DALAM PRAGMATIKA
Pada umumnya, orang-orang memiliki persepsi bahwa linguistik merupakan disiplin ilmu yang
mempelajari bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Akan tetapi, lebih dari
itu linguistik dipelajari untuk memahami hakikat dan seluk beluk bahasa sebagai satu-satunya alat
komunikasi terbaik yang hanya dimiliki manusia serta bagaimana bahasa tersebut menjalankan perannya
Dalam kamus Petit Larousse Illustré, kata linguistique (Indonesia: linguistik) dijabarkan sebagai “1)
science du langage humain; 2) étude scientifique des langues, en particulier étude des phénomènes
intéressant leur évolution et leur développement, leur répartition dans le monde, leurs rapports entre
elles, etc.” (1975:597). Artinya, linguistik merupakan disiplin ilmu yang mempelajari bahasa manusia
secara ilmiah, terutama mengkaji fenomena yang menarik dalam evolusi dan perkembangan juga
Sementara itu, penggunaan bahasa tentunya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat sebagai
penuturnya. Beragam situasi yang mungkin terjadi dengan lawan bicara yang beragam pula membuat kita
mencari pedoman untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan pertuturan yang bisa saja terjadi agar
Sosiolinguistik yang merupakan disiplin ilmu yang mengkaji aspek-aspek sosial dari penggunaan
bahasa memiliki domain penelitian mulai dari percakapan tunggal dengan konteks lokalnya yang sangat
terbatas hingga pengkajian penggunaan bahasa oleh keseluruhan populasi masyarakat. Ia yang merupakan
kombinasi antar ilmu sosial (sosiologi) dengan linguistik yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain,
menelaah hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di luar bahasa dalam masyarakat tutur.
Lebih dari itu, sosiolinguistik juga mengkaji implikasi antar variabel-variabel tersebut satu sama lain.
“La sociolinguistique a affaire à des phénomènes très variés: les fonctions et les usages du
langage dans la société, la maîtrise de la langue, l’analyse du discours, les jugements que les
communautés linguistiques portent sur leur(s) langue(s), la planification et la standardisation
linguistiques.” (Baylon, 1996).
Definisi di atas mengungkapkan pengertian sosiolinguistik yang lebih luas. Definisi ini menjelaskan
sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang memiliki kajian beragam mulai dari fungsi dan penggunaan
bahasa dalam masyarakat tutur, penguasaan bahasa, analisis wacana, penilaian yang dibawa masyarakat
Maka secara garis besar, kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa dan masyarakat merupakan objek
kajian utama dalam sosiolinguistik. Kajian tersebut dapat dibuat lebih luas dengan meneliti beragam
aspek yang timbul akibat hubungan bahasa dan masyarakat tersebut yang menjadikan sosiolinguistik
semakin memiliki objek kajian yang lebih spesifik seperti penggunaan bahasa yang berbeda karena
diakibatkan oleh perbedaan usia, gender, suku, agama, tingkat pendidikan, status sosial serta ekonomi dan
lain sebagainya.
2.2 Pragmatika
Penggunaan bahasa dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kompetensi linguistik serta
kompetensi komunikatif seorang penutur maupun lawan tuturnya. Mampu menyusun tutur yang baik serta
menggunakannya dengan tepat dalam pertuturan menjadi nilai terpenting penggunaan bahasa oleh
tujuan tuturnya seorang penutur tak jarang mengarahkan tujuannya tersebut secara tidak langsung. Hal ini
the study of the ability of natural language speakers to communicate more than that which is explicitly
stated’’ yang berarti bahwa pragmatika yang tercakup dalam ruang lingkup sosiolinguistik merupakan
studi mengenai kemampuan berbahasa penutur untuk berkomunikasi lebih dari yang dinyatakannya
secara eksplisit. Kemampuan untuk memahami tujuan tutur seorang penutur sendiri disebut kompetensi
qui s'intéresse aux éléments du langage dont la signification ne peut être comprise qu'en connaissant le
contexte’’. Artinya bahwa pragmatika merupakan cabang linguistik yang mengkaji elemen-elemen
“1) the study of the way language is used in particular situations, and is therefore concerned with
the functions of words as opposed to their forms. It deals with the intentions of the speaker, and
the way in which the hearer interprets what is said; 2) a technical term in linguistics.” (Delahunty
et al, 1994:1125).
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, kita dapat pula mengetahui bahwa pragmatika tidak
hanya diartikan sebagai kajian mengenai tata cara penggunaan bahasa dalam situasi tertentu yang
menelaah bukan saja bentuk namun juga fungsi kata-kata yang terdapat di dalam setiap kalimat atau tutur.
Kajian ini pun melingkupi maksud ujaran penutur dan interpretasi lawan tutur akan ujaran tersebut. Lebih
dari kajian tersebut, pragmatika pun dianggap sebagai sebuah terminologi teknis dalam linguistik.
“the advantages of studying laguage via pragmatics is that one can talk about people’s intended
meanings, their assumptions, their purposes or goals, and the kinds of actions (for example,
requests) that they are performing when they speak.” (Yule, 1996:4).
Pendapat di atas mengungkapkan peranan penting pragmatika dalam studi bahasa. Pragmatika
memungkinkan kita untuk memahami makna sebenarnya, asumsi, tujuan atau maksud serta ragam
kegiatan yang dilakukan seorang penutur dan lawan tuturnya ketika berbicara.
