Anda di halaman 1dari 8

Bahasa dan Kekuasaan (Language and Power)

Putu Sandra Putri Astariani


1980111005/Linguistik/Universitas Udayana

1. Pendahuluan
“Barang siapa meniru dan/atau memalsukan produk ini dapat dikenai hukuman selama-
lamanya lima tahun penjara atau denda setinggi-tingginya Rp10.000.000,00.”

Sosiolinguistik merupakan suatu cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan


saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial (Kridalaksana, 2008:225).
Sosiolinguistik dapat dibagi menjadi mikro-sosiolinguistik dan makro-sosiolinguistik.
Aplikasi penggunaan bahasa di masyarakat secara mendalam dibahas pada tataran makro-
sosiolinguistik, meliputi: pergeseran bahasa, bahasa dan gender, bahasa dan kekuasaan,
ethnography of communication, bahasa dan solidaritas, serta perencanaan bahasa. Setiap
topik memiliki fokus pembahasan yang menarik dimana datanya dapat dijumpai di
masyarakat, salah satunya adalah bahasa dan kekuasaan. Dilihat dari kata-kata yang
menyusun topik ini, dapat kita asumsikan bahwa yang dibahas adalah bagaimana penggunaan
bahasa dalam mengatur kehidupan orang banyak sebagai seorang penguasa atau pihak yang
memegang kekuasaan (di bidang politik atau kenegaraan). Seperti ditulis pada kutipan di atas,
yakni penggunaan bahasa untuk membuat peraturan yang bertujuan untuk mengatur tingkah
laku masyarakat. Akan tetapi, kekuasaan tidak semata-mata hanya bagi “penguasa” dalam
ruang lingkup politik atau kenegaraan saja, melainkan untuk pihak lain yang memiliki
kekuasaan di bidang tertentu.
Oleh karena itu, tulisan ini mencoba untuk membahas hubungan bahasa dan
kekuasaan atau language and power dimulai dari melihat pengertian bahasa, pengertian
kekuasaan serta pihak-pihak apa saja yang dapat dikatakan memiliki kekuasaan. Dilanjutkan
dengan membahas fungsi bahasa, dengan mengetahui aspek-aspek tersebut kita dapat meilhat
beberapa contoh kekuasaan dibalik penggunaan bahasa.

2. Apa itu Bahasa?


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa adalah sistem lambang
bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Pembahasan mengenai pengertian bahasa tidak
luput dari pembahasan mengenai langue dan parole, dua istilah yang dicetuskan pertama kali
oleh linguis asal Swiss, Ferdinand de Saussure. Langue adalah suatu bahasa tertentu,
misalnya bahasa Inggris, sedangkan parole berarti bahasa dalam wujud nyata yang konkret,
yaitu berupa ujaran (Chaer, 1994:2).
Namun dalam kaitannya dengan bahasa dan kekuasaan, Fairclaugh lebih sering
menggunakan istilah discourse (wacana) daripada language (bahasa). Hal ini didukung
dengan pernyataannya, bahwa
the conception of language we need for CLS is discourse, language as social
practice determined by social structures. (Fairclough, 2015:51)
(konsep bahasa yang kita perlukan untuk CLS adalah wacana, bahasa sebagai
praktik sosial yang ditentukan oleh struktur sosial)
Fairclough menyatakan bahwa bahasa terlibat dalam kekuasaan, dan berjuang untuk
kekuasaan, dan oleh karena itu bahasa ini dapat terlibat melalui properti ideologisnya.
Dengan melihat bahasa melalui sudut pandang wacana dimana bahasa sebagai suatu bentuk
praktik sosial, ada beberapa hal yang ditekankan oleh Fairclough. Pertama, bahwa bahasa
merupakan bagian dari masyarakat, dan bukan unsur di luar masyarakat. Kedua, bahwa
bahasa merupakan suatu proses sosial. Dan ketiga, bahwa bahasa merupakan proses
pengkondisian sosial oleh bagian-bagian non-linguistik lain di masyarakat.

