (11) berfungsi untuk secara
tidak langsung menolak ajakan lawan tutur, sedangkan dalam (12)
membujuk lawan tutur dalam hal ini calon konsumen dengan secara tidak
langsung mengatakan bahwa warung sate itu tenang, jauh dari keramaian
kota, bebas polusi, dsb; dan dalam (13) berfungsi untuk menginformasikan
tanpa pretensi untuk membujuk atau menyuruh lawan tuturnya. Informasi
yang disampaikan dalam (13) bahwa (-) tidak naik bis ke fakultas karena
tempat tinggalnya jauh dari kota, dan tidak ada bis yang lewat di tempat itu.
Tuturan Temboknya baru dicat dalam (14) cenderung berfungsi untuk
menginformasikan sesuatu, tanpa ada pretensi untuk mempengaruhi lawan
tutur, sedangkan dalam (15) berfungsi untuk memberi peringatan kepada
lawan tuturnya agar jangan menyentuh tembok itu karena tembok itu baru
dicat.
Dari apa yang terurai dalam beberapa alinea di atas, jelas-lah bahwa
sebuah tuturan tidak senantiasa merupakan representasi langsung elemen
makna unsur-unsurnya (Sperber & Wilson, 1989). Sehubungan dengan
bermacam-macamnya maksud yang mungkin dikomunikasikan oleh
penuturan sebuah tuturan, Leech (1983) mengemukakan sejumlah aspek
yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik.
Aspek-aspek itu adalah:
1. Penutur dan lawan tutur

11
Konsep penutur dan lawan tutur iru juga mencakup penulis dan pembaca
bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan.
Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah
usia, latar bclakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban,
dsb.

2. Konteks tuturan
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek
fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks
yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks
seting sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks itu pada
hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (background
knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.
3. Tujuan tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi
oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk
tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan
maksud yang sama, Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat
diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik berbicara
merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented
activities). Bentuk-bentuk tuturan Pagi, Setamat pagi, dan Mat pagi dapat
digunakan untuk menyatakan maksud yang sama, yakni menyapa lawan
bicara (teman, guru, kolega, dan sebagainya.) yang dijumpai pada pagi
hari. Selain itu, Selamat pagi dengan berbagai variasinya bila di u capkan
dengan nada tertentu, dan situasi yang berbeda-beda dapat pula
digunakan untuk mengejek guru ytuig terlambat masuk kelas, atau
kolega (sahabat) yang terlambat datang ke pertemuan, dsb. Jadi, ada
perbedaan yang mendasar antara pandangan pragmatik yang bersifat
fungsional dengan pan dangan gramatika yang bersifat formal. Di dalam
pandangan yang bersifat formal, setiap bentuk lingual yang berbeda tentu

12
memiliki makna yang berbeda. Selain itu, dengan kriteria yang ketiga ini
kalimat-kalimat anomali, seperti Jono dipermainkan bola dan Mobil saya
hanya gerobak (lihat kem-bali 1.3) dapat diterangkan. Kalimat-kalimat
ini secara berturut-turut digunakan untuk mengungkapkan maksud
bahwa Jono tidak pandai bermain bola dan merendahkan diri agar
kedengaran sopan di telinga lawan tuturnya. Tuturan Mobil saya hanya
gerobak dipandang jauh lebih sopan di dalam si-tuasi pertuturan tertentu
bila dibandingkan dengan tuturan (16) dan (17) berikut ini :
(16) Mobil saya bagus sekali.
(17) Mobil saya mercy.
Di dalam bahasa Inggris juga terdapat kalimat anomali My car is a
lemon, atau Golf plays John. Kalimat-kalimat ini secara berturut-turut
diutarakan untuk mengungkapkan maksud bahwa Mobil saya sangat
burak dan John tidak pandai bermain golf. Dengan kenyataan ini jelaslah
kalimat anomali melanggar kaidah semantik bahasa untuk menyatakan
maksud tertentu.
4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas Bila gramatika
menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, seperti
kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, dsb.,
pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi
dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini pragmatik menangani bahasa
dalam tingkatannya yang lebih kongkret dibanding dengan tata bahasa. -
Tuturan sebagai entitas yang kongkret jelas penutur dan lawan tuturnya,
serta waktu dan tempat pengutaraannya.
5. Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperu yang
dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak
tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasil kan merupakan bentuk dari
tindak verbal. Sebagai contoh kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu
panjang? dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam
hubungan ini dapat ditegaskan ada perbedaan mendasar antara kalimat

13
(sentence) dengan tuturan (utturance). Kalimat adaJah entitas gramatikal
sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya
dalam situasi tertentu.

2.3 Perbedaan Analisis Linguistik Struktural dengan Analisis Pragmatik


Yang menjadi pusat perhatian kajian linguistik struktural adalah
bentuk-bentuk lingual tanpa secara sadar mempertimbangkan situasi tuturan
sehingga analisisnya dikatakan bersifat formal. Sementara ‘ itu, yang menjadi
pusat kajian pragmatik adalah maksud pembicara yang secara tersurat atau
tersirST-tii-balik tuturan yang dianalisis. Maksud-maksud tuturan, terutama
maksud yang diimplikasikan hanya dapat diidentifikasikan lewat penggunaan
bahasa itu secara kongkret dengan mempertimbangkan secara seksama
komponen situasi tutur yang telah dise butkan dalam 2.1 di atas.
Berikut ini akan disajikan analisis wacana secara linguistik (struktural)
dan pragmatik. Adapun wacana yang dijadikan bahan analisis adalah teks
iklan bumbu masak nasi goreng Kokita. Bunyi teks iklan itu adalah sebagai
berikut :
(18) Regu tembak : Coba katakan, apa permintaan terakhirmu!
Tahanan : Nasi goreng Kokita.
Regu tembak & Tahanan : Hm! (Makan nasi goreng bersama-sama)
Bila dianalisis secara struktural, wacana (18) di atas adalah dialog yang
terbentuk dari kalimat perintah yang di dalamnya mengandung klausa
interogatif-informatif Coba katakan, apa permintaan terakhirmu! dan kalimat
jawab Nasi goreng Kokita, serta kalimat minor (kalimat tak berklausa) Hmi
Selanjutnya klausa Coba katakan terdiri dari penanda perintah coba dan
predikat katakan. Apa permintaan terakhirmu terbentuk dari kata tanya apa
yang berfungsi sebagai predikat klausa dan permintaan terakhirmu yang
berfungsi sebagai subjek. Kalimat jawab Nasi goreng Kokita adalah frase
nomina atributif yang menduduki fungsi predikat. Akhirnya, HTTÚ kalimat

14
seru yang hanya terdiri dari interjeksi. Selanjutnya analisis gramatika secara
formal biasanya dilanjutkan ke tataran subklausa, tataran kata, dan tataran
morfem. Analisis formal semacam ini tentunya tidak akan dapat menangkap
maksud penulisan wacana iklan itu. Untuk ini analisis dengan pen¬dekatan
pragmatik dapat melengkapinya.
Analisis pragmatik yang mempertimbangkan situasi tutur akan sampai
pada kesimpulan bahwa penulisan wacana (18) di atas terkandung maksud
untuk mengatakan secara tidak lang¬sung bahwa nasi goreng dengan bumbu
masak Kokita sangat enak. Kesimpulan ini ditarik berdasarkan pengamatan
berikut ini. Bila seorang tahanan yang akan menjalani eksekusi di depan regu
tembak ditanyai mengenai permintaan terakhirnya, maka ja¬waban yang
akan diutarakan biasanya adalah bertemu dengan keluarga (anak dan, atau
istri), atau teman terdekat, dan seba¬ginya. Adapun bila demikian jawaban
sang tahanan wacana (18) tidak menimbulkan efek apa-apa, seperti tampak
dalam (19) di bawah ini :
(19) Regu tembak : Coba katakan, apa permintaan terakhirmu?
Tahanan : Bertemu dengan anak istri saya.
Makan nasi goreng Kokita dipandang lebih penting bila dibandingkan
dengan bertemu dengan anak istri. Lezatnya nasi goreng Kokita dapat
melupakan anak dan istri. Selain itu, regu tembak juga sampai lupa akan
kedudukan dan kewajibannya karena ikut bersama menikmati kelezatan nasi
goreng yang diminta pesakitannya. Sungguh hal ini merupakan hal yang
mustahil terjadi. j\lfan tetapi, justru kemustahilan itu yang menjadikan iklan
itu menarik. Akhimya interjeksi Hmi dalam konteks di atas bermakna ’enak
(sekali)’. Di dalam konteks yang lain mungkin bermakna yang lain pula,
mungkin bermakna ’menyindir’ atau ’sinis’ dsb.
Dari uraian di a tas terlihat wacana iklan (18) yang disusun secara tidak
konvensional itu dipandang lebih efektif dibandingkan dengan wacana iklan
konvensional yang penuh dengan ungkapan superlatif, metaforis, hiperbolis,
dan berbagai permainan kata yang serupa (Wijana, 1989, passim, Zainudin,
1994, passim; Sudiasih, 1995, passim). Jadi, jawaban Nasi goreng Kokita

15
yang diungkapkan oleh tahanan dalam (18) bukanlah sekadar in-formasi
biasa, tetapi informasi yang memiliki daya persuasi yang kuat.

16
BAB 3
T1NDAK TUTUR

3.1 Standar Kompetensi

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan dapat

membedakan (1) tindak tutur lokusi, (2) tindak tutur ilokusi, dan (3) tindak

tutur perlokusi.

3.2 Pengantar
Searle di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of
Language (1969, 23-24) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-
tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang
penutur, yakni dndak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary
act), dan tindak perlokusi (perlocu tionary act).

3.1.1 Tindak Lokusi


Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak
tutur ini disebut sebagai The Act of Saying Something. Sebagai contoh
adalah kalimat (20), (21), dan wacana (22) berikut:
(20) Ikan paus adalah binatang menyusui
(21) Jari tangan jumlahnya lima
(22) Fak. Sastra adakan Lokakarya Pelayanan Bahasa Indonesia. Guna
memberikan pelayanan penggunaan bahasa Indonesia, Fakultas Sastra
UGM baru-baru ini menyelenggarakan Lokakarya Pelayanan Bahasa
Indonesia. Tampil sebagai pern bicara dalam acara tersebut Drs. R.
Suhardi dan Dra. Widya Kirana, M.A. Sebagai pesertanya antara lain
pengajar LBIFL dan staf jurusan Sastra Indonesia.
Kalimat (21) dan (22) diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk
menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi
untuk mempengaruhi Lawan tuturnya. Infor-masi yang diutarakan adalah
termasuk jenis binatang apa ikan paus itu, dan berapa jumlah jari tangan.

