Anda di halaman 1dari 12

Pemerolehan Bahasa pada Feral Child: Studi Kasus Genie Wiley

ABSTRAK
Selama 13 tahun Genie Wiley, seorang gadis asal Los Angeles, tidak mengenal
bahasa dan komunikasi, sehingga iapun mengalami keterlambatan dalam pemerolehan bahasa
pertamanya. Genie telah melewati periode sensitif atau critical period dalam pemerolehan
bahasa. Periode ini merupakan masa-masa yang paling optimal bagi semua manusia untuk
memeroleh bahasa pertamanya yang terjadi dari usia dua tahun dan berkahir sebelum
pubertas (sekitar usia 14 tahun). Setelah terbebas dari isolasi ayahnya, Genie diajarkan
berbahasa dan secara mengejutkan menguasai banyak kosakata dan memiliki rasa ingin tahu
yang cukup tinggi terhadap kata-kata. Akan tetapi, karena telah melewati periode sensitifnya,
Genie tidak mampu menyusun kalimat-kalimat yang rumit.
Artikel ini bertujuan untuk mengungkap fenomena Genie berdasarkan teori
pemerolehan bahasa, yakni nativistik, behavioristik, dan kognitivistik. Analisis menunjukkan
bahwa Genie telah kehilangan kesempatannya dalam menguasai bahasa dengan baik karena
tidak mengalami tahap-tahap pemerolehan bahasa secara normal serta tidak memiliki
pengalaman dalam mendengarkan bunyi apapun sehingga Language Acquisition Device-nya
tidak berfungsi (nativistik), tidak adanya stimulus dari lingkungan (behavioristik), yang
menimbulkan tidak adanya kematangan kognitif untuk menguasai bahasa (kognitif).

Kata kunci: feral child, pemerolehan bahasa, Genie Wiley, periode sensitif, psikolinguistik.

1. PENDAHULUAN
Berbahasa merupakan suatu fenomena penting yang pasti akan dialami oleh
setiap manusia normal. Manusia dianugerahi panca indera oleh Yang Maha Kuasa agar
dapat digunakan untuk menerima berbagai stimulus agar manusia bisa berbahasa
dengan baik. Sebelum bisa berbahasa, manusia melewati beberapa proses yang terbagi
menjadi tiga tahap utama, yakni pemerolehan bahasa (language acquisition),
pemahaman bahasa (language comprehension), produksi bahasa (language
production). Satu tahap lagi yakni pemerolehan bahasa kedua (second language
acquisition) ada saat seseorang menguasai bahasa lain.
Salah satu proses yang terjadi pada awal masa kehidupan manusia adalah
pemerolehan bahasa (language acquisition), yang sering disebut dengan first language
acquisition (pemerolehan bahasa pertama). Istilah ini mempelajari bagaimana bayi
memeroleh bahasa ibunya (Sudipa, 2020:11). Pemerolehan bahasa adalah suatu proses
dimana manusia memeroleh kapasitas untuk memahami dan merasakan bahasa, serta
untuk menghasilkan dan menggunakan kata-kata dan kalimat untuk berkomunikasi.
Manusia memiliki periode sensitif (sensitive period) dimana pada periode ini