3. Fungsi Bahasa
Adanya hubungan antara bahasa dan kekuasaan menunjukkan bahwa sebenarnya
bahasa memiliki fungsi tertentu. Roman Jakobson (2000: 335), seorang linguis abad ke-20
menyatakan bahwa:
“Language must be investigated in all the variety of its functions”
(Suatu bahasa harus diselidiki semua variasi fungsinya)
Pernyataan ini memang benar adanya karena seperti yang kita ketahui, satu ujaran
dalam bahasa tertentu dapat melakukan banyak hal. Jakobson membuat suatu skema yang
berisikan aspek-aspek penting yang harus ada dalam komunikasi

Berdasarkan skema di atas, agar komunikasi dapat berjalan lancar harus ada addresser (orang
yang berbicara), context, message, contact, dan code, serta addressee (orang yang diajak
bicara atau penerima pesan). Singkatnya, untuk menjembatani antara orang yang berbicara
dengan orang yang diajak berbicara, harus ada pesan (message) yang ingin disampaikan
berdasarkan konteks (context) tertentu. Pesan ini harus memiliki medium baik itu verbal,
tertulis maupun visual (contact). Apapun jenis bahasa yang dipilih, baik itu bahasa tertulis
dengan menggunakan huruf atau bahasa isyarat (code), hal yang terpenting adalah pembicara
dan orang yang diajak berbicara mengerti pesan yang disampaikan.
Dengan mengetahui unsur-unsur dalam komunikasi, selantunya fungsi bahasa dapat
diuraikan. Fungsi-fungsi bahasa ini diuraikan juga oleh Jakobson dalam skema di bawah ini:

Fungsi-fungsi ini bersesuaian dengan aspek-aspek sebelumnya. Emotive bersesuaian


dengan aspek addresser yang berarti menunjukkan sikap pembicara terkait apa yang sedang
dibicarakan oleh orang yang berbicara. Fungsi referential atau denotative berfungsi untuk
menyajikan informasi, gagasan, dan konvensi yang dapat saling dimengerti oleh pembicara
dan lawan bicara. Selanjutnya bahasa memiliki fungsi conative (berkaitan dengan lawan
bicara) yang berarti bahasa memiliki fungsi untuk membantu kita dalam mendeskripsikan
pesan yang dimaksudkan agar memiliki efek ke pendengar. Fungsi selanjutnya adalah fungsi
phatic yang bertujuan untuk ‘berbasa-basi’ tidak terlalu berfokus untuk menyampaikan
informasi. Fungsi poetic berkaitan dengan keindahan bentuk dari suatu ujaran. Fungsi ini
bertujuan untuk menarik perhatian orang-orang agar memerhatikan satu informasi. Fungsi
poetic kerap ditemukan dalam iklan, teks-teks politik, dan teks persuasif. Fungsi terakhir
adalah fungsi metalingual dimana bahasa digunakan sebagai metabahasa untuk menjelaskan
hal-hal yang terkait dengan bahasa tersebut (seperti definisi, penjelasan makna kata)
(Darmojuwono, 2014:7).

4. Apa itu Kekuasaan?


Setelah melihat definisi serta penjabaran bahasa dari sudut pandang yang cukup
berbeda, tentu aspek berikutnya yang harus dibahas adalah kekuasaan. Jadi, apa sebenarnya
kekuasaan itu? Secara literal, menurut KBBI kekuasaan berarti kuasa (untuk mengurus,
mernerintah, dan sebagainya). Kekuasaan dapat diterjemahkan sebagai power dalam bahasa
Inggris, yang menurut Oxfrod online dictionary berarti the ability to control people or things
dan political control of a country or an area. Fairclaugh (2015:75-76) dalam bukunya
Language and Power menyatakan bahwa unsur terpenting dalam kekuasaan adalah adanya
orang atau pihak yang memiliki kuasa yang mengatur dan membatasi orang atau pihak yang
tidak memiliki kuasa. Terdapat tiga aspek yang diatur dan dibatasi, diantaranya:
a. Contents: substansi dari apa yang dikatakan dan dilakukan;

b. Relations: hubungan sosial antara orang-orang yang terlibat dalam wacana atau
ujaran;

c. Subjects: posisi yang dapat diisi oleh orang-orang.

Sebelumnya telah dipaparkan definisi dari kekuasaan. Memang definisi ini seolah-olah
seperti fokus pada hal politik dan kenegaraan saja, faktanya kekuasaan juga ada dalam
hubungan-hubungan tertentu seperti antara perempuan dan laki-laki, antar kelompok etnis,
serta antara kaum muda dan kaum tua yang bukan bagian dari institusi tertentu.
Dalam kaitannya dengan bahasa, sangatlah sulit untuk mencari definisi yang konkrit
mengenai kekuasaan sebagaimana diungkapkan oleh Mooney dan Evans (2015) dalam
bukunya berjudul Language, Society, and Power. Akan tetapi, ada dua hal penting yang harus
dibahas terkait kekuasaan, yakni ideologi dan interpelasi. Menurut Gunther Kress and Robert
Hodge (dalam Mooney dan Evans (2015) ideologi adalah a systematic body of ideas,
organized from a particular point of view (gagasan-gagasan sistematis yang disusun dalam
sudut pandang tertentu). Secara sederhana ideologi merupakan cara untuk mendeskripsikan
kepercayaan dan kebiasaan yang dianggap alami. Terdapat beberapa gagasan yang kita terima
begitu saja, gagasan yang kita pertahankan dan kita percaya sebagai sebagai hal yang alami.
Ideologi setiap orang dan kelompok bisa saja berbeda, oleh karena itu sebaiknya jangan
menyamakan nilai yang dianut suatu kelompok atau seseorang dengan orang atau kelompok
lain. Intinya ideologi merupakan suatu nilai atau pegangan yang dianut oleh masing-masing
individ dan kelompok sebagai pengaruh yang sangat kuat pada tingkah laku mereka.
Selain ideologi, kekuasaan berhubungan dengan interpelasi. Interpelasi
menitikberatkan bagaimana seseorang ‘dipuja’ dengan cara tertentu (Althusser, 1973). Dalam
kaitannya dengan bahasa, interpelasi menunjukkan bagaimana seseorang dapat dihargai atau
ditempatkan dalam posisi tertentu karena penggunaan bahasa.

5. Hubungan antara Bahasa dan Kekuasaan


Banyaknya fungsi bahasa menunjukkan bahwa kekuasaan dapat dilaksanakan dalam
berbagai cara. Kekuasaan dapat digunakan untuk mengubah bahasa, misalnya seperti
penggunaan bahasa Inggris. Menggunakan bahasa Inggris jenis tertentu memungkinkan
seseorang dalam melakukan sesuatu dan memungkinkan seseorang untuk memengaruhi
kelompok tertentu. Hal ini berkaitan dengan sikap dan perspektif yang seseorang miliki
terhadap suatu bahasa, misalnya dengan menggunakan bahasa Inggris standar, seseorang
merasa mendapatkan derajat kekuasaan tertentu sehingga dapat mengendalikan orang lain.
Bahasa memungkinkan seseorang untuk menunjukkan dominasinya terhadap orang lain.
Dominasi cenderung membungkam “yang lain”. Dominasi dapat dibaca sebagai relasi tak
seimbang antara “aku” dan “dia”. “Aku sebagai sang subjek secara aktif memberikan makna,
mengontrol makna, dan mendefinisikannya agar dipatuhi oleh “dia” sebagai sang objek
(Darma, 2013).
Fairclaugh (2015:73) menyatakan bahwa bahasa dan kekuasaan menaruh perhatian
pada bahasa sebagai media dimana kekuasaan dilaksanakan, seperti dalam interaksi tatap
muka, dan interaksi lintas budaya dimana anggotnya berasal dari etnis yang berbeda-beda.
Selain kedua aspek itu, bahasa dan kekuasaan juga menaruh perhatian terhadap “kekuasaan
tersembunyi” yang biasanya ditunjukkan oleh media massa.
Kekuasaan terjadi dalam kondisi pertama, yakni interaksi tatap muka (face-to-face
interaction), dimana partisipan yang terlibat sering tidak setara (unequal encounter). Kondisi
ini dapat dicontohkan dalam contoh berikut ini:

(Sumber: Language and Power, Norman Fairclough 2015:74)

