Anda di halaman 1dari 27

BAB II

KONSEPSI TINDAK LOKUSI, ILOKUSI DAN PERLOKUSI

DALAM PRAGMATIKA

2.1 Definisi dan Ruang Lingkup Linguistik

Pada umumnya, orang-orang memiliki persepsi bahwa linguistik merupakan disiplin ilmu yang

mempelajari bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Akan tetapi, lebih dari

itu linguistik dipelajari untuk memahami hakikat dan seluk beluk bahasa sebagai satu-satunya alat

komunikasi terbaik yang hanya dimiliki manusia serta bagaimana bahasa tersebut menjalankan perannya

dalam kehidupan sosial manusia.

Dalam kamus Petit Larousse Illustré, kata linguistique (Indonesia: linguistik) dijabarkan sebagai “1)

science du langage humain; 2) étude scientifique des langues, en particulier étude des phénomènes

intéressant leur évolution et leur développement, leur répartition dans le monde, leurs rapports entre

elles, etc.” (1975:597). Artinya, linguistik merupakan disiplin ilmu yang mempelajari bahasa manusia

secara ilmiah, terutama mengkaji fenomena yang menarik dalam evolusi dan perkembangan juga

penyebarannya di dunia serta kaitan di antara bahasa-bahasa tersebut.

Sementara itu, penggunaan bahasa tentunya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat sebagai

penuturnya. Beragam situasi yang mungkin terjadi dengan lawan bicara yang beragam pula membuat kita

mencari pedoman untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan pertuturan yang bisa saja terjadi agar

interaksi sosial dapat berjalan dengan semestinya.

Sosiolinguistik yang merupakan disiplin ilmu yang mengkaji aspek-aspek sosial dari penggunaan

bahasa memiliki domain penelitian mulai dari percakapan tunggal dengan konteks lokalnya yang sangat
terbatas hingga pengkajian penggunaan bahasa oleh keseluruhan populasi masyarakat. Ia yang merupakan

kombinasi antar ilmu sosial (sosiologi) dengan linguistik yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain,

menelaah hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di luar bahasa dalam masyarakat tutur.

Lebih dari itu, sosiolinguistik juga mengkaji implikasi antar variabel-variabel tersebut satu sama lain.

“La sociolinguistique a affaire à des phénomènes très variés: les fonctions et les usages du
langage dans la société, la maîtrise de la langue, l’analyse du discours, les jugements que les
communautés linguistiques portent sur leur(s) langue(s), la planification et la standardisation
linguistiques.” (Baylon, 1996).

Definisi di atas mengungkapkan pengertian sosiolinguistik yang lebih luas. Definisi ini menjelaskan

sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang memiliki kajian beragam mulai dari fungsi dan penggunaan

bahasa dalam masyarakat tutur, penguasaan bahasa, analisis wacana, penilaian yang dibawa masyarakat

tutur lewat bahasanya, serta penataan dan standardisasi bahasa.

Maka secara garis besar, kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa dan masyarakat merupakan objek

kajian utama dalam sosiolinguistik. Kajian tersebut dapat dibuat lebih luas dengan meneliti beragam

aspek yang timbul akibat hubungan bahasa dan masyarakat tersebut yang menjadikan sosiolinguistik

semakin memiliki objek kajian yang lebih spesifik seperti penggunaan bahasa yang berbeda karena

diakibatkan oleh perbedaan usia, gender, suku, agama, tingkat pendidikan, status sosial serta ekonomi dan

lain sebagainya.

2.2 Pragmatika

Penggunaan bahasa dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kompetensi linguistik serta

kompetensi komunikatif seorang penutur maupun lawan tuturnya. Mampu menyusun tutur yang baik serta

menggunakannya dengan tepat dalam pertuturan menjadi nilai terpenting penggunaan bahasa oleh

seseorang dalam interaksi sosialnya.


Setiap pertuturan yang terjadi seringkali tidak dibuat secara eksplisit. Artinya, dalam mengemukakan

tujuan tuturnya seorang penutur tak jarang mengarahkan tujuannya tersebut secara tidak langsung. Hal ini

sejalan dengan yang dikemukakan dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Pragmatics bahwa ‘‘pragmatics is

the study of the ability of natural language speakers to communicate more than that which is explicitly

stated’’ yang berarti bahwa pragmatika yang tercakup dalam ruang lingkup sosiolinguistik merupakan

studi mengenai kemampuan berbahasa penutur untuk berkomunikasi lebih dari yang dinyatakannya

secara eksplisit. Kemampuan untuk memahami tujuan tutur seorang penutur sendiri disebut kompetensi

pragmatik (pragmatic competence).

Dalam situs http://fr.wikipedia.org, pragmatika didefinisikan sebagai ‘‘la branche de la linguistique

qui s'intéresse aux éléments du langage dont la signification ne peut être comprise qu'en connaissant le

contexte’’. Artinya bahwa pragmatika merupakan cabang linguistik yang mengkaji elemen-elemen

kebahasaan yang hanya dapat dimengerti bila kita mengerti konteksnya.

Definisi lain menyatakan bahwa pragmatics (Indonesia: pragmatika) merupakan:

“1) the study of the way language is used in particular situations, and is therefore concerned with
the functions of words as opposed to their forms. It deals with the intentions of the speaker, and
the way in which the hearer interprets what is said; 2) a technical term in linguistics.” (Delahunty
et al, 1994:1125).

Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, kita dapat pula mengetahui bahwa pragmatika tidak

hanya diartikan sebagai kajian mengenai tata cara penggunaan bahasa dalam situasi tertentu yang

menelaah bukan saja bentuk namun juga fungsi kata-kata yang terdapat di dalam setiap kalimat atau tutur.

Kajian ini pun melingkupi maksud ujaran penutur dan interpretasi lawan tutur akan ujaran tersebut. Lebih

dari kajian tersebut, pragmatika pun dianggap sebagai sebuah terminologi teknis dalam linguistik.

“the advantages of studying laguage via pragmatics is that one can talk about people’s intended
meanings, their assumptions, their purposes or goals, and the kinds of actions (for example,
requests) that they are performing when they speak.” (Yule, 1996:4).
Pendapat di atas mengungkapkan peranan penting pragmatika dalam studi bahasa. Pragmatika

memungkinkan kita untuk memahami makna sebenarnya, asumsi, tujuan atau maksud serta ragam

kegiatan yang dilakukan seorang penutur dan lawan tuturnya ketika berbicara.

2.2.1 Sejarah Perkembangan Pragmatika

Pragmatika merupakan semacam reaksi yang ditujukan kepada para linguis strukturalis. Pada awal

perkembangannya, linguistik berkembang sejalan dengan munculnya aliran-aliran yang bersifat sentris

pada tokoh-tokoh tertentu seperti Bloomfield yang mengkaji linguistik terbatas pada fonetik serta

fonemik juga morfofonemik bagi yang lebih progresif. Masuknya pragmatika ke dalam linguistik sendiri

merupakan tahap terakhir dari perkembangan linguistik sebagai sebuah disiplin ilmu yang luas dengan

bentuk, makna, dan konteks penggunaan bahasa sebagai objek penelitiannya (Leech, 1993:2).