1
kemampuan seseorang untuk memeroleh dan memahami bahasa berada di puncaknya.
Selain sensitive period, dikenal pula istilah critical period untuk menggambarkan
kondisi ini. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Penfield dan Roberts (1959) dan
delapan tahun kemudian disempurnakan oleh Lenneberg (1967) dan selanjutnya dikenal
dengan critical period hypothesis (CPH). Lenneberg berpendapat bahwa CPH
berlangsung antara usia dua tahun dan berakhir pada saat pubertas (kurang lebih pada
usia empat belas tahun). Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Contesse (2009)
bahwa CPH adalah periode optimal untuk pemerolehan bahasa yang berakhir saat
pubertas. Kemampuan pemerolehan bahasa pertama seseorang memiliki jangka waktu
tertentu dan setelah masa pubertas. Karena adanya proses pendewasaan pada otak,
kemampuan ini menghilang (Manskovsky, 2001).
Selama bertahun-tahun ada banyak ahli yang berdebat tentang faktor apa saja
yang dapat memengaruhi pemerolehan bahasa pada seseorang. Para ahli ini terbagi
menjadi tiga kelompok, yakni mentalistik atau nativistik, behavioristik, dan kognitif.
Semua periode serta teori yang dipaparkan di atas memang wajar terjadi pada
semua manusia normal. Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang sejak kecil
terkucilkan dari lingkungan sosial atau bahkan tidak pernah bersosialisasi dengan
manusia? Tentu hasilnya akan sangat berbeda. Terdengar sedikit ganjil tetapi fenomena
ini nyata dimana orang-orang yang mengalaminya memang tidak seberuntung orang-
orang normal, sehingga pemerolehan bahasa mereka pun berbeda dan cukup terhambat.
Fenomena ini disebut Feral Child atau Wild Child yang berarti anak-anak yang hidup
dengan kontak yang terbatas atau nihil dengan manusia lain. Hal ini terjadi karena
orang tua mereka mengabaikan atau mengurung mereka, sehingga mereka mengalami
masalah pertumbuhan. Di dunia pernah tercatat beberapa kasus anak yang telah
terkucilkan sejak dini dan bahkan ada yang tidak berinteraksi dengan manusia sejak
lahir, seperti Kamala dan Genie. Kamala adalah seorang anak yang telah dirawat oleh
serigala sejak bayi sehingga tidak memeroleh bahasa manusia sama sekali. Bahkan
Kamal mengadopsi perilaku serigala seperti berjalan dengan dua kaki dan tangan,
mengaum, tidak bercakap satu katapun, bergaul dengan serigala, dan tidak
memperlihatkan emosi di wajahnya, memiliki pendengaran dan penglihatan malam
yang tajam, serta mencium dan mengendus sesuatu untuk mengetahui dan
mengenalinya. Sampai Ia meninggal, tidak lebih dari 50 kata yang bisa dipelajarinya
sehingga sangat sulit baginya untuk bercakap-cakap.

2
Berbeda dengan kasus Kamala, kasus Genie sangatlah unik sekaligus tragis.
Namun Genie masih lebih beruntung karena masih bisa bertahan hidup lebih lama
daripada Kamala. Genie Wiley adalah seorang gadis yang diisolasi oleh ayahnya
selama 13 tahun, meskipun masih berada di lingkungan manusia sejak lahir dia sama
sekali tidak pernah berinteraksi apalagi bersosialisasi dengan manusia. Kejadian ini
ternyata memberi pengaruh yang signifikan terhadap pemerolehan bahasa Genie yang
notabene baru memeroleh bahasa pertamanya setelah pubertas. Pertanyaan besar pun
muncul dari para ilmuwan, apakah mungkin seseorang memeroleh atau mempelajari
bahasa setelah periode kritis atau periode sensitif? Oleh karena itu, artikel ini akan
menganalisis kasus dari Genie Wiley guna mengungkap fakta mengenai pemerolehan
bahasa Genie Wiley yang dikenal sebagai Feral Child dari Amerika Serikat. Adapun
beberapa poin utama yang dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana masa awal
kehidupan Genie, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan lambatnya pemerolehan
bahasa pada Genie, bagaimana perkembangan pemerolehan bahasa Genie setelah dia
berhasil keluar dari kurungan ayahnya, serta bagaimana beberapa ahli memandang
kasus ini.

