Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

Pemerolehan bahasa atau akuisisi Bahasa adalah proses yang berlangsung


di dalam otak seorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya
atau Bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran
bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada
waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua, setelah dia mempelajari
bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama.
Sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan Bahasa kedua.

Berkenaan dengan pemerolehannya bertahap kepada masa pekembangan


Bahasa sejak lahir, serta teori-teori dan tahapan-tahapannya. Maka dari sinilah
disusun makalah dengan Judul “Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa” dengan
pembahasan dari pengertian, Hipotesis Pemerolehan Bahasa, Teori Perkembangan
Bahasa dan Tahap Perkembangan Bahasa. Agar kita semua dapat memahami
dengan baik seputar Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa beserta
pembahasannya.

1
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa

Pemerolehan bahasa (bahasa Inggris: language acquisition)


adalah proses manusia mendapatkan kemampuan untuk menangkap,
menghasilkan, dan menggunakan kata untuk pemahaman dan
komunikasi. Kapasitas ini melibatkan berbagai kemampuan
sepertisintaksis, fonetik, dan kosakata yang luas. Bahasa yang
diperoleh bisa berupa vokal seperti pada bahasa lisan atau manual
seperti pada bahasa isyarat. Pemerolehan bahasa biasanya merujuk
pada pemerolehan bahasa pertama yang mengkaji pemerolehan anak
terhadap bahasa ibu mereka dan bukan pemerolehan bahasa
kedua yang mengkaji pemerolehan bahasa tambahan oleh anak-anak
atau orang dewasa.

Pemerolehan bahasa atau akuisisi Bahasa adalah proses yang


berlangsung di dalam otak seorang kanak-kanak ketika dia
memperoleh bahasa pertamanya atau Bahasa ibunya. Pemerolehan
bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa. Pembelajaran
bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu
seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua, setelah dia
mempelajari bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan
dengan bahasa pertama. Sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan
dengan Bahasa kedua.1

Kemunculan bahasa dalam pandangan Michael C. Corballis,


dimulai dari bahasa isyarat, maka dari itu pernyataan: “pokok bahasa
(jauharu al-lughah) ada pada perkataan (kalam)” tidak sepenuhnya
benar. Sebab, secara keseluruhan segala sesuatu bermula dari isyarat

1 Abdul Chaer, Psikolinguistik (Rineka Cipta, Jakarta: 2015) hal:167

2
(ini/itu), terbukti dengan masih adanya beberapa bahasa isyarat yang
masih ada sampai sekarang dan dipahami secara alami oleh semua
manusia di seluruh dunia, seperti isyarat tangan untuk menunjuk
sesuatu, isyarat mata untuk kode tertentu, isyarat kepala untuk
mengiyakan sesuatu dan isyarat-isyarat lain yang menunjukkan
terhadap kalimat-kalimat tertentu yang lain. Karena hakikat bahasa
dalam pandangan Heidegger bukan hanya terfokus pada kata-kata yang
dilafalkan (al-manthûq [Arab]/spoken [Inggris]), tapi juga yang diam
(al-lamanthûq [Arab]/unspoken [Inggris]).2

Perkembangan bahasa adalah meningkatnya kemampuan


penguasaan alat berkomunikasi, baik alat komunikasi dengan cara
lisan, tertulis, maupun dengan tanda-tanda dan isyarat.
Penggunaan bahasa menjadi efektif sejak seseorang memerlukan
komunikasi dengan orang lain. Sejalan dengan perkembangan
hubungan sosial, maka perkembangan seseorang (bayi-anak) di mulai
dengan meraba (suara atau bunyi tanpa arti) dan diikuti dengan bahasa
satu suku kata, dua suku kata, menyusun kalimat sederhana, dan
seterusnya melakukan sosialisasi dengan menggunakan bahasa yang
kompleks sesuai dengan tingkat perilaku sosial.