17
Seperti halnya (20) dan (21), wacana (22) cenderung diutarakan untuk
menginformasikan sesuatu, yakni kegiatan yang dilakuka oleh Fakultas
Sastra UGM, pembicara- pembicara yang ditampilkan, dan peserta kegiatan
itu. Dalam hal ini memang tidak tertutup kemungkinan terdapatnya daya
ilokusi dan perlokusi dalam wacana (22). Akan tetapi, kadar daya lokusinya
jauh lebih dominan atau menonjol.
Bila diamati secara seksama konsep lokusi itu adalah kon-sep yang
berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini
dipandang sebagai satu satuan yang terdiri dari dua unsur, yakni subyek/topik
dim predikat/comment (Nababan, 1987, 4). Lebih jauh tindak lokusi adalah
tindak tutur yang relatif paling mudah untuk diidentifikasikan karena
pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks
tuturan yang tercakup dalam situasi tutur dalam bab II di atas. Jadi, dari
persfektif pragmatik tindak lokusi sebenarnya tidak atau kurang begitu
penting peranannya untuk memahami tindak tutur (Parker, 1986, 15).

3.1.2 Tindak Ilokusi


Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau
menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan
sesuatu. Bila hal ini terjadi, tindak tutur yang terantuk adalah tindak ilokusi.
Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Kalimat (23)
s.d. (26) misalnya cenderung tidak hanya digunakan untuk
menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu sejauh situasi
tuturnya dipertimbangkan secara seksama.
(23) Saya tidak dapat datang
(24) Ada anjing gila
(25) Ujian sudah dekat
(26) Rambutmu sudah panjang
Kalimat (23) bila diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang
baru saja merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan
sesuatu, ( tetapi untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf. Informasi

18
ketidakhadiran penutur dalam hal ini kurang begitu penting karena besar
kemungkinan lawan/tutur sudah mengetahui hal itu. Kalimat (24) yang biasa
ditemui di pintu pagar atau di bagian depan rumah pemilik anjing tidak
hanya berfungsi untuk membawa informasi, tetapi untuk memberi
peringatan. Akan tetapi, bila ditujukan kepada pencun, tu turan itu mungkin
pula diutarakan untuk menakut-nakuti Kalimat (25), bila diucapkan oleh
seorang guru kepada muridnya, mungkin berfungsi untuk memberi
peringatan agar lawan tuturnya (murid) mempersiapkan diri. Bila diucapkan
oleh seorang ayah kepada anaknya, kalimat (25) ini mungkin dimaksudkan
untuk menasihati agar lawan tutur tidak hanya bepergian meng habiskan
waktu secara sia-sia. Wacana (26), bila diucapkan oleh seorang laki-laki
kepada pacarnya, mungkin berfungsi untuk menyatakan kekaguman atau
kegembiraan. Akan tetapi, bila diutarakan oleh seorang ibu kepada anak
lelakinya, atau oleh se orang istri kepada suaminya, kalimat ini dimaksudkan
untuk menyuruh atau memerintah agar sang suami memotong rambutnya.
Dari apa yang terurai di atas jelaslah bahwa tindak ilokusi sangat sukar
diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur
dan lawan tutur, kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya
Dengan demikian tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami
tindak tutur

3.1.3 Tindak Perlokusi


Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai
daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya
Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja
dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya
dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak
perlokusi. Tindak ini disebut the act of affecting someone. Untuk jelasnya
diperhatikan kalimat (8) s.d. (10) di bawah ini :
(8) Rumahnya jauh
(9) Kemarin saya sangat sibuk

19
(10) Televisinya 20 inchi
Seperti telah dipelajari dalam 3.1.2, kalimat sejenis (8) s.d. (10) tidak
hanya mengandung lokusi. Bila kalimat (8) diutarakan oleh seseorang kepada
ketua perkumpulan, maka ilokasinya adalah secara tidak langsung
menginformasikan bahwa orang yang dibicarakan tidak dapat terlalu aktif di
dalam organisasinya. Adapun efek perlokusi yang mungkin diharapkan agar
ketua tidak terlalu banyak memberikan tugas kepadanya Bila kalimat (9)
diutarakan oleh seseorang yang tidak dapat menghadiri undangan rapat
kepada orang yang mengundangnya, kalimat ini merupakan tindak ilokusi
untuk memohon maaf, dan perlokusi (efek) yang diharapkan adalah orang
yang mengundang dapat memakluminya. Bila kalimat (29) diutarakan oleh
seseorang kepada temannya pada saat akan diselenggarakannya siaran
langsung kejuaraan dunia tinju kelas berat, kalimat ini tidak hanya
mengandung Ilokusi, tetapi juga ilokusi yang berupa ajakan untuk menonton
di tempat temannya, dengan perlokusi lawan tutur menyetujui ajakannya.
Dengan uraian di atas secara relatif lebih mudah dapat diketahui bahwa
wacana (30) dan (31) di bawah ini tidak semata-mata mengandung lokusi,
tetapi juga ilokusi, bahkan perlokusi sebagai maksud pengutaraannya yang
utama.
(30) Baru-baru ini Walikota telah membuka Kumia Department Store yarg
letaknya di pusat perbelanjaan dengan tempat parkir yang cukup luas.
(31) Kartu pass tidak berlaku
Wacana (30) disusun bukan semata-mata untuk memberitakan sesuatu,
tetapi secara tidak langsung merupakan undangan atau ajakan untuk
berbelanja ke department store bersangkutan. Letak department store yang
strategis dengan tempat parkirnya yang luas diharapkan memiliki efek untuk
membujuk para pembacanya. Wacana (31) lazimnya ditemui pada iklan film
yang akan atau sedang diputar. Wacana (31) secara tidak langsung mengu
tarakan ilokusi bahwa film yang diputar sangat bagus, dengan perlokusi
dapat membujuk para calon penontonnya.

20
Bila diamati secara seksama, di media-media masa tersebar berbagai
bentuk wacana iklan. Salah satu di antaranya adalah wacana iklan yang
diutarakan dengan bentuk berita. Wijana (1995, passim) menyebut wacana
iklan demikian sebagai wacana berita provokatif. Jadi, secara sepintas
wacana itu merupakan berita, tetapi bila dicermati daya ilokusi dan
perlokusinya sangat besar, seperti terlihat dalam wacana (32) berikut ini :
(32) UPAYA MENGHIDUPKAN SUASANA MALAM
Sedikit saja orang seperti Yudhi Kristanto yang beram ambil
kesempatan dan risiko ’menghidupkan’ suasana malam di Yogyakarta ini.
Bila Yudhi, yang dikenal sebagai master of ceremony dan en-teriainer
serta ketua Himpunan Pengusaha Rumah Makan (Harumi) DIY itu mencoba
mendirikan restoran makanan Jepang ’Oshin’ di Jl. Malioboro 53,
Yogyakarta, semata karena kepedulian kami terhadap Night Life Recreation
di Yogya.
Agaknya restoran Oshin telah dikenal baik oleh khalayak Yogya.
Buktinya, setiap malam resto yang buka pukul 18.00 01.00 dinihari itu selalu
dipadati pengunjung.
Mereka bukan hanya para wisatawan yang kebetulan singgah di Yogya.
Tapi masyarakat Yogya yang ingin sekadar makan malam dan bersantai.
"Karena suasana di Oshin memang memungkinkan untuk releks. Meski anda
bersama relasi kerja dan se..........
Meski mengelola masakan ala Jepang, Cina dan Eropa, Yudhi
menyatakan menjamin bila masakannya benar-benar halal bagi yang
beragama Islam.

(KR 1 Maret 1995)

Bila diungkapkan secara langsung wacana (32) di atas tidak ada


bedanya dengan wacana (33) berikut:
(33) Kunjungilah restoran Oshin!
Tersedia bermacam-macam masakan Jepang, Cina, dan Eropa.

21
Tempat ideal untuk bersantai bersama keluarga, handai tau-lan, dan
rekan sekerja Anda. Dijamin halal.

22
BAB 4
TUTURAN PERFORMATIF DAN TUTURAN KONSTATIF

4.1 Standar Kompetensi

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan (1) mampu

menggunakan tuturan performatif, (2) mampu menggunakan tuturan konstatif.

4.2 Pengantar
Austin (1962) di dalam bukunya How to DO THINGS with WORDS
mengemukakan pandangannya bahwa di dalam mengutarakan tuturan,
seseorang dapat melakukan sesuatu selain mengatakan sesuatu. Sebelum
Austin para filsuf bahasa berpan dangan bahwa berbahasa hanyalah aktivitas
mengatakan sesuatu. Misalnya, bila seseorang mengatakan Hidung saya
hanya satu, memang orang itu hanya mengatakan sesuatu. Akan tetapi, bila ia
mengatakan tuturan (34) s.d. (38) berikut, ia tidak hanya mengatakan sesuatu,
tetapi juga melakukan sesuatu.
(34) Saya mohon maaf atas keterlambatan saya
(35) Saya berjanji mulai hari ini akan mematuhi disiplin kantor.
(36) Saya berani bertaruh bahwa Lconard tidak akan menang melawan
Norris.
(37) Saya umumkan bahwa tarif angkutan lebaran tidak mengalami
kenaikkan.
(38) Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Tuban, seminar ini secara
resmi saya nyatakan dibuka.
Kalimat (34) s.d. (38) di atas secara berturut-turut dipergunakan untuk
melakukan tindakan, yakni tindakan mohon maaf, berjanji, bertaruh,
mengumumkan, dan meresmikan. Tuturan yang pengutaraannya digunakan
untuk melakukan sesuatu, seperti (34) s.d. (38) di atas disebut tuturan
performatif (performative), sedangkan tuturan yang dipergunakan untuk
mengatakan sesuatu disebut tuturan konstatif (Constative). Tuturan
performative tidak mengandung nilai benar dan salah. Menurut Austin

23
tuturan performatif di dalam bahasa Inggris secara gramatikal ditandai
dengan penggunaan subjek orang pertama dan kata kerjanya berkala kini
(present), seperti terlihat dalam tuturan (39) s.d. (42) berikut:

(39) I do (sc. take this woman to be my lawful wedded wife). (Diutarakan


dalam upacara perkawinan).
(40) I name this ship the Queen Elizabeth. (Diutarakan bersamaan dengan
tindakan memecahkan botol).
(41) I give and bequeath; my watch to my brother. (Diutarakan dengan niat
sungguh-sungguh)
(42) I bet you sixpence it will rain tomorrow.