2. BAHAN, METODE, DAN TEORI


Data yang digunakan adalah semua informasi yang berkaitan dengan
pemerolehan bahasa Genie Wiley. Selain itu, latar belakang keluarga Genie, penyebab
keterlambatan berbahasa pada Genie, serta pendapat para ahli terhadap fenomena Genie
juga menjadi data yang dianalisis dalam artikel ini.
Semua data yang diperlukan didapatkan dari berbagai sumber, diantaranya video
dokumenter berjudul Genie Wiley-TLC Documentary (2003) serta artikel-artikel yang
membahas mengenai kasus Genie Wiley baik yang berasal dari laman maupun artikel
ilmiah. Video ini menceritakan tentang siapa Genie Wiley dan bagaimana latar
belakang keluarganya. Selanjutnya dijelaskan secara runtut bagaimana kasus ini
akhirnya terungkap dan bagaimana saat itu, meskipun terkesan tragis, kehadiran Genie
sangat dinanti oleh para ilmuwan, khususnya para linguis, untuk diteliti guna
mengungkap pemerolehan bahasa seseorang setelah masa pubertas. Artikel-artikel yang
digunakan berjudul Abandoned, Abused, Exploited: Inside The Cursed Life Of The
Feral Child, Genie Wiley dari laman https://allthatsinteresting.com/genie-wiley-feral-
child, The Story of Feral Child Genie Wiley-The Shocking Story of the Famous Wild
Child Raised in Isolation dari laman https://www.verywellmind.com/genie-the-story-

3
of-the-wild-child-2795241, selain itu data juga didapat dari artikel ilmiah berjudul The
Development of Language in Genie: a Case of Language Acquisition beyond the
“Critical Period” (Fromkin, dkk: 1974).
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode dokumentasi
yang didukung oleh teknik catat. Mengutip pernyataan dari Bungin dalam Nilamsari
(2014:178), metode dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang
digunakan dalam metodologi penelitian sosial untuk menelusuri data historis. Di masa
lalu, metode dokumentasi tidak terlalu diperhitungkan dalam penelitian kualitatif.
Namun seiring berjalannya waktu metode ini mulai banyak dipergunakan bahkan
dianggap tidak bisa lepas dari studi kualitatif. Hal ini dikarenakan tingkat kredibilitas
hasil penelitian kualitatif sedikit banyak ditentukan pula oleh penggunaan dan
pemanfaatan dokumen yang ada (Bungin, 2007).
Guna menunjang metode ini, digunakan teknik catat yang menurut Mahsun
(2005:93) adalah teknik lanjutan yang dilakukan ketika menerapkan metode simak.
Meski demikian, dalam artikel ini teknik catat dirasa cocok digunakan bersamaan
dengan metode dokumentasi karena teknik ini diaplikasikan saat menemukan data atau
informasi yang dirasa relevan untuk diteliti. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Metode ini bertujuan untuk mengungkap kejadian atau fakta, fenomena, dn variabel-
variabel yang terjadi saat penelitian dilakukan dengan menampilkan apa yang benar-
benar terjadi. Metode ini dirasa paling sesuai untuk diterapkan dalam penelitian
humaniora yang melibatkan kata-kata dan interpretasi. Hasil dari penelitian ini akan
disajikan secara informal yang berarti dipaparkan secara deskriptif menggunakan kata-
kata.
Teori yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah teori
pemerolehan bahasa (first language acquisition) yang terdiri dari teori
nativistik/mentalistik, teori behaviorisme, dan teori kognitivisme.

2.1. Teori Nativistik/Mentalistik


Kaum nativistik/mentalis, yang sering dikaitkan dengan Noam Chomsky,
percaya bahwa setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan piranti pemerolehan
bahasa (Language Acquisition Device atau LAD). Chomsky menyatakan bahwa LAD
merupakan “Faculties of the mind” yakni semacam kapling-kapling intelektual yang
dimiliki oleh manusia dalam otaknya yang diperuntukan. LAD bersifat kodrati (bawaan
sejak lahir). LAD tidak ada hubungannya dengan kemampuan kognitif lain karena