B. Hipotesis Pemerolehan Bahasa

Adapun hipotesis atau anggapan dasar adalah jawaban sementara


terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus
dibuktikan kebenarannya. Dugaan jawaban tersebut merupakan kebenaran
yang sifatnya sementara, yang akan diuji kebenarannya dengan data yang
dikumpulkan melalui penelitian.3 Adapun hipotesisi dari pemerolehan
Bahasa diantaranya ialah:

2 http://anoeh.multiply.com diakses pada tanggal 17 Maret 2012

3 https://id.wikipedia.org/wiki/Hipotesis

3
1. Hipotesis Nurani Setiap bahasawan (penutur asli bahasa) tentu
mampu memahami dan membuat (menghasilkan, menerbitkan)
kalimat-kalimat dalam bahasanya karena dia telah “menuranikan” atau
“menyimpan dalam nuraninya” akan tata bahasanya itu menjadi
kompetensi (kecakapan) bahasanya, juga telah menguasai
kemampuan-kemampuan performasi (pelaksanaan) bahasa itu. Jadi,
dalam pemerolehan bahasa, jelas yang diperoleh oleh kanak-kanak
adalah kompetensi dan performasi bahasa pertamanya itu. Kemudian
karena tata bahasa itu terdiri dari komponen sintaksis, semantik, dan
fonologi, dan setiap komponen itu berupa rumus-rumus (kaidah-
kaidah), maka ketiga macam rumus inilah yang terlebih dahulu
dikuasai kanak-kanak dalam pemerolehan bahasa. Selain dari rumus-
rumus ketiga komponen tata bahasa itu, untuk bisa memahami dan
membuat kalimat-kalimat, perlu juga terlebih dahulu dikuasai atau
dimiliki rumus-rumus yang mengubah bentuk-bentuk dalam (struktur
dalam) menjadi bentuk luar (struktur luar). Hipotesis nurani
mengatakan bahwa setiap manusia yang berbahasa mampu memahami
dan membuat kalimat dalam bahasanya karena telah “menuranikan”
tata bahasanya menjadi kompetensi bahasanya dan juga menguasai
kemampuan performansi bahasanya. Anak-anak memperoleh
kompetensi dan performansi bahasanya dalam bahasa pertama mereka,
dan karena tata bahasa setiap bahasa terdiri dari komponen sintaksis,
semantik dan fonologi maka ketiga komponen inilah yang pertama
dikuasai anak.
Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan
para pakar terhadap pemerolehan bahasa anak-anak (Lenneberg, 1967,
Chomsky 1970)[2]. Di antara hasil pengamatan tersebut adalah sebagai
berikut: Semua anak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya
apabila ‘diperkenalkan’ dengan bahasa ibunya dan tidak diasingkan
dari kehidupan bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa tidak ada
hubungannya dengan kecerdasan. Pemerolehan bahasa terjadi secara

4
merata baik untuk anak cerdas maupun tidak cerdas. Kalimat yang
didengar anak seringkali tidak gramatikal, tidak lengkap dan sedikit
jumlahnya. Bahasa tidak bisa diajarkan terhadap makhluk lain Proses
pemerolehan bahasa anak-anak erat kaitannya dengan proses
pematangan jiwa anak. Struktur bahasa yang rumit, kompleks, dan
bersifat universal mampu dikuasai anak-anak dalam waktu singkat
yaitu dalam waktu tiga atau empat tahun saja.
2. Hipotesis Tabularasa

Hipotesis ini dikemukakan oleh John Locke, seorang tokoh


empirisme, yang menyatakan bahwa manusia waktu dilahirkan seperti
kertas kosong. Kemudian, teori ini disebarkan oleh Watson seorang
tokoh aliran behaviourisme. Menurut teori tabularasa, semua
pengetahuan bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa
adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik.
Hal ini sejalan dengan aliran behaviourisme yang menganggap
pengetahuan linguistik dibentuk dengan pembelajaran S-R (Stimulus -
Respons). Cara pembelajaran S-R yang terkemuka antara lain
pelaziman klasik, pelaziman operan, dan mediasi.

Skinner menjelaskan berbicara merupakan satu respon operan yang


dilazimkan kepada sesuatu stimulus dari dalam dan dari luar, yang
sebenarnya tidak jelas diketahui. Untuk menjelaskan hal ini Skinner
memperkenalkan sekumpulan kategori respon bahasa yang hamper
serupa dengan ucapan, yaitu mands, tacts, echois, textuals, dan intra
verbal operant.
3. Hipotesis Kesemestaan Kognitif

Hipotesis yang diperkenalkan oleh Piaget ini telah digunakan


sebagai dasar untuk menjelaskan proses-proses pemerolehan bahasa
kanak-kanak. Menurut teori kesemestaan kognitif, bahasa diperolah
berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur
ini diperoleh kanak-kanak melalui interaksi dengan benda-benda atau

5
orang-orang disekitarnya. Urutan pemerolehan tersebut secara garis
besar adalah sebagai berikut : Antara usia 0 sampai 1,5 tahun kanak-
kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara bereaksi terhadap
alam sekitarnya; Setelah struktur aksi dinuranikan, maka kanak-kanak
memaski tahap representasi kecerdasan, yang terjadi antara usia 2
tahun sampai 7 tahun; Setelah tahap represntasi kecerdasan, dengan
represntasi simboliknya, berakhir, maka bahasa anak-anak semakin
berkembang.