4.3 Validitas Tuturan Performatif


Seperti telah diuraikan dalam bab II bahwa konteks pemakaian bahasa
merupakan aspek yang sangat penting di dalam memahami sebuah tuturan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan konteks dalam pragmatik adalah
semua latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan lawan
tutur. Kenyataan ini menunjukkan bahwa faktor-faktor ekstralingual
memegang peranan penting di dalam analisis pragmatik (Levinson, 1983),
termasuk pula analisis terhadap validitas tuturan performatif.
Austin (1962) mengemukakan bahwa validitas tuturan performatif
tergantung pada terpenuhinya beberapa syarat yang disebut felicity
conditions. Adapun syarat-syarat yang diajukannya adalah:
1. Orang yang mengutarakan dan situasi pengutaraan tuturan itu harus
sesuai. Tuturan saya umumkan bahwa tarif angkutan lebaran tidak
mengalami kenaikan dan seminar iru secara resmi saya nyatakan dibuka
merupakan tuturan performatif bila di-ucapkan oleh orang-orang yang
berwenang, di tempat, serta waktu yang sesuai, misalnya oleh mentri
perhubungan dan dirjen perhubungan pada saat jumpa pers, atau rapat
dengan anggota DPR bagi kalimat pertama; oleh ketua panitia semiliar,
rektor, dsb. di auditorium, atau tempat tertentu bagi kalimat kedua.

24
Apabila syarat-syarat atau salah satu syarat itu tidak dipenuhi, tuturan
bersangkutan tidak valid (infelicitous)

2. Tindakan itu harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh penutur dan


lawan tutur. Tuturan saya bertaruh AC Milan akan menang melawan
Juventus merupakan tuturan performatif bila lawan tutur menerima
ajakan penutur, tetapi bila seandainya tuturan itu dijawab oleh lawan
tutur dengan Muaf, berjudi itu haram bagi saya, atau Saya tidak hobi
berjudi, dan sebagainya., tindak bertaruh itu tidak valid.
3. Penutur dan lawan tutur harus memiliki niat yang sungguh sungguh
untuk melakukan tindakan itu. Sebagai contoh tuturan Selamat ya, atas
prestasmya merupakan tindak performatif bila penutur mengucapkan
tuturannya dilandasi dengan niat atau maksud yang sungguh-sungguh
untuk memberi ucapan selamat. Sebaliknya, bila penutur tidak
mempunyai niat seperti itu, ia sebenarnya tidak senang dengan prestasi
yang dicapai oleh rekannya, tindak tutur itu tidak valid. Begitu pula
tuturan Maafkan kata-kata saya dan saya berjanji akan menjemput anda
di air port nanti secara berturut turut merupakan tuturan performatif bila
penutur secara tulus dan ikhlas berniat memohon maaf dan bersungguh-
sungguh akan menjemput lawan tuturnya di air port. Bila keadaan yang
sebaliknya sebenarnya terjadi, kedua tuturan diatas bukan merupakan
tuturan performatif.
Salah seorang murid Austin, John Searle memperluas syarat-syarat
validitas tindak tutur yang diajukan oleh gurunya. Menurut Searle tuturan
performatif harus mematuhi S syarat berikut ini :
1. Penutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh terhadap apa yang
dijanjikannya. Sebagai contoh tuturan Saya berjanji akan memberimu
sebagian keuntungan yang kita dapat, dapat menjadi tuturan performatif
bila penutur benar-benar berniat untuk memberikan sebagian keuntungan
kepada lawan tuturnya.

25
2. penutur harus berkeyakinan bahwa lawan tutur percaya bahwa tindakan
itu benar-benar akan dilaksanakan. Saya berjanji bahwa saya akan
menyelesaikan skripsi saya dalam lima hari. Tuturan ini bukan
merupakan tindak performatif bila diutarakan oleh penutur yang belum
memulai menulis skripsi karena ia tidak mungkin dapat meyakinkan
lawan tuturnya, dalam hal ini pembimbingnya, bahwasanya ia akan
mampu melaksanakan apa yang dijanjikannya.
3. Penutur harus berkeyakinan bahwa ia mampu melaksanakan tindakan itu.
Tuturan Saya berjanji akan membelikan anda sebuah toyota kijang,
misalnya tidak akan menjadi tuturan performatif bila diutarakan oleh
seorang peminta-minta karena dia tidak akan mampu melaksanakan apa
yang diucapkannya. Akan tetapi, bila diutarakan oleh jutawan, kaiimat
itu mungkin merupakan tindakan performatif sepanjang penutur
mengucapkannya secara tulus.
4. Penutur harus mempredikasi tindakan yang akan dilakukan (future
aetion), bukannya tindakan-tindakan yang sudah di-lakukan. Tuturan
Saya akan ke rumahrnu adalah tuturan performatif, tetapi tuturan Tadi
pagi saya mengikuti upacara bendera bukan tindakan performatif karena
yang pertama mempredikasi tindakan yang akan dilakukan (akan ke
rumah-mu), sedangkan yang kedua mempredikasi tindakan yang sudah
dilakukan (tadi pagi).
5. Penutur harus mempredikasi tindakan yang dilakukannya sendiri, bukan
tindakan yang dilakukan oleh orang lain. Tuturan Saya berjanji akan
datang pada pesta pernikahanmu adalah tuturan performatif karena yang
akan datang adalah penutur sehingga ia memiliki kemungkinan untuk
melaksanakan tindakan itu. Sebaliknya, tuturan Ibu akan menyelesaikan
kebaya anda minggu ini bukan tuturan performatif karena yang akan
menyelesaikan pekerjaan menjahit kebaya bukan penutur, tetapi ibunya.
Bila dibandingkan syarat validitas tindak tutur yang di-ajukan oleh
Austin dan Searle dapat diketahui bahwa syarat Austin yang pertama pada
hakikatnya sama dengan syarat Searle yang ketiga, syarat Austin yang kedua

26
dan ketiga sama dengan syarat Searle yang pertama dan kedua, dan kategori
tuturan performatif Austin, yakni pelaku orang pertama dan kata kerja
berkala kini (present) sama dengan Searle yang keempat dan kelima.

27
BAB 5
JENIS-JENIS TINDAK TUTUR

5.1 Standar Kompetensi

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan (1) mampu

membedakan tindak tutur langsung dan tidak langsung, (2) tindak tutur literal

dan tindak tutur tidak literal, (3) interseksi berbagai jenis tindak tutur.

5.1 Pengantar
Sebelum menguraikan jenis-jenis tindak tutur ada haiknya terlebih
dahulu diamati tuturan (43) s.d. (46) di bawah ini:
(43) Rambutmu sudah panjang
(44) Potonglah rambutmu itu!
(45) Radionya kurang keras
(46) Radionya keras sekali
Tuturan (43) dapat mengandung arti yang sebenarnya, dan berfungsi
untuk menyatakan informasi secara langsung karena mo dusnya adalah
kalimat berita (deklaratif). Akan tetapi, bila tuturan (43) diutarakan oleh
seorang ibu kepada anak laki-laki nya, kalimat (43) mungkin saja merupakan
pengungkapan secara tidak langsung dari (44). Dikatakan secara tidak
langsung karena maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita.
Tuturan (45) dapat mengandung arti yang sebenarnya atau arti literal
bila penutur tidak dapat mendengar radio yang dibunyikan dengan volume
suara yang sangat kecil. Akan tetapi, bila (45) diutarakan oleh seseorang yang
merasa terganggu konsentrasi belajarnya agar lawan tuturnya mematikan
radio yang terlalu keras didengamya itu, tuturan (45) ini memiliki makna
yang lain sekali dengan makna literalnya. Dalam hal ini (45) merupakan
pengungkapan nonliteral dari (46). Dari uraian di atas tindak tutur dapat
dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, dan
tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal.

28
5.1.1 Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung
Secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi
kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (integratif), dan kalimat perintah
(imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk
memberitakan sesuatu (informasi), kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu,
dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau
permohonan. Bila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk
mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah
untuk menyuruh, mengajak, memohon, dsb., tindak tutur yang terbentuk
adalah tindak tutur langsung (direct speech act), seperti dalam (47) s.d. (49)
berikut ini :
(47) Sidin memiliki lima ekor kucing
(48) Di manakah letak pulau Bali ?
(49) Ambilkan baju saya
Di samping itu untuk berbicara secara sopan, perintah dapat diuia-akan
dengan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak
merasa dirinya diperintah. Bila hal ini yang terjadi, terbentuk tindak tutur
tindak langsung (indirect speech act). Untuk ini dapat dilihat kalimat (50) dan
(51) di bawah ini:
(50) Ada makanan di almari
(51) Di mana sapunya ?
Kalimat (50), bila diucapkan kepada seorang teman yang membutuhkan
makanan, dimaksudkan untuk memerintah lawan tuturnya mengambil
makanan yang ada di almari yang dimaksud, bukan sekadar untuk
menginformasikan bahwa di almari ada makanan. Demikian pula tuturan (51)
bila diutarakan oleh seorang ibu kepada seorang anak, tidak semata-mata
berfungsi untuk menanyakan di mana letak sapu itu, tetapi juga secara ti dak
langsung memerintah sang anak untuk mengambil sapu itu. Untuk ini
perhatikan wacana (52) dan (53) sebagai perluasan kon teks (50) dan (51):
(52) + Din, perutku kok lapar, ya
- Ada makanan di almari

29
+ Baik, kuambil semua, ya?
(53) Ibu : Di mana sapunya, ya?
Anak : Sebentar, bu, akan saya ambilkan
Kesertamertaan tindakan (-) dalam (52) dan (53) karena ia mengetahui
bahwa tuturan yang diutarakan oleh lawan tuturnya bukanlah sekadar
menginformasikan sesuatu, tetapi menyuruh orang yang diajak berbicara.
Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung biasanya ti dak dapat
dijawab secara langsung, tetapi harus segera dilak sanakan maksud yang
terimplikasi di dalamnya. Tuturan (54) dan (55) yang secara tidak langsung
dipergunakan untuk memohon maaf, dan menyuruh seorang tamu
meninggalkan tempat pon dokan mahasiswa putri, tidak dapat dijawab secara
langsung, tetapi harus dengan pemberian maklum atau maaf, dan tindakan
untuk segera meninggalkan pondokan. Oleh karena itu, (56) dan (57) terasa
janggal, sedangkan (58) dan (59) terasa lazim untuk mereaksi (54) dan (55)
dalam konteks tersebut:
(54) Saya kemarin tidak dapat hadir
(55) Jam berapa sekarang ?
(56) + Saya kemarin tidak dapat hadir
- Sudah tahu. Kemarin kamu tidak kelihatan
(57) + Jam berapa sekarang ?
- Jam 12 malam, Bu
(58) - Saya kemarin tidak dapat hadir
+ Ya, tidak apa-apa
(59) + Jam berapa sekarang ?
- Ya Bu, sekarang saya pamit.
Dari uraian di atas skema penggunaan modus kalimat dalam kaitannya
dengan kelangsungan tindak tutur dapat digam- barkan sebagai berikut:

Tindak Tutur
Modus
Langsung Tidak Langsung
Berita Memberitakan Menyuruh
Tanya Bertanya Menyuruh

30
Perintah Memerintah
l
Skema di atas juga menunjukkan bahwa kalimat perintah tidak dapat
digunakan untuk mengutarakan tuturan secara tidak langsung.