Cakupan linguistik yang semakin luas inilah yang mengakibatkan perubahan perspektif mengenai

batasan linguistik. Seiring dengan semakin berkembangnya dinamika linguistik, banyak pakar memiliki

perspektif berbeda mengenai ranah semantik-pragmatika. Bila pakar-pakar yang mengikuti aliran

struktural Chomsky memasukkan semantik ke ranah pragmatika, maka sebaliknya ada pihak yang

memasukkan pragmatika ke ruang lingkup semantik ataupun yang menganggap keduanya merupakan

komplementer bagi satu dan yang lainnya seperti halnya Leech (1993:10).

Dalam situs http://smartilicious.blogspot.com disebutkan bahwa lewat bukunya yang berjudul How to

Do Things with Words (1962), John Langshaw Austin, seorang ahli filsafat bahasa dari Inggris, dianggap

menjadi pemacu minat utama pengkajian pragmatika. J. L. Austin ialah seorang filsuf Inggris yang

dilahirkan pada 28 Maret 1911 di Lancaster dan meninggal dunia pada 8 Februari 1960. Ia menaruh minat

penelitian pada makna dalam filosofi, karena itulah ia kemudian terkenal sebagai seorang yang meneliti

cabang filosofi analitik (http://fr.wikipedia.org/wiki/John_Langshaw_Austin). Disebutkan pula dalam

http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07linguistik-pragmatik.html, sejak kemunculan Austin itulah

sejumlah kecenderungan dalam pragmatika pun lahir seperti pragmatika filosofis (Austin, Searle dan
Grice), pragmatika neo-Gricean (Cole), pragmatika kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatika

interaktif (Thomas).

2.2.2 Persinggungan Ranah Semantik-Pragmatika

Telah disebutkan dalam banyak referensi linguistik bahwa keberadaan makna bahasa merupakan

salah satu tataran linguistik. Akan tetapi status semantik sebagai cabang linguistik yang mengkaji makna

bahasa tidaklah sama seperti tataran linguistik lain seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis yang bersifat

hierarkis yang secara bertingkat mereka membangun satuan wacana secara struktural dari mulai fon,

fonem, morfem, kata, frase, klausa, kalimat dan terakhir wacana.

Para pakar semantik terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa

kajian makna bahasa seharusnya terlepas dari konteks. Perspektif ini dianut oleh para linguis yang

menempatkan semantik bahasa sebagai pusat bahasa yang memiliki tendensi untuk mengkaji makna

bahasa hanya dari sisi peran kata dan hubungan antar kata yang membentuk kalimat.

Kelompok kedua yakni kelompok yang menyatakan bahwa konteks tidak dapat dipisahkan dari kajian

makna bahasa. Artinya kelompok ini memperhitungkan konteks penggunaan bahasa di dalamnya.

Berdasarkan kedua perspektif ini nantinya kita dapat menentukan arah kajian makna bahasa.

Baik semantik maupun pragmatika, keduanya sama-sama mengkaji makna. Akan tetapi dalam

kenyataan yang ditemukan sehari-hari, perbedaan antara ‘bahasa’ (langue) dengan ‘penggunaan bahasa’

(parole) terletak pada persinggungan antara ranah semantik dengan ranah pragmatika. Pada

http://en.wikipedia.org/wiki/Pragmatics disebutkan bahwa ‘‘semantics is the literal meaning of an idea

whereas pragmatics is the implied meaning of the given idea.’’ yang berarti bahwa semantik merupakan

pengkajian makna literal dari sebuah ujaran sedangkan pragmatika mengkaji pengaruh makna dari

maksud (pesan) yang diujarkan.


Semantik mendefinisikan makna semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan yang terlepas dari

situasi, penutur dan lawan tuturnya dalam bahasa tertentu. Berbeda dengan semantik, pragmatika

mendefinisikan makna berkaitan dengan situasi, penutur dan petuturnya. Hal-hal yang bersifat pragmatik

pun dinilai sebagai segala hal yang ‘‘concerned with practical results and values ; treating things in a

matter-of-fact or practical way’’ (Hornby et al, 1983 :653) yang berarti hanya berkaitan dan

terkonsentrasi pada hal-hal dan nilai-nilai praktikal serta menempatkan sesuatu sesuai dengan fakta

ataupun tatanan praktikalnya.

2.2.3 Cakupan Pragmatika

Makna bahasa maupun penggunaan bahasa dalam konteksnya yang berbeda-beda membuat studi

pragmatika memiliki elemen-elemen yang harus dipahami demi terciptanya sebuah kajian yang

menyeluruh. Studi pragmatika sendiri mencakup beberapa konsepsi seperti tindak tutur, prinsip

kerjasama, implikatur percakapan, deiksis, presuposisi, teori relevansi, dan kesantunan.

2.2.3.1 Kalimat, Tutur dan Proposisi

Pada umumnya, istilah kalimat dianggap sebagai sebutan universal untuk apapun ujaran yang

dikeluarkan dalam percakapan baik lisan maupun tulisan. Akan tetapi Jos Daniel Parera membatasi ujaran

tersebut ke dalam tiga terminologi yang berbeda, yakni kalimat, tutur dan proposisi.

Menurut Parera (2004:262), “Kalimat merupakan satu satuan bahasa (terbesar) yang terdiri dari

runtutan kata-kata yang diterima oleh pemakai bahasa tertentu sebagai tata bahasa”. Batas kalimat ini

biasanya ditandai oleh kesenyapan final yang dalam ejaan ditandakan oleh tanda titik (.). Batas tanda titik

antara satu runtutan kata-kata dengan runtutan kata-kata selanjutnya artinya membedakan satu kalimat

dengan kalimat yang lain. Kalimat sendiri dapat dianalisis secara terpisah dari konteks pemakaian

aktualnya.

“Tutur merupakan ujaran lisan atau rentang perbincangan yang didahului dan diakhiri dengan
kesenyapan pada pihak pembincang. Sebuah tutur adalah penggunaan/pemakaian sepenggal
bahasa, seperti rentetan kalimat, sebuah frase, atau sepatah kata, oleh seorang pembincang, pada
satu kesempatan atau peristiwa tertentu” (Parera, 2004:262).

Konsep tutur ini berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam pemakaiannya secara lisan. Misalnya:

(1) “Hallo.”

(2) “Tolong kemari sebentar!”

(3) “Kereta api Mutiara sekarang sudah tiba di stasiun Gambir”.

(Parera, 2004:262)

Dari ketiga contoh di atas, dapat kita lihat bahwa sebuah tutur memperlihatkan semacam interaksi

antara kalimat-kalimat dalam sebuah percakapan dalam satu kesempatan tertentu. Saat seseorang tengah

menelepon, ia meminta bantuan seorang teman atau seorang buruh angkut untuk membawakan barang

bawaannya karena kereta api Mutiara yang ditunggunya telah datang.

