Anda di halaman 1dari 32

Nama: Ema Oktavyanti

Kelas: 1A
Prodi : Bahasa Indonesia
Matkul : Linguistik Umum
Nim : 1911290023

Rangkuman Linguistik Umum

1. Pendahuluan
Ilmu linguistik adalah ilmu tentang bahasa atau ilmu yang
menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau lebih tepat lagi, seperti
dikatakan Martinet (1987:19), telaah ilmiah mengenai bahasa manusia.
Dalam berbagai buku mungkin rumusannya agak berbeda, tetapi, bahwa
bahasa menjadi kajian linguistik.
Kata linguistik (berpadanan dengan linguistics dalam bahasa Inggris,
linguistique dalam bahasa prancis, dan linguistiek dalam bahasa belanda)
diturunkan dari kata bahasa latin ligua yang berarti ‘bahasa’. Didalam
bahasa-bahasa ‘Roman’ yaitu bahasa-bahasa yang berasal dari bahasa
latin, terdapat kata yang serupa atau mirip dengan kata latin lingua itu.
Antara lain. lingua dalam bahasa italia, lengua dalam bahasa spanyol,
langue (dan langage) dalam bahasa prancis. Bahasa Inggris yang
memungutnya dari langage Prancis menggunakan bentuk language.

2. LINGUISTIK SEBAGAI ILMU


2.1. Keilmiahan Linguistik
Sebagai ilmu empiris linguistic berusaha member keteraturan atau
kaidah-kaidah yang hakiki dari bahasa yang ditelitinya. Karena itu
linguistik sering juga disebut sebagai ilmu nomotetik. Dapat
dijabarkan dalam sejumlah konsep sebagai berikut:
pertama, karena bahasa adalah bunyi ujaran, maka linguistik
melihat bahasa sebagai bunyi. Artinya, bagi linguistik bahasa lisan
adalah yang primer, sedangkan bahasa tulis hanya skunder.
Kedua, karena bahasa itu bersifat unik, maka linguistik tidak
berusaha menggunakan kerangka suatu bahasa untuk dikenakan pada
bahasa lain.
ketiga, karena bahasa adalah suatu sistem, maka linguistic
mendekati bahasa bukan sebagai kumpulan unsure yang terlepas,
melainkan sebagai kumpulan unsure yang satu dengan lainnya
mempunyai jaringan hubungan.
Keempat, karena bahasa itu dapat berubah dari waktu ke waktu,
sejalan dengan perkembangan sosial budaya masyarakat
pemakainya, maka linguistic memperlakukan bahasa sebagai sesuatu
yang dinamis. Lalu, karena itu pula, linguistik dapat mempelajari
bahasa secara sinkronik dan secara diakronik. Secara sinkronik
artinya, mempelajari bahasa dengan berbagai aspeknya pada masa
waktu atau kurun waktu yang tertentu atau terbatas. Secara diakronik
artinya, mempelajari bahasa dengan berbagai aspeknya dan
perkembangan dari waktu ke waktu, sepanjang kehidupan bahasa itu.
Kelima, karena sefat empirisnya, maka linguistik mendekati bahasa
secara deskriptif dan tidak secara preskriptif. Artinya yang penting
dalam linguistik adalah apa yang sebenarnya diungkapkan oleh
seseorang (sebagai data empiris) dan bukan apa yang menurut si
peneliti seharusnya diungkapkan.

2.2. Subdisiplin Linguistik


Setiap disiplin ilmu biasanya dibagi atas bidang-bidang
bawahan (subdisiplin) atau cabang-cabang berkenaan dengan
adanya hubungan disiplin itu dengan masalah-masalah lain.
2.2.1. Berdasarkan objek kajiannya, apakah bahasa pada umumnya
atau bahasa tertentu dapat di bedakan adanya linguistic umum
dan linguistic khusus

Linguistik umum adalah adalah linguistic yang berusaha


mengkaji kaidah-kaidah bahasa secara umum. Sedangkan
linguistic khusus berusaha mengkaji kaidah-kaidah bahasa
yang berlaku pada bahasa tertentu, seperti bahasa inggris,
bahasa Indonesia, atau bahasa jawa.

2.2.2. Berdasarkan objek kajiannya, apakah bahasa pada masa


tertentu atau bahasa pada sepanjang masa dapat dibedakan
adanya linguistic sinkronik dan linguistic diakronik
Studi linguistic sinkronik ini bisa disebut juga linguistic
deskriptif, karena berupaya mendeskripsikan bahasa secara
apa adanya pada suatu masa tertentu. Linguistik diakronik
berupaya mengkaji bahasa ( atau bahasa-bahasa) pada masa
yang tidak terbatas.

2.2.3. Berdasarkan objek kajiannya, apakah struktur internal bahasa


atau bahasa itu dalam hubungan dengan faktor-faktor di luar
bahasa dibedakan adanya linguistic mikro dan linguistic makro
(Dalam kepustakaan lain disebut mikrolinguistik dan
makrolinguistik)
Linguistik mikro mengarahkan kajiannya pada struktur
internal suatu bahasa tertentu atau struktur internal suatu
bahasa tertentu atau struktur internal bahasa pada
umumnya. Sedangkan linguistic makro, yang menyelidiki
bahasa dalam kaitannya dengan faktor-faktor diluar bahasa,
lebih banyak membahas faktor luar bahasa-nya itu dari pda
struktur internal bahasa.
Sosiolinguistik adalah subdisiplin linguistic yang
mempelajari bahasa dalam hubungan pemakaiannya
dimasyarakat. Antropolinguistik adalah subdisiplin
linguistic yang mempelajari hubungan bahasa dengan
budaya dan pranata budaya manusia. Stilistika adalah
subdisiplin linguistic yang mempelajari bahasa yang
digunakan dalam bentuk-bentuk karya sastra. Fiologi adalah
subdisiplin linguistic yang mempelajari bahasa,
kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana
terdapat dalam bahan-bahan tertulis. Filsafat bahasa
merupakan subdisiplin linguistic yang mempelajari kodrat
hakiki dan kedudukan bahasa sebagai kegiatan manusia,
serta dasar-dasar konseptual dan teoretis linguistic.
Dialektologi adalah subdisiplin linguistic yang mempelajari
batas-batas dialek dan bahasa dalam suatu wilayah tertentu.

2.2.4. Berdasarkan tujuannya, apakah penyelidikan linguistic itu


semata-mata untuk merumuskan teori ataukah untuk diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari bisa di bedakan adanya linguistic
teoritis dan linguistic terapan
Linguistik teoritis adalah berusaha penyelidikan terhadap
bahasa atau bahsa-bahasa, atau juga terhadap hubungan
bahasa dengan faktor-faktor yang berada di luar bahasa hanya
untuk menemukan kaidah-kaidah yang berlaku dalam objek
kajiannya itu.

2.2.5. Berdasarkan aliran atau teori yang digunakan dalam


penyelidikan bahasa dikenal adanya linguistic tradisional,
linguistic structural, linguistic transformasional, linguistic
generatif semantif, linguistic relasional, dan linguistic sistemik.
Cabang atau subdisplin linguistic itu. Ini terjadi karena
objek linguistic itu yaitu bahasa, memang mempunyai
jangkauan hubungan yang sangat luas didalam kehidupan
manusia.
Karena, luasnya cabang atau bidang liguistik ini, maka
jelas tak akan ada yang bisa menguasai semua cabang atau
bidang linguistic itu. Begitu juga seorang linguistic yang
akan mengkhuskan diri pada bidang leksikografi, haruslah
mulai dengan fonologi, sistem ejaan, morfologi, sintaksis,
dan juga semantik.

2.3.1. Struktur, sistem, dan distribusi


Struktur adalah susunan bagian-bagian kalimat atau
konstituen kalimat secara linear. Struktur dapat dibedakan
menurut tataran sistematik bahasanya, yaitu menurut susunan
fonetis, menurut susunan alofonis, menurut susunan
morfemis, dan menurut susunan sintaksis.
Sistem pada dasarnya menyangkut masalah
distribusi. Yang merupakan istilah utama dalam analisis
bahasa menurut model strukturalis Leonard Bloomfield
(tokoh linguis Amerika dengan bukunya Language, terbit
1933) adalah menyangkut masalah dapat tidaknya
penggantian suatu konstituen tertentu dalam kalimat tertentu
dengan konstituen lainnya.
Distribusi morfemis menyangkut masalah
penggantian sebuah morfem dengan morfem lain.
2.3.2. ANALISIS BAWAHAN LANGSUNG
Analisis bawahan langsung, sering disebut juga analisis
unsure langsung, atau analisis bawahan terdekat (Inggrisnya
Immediate Constituent Analisys) adalah suatu teknik dalam
menganalisis unsur-unsur atau konstituen-konstituen yang
membangun suatu satuan bangsa, entah satuan kata, satuan
frase, satuan klausa, maupun satuan kalimat.
2.3.3. Analisis rangkaian unsure dan Analisis proses unsure
Analilis rangkaian unsur (item-and-arrangement)
mengajarkan bahwa setiap satuan bahasa dibentuk atau ditata
dari unsure-unsur lain.
Analisis proses unsur (item-and-process) menganggap
setiap satuan bahasa adalah merupakan hasil dari suatu proses
pembentukan.
2.4 Manfaat Linguistik
Setiap ilmu, betapun teoretisnya, tentu mempunyai manfaat
praktis bagi kehidupan manusia. Begitu juga dengan linguistic.
Linguistik akan memberi manfaat langsung kepada mereka yang
berkecipung dalam kegiatan yang berhubungan dengan bahasa,
seperti linguis itu sendiri, guru bahasa, penerjemah, penyusun buku
pelajaran, penyusun kamus, petugas penerangan, para jurnalis,
politikus, diplomat, dan sebagainya.

Bagi guru, terutama guru bahasa, pengetahuan linguistic


sangat penting, mulai dari subdisiplin fonologi, sintaksis, semantic,
leksikologi, sampai dengan pengetahuan mengenai hubungan
bahasa dengan kemasyarakatan dan kebudayaan.

3. OBJEK LINGUISTIK : BAHASA


3.1. PENGERTIAN BAHASA
Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari
satu makna atau pengertian, sehingga sering kali
membingungkan.
Sebagai objek kajian linguistic, parole merupakan objek
konkret karena parole itu berwujud ujaran nyata yang diucapkan
oleh para bahasawan dari suatu bahasa.
Dalam pendidikan formal disekolah menengah, kalau
ditanyakan apakah bahasa itu, biasanya akan dijawab ‘bahasa
alat komunikasi’.
Masalah lain yang berkenaan dengan pengertian bahasa
adalah bilamana sebuah tuturan disebut bahasa, yang berbeda
dengan bahasa lain.
Bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia adalah sebenarnya
hanya dua buah dialek dari bahasa yang sama, yaitu bahasa
Melayu, tetapi secara politis, dewasa ini bahasa Indonesia dan
bahasa Malaysia adalah dua buah bahasa yang berbeda.
3.2. Hakikat Bahasa
Sifat atau cirri itu, antara lain, adalah (1) bahasa itu adalah
sebuah sistem, (2) bahasa itu berwujud lambing, (3) bahasa itu
berupa bunyi, (4) bahasa itu bersifat arbitrer, (5) bahasa itu
bermakna, (6) bahasa itu bersifat konvensional, (7) bahasa itu
bersifat unik, (8) bahasa itu bersifat universal, (9) bahasa itu
bersifat produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa itu
bersifat dinamis, (12) bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi
sosial, (13) bahasa itu merupakan identitas penuturnya.
3.2.1. Bahasa sebagai sistem
Kata sistem sudah biasa digunakan dalan kehidupan
sehari-sehari dengan makna ‘cara’ atau ‘aturan’, seperti
dalam kalimat “Kalau tahu sitemnya, tentu mudah
mengerjekannya”. Tetapi dalam kaitan keilmuan, sistem
berarti susunan terartur berpola yang membentuk suatu
keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. Sistem ini
dibentuk oleh sejumlah unsure atas komponen yang satu
dengan lainnya berhubungan secara fungsional.
Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat
sistematis dan sistemis. Dengan sistematis, artinya, bahasa
itu tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak,
secara sembarangan. Sedangkan sistemis, artinya, bahasa itu
bukan merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri juga dari
sub-subsistem,atau sistem bawahan.
3.2.2. Bahasa sebagai lambing
Kata lambang sering dipadankan dengan kata simbol
dengan pengertian yang sama. Lambang dengan berbagai
seluk beluknya dikaji orang dalam kegiatan ilmiah dalam
bidang kajian yang disebut ilmu semiotika atau semiologi,
yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam
kehidupan manusia, termasuk bahasa.
Gerak isyarat atau gesture adalah tanda yang dilakukan
dengan gerakan anggota badan, dan tidak bersifat imperative
seperti pada sinyal. Gerak isyarat ini mungkin merupakan
tanda, mungkin juga merupakan simbol.
Gejala atau symptom adalah suatu tanda yang tidak
disengaja, yang dihasilkan tanpa maksud, tetapi alamiah
untuk menunjukkan atau mengungkapkan bahwa sesuatu
akan terjadi.
Ikon adalah tanda yang paling mudah dipahami karena
kemiripannya dengan sesuatu yang diwakili. Karena itu, ikon
sering juga disebut gambar dari wujud yang diwakilinya.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya sesuatu
yang lain, seperti asap yang menunjukkan adanya api.
3.2.3. Bahasa adalah bunyi
Bahasa adalah bunyi, maka, seluruhnya dapat
dikatakan, bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi.
Secara teknis, menurut kridaklasana (1983:27) bunyi adalah
kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang
telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam
tekanan udara.
Bahwa haikat bahasa adalah bunyi, atau bahasa lisan,
dapat kita saksikan sampai kini banyak sekali bahasa
disunia ini, termasuk di Indonesia, yang hanya punya
bahasa lisan, tidak punya bahasa tulisan, karena bahasa-
bahasa tersebut tidak atau belum mengenal sistem aksara.
3.2.4. Bahasa itu bermakna
Bahasa adalah sistem lambang yang berwujud bunyi,
atau bunyi ujar. Sebagai lambang tentu ada yang
dilambangkan. Maka, yang dilambangkan adalah suatu
pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau pikiran, maka
dapat dikatan bahwa bahasa itu mempunyai makna.
Lambang-lambang bunyi bahasa yang bermakna itu
didalam bahasa berupa satuan-satuan bahasa yang berwujud
morfem, kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Semua
satuan itu memiliki makna. Namun, karena ada perbedaan
tingkatnya, maka jenis maknanya pun tidak sama.
3.2.5. Bahasa itu arbitrer
Kata arbitrer bisa diartikan ‘sewenang-wenang’
berubah-ubah, tidak tetap, mana suka’. Yang dimaksud
dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan
wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu)
dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh
lambang tersebut.
3.2.6. Bahasa itu konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang
dilambangkannya bersifat arbitrer, tetapi penggunaan
lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat
konvensional.
3.2.7. Bahasa itu produktif
Kata produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda
produksi. Arti produktif adalah ‘banyak hasilnya’, atau
lebih tepat ‘terus-menerus menghasilkan’.
Keproduktifan bahasa Indonesia dapat juga dilihat
pada jumlah kalimat yang dapat dibuat.
Selain itu keproduktifan pembentukan kata dalam
bahasa Indonesia dengan afiks-afiks tertentu tampaknya
juga dibatasi oleh cirri-ciri inheren bentuk dasarnya, yang
sejauh ini belum dikaji orang.
3.2.8. Bahasa itu unik
Unik artinya mempunyai cirri khas yang spesifik yang
tidak dimiliki oleh yang lain. Salah satu keunikan bahasa
Indonesia adalah bahwa tekanan kata tidak bersifat
morfemis, melainkan sintaksis.
3.2.9. Bahasa itu Universal
Selain bersifat unik, yakni mempunyai sifat atau cirri
masing-masing, bahasa itu juga bersifat universal. Artinya,
ada cirri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa
yang ada di dunia ini.
Ciri universal yang paling umum adalah bahwa
bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vocal
dan konsonan.
3.2.10. Bahasa itu Dinamis
Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak
pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia
sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang
berbudaya dan bermasyarakat.
Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan
manusia, sedangkan dalam kehidupannya didalam
masyarakat kegiatan manusia itu tidak tetap dan selalu
berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah,
menjadi tidak tetap, menjadi tidak statis.
3.2.11. Bahasa itu Bervariasi
Mengenai variasi bahasa ini ada tiga istilah yang perlu
diketahui, yaitu idiolek, dialek, dan ragam. Idiolek adalah
variasi atau ragam bahasa yang bersifat perseorangan.
Dialek adalah variasi bahasa yang di gunakan oleh
sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau
suatu waktu.
Ragam atau ragam bahasa adalah variasi bahasa yang
di gunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan
tertentu.
3.2.12. Bahasa itu Manusiawi
Bahasa itu adalah lambang bunyi yang di hasilkan
oleh alat ucap manusia, bersifat arbitrer, bermakna, dan
produktif, maka dapat di katakana bahwa binatang tidak
mempunyai bahasa. Bahwa binatang dapat berkomunikasi
dengan sesame jenisnya, bahkan juga dengan manusia,
adalah memang suatu kenyataan.
Alat komunikasi manusia itu, yaitu bahasa, produktif
dan dinamis, dalam arti dapat dipakai untuk menyatakan
sesuatu yang baru, berbeda dengan alat komunikasi
binatang, yang hanya itu-itu saja dan statis, tidak dapat
dipakai untuk menyatakan sesuatu yang baru, bukanlah
terlentak pada bahasa itu dan alat komunikasi binatang itu,
melainkan pada perbedaan besar hakikat manusia dan
hakikat binatang. Manusia sering disebut-sebut sebagai
homo sapien ‘makhluk yang berpikir’, homo sosio
‘makhluk yang bermasyarakat’, homo fober ‘makhluk
pencipta alat-alat’, dan juga animal rationale ‘makhluk
rasional yang berakal budi’.
Alat komunikasi manusia yang namanya bahasa
adalah bersifat manusiawi, dalam arti hanya milik manusia
dan hanya dapat digunakan oleh manusia. Alat komunikasi
binatang bersifat terbatas, dalam arti hanya di gunakan
untuk keperluan hidup ‘kebinatangannya’.

3.3. BAHASA DAN FAKTOR LUAR BAHASA


Kajian linguistic mikro adalah struktur intem bahasa atau
sosok bahasa itu sendiri, sedangkan kajian linguistic makro adalah
bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor diluar bahasa.
3.3.1. Masyarakat Bahasa
Kata masyarakat biasanya di artikan sebagai
sekelompok orang (dalam jumlah yang banyaknya relatif),
yang merasa sebangsa, seketurunan, sewilayah tempat
tinggal, atau yang mempunyai kepentingan sosial yang
sama.
Masyarakat bahasa pada “merasa menggunakan
bahasa yang sama”, maka konsep masyarakat bahasa dapat
menjadi luas dan dapat menjadi sempit.
3.3.2. Variasi dan status sosial bahasa
Bahasa itu bervariasi karena anggota masyarakat
penutur bahasa itu sangat beragam, dan bahasa itu sendiri di
gunakan untuk keperluan yang beragam-ragam pula.
Berdasarkan penuturnya kita mengenal adanya dialek-
dialek, baik dialek regional maupun dialek sosial.
Variasi bahasa tinggi (biasa disingkat variasi bahasa
T), dan yang lain variasi bahasa rendah (biasa disingkat R).
Variasi T di gubakan dalam situasi–situasi resmi, seperti
pidato kenegaraan, bahasa pengantar dalam pendidikan,
khotbah, surat-menyurat resmi, dan buku pelajaran. Variasi
T ini harus di pelajari melalui pendidikan formal di
sekolah-sekolah sedangkan variasi bahasa R digunakan
dalam situasi yang tidak formal, seperti di rumah, di
warung, di jalan, dalam surat-surat pribadi, dan catat untuk
diri sendiri.
3.3.3. Penggunaan Bahasa
Umpanya dalam bahasa Indonesia ada di sebutkan
bahwa kata ganti orang kedua dalam bahasa Indonesia
adalah kamu atau engkau, kenyataannya, secara sosial
kedua kata ganti itu tidak dapat dipakai untuk menyapa
orang kedua yang lebih tua atau yang di hormati. Kedua
kata ganti itu, kamu dan engkau, hanya dapat digunakan
untuk orang kedua yang sebaya, lebih muda, atau
kedudukan sosialnya lebih rendah.
Hymes (1974) seorang pakar sosiolinguistik
mengatakaan bahwa suatu komunikasi dengan
menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur,
yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yaitu:
(1) Setting and Scene, yaitu unsure yang berkenaan
dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan.
(2) Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam
percakapan.
(3) Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan.
(4) Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada
bentuk dan isi percakapan.
(5) Key, yaitu menunjuk pada cara untuk semangat
dalam melaksanakan percakapan.
(6) Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur
percakapan.
(7) Norms,yaitu yang menunjuk pada norma perilaku
peserta percakapan.
(8) Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau
ragam bahasa yang di gunakan.
3.3.4. Kontak Bahasa
Adalah terjadinya atau terdapatnya yang di sebut
billingualisme dan multilingualisme dengan berbagai
macam kasusnya, seperti interferensi, integrasi, alihkode,
dan caporkode.
Indonesia adalah negara yang multilingual. Selain
bahasa Indonesia yang digunakan secara nasional, terdapat
pula ratusan bahasa daerah, besar maupun kecil, yang
digunakan oleh para anggota masyarakat bahasa daerah itu
untuk keperluan yang bersifat kedaerahan.
Interferensi biasanya dibedakan dari integrasi. Dalam
integrasi unsure-unsur bahasa lain yang terbawa masuk itu,
sudah di anggap diperlakukan, dan dipakai sebagai bagian
dari bahasa yang menerimanya atau yang dimasukinya.
3.3.5. Bahasa dan Budaya
Linguistik makro adalah mengenai hubungan bahasa
dengan budaya atau kebudayaan.
Hipotesis dikeluarkan oleh dua orang pakar, yaitu
Edward Sapir dan dan Benjamin Lee Whorf (dan oleh
karena itu disebut hipotesis Sapir-Whorf) yang menyatakan
bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan. Atau dengan
lebih jelas, bahasa itu mempengaruhi cara berfikir dan
bertindak anggota masyarakat penunturnya.Jadi, bahasa itu
menguasai cara berfikir dan bertindak manusia.

3.4. KLASIFIKASI BAHASA


Klasifikasi dilakukan dengan melihat kesamaan cirri yang ada
pada setiap bahasa. Bahasa yang mempunyai kesamaan cirri
dimasukkan dalam satu kelompok.
3.4.1. Klasifikasi Genetis
Klasifikasi genetis disebut juga klasifikasi geneologis,
dilakukan berdasarkan garis keturunan bahasa-bahasa itu.
3.4.2. Klasifikasi Tipologis
Klasifikasi tipologis dilakukan berdasarkan
kesamaan tipe atau tipe-tipe yang terdapat pada sejumlah
bahasa.
3.4.3. Klasifikasi Areal
Klasifikasi areal dilakukan berdasarkan adanya
hubungan timbale balik antara bahasa yang satu dengan
bahasa yang lain di dalam suatu areal atau wilayah, tanpa
memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara ginetik
atau tidak.
3.4.4. Klasifikasi Sosiolinguistik
Klasifikasi sosiolinguistik dilakukan berdasarkan
hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor yang berlaku
dalam masyarakat, tepatnya berdasarkan status, fungsi,
penilaian yang di berikan masya-rakat terhadap bahasa itu.
3.5. BAHASA TULIS DAN SISTEM AKSARA
Bahasa lisan adalah primer, sedangkan bahasa tulis adalah
sekunder, tetapi peranan atau fungsi bahasa tulis di dalam
kehidupan modern sangan besar sekali. Bahasa tulis bisa
menembus waktu dan ruang, padahal bahasa lisan begitu diucapkan
segera hilang tak berbekas.

4. TATARAN LINGUISTIK (1): FONOLOGI


Menurit hieraki satuan bunyi yang menjadi satuan objek studinya,
fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik
biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi
bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai
fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah
cabang studi fonologi yang mempelajarai bunyi bahasa dengan
memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
4.1. Fonetik
Fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi
bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai
funsi sebagai pembeda makna atau tidak.
4.1.1. Alat ucap
Dalam fonetik artikulatoris hal pertama yang harus
dibicarakan adalah alat ucap manusia untuk menghasilkan
bunyi bahasa.
4.1.2. Proses fonasi
Terjadiny bunyi bahasa pada umumnya dimulai
dengan proses pemompaan udara keluar dari paru-paru
melalui batang tenggorokan kepangkal tenggorok, yang di
dalamnya terdapat pita suara.
4.1.3. Tulisan fonetik
Tulisan fonetik yang dibuat untuk keperluan studi
fonetik, sesungguhnya di buat berdasarkan huruf-huruf
dari aksara latin, yang ditambah dengan sejumlah tanda
diakritik dan sejumlah modifikasi terhadap huruf latin itu.
4.1.4. Klasifikasi Bunyi
Bunyi konsonan terjadi, setelah arus uadara
melewati pita suara yag terbuka sedikit atau agak lebar,
diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung dengan
mendapat hambatan di tempat-tempat artikulasi tertentu.
4.1.4.1. Klasifikasi vocal
Bunyi vocal biasanya diklasifikasikan dan diberi
nama berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut. Posisi
lidah lebih bersifat vertical bisa bersifat horizontal.
4.1.4.2. Diftong atau vocal rangkap
Disebut diftong atau vocal rangkap karena posisi
lidah ketika memproduksi bunyi ini pada bagian
awalnya dan bagian akhirnya tidak sama.
4.1.4.3. Klasifikasi konsonan
Bunyi-bunyi konsenan biasa nya di bedakan
berdasrkan tiga patokan atau criteria, yaitu pita suara,
tempat artikulasi, dan cara artikulasi.
1) bilabial, yaitu konsonan yang terjadi pada kedua
belah bibir, bibir bawah merapat pada bibir atas.
2) labiodentals, yakni konsonan yang terjadi pada
gigi bawah dan bibir atas, gigi bawah merapat
pada bibir atas.
3) laminoalveolar, yakni konsonan yang terjadi
pada pangkal lidah dan gusi.
4) dorsovelar, yakni konsonan yang terjadi pada
pangkal lidah dan velum atau langit-langit lunak.
4.1.5. Unsur suprasegmental
4.1.5.1. Tekanan atau stress
Tekanan menyangkut masalah keras lunaknya
bunyi. Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan
arus udara yang kuat sehingga menyebabkan
amplittudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan
keras.
4.1.5.2. Nada atau pich
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu
bunyi. Bila suatu bunyi segmental di ucapkan dengan
frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan di sertai
dengan nada yang tinggi.
4.1.5.3. Jeda atau persendian
Jeda atau persendian berkenaan dengan hentian
bunyi dalam arus ujaran. Disebut jeda karena ada
hentian itu, dan disebut persendian karena di tempat
perhentian itulah terjadinya persambungan antar
segmen yang satu dengan segmen yang lain.
4.1.6. Silabel
Silabel atau suku kata itu adalah satuan ritmis terkecil
dalam suatu arus ujaran atau runtunan bunyi ujaran.
4.2. Fonemik
Fonemik adalah fonem, yakni bunyi bahasa yang dapat atau
berfungsi membedakan makna kata.
4.2.1. Identifikasi fonem
Untuk mengetahu apakah sebuah bunyi fonem atau
bukan, biasa nya sebuah kata yang mengandung bunyi
tersebut, lalu membandingkannya dengan satuan bahasa
lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama.
4.2.2. Alofon
Alofon-alofon dari sebuah fonem mempunyai
kemiripan fonetis. Artinya, banyak mempunyai
kesamaan dalam pengucapannya.
4.2.3. Klasifikasi Fonem
Konsonan itu banyak sekali, maka fonem vocal dan
fonem konsonan itu banyak sekali, maka fonem vocal
dan fonem konsonan ini agak terbatas, sebab hanya
bunyi-bunyi yang dapat membedakan makna saja yang
dapat menjadi fonem.
4.2.4. Khazanah fonem
Khazanah fonem adalah banyak nya fonem yang terdapat
dalam satu bahasa.
4.2.5. Perubahan fonem
Ucapan sebuah fonem dapat berbeda-beda sebab sangat
tergantung pada lingkungannya, atau pada fonem-fonem lain
yang berada di sekitarnya.
4.2.5.1. Asimilasi dan dismilasi
Asimilasi adalah peristiwa berubahnya sebuah
bunyi menjadi bunyi yang lain sebagai akibat dari bunyi
yang ada di lungkungannya, sehingga bunyi itu menjadi
sama atau mempunyai cirri-ciri yang sama dengan bunyi
yang mempengaruhinya.
4.2.5.2. Netralisasi dan arkifonem
Adalah dua buah fonem yang berbeda dalam bahasa
Indonesia karena terbukti dari pasangan minimal seperti
paru Vs baru atau pasangan minimal rabat Vs rapat.
4.2.5.3. Umlaut, Ablaut, dan Harmoni Vokal
Kata umlaut berasal dahi bahasa jerman. Perubahan
vocal sedemikian rupa sehingga vocal itu diubah menjadi
vocal yang lebih tinggi sebagai akibat dari vocal yang
berikutnya yang tinggi.
Ablaut adalah perubahan vocal dalam bahasa-
bahasa indo jerman untuk menandai berbagai fungsi
gramitikal.
Harmoni vocal itu berlangsung dari kiri ke kanan,
atau dari silabel yang mendahului kearah silabel yang
menyusul.
4.2.5.4. Kontraksi
Dalam kontraksi pemendekan itu menjadi satu
segmen dengan pelafalannya sendiri-sendiri.
4.2.5.5. Metatesis dan epentis
Proses metatesis bukan mengubah untuk fonem
menjadi fonem yang lain, melainkan mengubah urutan
fonem yang terdapat dalam suatu kata.
Proses epentesis sebuah fonem, biasanya yang
homorgan dengan lingkungannya, disisipkan ke dalam
sebuah kata.
4.2.6. Fonem dan Grafem
Fonem adalah satuan bunyi bahasa kecil yang fungsional
atau dapat membedakan makna kata.

5. TATARAN LINGUISTIK (2):MORFOLOGI


Morfem ini merupakan satuan gramatikal terkecil yang mempunyai
makna.
5.1. Morfem
Tata bahasa tradisional tidak mengenal konsep maupun istilah
morfem, sebab morfem bukan merupakan satuan dalam sintaksis, dan
tidak semua morfem mempunyai makna secara filosofis.
5.1.1. Identifikasi morfem
Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem
atau bukan, kita harus membndingi bentuk tersebut di dalam
kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain.
5.1.2. Morf dan Alomorf
Morfem adalah bentuk yang sama, yang terdapat berulang-
ulang dalam satuan bentuk lain.
5.1.3. Klasifikasi Morfem
Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat di klasifikasi
berdasrkan beberapa criteria.
5.1.3.1. Morfem bebas dan morfem terikat
Yang dimaksud dengan morfem bebas adalah
morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul
dalam pertuturan.
Yang dimaksud morfem terikat adalah morfem yang
tanpa di gabung dulu dengan morfem lain tidak dapat
muncul dalam pertuturan.
5.1.3.2. Morfem ukur dan morfem terbagi
Semua morfem dasar bebas adalah termasuk
morfem utuh, morfem adalah sebuah morfem yang terdiri
dari dua buah bagian yang terpisah.
5.1.3.3. Morfem segmental dan suprasegmental
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk
oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat},
{lah}, {sikat}, dan {ber}. Sedangkan suprasegmental
adalah morfem yang di bentuk oleh unsur-unsur
suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dan
sebagainya.
5.1.3.4. Morfem beralomorf zero
Morfem beralomorf zero, yaitu morfem yang salah
satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun
berupa prosodi (unsur suprasegmental) melainkan berupa
“kekosongan”.
5.1.3.5. Morfem bermakna leksikal dan morfem tidak
bermakna leksikal
Morfem bermakna leksikal adalah morfem-morfem
yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya
sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain.

morfem tidak bermakna leksikal tidak mempunyai


makna apa-apa pada dirinya sendiri.

5.1.4. Mofem dasar, Bentuk dasar, Pangkal (stem), Dan akar (root)
Istilah morfem dasar biasanya digunakan sebagai dikotomi
dengan morfem afiks.
Istilah bentuk dasar atau dasar (base) saja biasanya
digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar
dalam suatu proses morfologi.
Istilah pangkal (stem) digunakan untuk menyebut bentuk
dasar dalam proses infleksi, atau proses pembubuhan afiks
inflektif.
Akar (root) digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak
dapat dianalisis lebih jauh lagi.
5.2. KATA
Yang ada dalam tata bahasa tradisional sebagai satuan lingual yang
selalu dibicarakan adalah satuan yang di sebut kata.
5.2.1. Hakikat Kata
Istilah kata sering kita dengar dan sering kita gunakan. Para
tata bahasawan tradisional biasanya member pengertian
terhadap kata berdasarkan arti dan ortografi.#
5.2.2. Klasifikasi kata
Klasifikasi kata ini dalam sejarah linguistic selalu menjadi
salah satu topik yang tidak pernah terlewatkan.
5.2.3. Pembentukan kata
Untuk dapat digunakan didalam kalimat atau pertuturan
tertentu, maka setiap bentuk dasar, terutama dalam bahasa
fleksi dan aglutunasi, harus dibentuk lebih dahulu menjadi
sebuah kata gramatikal, baik melalui proses afiksasi, proses
reduplikasi, maupun proses komposisi.
5.2.3.1. Inflektif
Kata-kata dalam bahasa-bahasa berfleksi, seperti
bahasa arab, bahasa latin, dan bahas sanskerta, untuk dapat
digunakan di dalam kalimat harus di sesuaikan dulu
bentuknya dengan kategori-kategori gramatikal yang
berlaku dalam bahasa itu.
5.2.3.2. Derivatif
Pembentukan kata secara derivative membentuk
kata baru, kata yang identitas leksikalnya tidak sama
dengan kata dasarnya.

5.3. PROSES MORFEMIS


5.3.1. Afiksasi
Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah
dasar atau bentuk dasar.
5.3.2. Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang
bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian
(parsial), maupun dengan perubahan bunyi.
5.3.3. Komposisi
Adalah hasil dari dan proses penggabungan morfem dasar
dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat,
sehingga terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas
leksial yang berbeda, atau yang baru.
5.3.4. Konversi, Modifikasi Internal, dan Suplesi
Konversi, sering juga disebut derivasi zero, transmutasi,
dan transposisi, adalah proses pembentukan kata dari sebuah
kata menjadi kata lain tanpa perubahan unsur segmental.
Modifikasi internal adalah proses pembentukan kata dengan
penambahan unsur-unsur ke dalam morfem yang berkerangka
tetap.
Dalam proses suplesi perubahannya sangat ekstrem karena
ciri-ciri bentuk dasar tidak atau hampir tidak tampak lagi.
5.3.5. Pemendekatan
Adalah proses penanggalan bagian-bagian leksen atau
gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat,
tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk untuk.
5.3.6. Produktivitas proses morfemis
Adalah dapat tidaknya proses pembentukan kata itu,
terutama afiksasi, reduplikasi, dan komposisi, digunakan
berulang-ulang yang secara relatif tak terbatas.
5.4. MORFOFONEMIK
Morfofonemik, disebut juga morfonemik, morfofonologi, atau
morfonologi, atau peristiwa berubahnya wujud morfemis dalam suatu
proses morfologis, baik afiksasi, reduplikasi, maupun komposisi.

6. TATARAN LINGUISTIK (3): SINTAKSIS


6.1. Struktur sintaksis
Dalam pembicaraan struktur sintaksis pertama-tama harus
dibicarakan masalah fungsi sintaksis, kategori sintaksis, dan peran
sintaksis.
6.2. Kata sebagai satuan sintaksis
Kata merupakan satuan terkecil, yang secara hierarkial menjadi
komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar, yaitu frase.
6.3. Frase
6.3.1. Pengertian frase
Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang
berupa gabungan kata yang bersipat nonpredikatif.
6.3.2. Jenis frase
6.3.2.1. Frase eksosentrik
Adalah frase yang komponen komponenya tidak
empunyai perilaku sintaksis yang sama dengan
keseluruhannya.
6.3.2.2. Frase endosentrik
Adalah frase yang salah satu unsurnya atau
komponennya memiliki perilaku sintaksis yang sama
dengan keseluruhannya.
6.3.2.3. Frase koordinatif
Adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri
dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat.
6.3.3. Perluasan frase
Frase itu dapat diberi tambahan komponen baru sesuai
dengan konsep atau pengertian yang akan ditampilkan.
6.4. Klausa
6.4.1. Pengertian Klausa
Adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata
berkonstruksi predikatif.
6.4.2. Jenis Klausa
Jenis klausa dapat dibedakan berdasarka strukturnya dn
berdasarkan kategorinya segmental yang menjadi predikatnya.
6.5. Kalimat
6.5.1. Pengertian kalimat
Merupakan satuan yang berlangsung digunakan dalam
berbahasa, maka para tata bahasawan tradisional biasanya
membuat definisi kalimat.
6.5.2. Jenis kalimat
6.5.2.1. Kalimat inti dan Kalimat non-inti
Kalimat inti adalah kalimat yang dibentuk dari
klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau
netral, dan afirmatif. Kalimat inti dapat diubah menjadi
kalimat non-inti dengan berbagai proes transformasi.
6.5.2.2. Kalimat tunggal dan Kalimat majemuk
Perbedaan kalimat tunggal dan kalimat majemuk
berdasarkan banyaknya klausa yang ada di dalam kalimat
itu.
6.5.2.3. Kalimat mayor dan Kalimat minor
Kalimat mayor dan kalimat minor dilakukan
berdasarkan lengkap dan intinya klausa yang menjadi
konstituen dasar kalimat itu.
6.5.2.4. Kalimat verbal dan Kalimat non-verbal
Berkenaan dengan banyaknya jenis atau tipe verbal,
maka biasanya dibedakan pula adanya kalimat transitif.
6.5.3. Intonasi Kalimat
Dalam bahasa Indonesia tampaknya intonasi ini tidak
berlaku pada tataran fonologi dan morfologi, melainkan hanya
berlaku pada tataran sintaksis.
6.5.4.1. Modus
Modus adalah pengungkapan atau pengambaran
suasana psikologis.
6.5.4.2. Aspek
Aspek adalah cara untuk memandang pembentukan
waktu secara internal didalam suatu situasi.
6.5.4.3. Kala
Adalah informasi dalam kalimat yang menyatakan
waktu terjadinya perbuatan.
6.5.4.4. Modalitas
Adalah keterangan dalam kalimat yang menyatakan
sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan.
6.5.4.5. Fokus
Adalah unsur yang menonjolkan bagian kalimat
sehingga perhatian pendengar atau pembaca tertetu
pada bagian itu.
6.5.4.6. Diatesis
Adalah gambaran hubungan antara pelaku atau
peserta dalam kalimat dengan perbuatan yang di
kemukakan dalam kalimat itu.
6.6. WACANA
6.6.1. Pengertian wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap,
sehingga dalam hierarki gramitikal merupakan satuan
gramitikal tertinggi atau terbesar.
6.6.2. Alat wacana
Untuk membuat wacana yang kohesif dan koherens
itu dapat di gunakan pelbagai alat wacana, baik berupa aspek
gramatikal maupun yang berupa aspek semantik.
6.6.3. Jenis Wacana
Dalam pelbagai kepustakaan ada di sebutkan
pelbagai jenis wacana sesuai dengan sudut pandang dari mana
wacana itu dilihat.
6.6.4. Subsatun Wacana
Dalam wacana ini satuan “ide” atau “pesan” yang
disampaikan akan dapat dipahami pendengar atau pembaca
tanpa keraguan, atau tanpa meresa adanya kekurangan
informasi dari idea tau pesan yang tertuang dalam wacana itu.

6.7. CATATAN MENGENAI HIERARKI SATUAN


Dalam urutan normal kenaikan tingkat atau penurunan tingkat
terjadi pada jenjang berikutnya yang satu tingkat ke atas atau satu
tingkat ke bawah.

7. TATARAN LINGUISTIK (4): SEMANTIK


7.1. Hakikat manusia
Menurut de Saussure setiap tanda linguistic tanda bahasa
terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau “yang
mengertikan” yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen
signifie atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau
konsep.
7.2. Jenis makna
7.2.1. Makna leksikal, gramatikal, dan kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada
leksem meski tanpa konteks apa pun.
Makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal,
seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi.
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata
yang berada di dalam satu konteks.
7.2.2. Makna referensial dan Non-referensial
Sebuah kata atau leksem di sebut bermakna referensial
kalau kalau ada referensnya, atau acuannya. Kata-kata seperti
kuda, merah, dan gambar adalah termasuk kata-kata yang
bermakna referensial karena ada acuannya atau dalam dunia
nyata. Sebaliknya kata-kata seperti dan, atau, dan karena adalah
termasuk kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena
kata-kata itu tidak mempunyai referens.
7.2.3. Makna denotative dan Makna konotatif
Adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya
yang dimiliki oleh sebuah leksem.
Makna konotatif adalah makna lain yang di “tambahkan”
pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa
dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata
tersebut.
7.2.4. Makna konseptual dan Makna asosiatif
Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah
leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem
atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan
sesuatu yang berada diluar bahasa.
7.2.5. Makna kata dan Makna istilah
Makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas.
Makna yang disebut istilah mempunyai makna yang pasti, yang
jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat.
7.2.6. Makna idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat
“diramalkan” dari makna unsure-unsur nya, baik secara
leksikal maupun secara gramatikal.
Idiom dan pribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada
di dunia ini, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya
sudah memiliki kebudayaan yang tinggi.

7.3. RELAKSI MAKNA


7.3.1. Sinonim
Adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya
kesamaan makna.
7.3.2. Antonim
Adalah hubungan semantic antara dua buah satuan ujaran
yang makna nya menyatakan kebalikan.
7.3.3. Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran di sebut polisemi kalau kata
itu mempunyai makna lebih dari satu.
7.3.4. Hononimi
Adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya
“kebetulan” sama.
7.3.5. Hiponimi
Adalah hubungan semantic antara sebuah bentuk ujaran
yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain.
7.3.6. Ambiguiti atau ketaksanaan
Adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat
tafsiran gramatikal yang berbeda.
7.3.7. Redunsasi
Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-
lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk
ujaran.

7.4. PERUBAHAN MAKNA


Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan
berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah.
7.5. MEDAN MAKNA DAN KOMPONEN MAKNA
Kata-kata atau leksem-leksem dalam setiap bahasa dapat
dikelompokkan atas kelompok-kelompok tertentu berdasarkan
kesamaan cirri semantic yang dimiliki kata-kata itu.
7.5.1. Medan makna
Adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling
berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang
kebudayaan atau realitas atau realitas dalam semesta tertentu.
7.5.2. Komponen makna
Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari
sejumlah komponen yang membentuk keseluruhan makna kata
itu.
7.5.3. Kesesuain semantik dan sintaktik
semantik dan sintaktik ini tentu saja harus
memperhitungkan komponen makna kata secara lebih
terperinci.

8. SEJARAH DAN ALIRAN LINGUISTIK


8.1. LINGUISTIK TRADISIONAL
8.1.1. Linguistik zaman yunani
Studi bahasa pada zaman yunani mempunyai sejarah yang
sangat panjang, yaitu dari lebi kurang abad ke-5 S.M. sampai
lebih kurang abad ke-2 M. Jadi, kurang lebih sekitar 600 tahun.
8.1.1.1. Kaum sophis
Kaum atau kelompok sophis ini muncul pada abad
ke-5 S.M. mereka dikenal dalam studi bahasa.
8.1.1.2. Plato (429-347 S.M.)
Plato yang hidup sebelum abad masehi itu, dalam
studi bahasa terkenal.
8.1.1.3. Aristoteles (384-322 S.M,)
8.1.1.4. Kaum stoic
8.1.1.5. Kaum Alexandrian
8.1.2. Zaman romawi
Studi bahasa pada zaman romawi dapat dianggap
kelanjutan dari zaman yunani, sejalan dengan jatuhnya yunani.
8.1.2.1. Varro dan “De lingua latina”
8.1.2.2. Institutiones grammaticae atau Tata bahasa priscia
8.1.3. Zaman pertengahan
Studi bahasa pada zaman pertengahan di eropa mendapat
perhatian penuh terutama oleh para filsuf skolastik, dan bahasa
latin menjadi lingua franca, karena dipakai sebagai bahasa
gereja, bahasa diplomasi, dan bahasa ilmu pengetahuan.
8.1.4. Zaman renaisans
Dianggap sebagai zaman pembukaan abad pemikiran abad
moderm.
8.1.5. Menjelang lahirnya linguistic modern
Sejak awal buku ini sudah menyebut-nyebut bahwa
Ferdinand de Saussure dianggap sebagai bapak linguistic
modern.

8.2. LINGUISTIK STRUKTURALIS


8.2.1. Ferdinand de Saussure
Dianggap sebagai bapak linguistic modern berdasarkan
pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya Course de
Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh
Charles Bally dan Albert Sechehay tahun 1915.
8.2.2. Aliran praha
Terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang
tokohnya.
8.2.3. Aliran glosematik
Lahir di Denmark, tokohnya, antara lain, Louis Hjemslev
(1899-1965)
8.2.4. Aliran firthian
Nama John R. Firth (1890-1960) guru besar pada
Universitas London sangat terkenal karena teorinya mengenai
fonologi prosodi.
8.2.5. Linguistik sistematik
Tidak dapat dilepas dari nama M.A.K. Halliday, yaitu salah
seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firts mengenai
bahasa.
8.2.6. Leonard bloomfield dan strukturalis amerika
8.2.7. Aliran tagmemik

8.3. LINGUISTIK TRANSFORMASIONAL DAN ALIRAN-


ALIRAN SESUDAHNYA
8.3.1. Tata bahasa transformasi
Lahir dengan terbitnya buku Noan Chomsky yang berjudul
Syntactic Structure pada tahun 1957.
8.3.2. Semantik generative
8.3.3. Tata bahasa kasus
8.3.4. Tata bahasa rasional

8.4. TENTANG LINGUISTIK DI INDONESIA


Linguistik di Indonesia sudah berangsur lama dan cukup
semarak.
8.4.1. Sebagai negeri yang sangat luas yang dihuni oleh berbagai
suku
8.4.2. Konsep-konsep linguistic modern seperti yang dikembangkan
oleh Ferdinand de Saussure sudah bergerak sejak awal abad
XX
8.4.3. Sejalan dengan perkembangan dan makin semarak studi
linguisti.
8.4.4. Penyelidikan terhadap bahasa-bahasa daerah Indonesia dan
bahasa nasional Indonesia
8.4.5. Sesuai dengan fungsinya sebagai bahasa nasional.

Anda mungkin juga menyukai