Pragmatika merupakan semacam reaksi yang ditujukan kepada para linguis strukturalis. Pada awal
perkembangannya, linguistik berkembang sejalan dengan munculnya aliran-aliran yang bersifat sentris
pada tokoh-tokoh tertentu seperti Bloomfield yang mengkaji linguistik terbatas pada fonetik serta
fonemik juga morfofonemik bagi yang lebih progresif. Masuknya pragmatika ke dalam linguistik sendiri
merupakan tahap terakhir dari perkembangan linguistik sebagai sebuah disiplin ilmu yang luas dengan
bentuk, makna, dan konteks penggunaan bahasa sebagai objek penelitiannya (Leech, 1993:2).
Cakupan linguistik yang semakin luas inilah yang mengakibatkan perubahan perspektif mengenai
batasan linguistik. Seiring dengan semakin berkembangnya dinamika linguistik, banyak pakar memiliki
perspektif berbeda mengenai ranah semantik-pragmatika. Bila pakar-pakar yang mengikuti aliran
struktural Chomsky memasukkan semantik ke ranah pragmatika, maka sebaliknya ada pihak yang
memasukkan pragmatika ke ruang lingkup semantik ataupun yang menganggap keduanya merupakan
komplementer bagi satu dan yang lainnya seperti halnya Leech (1993:10).
Dalam situs http://smartilicious.blogspot.com disebutkan bahwa lewat bukunya yang berjudul How to
Do Things with Words (1962), John Langshaw Austin, seorang ahli filsafat bahasa dari Inggris, dianggap
menjadi pemacu minat utama pengkajian pragmatika. J. L. Austin ialah seorang filsuf Inggris yang
dilahirkan pada 28 Maret 1911 di Lancaster dan meninggal dunia pada 8 Februari 1960. Ia menaruh minat
penelitian pada makna dalam filosofi, karena itulah ia kemudian terkenal sebagai seorang yang meneliti
sejumlah kecenderungan dalam pragmatika pun lahir seperti pragmatika filosofis (Austin, Searle dan
Grice), pragmatika neo-Gricean (Cole), pragmatika kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatika
interaktif (Thomas).
Telah disebutkan dalam banyak referensi linguistik bahwa keberadaan makna bahasa merupakan
salah satu tataran linguistik. Akan tetapi status semantik sebagai cabang linguistik yang mengkaji makna
bahasa tidaklah sama seperti tataran linguistik lain seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis yang bersifat
hierarkis yang secara bertingkat mereka membangun satuan wacana secara struktural dari mulai fon,
Para pakar semantik terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa
kajian makna bahasa seharusnya terlepas dari konteks. Perspektif ini dianut oleh para linguis yang
menempatkan semantik bahasa sebagai pusat bahasa yang memiliki tendensi untuk mengkaji makna
bahasa hanya dari sisi peran kata dan hubungan antar kata yang membentuk kalimat.
Kelompok kedua yakni kelompok yang menyatakan bahwa konteks tidak dapat dipisahkan dari kajian
makna bahasa. Artinya kelompok ini memperhitungkan konteks penggunaan bahasa di dalamnya.
Berdasarkan kedua perspektif ini nantinya kita dapat menentukan arah kajian makna bahasa.
Baik semantik maupun pragmatika, keduanya sama-sama mengkaji makna. Akan tetapi dalam
kenyataan yang ditemukan sehari-hari, perbedaan antara ‘bahasa’ (langue) dengan ‘penggunaan bahasa’
(parole) terletak pada persinggungan antara ranah semantik dengan ranah pragmatika. Pada
whereas pragmatics is the implied meaning of the given idea.’’ yang berarti bahwa semantik merupakan
pengkajian makna literal dari sebuah ujaran sedangkan pragmatika mengkaji pengaruh makna dari
situasi, penutur dan lawan tuturnya dalam bahasa tertentu. Berbeda dengan semantik, pragmatika
mendefinisikan makna berkaitan dengan situasi, penutur dan petuturnya. Hal-hal yang bersifat pragmatik
pun dinilai sebagai segala hal yang ‘‘concerned with practical results and values ; treating things in a
matter-of-fact or practical way’’ (Hornby et al, 1983 :653) yang berarti hanya berkaitan dan
terkonsentrasi pada hal-hal dan nilai-nilai praktikal serta menempatkan sesuatu sesuai dengan fakta
Makna bahasa maupun penggunaan bahasa dalam konteksnya yang berbeda-beda membuat studi
pragmatika memiliki elemen-elemen yang harus dipahami demi terciptanya sebuah kajian yang
menyeluruh. Studi pragmatika sendiri mencakup beberapa konsepsi seperti tindak tutur, prinsip
Pada umumnya, istilah kalimat dianggap sebagai sebutan universal untuk apapun ujaran yang
dikeluarkan dalam percakapan baik lisan maupun tulisan. Akan tetapi Jos Daniel Parera membatasi ujaran
tersebut ke dalam tiga terminologi yang berbeda, yakni kalimat, tutur dan proposisi.
Menurut Parera (2004:262), “Kalimat merupakan satu satuan bahasa (terbesar) yang terdiri dari
runtutan kata-kata yang diterima oleh pemakai bahasa tertentu sebagai tata bahasa”. Batas kalimat ini
biasanya ditandai oleh kesenyapan final yang dalam ejaan ditandakan oleh tanda titik (.). Batas tanda titik
antara satu runtutan kata-kata dengan runtutan kata-kata selanjutnya artinya membedakan satu kalimat
dengan kalimat yang lain. Kalimat sendiri dapat dianalisis secara terpisah dari konteks pemakaian
aktualnya.