Proposisi didefinisikan Parera (2004:263) sebagai “satu tutur yang melukiskan beberapa keadaan

yang belum tentu benar atau salah dalam bentuk sebuah kalimat berita”. Objek analisis proposisi ini

bukan terletak pada benar tidaknya satu informasi secara gramatikal ataupun kontekstual tetapi secara

faktual. Oleh karena itu, sebuah proposisi yang benar tentunya berkorespondensi dengan fakta dan

proposisi yang salah pun tentunya tidak berkorespondensi dengan fakta.

Singkatnya, kalimat sebagai satuan bahasa merupakan objek analisis linguistik, tutur sebagai satuan

ujaran merupakan objek analisis pragmatik serta proposisi merupakan objek analisis logika.

2.2.3.2 Peristiwa Tutur dan Konteks


Dalam satu situasi tutur atau pembicaraan (speech situation) terjadi peristiwa tutur (speech event) dan

tindak tutur (speech act) yang melibatkan ujaran-ujaran dari seorang penutur pada petuturnya dan

sebaliknya. Peristiwa tutur ini pada dasarnya ialah peristiwa sosial karena melibatkan unsur-unsur yang

saling berinteraksi seperti penutur dan lawan tutur dalam satu waktu dan tempat tertentu serta merupakan

semacam rentetan dari sejumlah tindak tutur.

Dalam ilmu sosiolinguistik, peristiwa tutur dikenal dengan istilah speech event. Definisi spesifik

dikemukakan oleh Chaer dan Agustina yang menyatakan bahwa peristiwa tutur ialah “terjadinya atau

berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu

penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu”

(2004:47). Sebuah peristiwa tutur dapat kita jumpai misalnya antara dosen dengan mahasiswa di ruang

perkuliahan, sidang di pengadilan, tanya jawab dalam seminar, ulasan pertandingan oleh pembawa acara

dan komentator dalam siaran pertandingan sepakbola dan lain sebagainya.

Selain peristiwa tutur, dalam kaitannya dengan terjadinya tindak tutur, dikenal pula terminologi

speech situation. Situasi tutur ini merupakan fokus utama penelitian para sosiolinguis interaksional.

O’Grady dan Dobrovolsky dalam bukunya yang berjudul Contemporary Linguistics mendefinisikan

“speech situations are social situations in which there is use of speech” (1989:349). Artinya, sebuah

situasi tutur ialah sebuah situasi sosial di mana terdapat penggunaan tutur di dalamnya. Kridalaksana

(2001:200) mendefinisikan situasi pembicaraan (situasi tutur) merupakan ‘‘unsur-unsur yang melibatkan

ujaran tertentu, yakni pembicara dan pendengar, konteks, tujuan pembicara, pertuturan, tempat dan

waktu’’.

Geoffrey Leech mengemukakan sejumlah syarat situasi pertuturan, yakni:

1) Tutur yang dikodekan dengan U.

2) Pembincang atau penulis tutur tersebut yang dikodekan dengan s.

3) Penyimak atau pembaca tutur tersebut yang dikodekan dengan h.


4) Tindak pertuturan yang dikodekan dengan A.

(Leech dalam Parera, 2004:263)

Sementara pengertian konteks mencakup beberapa hal, di antaranya:

“1) aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait-mengait dengan ujaran tertentu; 2) pengetahuan

yang sama-sama dimiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham akan apa yang dimaksud

pembicara” (Kridalaksana, 2001:120).

Dalam kamus Petit Larousse Illustré, contexte (Indonesia: konteks) didefinisikan sebagai “1)

ensemble du texte qui précède ou suit une phrase, un groupe de mots, un mot; 2) ensemble des

circonstances qui accompagnent un événement” (1975:247). Artinya, konteks merupakan keseluruhan

unsur teks yang mendahului ataupun mengakhiri sebuah kalimat, kumpulan kata maupun sebuah kata,

serta merupakan keseluruhan unsur (keadaan) pula yang mengiringi sebuah peristiwa.

Dari berbagai definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks merupakan

aspek-aspek yang mempengaruhi suatu ujaran. Aspek-aspek itu dapat berupa keadaan lingkungan fisik

maupun sosial yang sama-sama telah diketahui serta dipahami oleh penutur dan lawan bicaranya.

Baik peristiwa tutur maupun konteks merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan

eksistensinya satu sama lain. Keduanya secara bersamaan membangun komponen-komponen yang dapat

ditelaah untuk memahami bagaimana, apa, dan mengapa sebuah interaksi dapat terwujud.

Setidaknya ada delapan komponen yang harus dipenuhi agar suatu percakapan dapat disebut sebagai

peristiwa tutur. Dell Hymes (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:48) mengemukakan komponen-

komponen tersebut yang bila huruf-huruf depannya dirangkai secara berurutan akan membentuk akronim

SPEAKING yakni setting and scene, participants, ends, act sequence, key, instrumentalities, norms of

interaction and interpretation dan genre.


Dari poin-poin yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup berbicara

dalam konteks sosial mencakup banyak hal di luar bentuk kalimat secara gramatikal. Para sosiolinguis

mengklaim bahwa penutur memiliki kompetensi komunikatif serta kompetensi pragmatika masing-

masing yang dikombinasikan dengan pengetahuan linguistik yang ia miliki untuk kemudian menciptakan

penggunaan bahasa yang tepat dalam setiap situasi tutur.

2.2.3.3 Konsepsi Tindak Tutur

Dalam studi pragmatik dan filsafat bahasa, kita seringkali menemukan istilah tindak tutur (speech

act). Teori tindak tutur ini dianggap paling relevan dengan pengajaran bahasa dan pembelajaran bahasa

berkaitan dengan penggunaan bahasa itu sendiri (Nababan, 1987 :18). Teori ini pada awalnya dicetuskan

oleh John Langshaw Austin, seorang filsuf berkebangsaan Inggris melalui karyanya yakni How to Do

Things with Words (1962). Kajian teori tindak tutur kemudian dikembangkan oleh John R. Searle (1969)

lewat karyanya Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language yang membuat teori ini dikenal

secara meluas (Chaer dan Agustina, 2004 :50).

Pada dasarnya, esensi teori ini terletak pada tindakan yang mengikuti satu tutur tertentu. Bila

seseorang mengatakan sesuatu maka maksud ujarannya tersebut tidak selalu berarti seperti apa yang

dikatakannya secara harfiah, namun sangat tergantung kepada konteks di mana ujarannya diucapkan

(contextdependent). Ketika seorang anak mengatakan ‘’Celanaku sobek.’’ saat menaiki pagar,

maksudnya adalah meminta tolong supaya dirinya dibantu untuk turun dari pagar tersebut. Akan tetapi,

bila anak itu mengucapkan ujarannya tersebut di hadapan ibunya yang sedang menonton televisi,

misalnya, maka maksud ujaran si anak tersebut adalah meminta sang ibu menjahit celananya yang sobek

ataupun membelikannya yang baru.