4
merupakan bagian fisiologis otak khusus untuk memeroleh bahasa. Penguasaan bahasa
serta sistem bahasa yang rumit dalam waktu singkat akan mustahil tanpa hadirnya
LAD, selain itu LAD juga memungkinkan seseorang untuk membedakan mana bunyi
bahasa dan mana yang bukan bunyi bahasa.
Dari pemaparan di atas tidak heran apabila kelompok ini tidak menganggap
penting pengaruh lingkungan di sekitar karena manusia secara genetis memiliki
kemampuan lingual yang dapat terbuka perlahan. Menurut Sudipa mengutip pendapat
dari Purwo (1989:5) bahwa bahasa merupakan pemberian biologis yang sering disebut
sebagai ‘hipotesa pemberian alam’. Hal ini senada dengan Chomsky yang berpendapat
bahwa anak yang lahir ke dunia ini telah membawa kapasitas atau potensi bahasa
(Sudipa, 2007:8).
Chaer mengutip pernyataan Chomsky (1965, 1975) yang melihat bahwa
bahasa bukan hanya kompleks tapi juga penuh dengan kesalahan dan penyimpangan
kaidah pada pengucapan atau pelaksanaan bahasa (performance). Dengan demikian
sangatlah tidak mungkin jika seseorang mempelajari bahasa pertamanya dengan meniru
apa yang diucapkan oleh orang lain. Justru kemampuan berbahasa seseorang terbentuk
sebagai hasil dari latihan pengetahuan dan potensi kebahasaan yang mereka miliki
seiring berjalannya waktu.

2.2. Teori Behavioristik


Kaum mentalistik bukanlah satu-satunya yang ingin menyumbangkan idenya
dalam pemerolehan bahasa pada manusia. Kaum behavioristik muncul sebagai
“saingan” kaum mentalistik. Jika kaum mentalistik tidak menghiraukan adanya
pengaruh lingkungan terhadap pemerolehan bahasa seseorang, kaum behavioristik
justru berfikir sebaliknya bahwa pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar si
anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui lingkungan (Chaer, 2009:222).
Salah satu linguis terkenal dalam kelompok ini adalah B.F. Skinner yang berpendapat
bahwa anak-anak memeroleh bahasa melalui hubungan dengan lingkungan, dengan
jalan meniru dalam frekuensi yang berulang-ulang suatu kata atau ujaran dan akhirnya
akan mendapat pengukuhan sehingga anak lebih berani menghasilkan kata atau urutan
kata (Sudipa, 2007:9). Selain itu, Skinner berpendapat bahwa kaidah bahasa bukanlah
hal utama yang dikuasai anak-anak ketika berbicara karena mereka belum dapat
mengerti dan mengungkap kaidah bahasa yang cukup rumit, melainkan mereka
dibentuk oleh pengaruh dari luar dirinya.

5
Teori behavioristik sangat erat kaitannya dengan hipotesis tabularasa.
Menurut Chaer (2009:172) tabularasa berarti kertas kosong, dalam arti belum ditulisi
apa-apa. Maksud dari hipotesis ini adalah ketika baru lahir otak manusia layaknya
kertas kososng yang nantinya akan diisi dengan pengalaman-pengalaman yang
diberikan oleh lingkungannya. Metode dalam teori behavioristik menjelaskan
perubahan tingkah laku dengan adanya stimulus (S) dan respon (R) dimana ujaran yang
dihasilkan merupakan hasil dari stimulus yang diberikan selama proses pemerolehan
bahasa.

2.3. Teori Kognitif


Kelompok ketiga yang muncul adalah kelompok kognitif yang percaya bahwa
bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah melainkan salah satu di antara
beberapa kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif (Sudipa, 2007:10). Kaum
kognitif selalu dihubungkan dengan seorang linguis besar, yakni Jean Piaget. Piaget
memandang bahasa sebagai hasil struktur dari nalar, oleh karena itu urutan
perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa (Chaer, 2009:223).
Piaget menegaskan bahwa struktur bahasa timbul karena adanya interaksi yang terus-
menerus antara fungsi kognitif anak dengan lingkungannya. Dengan demikian struktur
bahasa yang diperoleh oleh anak bukanlah karena faktor biologis maupun faktor
lingkungan, tetapi murni karena faktor kognitif dari anak itu sendiri.