Menurut Piaget, ucapan holofrasis pertama selalu menyampaikan


pola-pola yang pada umumnya mengacu pada anak itu sendiri. Oleh
karena itu, Sinclair-de Zwart merumuskan tahap-tahap pemerolehan
bahasa sebagai berikut: Kanak-kanak memilih satu gabungan bunyi
pendek dari bunyi-bunyi yang didengarnya untuk menyampaikan satu
pola aksi; Jika gabungan bunyi pendek ini dipahami, maka kanak-
kanak itu akan memakai seri bunyi yang sama, tetapi dengan bentuk
fonetik yang lebih dekat dengan fonetik orang dewasa, untuk
menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau apabila pola aksi yang
sama dilakukan oleh orang lain; Setelah tahap kedua muncullah
fungsi-fungsi tata bahasa yang pertama yaitu subjek-predikat dan
objek.
Dari penjelasan di atas bisa diketahui bahwa hipotesis kesemestaan
kognitif sejalan dengan hipotesis nurani mekanisme. Perbedaannya
terletak pada nama saja karena dikemukakan oleh dua disiplin ilmu
yang berbeda yang saling mempengaruhi: hipotesis kesemestaan
kognitif oleh psikologi sedangkan hipotesis nurani mekanisme oleh
linguistik modern
C. Teori Perkembangan Bahasa

Penelitian yang dilakukan terhadap perkembangan bahasa anak


tentunya tidak terlepas dari pandangan, hipotess atau teori psikologi yang
dianut. Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya tiga pandangan atau

6
teori dalam perkembangan bahasa anak. Dua pandangan yang
kontroversial dikemukakan oleh para pakar dari Amerika, yaitu pandangan
NATIVISME yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada kanak-
kanak bersifat alamiah (nature), dan pandangan BEHAVIORISME yang
berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada kanak-kanak bersifat
“suapan” (nurture). Pandanan ketiga muncul di Eropa dari Jean Piaget
yang berpendapat bahwa pengusaan bahasa adalah kemampuan yang
berasal dari pematangan kognitif, sehingga pandangannya disebut
KOGNITIVISME. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat ketiga
pandangan tersebut.

1. Teori Nativisme
Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa
hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat
menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan pada
beberapa asumsi. Pertama,perilaku berbahasa adalah sesuatu yang
diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang
sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki
peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat
dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa
anak tidak dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata
bahasa yang rumit dari orang dewasa

Nativisme berpendapat bahwa dalam selama proses pemerolehan


bahasa pertama , kanak-kanak (manusia) sedikit demi sedikt membuka
kemampuan lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan.
Pandangan ini tidak menganggap lingkungan punya pengaruh dalam
pemerolehan bahasa, melainkan menganggap bahwa bahasa
merupakan pemberian biologis, sejalan dengan yang disebut “hipotesis
pemberian alam”

Kaum nativis berpendapat bahwa bahasa itu terlalu kompleks dan


rumit, sehingga mustahil dapat dipelajari dalam waktu singkat melalui
7
metode seperti “peniruan” (imitation). Jadi, pasti ada beberapa aspek
penting mengenai system bahasa yang sudah ada pada manusia secara
alamiah. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir
sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (language
acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan
diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh
masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di
lingkungan Amerika sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa
pertamanya.

Menurut Chomsky anak dilahirkan dengan dibekali “alat


pemerolehan bahasa” (language acquisition device (LAD). Alat ini
yang merupakan pemberian biologis yang sudah diprogramkan untuk
merinci butir-butir yang mungkin dari suatu tata bahasa. LAD
dianggap sebagai bagian fisiologis dari otak yang khusus untuk
memproses bahasa, dan tidak punya kaitan dengan kognitif
lainnya. [2]

McNeill (Brown, 1980: 22) menyatakan bahwa LAD terdiri dari:


(a) kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi
yang lain, (b) kecakapan mengorganisasi satuan linguistik ke dalam
sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian, (c) pengetahuan
tetang sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkin, dan (d)
kecakapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada
penilaian perkembangan sistem linguistik, dengan demikian dapat
melahirkan sistem yang dirasakan mungkin di luar data linguistik yang
ditemukan.