2.2.3.4 Prinsip Kerjasama

Percakapan yang terjadi dalam masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar yakni prinsip

kerjasama. Kerjasama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim) yang
merupakan teori milik Grice dan seperti tercantum pada

http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07linguistik-pragmatik.html, bidal-bidal tersebut yaitu:

1) Bidal kuantitas (quantity maxim) yakni memberikan informasi sesuai yang diminta.

2) Bidal kualitas (quality maxim) yakni menyatakan hanya yang kita anggap benar atau yang

cukup bukti kebenarannya.

3) Bidal relasi (relation maxim) yakni memberikan informasi yang sesuai atau relevan.

4) Bidal cara (manner maxim) yakni menghindari ketidakjelasan pengungkapan dan ketaksaan

serta mengungkapkan sesuatu secara singkat dan beraturan.

2.2.3.5 Implikatur Percakapan

Terminologi implikatur percakapan (conversation alimpticatre) yang hanya bisa diamati secara

implisit diartikan sebagai ‘’adanya keterkaitan antara ujaran-ujaran yang diucapkan antara dua orang yang

sedang bercakap-cakap.’’ (Chaer dan Agustina, 2004:59).

Dalam http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07linguistik-pragmatik.html disebutkan bahwa

terdapat dua jenis implikatur yakni implikatur konvensional yang dihasilkan dari penalaran logika serta

implikatur konversasional yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu.

2.2.3.6 Deiksis

Deiksis merupakan ‘‘hubungan antara kata yang digunakan di dalam tindak tutur dengan referen kata

itu yang tidak tetap atau dapat berubah atau berpindah.’’ (Chaer dan Agustina, 2004 :57). Kata-kata yang

referennya tidak tetap (deiktis) ini dapat berkenaan dengan persona (déictiques personnels), temporal

(déictiques temporels), spasial (déictiques spatiaux), diskursif (déictiques discursifs), serta sosial

(déictiques sociaux).

1) Deiksis personal (déictiques personnels)


Deiksis jenis ini memiliki referen yang berkenaan dengan persona seperti ‘‘je’’, ‘‘tu’’,

‘‘nous’’, ‘‘vous’’ dan ‘‘on’’ (http://fr.wikipedia.org/wiki/Pragmatique).

2) Deiksis temporal (déictiques temporels)

Merupakan deiksis yang memiliki referen yang berkaitan dengan waktu seperti

‘‘aujourd’hui’’, ‘‘il a trois jours’’, ‘‘cet automne’’

(http://fr.wikipedia.org/wiki/Pragmatique).

3) Deiksis spasial (déictiques spatiaux)

Yaitu jenis deiksis yang referennya berhubungan dengan tempat seperti ‘‘ici’’, ‘‘là’’

(http://fr.wikipedia.org/wiki/Pragmatique).

4) Deiksis diskursif (déictiques discursifs)

5) Deiksis sosial (déictiques sociaux)

Deiksis jenis ini berkaitan erat dengan deiksis personal.

2.2.3.7 Presuposisi

Konsep presuposisi dalam pragmatika di sini dapat diekuivalenkan dengan informasi tambahan yang

mengiringi suatu ujaran. Seperti yang dikutip dari Chaer dan Agustina (2004:58), ‘‘…Kerjakan dulu soal

yang mudah, baru kemudian yang lebih sukar dan yang sukar’’, mempunyai presuposisi bahwa soal-soal

yang harus dikerjakan ada yang sukar dan ada pula yang mudah.

2.2.3.8 Teori Relevansi

Teori yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson ini merupakan semacam sanggahan terhadap teori

bidal (maxim) milik Grice. Teori ini menyatakan bahwa sebetulnya yang terpenting dari sebuah

percakapan adalah bidal relevansi. Menurutnya, penerima pesan (adressee) hanya memilih apa yang

dianggapnya relevan (sesuai) dengan apa yang ingin disampaikan pengirim pesan (adresser) dalam

konteks tertentu (http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07linguistik-pragmatik.html).


2.2.3.9 Kesantunan

Kesantunan dimaksudkan untuk terjadinya situasi komunikasi yang diinginkan. Konsepnya sangatlah

sederhana yakni bagaimana seorang penutur memilih kata-kata yang berbeda bobotnya namun memiliki

makna yang serupa untuk dijadikan sebuah ujaran.

Konsep kesantunan ini dapat dilakukan untuk mendapatkan semacam positive face dari lawan tutur

dengan cara melontarkan pujian, misalnya. Ataupun untuk mendapatkan face sebaliknya yang bisa

dilakukan dengan cara melakukan tindakan-tindakan yang tidak berterima, tidak kooperatif maupun yang

dianggap tidak mengenakkan dalam berkomunikasi agar tidak dinilai terlalu frontal oleh lawan tutur.

Kedua hal inilah yang selanjutnya disebut sebagai politeness strategy

(http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07linguistik-pragmatik.html).

2.3 Tindak Tutur (L’acte de Langage)

Tindak tutur merupakan suatu cara yang dilakukan penutur untuk bertindak dalam

lingkungannya lewat kata-katanya. Ia bermaksud untuk mencari informasi, mendorong, meminta

sesuatu, meyakinkan lawan tuturnya dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan tujuan dari

ujaran penutur pada saat ujaran itu diucapkan.

Dalam http://fr.wikipedia.org/wiki/Acte_de_langage disebutkan bahwa:

‘‘la théorie des actes de langage a pour thèse principale l’idée que la fonction du langage, même
dans les phrases déclaratives, n’est pas tant de décrire le monde que d’accomplir des actions,
comme l’ordre, la promesse, le baptême, etc.’’.

Artinya, teori tindak tutur ini bertujuan untuk memfungsikan bahasa tidak hanya untuk

mendeskripsikan sesuatu seperti halnya kalimat deklaratif. Tindak tutur ini dapat juga digunakan untuk

melaksanakan sesuatu seperti perintah, perjanjian, pembaptisan dan lain sebagainya. Hal ini sejalan
dengan disebutkan dalam http://www.geocities.com/anas_yasin/aw.html bahwa ‘‘analisis tindak tutur

tidak mempertanyakan bentuk yang bagaimana yang kita gunakan dalam bertutur tetapi apa fungsi tuturan

tersebut.’’

Konsepsi tindak tutur ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh John Langshaw Austin dan

muridnya John Searle. Terdapat beberapa tipe tindak tutur didasarkan pada tujuannya yang

dikutip dari http://fr.wikipedia.org/wiki/Acte_de_langage yakni: citer, informer, conclure,

donner un exemple, décréter, déplorer, objecter, réfuter, concéder, conseiller, distinguer,

émouvoir, exagérer, ironiser, minimiser, railler, rassurer, rectifier. Identifikasi tindak tutur ini

diperoleh berdasarkan interpretasi pesan yang disampaikan lewat pemahaman makna yang

dimiliki. Sebagai contoh, kalimat ‘‘J’ai appris que tu as obtenu ton diplôme.’’ bisa berarti

ucapan selamat ataupun hanya sekedar menginformasikan.

