1. Pendahuluan
“Barang siapa meniru dan/atau memalsukan produk ini dapat dikenai hukuman selama-
lamanya lima tahun penjara atau denda setinggi-tingginya Rp10.000.000,00.”
3. Fungsi Bahasa
Adanya hubungan antara bahasa dan kekuasaan menunjukkan bahwa sebenarnya
bahasa memiliki fungsi tertentu. Roman Jakobson (2000: 335), seorang linguis abad ke-20
menyatakan bahwa:
“Language must be investigated in all the variety of its functions”
(Suatu bahasa harus diselidiki semua variasi fungsinya)
Pernyataan ini memang benar adanya karena seperti yang kita ketahui, satu ujaran
dalam bahasa tertentu dapat melakukan banyak hal. Jakobson membuat suatu skema yang
berisikan aspek-aspek penting yang harus ada dalam komunikasi
Berdasarkan skema di atas, agar komunikasi dapat berjalan lancar harus ada addresser (orang
yang berbicara), context, message, contact, dan code, serta addressee (orang yang diajak
bicara atau penerima pesan). Singkatnya, untuk menjembatani antara orang yang berbicara
dengan orang yang diajak berbicara, harus ada pesan (message) yang ingin disampaikan
berdasarkan konteks (context) tertentu. Pesan ini harus memiliki medium baik itu verbal,
tertulis maupun visual (contact). Apapun jenis bahasa yang dipilih, baik itu bahasa tertulis
dengan menggunakan huruf atau bahasa isyarat (code), hal yang terpenting adalah pembicara
dan orang yang diajak berbicara mengerti pesan yang disampaikan.
Dengan mengetahui unsur-unsur dalam komunikasi, selantunya fungsi bahasa dapat
diuraikan. Fungsi-fungsi bahasa ini diuraikan juga oleh Jakobson dalam skema di bawah ini:
b. Relations: hubungan sosial antara orang-orang yang terlibat dalam wacana atau
ujaran;
Sebelumnya telah dipaparkan definisi dari kekuasaan. Memang definisi ini seolah-olah
seperti fokus pada hal politik dan kenegaraan saja, faktanya kekuasaan juga ada dalam
hubungan-hubungan tertentu seperti antara perempuan dan laki-laki, antar kelompok etnis,
serta antara kaum muda dan kaum tua yang bukan bagian dari institusi tertentu.
Dalam kaitannya dengan bahasa, sangatlah sulit untuk mencari definisi yang konkrit
mengenai kekuasaan sebagaimana diungkapkan oleh Mooney dan Evans (2015) dalam
bukunya berjudul Language, Society, and Power. Akan tetapi, ada dua hal penting yang harus
dibahas terkait kekuasaan, yakni ideologi dan interpelasi. Menurut Gunther Kress and Robert
Hodge (dalam Mooney dan Evans (2015) ideologi adalah a systematic body of ideas,
organized from a particular point of view (gagasan-gagasan sistematis yang disusun dalam
sudut pandang tertentu). Secara sederhana ideologi merupakan cara untuk mendeskripsikan
kepercayaan dan kebiasaan yang dianggap alami. Terdapat beberapa gagasan yang kita terima
begitu saja, gagasan yang kita pertahankan dan kita percaya sebagai sebagai hal yang alami.
Ideologi setiap orang dan kelompok bisa saja berbeda, oleh karena itu sebaiknya jangan
menyamakan nilai yang dianut suatu kelompok atau seseorang dengan orang atau kelompok
lain. Intinya ideologi merupakan suatu nilai atau pegangan yang dianut oleh masing-masing
individ dan kelompok sebagai pengaruh yang sangat kuat pada tingkah laku mereka.
Selain ideologi, kekuasaan berhubungan dengan interpelasi. Interpelasi
menitikberatkan bagaimana seseorang ‘dipuja’ dengan cara tertentu (Althusser, 1973). Dalam
kaitannya dengan bahasa, interpelasi menunjukkan bagaimana seseorang dapat dihargai atau
ditempatkan dalam posisi tertentu karena penggunaan bahasa.
Percakapan di atas melibatkan petugas wawancara dan anggota dari etnis minoritas
Amerika. Percakapan ini menunjukkan ketidaksesuaian respon yang diharapkan oleh petugas
wawancara. C2 gagal menginterpretasikan pertanyaan yang dilontarkan oleh pewawancara
karena seharusnya dalam wawancara ini C2 lebih menonjolkan hal-hal yang dapat dia
kerjakan apabila diterima di posisi itu, bukannya menonjolkan masalah keluarganya.
Kekuasaan dalam ujaran yang dilontarkan antar anggota dari kelompok etnis yang berbeda
merupakan elemen untuk menunjukkan dominasi suatu etnis tertentu dalam suatu institusi,
atau dengan kata lain rasisme yang diinstitusikan.
Kekuasaan yang tersembunyi, sebagai aspek terakhir yang dibahas dalam bahasa dan
kekuasaan, sering terdapat dalam media massa. Sebagaimana yang kita ketahui, media massa
dapat berupa koran, televisi, iklan, yang bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada
khalayak, oleh karena itu media massa tidak memungkinkan terjadinya interaksi tatap muka.