3. HASIL DAN DISKUSI


Dikurung dan diisolasi dari dunia luar, tidak ada interaksi, tidak ada sosialisasi
dengan orang lain bahkan keluarganya sendiri. Begitulah gambaran kehidupan Genie
Wiley seorang anak asal Loas Angeles, Amerika Serikat yang selama 13 tahun disekap
di dalam kamarnya yang cukup gelap, tanpa suara, terikat dengan strap pada sebuah
kursi. Hal ini membuat Genie mengalami fenomena kemunduran dalam pemerolehan
bahasa pertama (first language acquisition) yang sudah melampaui periode sensitif.
Ada berbagai aspek yang harus diperhatikan terkait kasus Genie Wiley, pertama
berbagai tahapan dalam pemerolehan bahasa, bagaimana fenomena Genie melanggar
ketiga teori pemerolehan bahasa yang ada.

3.1. Tahapan Pemerolehan Bahasa

6
Sejak bayi manusia telah melalui beberapa tahap pemerolehan bahasa,
meskipun yang terdengar awalnya hanyalah suara-suara abstrak. Melalui suara-suara
inilah bayi dapat berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya, sehingga dapat
ditekankan bahwa meski bayi tidak bisa berbahasa, mereka tetap bisa berkomunikasi
dengan orang-orang disekitarnya, misalnya dengan tangisan, senyuman, atau gerak-
gerik tubuh (Chaer, 2009:30). Mengutip pernyataan Purwo (1989), Chaer membagi
tahap perkembangan bahasa menjadi dua, yakni tahap perkembangan artikulasi dan
tahap perkembangan kata dan kalimat. Berikut adalah beberapa tahapan dalam
pemerolehan bahasa yang terlewatkan oleh Genie karena penyekapannya:

3.1.1. Tahap Perkembangan Artikulasi


1. Bunyi Resonansi
Tahap ini ditandai dengan ‘kenyut-telan’ (Sudipa, 2007:11). Aktifitas ini
merupakan gerak refleks (di luar kendali bayi) yang ritmis dan terjadi di dalam rongga
mulut. Dalam melakukan kenyut-telan bayi harus menutup rongga hidung dengan
menaikkan velum lalu membuat ruang kosong di rongga mulut dengan menurunkan
rahang bawah sesudah rongga hidung tertutup. Kemudian dilanjutkan dengan sedikit
membuka mulut sambil memonyongkannya sambil menarik lidahnya ke dalam.
Kegiatan ini pada awalnya sangat sulit dilakukan oleh bayi, namun seiring
perkembangan rongga mulut dan organ-organ pada mulut, mereka dapat mengenyut
dan menelan dengan baik hingga akhirnya mencapai usia tiga tahun. Pada usia ini
seorang anak dapat menelan dengan lancar dan benar. Pada tahap ini, tidak jarang
bayi akan menghasilhkan bunyi yang disebut “kuasi resonansi” berupa bunyi bukan
tangis yang dihasilkan melalui rongga hidung sehingga agak berbunyi nasal.

2. Bunyi Berdekut (Cooing)


Bunyi ini dihasilkan pada usia dua bulan yang biasanya diiringi dengan suara
tawa. Bunyi yang sebenarnya dihasilkan adalah bunyi konsonan yang dihasilkan
dalam sekali hembusan nafas atau “kuasi konsonan”. Bunyi yang kerap dihasilkan
adalah bunyi konsonan hambat velar yang mirip dengan [k] dan [g].

3. Bunyi Berleter (Babbling)


Menurut Chaer (2009:231) berleter adalah mengeluarkan bunyi yang terus
menerus tanpa tujuan. Bayi mulai berleter pada usia empat sampai enam bulan. Saat
berleter bayi mulai mencoba membuat berbagai macam bunyi karena sudah bisa

7
memanfaatkan organ-organ pembuat bunyi. Bunyi yang lazim dihasilkan adalah bunyi
vokal yang mirip bunyi [a]. Selain menghasilkan bunyi vokal, bunyi lain seperti bunyi
bilabial dan bunyi yang mirip dengan bunyi frikatif juga dihasilkan.