Tindak tutur terbagi atas tiga konsepsi yakni tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. Tindak

lokusi terjadi manakala penutur menyampaikan maksud tertentu sesuai dengan apa yang

dikatakannya. Tindak ilokusi terjadi manakala penutur melaksanakan sesuatu dalam mengatakan

sesuatu. Tindak perlokusi terjadi manakala ujaran seorang penutur mengakibatkan konsekuensi

non linguistik pada lawan tuturnya.

2.3.1 Jenis Ucapan (Tutur)

Sebelum memaparkan jenis-jenis ucapan, terlebih dahulu kita melihat kembali tiga jenis kalimat

dalam tata bahasa tradisional yakni kalimat deklaratif, kalimat interogatif dan kalimat imperatif. Kalimat

deklaratif hanya bermaksud untuk menginformasikan sesuatu tanpa ada kecenderungan untuk

pendengarnya melakukan sesuatu selain memperhatikannya saja. Kalimat interogatif berisi permintaan

agar orang yang mendengar kalimat tersebut memberikan jawaban secara lisan. Jadi yang diinginkan

kalimat jenis ini bukan hanya perhatian saja tetapi juga jawaban dari pendengarnya. Kalimat imperatif
isinya meminta agar pendengarnya melakukan suatu tindakan atau perbuatan sebagai tanggapan atas

kalimat tersebut.

Ada kemungkinan di mana satu jenis kalimat menjadi tidak sama antara bentuk formalnya dengan

isinya seperti sebuah kalimat (atau tutur) deklaratif atau kalimat (atau tutur) interogatif tidak lagi berisi

pernyataan tetapi perintah. Misalnya saat seseorang sedang bertamu ke kediaman salah satu rekannya, ia

merasa hawa di ruang tamu terlalu panas. Ia berkata kepada rekannya tersebut, “Di sini panas sekali.”.

Dari bentuk formalnya, kalimat (atau tutur) tersebut merupakan kalimat (atau tutur) deklaratif namun

isinya tidaklah menginformasikan sesuatu tetapi perintah untuk membuka jendela, menghidupkan air

conditioner atau kipas angin ataupun meminta minuman dingin. Hal seperti ini dilakukan dengan

mempertimbangkan norma dan etika.

Menurut Chaer dan Agustina (2004:51), Austin membedakan jenis tutur deklaratif yang sering kita

temui dalam bahasa percakapan sehari-hari menjadi dua jenis ucapan yakni tutur konstatif dan tutur

performatif.

2.3.1.1 Tutur Konstatif

Tutur (ucapan) konstatif ialah ucapan atau tuturan yang kita pergunakan untuk mendeskripsikan atau

menyatakan suatu keadaan secara faktual. Parera menyebutnya sebagai “satu analisis unsur yang

tradisional yang mengungkapkan bahwa setiap tutur itu menghadirkan kenyataan atau fakta” (2004:264).

Kebenaran pernyataan dari setiap tutur konstatif ini dapat diuji secara empiris baik secara langsung

maupun tidak langsung.

Dalam situs http://fr.wikipedia.org/wiki/Pragmatique disebutkan bahwa tutur konstatif ini memiliki le

sens donné à un énoncé quand le locuteur a pour but de décrire ‘ un état de choses ‘, une partie de la
réalité. Artinya, tutur konstatif ini memiliki makna yang dimiliki sebuah ujaran yang dilontarkan seorang

penutur untuk menyatakan keberadaan suatu benda maupun kenyataan.

Berikut beberapa contoh tutur konstatif:

(1) ‘‘Son exposé a la note 12’’ (http://fr.wikipedia.org/wiki/Pragmatique)

(2) ‘‘Le chat est sur le paillasson’’ (http://fr.wikipedia.org/wiki/Acte_de_langage)

2.3.1.2 Tutur Performatif

Dalam http://smartilicious.blogspot.com/ disebutkan bahwa tutur performatif adalah ‘‘tindak tutur

yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan

bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau tidak.’’ Perlu diperhatikan bahwa orang yang

mengucapkan ujaran tersebut memang berwenang untuk mengucapkannya.

Contoh tutur performatif di antaranya sebagai berikut:

(1) Saya namakan kapal ini Ratu Elizabeth. (Tentunya sahih atau layak diucapkan dalam sebuah

peresmian kapal laut terbaru) (http://albertmangasi.wordpress.com/2007/10/28/john-austin/).

(2) ‘‘Viens ici !’’. (Sahih atau layak diucapkan oleh tuan rumah pada tamunya)

(http://fr.wikipedia.org/wiki/Pragmatiq).

Tutur performatif ini identik dengan frase tertentu yang mengiringi pembentukannya di awal kalimat

seperti ‘‘Je t’invite à aller au cinéma’’. Akan tetapi, contoh ujaran seperti “Faute!” dalam permainan

tennis yang diujarkan seorang wasit pun dianggap sebagai tutur performatif karena pada saat itu ia

melakukan sesuatu yakni menetapkan bahwa pemain yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran

(http://fr.wikipedia.org/wiki/Pragmatiq).

Tutur performatif sendiri terbagi menjadi dua jenis yaitu tutur performatif eksplisit dan implisit.

(1) ‘‘Je te promets que je t’emmènerai au cinéma demain.’’

(2) ‘‘Je t’emmènerai au cinéma demain.’’


Kalimat (1) merupakan tutur performatif eksplisit yang dapat pula ditandai dengan pola seperti je

promets que…, j’ordonne que…, j’asserte que… dan lain sebagainya sementara kalimat (2) merupakan

tutur performatif implisit (http://fr.wikipedia.org/wiki/Pragmatiq).

Tutur performatif inilah yang selanjutnya menghasilkan tiga tindak pertuturan lain yang saling

berkaitan yakni tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi

(http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07linguistik-pragmatik.html).

2.3.2 Tindak Tutur

Tindak tutur (l’acte de langage) terbagi dalam tiga konsepsi yakni tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi

yang bisa saja terjadi secara bersamaan.

2.3.2.1 Tindak Lokusi

Tindak lokusi didefinisikan sebagai jenis tindak tutur yang “melakukan tindakan untuk mengatakan

sesuatu’’ (Tarigan, 1986:109) atau the act of saying something. Sementara dalam

http://fr.wikipedia.org/wiki/Acte_de_langage, tindak lokusi atau les actes locutoires merupakan jenis

tindak tutur ‘‘l’on accomplit dès lors que l’on dit quelque chose et indépendamment du sens que l’on

communique’’. Artinya, dalam tindak lokusi, seorang penutur mengatakan ujaran terlepas dari apapun

tujuan ujaran tersebut.

Chaer dan Agustina (2004:53) mengemukakan definisi lebih jelas mengenai tindak lokusi yakni

‘tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang

bermakna dan dapat dipahami’. Dengan kata lain, tindakan ini dilakukan semata-mata hanya untuk

menginformasikan sesuatu pada lawan bicaranya sesuai dengan makna dan acuannya tanpa ada tendensi

apapun.
Tindak tutur jenis ini terbatas pada pembentukan kalimat yang meliputi pemilihan kata, penempatan

kata dalam kalimat, pemberian makna, tata cara pengucapan dan penulisan, bagaimana kita mendengar,

menulis serta memahami kalimat tersebut.