“Tutur merupakan ujaran lisan atau rentang perbincangan yang didahului dan diakhiri dengan
kesenyapan pada pihak pembincang. Sebuah tutur adalah penggunaan/pemakaian sepenggal
bahasa, seperti rentetan kalimat, sebuah frase, atau sepatah kata, oleh seorang pembincang, pada
satu kesempatan atau peristiwa tertentu” (Parera, 2004:262).
Konsep tutur ini berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam pemakaiannya secara lisan. Misalnya:
(1) “Hallo.”
(Parera, 2004:262)
Dari ketiga contoh di atas, dapat kita lihat bahwa sebuah tutur memperlihatkan semacam interaksi
antara kalimat-kalimat dalam sebuah percakapan dalam satu kesempatan tertentu. Saat seseorang tengah
menelepon, ia meminta bantuan seorang teman atau seorang buruh angkut untuk membawakan barang
Proposisi didefinisikan Parera (2004:263) sebagai “satu tutur yang melukiskan beberapa keadaan
yang belum tentu benar atau salah dalam bentuk sebuah kalimat berita”. Objek analisis proposisi ini
bukan terletak pada benar tidaknya satu informasi secara gramatikal ataupun kontekstual tetapi secara
faktual. Oleh karena itu, sebuah proposisi yang benar tentunya berkorespondensi dengan fakta dan
Singkatnya, kalimat sebagai satuan bahasa merupakan objek analisis linguistik, tutur sebagai satuan
ujaran merupakan objek analisis pragmatik serta proposisi merupakan objek analisis logika.
tindak tutur (speech act) yang melibatkan ujaran-ujaran dari seorang penutur pada petuturnya dan
sebaliknya. Peristiwa tutur ini pada dasarnya ialah peristiwa sosial karena melibatkan unsur-unsur yang
saling berinteraksi seperti penutur dan lawan tutur dalam satu waktu dan tempat tertentu serta merupakan
Dalam ilmu sosiolinguistik, peristiwa tutur dikenal dengan istilah speech event. Definisi spesifik
dikemukakan oleh Chaer dan Agustina yang menyatakan bahwa peristiwa tutur ialah “terjadinya atau
berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu
penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu”
(2004:47). Sebuah peristiwa tutur dapat kita jumpai misalnya antara dosen dengan mahasiswa di ruang
perkuliahan, sidang di pengadilan, tanya jawab dalam seminar, ulasan pertandingan oleh pembawa acara
Selain peristiwa tutur, dalam kaitannya dengan terjadinya tindak tutur, dikenal pula terminologi
speech situation. Situasi tutur ini merupakan fokus utama penelitian para sosiolinguis interaksional.
O’Grady dan Dobrovolsky dalam bukunya yang berjudul Contemporary Linguistics mendefinisikan
“speech situations are social situations in which there is use of speech” (1989:349). Artinya, sebuah
situasi tutur ialah sebuah situasi sosial di mana terdapat penggunaan tutur di dalamnya. Kridalaksana
(2001:200) mendefinisikan situasi pembicaraan (situasi tutur) merupakan ‘‘unsur-unsur yang melibatkan
ujaran tertentu, yakni pembicara dan pendengar, konteks, tujuan pembicara, pertuturan, tempat dan
waktu’’.
“1) aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait-mengait dengan ujaran tertentu; 2) pengetahuan
yang sama-sama dimiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham akan apa yang dimaksud
Dalam kamus Petit Larousse Illustré, contexte (Indonesia: konteks) didefinisikan sebagai “1)
ensemble du texte qui précède ou suit une phrase, un groupe de mots, un mot; 2) ensemble des
unsur teks yang mendahului ataupun mengakhiri sebuah kalimat, kumpulan kata maupun sebuah kata,
serta merupakan keseluruhan unsur (keadaan) pula yang mengiringi sebuah peristiwa.
Dari berbagai definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks merupakan
aspek-aspek yang mempengaruhi suatu ujaran. Aspek-aspek itu dapat berupa keadaan lingkungan fisik
maupun sosial yang sama-sama telah diketahui serta dipahami oleh penutur dan lawan bicaranya.
Baik peristiwa tutur maupun konteks merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
eksistensinya satu sama lain. Keduanya secara bersamaan membangun komponen-komponen yang dapat
ditelaah untuk memahami bagaimana, apa, dan mengapa sebuah interaksi dapat terwujud.
Setidaknya ada delapan komponen yang harus dipenuhi agar suatu percakapan dapat disebut sebagai
peristiwa tutur. Dell Hymes (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:48) mengemukakan komponen-
komponen tersebut yang bila huruf-huruf depannya dirangkai secara berurutan akan membentuk akronim
SPEAKING yakni setting and scene, participants, ends, act sequence, key, instrumentalities, norms of
dalam konteks sosial mencakup banyak hal di luar bentuk kalimat secara gramatikal. Para sosiolinguis
mengklaim bahwa penutur memiliki kompetensi komunikatif serta kompetensi pragmatika masing-
masing yang dikombinasikan dengan pengetahuan linguistik yang ia miliki untuk kemudian menciptakan
Dalam studi pragmatik dan filsafat bahasa, kita seringkali menemukan istilah tindak tutur (speech
act). Teori tindak tutur ini dianggap paling relevan dengan pengajaran bahasa dan pembelajaran bahasa
berkaitan dengan penggunaan bahasa itu sendiri (Nababan, 1987 :18). Teori ini pada awalnya dicetuskan
oleh John Langshaw Austin, seorang filsuf berkebangsaan Inggris melalui karyanya yakni How to Do
Things with Words (1962). Kajian teori tindak tutur kemudian dikembangkan oleh John R. Searle (1969)
lewat karyanya Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language yang membuat teori ini dikenal
Pada dasarnya, esensi teori ini terletak pada tindakan yang mengikuti satu tutur tertentu. Bila
seseorang mengatakan sesuatu maka maksud ujarannya tersebut tidak selalu berarti seperti apa yang
dikatakannya secara harfiah, namun sangat tergantung kepada konteks di mana ujarannya diucapkan
(contextdependent). Ketika seorang anak mengatakan ‘’Celanaku sobek.’’ saat menaiki pagar,
maksudnya adalah meminta tolong supaya dirinya dibantu untuk turun dari pagar tersebut. Akan tetapi,
bila anak itu mengucapkan ujarannya tersebut di hadapan ibunya yang sedang menonton televisi,
misalnya, maka maksud ujaran si anak tersebut adalah meminta sang ibu menjahit celananya yang sobek
Percakapan yang terjadi dalam masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar yakni prinsip
kerjasama. Kerjasama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim) yang
merupakan teori milik Grice dan seperti tercantum pada
1) Bidal kuantitas (quantity maxim) yakni memberikan informasi sesuai yang diminta.