5.1.2 Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal


Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang
maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya, sedangkan
tindak tutur tidak literal (norditeral speech act) adalah ur dak tutur yang
maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang
menyusunnya. Untuk jelasnya dapat diperhatikan kalimat (60) s.d. (64)
berikut:
(60) Penyanyi itu suaranya bagus
(61) Suaramu bagus, (tapi tak usah nyanyi saja)
(62) Radionya keraskan! Aku ingin mencatat lagu itu.
(63) Radionya kurang keras. Tolong keraskan lagi. Aku mau belajar.
Kalimat (60), bila diutarakan untuk maksud memuji atau mengagumi
kemerduan suara penyanyi yang dibicarakan, merupakan tindak tutur literal,
sedangkan (61), karena penutur memaksudkan bahwa suara lawan tuturnya
tidak bagus dengan mengatakan tak usah nyanyi saja, merupakan tindak tutur
tidak literal. Demikian pula karena penutur benar-benar menginginkan lawan
tutur untuk mengeraskan (membesarkan) volume radio untuk dapat secara
lebih mudah mencatat lagu yang diperdengarkannya, tindak tutur kalimat
(62) adalah tindak tutur literal. Sebaliknya, karena penutur sebenarnya
menginginkan lawan tutur mematikan radionya, tindak tutur dalam (63)
adalah tindak tutur tidak literal.

5.1.3 Interseksi Berbagai Jenim Tindak Tutur


Bila tindak tutur langsung dan tidak langsung dising gungkan
(diinterseksikan) dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, akan
didapatkan tindak tutur-tindak tutur berikut ini:
1. Tindak tutur langsung literal

31
2. Tindak tutur tidak langsung literal
3. Tindak tutur langsung tidak literal
4. Tindak tutur tidak langsung tidak literal

5.1.3.1 Tindak Tutur Langsung Literal


Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak
tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan
maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat
perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan sesuatu dengan
kalimat tanya, dsb. Untuk ini dapat diperhatikan kalimat (64) s.d. (66)
berikut:
(64) Orang itu sangat pandai
(65) Buka mulutmu
(66) Jam berapa sekarang ?
Tuturan (64), (65), dan (66) merupakan tindak tutur langsung literal
bila secara berturut-turut dimaksudkan untuk memberitakan bahwa orang
yang dibicarakan sangat pandai, menyuruh agar lawan tutur membuka mulut,
dan menanyakan pukul berapa ketika itu. Maksud memberitakan diutarakan
dengan kalimat berita (64), maksud memerintah dengan kalimat perintah
(65), dan maksud bertanya dengan kalimat tanya.

5.1.3.2 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal


Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah
tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai
dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya
sesuai dengan apa yang dimaksud-kan penutur. Dalam tindak tutur ini
maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya.
Untuk jelasnya dapat dilihat kalimat (67) dan (68) di bawah ini:
(67) bantalnya kotor
(68) Di mana handuknya?

32
Dalam konteks seorang ibu rumah tangga berbicara dengan
pembantunya pada (67), tuturan ini tidak hanya informasi tetapi terkandung
maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat
berita. Makna kata-kata yang menyusun (67) sama dengan maksud yang
dikandungnya. Demikian pula daiam konteks seorang suami bertutur dengan
istrinya pada (68)maksud memerintah untuk mengambilkan handuk
diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat tanya, dan makna kata-
kata yang menyusunnya sama dengan maksud yang dikandung. Untuk
memperjelas maksud memerintah (67) dan (68) di atas, perluasannya ke
dalam konteks (69) dan (70) diharapkan dapat membantu :
(69) + Lantainya kotor
- Baik, saya akan menyapu sekarang, Bu.
(70) + Di mana handuknya ?
- Sebentar, saya ambilkan.
Adalah sangat lucu dan janggal bila dalam konteks seperti (67) dan (68)
seorang pembantu dan istri menjawab seperti (71) dan (72) berikut:
(71) + Lantainya kotor
- Memang kotor sekali ya, Bu.
(72) + Di mana handuknya?
- Di almari
Jawaban (-) dalam (71) dan (72) akan mengagetkan sang majikan yang
memang sudah merasa jengkel melihat lantai kamar rumahnya kotor, dan
mengejutkan sang suami yang lupa membawa handuk, dan sekarang sudah
terlanjur berada di akmar mandi.

5.1.3.3 Tindak Tutur Lansung Tidak Literal


Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah
tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan
maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna
yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan

33
dengan kalimat perintah, dan maksud menginformasikan dengan kalimat
berita. Untuk jelasnya dapat diperhatikan (73) dan (74) di bawah ini :
(73) Suaramu bagus, kok
(74) Kalau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu!.
Dengan tindak tutur langsung tidak literal penutur dalam (73)
memaksudkan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus. Sementara itu
dengan kalimat (74) penutur menyuruh lawan tuturnya yang mungkin dalam
hal ini anaknya, atau adiknya untuk menutup mulut sewaktu makan agar
terlihat sopan. Data (73) dan (74) menunjukkan bahwa di dalam analisis
tindak tutur bukanlah apa yang dikatakan yang pen ting, tetapi bagaimana
cara mengatakannya.
Hal lain yang perlu diketahui adalah kalimat tanya tidak dapat
digunakan untuk mengutarakan tindak tutur langsung tidak literal.

5.1.3.4 Tindak Tutur Tidak Langiung Tidak Literal


Tindak tutur tidak langsung tidak literal [indirect nonliteral speech act)
adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna
kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Untuk
menyuruh seorang pembantu menyapu lantai yang kotor, seorang majikan
dapat saja dengan nada tertentu mengutarakan kalimat (75). Demikian pula
untuk menyuruh seorang tetangga mematikan atau mengecilkan volume
radionya, penutur dapat mengutarakan kalimat berita dan kalimat tanya (76)
dan (77) berikut:
(75) Lantainya bersih sekali
(76) Radionya terlalu pelan, tidak kedengaran
(77) Apakah radio yang pelan seperti itu dapat kau dengar?
Akhirnya secara ringkas dapat diikhtisarkan bahwa tindak tutur dalam
bahasa Indonesia dapat dibagi atau dibedakan menjadi:
1. Tindak tutur langsung
2. Tindak tutur tidak langsung
3. Tindak tutur literal

34
4. Tindak tutur tidak literal
5. Tindak tutur langsung literal
6. Tindak tutur tidak langsung literal
7. Tindak tutur tidak langsung literal
8. Tindak tutur tidak langsung tidak literal.

35
BAB 6
PRESUPOSISI, IMPLIKATUR DAN ENTAILMENT

6.1 Standar Kompetensi

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan (1) mampu

memahami Presuposisi (praanggapan), (2) implikatur percakapan, dan (3)

entailment.

6.2 Presuposisi

Sebuah kalimat dapat mempresuposisikan dan mengimpli kasikan kalimat


yang lain. Sebuah kalimat dikatakan mempresu posisikan kalimat yang lain jika
ketidakbenaran kalimat yang kedua (yang dipresuposisikan) mengakibatkan
kalimat yang pertama (yang mempresuposisikan) tidak dapat dikatakan benar atau
salah. Untuk jelasnya dapat diperhatikan kalimat (78) dan (79) berikut:
(78) Buku Siti Nurbaya sangat memikat
(79) Istri pejabat itu cantik sekali
Kalimat (78) mempresuposisikan bahwa ada buku yang berjudul Siti
Nurbaya. Bila memang ada buku yang berjudul seperti itu, kalimat (1) dapat
dinilai benar dan salahnya. Akan tetapi, bila tidak ada buku yang berjudul Siti
Nurbaya kalimat (78) tidak dapat dinilai benar dan salahnya. Sementara itu,
kalimat (79) mempresuposisikan pejabat itu mempunyai isteri. Bila memang
pejabat yang dknaksudkan mempunyai isteri, kalimat (79) dapat dinilai benar dan
salahnya. Akan tetapi, bila hal sebaliknya menjadi kenyataan, kalimat (79) tidak
dapat ditentukan kebenarannya
Grice (1975) dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation
mengemukakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang
bukan merupakan bagian dari tuturan bersangkutan. Proposisi yang
diimplikasikan itu disebut implikatur (irnplicature). Karena implikatur bukan
merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, hubungan kedua proposisi
itu bukan merupakan konsekuensi mutlak (necessary consegience). Untuk
jelasnya dapat diperhatikan wacana (80) dan (81) berikut:

36
(80) + Ali sekarang memelihara kucing
- Hati-hati menyimpan daging
(81) + Ani di mana, Ton T'
- Tati di rumah W awan.

Tuturan (-) dalam (80) bukan merupakan bagian dari tuturan (+). Tuturan
(+) muncul akibat inferensi yang didasari oleh latar be-lakang pengetahuan
tentang kucing dengan segala sifatnya. Adapun salah satu sifatnya adalah senang
makan daging. Demikian pula, tuojran (-) dalam (81) bukan merupakan bagian
dari tuturan (+). Tuturan (-) muncul akibat inferensi yang didasari oleh latar
belakang pengetahuan tentang Ani. Ani adalah teman akrab Tati. Kalau Tati di
sana, tentu Ani ada pula di sana.
Tuturan (-) dalam (80) dan (81) bukan merupakan bagian dari tuturan (+)
karena masih dimungkinkan membuat (82) dan (83) seperti terbukti di bawah ini.
(82) Walaupun Ali sekarang memelihara kucing, tetapi kita tidak perlu hati-
hati menyimpan daging.
(83) Walaupun Tati ada di sana, Ani tidak ada di sana.
Mungkinnya (82) dan (83) berdiri sebagai kalimat yang gramatikal atau
berterima karena secara semantis tuturan (-) dan (+) dalam (80) dan (81) tidak
ada keterkaitan. Keberterimaan (82) dan (83) bila dihubungkan dengan tuturan (+)
dalam (80) dan (81) mungkin karena kucing Ali selalu ada di dalam rumah, atau
Ali sangat rajin memberi makan kucingnya; Hubungan Ani dan Tati tidak seerat
dulu lagi, dan sebagainya.
Dengan tidak adanya keterkaitan semantis antara suatu tuturan dengan yang
diimplikasikan, maka dapat diperkirakan bahwa sebuah tuturan akan
memungkinkan menimbulkan impli katur yang tidak terbatas jumlahnya. Dalam
contoh (84), (85), dan (86) berikut ini terlihat bahwa tuturan (+) Bambang (lalang
memungkinkan memunculkan reaksi yang bermacam-macam. Rokoknya
disembunyikan, Aku akan pergi, dan Kamarnya dibrrsih kan. Masing-masing
reaksi itu memunculkan implikasi yang berbeda-beda.
(84) + Bambang datang

