Anda di halaman 1dari 4

PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA

1. Pendahuluan
Dalam konteks pemerolehan dan pembelajaran bahasa, pengelompokkan bahasa dibagi dalam; (1) bahasa pertama (first language), (2)
bahasa kedua (second language), dan (3) bahasa asing (foreign language). Bahasa pertama merupakan bahasa yang pertama kali diperoleh oleh
seseorang sejak ia mengenali dan mempelajari serta memahami alam sekitarnya melalui bunyi dan simbol yang diinterpretasi dan diasosiasi dengan
makna tertentu.
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa
pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan
proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi,
pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).
Secara umum pemerolehan bahasa pertama dapat dilakukan melalui penerimaan pesan berupa bunyi-bunyi oleh anak semenjak ia masih bayi.
Seorang anak sudah mampu berkomunikasi dalam usia yang masih terhitung hari, minggu atau bulan. Kegiatan awal seorang bayi adalah meraba,
berceloteh atau menangis. Seorang anak juga bisa mengomunikasikan sejumlah pesan baik secara vokal maupun non vokal. Seluruh aktivitas tersebut
dilakukan secara tidak sadar sebagai upaya untuk mengenali dengan menerima stimulus dan memberikan respon terhadap kondisi-kondisi alam
sekitar.
Kajian proses pemerolehan bahasa menjadi sangat penting dan telah banyak dikaji oleh para ahli pemerolehan dan pembelajaran bahasa.
Skinner yang lebih terkenal dengan aliran behaviorisme dan Chomsky dengan aliran nativisme mempengaruhi hampir seluruh sudut pandang
pembelajar bahasa pertama maupun bahasa kedua.
Mengingat pentingnya kajian tentang proses pemerolehan bahasa pertama yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pemerolehan dan
pembelajaran bahasa, maka makalah ini akan membahas tentang: (1) teori-teori pemerolehan bahasa pertama, (2) tahapan-tahapan pemerolehan
bahasa pertama, dan (3) proses perkembangan bahasa anak.
2. Teori-teori tentang Pemerolehan Bahasa Pertama
a. Teori Behaviorisme
Pada teori behaviorisme memandang bahwa aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati secara langsung dalam hubungan antara
rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Proses pemerolehan bahasa yang efektif dapat melalui upaya membuat reaksi yang tepat terhadap
rangsangan yang diberikan dari luar. Jika mendapat reinforcement, reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan dan terus menerus dilakukan.
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali dapat kita lihat seorang ibu memperbaiki pengucapan bunyi yang keliru seorang anak, sehingga
anak tersebut melakukan mengikuti dan melakukan perulangan-perulangan sehingga menjadi kebiasaan. Misalnya; seorang anak mengucapkan
“bilangkali” untuk kata “barangkali”. Si anak tersebut lalu dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata tersebut. Ketika si anak
mengucapkan barangkali dengan tepat, dan dia tidak mendapat kritikan karena pengucapannya sudah benar, dalam keadaan seperti ini, anak tersebut
dapat dikatakan telah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.
Skinner merupakan tokoh aliran behaviorisme yang lebih dikenal dengan karyanya dalam buku Verbal Behavior (1957) yang digunakan
sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini. Berdasarkan aliran behaviorisme, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu
organisme. Berdasarkan pendapat Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha
menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada
reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.
Sejalan dengan perkembangan pengkajian terhadap pemerolehan bahasa, banyak kritikan terhadap aliran behaviorisme. Chomsky
menyatakan bahwa teori yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru yang diucapkan untuk
pertama kali dan inilah yang kita kerjakan tiap hari.
Pada faktanya aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat disederhanakan menjadi hubungan stimulus-response. Hal tersebut
kurang tepat karena tidak semua perilaku yang muncul dalam diri manusia berasal dari stimulus-response.
b. Teori Nativisme
Aliran nativisme dipelopori oleh Chomsky yang menganggap bahwa bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin
dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat tersebut didasarkan pada beberapa asumsi yang mendasar antara lain: (1) perilaku berbahasa adalah
sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan
memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa; (2) bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif singkat, dan (3) lingkungan bahasa anak
tidak dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa.
Berdasarkan aliran nativisme, bahasa dipandang sebagai sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga mustahil dapat dikuasai dalam waktu
yang singkat melalui “peniruan”. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh
bahasa (language acquisition device). Bahasa yang diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitarnya. Seorang anak
yang dibesarkan di lingkungan Amerika Serikat sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya.
Setiap anak yang normal mampu belajar bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini
tidak memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat “makanan” sebagaimana biasanya sehingga alat ini tidak bisa mendapat bahasa
pertama sebagaimana lazimnya seperti anak yang dipelihara oleh serigala (Baradja, 1990:33).
Dengan demikian, tanpa LAD, seorang anak tidak akan dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem bahasa
yang rumit. Keberadaan LAD juga membantu seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi bahasa sehingga tidak keliru dalam
menerima bunyi bahasa dan bunyi selain bahasa.
c. Teori Kognitivisme
Salah satu tokoh yang popular dalam aliran kognitivisme adalah Piaget. Aliran kognitivisme memandang bahwa, bahasa bukanlah suatu ciri
alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa diatur oleh nalar melalui
proses penalaran. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-
urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223).
Pendapat diatas berbeda dengan pandangan Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat
menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Berdasarkan padangan teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah
perkembangan kognitif, kemudian pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Sejak hari pertama dilahirkan sampai 18 bulan,
bahasa dianggap belum ada. Seorang anak hanya memahami dunia melalui indranya, dia hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung, hingga
pada usia satu tahun, anak sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan simbol untuk
mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol-simbol yang dikenalinya kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang
diucapkan anak.
d. Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajaran dan
lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan “input” dan kemampuan internal yang dimiliki
pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa
tertentu secara otomatis.
Sebenarnya, menurut hemat penulis, faktor intern dan ekstern dalam pemerolehan bahasa pertama oleh sang anak sangat mempengaruhi.
Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh
berbagai penemuan seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan.
Salah satu kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk., 2006: 2-3). Akan tetapi, yang tidak dapat dilupakan adalah
lingkungan juga faktor yang memperngaruhi kemampuan berbahasa si anak. Banyak penemuan yang telah membuktikan hal ini.
2. Tahap-tahap Pemerolehan Bahasa Pertama