2) Bidal kualitas (quality maxim) yakni menyatakan hanya yang kita anggap benar atau yang
3) Bidal relasi (relation maxim) yakni memberikan informasi yang sesuai atau relevan.
4) Bidal cara (manner maxim) yakni menghindari ketidakjelasan pengungkapan dan ketaksaan
Terminologi implikatur percakapan (conversation alimpticatre) yang hanya bisa diamati secara
implisit diartikan sebagai ‘’adanya keterkaitan antara ujaran-ujaran yang diucapkan antara dua orang yang
terdapat dua jenis implikatur yakni implikatur konvensional yang dihasilkan dari penalaran logika serta
2.2.3.6 Deiksis
Deiksis merupakan ‘‘hubungan antara kata yang digunakan di dalam tindak tutur dengan referen kata
itu yang tidak tetap atau dapat berubah atau berpindah.’’ (Chaer dan Agustina, 2004 :57). Kata-kata yang
referennya tidak tetap (deiktis) ini dapat berkenaan dengan persona (déictiques personnels), temporal
(déictiques temporels), spasial (déictiques spatiaux), diskursif (déictiques discursifs), serta sosial
(déictiques sociaux).
Merupakan deiksis yang memiliki referen yang berkaitan dengan waktu seperti
(http://fr.wikipedia.org/wiki/Pragmatique).
Yaitu jenis deiksis yang referennya berhubungan dengan tempat seperti ‘‘ici’’, ‘‘là’’
(http://fr.wikipedia.org/wiki/Pragmatique).
2.2.3.7 Presuposisi
Konsep presuposisi dalam pragmatika di sini dapat diekuivalenkan dengan informasi tambahan yang
mengiringi suatu ujaran. Seperti yang dikutip dari Chaer dan Agustina (2004:58), ‘‘…Kerjakan dulu soal
yang mudah, baru kemudian yang lebih sukar dan yang sukar’’, mempunyai presuposisi bahwa soal-soal
yang harus dikerjakan ada yang sukar dan ada pula yang mudah.
Teori yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson ini merupakan semacam sanggahan terhadap teori
bidal (maxim) milik Grice. Teori ini menyatakan bahwa sebetulnya yang terpenting dari sebuah
percakapan adalah bidal relevansi. Menurutnya, penerima pesan (adressee) hanya memilih apa yang
dianggapnya relevan (sesuai) dengan apa yang ingin disampaikan pengirim pesan (adresser) dalam
Kesantunan dimaksudkan untuk terjadinya situasi komunikasi yang diinginkan. Konsepnya sangatlah
sederhana yakni bagaimana seorang penutur memilih kata-kata yang berbeda bobotnya namun memiliki
Konsep kesantunan ini dapat dilakukan untuk mendapatkan semacam positive face dari lawan tutur
dengan cara melontarkan pujian, misalnya. Ataupun untuk mendapatkan face sebaliknya yang bisa
dilakukan dengan cara melakukan tindakan-tindakan yang tidak berterima, tidak kooperatif maupun yang
dianggap tidak mengenakkan dalam berkomunikasi agar tidak dinilai terlalu frontal oleh lawan tutur.
(http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07linguistik-pragmatik.html).
Tindak tutur merupakan suatu cara yang dilakukan penutur untuk bertindak dalam
sesuatu, meyakinkan lawan tuturnya dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan tujuan dari
‘‘la théorie des actes de langage a pour thèse principale l’idée que la fonction du langage, même
dans les phrases déclaratives, n’est pas tant de décrire le monde que d’accomplir des actions,
comme l’ordre, la promesse, le baptême, etc.’’.
Artinya, teori tindak tutur ini bertujuan untuk memfungsikan bahasa tidak hanya untuk
mendeskripsikan sesuatu seperti halnya kalimat deklaratif. Tindak tutur ini dapat juga digunakan untuk
melaksanakan sesuatu seperti perintah, perjanjian, pembaptisan dan lain sebagainya. Hal ini sejalan
dengan disebutkan dalam http://www.geocities.com/anas_yasin/aw.html bahwa ‘‘analisis tindak tutur
tidak mempertanyakan bentuk yang bagaimana yang kita gunakan dalam bertutur tetapi apa fungsi tuturan
tersebut.’’