37
- Rokoknya disembunyikan
(85) + Bambang,datang
- Aku akan pergi dulu
(86) + Bambang datang
- Kamarnya dibersihkan
Jawaban (-) dalam (84) mungkin mengimplikasikan bahwa Barn bang
adalah perokok, tetapi ia tidak pernah membeli rokok. Merokok kalau ada yang
memberi, dan tidak pernah memberi maunya, dan sebagainya. Jawaban (-) dalam
(85) mungkin meng implikasikan bahwa (-) tidak senang dengan Bambang.
Akhirnya jawaban (-) dalam (86) mengimplikasikan bahwa Bambang adalah
seorang pembersih, la akan marah-marah melihat sesuatu yang kotor. Penggunaan
kata mungkin dalam menafsirkan implikatur yang ditimbulkan oleh sebuah
tuturan tidak terhindarkan silai nya sehubungan dengan banyaknya kemungkinan
implikasi yang melandasi kontribusi (-) dalam (80), (81), (84), (85) dan (86).
Berbeda halnya dengan implikatur, seperti tercermin dalam relasi tuturan (-)
dan (+) dalam (80), (81), (84), (85), dan (86). pertalian (+) dan (-) dalam (87) dan
(88) bersifat mutlak. Hubungan (-) dan (+) dalam hal ini disebut entailment
(87) + Ali membunuh Johny.
- Johny mati.
(88) + Dimas menggoreng ikan.
- Dimas memasak ikan.
Tuturan (-) dalam (87) dan (88) merupakan bagian atau kosekuensi mutlak
(necessary consequencej dari tuturan (+) karena membunuh secara mutlak
mengakibatkan mati, dan menggoreng secara mutlak berarti memasak.
Sehubungan dengan ini kalimat (89) dan (90) tidak dapat diterima.
(89) Walaupun Ali membunuh Johny, tetapi Johny tidak mati.
(90) Walaupun dimas menggoreng ikan, tetapi ia tidak memasaknya
Yang benar adalah jika Johny tidak mati maka Ali tidak membunuh Johny.
Kalau Dimas menggoreng ikan tentu ia harus memasak ikan itu karena
menggoreng adalah salah satu cara memasak ikan. Contoh lain adalah tuturan
(91), (92), dan (93) berikut:

38
(91) + Ani seorang janda.
- Ani pernah memiliki suami.
(92) + Ani memiliki anak.
- Ani sudah kawin.

(93) + Anaknya seorang sarjana.


- Anaknya pernah kuliah diperguruan tinggi.
Wacana (91), (92), dan (93) tidak pernah dapat diubah bantuknya menjadi
(94), (95), dan (96) berikut ini :
(94) Walaupun Ani seorang janda, tetapi ia belum pernah bersuami.
(95) Walaupun Ani memiliki anak, tetapi ia belum kawin.
(96) Walaupun anaknya sarjana, anaknya tidak pernah kuliah diperguruan
tinggi.

39
BAB 7
KALIMAT ANALITIS, KONTRADIKTIF DAN SINTETIS

7.1 Standar Kompetensi

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan (1) mampu

menghindari penggunaan kalimat analitis, (2) mampu meminimalkan

penggunaan kalimat kontradiktif, dan (3) dapat menggunakan kalimat sintetis

7.2 Pengantar
Bila entailment dan presuposisi berkaitan dengan rclasi kebenaran yang
terdapat di antara dua kalimat, kalimat analitis, kontradiktif, dan sintetis
berhubungan dengan relasi kebenaran yang terdapat dalam sebuah kalimat.

7.3 Kalimat Analitis


Kalimat anahtis adalah kalimat yang kebenarannya terletak pada kata-
kata yang menyusunnya. Kalimat (97), (98), dan (99) berikut adalah kalimat-
kalimat yang mengandung kebenaran analitis (analytical truth).
(97) Pensil adalah alat tulis.’
(98) Kelinci adalah binatang berkaki empat.
(99) Rumah adalah tempat tinggal.
Kalimat (97), (98), dan (99) benar bukan karena kenyataannya emang
demikian, tetapi karena di dalam bahasa Indonesia kata pensil, kelinci, dan
rumah secara berturut-turut bermakna ’alat tulis’, 'sebangsa binatang berkaki
empat’, dan ’tempat tinggal’. Ke benaran kalimat (97), (98), dan (99) tidak
perlu diverifikasikan secara empiris dengan pengetahuan yang bersifat
ekstralinguistik. Oleh karenanya kebenaran ketiga kalimat tersebut
dinamakan kebenaran linguistik (linguistic trutli).

7.4 Kalimat Kontradiktif


Kalimat kontradiktif berlawanan dengan kalimat analitis. Bila kalimat
analitis benar karena kata-kata yang menyusunnya di dalam bahasa yang

40
bersangkutan memang bermakna demikian, kalimat kontradiktif salah karena
bertentangan maknanya dengan kata-kata yang menyusunnya. Kalimat (100)
dan (101) di bawah ini merupakan contoh-contoh kalimat kontradiktif.
(100) Segi tiga memiliki 4 buah sudut
(101) Presiden itu bukan kepala negara.

Kalimat (100) dan (101) salah karena dalam bahasa Indonesia segi tiga
bermakna ’sesuatu yang memiliki tiga sudut’, dan presiden bermakna kepala
negara’. Untuk menentukan bahwa (100) dan (101) di atas salah, tidak
pula dibutuhkan pengetahuan luar bahasa. Sehubungan dengan hal ini
ketidakbenaran kalimat kontradiktif disebut ketidakbenaran linguistik
(linguistik falsities) karena ketidakbenarannya didasarkan pada kenyataan
bahasa bersangkutan, bukan kenyataan yang terdapat di luar bahasa.

7.5 Kalimat Sintetis


Kalimat sintetis adalah kalimat yang kebenarannya bergan-tun^ ijada
fakta-fakta luar bahasa. Kebenaran kalimat. sinie.hs tidak bergantung pada
kebenaran makna kata-kata yang menyusunnya, tetapi karena kalimat ini
sesuai atau tidak sesuai dengan keadaan dunia yang ada di luarnya. Kalimat
(102) dan (103) berikut adalah contoh-contoh kalimat yang mengandung
kebenaran sintetis.
(102) Fakultas Sastra UGM terletak di Bulaksumur.
(103) Tetangga dekat saya memelihara burung bayan dan nuri.
Kebenaran (102) dan (103) tidak dapat ditemukan melalui analisis
makna kata-kata yang menyusunnya, tetapi harus diverifikasi secara empiris
dengan menghubungkannya dengan kenyataan luar bahasa, seperti Fakultas
Sastra adalah salah satu fakultas di Kalimat Analitis. Kontradiktif dan Sintetis
UGM, ada tempat yang bernama Bulaksumur, dsb. Penutur kali mat (103)
memiliki tetangga yang gemar memelihara burung. Ada burung yang
bernama bayitn dan nuri. Bila pertanyaan kalimat dan (103) sesuai dengan
kenyataan, kalimat sintetis itu di katakan benar, sedangkan bila tidak sesuai

41
kalimat-kalimat ber sangkutan dikatakan salah. Fakta-fakta ini menunjukkan
bahwa kebenaran kalimat sintetis bersifat empiris (empirical inith, ernpm cal
falsities).

42
BAB 8
PRINSIP KERJASAMA

8.1 Standar Kompetensi

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan mampu

bertutur berdasarkan (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim

relevansi, dan (4) maksim pelaksanaan

8.2 Pengantar

Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial


yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya.
Di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari baiiwa ada
kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan inter-
pretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap
peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan
terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu (Allan, 1986, 10).
Di dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa
seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk
mengkomunikasilcan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan
'bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk ini
penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan
mudah dipahami, padat dan ringkas (concise), dan selalu pada persoalan (stright
forward), sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya. Misalnya, orang
akan menggunakan bentuk tuturan Tolong! dan Dapatkah anda menolong saya?
untuk situasi dan keperluan yang berbeda. Di dalam keadaan darurat orang akan
cenderung menggunakan bentuk ujaran yang pertama, sedangkan orang memohon
bantuan orang lain di dalam situasi yang tidak begitu mendesak, ia akan
cenderung menggunakan ujciran yang kedua. Akan sangat anehlah bila seseorang
yang akan tenggelam di kolam renang, misalnya meminta bantuan dengan
menggunakan ujaran yang kedua Sebaliknya, seseorang yang memohon bantuan

43
tidak selayaknya mengucapkan ujaran yang pertama dengan volume suara dan
intonasi yang sama dengan orang yang tenggelam. Bila terjadi penyimpangan, ada
impli kasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya, bila implikasi
itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerja sama
atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat diasumsikan bahwa ada
semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara
agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar.
Grice mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja
sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan (conversational
maxirn), yakni maksim kuan-titas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim
of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan
(maxim of manner) (Grice, 1975, 45-47; Parker, 1986, 23; War-daugh, 1986, 202;
Sperber & Wilson, 1986, 33-34).

8.3 Maksim Kuantitas


Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan
kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oieh lawan
bicaranya. Misalnya penutur yang berbicara secara wajar tentu akan memilih
(104) dibandingkan dengan (105).
(104) Tetangga saya hamil
(105) Tetangga saya yang perempuan hamil.
Ujaran (104) di samping lebih ringkas, juga tidak menyimpangkan nilai
kebenaran (truth value). Setiap orang tentu tahu bahwa hanya orang-orang
wanitalah yang mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan
dalam tuturan (105) sifatnya berlebih-lebihan. Kata hamil dalam (105) sudah
menyarankan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan dalam (1050 justru
menerangkan hal-hal yang sudah jelas. hid ini bertentangan dc ngan maksim
kuantitas. Sebagai contoh lain, misalnya Allan (1986) menggunakan kalimat
bahasa inggris (106) dan (107) di bawah ini

44
(106) There is a male adult human being in upright stance using his legs as a
means of locomotion to propel himsol up a scries of flat-topped
structures of some six or seven inches high
(107) There is a man going upstair.
Kalimat (106) tidak dapat dijumpai penggunaannya di dalam bahasa
Inggris. Untuk mengungkapkan konsep yang saina mereka menggunakan
(107). Sebagai contoh lain dapat dipertimbangkan wacana (108) dan (109)
berikut :

(108) + Siapa namamu.