2. Teori Behavioristik

8
Teori behaviorisme memandang bahwa perilaku manusia
merupakan perilaku yang dapat dipelajari dan diamati secara nyata,
dan terbentuk karena dipengaruhi oleh factor eksternal (diluar diri
manusia). Teori ini kemudian diaplikasikan dalam konsep belajar.
Menrut aliran ini, belajar merupakan proses response karena adanya
stimulus/rangsangan yang mendorong adanya perubahan perilaku.
Stimulus belajar dapat berupa motivasi, ganjaran(reward), hukuman
(punishment), dan lingkungan yang kondusif.[3]

Teori Behavioristik pertama kali dimunculkan oleh Jhon B.Watson


(1878-1958). Dia adalah seorang ahli psikologi berkebangsaan
amerika. Dia mengembangkan teori Stimulus-Respons Bond (S – R
Bond) yang telah diperkenalkan oleh Ivan P.Pavlov. Menurut teori ini
tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian
terhadap prilaku, dan sedikitpun tidak ada hubungannya dengan
kesadaran. Yang dikaji adalah benda-benda atau hal-hal yang diamati
secara langsung, yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak
balas(respons) [4]

Kaum behaviorisme menekankan bahwa proses bahas pertama kali


dikendalikan dari luar si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan
melalui lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum behavioris dianggap
kurang tepat karena istilah bahasa itu menyiratakan suatu wujud,
sesuatu yang dimiliki atau digunakan, dan bukan sesuatu yang
dilkaukan. Pedahal bahasa itu merupakan salah satu perilkau, diantara
perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih suka
menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior), agar tampak
lebih mirip dengan perilaku lain yang harus dipelajari.

Menurut kaum behavioris kemampuan berbicara dan memahami


bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkunganya.
Anak dianggap penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak

9
memiliki perana yang aktif di dalam proses perkembangan perilaku
verbalanya. Kaum behavioris bukan hanya tidak mengakui peranan
akatif si anak dalam proses pemerolehan bahasa, malah juga tidak
mengakui kematangan si anak itu. Proses perkemabangan bahasa
terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh
lingkungannya.

Menurut Skinner (1969) kaidah gramatikal atau kaidah bahasa


adalah perilaku verbal yang memungkinkan seorang dapat menjawab
atau mengatakan sesuatu. Namun, kalau kemudian anak dapat
berbicara, bukan lah karena “penguasaan kaiadah (rule-governed)”
sebab anak tidak mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk
secara langsung oleh faktor di luar dirinya.

Kaum behavioris tidak mengakui pandangan bahwa anak mengusai


kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakan ciri-ciri
penting dari bahasa di lingkunganya. Mereka berpendapat rangsangan
(stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa
anak. Perkembangan bahasa mereka pandang ssebagai suatu kemajuan
dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai ke
kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip
pertalian S <->R (stimulus- respons) dan proses peniruan-
peniruan.[5]

Selanjutnya Bell (1981:24) mengungkapkan pandangan aliran


behaviorisme yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan
bagaimanakah sesungguhnya manusia memelajari bahasa, yaitu:

- Dalam upaya menemukan penjelasan atas proses


pembelajaran manusia, hendaknya para ahli psikologi memiliki
pandangan bahwa hal-hal yang dapat diamati saja yang akan
dijelaskan, sedangkan hal-hal yang tidak dapat diamati hendaknya

10
tidak diberikan penjelasan maupun membentuk bagian dari
penjelasan.
- Pembelajaran itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan, yang
diawali dengan peniruan.
- Respon yang dianggap baik menghasilkan imbalan yang
baik pula.Kebiasaan diperkuat dengan cara mengulang-ulang
stimuli dengan begitu sering sehingga respon yang diberikan pun
menjadi sesuatu yang bersifat otomatis.[6]
3. Teori Kognitivisme

Jean piaget (1954) menyatakan bahwa bahasa itu bukanlah


suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu diantara
beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif.
Bahasa distrukturi oleh nalar; maka perkembangan bahasa harus
berlandas pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di
dalam kognisi. Jadi, urut-urutan perkembangan kognitif
menentukan urutan perkembangan bahasa.

Chomsky pernah menyanggah konsep kognitivisme dari Piaget


ini. Beliau menyatakan bahwa mekanisme umum dari
perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa
yang kompleks, abstrak, dan khas itu. Begitu juga lingkungan
berbahasa tidak dapat menjelaskan struktur yang muncul di dalam
bahasa anak. Oleh karena itu, neburut Chomsky, bahasa (sturktur
atau kaidahnya) haruslah diperoleh secara alamiah.

Sebaliknya, Piaget menegeskan bahwa sturuktur yang


kompleks dari bahasa bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam,
dan bukan pula sesuatu yang dipelajari dari lingkungan. Struktur
bahasa itu timbul sebagai akibat interaksi yang terus-menerus
antara tingkat fungsi kognitif si anak dengan lingkungan
kebahasaannya (juga lingkungan lain). Struktur itu timbul secara
tak terelakan dari serangkaian interaksi. Oleh karena itu

11
timbulnyatak terelakan, maka struktur itu tidak perlu tersediakan
secara alamiah.

Kalau Chomsky berpendapat bahwa lingkungan tidak besar


pengaruhnya pada proses pematangan bahasa, maka Piaget
berpendapat bahwa lingkungan juga tidak besar pengaruhnya
terhadap perkembangan intelektual anak. Perubahasn atau
perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada keterlibatan
anak secara akatif dengan lingkungannya.

Bagaimana hubungan antara perkembangan kognitif dan


perkembangan bahasa pada anak dapat kita lihat dari keterangan
Piaget mengenai tahap paling awal dari perkembangan intelektual
anak. Tahap perkembangan dari lahir sampai usia 18 bulan oleh
Piaget disebut sebagai tahap “sensori motor”. Pada tahap ini
dianggap belum ada bahasa karena anak belum menggunakan
lambing-lambang ungtuk menunjuk pada benda-benda di
sekitarnya. Anak pada tahap ini memahami dunia melalui alat
indranya (sensory) dan gerak kegiatan yang dilakukannya (motor).
Anak hanya mengenal benda jika benda itu dialaminya secara
langsung. Begitu benda itu hilang dari penglihatannya maka benda
itu dianggap tidak ada lagi. Menjelang akhir usia satu tahun
barulah anak itu dapat menangkap bahwa objek itu tetap ada
(permanen), meskipun sedang tidak dilihatnya. Sedang dilihat atau
tidak benda itu tetap ada sebagai benda, yang memiliki sifat
permanen.

Sesudah mengerti kepermanenan objek anak mulai


menggunakan symbol untuk mempresentasikan objek yang tidak
lagi hadir di hadapannya. Symbol ini kemudian menjadi kata-kata
awal yang diucapkan si anak. Jadi, menurut pandangan
kognitivisme perkembangan kognitif harus tercapai lebih dahulu;

12
dan baru sesudah itu pengetahuan itu dapat keluar dalam bentuk
ketrampilan berbahasa.[7]

D. Tahap Perkembangan Bahasa

Bayi baru lahir sampai usia satu tahun lazim disebut dengan istilah
infant artinya tidak mampu berbicara; istilah ini memang tepat kalau
dikaitkan dengan kemampuan berbicara atau berbahasa.namun kurang
tepat atau tidak tepat kalau dikaitkan dengan kemampuan berkomunikasi,

1. Tahap perkembangan artikulasi


Tahap ini dilalui bunyi antara sejak lahir sampai kira-kira berusia
14 bulan. Pada bab 13.3 sudah dibicarakan bahwa menjelang usia satu
tahun, bayi dimanapun sudah mampu menghasikan bunyi-bunyi vokal
“aaa”, (dora dkk., 1976; raffler engel, 1973) namun sebenarnya usaha
ke arah menghasilkan bunyi-bunyi itu sudah mulai pada minggu-
minggu sejak kelahiran itu.
a. Bunyi resonasi

Penghasilan bunyi, yang terjadi dalam rongga mulut, tidak


terlepas dari kegiatan dan perkembangan motorik bayi pada bagian
rongga mulut itu. Pada waktu baru lahir pengenyutan dilakukan
dengan gerakan rahang ke atas dan kebawah. Dalam beberapa
minggu kemudian si bayi mulai mengembangkan gerakan
kesamping. Gerakan rahang kedepan dan ke belakang baru terjadi
saat bayi berusia satu tahun.

Untuk mengenyut bayi itu harus menutup rongga hidung


dengan menaikkan volume. Kegiatan yang merepotkan ini akan
semakin lancar waktu si bayi berusia tiga bulan, namun barusia
tiga tahun, si anak dapat melakukan penelanan dengan lancar dan
benar. Bayi yang paling umum yang dapat dibuat bayi adalah bunyi
tangis karena merasa tidak enak atau merasa lapar dan bunyi-bunyi
sebagai bentuk bersin dan serdawa.