Konsepsi tindak tutur ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh John Langshaw Austin dan
muridnya John Searle. Terdapat beberapa tipe tindak tutur didasarkan pada tujuannya yang
émouvoir, exagérer, ironiser, minimiser, railler, rassurer, rectifier. Identifikasi tindak tutur ini
diperoleh berdasarkan interpretasi pesan yang disampaikan lewat pemahaman makna yang
dimiliki. Sebagai contoh, kalimat ‘‘J’ai appris que tu as obtenu ton diplôme.’’ bisa berarti
Tindak tutur terbagi atas tiga konsepsi yakni tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. Tindak
lokusi terjadi manakala penutur menyampaikan maksud tertentu sesuai dengan apa yang
dikatakannya. Tindak ilokusi terjadi manakala penutur melaksanakan sesuatu dalam mengatakan
sesuatu. Tindak perlokusi terjadi manakala ujaran seorang penutur mengakibatkan konsekuensi
Sebelum memaparkan jenis-jenis ucapan, terlebih dahulu kita melihat kembali tiga jenis kalimat
dalam tata bahasa tradisional yakni kalimat deklaratif, kalimat interogatif dan kalimat imperatif. Kalimat
deklaratif hanya bermaksud untuk menginformasikan sesuatu tanpa ada kecenderungan untuk
pendengarnya melakukan sesuatu selain memperhatikannya saja. Kalimat interogatif berisi permintaan
agar orang yang mendengar kalimat tersebut memberikan jawaban secara lisan. Jadi yang diinginkan
kalimat jenis ini bukan hanya perhatian saja tetapi juga jawaban dari pendengarnya. Kalimat imperatif
isinya meminta agar pendengarnya melakukan suatu tindakan atau perbuatan sebagai tanggapan atas
kalimat tersebut.
Ada kemungkinan di mana satu jenis kalimat menjadi tidak sama antara bentuk formalnya dengan
isinya seperti sebuah kalimat (atau tutur) deklaratif atau kalimat (atau tutur) interogatif tidak lagi berisi
pernyataan tetapi perintah. Misalnya saat seseorang sedang bertamu ke kediaman salah satu rekannya, ia
merasa hawa di ruang tamu terlalu panas. Ia berkata kepada rekannya tersebut, “Di sini panas sekali.”.
Dari bentuk formalnya, kalimat (atau tutur) tersebut merupakan kalimat (atau tutur) deklaratif namun
isinya tidaklah menginformasikan sesuatu tetapi perintah untuk membuka jendela, menghidupkan air
conditioner atau kipas angin ataupun meminta minuman dingin. Hal seperti ini dilakukan dengan
Menurut Chaer dan Agustina (2004:51), Austin membedakan jenis tutur deklaratif yang sering kita
temui dalam bahasa percakapan sehari-hari menjadi dua jenis ucapan yakni tutur konstatif dan tutur
performatif.
Tutur (ucapan) konstatif ialah ucapan atau tuturan yang kita pergunakan untuk mendeskripsikan atau
menyatakan suatu keadaan secara faktual. Parera menyebutnya sebagai “satu analisis unsur yang
tradisional yang mengungkapkan bahwa setiap tutur itu menghadirkan kenyataan atau fakta” (2004:264).
Kebenaran pernyataan dari setiap tutur konstatif ini dapat diuji secara empiris baik secara langsung
sens donné à un énoncé quand le locuteur a pour but de décrire ‘ un état de choses ‘, une partie de la
réalité. Artinya, tutur konstatif ini memiliki makna yang dimiliki sebuah ujaran yang dilontarkan seorang
yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan
bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau tidak.’’ Perlu diperhatikan bahwa orang yang
(1) Saya namakan kapal ini Ratu Elizabeth. (Tentunya sahih atau layak diucapkan dalam sebuah
(2) ‘‘Viens ici !’’. (Sahih atau layak diucapkan oleh tuan rumah pada tamunya)
(http://fr.wikipedia.org/wiki/Pragmatiq).
Tutur performatif ini identik dengan frase tertentu yang mengiringi pembentukannya di awal kalimat
seperti ‘‘Je t’invite à aller au cinéma’’. Akan tetapi, contoh ujaran seperti “Faute!” dalam permainan
tennis yang diujarkan seorang wasit pun dianggap sebagai tutur performatif karena pada saat itu ia
melakukan sesuatu yakni menetapkan bahwa pemain yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran
(http://fr.wikipedia.org/wiki/Pragmatiq).
Tutur performatif sendiri terbagi menjadi dua jenis yaitu tutur performatif eksplisit dan implisit.
promets que…, j’ordonne que…, j’asserte que… dan lain sebagainya sementara kalimat (2) merupakan
Tutur performatif inilah yang selanjutnya menghasilkan tiga tindak pertuturan lain yang saling
(http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07linguistik-pragmatik.html).
Tindak tutur (l’acte de langage) terbagi dalam tiga konsepsi yakni tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi
Tindak lokusi didefinisikan sebagai jenis tindak tutur yang “melakukan tindakan untuk mengatakan
sesuatu’’ (Tarigan, 1986:109) atau the act of saying something. Sementara dalam
tindak tutur ‘‘l’on accomplit dès lors que l’on dit quelque chose et indépendamment du sens que l’on
communique’’. Artinya, dalam tindak lokusi, seorang penutur mengatakan ujaran terlepas dari apapun
Chaer dan Agustina (2004:53) mengemukakan definisi lebih jelas mengenai tindak lokusi yakni
‘tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang
bermakna dan dapat dipahami’. Dengan kata lain, tindakan ini dilakukan semata-mata hanya untuk
menginformasikan sesuatu pada lawan bicaranya sesuai dengan makna dan acuannya tanpa ada tendensi
apapun.