1
Perlu untuk diketahui adalah seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa B1 dalam otaknya dan lengkap dengan semua
kaidahnya. B1 diperolehnya dalam beberapa tahap dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa. Menurut para
ahli, tahap-tahap ini sedikit banyaknya ada ciri kesemestaan dalam berbagai bahasa di dunia.
Pengetahuan mengenai pemerolehan bahasa dan tahapnya yang paling pertama di dapat dari buku-buku harian yang disimpan oleh orang
tua yang juga peneliti ilmu psikolinguistik. Dalam studi-studi yang lebih mutakhir, pengetahuan ini diperoleh melalui rekaman-rekaman dalam pita
rekaman, rekaman video, dan eksperimen-eksperimen yang direncanakan. Ada sementara ahli bahasa yang membagi tahap pemerolehan bahasa ke
dalam tahap pralinguistik dan linguistik.
Akan tetapi, pendirian ini disanggah oleh banyak orang yang berkata bahwa tahap pralinguistik itu tidak dapat dianggap bahasa yang
permulaan karena bunyi-bunyi seperti tangisan dan rengekan dikendalikan oleh rangsangan (stimulus) semata-mata, yaitu respons otomatis anak pada
rangsangan lapar, sakit, keinginan untuk digendong, dan perasaan senang. Oleh karena itu, tahap-tahap pemerolehan bahasa yang dibahas dalam
makalah ini adalah tahap linguistik yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) tahap pengocehan (babbling); (2) tahap satu kata (holofrastis); (3) tahap
dua kata; (4) tahap menyerupai telegram (telegraphic speech).
2.1 Vokalisasi Bunyi
Berdasarkan hasil penelitian, pada usia sekitar 6 minggu, bayi mulai mengeluarkan bunyi-bunyi dalam bentuk teriakan, rengekan, dengkur.
Bunyi yang dikeluarkan oleh bayi mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Akan tetapi, bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena
memang belum terdengar dengan jelas. Sehubungan dengan bunyi tersebut, Fromkin dan Rodman (1993:395) menyatakan bahwa bunyi tersebut tidak
dapat dianggap sebagai bahasa. Sebagian ahli menyebutkan bahwa bunyi yang dihasilkan oleh bayi ini adalah bunyi-bunyi prabahasa/dekur/vokalisasi
bahasa/tahap cooing. Demikian halnya yang dinyatakan oleh Grady dan Drobolvsky. Kedua ahli ini menyebutkan bahwa tahap celoteh ini bukanlah
bagian dari proses pemerolehan bahasa. “All of this suggests that babbling proceeds but isnot actually part of language acquisition process.” (Grady
dan Drobolvsky 1989:272).
Tahap vokalisasi selanjutnya, ditunjukkan dengan kondisi bayi mulai mengoceh (babling). Celoteh merupakan ujaran yang memiliki suku
kata tunggal seperti mu dan da. Namun demikian usia bayi mengoceh tak dapat ditentukan dengan pasti. Mar’at S. (2005:43) menyebutkan bahwa
tahap ocehan ini terjadi pada usia antara 5 dan 6 bulan. Dardjowidjojo (2005: 244) menyebutkan bahwa tahap celoteh terjadi sekitar umur 6 bulan.
Namun demikian, sebagian ahli menyebutkan bahwa celoteh terjadi pada umur 8 sampai dengan 10 bulan. Perbedaan pendapat seperti ini dapat
disebabkan oleh kondisi subyek yang diamati yang sangat bervariasi terutama dalam kemampuan anak berceloteh yang sangat tergantung pada
perkembangan neurologinya.
Pada fase celoteh, seorang anak sudah mampu menghasilkan vokal dan konsonan yang berbeda seperti frikatif dan nasal. Bahkan tak jarang
didapati juga anak sudah mulai mencampur konsonan dengan vokal. Celotehan dimulai dengan bunyi konsonan dan diikuti dengan bunyi vokal.
Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah K-V.
Ciri lain dari celotehan adalah pada usia sekitar 8 bulan, stuktur silabel K-V ini kemudian diulang sehingga akan tampak struktur sebagai berikut:

K1V1- K1V1- K1V1…pa-pa-pa ma-ma-ma ba-ba-ba ta-ta-ta….

Kebanyakan orang mengaitkan kata papa dengan ayah dan mama dengan ibu meskipun apa yang ada di benak tidaklah kita ketahui. Tidak
mustahil celotehan itu hanyalah sekedar artikulatori belaka (Djardjowidjojo, 2005:245).
Setelah melewati periode mengoceh, anak mulai menguasai segmen-segmen fonetik yang merupakan balok bangunan yang dipergunakan
untuk mengucapkan perkataan. Mereka belajar bagaimana mengucapkan sequence of segmen, yaitu silabel-silabel dan kata-kata. Cara anak-anak
mencoba menguasai segmen fonetik ini adalah dengan menggunakan teori hypothesis-testing (Clark & Clark dalam Mar’at 2005:43). Menurut teori
ini anak-anak menguji coba berbagai hipotesis tentang bagaimana mencoba memproduksi bunyi yang benar.
Pada tahap-tahap permulaan pemerolehan bahasa, biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan sebagai
berikut:
(1) menghilangkan konsonan akhir
blumen bu
boot bu
(2) mengurangi kelompok konsonan menjadi segmen tunggal:
batre bate
bring bin
(3) menghilangkan silabel yang tidak diberi tekanan
kunci ti
semut emut
(4) reduplikasi silabel yang sederhana
pergi gigi
nakal kakal
Mennurut Mar’at (2005:46-47) berdasarkan beberapa hipotesis, penyederhanaan ini disebabkan oleh memory span yang terbatas,
kemampuan representasi yang terbatas, kepandaian artikulasi yang terbatas. Tahapan celoteh ini penting bagi perkembangan bahasa anak, karena
anak mulai belajar menggunakan bunyi-bunyi ujaran yang benar dan membuang bunyi ujaran yang salah. Pada tahap tersebut, anak mulai menirukan
pola-pola intonasi kalimat yang diucapkan oleh orang dewasa.
2.2 Tahap Satu-Kata atau Holofrastis
Tahap holofrastis berlangsung pada anak usia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak
untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang
untuk makna yang sama. pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata
yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini disebut tahap satu kata satu frase atau kalimat, yang berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak itu
merupakan satu konsep yang lengkap, misalnya “mam” (Saya minta makan); “pa” (Saya mau papa ada di sini), “Ma” (Saya mau mama ada di sini).
Mula-mula, kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi sesudah lebih dari satu tahun, “pa” berarti juga “Di mana
papa?” dan “Ma” dapat juga berarti “Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama”.
Menurut pendapat beberapa peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai tiga fungsi, yaitu kata-kata itu dihubungkan dengan
perilaku anak itu sendiri atau suatu keinginan untuk suatu perilaku, untuk mengungkapkan suatu perasaan, untuk memberi nama kepada suatu benda.
Dalam bentuknya, kata-kata yang diucapkan itu terdiri dari konsonan-konsonan yang mudah dilafalkan seperti m,p,s,k dan vokal-vokal seperti a,i,u,e.
2.3 Tahap Dua-Kata, Satu Frase
Tahap ini berlangsung ketika anak berusia 18-20 bulan. Ujaran-ujaran yang terdiri atas dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa
ikut. Kalau pada tahap holofrastis ujaran yang diucapkan si anak belum tentu dapat ditentukan makna, pada tahap dua kata ini, ujaran si anak harus
ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Pada tahap ini pula anak sudah mulai berpikir secara “subjek + predikat” meskipun hubungan-hubungan seperti
infleksi, kata ganti orang dan jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek + predikat dapat terdiri atas kata benda + kata benda,
seperti “Ani mainan” yang berarti “Ani sedang bermain dengan mainan” atau kata sifat + kata benda, seperti “kotor patu” yang artinya “Sepatu ini
kotor” dan sebagainya.
2.4 Tahap Ujaran Telegrafis
Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word utterances) atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak
juga sudah mampu membentuk kalimat dan mengurutkan bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan pesat mencapai
beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan bahasa orang dewasa. Contoh dalam tahap ini diberikan oleh Fromkin dan
Rodman.
“Cat stand up table” (Kucing berdiri di atas meja);
“What that?” (Apa itu?);