Media massa juga merupakan suatu media untuk menyampaikan kekuasaan seseorang secara
implisit apalagi apabila media itu telah terlibat campur tangan politik. Bahasa yang
digunakan dalam media massa merupakan bahasa yang menarik karena sifat hubungan
kekuasaan yang ada di dalamnya sering kali sulit untuk diinterpretasikan. Hal lain yang
membedakan bahasa dalam media massa adalah para produser mendesain wacananya untuk
masyarakat, sangat tidak mungkin bagi orang-orang yang menyusun berita tahu pasti siapa
lawan bicara mereka. Berbeda dengan interaksi tatap muka dimana pembicara mengetahui
secara pasti siapa yang diajak bicara, sehingga pembicara dapat “mengatur” lawan bicaranya,
baik dari segi kontribusi serta isi dari ujaran yang disampaikan. Media telah menyusun
wacananya seideal mungkin bagi para pembaca, penonton, maupun pendengar.
Lalu bagaimana sebenarnya media menjalankan kekuasaannya? Seorang produser
(pembuat berita) menjalankan kekuasaan terhadap konsumennya melalui hak produksi
dimana mereka sendiri yang dapat menentukan apa saja yang dapat mereka tayangkan dan
apa yang tidak bisa ditayangkan, bagaimana kejadian ditayangkan, serta posisi dari
penonton/pembaca/pendengar mereka. Selain itu, para pembuat berita dapat mengatur sudut
pandang suatu berita, misalnya apabila berita yang diangkat mengenai permasalahan industri
dan topik ini dianggap sebagai masalah atau peselisihan, maka media akan menyajikan berita
berdasarkan sudut pandang pegawai atau buruh perusahaan tersebut. Produser ini bisa
dikatakan berasal dari institusi asal media itu.
Kekuasaan tersembunyi atau hidden power ternyata tidak hanya terdapat pada media
yang dapat dikatakan sebagai interaksi tidak langsung, melainkan dapat juga ditemukan pada
interaksi langsung atau face-to-face interaction. Fairclough (2015:83) mengilustrasikannya
dalam percakapan antara atasan dan bawahan. Soerang atasan, ketakanlah bos sebuah
perusahaan, meminta sekretarisnya untuk membuat surat dengan menggunakan kalimat
permintaan tidak langsung can you type this letter for me by 5 o'clock; do you think you could
type this letter for me by 5 o'clock; atau could I possibly ask you to type this letter for me by 5
o'clock. Kalimat ini digunakan bukan berarti atasan tersebut “menanggalkan” posisinya
sebagai atasan atau kehilangan kekuasaannya, melainkan untuk menghindari penolakan.
Penolakan mungkin saja terjadi apabila kalimat perintah langsung digunakan seperti type this
letter for me by 5 o'clock apalagi jika atasan tersebut terus-menerus memberi perintah kepada
sekretaris sehingga membuat dia tertekan. Akan tetapi ada pernyataan lain yang bisa
menyaingi pernyataan Fairclough, yakni dari Bourdieu (dalam Mooney dan Evans, 2015:15)
yang menyatakan bahwa seseorang tidak perlu berada pada posisi kekuasaan tertentu agar
dapat “dieksploitasi” secara linguistik. Ketika seorang manajer menggunakan bentuk bahasa
tertentu, kekuasaan tersebut datang setengah dari posisinya (sebagai bos anda) tetapi mungkin
juga dari jenis bahasa yang digunakan. Hal seperti ini bukanlah contoh dari kekuasaan fisik
atau institusional melainkan kekuasaan simbolis.
6. Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa bahasa apabila
ditelisik dari sudut pandang sosiolinguistik, khususnya dalam kaitannya dengan kekuasaan
bukan hanya sebatas langue dan parole, melainkan satu kesatuan yang lebih kompleks karena
memiliki fungsi serta memiliki kekuatan untuk mengatur orang lain. Kekuasaan dalam hal ini
tidak hanya terbatas pada ranah politik dan kenegaraan saja, namun juga menyangkut segala
aspek kehidupan, baik itu antar atasan dan bawahan, antara murid dan pengajar, serta antara
media dengan masyarakat penerima berita. Media memiliki keuasaan tersembunyi yang
berarti dapat mengatur suatu kejadian, sudut pandang pihak mana yang ingin diambil
sehingga dapat membentuk persepsi masyarakat. Kekuasaan yang tersembunyi tidak hanya
dimiliki oleh media, namun juga pada interaksi tatap muka.
7. Referensi
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:PT. Rineka Cipta.
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: CV. Yrama Widya.
Darmojuwono, Setiawati. 2014. Pengertian Fungsi Bahasa. repository.ut.ac.id (diakses pada
28 April 2020).
Fairclough, Norman. 2015. Language and Power (Third Edition). New York: Routledge.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik (Edisi Keempat). Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Mooney, Annabele dan Betsy Evans. 2015. Language, Society, and Power An Introduction
(Fourth Edition). New York: Routledge.