Seperti contoh berikut:

(1) Banyak pedagang mainan anak-anak di pasar Sekaten

(http://albertmangasi.wordpress.com/2007/10/28/john-austin/).

(2) Ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya (Chaer dan Agustina, 2004:53).

2.3.2.2 Tindak Ilokusi

Tindak tutur yang dapat diidentifikasi keberadaannya dengan kehadiran tutur performatif yang

eksplisit (Chaer dan Agustina, 2004:53) ini mengandung semacam daya yang mengharuskan penutur

melaksanakan apa yang dituturkannya. Tindak tutur ini tidak hanya berfungsi untuk menginformasikan

sesuatu tetapi juga melakukan sesuatu (the act of doing something something).

Dalam http://fr.wikipedia.org/wiki/Acte_de_langage disebutkan bahwa tindak ilokusi ini merupakan

tindakan ‘‘l’on accomplit en disant quelque chose et à cause de la signification de ce que l’on dit’’.

Artinya, bahwa dalam tindak ilokusi ini, seorang penutur melaksanakan sesuatu dengan mengatakan

sesuatu dengan segala tujuannya. Sejalan dengan hal ini, seorang penutur “melakukan sesuatu tindakan

dalam mengatakan sesuatu’’ (Tarigan,1986:109).

Menurut Parera (2004:268) ilokusi adalah ‘‘tindak bahasa yang dibatasi oleh konvensi sosial’’. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri (1989:459), konvensi didefinisikan sebagai “pemufakatan atau

kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi, dsb)”.

Konvensi sosial yang dicakup tindak tutur ini meliputi:


‘‘décrire, interroger, répondre, ordonner, juger, promettre, prêter serment, certifier, parier,
s’excuser, pardonner, condamner, féliciter, blâmer, remercier, saluer, inviter, insulter, menacer,
argumenter, conclure, avouer, présenter une enquête, nommer à un poste, etc.’’
(http://fr.wikipedia.org/wiki/Acte_de_langage).

Sementara itu, Tarigan (1986 :114) mengemukakan konvensi sosial tersebut dalam wujud verba-verba

yang menjadi penanda tindak ilokusi, yaitu :

‘‘melaporkan, mengumumkan, meramalkan, mengakui, menanyakan, menegur, memohon,


menyarankan, memerintahkan, memesan, mengusulkan, mengungkapkan, mengucapkan selamat,
mengucapkan terima kasih, menyajikan, mendesak.’’

Makna yang terkandung dalam tindak ilokusi ini bukan terfokus pada isi ujarannya tetapi juga pada

daya ilokusi yang dikandungnya (force illocutoire). Leech (1993:306) mengutip Sadock (1974:19)

mengatakan bahwa “illocutionary force is the part of meaning of a sentence which corresponds to the

highest clause in its semantic representation” yang artinya bahwa daya ilokusi merupakan bagian dari

makna kalimat yang sejajar dengan klausa tertinggi dalam representasi semantiknya. Dengan kata lain,

sebetulnya daya ilokusilah yang memegang peranan amat penting dalam sebuah kalimat.

Sebagai contoh, kalimat “Il pleut.” bukan hanya sekedar menginformasikan keadaan hujan pada saat

itu akan tetapi juga merupakan suatu perintah untuk tidak pergi ke luar rumah ataupun meminta pinjaman

sebuah payung.

2.3.2.3 Tindak Perlokusi

Seorang penutur tentunya memiliki unsur kesengajaan untuk mengarahkan atau mempengaruhi

pendengarnya untuk melakukan sesuatu sebagai konsekuensi yang sifatnya non linguistik dalam

tuturannya tersebut. Oleh karenanya, tindak perlokusi dikenal dengan istilah the act of persuading

someone yang mempengaruhi pendengar sebagai tujuan utama tindak tutur jenis ini.

Dalam situs http://albertmangasi.wordpress.com/2007/10/28/john-austin/ disebutkan bahwa “tindakan

perlokusi ini adalah akibat atau pengaruh yang ditimbulkan oleh isi tuturan, baik nyata maupun tidak”.

Sementara Tarigan (1986:109) menyebutkan bahwa tindak perlokusi merupakan tindak tutur yang
“melakukan sesuatu tindakan dengan mengatakan sesuatu’’. Dalam

http://fr.wikipedia.org/wiki/Acte_de_langage disebutkan pula bahwa tindak tutur jenis ini merupakan

tindak tutur ’’l’on accomplit par le fait d’avoir dit quelque chose et qui relèvent des conséquences de ce

que l’on a dit’’. Artinya, dalam tindak perlokusi ini, seorang penutur mengatakan sesuatu dengan

mengeluarkan ujaran yang menimbulkan konsekuensi atas apa yang diujarkannya.

Konsekuensi non-linguistik yang mungkin dikandung tindak perlokusi ini di antaranya ialah ‘‘faire

comprendre, persuader, consoler, instruire, tromper, intéresser, impressionner, mettre en colère, calmer,

faire peur, rassurer, se concilier, influencer, troubler, dan lain sebagainya

(http://fr.wikipedia.org/wiki/Acte_de_langage).

Tarigan (1986 :114) pun dalam bukunya yang berjudul Pengajaran Pragmatik mengungkapkan

ekspresi-ekspresi menyerupai verba (konsekuensi non-linguistik) yang terkandung dalam tindak

perlokusi, antara lain :

‘‘mendorong penyimak mempelajari bahasa, meyakinkan, menipu, memperdayakan,


membohongi, menganjurkan, membesarkan hati, menjengkelkan, mengganggu, mendongkolkan,
menakuti (menjadi takut), memikat, menawan, menggelikan hati, membuat penyimak melakukan;
mengilhami, mempengaruhi, mencamkan, mengalihkan, mengganggu, membingungkan ;
membuat penyimak memikirkan tentang : mengurangi ketegangan, memalukan, mempersukar,
menarik perhatian, menjemukan, membosankan.’’

Seperti terlihat pada contoh-contoh berikut :

(1) Mungkin ibu menderita penyakit jantung koroner (Chaer dan Agustina, 2004 :53).

(2) Ada bisul di telingamu (Parera, 2004:269).

Kedua contoh di atas disebut tindak perlokusi karena saling memberikan konsekuensi non-linguistik

pada pendengarnya. Pada contoh (1) seorang dokter menginformasikan kepada keluarga pasien mengenai

penyakit yang diderita pasien tersebut yang kemungkinan akan membuat keluarganya sedih atau panik.
Begitu pun yang terjadi pada contoh (2) yang bisa menimbulkan kepanikan atau rasa malu bila seorang

penutur mengatakan ujaran tersebut pada lawan tuturnya.

2.3.3 Klasifikasi Tindak Tutur

Klasifikasi untuk membedakan tindak tutur secara umum terbagi dalam dua golongan, yakni yang

berdasarkan pada fungsi serta yang berdasarkan konteks situasinya (Yule, 1996:5-56).

2.3.3.1 Berdasarkan Fungsinya

Dalam Parera (2004:271) mengutip Searle (1975), dalam Yule (1996:53) serta dalam

http://fr.wikipedia.org/wiki/Acte_de_langage dikemukakan lima buah kategori tindak tutur yang

didasarkan pada fungsi umumnya, yakni:

1) Deklaratif

Tindak tutur ini, dapat dikatakan, mengubah keadaan lewat ujaran penuturnya. Penutur di sini

memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ujaran tertentu dalam konteks yang sesuai. Seperti

prosesi pembaptisan, perkawinan, penjatuhan vonis, dan lain sebagainya (déclaration de

guerre, nomination, baptême, etc).

2) Representatif

Tindak tutur ini sering pula disebut tindak tutur yang bersifat asertif yang menyatakan sesuatu

yang diyakini si penutur. Yang termasuk ke dalam tindak tutur kategori ini dapat berupa

pernyataan fakta, kesimpulan dan deskripsi mengenai suatu hal (assertion,affirmation, etc).

3) Ekspresif

Ekspresi mengenai apa yang dirasakan penutur merupakan pengejawantahan tindak tutur ini.

Ekspresi-ekspresi tersebut dapat berupa pernyataan psikologis, seperti senang, sakit, suka,

kebahagiaan, kesedihan, ucapan selamat, permintaan maaf dan terima kasih serta hal-hal lain

yang disebabkan oleh pengalaman pribadi si penutur (félicitation, remerciement, etc).


4) Direktif

Tindak tutur ini digunakan saat seorang penutur menginginkan seseorang untuk melakukan

sesuatu yang menjadi keinginan si penutur seperti perintah, permintaan, atau saran baik yang

bersifat negatif atau positif (ordre, demande, conseil, etc).

5) Komisif

Tindak tutur ini menerangkan komitmen seorang penutur untuk melakukan sesuatu hal di

masa yang akan datang seperti perjanjian, penolakan, perundingan dan lain sebagainya yang

diucapkan oleh si penutur dalam kapasitas sebagai pribadinya sendiri maupun sebagai

anggota dari suatu kelompok (promesse, offre, invitation, etc).

2.3.3.2 Berdasarkan Konteks Situasinya

Tindak tutur ini terbagi ke dalam dua jenis yakni tindak tutur langsung serta tindak tutur tak langsung.

Tindak tutur langsung merupakan tindak tutur yang langsung diucapkan penutur sesuai dengan isi dan

tujuan ujarannya. Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional

dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan meemrintahkan mitra tutur

melakukan sesuatu (http://smartilicious.blogspot.com). Dalam tindak tutur jenis ini terdapat hubungan

langsung antara struktur kalimat dengan fungsinya (http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07linguistik-

pragmatik.html).

Tindak tutur tidak langsung dilakukan penutur saat dirinya tidak mengeluarkan ujaran yang secara

eksplisit mencerminkan apa tujuannya seperti memerintah sesuatu (kalimat imperatif) tetapi misalnya

menggunakan kalimat interogatif. Contoh lain, jika tuturan deklaratif digunakan untuk bertanya atau

memerintah –atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional-, tuturan itu

merupakan tindak tutur tak langsung (http://smartilicious.blogspot.com). Biasanya tindak tutur tak

langsung ini digunakan untuk menolak penawaran maupun untuk membuat permintaan serta perintah.
Hubungan yang terdapat dalam tindak tutur tidak langsung bersifat tidak langsung atau menggunakan

(bentuk) tindak tutur lain (http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07linguistik-pragmatik.html).

2.4 Pragmatika dalam Pengajaran Bahasa

Studi pragmatik dalam konteks pengajaran bahasa tidak akan terlepas dari kompetensi linguistik,

sosiolinguistik dan pragmatik. Meskipun tidak selamanya ditujukan bagi pengajaran praktis antara

pengajar dengan anak didiknya di kelas, kajian pragmatik dapat menjadi sebuah bahan pengayaan yang

akan menambah wawasan serta kompetensi seseorang yang mempelajari ilmu bahasa dengan tercakupnya

ketiga kompetensi di atas.

Penguasaan konsepsi-konsepsi dalam linguistik seperti gramatika dan semantik tercakup di dalam

kajian pragmatik. Dalam pengajaran bahasa, anak didik diarahkan untuk memahami pola gramatikal

maupun modus ujaran-ujaran yang digunakan dalam dialog film sebagai representasi dialog dalam

kehidupan sebenarnya yang dapat dijadikan salah satu strategi pembelajaran tata bahasa, morfologi

maupun sintaksis. Inilah yang disebut sebagai pencapaian kompetensi linguistik. Lebih dari itu, mereka

pun dituntut untuk memahami makna yang terdapat dalam dialog-dialog tersebut.

Kompetensi sosiolinguistik merupakan kompetensi tambahan sekaligus terapan dari kompetensi

linguistik sebelumnya. Kompetensi sosiolinguistik anak didik diharapkan dapat meningkat karena selain

mengaplikasikan konsepsi linguistik teoretik, mereka pun menganalisisnya dengan melibatkan faktor-

faktor sosial yang melingkupi dan mempengaruhi situasi ujar tertentu. Dampak nyatanya, anak didik

diharapkan dapat mengeluarkan ujaran yang tepat, sesuai dan dikehendaki lingkungannya.

Kompetensi pragmatik merupakan kompetensi final yang menjadi tujuan kajian pragmatik. Seseorang

yang tidak memiliki kecakapan cukup dalam mengeksplorasi kompetensi pragmatiknya akan mengalami

kesulitan untuk memahami maksud ujaran seseorang yang seringkali dibuat secara implisit. Kesalahan

penafsiran tentunya akan berakibat pada tidak terbentuknya iklim komunikasi yang kondusif karena di

antara pihak-pihak yang berkomunikasi tersebut tidak terdapat keterpahaman satu sama lain.
2.5 Film sebagai Produk Budaya dan Media Pengajaran Bahasa

Keberadaan film sebagai produk budaya global telah mendorong manusia untuk berimprovisasi agar

film tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan semata. Dengan banyak jenisnya seperti film komedi,

drama, action, dokumenter, maupun independen, film telah menyihir manusia untuk menyuarakan ide,

saran, gagasan, serta pemikirannya lewat hal yang jauh lebih kreatif dibanding orasi vokal.

2.5.1 Perkembangan Film di Prancis

Berbicara mengenai dunia perfilman, orientasi kita pasti akan langsung tertuju pada Hollywood.