4. Bunyi Vokabel
Bunyi vokabel adalah bunyi yang hampir menyerupai kata, tetapi tidak
mempunyai arti, dan bukan merupakan tiruan dari orang dewasa (Chaer, 2009:233).
Bunyi ini dihasilkan oleh bayi berusia 11 sampai dengan 14 bulan. Bunyi vokabel
terdiri dari (1) satu vokal atau vokal yang diulang, (2) nasal yang silabis, (3) frikatif
yang silabis, dan (4) rangkaian konsonan vokal, dengan atau tanpa reduplikasi.

3.1.2. Tahap Perkembangan Kata dan Kalimat


Tahap ini dimulai pada pengucapan kata pertama yang sangat ditentukan oleh
penguasaan artikulasi, dan oleh kemampuan mengaitkan kata dengan benda yang
menjadi rujukannya. Anak belajar mengucapkan kata sebagai suatu keseluruhan,
tanpa memerhatikan fonem kata-kata satu per satu (Purwo, 1989). Kemudian
dilanjutkan dengan kalimat satu kata, dimana kalimat ini terbentuk saat anak berhasil
mengucapkan kata pertama yang disusul oleh kata kedua, ketiga, keempat, dan
seterusnya. Kata-kata yang mampu diucapkan anak meliputi kata-kata suku satu atau
dua suku kata berupa rangkaian VK, KV, atau KVKV Kalimat satu kata atau yang
lazim disebut holofrasis dianggap bukan kalimat oleh para ahli. Bagi mereka, kalimat
terbentuk apabila anak mampu untuk menggabungkan minimal dua kata yang terjadi
pada fase kalimat dua kata. Pada fase ini anak sudah bisa mengucapkan sebuah
kalimat yang terdiri dari dua kata. Kemampuan ini terjadi saat anak berusia menjelang
18 bulan. Biasanya kalimat yang diucapkan berpola agen+aksi seperti mommy come;
aksi+objek seperti drive car; aksi+lokasi seperti go park; entittas+lokasi seperti cup
table; pemilik termilik seperti my teddy; entitas+atribut seperti box shinny; dan
penunjuk+entitas seperti that money (Bloom (1973) dn Brown (1973), dalam Chaer
(2009:235).

8
3.2. Kasus Genie Wiley dalam Kaitannya dengan Teori-Teori Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa pada Genie Wiley memang terbilang cukup unik karena
terjadi setelah melewati periode kritis atau periode sensitif pemerolehan bahasa.
Sebagai konsekuensinya, setelah melewati usia 13 tahun, struktur bahasa Genie masih
sangat sederhana dan kesulitan dalam membuat kalimat pasif dan kalimat-kalimat
rumit lainnya. Bahkan kemampuan berbahasanya hanya dapat disetarakan dengan
anak berusia satu tahun. Kasus Genie dapat digambarkan dengan tabel di bawah ini:

Grafik 1 Kemampuan otak manusia dalam menerima informasi berdasarkan usia

Grafik ini menunjukkan bahwa semakin muda usia seseorang, kemampuannya


menerima informasi dan menyesuaikan pada perubahan semakin baik, sebaliknya
semakin tua seseorang, maka kemampuan ini akan menurun. Genie yang baru
mengenal dan memelajari bahasa pada usia 13 tahun, telah berada pada area grafik
merah dimana otaknya sudah mulai susah untuk menerima informasi dan memerlukan
usaha yang lebih banyak untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada.
Apabila dilihat dari teori-teori pemerolehan bahasa, kasus Genie telah
melenceng dari masing-masing teori itu. Pertama, berdasarkan teori mentalistik atau
nativistik yang percaya bahwa bahasa dapat dikuasai karena adanya kemampuan
alami yang dibawa oleh masing-masing orang sejak lahir. Pada Genie, hal ini tidak
ditemukan karena Genie tidak pernah mengenal bunyi selama 13 tahun hidupnya.
Selayaknya anak-anak normal lain, Genie pasti memiliki Langage Acquisition Device
(LAD) atau piranti pemerolehan bahasa. Piranti ini memiliki fungsi, salah satunya
adalah untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi lain. Karena kondisinya
yang hidup dalam isolasi tanpa interaksi dan suara, Genie tidak pernah bisa
membedakan antara bunyi bahasa dan bunyi bukan bahasa, lebih buruk lagi Genie

9
bahkan tidak mengenal sama sekali bunyi yang ada di sekitarnya. Kondisi inilah yang
menyebabkan kemampuan atau kapasitas bahasa Genie tidak berkembang.
Kedua, berdasarkan teori behavioristik yang percaya bahwa bahasa diperoleh
oleh anak berdasarkan lingkungan, tidak ditemukan adanya pengaruh lingkungan pada
Genie karena kondisinya yang hidup tanpa interkasi dan sosialisasi. Teori ini
menekankan adanya sistem stimulus (S) dan respon (R) serta menganut kepercayaan
bahwa anak-anak mendapat kemampuan berbahasa dari lingkungan melalui proses
pengulangan dan peniruan. Bagi Genie, tentu hal ini tidak mungkin dilakuka selama
masa isolasi 13 tahun tersebut. Genie tidak pernah berinteraksi dengan orang lain
bahkan orang tuanya sendiri. Sehingga tidak ada stimulus dari lingkungannya.
Dengan absennya stimulus, maka tidak akan ada respon dari anak. Selain itu, Genie
juga tidak bisa mengulangi apa yang dikatakan oleh orang-orang di sekitarnya,
sehingga proses pemerolehan bahasa melalui pengulangan dan peniruan tidak terjadi.
Alhasil Genie tidak dapat menguasai bahasa pertamanya selama 13 tahun.
Selain melalui potensi bahasa dan lingkungan, Genie juga kehilangan
kesempatannya untuk memeroleh bahasa melalui kematangan kognitifnya. Aspek ini
berkaitan dengan teori terakhir yakni teori kognitivisme yang percaya bahwa
kemampuan berbahasa merupakan bagian dari kematangan kognitif. Bahasa
merupakan seseuatu yang rumit dan dalam penggunaannya banyak terjadi kesalahan
atau kekeliruan sekalipun oleh orang dewasa yang sudah biasa berbahasa. Dengan
demikian, sangat sulit untuk seorang anak bisa berbahasa dengan baik dan benar
apabila meniru penggunaan bahasa pada orang dewasa. Pada kasus Genie, hal ini juga
tidak dapat ditemukan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Genie tidak
mendapatkan stimulus dari lingkungannya selama 13 tahun, dimana masa ini telah
melewati periode sensitif atau kritis pemerolehan bahasa. Setelah keluar dari isolasi
Genie diajarkan berbahasa, namun yang terjadi adalah Genie memperlihatkan
kemampuan yang kurang baik dalam tes kalimat pasif dan aktif (Fromkin, dkk
(1974)) dan hasilnya cenderung menyimpang dibandingkan dengan anak-anak normal
pada umumnya. Kalimat yang bisa dibuat hanyalah kalimat sederhana, seperti saat dia
mengingat apa yang telah ayahnya lakukan padanya:

“Father hit arm. Big wood. Genie cry…Not spit. Father. Hit face — spit. Father hit
big stick. Father is angry. Father hit Genie big stick. Father take piece wood hit. Cry.
Father make me cry.”

10
(Ayah memukul lengan. Kayu besar. Genie menangis.....tidak meludah. Ayah.
Memukul wajah-meludah. Ayah memukul tongkat besar. Ayah marah. Ayah
memukul Genie tongkat besar. Ayah mengambil sepotong kayu memukul. Menangis.
Ayah membuatku menangis.)