- Ani
+ Rumahmu di mana ?
- Klaten, tepatnya di Pedan + Sudah bekerja ?
- Belum masih mencari-cari
(109) + Siapa namamu ?
- Ani, rumah saya di Klaten, tepatnya di Pedan. Saya be lum bekerja.
Sekarang saya masih mencari pekerjaan. Saya anak bungsu dari
lima bersaudara. Saya pernah kuliah di UGM, tetapi karena tidak
ada biaya, saya ber henti kuliah.
Bila (108) dan (109) dibandingkan, terlihat (-) dalam (108) bersilat
kooperatif, sedangkan (-) dalam (108) memberikan kontribusi yang secara
kuantitas memadai, atau mencukupi pada setiap tahapan komunikasi.
Sementara itu, peserta pertuturan (-) dalam (109) tidak kooperatif karena
memberikan kontribusi yang berlebih-lebihan. Kontribusi (-) yang berupa
informasi alamat, status pekerjaannya, statusnya dalam keluarga,
pengalamannya pernah kuliah di UGM, dsb. belum dibutuhkan oleh (+) pada
tahap itu.
Andaikata (+) bertanya dengan tuturan Coba ceritakan siapa kamu? di
dalam konteks wawancara untuk melamar suatu pekerjaan, misalnya,
jawaban (-) dalam (109) bersifat kooperatif, dan jawaban (-) dalam (108)

45
tidak kooperatif karena tidak memadai dari rpa yang dibutuhkan
pewawancaranya. Untuk ini pertimbangkan (110) dan (111) berikut :
(110) + Coba ceritakan siapa kamu!
- Nama saya Ani.
(111) + Coba ceritakan siapa kamu!
Nama saya Ani. Rumah saya di Klaten, tepatnya di Pedan. Saya belum
bekerja Sekarang saya masih mencari pekerjaan. Saya anak bungsu dari lima
bersaudara. Saya pernah kuliah di UGM, tetapi karena tidak ada biaya, saya
berhenti kuliah

8.4 Maksim Kualitas


Maksim percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan
mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya
didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya seseorang harus
mengatakan bahwa ibu kota Indonesia Jakarta bukan kota-kota yang lain
kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Akan tetapi, bila terjadi hal yang
sebaliknya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal demikian bisa terjadi. Untuk
ini dapat diperhatikan wacana (112) di bawah ini :
(112) Guru : Coba kamu Andi, apa ibu kota Bali ?
Andi : Surabaya, Pak guru.
Guru : Bagus, kalau begitu ibu kota Jawa timur Denpasar, ya ?
Dalam wacana (1 12) di atas tampak guru memberikan kontribusi yang
melanggar maksim kualitas. Guru mengatakan ibu kota Jawa Timur
Denpasar bukannya Surabaya. Jawaban yang tidak mengindahkan maksim
kualitas ini diutarakan sebagai reaksi terhadap jawaban Andi yang salah.
Dengan jawaban ini sang murid (Andi) sebagai individu yang memiliki
kompetensi komunikatif (commurucative compatence) kemudian secara serta
merta mencari jawaban mengapa gurunya membuat pernyataan yang salah.
Mengapa kalimat Bapak guru diutarakan dengan nada yang berbeda. Dengan
bukti-bukti yang memadai akhimya Andi mengetahui bahwa jawabannya
terhadap pertanyaan gurunya salah. Kata bagus yang diucapkan gurunya

46
tidak konvensional karena tidak digunakan seperti biasanya untuk memuji,
tetapi sebaliknya untuk mengejek. Jadi, ada alasan-alasan pragmatis
mengapa guru dalam (112) memberikan kontribusi yang melanggar maksim
kuantitas. Wacana (113) berikut pelanggaran maksim kualitasnya ditujukan
untuk mendapatkan efek lucu (comic effed).
(113) + Ini sate ayam atau kambing
- Ayam berkepala kambing.

8.5 Maksim Relevansi


Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakap;in
memberikan kontribusi yang relcvan dengan masalah pembi-caraan. Untuk
lebih jelasnya perhatikan wacana (114) berikut:
(114) + Pak ada tabrakan motor lawan truk di pertigaan depan.
- Yang menang apa hadiahnya?
Dialog di atas adalah percakapan antara seorang ayah dengan anaknya.
Bila sang ayah sebagai peserta percakapan yang kooperatif, maka tidak
selayaknyalah ia mempersamakan peristiwa kecelakaan yang dilihat anaknya
itu dengan sebuah pertandingan atau kejuaraan. Di dalam kecelakaan tidak
ada pemenang, dan tidak ada pula pihak yang akan menerima hadiah. Semua
pihak akan menderita kerugian, bahkan ada kemungkinan salah satu, atau
kedua belah pihak meninggal dunia. Agaknya di luar muk sud untuk melucu
kontribusi (-) dalam (114) sulit dicarikan hubungan implikasionalnya. Untuk
ini bandingkan dengan (115) dan (1 16) berikut:
(115) + Ani, ada telepon untuk kamu.
(116) - Saya lagi di belakang, Bu.
+ Pukul berapa sekarang, Bu
- Tukang koran baru lewat.
Jawaban (-) pada (115) dan (116) di atas sepintas tidak berhubungan,
tetapi bila dicermati, hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Jawaban

47
(-) pada (115) mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak dapat menerima
telpon itu secara langsung. Ia secara tidak langsung menyuruh/minta tolong
agar ibunya menerima telepon itu. Demikin pula, kontribusi (-) pada (116)
memang tidak secara eksplisit menjawab pertanyaan (+). Akan tetapi, dengan
memperhatikan kebiasaan tukang koran mengantarkan surat kabar atau
majalah kepada mereka, tokoh (+) dalam (116) dapat membuat inferensi
pukul berapa ketika itu. Dalam (116) terlihat penutur dan lawan tutur
memiliki asumsi yang sama sehingga hanya dengan mengatakan Tukang
koran bani lewat tokoh (+) sudah merasa teijawab pertanyaannya. Fenomena
(115) dan (116) mengisyaratkan bahwa kontribusi peserta tindak ucap
relevansinya tidak selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi
memungkinkan pula pada apa yang diimplikasikan ujaran itu.
Kecenderungan adanya keterkaitan antara bagian-bagian ujaran di dalam
dialog secara eksplisit ditegaskan oleh Grice sebagai berikut :
"Our talk exchangesdo not normally consists of a succession of
disconected remarks, and would not be rational if they did. They are
characteristically, or to some degree at least, cooperative efforts; and
each participants recognizes in them .. (Grice, 1975, 45).

8.6 Maksim Pelaksanaan


Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan
berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-
lebihan, serta runtut. Dalam kaitannya dengan prinsip ini Parker (1986, 23)
memberi contoh wacana (117) berikut:
(117) + Let’s stop and get something to eat.
- Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S
Dalam (117) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara tidak langsung,
yakni dengan mengeja satu persatu kata Mc Donalds. Penyimpangan ini
dilakukan karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari
makanan itu mengetahui maksud-nya. anak-anak kecil dalam batas-batas
umur tertentu memang akan kesulitan atau tidak mampu menangkap makna

48
kata yang dieja hurufnya satu persatu. Cara ini sering dilakukan oleh orang
tua kalau anaknya meminta barang-barang mainnan yang mahai bila
berbelanja di toko atau pasar swalayan. Untuk mengecoh anaknya seorang
ibu sering mengucapkan tuturan (118) di bawah ini :
(118) Nanti kalau di Gardena jangan lewat di tempat b-o-n-e-k-a, yal
Dengan maksim ini seorang penutur juga diharuskan menafsirkan kata-
kata yang digunakan oleh lawan bicaranya secara taksa berdasarkan konteks-
konteks pemakaiannya. Hal ini didasari prinsip bahwa ketaksaan tidak akan
muncul bila kerja sama antara peserta tindak tutur selalu dilandasi oleh
pengamatan yang seksama terhadap kriteria-kriteria pragmatik yang
digariskan oleh Leech dengan konsep situasi tuturnya (periksa kembali bab
II). Sehubungan dengan ini dalam situasi pertuturan yang wajar wacana
(119) dan (120) berikut tidak akan ditemui:
(119) + Masak Peru ibu kotanya Lima...Banyak amat.
- Bukan jumlahnya, tetapi namanya.
(120) + Saya ini pemain gitar solo
- Kebetulan saya orang Solo. Coba hibur saya dengan lagu-lagu
daerah Solo.
Bila konteks pemakaian dicermati kata Lima yang diucapkan (*) tidak
mungkin ditafsirkan atau diberi makna ’nama bilangan, dan solo yang
bermakna ’tunggal ditafsirkan ’nama kota di Jawa Tengah' karena di dalam
pragmatik konsep ketaksaan (ambiguity) tidak dikenal.
Maksim pelaksanaan juga mengharuskan para peserta per-tuturan
berbicara secara runtut. Contoh (121) berikut menyimpangkan aspek
keruntutan yang sangat penting artinya bagi kebermaknaannya.
(121) Margie was crying. Her ballon had burst after hitting a branch. The
wind had carried into a tree. It had suddenly caught it, though she’d
been holding tightly onto it. It was Sunday, and her father had bought
her a beautiful new ballon.
Wacana (122) berikut ini memiliki urutan yang jauh lebih logis daripada
(121):

49
(122) It was Sunday, and her father had bought her a beautiful new ballon. It
had suddenly caught it, thought she’d been holding tightly onto it. The
wind had carried it into a tree. Her ballon had burst after hitting a
branch. Margie was crying.
Grice (1975, 47-48) membuat analogi bagi kategori-kategori maksim
percakapannya sebagai berikut ini :
1. Maksim kuantitas. Jika anda membantu saya memperbaiki mobd, saya
mengharapkan kontribusi anda tidak lebih atau tidak kurang dari apa
yang saya butuhkan. Misalnya, jika pada tahap tertentu saya
membutuhkan empat obeng, saya mengharapkan anda mengambilkan
saya empat bukannya dua atau enam.
2. Maksim kualitas. Saya mengharapkan kontribusi anda sung-guh-sungguh,
bukannya sebaliknya. Jika saya membutulikan gula sebagai bahan adonan
kue, saya tidak mengharapkan anda memberi saya garam. Jika saya
membutuhkan sendok, saya tidak mengharapkan anda mengambilkan
sendok-sendokan, atau sendok karet,
3. Maksim relevansi. Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai
dengan apa yang saya butuhkan pada setiap tahapan transaksi. Jika saya
mencampur bahan-bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan diberikan
buku yang bagus, atau bahkan kain oven walaupun benda yang terakhir
ini saya butuhkan pada tahap berikutnya.
4. Maksim cara. Saya mengharapkiin teman kerja saya mema hfimi
kontribusi yang harus dilakukannya, dan melaksanakannya secara
rasional.

50
BAB 9
PRINSIP KESOPANAN

9.1 Standar Kompetensi

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan (1) maksim

kebijaksanaan, (2) maksim penerimaan, (3) maksim kemurahan, (4) maksim

kerendahan hati, (5) maksim kecocokan, dan (6) maksim kesimpatian

9.2 Pengantar

Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual,


tetapi seringkali pula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal.
Bila sebagai retorika tekstual pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama
(cooperative principle), seperti yang telah diuraikan dalam bab VIII, sebagai
retorika interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip lain, yakni prinsip
kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan memiliki sejumlah maksim,
yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity
maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim keendahan hati
(modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim
kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua
peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri
adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yang
dibicarakan penutur dan lawan tutur.
Sebelum membicarakan lebih jauh keenam maksim kesopanan di atas ada
baiknya terlebih dahulu diterangkan mengenai bentuk-bentuk ujaran yang
digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim di atas. Bentuk-bentuk ujaran
yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan asertif.
Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan
janji atau penawaran. Ujaran impositif adalah ujaran yang digunakan untuk
menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan
untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran

51
asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi
yang diungkapkan.