Tindak tutur jenis ini terbatas pada pembentukan kalimat yang meliputi pemilihan kata, penempatan
kata dalam kalimat, pemberian makna, tata cara pengucapan dan penulisan, bagaimana kita mendengar,
(http://albertmangasi.wordpress.com/2007/10/28/john-austin/).
(2) Ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya (Chaer dan Agustina, 2004:53).
Tindak tutur yang dapat diidentifikasi keberadaannya dengan kehadiran tutur performatif yang
eksplisit (Chaer dan Agustina, 2004:53) ini mengandung semacam daya yang mengharuskan penutur
melaksanakan apa yang dituturkannya. Tindak tutur ini tidak hanya berfungsi untuk menginformasikan
sesuatu tetapi juga melakukan sesuatu (the act of doing something something).
tindakan ‘‘l’on accomplit en disant quelque chose et à cause de la signification de ce que l’on dit’’.
Artinya, bahwa dalam tindak ilokusi ini, seorang penutur melaksanakan sesuatu dengan mengatakan
sesuatu dengan segala tujuannya. Sejalan dengan hal ini, seorang penutur “melakukan sesuatu tindakan
Menurut Parera (2004:268) ilokusi adalah ‘‘tindak bahasa yang dibatasi oleh konvensi sosial’’. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri (1989:459), konvensi didefinisikan sebagai “pemufakatan atau
Sementara itu, Tarigan (1986 :114) mengemukakan konvensi sosial tersebut dalam wujud verba-verba
Makna yang terkandung dalam tindak ilokusi ini bukan terfokus pada isi ujarannya tetapi juga pada
daya ilokusi yang dikandungnya (force illocutoire). Leech (1993:306) mengutip Sadock (1974:19)
mengatakan bahwa “illocutionary force is the part of meaning of a sentence which corresponds to the
highest clause in its semantic representation” yang artinya bahwa daya ilokusi merupakan bagian dari
makna kalimat yang sejajar dengan klausa tertinggi dalam representasi semantiknya. Dengan kata lain,
sebetulnya daya ilokusilah yang memegang peranan amat penting dalam sebuah kalimat.
Sebagai contoh, kalimat “Il pleut.” bukan hanya sekedar menginformasikan keadaan hujan pada saat
itu akan tetapi juga merupakan suatu perintah untuk tidak pergi ke luar rumah ataupun meminta pinjaman
sebuah payung.
Seorang penutur tentunya memiliki unsur kesengajaan untuk mengarahkan atau mempengaruhi
pendengarnya untuk melakukan sesuatu sebagai konsekuensi yang sifatnya non linguistik dalam
tuturannya tersebut. Oleh karenanya, tindak perlokusi dikenal dengan istilah the act of persuading
someone yang mempengaruhi pendengar sebagai tujuan utama tindak tutur jenis ini.
perlokusi ini adalah akibat atau pengaruh yang ditimbulkan oleh isi tuturan, baik nyata maupun tidak”.
Sementara Tarigan (1986:109) menyebutkan bahwa tindak perlokusi merupakan tindak tutur yang
“melakukan sesuatu tindakan dengan mengatakan sesuatu’’. Dalam
tindak tutur ’’l’on accomplit par le fait d’avoir dit quelque chose et qui relèvent des conséquences de ce
que l’on a dit’’. Artinya, dalam tindak perlokusi ini, seorang penutur mengatakan sesuatu dengan
Konsekuensi non-linguistik yang mungkin dikandung tindak perlokusi ini di antaranya ialah ‘‘faire
comprendre, persuader, consoler, instruire, tromper, intéresser, impressionner, mettre en colère, calmer,
(http://fr.wikipedia.org/wiki/Acte_de_langage).
Tarigan (1986 :114) pun dalam bukunya yang berjudul Pengajaran Pragmatik mengungkapkan
(1) Mungkin ibu menderita penyakit jantung koroner (Chaer dan Agustina, 2004 :53).
Kedua contoh di atas disebut tindak perlokusi karena saling memberikan konsekuensi non-linguistik
pada pendengarnya. Pada contoh (1) seorang dokter menginformasikan kepada keluarga pasien mengenai
penyakit yang diderita pasien tersebut yang kemungkinan akan membuat keluarganya sedih atau panik.
Begitu pun yang terjadi pada contoh (2) yang bisa menimbulkan kepanikan atau rasa malu bila seorang
Klasifikasi untuk membedakan tindak tutur secara umum terbagi dalam dua golongan, yakni yang
berdasarkan pada fungsi serta yang berdasarkan konteks situasinya (Yule, 1996:5-56).
Dalam Parera (2004:271) mengutip Searle (1975), dalam Yule (1996:53) serta dalam
1) Deklaratif
Tindak tutur ini, dapat dikatakan, mengubah keadaan lewat ujaran penuturnya. Penutur di sini
memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ujaran tertentu dalam konteks yang sesuai. Seperti
2) Representatif
Tindak tutur ini sering pula disebut tindak tutur yang bersifat asertif yang menyatakan sesuatu
yang diyakini si penutur. Yang termasuk ke dalam tindak tutur kategori ini dapat berupa
pernyataan fakta, kesimpulan dan deskripsi mengenai suatu hal (assertion,affirmation, etc).
3) Ekspresif
Ekspresi mengenai apa yang dirasakan penutur merupakan pengejawantahan tindak tutur ini.
Ekspresi-ekspresi tersebut dapat berupa pernyataan psikologis, seperti senang, sakit, suka,
kebahagiaan, kesedihan, ucapan selamat, permintaan maaf dan terima kasih serta hal-hal lain
Tindak tutur ini digunakan saat seorang penutur menginginkan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang menjadi keinginan si penutur seperti perintah, permintaan, atau saran baik yang
5) Komisif
Tindak tutur ini menerangkan komitmen seorang penutur untuk melakukan sesuatu hal di
masa yang akan datang seperti perjanjian, penolakan, perundingan dan lain sebagainya yang
diucapkan oleh si penutur dalam kapasitas sebagai pribadinya sendiri maupun sebagai
Tindak tutur ini terbagi ke dalam dua jenis yakni tindak tutur langsung serta tindak tutur tak langsung.
Tindak tutur langsung merupakan tindak tutur yang langsung diucapkan penutur sesuai dengan isi dan
tujuan ujarannya. Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional
dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan meemrintahkan mitra tutur
melakukan sesuatu (http://smartilicious.blogspot.com). Dalam tindak tutur jenis ini terdapat hubungan
pragmatik.html).
Tindak tutur tidak langsung dilakukan penutur saat dirinya tidak mengeluarkan ujaran yang secara
eksplisit mencerminkan apa tujuannya seperti memerintah sesuatu (kalimat imperatif) tetapi misalnya
menggunakan kalimat interogatif. Contoh lain, jika tuturan deklaratif digunakan untuk bertanya atau
memerintah –atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional-, tuturan itu
merupakan tindak tutur tak langsung (http://smartilicious.blogspot.com). Biasanya tindak tutur tak
langsung ini digunakan untuk menolak penawaran maupun untuk membuat permintaan serta perintah.
Hubungan yang terdapat dalam tindak tutur tidak langsung bersifat tidak langsung atau menggunakan
Studi pragmatik dalam konteks pengajaran bahasa tidak akan terlepas dari kompetensi linguistik,
sosiolinguistik dan pragmatik. Meskipun tidak selamanya ditujukan bagi pengajaran praktis antara
pengajar dengan anak didiknya di kelas, kajian pragmatik dapat menjadi sebuah bahan pengayaan yang
akan menambah wawasan serta kompetensi seseorang yang mempelajari ilmu bahasa dengan tercakupnya
Penguasaan konsepsi-konsepsi dalam linguistik seperti gramatika dan semantik tercakup di dalam
kajian pragmatik. Dalam pengajaran bahasa, anak didik diarahkan untuk memahami pola gramatikal
maupun modus ujaran-ujaran yang digunakan dalam dialog film sebagai representasi dialog dalam
kehidupan sebenarnya yang dapat dijadikan salah satu strategi pembelajaran tata bahasa, morfologi
maupun sintaksis. Inilah yang disebut sebagai pencapaian kompetensi linguistik. Lebih dari itu, mereka
pun dituntut untuk memahami makna yang terdapat dalam dialog-dialog tersebut.
linguistik sebelumnya. Kompetensi sosiolinguistik anak didik diharapkan dapat meningkat karena selain
mengaplikasikan konsepsi linguistik teoretik, mereka pun menganalisisnya dengan melibatkan faktor-
faktor sosial yang melingkupi dan mempengaruhi situasi ujar tertentu. Dampak nyatanya, anak didik
diharapkan dapat mengeluarkan ujaran yang tepat, sesuai dan dikehendaki lingkungannya.
Kompetensi pragmatik merupakan kompetensi final yang menjadi tujuan kajian pragmatik. Seseorang
yang tidak memiliki kecakapan cukup dalam mengeksplorasi kompetensi pragmatiknya akan mengalami
kesulitan untuk memahami maksud ujaran seseorang yang seringkali dibuat secara implisit. Kesalahan
penafsiran tentunya akan berakibat pada tidak terbentuknya iklim komunikasi yang kondusif karena di
antara pihak-pihak yang berkomunikasi tersebut tidak terdapat keterpahaman satu sama lain.
2.5 Film sebagai Produk Budaya dan Media Pengajaran Bahasa
Keberadaan film sebagai produk budaya global telah mendorong manusia untuk berimprovisasi agar
film tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan semata. Dengan banyak jenisnya seperti film komedi,
drama, action, dokumenter, maupun independen, film telah menyihir manusia untuk menyuarakan ide,
saran, gagasan, serta pemikirannya lewat hal yang jauh lebih kreatif dibanding orasi vokal.
Berbicara mengenai dunia perfilman, orientasi kita pasti akan langsung tertuju pada Hollywood.
Dengan produksinya yang begitu massive, Hollywood begitu mendominasi perfilman dunia. Berbeda
dengan perfilman Prancis yang memiliki perjalanan sendiri dalam sejarahnya yang bergelut dengan teori
film. Tak banyak orang yang mengetahui dan mengikuti perkembangannya bila dibandingkan dengan
perfilman Hollywood. Perfilman Prancis seperti memiliki genre tersendiri yang tidak bisa diklasifikasikan
ke dalam kategori yang sama dengan Hollywood. Akan tetapi, dalam situs
bahwa sinema Prancis dalam hubungannya dengan Hollywood ialah seperti sebuah jam session yang
berdialog.
http://frenchfilms.topcities.com dipaparkan bahwa perjalanan perfilman Prancis dimulai pada tahun 1895
saat Lumière bersaudara memproduksi film untuk pertama kalinya. Film ini pada tahun 1927
bermetamorfosa dari film bisu menjadi bentuk film yang dapat menimbulkan bunyi-bunyian dan
kemudian berkembang lagi sehingga aktor-aktornya pun dapat berbicara (dialog para aktor dapat
terdengar). Setelah itu tahapan film berkembang pesat dengan mulai diproduksinya film-film berwarna.