13
b. Bunyi berdekut

Bunyi berdekut ini agak mirip dengan dengan bunyi {ooo}


pada burung merpati. Bunyi berdekut ini agak sebenarnya adalah
buyi “kuasi konsonan” yang berlangsung dalam satu embusan
napas, bersamaan dengan seperti bunyi hambat antara velar dan
uvular. Bunyi yang dihasilkan adalah bunyi konsonan belakang dan
tengah dengan vokal belakang, tetapi tanpa resonasi penuh.

c. bunyi berleter

beleter adalah mengeluarkan bunyi yang terus menerus tanpa


tujuan. Berleter ini biasanya dilakukan oleh bayi yang berusia
antara empat sampai enam bulan.

Bayi pada masa usia empat sampai enam bulan sering


mencoba-coba berbagi macam bunyi; dan dia semakin semakin
dapat mengendalikan bagian-bagian orang yang terlibat dalam
mekanisme bunyi. Dengan meningkatkan penguasaan terhadap
lindahnya,dia dapat mengembuskan dan menjulurkan lidahnya
dengan kuat.

Pada masa ini si anak sudah mampu membuat bunyi vokal


yang mirip bunyi [a]. Lalu kemampuannya untuk mengatupkan
bibir memungkinkan dia menghasilkan bunyi labial. Menurut
fergusen (dalam purwo, 1989) hal itu terjadi antara lain, alat-alat
bicara si anak belom sama dengan alat-alat bicara orang dewasa.

d. Bunyi berleter ulang

14
Tahap ini dilalui si anak sewaktu berusia antara enam sampai
sepuluh bulan. Menjelang usia enam bulan si anak dapat
memonyongkan bibir dan menariknya kedalam tampa
menggerakkan rahang. Dua bulan berikutnya dia dapat
mengatupkan bibirnya rapat-rapat selama mengunyah dan menelan
makanan yang agak cair.

Konsonan yang mula-mula dapat di ucapkan adalah bunyi labil


[p] dan [b]. Bunyi letep alveoler [t] dan [d], bunyi nasal dan bunyi
[j]. Bunyinya belom sempurna dan pembentukannya juga agak
lembut.

Kalau bunyi berdekut yang terjadi pada usia antara dua sampai
tiga bulan. Muncul saat anak berinteraksi dengan orang lain, maka
bunyi berleter terjadi atau banyak dilakukan ketika si anak sedang
sendirian, tidak ada orang lain (nakazima, 1975; strak, 1981). Jadi,
pada masa ini si anak memperdengarkan suaranya sendiri. Hal ini
memang penting bagi perkembangan penguasa bahasa selanjutnya.
Bunyi yang terlahir tidak dapat mendengar (tuli), sampai
dengan masa bermain-main dengan bunyi, masih melakukan
kegiatan yang sama dengan bayi yang normal.namun karna dia
tidak dapat mendengar suaranya sendiri maka kegiatan
mengeluarkan bunyi-bunyi bahasa mulai menurun. Kegiatanya
tidak sampai ketahap mencoba mengucapkan bunyi-bunyi
konsonan (oller ddk., 1986 dalam purwo, 1989).
2. Tahap Perkembangan Kata dan Kalimat
a. Kata Pertama
Menurut Francescato (1968, dalam Purwo 1989), anak belajar
mengucapkan kata sebagai suatu keseluruhan, tanpa
memperhatikan fonem kata-kata itu satu persatu. Sedangkan
menurut Waterson, 1971 dalam Purwo 1989, anak hanya dapat
menangkap ciri-ciri tertentu dari kata yang diucapkan oleh orang

15
dewasa, dan pengucapannya terbatas pada kemampuan
artikulasinya.
b. Kalimat Satu kata
Kata pertama yang berhasil diucapkan anak akan di susul oleh
kata kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Keistimewaan kata-
kata yang di ucapkan anak biasanya dapat ditafsirkan sebagai
sebuah kalimat yang bermakna. Jadi, bicara anak yang pertama
kalinya mengandung makna adalah terdiri atas kalimat satu kata.
Yang pertama kali muncul adalah ujaran yang sering diucapkan
oleh orang dewasa dan yang didengarnya atau yang sudah
diakrabinya seperti main, orang, binatang piaraan, makanan dan
pakaian.
c. Kalimat Dua Kata