2
“He play little tune” (dia memainkan lagu pendek);
“Andrew want that” (Saya, yang bernama Andrew, menginginkan itu);
“No sit here” (Jangan duduk di sini!)
Pada usia dini dan seterusnya, seorang anak belajar B1-nya secara bertahap dengan caranya sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa
seorang anak dari usia dini belajar bahasa dengan cara menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993:403) menyebutkan hasil peniruan yang
dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang dewasa meminta sang anak untuk menyebutkan “He’s
going out”, si anak akan melafalkan dengan “He go out”. Ada lagi teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan
(reinforcement), artinya kalau seorang anak belajar ujaran-ujaran yang benar, ia mendapat penguatan dalam bentuk pujian, misalnya bagus, pandai,
dsb. Akan tetapi, jika ujaran-ujarannya salah, ia mendapat “penguatan negatif”, misalnya lagi, salah, tidak baik. Pandangan ini berasumsi bahwa anak
itu harus terus menerus diperbaiki bahasanya kalau salah dan dipuji jika ujarannya itu benar.
Teori ini tampaknya belum dapat diterima seratus persen oleh para ahli psikologi dan ahli psikolinguistik. Yang benar ialah seorang anak
membentuk aturan-aturan dan menyusun tata bahasa sendiri. Tidak semua anak menunjukkan kemajuan-kemajuan yang sama meskipun semuanya
menunjukkan kemajuan-kemajuan yang reguler.
Selain tahap pemerolehan bahasa yang disebutkan di atas, ada juga para ahli bahasa seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap
pemerolehan bahasa anak.
Tahap 1: Mendengkur
Tahap ini mulai berlangsung pada anak usia sekitar enam minggu. Bunyi yang dihasilkan mirip dengan vokal tetapi tidak sama dengan
bunyi vokal orang dewasa.
Tahap 2: Meraban
Tahap ini berlangsung ketika usia anak mendekati enam bulan. Tahap meraban merupakan pelatihan bagi alat-alat ucap. Vokal dan
konsonan dihasilkan secara serentak.
Tahap 3: Pola intonasi
Anak mulai menirukan pola-pola intonasi. Tuturan yang dihasilkan mirip dengan yang diucapkan ibunya.
Tahap 4: Tuturan satu kata
Pada umur satu tahun sampai delapan belas bulan anak mulai mengucapkan tuturan satu kata. Pada usia ini anak memperoleh sekitar lima
belas kata meliputi nama orang, binatang, dan lain-lain.
Tahap 5: Tuturan dua kata
Umumnya pada usia dua setengah tahun anak sudah menguasai beberapa ratus kata. Tuturan hanya terdiri atas dua kata.
Tahap 6: Infleksi kata
Kata-kata yang dianggap remeh dan infleksi mulai digunakan. Dalam bahasa Indonesia yang tidak mengenal istilah infleksi, mungkin
berwujud pemerolehan bentuk-bentuk derivasi, misalnya kata kerja yang mengandung awalan atau akhiran.
Tahap 7: Bentuk Tanya dan bentuk ingkar
Anak mulai memperoleh kalimat tanya dengan kata tanya seperti apa, siapa, kapan, dan sebagainya. Di samping itu anak juga sudah
mengenal bentuk ingkar.
Tahap 8: Konstruksi yang jarang atau kompleks
Anak sudah mulai berusaha menafsirkan meskipun penafsirannya dilakukan secara keliru. Anak juga memperoleh kalimat dengan struktur
yang rumit, seperti pemerolehan kalimat majemuk.