Perfilman Prancis berkembang secara independen melalui teater meskipun ada pula pihak-pihak yang
menggunakan seorang aktor baik untuk bermain di teater ataupun film. Beberapa nama yang dikenal
mendalami dua bidang ini, teater serta film, di antaranya adalah: Jean Cocteau yang menyutradarai
sejumlah film berimajinasi tinggi; Louis Jouvet, seorang aktor terkenal; Marcel Pagnol, menyutradarai
sejumlah film; juga Sacha Guitry, seorang aktor, sutradara dan juga penulis untuk pertunjukan di
Memasuki abad ke 20, Prancis memulai era perfilmannya dengan ditandai oleh hadirnya Georges
Méliès. Tetapi Bapak Perfilman Prancis sebenarnya ialah Abel Gance (dengan epiknya Napoléon tahun
1925), Jean Vigo (Zéro de Conduite tahun 1932 serta L’Atalante tahun 1934), René Clair, dan Jean
Renoir (La Règle du Jeu tahun 1939 serta La Grande Illusion tahun 1937).
Pergulatan teori-teori film semakin berkembang dan kemudian melahirkan aliran new wave sekitar
tahun 1950-an. Tokoh aliran ini ialah Claude Chabrol, seorang kritikus film muda yang menyutradarai Le
Beau Serge. Dua orang rekan Chabrol, Jean-Luc Godard serta François Truffaut pun mengikuti jejaknya
dengan memproduksi sejumlah film. Jika Godard terhitung amat produktif, maka Truffaut tergolong amat
sukses lewat film-filmnya seperti Tirez sur Le Pianiste (1960) dan Jules et Jim (1961). Aliran new wave
ini selanjutnya menyebar ke Eropa dan menelurkan sinema baru Jerman dengan tokoh-tokoh seperti
Fassbinder dan Wenders. Era ini juga yang pada akhirnya menjadi muara lahirnya istilah Autoren Film,
(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/06/09/FL/mbm.20030609.id.html).
Era selanjutnya merupakan saat-saat di mana perfilman Prancis memadu relasi dengan disiplin ilmu
dan kesenian lainnya. Contohnya film Chloe in The Afternoon karya Erich Rohmer yang menunjukkan
intimasi sang sutradara dengan dunia sastra, Alan Resnais yang berelasi dengan novel-novel baru,
ataupun pendekatan yang dilakukan Godard dengan Breathless-nya (1960) yang menyodorkan perspektif
Akan tetapi, setelah masa tahun 1970-an, aliran ini semakin menyusut walaupun masih ada beberapa
tokoh yang memproduksi film seperti Le Dernier Métro karya Truffaut (1980) dan digantikan oleh
sutradara-sutradara baru dengan visinya yang juga baru yakni untuk menarik perhatian dunia lewat karya-
karya yang mereka hasilkan. Di antaranya adalah Jean-Jacques Beineix (Diva, 1981; Betty Blue, 1986),
Luc Besson (Subway, 1985; The Big Blue, 1988; La Femme Nikita, 1990), Claude Berri (Jean de Florette
serta Manon des Sources tahun 1986), dan Régis Wargnier (La Femme de Ma Vie, 1986; Indochine,
1992).
Seperti halnya Hollywood yang memiliki ajang penghargaan Academy Award (atau yang lebih akrab
disebut Oscar), perfilman Prancis pun memiliki ajang penghargaan film bergengsi tersendiri yakni The
Cannes Film Festival. Dimulai sejak tahun 1946, festival ini menganugerahkan penghargaan bagi insan
perfilman terbaik dunia dengan Palme d’Or sebagai award yang ekuivalen dengan Oscar.
Dewasa ini, meskipun perfilman Prancis sedang dilanda kelesuan, rakyat Prancis masih menunjukkan
apresiasinya dengan tetap menonton film lokal mereka di samping gencarnya invasi Hollywood. Di Paris
sendiri, setiap minggunya disuguhkan lebih dari 300 judul film. Sebuah surga mini tentunya bagi para
Lewat ragamnya yang begitu heterogen saat ini, film pun dapat dijadikan sebagai salah satu media
pengajaran dalam dunia pendidikan. Banyak pengajar memutar film dalam jam-jam pelajarannya dengan
berbagai tujuan. Seperti lewat film dokumenter, para pengajar sejarah memutar film tersebut agar anak
didiknya lebih mengetahui sejarah dengan lebih visible yang biasanya hanya mereka baca lewat buku
teks. Dalam mata pelajaran geografi, pengajar dapat memutar film dokumenter ilmiah mengenai
pemanasan global agar anak didiknya memiliki kesadaran lebih mengenai hal tersebut dan tidak hanya
dipahami lewat gembar-gembornya saja. Dalam pengajaran bahasa, dialog-dialog film misalnya, dapat
dijadikan bahan pelajaran. Para pengajar dapat mengarahkan anak didiknya untuk menemukan ungkapan-
ungkapan khas, pemilihan diksi untuk lawan bicara tertentu, ataupun manner-manner yang menjadi
menemukan tindak lokusi, ilokusi serta perlokusi yang terkandung. Karena seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya, film ber-genre komedi ini dipilih karena pada prinsipnya dalam film genre ini,
sejumlah tujuan ujaran seorang penutur tidak dipresentasikan secara eksplisit sehingga akibatnya
kadangkala ialah tidak sinkronnya antara maksud ujaran penutur tadi dengan interpretasi yang dimiliki