Susan Curtiss, seorang linguis yang meneliti Genie saat itu memaparkan
bahwa

“She has tons of words, she has an enormous vocabularies. But language is not
words, language is grammar, language is senses...”

(Dia memiliki ribuan kata, dia memiliki kosakata yang banyak sekali. Tetapi bahasa
bukanlah kata, bahasa adalah tata bahasa, bahasa adalah indera)

Genie memiliki kendala dalam merangkai kata. Semua ini tidak dapat lepas dari
trauma Genie yang turut menyebabkan dia berhenti berkembang secara linguistik.
Ketidakmampuan Genie dalam berkomunikasi secara sintaksis ini menunjukkan
bahwa meskipun setelah periode sensitif Genie dapat menguasai banyak kosakata,
namun Genie tidak bisa merangkai kosakata tersebut menjadi sesuatu yang bermakna.
Hanya rangkaian kalimat yang sangat sederhana yang dapat dibuatnya. Hal inilah
yang membuktikan bahwa ketiga teori pemerolehan bahasa dan periode sensitif benar
adanya dan Genie telah melewatkan kesempatan untuk menguasai bahasa secara
normal sebagaimana manusia lainnya.

4. SIMPULAN
Pemerolehan bahasa merupakan fase yang penting dalam kehidupan setiap
manusia normal. Tetapi sayangnya Genie tidak seberuntung anak-anak lain. Genie telah
menunjukkan pada kita bahwa periode sensitif benar adanya dan sangat memengaruhi
seberapa baik pemerolehan bahasa seseorang. Genie telah melewati periode sensitif
pemerolehan bahasa sehingga akhirnya pemerolehan bahasanya tidak sebagus anak-
anak lain seusianya. Kasus ini pun menunjukkan bahwa ketiga teori pemerolehan
bahasa sama-sama berkontribusi dalam meneliti dan mengungkap fenomena
pemerolehan bahasa pertama pada anak.

5. DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. (2009). Psikolinguistik-Kajian Teoritik. Jakarta:PT: Rineka Cipta

11
Fromkin, Victoria et.al. (1974). The Development of Language in Genie: a Case of
Language Acquisition beyond the “Critical Period”. BRAIN AND LANGUAGE
1,81-107

https://www.dailymail.co.uk/health/article-5043215/Brain-scans-toddlers-reveal-
impact-childhood-neglect.html (diakses pada 20 Mei 2020).

https://www.uibk.ac.at/anglistik/staff/herdina/kursunterlagen/the-critical-period-
hypothesis-cph.pdf (diakses pada 20 Mei 2020)

Mahsun. (2005). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Moskovsky, Christo. (2001). The Critical Period Hypothesis Revisited. Australia:


Proceedings of the 2001 Conference of the Australian Linguistic Society
(Diunduh dari http://www.als.asn.au/proceedings/als2001/moskovsky.pdf pada
20 Mei 2020)

Muslich, Masnur. Pemerolehan Bahasa Pertama. Diunduh dari


http://repository.ut.ac.id/4734/1/PBIN4103-M1.pdf

Nilamsari, Natalina. (2014). Memahami Studi Dokumen dalam Penelitian Kualitatif.


Wacana Volume XIII No.2, Juni 2014.

Sudaryanto. (2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanatana
Dharma University Press.

Sudipa, I Nengah. (2007). Dimensi Pemerolehan Bahasa dan Kaitannya dengan


Belajar Bahasa Inggris. Badung: Orasi Ilmiah Pengenalan Jabatan Guru Besar
Universitas Udayana.

The Feral Child: Brain Plasticity,


https://sites.psu.edu/intropsychf19grp9/2019/09/19/the-feral-child-brain-
plasticity/ (diakses pada 16 Juni 2020)

Youtube
https://www.youtube.com/watch?v=VjZolHCrC8E (diakses pada 18 Mei 2020)

12

Anda mungkin juga menyukai