Kemampuan untuk menggabungkan dua kata ini dalam


bentuk sebuah kalimat dikuasai anak menjelang usia 18 bulan.
Dalam menggabungkan kata, anak mengikuti urutan kata yang
terdapat pada bahasa orang dewasa. Ucapan dalam bentuk kalimat
dua kata ini sudah jauh lebih berproduksi dari pada ucapan kalimat
satu kata. Ini tentunya sesuai dengan kemampuan si anak secara
keseluruhan.

d. Kalimat Lebih Lanjut

Menjelang usia dua tahun anak rata-rata sudah dapat


menyusun kalimat empat kata yakni dengan cara perluasan,
meskipun kalimat dua kata masih mendominasi korpus bicaranya.
Dalam pengasuhannya, ibu-ibu sering menggunakan pola kalimat
"tanya ya - tidak" pada anak usia dua sampai tiga tahun. Pada masa
ini perkembangan bahasa anak meningkat dengan pesat, terutama
karena si ibu sering menggunakan berbagai teknik untuk mengajak
anak bercakap-cakap. Pertanyaan yang dapat di jawab si anak akan

16
di jawab sendri oleh si ibu, sehingga menjelang usia tiga tahun
anak sudah menganal pola dialog.

3. Tahap Menjelang Sekolah

Yang di maksud menjelang sekolah di sini menjelang anak


masuk sekolah dasar; yaitu pada waktu mereka berusia antara lima
sampai enam tahun. Pendidikan di taman kanak-kanak (TK),
apalagi kelompok bermain (play group) belum dapat dianggap
sebagai sekolah, sebab sifatnya banyak menolong anak siap
memasuki pendidikan dasar.

Mengenai pengenalan bahasa tulis di dalam masyarakat yang


sudah tidak buta aksara, anak sudah "mengenal" bahasa tulis
sebelum bersekolah. Dia tau, misalnya, bahwa namanya bisa
dituliskan di atas kertas. Dia sudah bisa membedakan antara
gambar dan tulisan yang ada di buku; dan dia tau bahwa orang
tuanya membaca tulisan, bukan gambar, dalam buku cerita atau
buku/bacaan lain.

Ketika memasuki taman kanak-kanak anak sudah menguasai


hampir semua kaidah dasar gramatikal bahasanya. Dia sudah dapat
membuat kalimat berita, kalimat Tanya, dan anak sejumlah
kontruksi lain. Hanya saja dia masih mendapatkan kesulitan dalam
membuat kalimat pasif. Namun, anak pada masa prasekolah ini
telah mempelajari hal-hal yang di luar kosakata dan tata bahasa.
Mereka sudah dapat menggunakan bahasa dalam konteks sosial
yang bermacam-macam. Mereka dapat berkata kasar pada teman-
temannya, tetapi juga dapat berkata sopan kepada orang tuanya.

17
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan makalah diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa:
1. Linguistik adalah ilmu tentang Bahasa atau penyelidikan
Bahasa secara ilmiah.
2. Keilmiahan Linguistik melalui tiga tahap: Spekulasi,
Obseravasi dan Klasifikasi, Perumusan Teori
3. Manfaat Linguistik diantaranya ialah sebagaimana
penggunaannya baik oleh Linguis, Penerjemah, Guru Bahasa,
Penyusun Teks, Penerjemah, dan Penyusun Kamus.

18
DAFTAR PUSTAKA

Mohammad Kholison, Pengantar Linguistic Bahasa Arab ( Lisan Arabi, Malang: 2017)
hal: 1

Abdul Chaer. 1993. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Muncullah bahasa secara definitif yang terbagi ke dalam


beberapa fase, sebagaimana berikut: Fase pertama; adalah bunyi
kekanak-kanakan yang muncul mulai dari masa balita, pada saat itu
bunyi yang merupakan cikal-bakal bahasa masih belum bisa dipahami
secara sempurna, kemudian fase kedua bunyi yang ditangkap dari
meniru (muhâkah) dalam bentuk yang paling sederhana, seperti
sebutan (maa) atau (paa) bagi anak-anak balita untuk memanggil
ibunya atau bapaknya. Fase ketiga adalah bunyi yang berulang-ulang
(al-maqâthi’ al-mutakarrir), fase keempat adalah pelafalan kata-kata
(dalam bahasa Arab disebut kalimah atau mufradât), fase kelima
adalah pembuatan kalimat (jumlah [Arab] dan phrase [Inggris]) serta
istilah-istilah dan terahir fase keenam adalah kodivikasi kaidah bahasa
(qawâid al-lughah, grammer).