Percakapan ini melibatkan dokter dan sekelompok mahasiswa kedokteran yang


sedang melakukan kunjungan pada unit bayi prematur. Dalam percakapan ini terlihat
bagaimana dokter sering menginterupsi pembicaraan mahasiswa yang ditandai dengan
kurung siku diantara kata. Hal ini tidak semata-mata menunjukkan seorang dokter yang ingin
mengambil alih semua pembicaraan, untuk menunjukkan kekuasaan seorang dokter dalam
mengatur kontribusi mahasiswa. Secara spesifik, dokter ingin menghentikan mahasiswa agar
dia tidak memberikan informasi yang telah disampaikan dan mencegah mahasiswa untuk
menyampaikan informasi yang tidak relevan dari apa yang diharapkan. Sehingga para
mahasiswa bisa mendapatkan informasi kunci dari studi tersebut.
Kondisi kedua dimana bahasa dan kekuasaan berkaitan adalah saat terjadi interaksi
dari orang-orang dengan latar belakang etnis yang berbeda akan tetapi disini bisa saja orang-
orang yang tidak memiliki kekuasaan memiliki latar belakang linguistik yang berbeda dari
orang-orang yang memiliki kekuasaan. Hal ini sering terjadi dalam gatekeeping encounters
maksudnya interaksi, seperti wawancara pekerjaan, dimana seorang gatekeeper yang
termasuk dalam kelompok etnis dominan mengatur interaksi yang menentukan apakah
seseorang bisa mendapatkan pekerjaan atau akses terhadap tujuan tertentu. Mungkin kondisi
ini jarang terjadi di Indonesia, tetapi di Inggris kondisi ini kerap ditemui. Gatekeeping
encounters memungkinkan terjadinya miskomunikasi karena adanya kesalahpahaman
budaya. Misalnya pewawancara calon pegawai akan menggunakan ujaran-ujaran yang sesuai
dengan budayanya dengan mengasumsikan bahwa peserta wawancara mengerti ujaran yang
mereka gunakan. Sebuah dialog disajikan guna memperjelas deskripsi di atas:

(Sumber: Language and Power, Norman Fairclough 2015:77)

Percakapan di atas melibatkan petugas wawancara dan anggota dari etnis minoritas
Amerika. Percakapan ini menunjukkan ketidaksesuaian respon yang diharapkan oleh petugas
wawancara. C2 gagal menginterpretasikan pertanyaan yang dilontarkan oleh pewawancara
karena seharusnya dalam wawancara ini C2 lebih menonjolkan hal-hal yang dapat dia
kerjakan apabila diterima di posisi itu, bukannya menonjolkan masalah keluarganya.
Kekuasaan dalam ujaran yang dilontarkan antar anggota dari kelompok etnis yang berbeda
merupakan elemen untuk menunjukkan dominasi suatu etnis tertentu dalam suatu institusi,
atau dengan kata lain rasisme yang diinstitusikan.
Kekuasaan yang tersembunyi, sebagai aspek terakhir yang dibahas dalam bahasa dan
kekuasaan, sering terdapat dalam media massa. Sebagaimana yang kita ketahui, media massa
dapat berupa koran, televisi, iklan, yang bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada
khalayak, oleh karena itu media massa tidak memungkinkan terjadinya interaksi tatap muka.
Media massa juga merupakan suatu media untuk menyampaikan kekuasaan seseorang secara
implisit apalagi apabila media itu telah terlibat campur tangan politik. Bahasa yang
digunakan dalam media massa merupakan bahasa yang menarik karena sifat hubungan
kekuasaan yang ada di dalamnya sering kali sulit untuk diinterpretasikan. Hal lain yang
membedakan bahasa dalam media massa adalah para produser mendesain wacananya untuk
masyarakat, sangat tidak mungkin bagi orang-orang yang menyusun berita tahu pasti siapa
lawan bicara mereka. Berbeda dengan interaksi tatap muka dimana pembicara mengetahui
secara pasti siapa yang diajak bicara, sehingga pembicara dapat “mengatur” lawan bicaranya,
baik dari segi kontribusi serta isi dari ujaran yang disampaikan. Media telah menyusun
wacananya seideal mungkin bagi para pembaca, penonton, maupun pendengar.
Lalu bagaimana sebenarnya media menjalankan kekuasaannya? Seorang produser
(pembuat berita) menjalankan kekuasaan terhadap konsumennya melalui hak produksi
dimana mereka sendiri yang dapat menentukan apa saja yang dapat mereka tayangkan dan
apa yang tidak bisa ditayangkan, bagaimana kejadian ditayangkan, serta posisi dari
penonton/pembaca/pendengar mereka. Selain itu, para pembuat berita dapat mengatur sudut
pandang suatu berita, misalnya apabila berita yang diangkat mengenai permasalahan industri
dan topik ini dianggap sebagai masalah atau peselisihan, maka media akan menyajikan berita
berdasarkan sudut pandang pegawai atau buruh perusahaan tersebut. Produser ini bisa
dikatakan berasal dari institusi asal media itu.
Kekuasaan tersembunyi atau hidden power ternyata tidak hanya terdapat pada media
yang dapat dikatakan sebagai interaksi tidak langsung, melainkan dapat juga ditemukan pada
interaksi langsung atau face-to-face interaction. Fairclough (2015:83) mengilustrasikannya
dalam percakapan antara atasan dan bawahan. Soerang atasan, ketakanlah bos sebuah
perusahaan, meminta sekretarisnya untuk membuat surat dengan menggunakan kalimat
permintaan tidak langsung can you type this letter for me by 5 o'clock; do you think you could
type this letter for me by 5 o'clock; atau could I possibly ask you to type this letter for me by 5
o'clock. Kalimat ini digunakan bukan berarti atasan tersebut “menanggalkan” posisinya
sebagai atasan atau kehilangan kekuasaannya, melainkan untuk menghindari penolakan.
Penolakan mungkin saja terjadi apabila kalimat perintah langsung digunakan seperti type this
letter for me by 5 o'clock apalagi jika atasan tersebut terus-menerus memberi perintah kepada
sekretaris sehingga membuat dia tertekan. Akan tetapi ada pernyataan lain yang bisa
menyaingi pernyataan Fairclough, yakni dari Bourdieu (dalam Mooney dan Evans, 2015:15)
yang menyatakan bahwa seseorang tidak perlu berada pada posisi kekuasaan tertentu agar
dapat “dieksploitasi” secara linguistik. Ketika seorang manajer menggunakan bentuk bahasa
tertentu, kekuasaan tersebut datang setengah dari posisinya (sebagai bos anda) tetapi mungkin
juga dari jenis bahasa yang digunakan. Hal seperti ini bukanlah contoh dari kekuasaan fisik
atau institusional melainkan kekuasaan simbolis.

6. Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa bahasa apabila
ditelisik dari sudut pandang sosiolinguistik, khususnya dalam kaitannya dengan kekuasaan
bukan hanya sebatas langue dan parole, melainkan satu kesatuan yang lebih kompleks karena
memiliki fungsi serta memiliki kekuatan untuk mengatur orang lain. Kekuasaan dalam hal ini
tidak hanya terbatas pada ranah politik dan kenegaraan saja, namun juga menyangkut segala
aspek kehidupan, baik itu antar atasan dan bawahan, antara murid dan pengajar, serta antara
media dengan masyarakat penerima berita. Media memiliki keuasaan tersembunyi yang
berarti dapat mengatur suatu kejadian, sudut pandang pihak mana yang ingin diambil
sehingga dapat membentuk persepsi masyarakat. Kekuasaan yang tersembunyi tidak hanya
dimiliki oleh media, namun juga pada interaksi tatap muka.

7. Referensi
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:PT. Rineka Cipta.
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: CV. Yrama Widya.
Darmojuwono, Setiawati. 2014. Pengertian Fungsi Bahasa. repository.ut.ac.id (diakses pada
28 April 2020).
Fairclough, Norman. 2015. Language and Power (Third Edition). New York: Routledge.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik (Edisi Keempat). Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Mooney, Annabele dan Betsy Evans. 2015. Language, Society, and Power An Introduction
(Fourth Edition). New York: Routledge.

Anda mungkin juga menyukai