9.3 Maksim Kebijakan


Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif.
Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan
kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Leech
(1986) mencontohkan tuturan (123) s.d. (126) berikut memiliki tingkat
kesopanan yang berbeda. T uturan dengan nomor yang iebih kecil memiliki
tingkat kesopanan yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kesopanan
dengan nomor yang lebih besar.
(123) Answer the phonel tidak sopan
(124) Will you answer the phone?
(125) Can you answer the phone?
(126) Would you mind answering the phone? sopan
Dalam bahasa Indonesia contoh (127) s.d. (131) berikut dapat
dipertimbangkan:
(127) Datang ke rumah saya) tidak sopan
(128) Datanglah ke rumah sayal
(129) Silakan (anda) datang ke rumah sayal
(130) Sudilah kiranya (anda) datang ke rumah saya.
(131) Kalau tidak keberatan, sudilah (anda) dating ke rumah saya. Sopan
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan seorang
semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan
bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung
lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara
langsung. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang
lebih sopan dibandingkan dengan kalimat perintah.
Bila di dalam berbicara penutur berusaha memaksimalkan keuntungan
orang lain, maka lawan bicara wajib pula memaksi m;ilkan kerugum dirinya,
bukan sebaliknya. Fenomena ini lazim disebut dengan paradoks pragmatik

52
(pragmatic paradox). Untuk ini bandingkan (132) yang mematuhi paradoks
pragmatik dengan (133) yang melanggarnya.
(132) + Mari saya bawakan tas anda
- Jangan, tidak usah.
(133) + Mari saya bawakan tas anda.
- Ini, begitu dong jadi teman.

9.4 Maksim Penerimaan


Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif.
Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan
kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Ujaran
(134) dan (136) di bawah ini dipandang kurang so pan bila dibandingkan
(135) dan (137) berikut,
(134) Anda harus meminjami saya mobil.
(135) Saya akan meminjami anda mobd.
(136) Saya akan datang ke rumahmu untuk makan siang.
(137) Saya akan mengundangmu ke rumah untuk makan malam.
Tuturan (134) dan (136) dirasa kurang sopan karena penutur boi usaha
memaksimalkan keuntungan dirinya dengan menyusahkan orang lain.
Sebaliknya (135) dan (137) penutur berusaha memak simalkan kerugian
orang lain dengan memaksimalkan kerugian diri sendiri.

9.5 Maksim Kemurahan


Berbeda dengan maksim kebijaksanaan dan maksim penerimaan,
maksim kerendahan hati diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat
asertif. Dengan penggunaan kalimat ekspresil dan asertif ini jelaslah bahwa
tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus
berlaku sopan, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan
pendapat ia tetap diwajibkan berprilaku demikian. Maksim kemuralian
menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat

53
kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak horrnat kepada orang lain.
Untuk jelasnya dapat diperhatikan wacana (138) dan (139) berikut :
(138) + Permainanmu sangat bagus.
- Tidak saya kira biasa-biasa saja.
(139) + Permainan anda sangat bagus.
- Jelas, siapa dulu yang main.
Tokoh (+) dalam (138) dan (139) bersikap sopan karena berusaha
memaksimalkan keuntungan (-) lawan tuturnya. Lawan tuturnya (-) dalam
(138) menerapkan paradoks pragmatik dengan berusaha meminimalkan
penghargaan diri sendiri, sedangkan (-) dalam (139) melanggar paradoks
pragmatik dengan berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Jadi, (-)
dalam (139) tidak berlaku sopan. Dengan ketentuan di atas dapat ditentukan
secara serta merta bahwa (140) lebih sopan dibandingkan dengan (141).
(140) Masakanmu sungguh enak
(141) Masakanmu tidak enak
Demikian pula (142) lebih sopan bila dibandingkan dengan (141).
(142) Masakanmu kurang enak.

9.6 Maksim Kerendahan Mati


Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif
dan asertif. Bila maksim kemurahan berpusat pada orang lain, maksim
kerendahan had berpusat pada diri sendiri. Maksim kerendahan hati
menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan
pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
(143) + They were so kind to us.
- Yes they were, weren’t they?
(144) + You were so kind to us.
- Yes, I was, wasn’t 1.
Wacana (143) mematuhi prinsip kesopanan karena (+) memuji
kebaikan pihak lain, dan respon yang diberikan (-) memuji orang yang
dibicarakan itu. Wacana (144) memiliki bagian yang melanggar maksim

54
kesopanan. Tuturan (-) dalam (144) tidak mematuhi maksim kesopanan
karena memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Dengan ketentuan
yang sama dapat diputuskan bahwa
(145) mamatuhi maksim kesopanan, dan bagian tuturan (-) dalam
(146) melanggarnya.
(147) + Betapa pandainya orang itu.
- Betul, dia memang pandai.

(146) + Kau sangat pandai


- Y a, saya memang pandai
Agar jawaban (-) dalam (146) terasa sopan, (-) dapat menjawab seperti
(147) di bawah ini sehingga ia terkesan meminimalkan rasa hormat bagi
dirinya sendiri .
(147) + Kau sangat pandai
- Ah tidak, biasa-biasa saja. Itu hanya kebetulan.

9.7 Maksim Kecocokan


Seperti halnya maksim penerimaan dan maksim kerendahan hati,
maksim kecocokan juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif.
Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk
memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan
ketidakcocokan di antara mereka. Untuk jelasnya dapat diperhatikan wacana
(1 -IB) dan (149) berikut:
(148) + Bahasa Inggris sukar, ya?
- Ya
(149) + Bahasa Inggris sukar, ya?
- (Siapa bilang), mudah (sekali).
Kontribusi (-) dalam (148) lebih sopan dibandingkan dengan dalam
(149) karena dalam (149) (-) memaksimalkan ketidakcocokannya dengan
pernyataan (+). Dalam hal ini tidak berarti orang harus senantiasa setuju
dengan pendapat atau pernyataan lawan tuturnya. Dalam hal ia tidak

55
menyetujui apa yang dinyatakan oleh lawan tuturnya ia dapat membuat
pernyataan yang mengandung ketidaksetujuan atau ketidakcocokan partial
(partial agreement), seperti tampak pada (150) dan (151) berikut ini :
(150) + Bahasa Inggris sukar, ya?
- Ya, tetapi tata bahasanya tidak begitu sukar dipelajari.
(151) + Drama itu bagus, ya?
- Ya, tetapi blocking pemainnya masih banyak kekurangan.

(150) dan (151) terasa lebih sopan daripada (149) karena


ketidaksetujuan (-) tidak dinyatakan secara frontal (total), tetapi secara partial
sehingga tidak terkesan bahwa ia orang yang sombong.

9.8 Maksim Kesimpatian


Sebagaimana halnya maksim kecocokan, maksim ini juga diungkapkan
dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian ini mengharuskan
setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan
meminimalkan rasa antipati kepAda lawan tuturnya. Jika lawan tutur
mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan
ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah
penutur layak turut berduka, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa
sebagai tanda kesimpatian. Wacana (152) dan (153) sopan karena penutur
mematuhi maksim kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada
lawan tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan (152), dan kedukaan (153):
(152) + Aku lolos di UMPTN, Jon.
- Selamat, yal
(153) + Bibi baru-baru ini sudah tidak ada
- Oh, aku turut berduka cita.
Berbeda dengan (152) dan (153), (154) dan (155) berikut tidak
mematuhi maksim kesimpatian karena tuturan (-) memaksimalkan rasa
antipati terhadap kegagalan atau kedukaan yang menimpa (+).
(154) + Aku gagal di UMPTN

56
- Wah, pintar kamu. Selamat, ya!
(155) + Bibi baru-baru ini sudah tidak ada.
- Aku ikut senang, Jon.
Dengan penjelasan yang sama, (156) dan (157) lebih sopan
dibandingkan dengan (154) dan (155).
(156) + Aku gagal di UMFTN.
- Jangan sedih. Banyak orang seperti kamu

(157) + Bibi baru-baru ini sudah tiada.


- Ikhlaskan saja, mungkin sudah takdir, Jon.
Dari apa yang terurai di atas dapat diketahui bahwa mak sim
kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, d;in maksim
kerendahan hati adalah maksim yang berskala dua kutub (bipolar scale
maxim) karena berhubungan dengan keuntungan atau kerugian diri sendiri
dan orang lain. Sementara itu. maksim kecocokan dan maksim kesimpatian
adalah maksim yang berskala satu kutub (unipolar scale maxim) karena
berhubungan dengan penilaian buruk baik penutur terhadap dirinya sendiri
atau orang lain. Dalam kaitannya dengan maksim berskala dua kutub,
maksim kebijaksanaan dan maksim kemurahan adalah maksim yang berpusat
pada orang lain (other centrexi maxim), dan maksim penerimaan dan maksim
kerendahan hati adalah maksim yang berpusat pada diri sendiri (self centred
maxim).

57
BAB 10
PARAMETER PRAGMATIK

9.1 Standar Kompetensi

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan (1) maksim

kebijaksanaan, (2) maksim penerimaan, (3) maksim kemurahan, (4) maksim

kerendahan hati, (5) maksim kecocokan, dan (6) maksim kesimpatian,

Dalam bab IX telah dijelaskan bahwa semakin panjang ben-tuk tuturan


semakin besar keinginan penutur untuk berlaku sopan kepada lawan tuturnya.
Semakin maksimal keuntungan, penghormatan, kecocokan, dan kesimpatian yang
diungkapkan di dalam tuturan semakin sopan ujaran yang terbentuk. Demikian
pula sebaliknya. Apa yang terurai dalam bab IX agaknya berkaitan dengan
kesopanan yang absolut. Bila diamati secara seksama, penutur sebenarnya tidak
semena-mena mengutarakan bentuk tuturan-bentuk tuturan yang memiliki tingkat
kesopanan yang berbeda-beda itu. Misalnya tuturan Apakah anda bersedia
menyapu lantai itu?, tidak akan dipilih oleh tuan rumah unluk menyuruh
pembantunya. Dia dalam hal ini akan lebih senang menggunakan Sapulah lantai
ini! yang bentuknya kurang sopan. Justru pemilihan bentuk yang lebih panjang
dalam hal ini akan tidak mengenakkan pembantunya. Hal-hal yang mengatur
strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda
ini disebut parameter pragmatik (pragmatic parameter). Parameter pragmatik
harus diamati secara cermat agar lawan tutur tidak merasa kehilangan muka
(face).
Menurut Goflman (Wardaugh, 1986, '284; Allan, 1986, 10) dalam
percakapan yang kooperatif para peserta percakapan menerima ’muka’ yang
ditawarkan oleh lawan bicaranya. Adapun yang dimaksud dengan ’muka’ dalam
hal ini adalah citra di n (self image) yang harus diperhatikan oleh lawan tutur.
’Muka’ yang ditawarkan itu berbeda-beda bergantung pada situasi pembicaraan
Pada suatu saat ’muka’ itu sebagai teman dekat, pada saat lain sebagai guru. Pada

58
suatu saat ’muka’ itu menawarkan kegembiraan, dan pada saat lain mencerminkan
kemarahan, dsb. Jadi, peserta pertuturan harus menafsirkan dan memahami kata-
kata yang diutarakan oleh lawan tuturnya sesuai dengan ’muka’ yang
ditawarkannya. Untuk ini Laver dan Trudgill (1979, 28) menyamakan 'muka’ ini
dengan keadaan afektif (affective state) dan profil identitas (profil of identity)
penutur. Lawan tutur harus menafsirkan wajah yang ditawarkan kepadanya.
Untuk ini Laver dan Trudgill mengibaratkan seorang pendengar sebagai seorang
detektif karena:
'The listener not only has to establish what it was that was said, but also
lias to construct from assortment of clues, the affective state of the speaker
and a profile of his identity."

Muka yang ditawarkan penutur memiliki dua kemungkinan, yakni muka


positif (positive face) dan muka negatif (negative face). Muka positive terwujud
bila ide-ide, atribut, milik, prestasi, tujuan dsb. yang dimiliki oleh seseorang
dihargai oleh lawan tuturnya. Muka negatii adalah keinginan seseorang untuk
tidak diserang, diejek, atau dihinakan oleh lawan tuturnya. Dalam konteks
pemakaian bahasa dua aspek ini dapat menimbulkan sesuatu yang.tidak
mengenakkan bila pemuasan salah satu aspek menganndung pelanggaran terhadap
yang lain. Seorang pembantu akan merasa terhina bila majikannya berkata
Bersediakah anda menyapu lantai kamar ini? karena wajah positif yang
ditawarkan tuannya tidak sesuai dengan atribut, prestasi. atau milik lawan
bicaranya.
Mrown & Levmson (1978) menunjukkan secara meyakinkan bahwa penutur
mempergunakan strategi linguistik yang berbeda-beda di dalam memperlakukan
secara wajar Lawan tuturnya. Dalam hal ini Brown & Levinson
mengidentifikasikan 4 strategi dasar, yakni strategi 1, 2, 3, dim 4. Strategi 1
kurang sopan, strategi 2 agak sopan, strategi sopan, dan strategi 4 paling sopan.
Keempat strategi ini harus dikaitkan dengan tiga parameter pragmatik
berikut:

59
1. Tingkat jarak sosial (distance ruting) antara penutur dan lawanj- tutur yang
ditentukan berdasarkan parameter perbedaan' umur, jenis kelamin, dan latar
belakang sosiokultural.
2. Tingkat status sosial (power rating) yang didasarkan atas kedudukan yang
asimetrik antara penutur dan lawan tutur di dalam konteks pertuturan. Di
ruang praktek seorang dokter memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari
seorang polisi. Akan tetapi, di jalan raya polisi dapat menilangnya bila sang
dokter melakukan pelanggaran. Dalam konteks yang terakhir ini polisi
memiliki status sosial yang lebih tinggi.
3. Tingkat peringkat tindak tutur (rank rating) yang didasarkan atas kedudukan
relatif tindak tutur yang satu dengan tindak . tutur yang lain. Misalnya di
dalam situasi normal meminjam mobil kepada seseorang mungkin dipandang
tidak sopan, atau tidak mengenakkan. Akan tetapi, di dalam situasi yang
mendesak (darurat) semisal untuk mengantar orang sakit keras, tindakan itu
wajar-wajar saja. Sehubungan dengan penerapan strategi-strategi di atas, di
contohkan aneka bentuk’ tuturan yang biasa digunakan untuk menukarkan
uang bila hendak membeli sesuatu melalui slot machine atau melakukan
aktivitas lain dengan alat yang serupa.
Strategi 1 : kurang sopan digunakan kepada teman akrab:
Got any change
Strategi 2 : agak sopan digunakan kepada teman yang tidak (belum) begitu
akrab:
Hey Harry, have you got any change?
Strategi 3 : lebih sopan digunakan kepada orang yang belum dikenal:
I am sorry to troble you, but do you by any chance have change
of a dollar.
Strategi 4 : paling sopan kepada orang yang berstatus sosial lebih tinggi :
it's so embarassing, but I don't have enough change.
Kejanggalan akan terjadi bila penutur menerapkan strategi- strategi di atas
sccara tidak tepat. Bila penutur menggunakan strategi 3 atau 4 kepada teman
akrab, maka ia memperlakukan teman akrabnya itu sebagai orang yang belum

60
pemah dikenalnya. Sebaliknya, bila ia menerapkan strategi 1 dan 2 kepada orang
yang status sosialnya lebih tinggi, ia memperlakukan lawan tuturnya sebagai
teman dekat sehingga ucapannya akan dirasakan sangat merendahkan. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa pemakai bahasa harus memilih strategi itu secara jitu.
Pemilihan strategi yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan membawa akibat
yang sama buruknya, seperti kata Brown dan Levinson berikut ini:
Thus the strategy S used to midgate a face threatening act should be the one
appropriete to the degree of face threat; too high a numbered strategy is usually
just as bad as too low a numbered strategy".
Dengan pernyataan di atas dapat kiranya diterangkan bahwa janggalan
tuturan sang majikan yang berbunyi Apakah anda bersedia menyapu lanlai ini?
pada awal uraian bab ini disebabkan oleh pemilihan strategi yang terlalu tinggi
untuk diberikan kepada sang pembantu. Seharusnya strategi yang lebih rendahlah
yang digunakan, seperti Sapu lantainya?, Lantainya kotor sekali, dan sebagainya.

61
BAB 11
PENUTUP

Dari apa yang terurai dalam bab-bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa
pragmatik sebagai salah satu disdplin ilmu ba- hasa memiliki peranan cukup
penting karena dengan mempelajari dan menguasainya seseorang tidak hanya
memahami struktur formal sebuah bahasa, tetapi juga struktur fungsional yang
menyangkut bagaimana struktur-struktur formal itu berfungsi di dalam tindak
komunikasi. Dengan pragmatik fungsi hakiki bahasa sebagai alat untuk
menyampaikan informasi dan menyembunyikan berbagai maksud akan lebih
terpahami.
Pentingnya peranan pragmatik sebagai kajian bahasa yang
mempertimbangkan konteks semakin disadari oleh para ahli bahasa sebagai
jawaban atas kegagalan pendekatan struktural yang terlalu bersifat formal di
dalam menangani sejumlah aspek pemakaian bahasa. Dengan pendekatan
kontekstual, yakni pendekatan yang memperhatikan konteks situasi, pragmatik
dengan teori tindak tuturnya, terbukti mampu menjelaskan bahwa bahasa tidak
hanya berfungsi untuk menginformasikan sesuatu (fungsi lokusi), seperti lazimnya
selama ini dianut oleh ahli bahasa di dalam mengidentifikasikan fungsi bahasa,
tetapi dengan bahasa seseorang dapat pula melakukan sesuatu (fungsi ilokusi), dan
mempengaruhi orang lain (fungsi perlokusi).
Yang menjadi pusat perhatian pragmatik adalah maksud penutur yang
terdapat di balik tuturan yang diutarakan. Maksud tuturan tidak selamanya
dinyatakan secara eksplisit, tetapi sering kali hanya diimplikasikan saja.
Sehubungan dengan cara-cara penyampaian itu, pengetahuan tentang berbagai
jenis tindak tutur, seperti tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak
tutur literal, dan tindak tutur tidak literal, dan segala kom-binasinya merupakan
kunci untuk memahami cara-cara pengutaraan maksud itu, dan segala sesuatu
yang melatarbelakanginya.
Pertuturan yang wajar terbentuk karena penutur dan lawan tutur melakukan
kerja sama. Setiap peserta pertuturan sarna-sama menyadari bahwa ada kaidah-

62
kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-
interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Teori prinsip kerja
sama Grice yang terjabar ke dalam berbagai rruiksimnya akan memberi
pemahaman bagaimana seharusnya penutur memberikan kontribusi secara wajar
di dalam pertuturan, dan implikasi-implikasi apa yang hendak dikeinukakan oleh
penutur bila penyimpangan maksim-maksim percakapan dilakukan.
Sebagai anggota masyarakat bahasa penutur tidak hanya terikat pada hal-hal
yang bersifat tekstual, yakni bagaimana membuat tuturan yang mudah dipahami
oleh lawan tuturnya, tetapi ia juga terikat pada aspek-aspek yang bersifat
interpersonal. Untuk ini penutur harus menyusun tuturannya sedemikian rupa agar
lawan tuturnya sebagai individu merasa diperlakukan secara santun. Teori prinsip
kesopanan Leech dengan berbagai maksimnya memberikan tuntunan tentang cara-
cara bertutur secara sopan.
Akhirnya, memperlakukan lawan tutur secara wajar tidak dilakukan secara
semena-mena. Strategi pemilihan bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesopanan
yang berbeda-beda agar lawan tutur tidak kehilangan ’muka’ atau agar tuturan itu
tidak menimbulkan ’muka negatif, selalu dilakukan dengan mempertimbangkan
parameter-parameter pragmatic yang terdiri parameter jarak social, parameter
status sosial, dan parameter peringkat tindak tutur.

63
Leech, G.N., 1983, Principles of Pragmatics, New York: Longman.

Levinson, Stephen C., 1983, Pragmatics, London: Cambridge University Press.

Nababan, P.W.J., 1987, Ilmu Pragmatik, Jakarta: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan.

Parker, Frank, 1986, Linguistics for Non-Linguists, London: Taylor & Francis,
Ltd.

Searle, J.R., 1969, Speech Acts, London: Cambridge University Press.

Sperber, Dan & Deidre Wilson, 1989, Relevance: Communication and Cognition,
Oxford: Basil Blackwell.

Sudiasih, Sri, 1995, Permainan Bahasa dalam Iklan, Tesis Saijana Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Verhaar, J.W.M., 1977, Pengantar Linguistik, Jilid I, Yogyakarta, Gadjah Mada


University Press.

Wardaugh, Ronald, 1986, An Introduction to Sociolinguistics, Oxford: Basil


Black well.

Wijana, 1 Dewa Putu, 1989, Language of Advertising, Dokumentasi Fakultas


Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

_________, 1995, Wacana' Kartun dalam Bahasa Indonesia, Disertasi Doktor


Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

_________,, 1995a, Wacana Berita Provokatif, Kertas Kerja Simposium Bahasa


Ragam Jurnalistik, Semarang.

Zainudin, Much, 1994, Bahasa dan Penggunaannya dalam Wa- cana Iklan, Tesis
Saijana Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

64

Anda mungkin juga menyukai