19
Anak – anak memperoleh komponen bahasa utama dari ibu
mereka dalam waktu yang relatif singkat. Ketika mulai bersekolah
mereka mempelajari bahasa formal, mereka sudah mengetahui cara
berbicara untuk berkomunikasi dengan orang lain. Mereka sudah
mulai mengu capkan sebagian besar kata. Perkembangan bahasa
tindak berhenti ketika anak sekolah atau dewasa, proses
perkembangan bahasa trus berkembang terus sepanjang hayat. Laura
E Berk (Ahli Psikologi Perkembangan dari Illinois State University )
“Perkembangan bahasa merupakan kemampuan khas manusia yang
paling kompleks dan mengangumkan, walaupun bahasa itu kompleks
umumnya berkembang pada individu dengan kecepatan yang luar
biasa pada awal masa kanak-kanak.

Menurut Piaget dan Vygotsy (dalam Tarigan, 1988), tahap-


tahap perkembangan bahasa anak adalah sebagai berikut: 1. Tahap
Meraban (Pralinguistik) Pertama(0,0-0,5) Pada tahap meraban
pertama, selama bulan-bulan awal kehidupan, bayi-bayi menangis,
mendekut, mendenguk, menjerit, dan tertawa. Tahap meraban pertama
ini dialami oleh anak berusia 0-5 bulan. Pembagian kelompok usia ini
sifatnya umum dan tidak berlaku percis seperti anak. Berikut adalah
rincian tahapan perkembangan anak usia 06 bulan berdasaran hasil
penelitian beberapa ahli yang dikutip oleh Clark (1977). 0-2 minggu:
anak sudah dapat menghadapkan muka ke arah suara. Mereka sudah
dapat membedakan suara manusia dengan suara lainnya, seperti bel,
bunyi gemerutuk, dan peluit. Mereka akan berhenti menangis jika
mendengar orang berbicara. 1-2 bulan: mereka dapat membedakan
suku kata, seperti (bu) dan (pa), mereka bisa merespon secara berbeda
terhadap kualitas emosional suara manusia. 3-4 bulan: mereka sudah
dapat membedakan suara laki-laki dan perempuan. 6 bulan: mereka
mulai memperhatikan intonasi dan ritme dalam ucapan. Pada tahap ini
mereka mulai meraban (mengoceh) dengan suara melodis. Pada tahap

20
ini perkembangan yang mencolok adalah perkembangan
comprehension (komprehensi) artinya penggunaan bahasa secara pasif
(Marat: 1983). Komprehensi merupakan elemen bahasa yang dikuasai
terlebih dahulu oleh anak sebelum anak bisa memproduksi apapun
yang bermakna.Menurut Altmann (dalam Dardjowidjojo, 2000) bahwa
sejak bayi berumur 7 bulan dalam kandungan, seorang bayi telah
memiliki sistem pendengaran yang telah berfungsi. Pada hakikatnya
komprehensi adalah proses interaktif yang melibatkan berbagai koalisi
antara 5 faktor, yakni: sintetik, konteks lingkungan, konteks sosial,
informasi leksikal dan prosodi. Walaupun bahasa itu tidak diturunkan
manusia tetapi manusia memiliki kemampuan kognitif dan kapasitas
linguistik tertentu dan juga kapasitas untuk belajar (Marat: 1983).
Dalam hal ini sekali lagi peran orang tua, eluarga, lingkungan, bahkan
pengasuh anak sangat diperlukan dalam proses pengembangan bahasa
secara optimal. 1. Tahap Meraban Kedua (0,5-1,0) Tahap ini anak
mulai aktif artinya tidak sepasif sewaktu ia berada pada tahap meraban
pertama. Secara fisik ia sudah dapat melakukan gerakan-gerakan
seperti memegang dan mengangkat benda atau menunjuk.
Berkomunikasi dengan mereka mulai mengasyikan karena mereka
mulai aktif memulai komunikasi, kita lihat apa saja yang dapat mereka
lakukan pada tahap ini. 5-6 bulan Dari segi komprehensi kemampuan
bahasa anak semakin baik dan luas, anak semakin mengerti beberapa
makna kata, misal: nama, larangan, perintah dan ajakan. Hal ini
menunjukkan bahwa bayi sudah dapat memahami ujaran orang
dewasa. Disamping itu bayi sudah dapat melakukan gerakan

21

Anda mungkin juga menyukai