Dengan produksinya yang begitu massive, Hollywood begitu mendominasi perfilman dunia. Berbeda

dengan perfilman Prancis yang memiliki perjalanan sendiri dalam sejarahnya yang bergelut dengan teori

film. Tak banyak orang yang mengetahui dan mengikuti perkembangannya bila dibandingkan dengan

perfilman Hollywood. Perfilman Prancis seperti memiliki genre tersendiri yang tidak bisa diklasifikasikan

ke dalam kategori yang sama dengan Hollywood. Akan tetapi, dalam situs

http://majalah.tempointeraktif.com, Garin Nugroho, seorang sineas terkemuka Indonesia mengatakan

bahwa sinema Prancis dalam hubungannya dengan Hollywood ialah seperti sebuah jam session yang

berdialog.

Dalam situs http://www.discoverfrance.net/France/Movies/mov_index.shtml serta

http://frenchfilms.topcities.com dipaparkan bahwa perjalanan perfilman Prancis dimulai pada tahun 1895

saat Lumière bersaudara memproduksi film untuk pertama kalinya. Film ini pada tahun 1927

bermetamorfosa dari film bisu menjadi bentuk film yang dapat menimbulkan bunyi-bunyian dan

kemudian berkembang lagi sehingga aktor-aktornya pun dapat berbicara (dialog para aktor dapat

terdengar). Setelah itu tahapan film berkembang pesat dengan mulai diproduksinya film-film berwarna.

Perfilman Prancis berkembang secara independen melalui teater meskipun ada pula pihak-pihak yang

menggunakan seorang aktor baik untuk bermain di teater ataupun film. Beberapa nama yang dikenal

mendalami dua bidang ini, teater serta film, di antaranya adalah: Jean Cocteau yang menyutradarai
sejumlah film berimajinasi tinggi; Louis Jouvet, seorang aktor terkenal; Marcel Pagnol, menyutradarai

sejumlah film; juga Sacha Guitry, seorang aktor, sutradara dan juga penulis untuk pertunjukan di

boulevard-boulevard dan film ().

Memasuki abad ke 20, Prancis memulai era perfilmannya dengan ditandai oleh hadirnya Georges

Méliès. Tetapi Bapak Perfilman Prancis sebenarnya ialah Abel Gance (dengan epiknya Napoléon tahun

1925), Jean Vigo (Zéro de Conduite tahun 1932 serta L’Atalante tahun 1934), René Clair, dan Jean

Renoir (La Règle du Jeu tahun 1939 serta La Grande Illusion tahun 1937).

Pergulatan teori-teori film semakin berkembang dan kemudian melahirkan aliran new wave sekitar

tahun 1950-an. Tokoh aliran ini ialah Claude Chabrol, seorang kritikus film muda yang menyutradarai Le

Beau Serge. Dua orang rekan Chabrol, Jean-Luc Godard serta François Truffaut pun mengikuti jejaknya

dengan memproduksi sejumlah film. Jika Godard terhitung amat produktif, maka Truffaut tergolong amat

sukses lewat film-filmnya seperti Tirez sur Le Pianiste (1960) dan Jules et Jim (1961). Aliran new wave

ini selanjutnya menyebar ke Eropa dan menelurkan sinema baru Jerman dengan tokoh-tokoh seperti

Fassbinder dan Wenders. Era ini juga yang pada akhirnya menjadi muara lahirnya istilah Autoren Film,

Caméra Stylo juga Cinéma Vérité

(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/06/09/FL/mbm.20030609.id.html).

Era selanjutnya merupakan saat-saat di mana perfilman Prancis memadu relasi dengan disiplin ilmu

dan kesenian lainnya. Contohnya film Chloe in The Afternoon karya Erich Rohmer yang menunjukkan

intimasi sang sutradara dengan dunia sastra, Alan Resnais yang berelasi dengan novel-novel baru,

ataupun pendekatan yang dilakukan Godard dengan Breathless-nya (1960) yang menyodorkan perspektif

sekaligus esai mengenai kehidupan gangster.

Akan tetapi, setelah masa tahun 1970-an, aliran ini semakin menyusut walaupun masih ada beberapa

tokoh yang memproduksi film seperti Le Dernier Métro karya Truffaut (1980) dan digantikan oleh

sutradara-sutradara baru dengan visinya yang juga baru yakni untuk menarik perhatian dunia lewat karya-
karya yang mereka hasilkan. Di antaranya adalah Jean-Jacques Beineix (Diva, 1981; Betty Blue, 1986),

Luc Besson (Subway, 1985; The Big Blue, 1988; La Femme Nikita, 1990), Claude Berri (Jean de Florette

serta Manon des Sources tahun 1986), dan Régis Wargnier (La Femme de Ma Vie, 1986; Indochine,

1992).

Seperti halnya Hollywood yang memiliki ajang penghargaan Academy Award (atau yang lebih akrab

disebut Oscar), perfilman Prancis pun memiliki ajang penghargaan film bergengsi tersendiri yakni The

Cannes Film Festival. Dimulai sejak tahun 1946, festival ini menganugerahkan penghargaan bagi insan

perfilman terbaik dunia dengan Palme d’Or sebagai award yang ekuivalen dengan Oscar.

Dewasa ini, meskipun perfilman Prancis sedang dilanda kelesuan, rakyat Prancis masih menunjukkan

apresiasinya dengan tetap menonton film lokal mereka di samping gencarnya invasi Hollywood. Di Paris

sendiri, setiap minggunya disuguhkan lebih dari 300 judul film. Sebuah surga mini tentunya bagi para

pecinta film dan sineas dari seluruh dunia.

2.5.2 Film dalam Pengajaran Bahasa

Lewat ragamnya yang begitu heterogen saat ini, film pun dapat dijadikan sebagai salah satu media

pengajaran dalam dunia pendidikan. Banyak pengajar memutar film dalam jam-jam pelajarannya dengan

berbagai tujuan. Seperti lewat film dokumenter, para pengajar sejarah memutar film tersebut agar anak

didiknya lebih mengetahui sejarah dengan lebih visible yang biasanya hanya mereka baca lewat buku

teks. Dalam mata pelajaran geografi, pengajar dapat memutar film dokumenter ilmiah mengenai

pemanasan global agar anak didiknya memiliki kesadaran lebih mengenai hal tersebut dan tidak hanya

dipahami lewat gembar-gembornya saja. Dalam pengajaran bahasa, dialog-dialog film misalnya, dapat

dijadikan bahan pelajaran. Para pengajar dapat mengarahkan anak didiknya untuk menemukan ungkapan-

ungkapan khas, pemilihan diksi untuk lawan bicara tertentu, ataupun manner-manner yang menjadi

patokan yang harus dipatuhi saat berkomunikasi.


Dalam penelitian ini, ujaran-ujaran dalam film RRRrrrr!!! dijadikan sampel penelitian untuk

menemukan tindak lokusi, ilokusi serta perlokusi yang terkandung. Karena seperti yang telah

dikemukakan sebelumnya, film ber-genre komedi ini dipilih karena pada prinsipnya dalam film genre ini,

sejumlah tujuan ujaran seorang penutur tidak dipresentasikan secara eksplisit sehingga akibatnya

kadangkala ialah tidak sinkronnya antara maksud ujaran penutur tadi dengan interpretasi yang dimiliki

oleh lawan tuturnya.

Anda mungkin juga menyukai