Tahap 9: Tuturan yang matang


Pada tahap ini anak sudah dapat menghasilkan kalimat-kalimat seperti orang dewasa.
3. Perkembangan Pemerolehan Bahasa
3.1 Fonologi
Seorang anak menggunakan bunyi-bunyi yang telah dipelajarinya dengan bunyi-bunyi yang belum dipelajari, misalnya menggantikan bunyi
/l/ yang sudah dipelajari dengan bunyi /r/ yang belum dipelajari. Pada akhir periode berceloteh, anak sudah mampu mengendalikan intonasi, modulasi
nada, dan kontur bahasa yang dipelajarinya.
3.2 Morfologi
Pada usia 3 tahun anak sudah membentuk beberapa morfem yang menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan.
Kesalahan gramatika sering terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. Anak terus memperbaiki
bahasanya sampai usia sepuluh tahun.
3.3 Sintaksis
Anak-anak mengembangkan tingkat gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui beberapa tahap, yaitu melalui peniruan, melalui
penggolongan morfem, dan melalui penyusunan dengan cara menempatkan kata-kata secara bersama-sama untuk membentuk kalimat. Alamsyah
(2007:21).
3.4 Semantik
Anak menggunakan kata-kata tertentu berdasarkan kesamaan gerak, ukuran, dan bentuk. Misalnya, anak sudah mengetahui makna kata jam.
Awalnya anak hanya mengacu pada jam tangan orang tuanya, namun kemudian dia memakai kata tersebut untuk semua jenis jam.
4. Kesimpulan
Pemerolehan bahasa pertama (first language acquisition) adalah proses penguasaan bahasa pertama oleh anak. Dalam tahapan-tahapan
penguasaan bahasa pertama, ada dua proses utama yang terjadi, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini tentu saja
diperoleh oleh anak secara tidak sadar.
Adapun tahapan-tahapan yang dilalui oleh anak dalam memperoleh bahasa pertama meliputi: (1) vokalisasi bunyi, (2) tahap satu-kata atau
holofrastis, (3) tahap dua-kata, (4) ujaran telegrafis. Selain tahap pemerolehan bahasa seperti yang telah disebutkan ini, ada juga pendapat yang
mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak misalnya; mendengkur, meraban, pola intonasi, tuturan satu kata, tuturan dua kata, infleksi
kata, bentuk tanya dan bentuk ingkar, konstruksi yang jarang atau kompleks, tuturan yang matang. Walaupun terdapat perbedaan dalam hal
pembagian tahap-tahap yang dilalui oleh anak saat memperoleh bahasa pertama, secara eksplisit, pembahasan dalam setiap tahap pemerolehan bahasa
pertama anak memiliki kesamaan, yaitu adanya proses fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik.

Input === Pelan2


Awasi ??? kosakata

3
Referensi
Alamsyah, Teuku. 1997. Pemerolehan Bahasa Kedua (Second Language Acqusition). Diktat Kuliah Program S-2. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Baradja M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa Malang: Penerbit IKIP Malang.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chomsky, Noam. 1975. Reflections and Language. New York: Pantheon Books.
Dardjowidjojo. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Fromkin dan Rodman. 2014. An Introduction to Language. Tenth Edition. Wardsworth. Cengage Learning.
Grady dan Drobolvsky. 1989. Contemporary Linguistics: An Introduction. Toronto: Copp Clark Pitman.
Mar’at. S. 2005. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: PT Rafika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai