Anda di halaman 1dari 102

BAGIAN I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penulisan buku ini dilatar belakangi oleh adanya isu-isu
bahasa dan linguistik yang mengharuskan kita mempelajari
dan mengkaji sejarah dan perkembangannya sehingga
mahasiswa, pembaca dan masyarakat luas memahami secara
mendalam tentang kajian bahasa dan ilmu linguistik
khususnya mengenai sejarah, bagian-bagian linguistik baik
secara mikro dan makro serta aliran-aliran linguistik. Linguistik
sendiri merupakan kajian terhadap bahasa yang memiliki
berbagai aliran, paham, pendekatan, dan teknik penyelidikan
yang dari luar tampaknya sangat ruwet, saling berlawanan,
dan membingungkan. Namun semua itu akan menambah
wawasan kita terhadap bidang dan kajian linguistik. Disini
penulis akan menjelaskan tentang sejarah, aliran, paham,
teori, dari aliran-aliran dalam ilmu linguistik.. Menurut
pendapat para ahli diantaranya Langacker (1973) Ia
mendefinisikan linguistik sebagai kajian tentang bahasa
manusia.Wardhaugh (1973) mendefinisikan linguistik sebagai
kajian ilmiah tentang bahasa. Matthews (1997) Matthews
mendefinisikan linguistik sebagai ilmu tentang bahasa atau
kajian ilmiah tentang bahasa.
Bahasa itu terdiri atas unsur-unsur yang tersusun secara
teratur. Bahasa itu bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul
secara acak atau tidak beraturan. Bahasa itu sistematis. Di
samping itu, dapat pula dinyatakan bahwa bahasa terdiri dari

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


1
subsistem-subsistem, artinya bahasa bukanlah sistem tunggal.
Bahasa terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem
fonologi, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal.
kemudian berbeda dengan subsistem yang lain, subsistem
bahasa tertata secara teratur. Susunan subsistem ini dalam
linguistik dikenal dengan nama tataran linguistik atau tataran
bahasa. Jika diurutkan dari tataran yanng terendah sampai
tataran yang tertinggi, dalam hal ini yang menyangkut ketiga
subsistem bahasa di atas adalah tataran fonem, morfem, frase,
klausa, kalimat, dan wacana. Tataran fonem masuk dalam
bidang kajian fonologi, tataran morfem dan kata masuk
dalam tataran kajian morfologi; tataran frasa, klausa, kalimat,
dan wacana merupakan tataran tertinggi, dikaji oleh bidang
sintaksis. Dalam morfologi, kata menjadi satuan terbesar,
sedangkan dalam sintaksis menjadi satuan terkecil. Dalam
kajian morfologi, kata itu dikaji struktur dan proses
pembentukannya, sedangkan dalam sintaksis dikaji sebagai
unsur pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar.

Linguistik dari segi telaahnya dapat dibagi atas dua


jenis, yaitu makrolinguistik dan mikrolinguistik.
Mikrolinguistik di pahami sebagai linguistik yang sifat
telaahnya lebih sempit. Artinya, bersifat internal, hanya
melihat bahasa sebagai bahasa sedangkan Makrolinguistik
bersifat luas, sifat telaahnya ekternal. Linguistik mengkaji
kegiatan bahasa pada bidang-bidang lain, misalnya ekonomi
dan sejarah. Bahasa digunakan sebagai alat untuk melihat
bahasa dari sudut pandangan dari luar bahasa.
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
2
Bahasa dapat dilihat secara deskriptif, historis
komparatif, kontrastif, sinkronis, dan diakronis. Linguistik
deskriptif melihat bahasa yang masih hidup apa adanya.
Linguistik komparatif membandingkan dua bahasa atau lebih
pada periode berbeda. Linguistik kontrastif membandingkan
bahasa-bahasa pada periode tertentu atau sezaman. Dalam
kajian ini dicari persamaan dan perbedaan dalam bidang
struktur: fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
Linguistik sinkronis mempersoalkan bahasa pada massa
tertentu. Dalam kajian ini kita tidak membandingkan dengan
bahasa lain dan periode lain. Dengan demikian, kajian
linguistik ini bersifat mendatar atau horizontal.
Linguistik dapat pula berhubungan dengan ilmu lain.
Ilmu tersebut antara lain adalah psikologi, sosiologi, dan
antropologi. Ahli bahasa dapat memanfaatkan psikologi
untuk menganalisis perolehan bahasa dan akibat gangguan
psikologi. Perhubungan ini melahirkan psikolinguistik.
Hubungan dengan sosiologi melahirkan sosiolinguistik.
Subdisiplin ini dikaji hubungan bahasa dengan pembicara,
bahasa apa atau variasi bahasa, apa yang dibicarakan, kepada
siapa, dan kapan terjadi pembicaraan. Dengan kata lain,
sosiolinguistik menganalisis hubungan antara aspek sosial
dengan kegiatan berbahasa. Pemanfaatan antropologi
menghasilkan anropolinguistik atau etnolinguistik. Subdisiplin
ini mempelajari hubungan antara bahasa, penggunaan
bahasa, dan kebudayaan pada umumnya.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


3
B. DEFINISI LINGUISTIK
Apakah linguistik itu? Mungkin itulah pertanyaan dasar
yang harus kita jawab terlebih dahulu. Berikut beberapa
definisi linguistik dari beberapa ahli:

1. Chaer (2007) mendefinisikan linguistik sebagai ilmu


tentang bahasa; atau ilmu yang menjadikan bahasa
sebagai objek kajiannya.
2. Lyons (1981) menyatakan bahwa linguistik
merupakan suatu ilmu yang objeknya adalah bahasa
manusia yang dikaji secara ilmiah.
3. Allan dan Corder (1957) menekankan definisi
linguistik dari sudut bahasa, baik sebagai objek
formal kajian maupun metodologinya.
4. Dalam kamus Webster (1981) linguistik didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari empat hal yaitu
satuan-satuan bahasa, hakekat bahasa, struktur
bahasa dan perubahan bahasa.
Chaer (2007) menyebutkan bahwa kata linguistik
(berpadanan dengan linguistics dalam bahasa Inggris,
linguistique dalam bahasa Perancis dan linguistiek dalam
bahasa Belanda) diturunkan dari kata bahasa Latin lingua
yang berarti “bahasa”, didalam bahasa-bahasa “Roman”
yaitu bahasa-bahasa yang berasal dari bahasa Latin, terdapat
kata yang serupa atau mirip dengan kata Latin lingua itu.
Antara lain: lingua dalam bahasa Italia, lengue dalam bahasa
Spanyol, langue (dan langage) dalam bahasa Perancis.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


4
Begitupun dalam bahasa Inggris yang mengadopsi kata
language dari kata langage bahasa Perancis.
Dalam bahasa Perancis, kita menemukan dua istilah
berbeda, yaitu langue dan langage. Langue diartikan sebagai
bahasa tertentu seperti bahasa Perancis, Inggris, Jawa dan
sebagainya. Sedangkan langage diartikan sebagai bahasa
secara umum, yaitu bahasa yang terdapat dan digunakan
manusia pada umumnya. Dalam pendefinisian langage
tersebut dapat diambil contoh dalam sebuah ungkapan
“Manusia memiliki bahasa, sedangkan binatang tidak”.
Selain dua istilah tersebut, bahasa Perancis memiliki satu
istilah lagi untuk menggambarkan bahasa yaitu parole.
Chaer (2007) menyebutkan bahwa parole adalah bahasa
dalam wujudnya yang nyata dan konkret, yaitu berupa
ujaran. Oleh karena itu, ketiga istilah tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1. Istilah Parole
No Istilah Keterangan

1 Langage Sistem bahasa manusia secara umum

2 Langue Sistem bahasa tertentu

3 Parole Wujud bahasa konkret yang digunakan


masyarakat sehari-hari

Ilmu linguistik disebut juga dengan linguistik umum


(general linguistik). Artinya linguistik tidak hanya
menyelidiki suatu langue tertentu tanpa memperhatikan ciri-
ciri bahasa lain. sebagai contoh, sulit bagi kita untuk untuk

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


5
memahami morfologi bahasa Indonesia jika tidak
memahami morfologi bahasa-bahasa lain. Memang,
morfologi bahasa Iindonesia seharusnya dianalisis hanya
dengan bahasa Indonesia, akan tetapi bahan itu saja tidak
memberikan pengertian kepada kita bagaimana struktur
morfologi pada umumnya. Dengan kata lain, sasaran
linguistik bukan hanya terfokus pada langue saja, tetapi
juga pada langage yang lebih umum.

C. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LINGUISTIK


Linguistik dipenuhi dengan berbagai aliran, paham,
pendekatan, dan teknik penyelidikan yang dari luar tampaknya
sangat ruwet, saling berlawanan, dan membingungkan. Namun
semua itu akan menambah wawasan kita terhadap bidang dan
kajian linguistik. Saya akan menjelaskan tentang sejarah,
aliran, paham,teori, dari aliran - aliran linguistik.
1. Linguistik Tradisional
Sejarah Linguistik dimulai dari linguistik tradisional.
Dalam linguistik sering dipertentangkan dengan istilah
structural, sehingga dalam pendidikan formal ada istilah tata
bahasa tradisonal dan tata Bahasa stuktural. Dalam tata
bahasa tradisional, para filsuf Yunani meneliti apa yang
dimaksud dengan bahasa dan hakekat bahasa. Para filsuf
tersebut berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda.
Manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencangkup segala
aspek kehidupan.
Tata bahasa tradisonal menganalisis bahasa
berdasarkan sifat dan semiotik, sedangkan tata bahasa
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
6
stuktural menganalisis berdasarkan stuktur atau ciri-ciri
formal yang ada dalam satu bahasa tertentu. Misalnya
dalam merumuskan kata kerja, tata bahasa tradisional
mengatakan kata kerja adalah kata yang menyatakan
tindakan atau kejadian, sedangkan tata bahasa struktural
menyatakan kata kerja adalah kata yang dapat berdistribusi
dengan frase “dengan...”. Terbentuknya tata bahasa
tradisional ini telah melalui masa yang sangat panjang,
mulai dari zaman Yunani hingga masa menjelang munculnya
linguistik modern di sekitar abad ke-19. Crystal (1987:82) di
dalam bukunya yang berjudul The Cambridge Encyclopedia
of Language membagi jenis linguistik menjadi enam bagian
yaitu: Morphology : the branch of grammar studies the
structure of words, Phonetics : the physical facts of
pronunciation, as defined by the processes of articulation,
acoustic transmission and audition, Phonology : the way
different languages organize sounds to convey
differences of meaning, Syntax : the way in which words
are arranged to show relationship of meaning within (and
sometimes between) sentences, Semantics : the study of
meaning in language, dan Pragmatics : studies the factors
that govern our choice of language in social interaction and
the effects of our choice on others.
a. Zaman Yunani
Dalam sejarah studi bahasa pada zaman Yunani
mempunyai sejarah yang sangat panjang, yaitu dari kurang
lebih abad ke-5 S.M. sampai lebih kurang abad ke-2 M.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


7
Sehingga kurang lebih sekitar 600 tahun. Masalah bahasa
utama yang menjadi konflik para ahli bahasa saat itu adalah
konflik antara bahasa alami (fisik) dan bahasa tradisional
(nomos). Bersifat alami atau fisis yaitu bahasa itu memiliki
hubungan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan
tidak dapat diganti di luar manusia itu sendiri. Kaum
naturalis merupakan kelompok yang menganut faham itu,
berpendapat bahwa setiap kata mempunyai hubungan
dengan benda yang ditunjuknya, dengan kata lain, setiap
kata mempunyai makna secara alami secara fisis. Sebaliknya
kaum konvensional, berpendapat bahwa bahasa bersifat
konvensi, artinya, makna-makna kata itu diperoleh dari hasil
tradisi dan kebiasaan yang mempunyai kemungkinan bisa
berubah.
Berikutnya yang menjadi pertentangan yaitu antara
analogi dan anomali. Kaum analogi seperti Plato dan
Aristoteles, berpendapat bahwa bahasa itu bersifat teratur,
karena adanya keteraturan itulah orang dapat menyusun
tata bahasa. Jika tidak teratur, tentu yang dapat disusun
hanya idiom-idiom saja dari bahasa itu. Sebaliknya,
kelompok anomali berpendapat bahwa bahasa itu tidak
teratur. Kelompok-kelompok yang termasuk dalam aliriran
ini adalah Kaum Sophis (abad ke-5 S.M), Plato (429-347
S.M), Aristoteles (384-322 S.M), Kaum Stoik (Abad ke-
4S.M) dan Kaum Alexandrian.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


8
b. Zaman Romawi
Studi bahasa pada zaman ini dapat dianggap
kelanjutan dari zaman Yunani, sejalan dengan jatuhnya
Yunani, dan munculnya zaman Romawi. Tokoh ternama
pada zaman ini yaitu Varro (116 – 27 S.M) De Lingua Latina
dan Priscia dengan karyanya Institutiones Grammaticae.
Dalam bukunya, Varro masih memperdebatkan masalah
analogi dan anomaly, buku ini dibagi dalam bidang-bidang
etimologi, morfologi dan sintaksis.
Etimologi, yaitu cabang ilmu lingustik yang
meyelidiki asal usul kata dan artinya, serta perubahan bunyi
seperti, kata “duellum” menjadi “belum” yang artinya
perang. Perubahan makna, seperti kata hostis yang berarti
orang asing kemudian menjadi musuh. Morfologi adalah
cabang lingustik yang mempelajari kata dan
pembentukannya. Menurut Varro kata adalah bagian dari
ucapan tidak dapat dibedakan lagi, yang merupakan bentuk
minimum. Sedangkan sintaksis merupakan cabang linguistik
yang mempelajari susunan kata.
c. Zaman Pertengahan
Studi Linguistik pada zaman ini mendapat perhatian
penuh oleh para filsuf skolastik, dan bahasa Latin menjadi
Lingua Franca, karena digunakan sebagai bahasa gereja,
bahasa diplomasi, serta bahasa ilmu pengetahuan. Pada
masa ini pula munculnya Kaum Modistae dan tata Bahasa
spekulatif. Kaum Modistae mengagungkan semantic. Mereka
menyatakan bahwa setiap benda memiliki perbedaan ciri

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


9
yang disebut modi essendi. Dalam Bahasa, pikiran dialihkan
oleh bunyi-bunyi, baik secara aktif maupun pasif. Sementara
itu, Kaum Spekulatif menyatakan bahwa kata sebagai sistem
tanda dihubungkan dengan acuan (reference). Namun pada
dasarnya, secara substansial, semua Bahasa akan memiliki
kata untuk konsep yang sama.
d. Zaman Renaissance
Masa Renaissance terjadi sekitar abad ke 16 dan 17.
Pada masa ini diartikan sebagai masa kehidupan kembali
mempelajari bahasa-bahasa kuno, seperti Yunani dan
Romawi. Dalam sejarah studi Bahasa, terdapat dua hal
penting pada zaman ini, yaitu: tuntutan untuk menguasai
bahasa Yunani, Ibrani, dan bahasa Arab, serta bahasa-bahasa
diluar Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam bentuk
pembahasan, penyusunan tata bahasa dan diperbandingkan.
2. Linguistik Modern
Pada masa perkembangan sejak abad ke-18 bahasa tidak lagi
dipelajari sebagai alat, melainkan dipelajari sebagai objek.
Dengan kata lain, tidak lagi berorientasi pada logika dan
filsafat, tetapi pada apa adanya.
a. Abad ke-19
Pada abad ini dianggap sebagai awal mulainya
linguistik modern. Bahasa Latin pada abad ini sudah tidak
digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari, pendidikan,
maupun dalam pemerintahan. Bahasa yang dipelajari adalah
bahasa yang dianggap terkait atau berasal dari salah satu
bahasa ibu. Bahasa dikelompokkan ke dalam rumpun

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


10
bahasa berdasarkan kesamaan fonologis dan morfologis.
Dengan demikian dapat diperkirakan bahasa-bahasa tertentu
berasal dari bahasa proto yang sama sehingga secara genetis
terdapat hubungan kekerabatan di antaranya. Misalnya,
bahasa Roman dapat ditelusuri kembali secara genetis ke
bahasa Latin, yang diturunkan dari bahasa Prancis, Spanyol,
dan Italia. Pendekatan bersifat atomistis. Unsur bahasa yang
diteliti tidak dihubungkan dengan unsur lainnya, misalnya
penelitian tentang kata tidak dihubungkan dengan frase atau
kalimat.
Muncul beberapa tokoh penting dalam abad ke 19,
seperti Condillac berpendapat bahwa bahasa berasal dari
bunyi-bunyi alam, karena tekanan emosional kuat dan bunyi
bermakna karena pengulangan. Tokoh lainnya Schleicher
yang berpendapat bahwa pertumbuhan bahasa bersifat
historis. Ada dua hal yang dilakukan oleh Schleicher untuk
kemajuan linguistic, yaitu rekonstruksi bentukan Bahasa
Indonesia-Jerman dengan melakukan perbandingan bahasa
dan menentukan sejarah awal munculnya Bahasa Indonesia-
Jerman. Dalam sejarah linguistik, pendapat Schleicher
kemudian ditentang oleh Schmidt yang menyebutkan bahwa
perkembangan bahasa dapat dipengaruhi oleh garis maupun
batas-batas, atau dikenal dengan sebutan isoglosse, yang
terus meluas sehingga diibaratkan seperti gelombang atau
wave theory. Schmidt berpendapat Bahasa Indonesia-
Jerman merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
seperti halnya rantai besi dari rangkaian gelang.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


11
b. Abad ke-20
Pada abad 20 penelitian bahasa tidak ditujukan
kepada bahasa-bahasa Eropa saja, melainkan juga kepada
bahasa-bahasa yang ada di dunia seperti di Amerika (bahasa-
bahasa Indian), Afrika (bahasa-bahasa Afrika) dan Asia
(bahasa-bahasa Papua dan bahasa banyak negara di Asia).
adalah Pada awal abad ini, dunia linguistic mulai menaruh
perhatian lebih pada kajian tata bahasa atau struktur bahasa.
Sekitar tahun 1920-an, ‘linguistik structural’ muncul,
mengembangkan metode analisis tata bahasa. Keberhasilan
mereka merekonstruksi bahasa asli Eropa kemudian
mempengaruhi pemikiran para ahli bahasa pada abad ke-
20, salah satunya adalah Ferdinand de Saussure (1857 –
1913). Ia menulis buku Cours de Linguistique Generale yang
kemudian dikenal sebagai Bapak Linguistik Modern. Adapun
beberapa konsep yang diajukan yaitu:
 Konsep Linguistik Singkronik dan Diakronik
Konsep bahasa secara sinkron adalah mempelajari
suatu bahasa pada waktu tertentu. Sementara itu,
kajian bahasa diakronik adalah kajian bahasa melalui
waktu, atau melalui masa-masa ketika bahasa itu
digunakan oleh penutur.
 Konsep La Langue dan La Parole
Langue adalah keseluruhan sistem tanda yang
berfungsi sebagai alat komunikasi lisan antar anggota
suatu komunitas linguistik, yang bersifat abstrak.
Namun, La Parole berarti bahwa setiap anggota

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


12
masyarakat bahasa, seperti bahasa Indonesia,
menggunakan atau mengadopsi bahasa tersebut,
sedangkan parole berarti logat, tuturan, ujaran.
 Konsep Signifiant dan Signifie
Bahasa sebagai sistem simbol dan simbol merupakan
perpaduan antara bentuk (makna) dan makna
(makna). Kata lafal maja merupakan bentuk yang
mengandung arti “rumah”.
 Konsep Sintagmatik dan Paradigmatik
Hubungan sintagmatis adalah hubungan antara
unsur-unsur tuturan yang tersusun secara berurutan,
linier. Namun, hubungan paradigmatik adalah
hubungan unsur-unsur tuturan dengan unsur-unsur
sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan itu. Seperti
pada contoh “Dia menjual rumahnya”, bentuk
rumah yang digabungkan dengan bentuk lain sebagai
satu kesatuan disebut sintagma. Sedangkan rumah
terbentuk, rumah yang di dalamnya rumah
merupakan hubungan antara rumah dengan bentuk-
bentuk di bawahnya disebut paradigmatik.
Selanjutnya, beberapa tokoh lain yang berpengaruh pada
periode pembaharuan seperti Leonard Bloomfield (1887-
1949). Dalam bukunya An Introduction to Linguistic Science
(1914) dan Language (1933) yang mengungkapkan
pandangan behaviorismenya tentang fakta bahasa, yakni
stimulus-response atau rangsangan-tanggapan. Ia juga
memperkenalkan konsep yang dikenal dengan nama aliran

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


13
struktural. Bloomfield beranggapan bahwa apapun yang kita
ucapkan pasti memiliki struktur. Misalnya, seperti kata
rumah, maka strukturnya adalah /r u m a h/ dan bukan
maruh atau hamur. Ia juga menemukan pendekatan
immediate constituents (IC) dalam analisis bahasa.
Bloomfield dan para pengikutnya mendominasi
kancah bahasa selama lebih dari 20 tahun. Selama periode
ini, keluarga Bloomfield mencoba menulis tata bahasa
deskriptif untuk bahasa yang belum memiliki tulisan. The
Bloomfields mungkin meletakkan dasar untuk penelitian
linguistik di kemudian hari. Bloomfield berpendapat bahwa
fonologi, morfologi, dan sintaksis adalah domain yang
independen dan tidak berhubungan. Tata bahasa lain yang
memperlakukan bahasa sebagai sistem elemen adalah tata
bahasa tagmemik yang digagas oleh Kenneth Pike.

Pike merupakan seorang tokoh dari Summer Institute


of Linguistics, yang mewarisi pandangan pandangan
Bloomfeld, sehingga aliran ini juga bersifat strukturalis,
tetapi juga antropologis. Pike mengemukakan paham
tagmemic, dimana setiap penemuan memiliki tahapan
analisis berdasarkan fakta berupa analogi, substitusi, dan
ekstensi. Dalam tagmetika, unit fungsional terkecil dari
sebuah kalimat disebut tagmeme, yang kemudian dapat
mengisi tempat dalam sintaksis.

Ahli Linguistik berikutnya yaitu Noam Chomsky. Ia


menghidupkan kembali teori transformasi dengan bukunya

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


14
Syntactic Structures (1957), yang kemudian dikenal sebagai
teori klasik. Dalam perkembangan selanjutnya, teori
konversi tema-efisiensi-kemampuannya, yang dirintisnya
dalam Aspects of the Theory of Syntax (1965), disebut
sebagai teori standar. Karena teori ini mendekati makna
secara sintaksis tanpa penyebutan (semantik), maka teori ini
disebut juga sintaksis generatif. Pada tahun 1968, Chomsky
memulai teori Extended Standard Theory. Selain itu, dia
menulis sebuah buku tentang semantik generatif pada tahun
1970; Teori Pemerintah dan Obligasi 1980; dan program
minimalis tahun 1993.

Chomsky menyatakan bahwa tata bahasa terdiri atas


tiga komponen, yaitu sintaksis, semantik, dan fonologi.
Setiap tata bahasa harus memenuhi dua syarat, yaitu:
kalimat yang yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus
dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut dan tata
bahasa tersebut harus bersifat umum. Pada tahun 1970-an,
beberapa murid dan pengikut Chomsky, termasuk Pascal,
Lakoff, McCawly, dan Kiparsky, meninggalkan kelompok
Chomsky dan membentuk kultus mereka sendiri. Kelompok
Lakoff inilah yang kemudian dikenal dengan semantik
generatif. Menurut semantik generatif, semantik dan
sintaksis harus dipelajari secara bersamaan karena keduanya
merupakan satu kesatuan.

Tokoh lain yaitu Charles J. Fillmore dalam bukunya


berjudul “The Case for Case” 1968 diterbitkan oleh Bach, E.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


15
dan R. Harms Universal in Linguistic Theory menjadikannya
pencetus teori bahasa kasus pertama kali. Dalam
karangannya tersebut, Fillmore beranggapan bahwa dalam
bahasa-bahasa tertentu memiliki sistem kasus, khususnya
bahasa fleksi, seperti bahasa Sansekerta, Jerman, Inggris, dan
Latin. Ia mengungkapkan kalimat atas yaitu modalitas, yang
bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia; serta
proposisi, yang terdiri dari sebuah verba disertai dengan
sejumlah kasus. Yang dimaksud dengan kasus dalam teori ini
adalah hubungan antara verba dengan nomina.

Dalam pembahasan di atas dapat kita simpulkan


bahwa linguistik dipenuhi dengan berbagai aliran, paham,
pendekatan, sejarah dan teknik penyelidikan yang dari luar
tampaknya sangat membingungkan. Namun demikian
semuanya akan memperbanyak khasanah pemahaman dan
pengetahuan kita. Ilmu linguistik disebut juga dengan
linguistik umum (general linguistik). Artinya linguistik tidak
hanya menyelidiki suatu langue tertentu tanpa
memperhatikan ciri-ciri bahasa lain. sebagai contoh, sulit
bagi kita untuk untuk memahami morfologi bahasa
Indonesia jika tidak memahami morfologi bahasa-bahasa
lain. Memang, morfologi bahasa Iindonesia seharusnya
dianalisis hanya dengan bahasa Indonesia, akan tetapi bahan
itu saja tidak memberikan pengertian kepada kita
bagaimana struktur morfologi pada umumnya. Dengan kata
lain, sasaran linguistik bukan hanya terfokus pada langue
saja, tetapi juga pada langage yang lebih umum.
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
16
BAGIAN II
BAHASA DAN IDENTITAS SOSIAL

Apa yang terjadi ketika dua orang yang tidak saling


mengenal bertemu di pasar. Yang kita bayangkan akan
terjadi ialah mereka akan mencari topik pembahasan yang
mereka anggap menarik yang akan mereka bahas. Seperti
misalnya; membahas tentang harga bawang atau dimana
penjual beras termurah di pasar. Topik tersebut dipilih karna
akan sangat canggung bagi mereka jika harus membahas hal
yang salah satu dari mereka tidak mengerti apa yang
dibicarakan. Akan sangat tidak menarik jika salah satu dari
mereka harus berfikir keras untuk merespon apa yang
dibicarakan lawan bicara. Dengan begitu, berbicara tentang
hal netral akan membuat komunikasi menjadi lancar dan
mudah. Hal tersebut merupakan contoh peristiwa ketika
pembicara satu dengan yang lain berbicara dengan Bahasa
yang sama, sebutlah misalnya Bahasa Indonesia. Namun
bagaimana jika kedua orang tersebut (pembicara dan
pendengar) adalah dua orang dari dua negara yang
berbeda, Indonesia dan Jerman, atau dari dari negara yang
sama namun menggunakan dua dialek yang berbeda? Inilah
kemudian adalah beberapa contoh bagaimana masyarakat
berkomunikasi dengan Bahasa atau Bahasa bertindak atas
masyarakat. Bab ini akan menjabarkan secara singkat
beberapa aspek tentang hubungan timbal balik Bahasa dan
masyarakat yang disebut dengan sosiolinguistik.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


17
A. BAHASA DAN PENGGUNANYA
Dalam sosiolinguistik, penggunaan Bahasa dalam
suatu wilayah berkaitan dengan banyak faktor, diantaranya;
status social, usia, jenis kelamin dan sebagainya. Faktor ini
dapat mempengaruhi penggunaan Bahasa (Milroy, 2008).
Masyarakat sebagai pengguna Bahasa dibagi menjadi dua
kategori, individu dan kelompok (Wardhaugh, 2015).
Dalam sosiolinguistik, pembahasan tentang Bahasa dan
penggunanya akan dimulai dari teori tentang identitas,
identitas menurut (Kroskrity, 2018) disebutkan sebagai
konstruksi linguistik dari keanggotaa dalam satu atau lebih
kelompok atau kategori social. Identitas yang menjadi fokus
dalam kajian sosiolingustik bukanlah seperti yang kita
pahami secara awam, misalnya; laki-laki atau wanita. Tapi
lebih mengacu kepada penggambaran masyarakat akan kita
sebagai individu dalam masyarakat social. Contohnya kata
ibu, kata ibu mengacu pada gambaran eksplisit yang
merujuk pada aspek identitasnya ini, ibu seperti apa dia,
feminis, mandiri, aktif dan sebagainya. Atau kata ibu juga
bisa menjadi identitas jenis kelamin ataupun identitas status
social. Oleh karna itu, kita sebagai pengguna Bahasa
memiliki dalam ilmu Bahasa dan masyarakat social tidak
hanya memiliki satu indentitas, bisa jadi kita semua memiliki
beberapa tingkat identitas. Selain identitas individu, para
ahli sosiolinguistik juga memformulasikan tentang istilah
identitas kelompok. Istilah masyarakat mengacu pada
penggambaran sekelompok orang yang disatukan dengan

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


18
satu tujuan atau yang sering dikenal dengan komunitas
Bahasa, jejaring social dan sebagainya.
B. BAHASA DAN GENDER
Gender mempengaruhi bagaimana manusia
berkomunikasi dan ditunjukan secara universal pada banyak
Bahasa di dunia. Beberapa ahli menyatakan bahwa secara
sadar maupun tidak sadar, ketika pertama kali bertemu
dengan lawan bicara, hal pertama yang akan dilakukan
mengidentifikasi jenis kelamin lawan bicara tersebut, bukan
pakaian, suara, mata atau senyumnya. Pada beberapa
Bahasa, gender dapat diindikasikan bahkan dalam
penggunaan artikel. beberapa jenis kategori penggunaan
Bahasa dan jenis kelamin antara lain (Hellinger and Bußmann
(2000):
1. Grammatical Gender
Dalam linguistic, kategori gender ini merujuk pada
formula atau tatanan kebahasaan tertentu yang
mengacu pada gender. Dimana kata benda, kata kerja
maupun kata sifat dalam sebuah struktur kalimat harus
mengacu pada gender.
2. Lexical Gender
Istilah gender identik dengan istilah keperempuanan
atau kelaki-lakian. Oleh karena itu, dibeberapa Bahasa
seperti contohnya Bahasa Arab kata benda yang
merujuk ke identitas gender secara leksikal membawa
kategori semantiknya masing-masing. Kata “Ummi”
secara identik merujuk pada perempuan dan “abi”

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


19
merujuk pada laki-laki. Parameter penting dalam
struktur Bahasa seperti kata sapaan maupun kata ganti
orang ialah leksikal gender.
3. Referntial Gender
Referential gender diartikan sebagai bagaimana kosa
kata dalam Bahasa terefleksi dari bagaimana sebuah
benda/orang/sesuatu itu tergambarkan.
4. Sosial Gender
Gender social berkaitan dengan streotip tentang peran
manusia dalam hubungannya dengan masyarakat social
dana apa yang biasanya melekat pada identitas
maskulitas dan feminitas. Gender sosial termasuk
kategori yang sangat menonjol daalam Bahasa, seperti
Bahasa Indonesia yang tidak memiliki variable kata ganti
gender, seringkali asosiasi terkait gender dapat kita
temukan dalam tingkat kebahasaan di dalamnya.
Contoh kata kuli bangunan secara leksikan tidak terbatas
jenis kelaminnya namun kata kuli bangunan sering kali
diasosiasikan dengan laki-laki meskipun pada
kenyataanya, banyak wanita yang menjalani profesi
tersebut.
Dari penjabaran kategori di atas, dapat digambarkan
bagaimana gender berpengaruh pada sistem kebahasaan
Bahasa-bahasa di dunia. Meskipun begitu, perbedaan
tersebut dalam ilmu lingusitik yang telah diteliti oleh
para ahli sejak abad ke 17 hanya terdapat pada aspek
leksikalnya karna pada faktanya perempuan dan laki-laki

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


20
cendrung bergaya Bahasa yang sama sesuai dengan
Bahasa yang mereka gunakan pada saat itu. Perbedaan
akan terlihat ketika dua orang dengan dua Bahasa atau
bahkan dialek yang berbeda bertemu dan berbicara.
Artinya, gender hanya mempengaruhi penggunaan
Bahasa dalam sisi leksikal saja. Faktor lain seperti status
social, kedekatan personal dan usia berpengaruh lebih
banyak terhadap hal tersebut.
C. BAHASA DAN KESANTUNAN
Hubungan antara Bahasa dan masyarakat telah
menjadi pokok bahasan para linguis sejak puluhan
tahun. Dalam Sosiolinguistik penjabaran tentang
hubungan penggunaan Bahasa dan masyarakat sosial,
salah satunya tentang bagaimana kesantunan dan wajah
menjadi pokok bahasan yang penting dalam ilmu
tersebut. Menurut (Tagliamonte, 2006) sosialinguistik
ialah ilmu yang membahas tentang usaha menemukan
kolerasi antara struktur sosial dan struktur linguistuk
serta mengamati setiap perubahan yang terjadi. Pada
bagian ini, akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh
sosial terhadap penggunaan Bahasa kesantunan dan
penyelamatan muka.
Teori kesantunan yang kini secara luas dipahami
masyarakat berasal dari teori Brown and Levinson. teori
ini kemudian banyak dikenal dengan istilah politeness
strategy, sebuah strategi yang merupakan cara dan
upaya komunikasi manusia untuk menyampaian pesan

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


21
yang ingin disampaikan untuk menghindari konfik dan
menyelamatkan muka. Strategi kesantunan masuk
kedalam pembahasan sosiolinguisik karna melibatkan
bagaimana aspek Bahasa baik verbal maupun non-verbal
berpengaruh dalam komunikasi interpersonal manusia.
Secara garis besar, strategi kesantunan dikelompokan
menjadi empat jenis (Brown and Levinson, 1987 in
Mills, S 2003):
1. Kesantunan positive
Strategi ini berorientasi pada pendengar
dimana dalam strategi ini, pembicara akan
memposisikan dirinya sebagai orang yang lebih
menjaga wajah dari pendengar atau dengan kata
lain, pembicara menggunakan lebih banyak Bahasa
santun atau Bahasa yang diinginkan pendengar
sehingga ketegangan tidak terjadi. Strategi ini
cenderung digunakan oleh mereka yang usianya
lebih muda ke yang lebih tua atau mereka yang
dengan status sosial lebih rendah ke mereka yang
status sosialnya lebih tinggi.
2. Kesantunan negative
Kesantunan negative menurut Brown and
Levinson diartikan sebagai strategi yang dilakukan
pembicara dengan menggunakan beberapa kata
maaf atau menggunakan ekspresi general untuk
menyampaikan keinginan guna menghindari
terancamnya wajah pendengar. Strategi ini digunkan

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


22
ketika sebenarnya pembicara melakukan usaha agar
pendengar bersepakat dengannya atau mengabulkan
keinginannya tanpa melukai perasaan pendengar.
Contohnya “apakah tidak merepotkan jika anda
membuka jendela”, dari contoh dapat dilihat bahwa
sebenarnya pembicara sedang mengisyaratkan
keinginannya kepada pendengar agar pendengar
melakukan yang dia perintahkan. Penggunakan
kalimat tanya dalam hal ini merupakan salah satu
cara untuk menghindari ketersinggunan pendengar.
3. Off-Record
Strategi ini ialah strategi dimana pembicara
menyerahkan penilaian kepada pendengar tentang
apa yang diucapkan oleh pembicara atau dengan
kata lain, ketika bicara, pembicara bisa saja
melakukan ancaman muka namun dengan strategi
ini, tindakannya tersebut tersembunyi dalam Bahasa
yang digunakannya. Strategi ini biasanya
menggunakan kalimat yang kontradiksi dengan yang
sebenarnya diucapkan, menggunakan Bahasa kiasan,
tidak menyebutkan nama pendengar secara langsung
atau bahkan menggunakan kalimat tanya yang lebih
retoris.
4. Bald on Record.
Jenis strategi yang terakhir ini berbeda
dengan strategi-stategi yang telah dijelaskan di atas.
Strategi ini menggunakan Bahasa langsung kepada

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


23
pendengar untuk mengungkapkan keinginan atau
kebutuhan pembicara. Dalam strategi ini, pembicara
tidak berusaha meminimalkan ancaman wajah
pendengar. Atau dengan kata lain pada stategi ini
bisa jadi pembicara mempermalukan atay membuat
pendengar tidak nyaman dengan apa yang
diucapkan secara langsung atau melalui perintah
langsung.
D. BAHASA DAN DIALEK
Tidak ada dua individu yang berbicara secara
indentik. Terdapat beragam sumber variasi dalam
pengucapan Bahasa. Satu vocal saja bisa diucapkan
dalam ratusan cara yang berbeda, yang tidak semua
pendengar mampu memperhatikan perbedaannya
(Janet 2010:136). Meski demikian, terdapat fitur Bahasa
yang umumnya dimiliki oleh kelompok tertentu dan
menjadi signifikan karna membedakan dengan
kelompok lain. Seperti Bahasa yang sering berfungsi
sebagai alat penghubung dan pemisah antara para
penuturnya. Ciri-ciri pengucapan dalam Bahasa juga
dapat memiliki fungsi yang sama. Sebagai contoh cara
bicara, tata Bahasa dan kosa kata Bahasa yang
digunakan masyarakat Sasak yang tingaal di Kawasan
Lombok Selatan berbeda dengan mereka yang ada di
Lombok Barat.

Variasi fenomena penggunaan Bahasa dalam


masyarakat sosial berhubungan erat juga dengan variasi
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
24
dialek yang akhirnya tercipta pada tiap-tiap masyarakat.
Jika seseorang pembicara Bahasa A berada dalam sebuah
daerah dimana di daerah tersebut menggunakan Bahasa
B maka selain penggunaan Bahasa yang berbeda
pembicara A juga akan menemukan perbedaan dialek.
Dialek identik diartikan sebagai pewarnaan lokal yang
sangat khas yang biasanya mewakili Bahasa yang
dituturkan oleh penutur. Wardhaugh (2010) membagi
dialek ke dalam beberapa jenis:

1. Regional Dialek
Dialek kontinum; penggunaan term dialek ini untuk
membedakan variasi dialek pada daerah yang tidak
terlalu jauh letaknya dimana pembicara pada dua
daerah yang berada bersebelahan ini secara perlahan
mengalami perubahan. Pembicara dialek A dan
dialek B akan lebih mudah memahami dialek satu
dengan yang lain karna kemiripan Bahasa yang
digunakan. Contohnya masyarakat Dayak di Sambas
yang menggunakan Bahasa melayu Sambas akan
mudah memahami Bahasa yang digunakan oleh
masyarakat Negara Malaysia walaupun Dayak
Sambas ialah warga negara Indonesia yang
kebanyakan berbicara Bahasa Indonesia.
Geography Dialek.
Geograpi dialek ialah istilah yang digunakan
untuk menjelaskan upaya memetakan distribusi fitur
linguistic yang berbeda dan menunjukan asal
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
25
geografisnya (Kurath, 2010). Para ahli geografi dialek
mencoba untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan seperti apakah suatu area memiliki
pelafalan “P” untuk huruf “V dan F” seperti
contohnya yang digunakan di beberapa area di
Indonesia pada kata “Pirasat” untuk “Firasat” atau
beberapa kata lainnya yang menggunakan huruf
tersebut. Peta geografis kadang-kadang digunakan
untuk menunjukan batas isogloss yang membedakan
area dimana fitur tertentu ditemukan dari area yang
tidak memiliki fitur tersebut Trudgill (1995, 7).
Ketika beberapa isogloss serupa bertepatan, batas
dialek dapat terbentuk. Dalam hal ini, penutur di
satu sisi batas mungkin dianggap berbicara dengan
satu dialke dan penutur di sisi lain dianggap
berbicara dengan dialek yang berbeda.
2. Dialek Sosial
Social dialek ialah istilah yang digunakan dalam
sosialinguistik sebagai penggunaan dialek yang
digunaan berdasarkan kelompok sosial pada
masyarakat (Lane, 2000). Namun, mendefinisikan
kelompok social dan kelas social menjadi masalah
yang lebih rumit, karna ada faktor lain yang
berhubungan dengan kelas sosial seperti; faktor
pekerjaan, tempat tinggal, Pendidikan, pendapatan,
uang baru/lama, rasa tau etnis. Faktor-faktor ini

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


26
disinyalir berhubungan langsung dengan cara orang
berbicara.
Dialek etnis iala variasi Bahasa yang
digunakan oleh kelompok etnis tertentu yang
memiliki ciri-ciri linguistic yang khas, seperti
pengucapan, tata Bahasa dan kosakata yang berbeda
dari Bahasa mayoritas atau standar Bahasa. Dialek
etnis dipelajari dan digunakan oleh anggota
kelompok. Dialek etnis juga dapat digunakan sebagai
sarana untuk membangun identitas kelompok dan
mempertahankan batas-batas antara kelompok etnis
yang berbeda.
E. BAHASA DAN IDENTITAS SOSIAL
Identitas sosial ialah cara individu mengidentifikasi
dirinya dalam kelompok sosial tertentu, seperti kelompok
sosial berdasarkan agama, etnis, gender, orientasi seksual,
profesi atau status sosial (Johnstone, 2004). Identitas sosial
mencakup nilai-nilai, norma-norma, keyakinan dan perilaku
yang dipelajari dari kelompok sosial yang diindetifikasi
individu sebagai anggota. Identitas sosial sangat penting
dalam membentuk konsep diri seorang dan memengaruhi
interaksi sosial dengan orang lain. Identitas sosial dapat
berubah seiring waktu dan situasi. Identitas sosial juga dapat
berbeda antara individu yang berasal dari kelompok yang
sama. Misalnya, dua orang yang berasal dari kelompok etnis
yang sama mungkin memiliki pengalaman dan nilai yang
berbeda dalam hal identitas sosial. Dalam segi Bahasa, istilah

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


27
identitas digunakan untuk menggambarkan fenomena sosial
daripada fenomena psikologis; identitas bukanlah sumber
melainkan hasil dari praktik linguiskti (Bucholtz dan Hall,
2015).

Studi Bahasa dan kelompok sosial melibatkan


penilaian terhadap bagaimana Bahasa dievaluasi, yang lebih
berkaitan dengan status sosial kelompok daripada fitur
linguistik mereka. Keyakinan tentang kelompok linguistic
mempengaruhi cara penutur menggunakan fitur dan variasi
Bahasa tertentu, sehingga menjadi pusat pemahaman kita
tentang kelompok sosial dan penggunaan Bahasa. Orang
memiliki keyakinan yang kuat tentang berbagai isu Bahasa
dan bersedia menjadi penilaian mereka pada isu-isu ini,
seperti Bahasa tertentu yang tidak memiliki tata Bahasa.

1. Masyarakat multibahasa
Dibanyak daerah di seluruh dunia, menjadi suatu
kebutuhan normal dalam kehidupan sehari-hari untuk
bisa berbicara dalam beberapa Bahasa. Misalnya,
seseorang mungkin menggunakan satu atau lebih Bahasa
di rumah, satu lagi di desa, satu lagi untuk keperluan
perdagangan dan satu lagi untuk keperluan organisasi
sosial atau politik. Biasanya, orang memperoleh Bahasa-
bahasa terbsebut melalui paparan yang sederhana,
meskipun ada juga yang mempelajari Bahasa-bahasa
tersebut melalui Pendidikan formal di sekolah atau
dalam pengaturan instruksional.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


28
Secara singkat, masyarakat multi Bahasa diartikan
sebagai masyarakat yang terdiri dari individu-individu
yang memiliki latar belakang Bahasa yang berbeda-beda
dan dapat menggunakan lebih dari satu Bahasa dalam
kehidupan sehari-hari. Masyarakat multibahasa dapat
terjadi di wilayah yang miliki keragaman etnis dan
budaya yang tinffi atau di tempat-tempat dimana orang-
orang dari berbagai negara berkumpul, dalam
masyarakat multi Bahasa, individu-individu dapat
menggunakan Bahasa mereka sendiri di antara
kelompok etnis yang sama, sementara juga belajar dan
menggunakan Bahasa-bahasa yang lain untuk
berinteraksi dengan orang-orang dari kelompok etnis
yang berbeda. Masyarakat multi Bahasa juga dapat
menciptakan lingkungan pengembangan dan pelestarian
Bahasa-bahasa yang berbeda-beda, serta
mempromosikan pemahaman lintas budaya dan
penghargaan terhadap keragaman Bahasa dan budaya.
2. Wacana multibahasa
Wacana multibahasa adalah wacana yang menggunakan
lebih dari satu Bahasa atau kode dalam satu konteks
komunikatif atau diskursif. Wacana multibahasa dapat
terjadi dalam berbagai situasi, termasuk dalam
percakapan informal antara dua atau eih orang yang
memiliki latar belakang Bahasa yang berbeda. Dalam
acara-acara formal seperti konferensi internasional yang
melibatkan perserta dari berbagai negara yang berbicara

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


29
dalam Bahasa yang berbeda atau dalam media sosial
dimana penggunanya dapat menggunakan berbagai
Bahasa dalam satu postingan. Dalam wacana
multibahasa, individua tau kelompok seringkali
menggunakan lebih dari satu Bahasa atau untuk
mencapai tujuan komunikatif tertentu. Hal ini dapat
terjadi karena adanya perbedaan keahlian Bahasa antara
pembicara atau karena Bahasa yang digunakan tidak
dapat sepenuhnya mengekspresikan pemikiran atau ide
yang dimaksudkan. Wacana multibahasa juga dapat
mencermintkan kompleksitas budata dan sosial di dalam
masyarakat yang memiliki keragaman Bahasa dan
budaya. Wacana multi Bahasa seringkali menimbulkan
tantangan bagi pembicara yang harus memutuskan
kapan dan bagaimana menganti Bahasa dalam satu
wacana. Serta bagaimana menyusun Bahasa yang
digunakan sehingga tidak membingungkan atau
mengecualikan peserta yang tidak mengerti Bahasa yang
digunakan. Namun wacana multi Bahasa juga dapat
menjadi sumber kekayaan dan Bahasa serta
mempromosikan pemahaman lintas budaya yang lebih
baik.
F. BAHASA DAN KONSEKUENSI FAKTOR SOSIAL

Kontak Bahasa merujuk pada situasi dimana terdapat


interaksi antara dua kelompok dengan Bahasa atau dialek
yang berbeda secara rutin. Konsekuensi structural faktor
sosial mengacu pada perubahan atau pengaruh yang terjadi
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
30
pada Bahasa atau dialek akibat dari kontak tersebut.
Konsekuensi structural mencakup perubahan pada tata
Bahasa, kosa kata, dan pengucapan, sementara faktor sosial
terdiri dari berbagai faktor seperti Pendidikan, status sosial,
dan interaksi antar kelompik yang terlibat dalam kontak
Bahasa. Ketika terjadi kontak Bahasa, terdapat kemungkinan
terjadinya pengaruh saling silang antara Bahasa atau dialek,
seperti adopsi kosakata atau tata Bahasa atau bahkan
pengembangkan Bahasa campuran yang unik.

1. Lingua Franca
Lingua franca ialah sebuah Bahasa yang digunakan
sebagai alat komunikasi atau Bahasa persetujuan antara
orang-orang yang memiliki Bahasa ibu yang berbeda.
Lingua Franca umumnya digunakan dalam situasi
dimana Bahasa yang berbeda digunakan dalam situasi
dimana Bahasa berbeda digunakan dan perlu ada
Bahasa yang dapat dipahami semua pihak yang terlibat.
Lingua Franca dapat berupa Bahasa asli yang diadopsi
dan dipelajari oleh kelompok yang berbeda atau Bahasa
campuran yang dihasilkan dari pengaruh dari beberapa
Bahasa yang berbeda. Contohnya Bahasa Inggris sering
digunakan sebagai Lingua Franca dalam bisnis,
Pendidikan, dan komunikasi internasional.
2. Pidgin
Pidgin ialah sebuah Bahasa yang terbentuk sebagai alat
komunikasi antara dua kelompok dengan Bahasa yang
berbeda yang tidak memiliki Bahasa yang sama sebagai
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
31
Bahasa ibu mereka (Bickerton, 1975). Pidgin sering
muncul sebagai akibat dari kontak Bahasa yang intens
dan terjadi antara kelompok-kelompok yang berbeda
seperti pada masa penjajahan atau perdagangan
internasional.
Pidgin umumnya merupakan Bahasa yang sederhana
dan terbatas dalam kosa kata dan tata bahasanya,
karena biasanya hanya digunakan dalam situasi
komunikasi yang sangat terbatas. Pidgin biasanya tidak
digunakan sebagai Bahasa ibu oleh kelompok yang
menggunakannya dan seringkali digunakan hanya dalam
interaksi tertenru seperti dalam perdagangan atau
pertukaran informasi antara kelompok yang berbeda.
Pidgin dapat berkembang menjadi Bahasa kreol jika
digunakan oleh kelompok-kelompok yang
menggunakan Bahasa tersebut sebagai Bahasa utama
mereka. Janet Fuller (2015) mendeskripsikan Bahasa
pidgin menjadi dua istilah; superstrat dan substrat untuk
merujuk peran berbeda yang terjadi akibat kontak
Bahasa. Bahasa superstrate biasanya terdiri dari satu
Bahasa yang dominan secara sosia, ekonomi dan politik
dalam konteks multibahasa dimana pidgin atau kreol
berkembang, Bahasa superstrat juga disebut sebagai
Bahasa yang menyediakan kosa kata untuk pidgin atau
kreol atau yang biasa disebut dengan Bahasa leksikal.
Meskipun dominan secara sosial, Bahasa superstrate
dalam konteks tertentu tidak selalu dianggap sebagai

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


32
Bahasa standar. Sedangkan Bahasa substrat adalah
Bahasa asli penutur yang berkontribusi pada
pengembangan Bahasa pidgin atau kreol ini dengan
menyediakan beberapa kosa kata tetapi juga sistem
fonologis dan struktur tata Bahasa. Penutur Bahasa-
bahasa ini biasanya secara sosial berada di bawah
penutur Bahasa kelas atau (Bakker 2008, Versteegh
2008). Dengan demikian, pidgin diartikan sebagai
Bahasa yang disederhanakan. Dalam beberapa kasus,
mereka digunakan dalam konteks dimana ada kontak
lanjutan dengan Bahasa lexifier dan kontinum antara
pidgin dan lexifier berkembang.
3. Kreol
Bahasa kreol adalah Bahasa yang terbentuk dari
campuran Bahasa yang berbeda dan sering kali muncul
sebagai hasil dari pidgin yang telah berkembang
(Ansaldo, 2007). Bahasa kreol memiliki tata Bahasa,
kosa kata dan konvensi pengucapan yang unik dan
sering kali memiliki pengaruh dari Bahasa asli yang
digunakan untuk membentuknya. Bahasa kreol biasanya
berkembang di wilayah yang memilik sejarah colonial
atau memiliki kontak Bahasa dengan kelompok-
kelompok yang memiliki Bahasa yang berbeda. Bahasa
kreol sering digunakan oleh kelompok-kelompok yang
menggunakan Bahasa tersebut sebagai Bahasa ibu
mereka dan kadang-kadang menjadi Bahasa utama di
wilayah tersebut. Beberapa contoh Bahasa kreol yang

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


33
terkenal seperti Bahasa kriol Australia, Bahasa
Papiamento di Kepulauan Karibia dan Bahasa Tok Pisin
di Papua Nugini. Bahasa kreol sering kali menjadi
identitas budaya dan nasional bagi kelompok-kelompok
yang menggunakannya.
G. KERAGAMAN BAHASA
Variasi Bahasa merujuk pada perbedaan dalam
penggunaan Bahasa antara kelompok orang atau
komunitas (Bayley, 2013). Variasi Bahasa dapat terjadi di
tingkat regional, sosial dan bahkan individual. Ini berarti
bahwa Bahasa yang digunakan di suatu daerah atau
kelompok sosial tertentu mungkin berbeda dari Bahasa
yang digunakan di daerah atau kelompok sosial lainnya.
Variasi Bahasa dapat terjadi pada semua aspek Bahasa
seperti ejaan, kosakata, tata Bahasa, intonasi dan
sebagainya. Misalanya, beberapa kata mungkin hanya
digunakan dalam Bahasa tertentu atau dialek tertentu, atau
aturan tata Bahasa tertentu mungkin hanya diterapkan oleh
beberapa orang atau kelompo. Variasi Bahasa juga dapat
mencerminkan perbedaan budaya, nilai atau pengalaman
hidup antara kelompok-kelompok yang berbeda.

1. Variasi regional
Variasi regional ialah variasi yang terjadi dalam satu
Bahasa yang dipengaruhi oleh lokasi geografis suatu
daerah atau wilayah. Variasi regional dapat terjadi di
semua aspek Bahasa termasuk kosakata, tata Bahasa,
pengucapan dan intonasi. Contohnya Bahasa Inggris
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
34
yang digunakan di Amerika Serikat memiliki variasi
regional yang cukup signifikan. Beberapa kata memiliki
pengucapan yang berbeda di daerah yang berbeda
seperti pegucapan kata “water” yang berbeda antara
orang-orang di daerah utara dan selatan. Dalam
linguistik, pemetaan dialek daerah telah menjadi topik
yang sangat penting (Wiese, 2014) dan merupakan
bagian dari studi sejarah Bahasa atau linguistic diakronis.
Tradisionalnya, studi geografis dialek telah
menggunakan asumsi dan metode dari linguistic sejarah
dan hasilnya sering digunakan untuk mengkonfirmasi
temuan dari sumber sejarh seperti arkeologi, studi
populasi dan catata tertulis. Dalam pandangan ini,
perbedaan dialek dalam Bahasa terjadi ketika penutur
mulai menjauh satu sama lain dalam waktu dan ruang
dan perubahan dalam Bahasa menghasilkan penciptaan
dialek baru. Seiring waktu, dialek baru bisa berkembang
menjadi Bahasa baru ketika penutur dari kelompik yang
dihasilak tidak dapat saling memahami. Sebagai contoh,
Bahasa latin berkembang menjadi Bahasa Prancis,
Bahasa Spanyol, Bahasa Italia dan lainnya.
2. Variasi Sosial
Variasi sosial dalam sosiolinguistik mengacu pada
perbedaan antara Bahasa yang terjadi di antara
kelompok kelompok sosial tertentu, sepeti kelompok
berdasarkan usia, gender, kelas sosial, entitas dan daerah
geografis (Chambers, 2003) . Variasi ini terlihat dalam

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


35
bentuk perbedaan dalam pengucapan, struktur Bahasa
dan kosa kata. Contoh variasi sosial dalam Bahasa
Indonesia adalah perbedaan antara Bahasa formal dan
informal, penggunaan kata gaul yang lebih sering
digunakan remaja atau perbedaan dialek antara orang
dari daerah Jawa dan Sumatra. Variasi sosial dalam
Bahasa dapat memberikan informasi yang berguna
tentang identitas dan latar belakang sosial seseorang.
Oleh karena itu, pemahaman variasi sosial dalam Bahasa
dapat membantu dalam memahami dan menghormati
keberagaman budaya dan sosial di antara masyarakat.
H. BAHASA, MASYARAKAT SOSIAL DAN PENDIDIKAN
Para pakar sosiolinguistik telah banyak
mendiskusikan mengenai implikasi penelitian
sosialinguistik dan hubungannya dengan Pendidikan.
Salah satunya ialah peran sosiolinguistik dalam
penggunaan dialek dalam Bahasa sehari-hari di sekolah.
Sudah terbukti bahwa di banyak komunitas Bahasa, anak-
anak dari kelas menengah cendrung berhasil lebih baik di
sekolah dari pada anak-anak dari kelompok pekerja
terlihat dari hasil ujian mereka (Bainbridge, 1994). Di
dalam masyarakat Bahasa Indonesia, orang seringkali
keliru mengaitkan fakta ini dengan asumsi bahwa anak-
anak yang sukses cenderung menggunakan Bahasa
Indonesia yang benar dengan bentuk vernacular yang
lebih sering terdengar. Ahli sosiolinguistik telah
melakukan banyak penelitian dalam hal ini dan berusaha

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


36
membantu guru dalam menangani hal tersebut. Beberapa
pakar telah melakukan penelitian tentang bagaiman
penggunaan Bahasa vernacular atau variasi Bahasa yang
berbeda bisa mempengaruhi komunikasi guru dan murid.
Ahli sosiolinguistik kemudian megilustrasikan bagaimana
informasi tentang hubungan antara Bahasa dan
penggunanya serta kegunaannya dapat dijabarkan dalam
ranah Pendidikan.

Bahasa, masyarakat sosial dan Pendidikan memiliki


hubungan yang sangat erat dalam sosialinguistik. Bahasa
tidak hanya digunakan untuk berkomunikasi tetapi juga
untuk merefleksikan identitas sosial seseorang (Labov,
1966). Dalam masyarakat, Bahasa dipengaruhi oleh
berbagai faktor sosial, seperti status sosial, agama, etnis
dan gender. Oleh karena itu, Bahasa yang digunakan
sesorang dapat mencerminkan latar belakang sosial dan
budayanya. Pendidikan juga memainkan peran penting
dalam hubungan ini. Sistem Pendidikan dapat
memengaruhi cara seseorang menggunakan Bahasa dan
juha memengarhi bagaimana masyarakat menilai Bahasa
yang digunakan. Sebagai contoh; beberapa Bahasa yang
dianggap lebih bergengsi daripada yang lain, tergantung
pada bagaimana mereka digunakan dalam konteks
akademis atau professional. Dalam hal ini, penggunaan
Bahasa dianggap “standar” atau “benar” lebih disukai
dan dipromosikan dalam Pendidikan formal dan ini
dapat mempengaruhi kualitas Pendidikan seseorang.
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
37
Namun ada juga Bahasa non-standar atau dialek yang
digunakan oleh kelompok minoritas dan sering kali
dianggap kurang bergengsi oelh masyarakat. Pendidikan
yang tidak memperhitungkan keberangaman Bahasa
dapat mengakibatkan diskriminasi terhadap kelompok
minoritas dan memperkuat ketidakadilan sosial. Oleh
karena itu, penting bagi Pendidikan untuk
mempertimbangkan keberagaman Bahasa dan
mempromosikan pendekatan inklusif dan menerima
variasi Bahasa karna hal ini akan dapat membantu
menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan
merata, dimana setiap siswa dapat merasa dihargai dan
didukung dalam penggunaan Bahasa mereka

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


38
BAGIAN III

SOSIOLINGUISTIK: HAKIKAT, ISU & VARIASI BAHASA

A. SOSIOLINGUISTIK DAN HIPOTESIS SAPIR-WHORF


Sosiolinguistik merupakan perpaduan dua bidang
ilmu (inter-disciplinaire), kedua bidang ilmu ini memiliki
objek kajian yang berbeda. Bidang ilmu sosiologi fokus
dalam mengkaji masyarakat, sementara linguistik memiliki
objek kajian bahasa. Ketika kedua bidang ilmu ini beririsan
satu sama lain, maka akan membentuk sebuah konstruk
baru yaitu sosiolinguistik. Ilmu baru inilah yang berupaya
mempelajari perkembangan penggunaan bahasa kaitannya
dengan pengguna bahasa itu sendiri (society). Tokoh yang
paling dikenal dan berpengaruh dari bidang ini adalah
Benjamin Lee Whorf (murid dari Sapir) dan Edward Sapir.
Mereka adalah para pakar bahasa (linguist) Amerika yang
keilmuanya berkontribusi banyak dalam pengetahuan
bahasa secara menyeluruh. Kemudian sekitar tahun 1930an
terkenal dengan analisis Sapir-Whorf yang menempatkan
proses berpikir manusia dan cara mereka memandang dunia
dipengaruhi oleh bahasa. Secara rinci sebenarnya analisi ini
terbagi menjadi dua bagian: 1) tidak ada jenis variasi dan
jumlah batasan di dalam bahasa secara umum, dan 2)
bahasa menentukan pikiran manusia secara menyeluruh 
pikiran itu tidak akan pernah ada tanpa bahasa. Dari
gambaran analisis yang dinyatakan mereka berdua penulis
merangkum dua analisis ini menjadi satu bagian yaitu cara

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


39
manusia berpikir tidak terbatas pada jumlah variasi konsep
yang mereka buat. Akan tetapi, penulis sendiri memiliki
pandangan berbeda dari hipotesis yang dikemukakan oleh
sapir-whorf yaitu pikiranlah yang mempengaruhi bahasa itu.
Bagi penulis analisis Sapir-Whorf terlalu ekstrim, mungkin
pada batasan pemikiran yang abstrak pikiran manusia
dipengaruhi oleh bahasa.

Dari pengantar bahasan yang berlandaskan pada


hipotesis Sapir-Whorf tersebut penulis simpulkan bahwa
sosiolinguistik ini memiliki objek kajian bahasa dan
(pengguna bahasa) masyarakat. Tidak jauh berbeda dengan
pendapat (Holmes, 2013; King & Wardhaugh, 1970;
Wardhaugh & Fuller, 2015) mereka memiliki pendapat yang
serupa terhadap kajian sosiolinguistik yaitu bahasa dan
kaitannya dengan pengguna bahasa itu sendiri. Mereka
memiliki pandangan yang sama dalam memandang suatu
fenomena kebahasaan ditengah-tengah masyarakat. Yaitu
kenapa fungsi sosial bahasa berubah-ubah dalam membawa
pesan kepada lawan bicara. Fenomena sederhana ini
membawa informasi yang sarat makna terutama pada para
akademisi. Seyogyanya, dengan pesan sederhana ini kita
mampu menunjukkan bagaimana bahasa itu mempu
menunjukkan identitas penggunanya dan bagaimana bahasa
tersebut bekerja pada tatanan masyarakat ketika
berinteraksi. Hal ini sejalan dengan pendapatnya (Holmes,
2013) mensinyalir bahwa ranah kerja sosiolinguistik itu
adalah masyarakat sebagai pengguna bahasa dan bahasa itu

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


40
sendiri. Begitu pula pendapat para ahli lain termasuk
(Halliday, 2003) sepakat bahwa sosiolinguistik merupakan
bidang ilmu yang saling bertautan antara masyarakat dan
bahasa.

Dalam konteks masyarakat, ranah kajian sosiolinguistik


tidak terbatas pada manusianya saja, akan tetapi semua
bentuk kegiatan termasuk lembaga-lembaga yang ada
didalamnya. Dari beberapa uraian sederhana ini, para
akademisi menyatakan bahwa sosiolinguistik merupakan
kajian empiris yang memiliki objek kajian berupa bahasa
dan penggunanya. Penulis sendiri tidak memungkiri
pernyataan para akademisi dan pendapat para ahli tersebut.
Bahkan, perlu kiranya kita mendukung dan
mengembangkan teori-teori yang sudah ada. Jika
memungkinkan, kita bisa membantah teori tersebut dengan
memunculkan fakta-fakta baru tentang fenomena
kebahasaan. Hal demikian justru akan menambah hasanah
keilmuan dalam bidang sosiolinguistik. Ditambah lagi
dengan pesatnya perkembangan teknologi berpengaruh
besar terhadap perkembangan manusia, baik itu pola hidup
maupun bahasa yang digunakannya. Kemungkinan pola
yang demikianlah yang memicu (Gumperz, 1977)
berspekulasi terhadap beberapa kemungkinan bahwa bahasa
berkaitan erat dengan masyarakat sebagai penutur bahasa
itu. Bahkan, bahasa itu sendiri dapat menjadi identitas atau
penciri dari masyarakat itu. Beberapa linguist atau akademisi
menitikberatkan kajiannya tentang bahasa dan masyarakat

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


41
menghasilkan keberagaman pemikiran tentang bahasa dan
masyarakat tersbut.

Tidak terlepas dari perkembangan masyarakat, bahasa


juga ikut mengalami perembangan, baik dilihat dari
perubahan bunyi, perubahan kata, intonasi bahkan makna
itu sendiri. Hal ini membuktikan pendapat para linguist
(Saussure, 1997) seorang linguis tergolong abad pertengahan
yang memperlopori bahwa bahasa merupakan benda yang
memili kompleksitas paling lengkap. Karena mampu
menyampaikan konsep-konsep baik berupa simbol atau
dengan kode sekalipun. Dialah yang mengemukakan konsep
langange, langue, dan parole. Langage itu sendiri
merepresentasikan bahasa secara ummum adalah benda
abstrak yang merujuk kepada alat yang digunakan oleh
manusia untuk mengekspresikan suatu ide atau gagasan.
Kemudian, langue merujuk pada suatu pengetahuan,
pemahaman manusia terhadap ujaran yang dikeluarhan
oleh manusia berupa bunyi yang terstruktur dan memiiki
makna. sedangkan parole mengacu pada kecapan personal
atau kelompok dalam menggunakan bahasa untuk
berinteraksi satu dengan yang lainnya. Disisi lain muncul
juga istilah yang diperkenalkan oleh (Chomsky, 1968), dia
menyebutkan dua dogma yang dimiliki oleh manusia untuk
dapat melakukan interaksi dengan manusia lain, yaitu
competence dan performance. Competence merujuk pada
pengetahuan tentang bahasa sedangkan performance

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


42
merujuk pada bagaimana manusia itu mengekspresikan
bahasa tersebut dalam bentuk ujaran.

Secara umum penulis dapat menyimpulkan bahwa


pendapat kedua lnguist tersebut memiliki pondasi pemikiran
yang sama dalam konteks pengetahuan (knowledge) dan
praktiknya (practice). Pandangan tersebut terus menjadi
perdebatan dalam konteks positif yaitu berwujud penelitian
atau studi yang terus menerus dilakukan untuk menghasilkan
pemikiran-pemikiran tentang bahasa dan peradabannya.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas terkait
perbedaan pemikiran linguist Ferdinand dan Chomsky,
berikut penulis akan merangkumnya berdasarkan teori yang
sudah dijelaskan sebelumnya.

Berikut penulis mengemukakan dikotomi Ferdinand dan


Chomsky terkait pandangan mereka terhadap bahasa.

1. Saussure meandang linguistik dan menganggap bahwa


bahasa merupakan bentuk tuturan yang muncul sebagai
akibat dari peradaban manusia, yaitu bahasa tercipta karena
adda interaksi sosial antar mereka. Dengan kata lain bahwa
bahasa tercipta ditengah masyarakat atau lingkungan dan
menjadi bagian dari masyarakat tersebut, sedangkan,

2. Chomsky memandang linguistik sebagai anugerah sang


pencipta yang dibawa oleh manusia sejak didalam rahim
dan memiliki sifat yang universal. Artinya bahwa hampir

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


43
semua bahasa didunia memiliki ciri yang sama, dan ciri yang
sama inilah menurut Chomsky dipandang kesemestaan.

B. ISU DALAM SOSIOLINGUSITIK

Ruang lingkup sosiolinguistik yaitu fokus pada


masyarakat sebagai pengguna bahasa dan perkembangan
penggunaan bahasa oleh masyarakat itu sendiri, sehingga
kebanyakan isu atau permasalahan sosiolinguistik berawal
dari masyarakat dimana bahasa digunakan. Dalam sebuah
pertemun pada tahun 1964 yang diselenggarakan di
University of California, Los Angles. Setidaknya terdapat
tujuh rumusan yang menjadi isu besar dalam kajian
Sosiolinguistik, seperti yang dikutip penulis dari (Dittmar,
1976) yaitu:

1) Identitas sosial penutur

Kita semua sepakat bahwa manusia adalah mahluk


sosial yang tidak lepas dari kehidupan orang lain. Konteks ini
dapat dimaknai bahwa mahluk sosial selalu tumbuh dan
berkembang tidak dengan sendirinya namun membutuhkan
interaksi yang kebersinambungan dengan individu lain
maupun kelompok. Penutur berarti orang yang mengawali
suatu proses komunikasi yang dapat mempengaruhi sikap
serta pemikiran mitra tuturnya. Sedangkan identitas sosial
penutur dapat berupa personal ataupun kelompok yang
berasal dari tempat kerja (sekolah, kantor), keluarga, tetangga
dan lain sebagainya, lihat (Chaer & Agustina, 2004). Dan
dalam melakukan proses interaksi ini, hanya bahasa yang

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


44
mampu menghubungkan mereka, baik bahasa verbal maupun
non-verbal. Dalam artian bahwa bahasa memiliki peran
sentral dalam membentuk interaksi dinamis ditengah
masyarakat. Setidaknya, kalau boleh penulis gambarkan
terdapat tiga atau empat ciri dalam komunikasi itu,
diantaranya adalah; 1. Penutur atau penyampai pesan, 2.
Pesan yang disampaikan, 3, Mitra tutur / Penerima pesan, dan
4) media / alat.

2) Identitas Sosial Lawan Tutur

Mitra tutur atau komunikan adalah salah satu


komponen penting dalam interaksi, kehadiran mitra tutur
dalam interaksi dapat mempengaruhi model tuturan sipenutur
dikarenakan identitas sosial yang melekat pada diri lawan
tuturnya. Identas sosial dari mitra atau lawan tuturpun sama
dengan identitas si penutur. Ide serupapun di benarkan oeh
(Chaer & Agustina, 2004).

3) Lingkungan sosial

Seperti halnya penutur-lawan tutur, lingkungan sosial


juga sangat mempengaruhi model komunikasi, baik itu isi
pesan atau bagaimana pesan itu disampaikan. Contoh
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa tutur; pasar,
sekolah, keluarga, ulang tahun, masjid dan sebagainya.
Sementara dalam Chaer & Agustina (2004:6) juga cukup
detail dalam memberikan pandangannya terhadap lingkungan
sosial dimana terjadinya tuturan.

4) Analisis sinkronik dan diakronik suatu dialek


Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
45
Pada konteks sinkronik dan diakronik, para ahli
bersepakat bahwa kajiannya berupa dialek yang terdapat
ditengah masyarakat. Akan tetapi yang membedakannya
adalah kapan pemetaan atau pendeskripsian dialek tersebut.
Apakah pada waktu tertentu atau tidak terbatas. Model
analisis ini menurut Chaer & Agustina (2004) membutuhkan
waktu yang relatif cukup lama. Karena peneliti harus
membongkar kembali pertumbuhan bahasa dari masa-
kemasa.

5) Penilaian sosial oleh penutur terhadap ujaran

Pada bukunya Chaer & Agustina (2004) mereka


memberikan pandangan terhadap penilaian si penutur
terhadap jenis ujaran yang diucapkan oleh penutur. Konteks
ini meberikan isyarat bahwa tiap individu atau kelompok
mitra-lawan tutur memiliki latar belakang yang berbeda baik
itu dilihat dari strata sosial, pendidikan, ekonomi dan
sebagainya. Sehingga pada proses terjadinya interaksi, mereka
akan menilai sendiri siapa lawan tuturnya, tercermin dari jenis
ujaran yang diucapkan. Karena pada prinsipnya, ujaran
(bahasa) yang disampaikan dalam interaksi merupakan
identitas dari penuturnya.

6) Variasi

Variasi tuturan yang terjadi ditengah masyarakat


tidak lain disebabkan oleh keberagaman latarbelakang guyub
tuturnya. Semakin tinggi tingkat keberagaman masyarakat

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


46
penuturnya akan memuncul banyak variasi bahasa (ragam
bahasa) dalam lingkungan sosial tersebut.

7) Penerapan praktis dari sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan bidang ilmu yang bersifat


inter-disipliner. Sehingga objek kajiannya cukup luas dengan
fokus bahasan pada masyarakat dan bahasa. Ditinjau dari
asbabun nuzul ilmu sosiolinguistik ini, maka manfaat praktis
dari sosiolinguistik ini adalah untuk mengatasi permasalahan
bahasa dan perilaku bahasa di masyarakat.

Jika kita cermati ketujuh ruang lingkup yang dibahas,


maka dapat disimpulkan bahwa masing-masing klaisifikasi
tersebut memiliki fungsi yang sesuai dengan konteksnya.

C. BATASAN SOSIOLINGUISTIK

Mahasiswa atau pembelajar pada umumnya yang


sedang mempelajari linguistik, barangkali secara umum
masih memahami konsep sosiolinguistik dan sosiologi
bahasa adalah sama, dua unsur yang berkaitan yaitu
masyarakat dan bahasa. Akan tetapi beberapa ahli
(Wardhaugh & Fuller, 2015) lebih condong dalam
membatasi arah kajian antara sosiolinguistik dan sosiologi
bahasa.

1. Sosiolinguistik (micro-sociolinguistics) dalam ranah kajiannya


lebih menekankan pada hubungan bahasa dan masyarakat,
yakni bagaimana bahasa menduduki fungsi alat untuk
berinterksi antara satu dengan yang lainnya, baik itu dilihat

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


47
dari latar belakang umur, jenis kelamin, strata dan lainnya,
sedangkan,

2. Sosiologi bahasa (macro-sociolinguistics) memiliki arah kajian


yang relatif serupa akan tetapi condong kearah ketertarikan,
yaitu apa yang bisa dilakukan oleh manusia (masyarakat)
umumnya dengan alat yang berupa bahasa yang mereka
miliki, erat kaitannya dengan perilaku.

Pakar lainpun memiliki sudut pandang yang serupa


dalam pemakaian istilah (sosiolinguistik atau sosiologi
bahasa). Fishman (1968, 1971, 1972) lebih tertarik untuk
menggunakan istilah sosiologi bahasa (Sociology of
Language) dengan alasan bahwa pada hakikatnya objek
kajian yang dibahas dalam ilmu tersebut adalah pemakaian
bahasa oleh manusia dan masalah-masalah sosial didalamnya,
dan pendapat ini dipertegas lagi oleh Holmes (2013) yang
mengatakan bahwa kajian sosiolinguistik adalah kajian antara
manusia dan bahasanya. Bahkan pandangan Pateda (1991)
sedikit lebih luas tentang kajian sosiolinguistik tersebut. Ia
mengatakan bahwa sosiolonguistik itu merupakan bagian dari
ilmu linguistik yang menitikberatkan persoalan pada tiga
indikator bahasa dan pemakaiannya dalam konteks budaya
(bahasa, masyarakat, dan budaya). Karena setiap penutur
dalam menyampaikan ide atau tuturannya harus
memperhatikan aspek budaya siapa yang berbicara, apa yang
disampaikan, kepada siapa, dan kapan (Fishman, 1968b).

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


48
Pendapat tersebut tidak harus dijadikan sebagai acuan
utama perdebatan tentang sosiolinguistik. Yang perlu kita
lakukan sebagai akademisi adalah justru menyibukkan diri
dengan kajian yang rapi terkait bahasa dan hubungannya
dengan pengguna bahasa itu. Tarlebih lagi bahwa manusia
(masyarakat) dan bahasa adalah satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Dan sebagai akademisi kita sangat terbantu
dengan adanya pengenalan awal tentang sosiolingistik atau
sosiologi bahasa ini. Kita diberikan kemudahan dalam
memahami bahwa bidang tersebut bukan bidang yang berdiri
sendiri melainkan sandingan dua ilmu (inter-disciplinary).

D. MANFAAT SOSIOLINGUISTIK

Sosiolinguistik merupakan bidang kajian yang fokus pada


masyarakat dan bahasa. Sudah seyogyanya ilmu inipun
memilliki manfaat yang signifikan bagi masyarakat, sama
halnya dengan bidang lain. Manfaat praktis yang dapat kita
lihat dari ranah sosiolinguistik adalah penggunaan bahasa
ditengah masyarakat baik dilihat dari sisi non linguistik
maupun situasional. Dari dua parameter ini, penggunaan
bahasa oleh masyarakat dapat dikaji lebih spesifik oleh para
akademisi.

Manfaat sosiolinguistik dari faktor non-linguistik dapat


ditinjau dari segi sosial, politik, ekonomi, umur, jenis
kelamin dan georafis. Dari beberapa indikator tersebut tentu
manfaat yang dirasakan sangat bervariasi, contoh; penutur
bahasa yang dilihat dari segi umur. Ketika seorang junior

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


49
berbicara kepada seniornya, tentu dia akan mencari dan
memilih kata yang tepat untuk dia ungkapkan. Hal
demikian akan menunjukkan bahwa dia sedang
menunjukkan kesopanan saat berbicara kepada yang lebih
senior. Hal serupa juga pernah ditulis oleh (Hakim Yassi,
2019) dalam jurnal Linguistik Indonesia dan (Muhid,
Machmoed, & Hakim Yassi, 2020) yang berpendapat
bahwa model komunikasi tersebut termasuk kedalam
strategi komunikasi yang berupaya melakukan konvergen
dengan lawan bicara. Sedangkan faktor situasional
menyoroti siapa yang berbicara, menggunakan bahasa apa,
kepada siapa dia berbicara, kapan dan bagaimana, persis
seperti apa yang dirumuskan oleh (Fishman, 1972c). Sebagai
contoh di suatu perusahaan besar seorang bos besar yang
masih muda (35 tahun) berbicara kepada bawahannya yang
jauh lebih senior (55 tahun). Dalam konteks ini akan
kelihatan kekuatan daripada kekuasaan (posisi) sehingga
atasan yang muda tadi lebih leluasa dalam memilih diksi
saat berbicara, karena tidak tidak ada hambatan. Akan
tetapi ketika situasi berubah maka sebaliknya akan beda
pola komunikasi yang berlaku.

Secara umum dapat penulis simpulkan bahwa


sosiolingistik ini berperan penting dalam kehidupan sosial
masyarakat, dimana bahasa itu tumbuh, digunakan dan
berkembang sesuai dengan kondisi masyarakatnya.
Setidaknya dengan mempelajari Sosiolinguistik kita dapat
memposisikan diri ketika sedang berinteraksi dengan lawan

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


50
tutur kita. Dalm ranah keluarga misalanya, kita tentu akan
lebih hormat saat berbicara kepada kedua orang tua kita.
Manakala kita berinteraksi dengan adik, ponaan maka
ragam bahasa yang kita gunakanpun akan menyesuaikan.
Contoh lain, ketika murid berinteraksi dengan gurunya baik
dilingkungan sekolah atau ditempat umum, maka
normalnya murid akan memilih ragam bahasa yang
menunjukkan sopan santun dan hormat kepada gurunya.
Singkatnya, bahwa sosiolinguistik ini sangat memberikan
manfaat besar ketika berinteraksi, baik dilihat dari
dikotominya (Fishman, 1972c).

E. PENGARUH VARIABEL SOSIAL DAN LINGUISTIK

Seperti pada pembahasan sebelumnya pada bab ini


bahwa terdapat dua variabel penting dalam dalam inspeksi
bahasa. Variabel yang dimaksud adalah variabel sosial
(masyarakat) dan variabel linguistik (bahasa). Kedua variabel
ini memeberikan pengaruh besar dalam penggunaan bahasa
oleh masyarakat baik individu atau kelompok. Karakter
masyarakat yang memperlakukan bahasa demikian
meninggalkan serpihan variasi pada masyarakat tersebut.
Berikut beberapa pengaruh yang muncul sebagai akibat dari
kegiatan interaksi baik individu atau kelompok:

1) Interaksi Sosial

Telah disinggung sebelumnya, bahwa interaksi sosial


tidak bisa lepas dari masyarakat baik secara personal dan
kelompok. Wujud dari interaksi tersebut ada yang bersifat

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


51
asosiatif dan disasosiatif. Kalau dijabarkan menjadi lebih rinci,
bentuk komunikasi asosiatif ini dapat berupa; a). akomodasi
yaitu moel interaksi sosial yang berupaya meminimkkan
konflik. Konteks ini para komunikator akan menunjukkan
bagaimana akomodasi ini dapat mengharmonisasi suatu
interaksi, periksa juga (Muhid, 2019; Muhid, Machmoed,
Yassi, et al., 2020), b). kerjasama pada umumnya melibat
antara dua orang atau lebih, baik kerjasama yang bersifat
tradisional maupun karena adanya perintah. Wujud interaksi
kedua adalah disasosiatif yang memiliki dua bentuk; a).
kontravensi yaitu gejolak dalam diri seseorang yang berkaitan
dengan rasa tidak suka atau kebencian, dan b). kompetisi
yaitu bentuk interaksi yang orientasinya pada sebuah
persaingan.

2) Mobilitas sosial

Setiap individu secara normal akan menginginkan


adanya perubahan dalam dirinya baik penghasillan maupun
status sosialnya yang berbeda dari sebelumnya. Mobilitas bisa
saja berupa fisik seseorang yang hijrah dari satu tempat ke
tempat lain, bisa juga kita artikan mobilitas yang
mengakomodir perubahan status sosial seseorang. Pada proses
pencapaian suatu perubahan inilah disebut dengan mobilitas
sosial. Perkara gagal atau tidaknya dalam pencapaiannya
tersebut bukan menjadi tolak ukur suatu mobilitas, yang
terpenting adalah ada perjalanan untuk melewati proses dan
bahkan menuju pada titik pencapaian maksimalnya. Apakah

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


52
yang dicapainya naik (goes up) atau menurun (goes down)
periksa juga (Latif, 2016). Mari kita review hubungan bahasa
dan mobilitas social.

a) Pergeseran Bahasa

Fenomena sosiolinguistik sebagai akibat dari


mobilisasi atau migrasi fisik ke suatu daerah berdampak
pada terjadinya kontak bahasa. Ketika kontak bahasa ini
berlangsung lama ditengah masyarakat maka akan terjadi
pergeseran suatu bahasa. Terutama pada daerah yang
membuka luas terhadap kedatangan penduduk luar
untuk datang dan tinggal didaerah itu, cek (Chaer, 1995:
190). Bahkan jauh sebelumnya, pernah dibuktikan hal
serupa oleh Fishman (1972a) menunjukkan sampel riil
muncul dan terjadinya pergeseran suatu bahasa oleh para
imigran yang tinggal di Amerika. Alhasil, pada berepa
keturunan berikutnya, keturunan para imigran terindikasi
sudah tidak mampu lagi menggunakan bahasa ibunya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pergeseran bahasa
dapat terjadi karena pertemuan dua bahasa, yang
mengaharuskan mereka memilih bahasa dominan atau
sesuai kebutuhan mereka untuk digunakan dalam
berinteraksi, ancangan model komunikasi serupa juga
pernah dicatat oleh (Giles, 2016; Muhid, 2019) dengan
sebutan berakomodasi. Akan tetapi, fenomena
dwibahasa menurut Sitoto (2002) menyebutnya sebagai
code switching.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


53
b) Pemertahan Bahasa

Sebagai akibat dari interaksi sosial, kontak


bahasapun tidak terhindarkan sampai berujung pada
adanya pergeseran bahasa, seperti pada pembahasan
poin (a). sementara pada pemertahanan bahasa berkaitan
dengan prestise dari bahasa itu sendiri. Penutur bahasa
mepersepsikan bahasanya memiliki kedudukan lebih
tinggi dari mitra tuturnya. Biasanya fenomena ini muncul
pada masyarakat yang heterogen, dimana masing-masing
indvidu atau kelompok membawa identitasnya berupa
bahasa. Kerap kali contoh yang dimaksud muncul di
pasar. Saat berbelanja mereka berupaya
mempertahankan dialek masing-masing yang kita sebut
divergensi, dan memilih salah satu dialek sebagai alat
tuturnya disebut konvergensi, cek (Muhid, 2019). Namun
tidak jarang, dialek atau bahasa minoritas dapat bertahan
ditengah keminoritasannya. Sebagai contoh para imigran
perancis yang tinggal di Kanada masih mampu bertahan
meskipun lingkungan dominanya menggunakan bahasa
Inggris.

Dari kedua poin (a,b) diatas, dapat ditarik suatu


kesimpulan, pertama, bahwa fenomena pergeseran
bahasa dapat juga terjadi karena tempat tinggal
penduduk yang didatangi masih berjarak-jarak dan
komunitasnya kecil. Kedua, bahwa pergeseran dan
pemertahanan bahasa dapat terjadi karena

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


54
kedwibahasaan sebagai akibat dari urbanisasi dan
industrialisasi.

3) Strata dan Diferensiasi Sosial

Strata sosial (kelas sosial) kerap dijumpai ditengah-


tengah masyarakat kita. Munculnya kelas sosial ini
sebagai akibat dari adanya klasifikasi sosial (prestis dan
prestasi), ekonomi (pendapatan), politik (kekuasaan),
dan sebagainya. Pada prinsipnya strata sosial dan
diferensiasi sosial memiliki suatu kesamaan didalam
memperoleh hak maupun kewajibanya. Akan tetapi yang
membedakannya adalah pada pengelompokannya. Jenis
diferensiasi sosial ini digolongkan berdasarkan kondisi
kultur sosial dan biologis. Selain itu pada taraf diferensiasi
sosial ini hak dan kewajiban masyarakat tidak dibedakan.

4) Norma dan Nilai Sosial

Norma dan nilai berjalan secara beriringan didalam


bermsyarakat. Norma memiliki objek pada bagaimana aturan
dilaksanakan serta sangsi pelanggarannya. Norma ini
merupakan suatu kesepakatan adan bersifat mengikat bagi
masyarakat itu. Sedangkan nilai sosial adalah acuan dalam
bertindak sehingga terlihat kepatutan dalam menjalankan
aktifitasnya.

5) Pranata Sosial,

Komponen dalam masyarakat luas yang menjalankan


suatu kegiatan yang terikat oleh norma dan nilai. Disamping

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


55
itu pranata sosial ini berfungsi sebagai penjaga keutuhan dan
dijadikan pedoman dalam mengawasi tindakan masyarakat.
Jenis pranata sosial ini dapat berupa; politik, agama,
ekonomi, dan bahkan keluarga.

F. VARIASI BAHASA

Diawal pembahasan penulis sudah menyinggung bahwa


sosiolinguistik merupakan kajian inter-disipliner yang berasal
dari dua bidang ilmu sosiologi dan linguistik, lihat (Pateda,
1991). Adapun Nababan (1991) menyebutkan lebih detail
bahwa sosiolinguistik tidak hanya membahas masyarakat
dan bahasa secara umum akan tetapi juga berbicara tentang
variasi yang ada didalamnya. Munculnya variasi bahasa
tidak lepas dari aspek sosial kemasyarakatan. Melihat dua
pandangan kedua ahli diatas, dapat penulis simpulkan
bahwa sosiolinguistik menitikberatkan kajiannya pada
masyarakat, bahasa dan hubungan antara bahasa dan
masyarakat. Karena manusia adalah mahluk sosial yang
selalu membutuhkan orang lain, mereka selalu melakukan
interaksi dengan manusia lainnya. Dan alat yang digunakan
sebagai penyampai pesan itu adalah Bahasa. Sebagai salah
satu dampak interaksi dengan manusia lainnya (heterogen:
status sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain) maka muncul
variasi bahasa yang digunakan. Seiring dengan variasi bahasa
yang muncul ditengah masyarakat, (Chaer, 1995, 2010)
menyebutkan bahwa variasi tidak hanya hanya disebabkan
oleh tingkat heteronitas penduduk yang tinggi tetapi juga

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


56
dapat dipengaruhi oleh jenis interaksi sosial yang sangat
beragam. Adanya variasi bahasa menunjukkan kekayaan
perbendaharaan kata manusia sebagai mahluk sosial, untuk
mengungkapkan suatu objek yang sama dapat disampaikan
dengan variasi yang berbeda, lihat juga (Meyerhoff, 2001).

Berikut penulis berhasil merangkum jenis variasi bahasa


menurut (Chaer & Agustina, 2004: 62), mereka membagi
variasi bahasa menjadi empat, diantaranya adalah:

1) Variasi dari Segi Penutur

Variasi ini tidak terpisahkan dari variasi perorangan


dan kelompok selama ruang lingkupnya masih berada pada
komunitas itu, periksa (Aslinda & Syafyahya, 2010).
Ditemukan berbagai jenis variasi berdasarkan penutur; dialek,
kronolek, idiolek, dan sosiolek. Akan tetapi ketika ditinjau
dari tingkat sosial penggunanya, variasinyapun berbeda;
basilek, akrolek, kolokial, slang, vulgar, jargon, kelamin, ken,
argot, status sosial dan umur.

a. Dialek

Chaer & Agustina (2004:63) mengemukakan


bahwa variasi ini ada pada kelompok penutur yang
sebaran penggunanya relatif banyak dan mendiami suatu
wilayah. Misalnya, bahasa Sasak dialek Pujut, Pejanggik,
Petung Bayan, dan Selaparang. Ranah studi ini berada
dibawah kajian dialektologi (Chambers & Trudgill, 1998).
Kelompok penutur dari dialek ini masih memiliki kekhasan

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


57
dalam penuturannya, karena latar beakang geografis juga
berpengaruh.

b. Kronolek

Variasi ini muncul pada masa-masa tertentu oleh


penuturnya, dan tidak bersifat menetap, keberadaan
variasi bahasa ini (kronolek) selalu mengalami perubahan
dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya, bahasa dengan
variasi ini hanya berlaku pada penutur kala itu. Sebagai
contoh variasi bahasa tahun 50an dan variasi bahasa anak
zaman sekarang (milenial), cek juga (Chaer & Agustina,
2004: 62).

c. Idiolek

Ahmad & Abdullah (2012:174) Variasi ini bersifat


husus dan melekat pada individu penutur, variasi ini
muncul karena adanya perbedaan psikis dan fisik penutur.
Faktor psikis ini dapat berupa perbedaan mental, watak
seseorang, dan bahkan kognisinya. Sementara faktor fisik
dapat menyebabkan karena perbedaan model alat tutur.
Ada juga variasi idiolek ini dilihat dari pilihan diksi, jenis
suara, dan gaya bahasa.

d. Sosiolek

Variasi ini muncul karena adanya status sosial


penuturnya, termasuk didalamnya jenis kelamin,
pekerjaan, pendidikan dan sebagainya. Jenis variasi ini
kerap muncul ditengah masyarakat kita sekarang, terutama

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


58
dikalangan para elit, baik laki maupun perempuan, tua
ataupun muda. Bahkan Chaer & Agustina (2004: 62)
menyebutkan variasi ini termasuk juga ada kaitannya
dengan masalah pribadi penuturnya.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


59
BAB IV
TEORI DAN MASALAH PENERJEMAHAN

A. MASALAH PENERJEMAHAN

Penerjemahan bukan hanya sekedar proses


pengalihan teks dari bahasa sumber ke bahasa sasaran,
tetapi disadari atau tidak terkadang ideologi penerjemah
masuk ketika dia memproses sebuah produk terjemahan.
Ideologi tersebut meliputi adanya konsep‘benar’ dan
‘salah’ sebuah produk terjemahan itu dihasilkan. Apa
yang benar dan salah dalam sebuah penerjemahan
ternyata lebih banyak ditentukan oleh sesuatu di luar
disiplin penerjemahan itu sendiri (Hadi, M.Z.P. &
Suhendra, E, 2019). Nilai dan norma serta keyakinan
yang melandasi seorang penerjemah memutuskan apa
yang harus dilakukan dengan teks terjemahannya. Ketika
berhadapan dengan teks-teks yang mengandung nilai-
nilai atau paham tertentu penerjemah lagi-lagi menjadi
pihak yang tidak bisa sepenuhnya “netral” dalam
mempertahankan keakuratan. Hasil terjemahan akan
selalu diwarnai pengetahuan, keyakinan serta nilai yang
sudah tertanam dalam benak penerjemah.
Nida dan Taber (1982: 12) menyatakan bahwa,
“Translatingconsist of reproducing in the receptor
language natural equivalent of the sourcelanguage
message, first in terms of message and secondly in term
of style”. Dari pernyataan Nida dan Taber, terdapat dua
hal di dalam proses penerjemahan. Yang pertama

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


60
adalah menghasilkan pesan yang sepadan dengan
bahasa sumber, dan yang kedua adalah menghasilkan
kesepadanan yang alamiah dalam hal gaya. Namun,
penerjemahan dalam hal gaya adalah sesuatu yang
rumit. Nababan (2008:59) menyatakan bahwa
kompleksitas stilistik merupakan salah satu faktor
penyebab sulitnya penerjemahan dilakukan. Dalam
proses penerjemahan, penerjemah sering kali
menjumpai persoalan. Teknik penerjemahan diperlukan
untuk memecahkan berbagai persoalan tersebut. Teknik
penerjemahan adalah cara yang digunakan untuk
mengalihkan pesan dari BSu ke BSa, diterapkan pada
tataran kata, frasa, klausa maupun kalimat. Menurut
Molina dan Albir (2002), teknik penerjemahan memiliki
lima karakteristik yaitu 1) memengaruhi hasil
terjemahan, 2) diklasifikasikan dengan perbandingan
pada teks Bsu, 3) berada pada tataran mikro, 4) tidak
saling berkaitan tetapi berdasarkan kontekstertentu, dan
5) bersifat fungsional. Penggunaan teknik-teknik
penerjemahan akan membantu penerjemah dalam
menentukan bentuk dan struktur kata, frasa, klausa,
serta kalimat terjemahannya. Selain, itu penerjemah juga
akan terbantu dalam menentukan padanan yang paling
tepat didalam bahasa sasaran. Dengan demikian,
kesepadanan terjemahan dapat diterapkandalam
berbagai satuan lingual. Selain itu, penggunaan teknik
penerjemahan tidak hanya akan menghasilkan

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


61
terjemahan yang akurat tetapi juga berterima dan
mudah dibaca oleh pembaca teks sasaran.
Dengan demikian, sebagai penerjemah
profesional, kita perlu memahami dan menguasai
konsep penerjemahan yang berterima, yaitu
penerjemahan yang sesuai atau sepadan selama kata,
frasa, dan kalimat pada pada bahasa sumber masih
bisa diterjemahkan dan adanya isitlah yang sesuai
pada bahasa Indonesia. Dengan hasil penerjemahan
yang berkualitas tidak hanya akurat tetapi juga dapat
dipahami dan alamiah akan memudahkan pembaca
bahasa sasaran dalam memahami teks yang
dieterjemahkan.

B. IDEOLOGI PENERJEMAHAN
Menurut Tymoczko dalam Karoubi (2008), Ideologi
penerjemahan adalah kombinasi isi teks bahasa sumber
dan beberapa speech act yang ada pada teks bahasa
sumber yang relevan dengan kontek bahasa sumber
bersama dengan representasi isi, relevansinya dengan
pembaca, dan beberapa speech act teks terjemahan yang
menyangkut konteks bahasa sasaran serta ketidak
seuaian antara keduanya, teks bahasa sumber dan teks
bahasa sasaran. Sementara menurut Hoed (2003),
ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau
keyakinan tentang ‘benar atau salah’ dalam
penerjemahan. sebagian penerjemah menganggap
bahwa penerjemahan dikatakan benar bila teks
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
62
terjemahan telah menyampaikan pesan teks bahasa
sumber ke dalam teks bahasa sasaran secara tepat. Lebih
jauh lagi Tymoczko menjelaskan bahwa ideologi
penerjemahan tidak sekedar terletak pada teks yang
diterjemahkan tapi juga pada gaya dan pendirian
penerjemah dan relevansinya dengan pembaca yang
akan menikmati teks terjemahan.
Penjelasan Tymoczko di atas tampak rumit tapi ada
beberapa kata kunci yang bisa kita tangkap dari
penjelasan itu. Yang pertama adalah bahwa ideologi
penerjemahan berkaitan dengan speech act atau tindak
tutur, jadi ideologi penerjemahan menyangkut
bagaimana penyampaian tindak tutur pada teks bahasa
sumber dan teks bahasa sasaran. Yang kedua adalah
perbedaan. Ideologi penerjemahan menyangkut
perbedaan representasi isi antara teks bahasa sumber
dengan teks bahasa sasaran yang menyangkut
relevansinya dengan pembaca. Menurut critical
discourse analysis, semua penggunaan bahasa adalah
ideologis, jadi, sebagai pengguna bahasa yang
merepresentasikan penggunaan bahasa orang lain,
penerjemah tidak bisa terlepas dari pengaruh ideologi
(Karouby, 1:2008). Posisi penerjemah berada pada
‘antara’. Ia terikat oleh kode etik penerjemahan yaitu
impartiality. Dia bertindak netral, tidak memihak ke
salah satu pihak yang terlibat dalam proses komunikasi
bilingual itu. Sementara itu dalam bidang penerjemahan,

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


63
ideologi berarti prinsip atau keyakinan mengenai benar-
salah dalam penerjemahan (Hoed, 2004). Menurut
Eagleton dalam Koruobi (2008) ideologi adalah ide dan
keyakinan yang digunakan untuk melegitimasi
kepentingan kelompok berkuasa melalui distorsi dan
disimulasi. Pandangan seperti ini merupakan bagian dari
kajian postcolonialism. Sebuah pendekatan kultural
terhadap kajian relasi kekuasaan antar kelompok,
budaya dan orang-orang di mana bahasa, kesusasatraan
dan penerjemahan mengambil peran di dalamnya
(Hatim dan Munday, 2004:106 ).

Keberterimaan kemudian menjadi sesuatu yang tidak


diperhatikan. Sebagian yang lain menganggap teks
terjemahan yang benar adalah teks terjemahan dengan
keberterimaan yang tinggi, teks terjemahan yang
memenuhi kaidah-kaidah bahasa sasaran baik kaidah
gramatika maupun kaidah kultural. Tentu saja apa yang
dikatakan benar atau salah dalam penerjemahan bersifat
sangat relatif dan berkaitan dengan faktor-faktor yang
ada di luar proses penerjemahan itu sendiri. Seorang
penerjemah sudah secara tak terhindarkan terikat pada
konstruksi ideologis tentang konsep benar dan salah ini.
Apakah sebuah terjemahan benar atau salah ditentukan
oleh untuk siapa dan untuk tujuan apa suatu terjemahan
dilakukan (Hoed, 2003:4).

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


64
1. Ideologi Domestikasi
Ideologi domestikasi merupakan strategi
penerjemahan yang telah diterapkan sejak zaman Romawi
Kuno ketika menerjemahkan puisi berbahasa Latin, Horace
dan Propertius, ke dalam bahasa Romawi (Yang, 2010: 77).
Domestikasi sendiri didefinisikan Venuti (1999: 20) sebagai
strategi penerjemahan yang berupaya menyesuaikan nilai
etnosentris teks bahasa sumber dengan nilai budaya teks
bahasa sasaran. Menurut Mazi-Leskovar (2003), domestikasi
mengacu pada semua perubahan pada semua tingkat teks
untuk membuat pembaca sasaran yang berasal dari Negara
lain atau tinggal di wilayah geografis yang berbeda dengan
pengalaman sosiokultural dan latar belakang budaya yang
berbeda bisa memahami teks terjemahan dengan baik.
Perubahan pada teks terjemahan dengan demikian
merupakan suatu hal yang dirasa oleh pengarang sebagai
upaya untuk meningkatkan keberterimaan teks.
Dengan konsep yang lebih sederhana, domestikasi
merupakan strategi penerjemahan yang berupaya
menghasilkan terjemahan idiomatis atau wajar dengan gaya
yang dipahami pembaca teks bahasa sasaran. Nama lain dari
domestikasi adalah Lokalisasi. Dengan bahasa yang lebih
sederhana lagi, saat menerjemahakan, seorang penerjemah
berupaya untuk menggunakan istilah local atau istilah dalam
bahasa sasaran, meminimalisir budaya asing dan
memaksimalkan budaya lokal. Strategi domestikasi
diimplementasikan melalui orientasi dasar dari

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


65
penerjemahan. Yang (2010: 78) menyebutkan gagasan Nida
bahwa pencarian padanan dapat dilakukan melalui padanan
formal dan padanan fungsonal. Padanan formal
memfokuskan diri pada pesan teks bahasa sumber baik
bentuk maupun makna sedangkan padanan fungsional
diperoleh dengan mengedapankan efek dari padanan
terjemahan. Dengan kalimat lain, pembaca teks bahasa
sasaran mendapatkan pemahaman dan dampak yang sama
dengan pembaca teks bahasa sumber ketika mendapatkan
informasi tersebut. Dengan demikian dapat lah disimpulkan
bahwa domestikasi merupakan strategi penerjemahan yang
bertujuan memperoleh pemahaman pembaca teks bahasa
sasaran. Meskipun nilai budaya teks bahasa sumber
sebahagian hilang, teks bahasa sasaran menyampaikan
informasi yang sama dengan teks bahasa sumber.
Konsekuensi logis dari itu, domestikasi memungkinkan
informasi dapat diterima dan diadaptasi pembaca teks
bahasa sasaran tanpa adanya konflik yang berarti.

2. Ideologi Forenisasi
Ideologi Forenisasi adalah antitesis dari ideologi
domestikasi. Foreignisasi pada konteks penerjemahan adalah
upaya mempertahankan apa yang asing dan tidak lazim
pada konteks bacaan pembaca target akantetapi merupakan
hal yang lazim, unik, dan khas dari budaya bahasa sumber
(Mazi-Leskovar, 2003:5). Menurut penganut ini, terjemahan
yang bagus adalah terjemahan yang tetap mempertahankan
ciri khas, gaya, dan cita rasa kultural bahasa sumber.
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
66
Mempertahankan apa yang terdapat pada teks bahasa
sumber adalah symbol ‘kebenaran’ menurut penganut ini.
Menurut Mazi-Leskovar (2003) foreignisasi pada konteks
penerjemahan adalah upaya mempertahankan apa yang
asing dan tidak lazim pada konteks bacaan pembaca target
tapi merupakan hal yang lazim, unik, dan khas dari budaya
bahasa sumber. Dengan paradigma ini, terjemahan yang
bagus adalah terjemahan yang tetap mempertahankan gaya,
dan cita rasa kultural bahasa sumber. Kebenaran, menurut
paradigma ini, dilakukan dengan mempertahankan apa
adanya yang terdapat pada teks bahasa
sumber.Penerjemahan yang ‘benar’, ‘berterima’, dan ‘baik’
adalah yang sesuai dengan selera dan harapan sidang
pembaca yang menginginkan kehadiran kebudayaan bahasa
sumber (Hoed, 2003:4).
C. TEKNIK PENERJEMAHAN
1. Adaptasi (Adaptation)
Teknik adaptasi adalah Teknik penerjemahan yang
menggantikan unsur-unsur budaya yang khas dalam BSu
dengan unsur budaya yang ada dalam BSa. Teknik ini dapat
digunakan apabila unsur atau elemen budaya tersebut
memiliki padanan dalam BSa. Teknik ini dikenal dengan
teknik adaptasi budaya. Teknik ini dilakukan dengan
mengganti unsur-unsur budaya yang ada dalam BSu dengan
unsur budaya yang mirip dan ada pada BSa. Hal tersebut
bisa dilakukan karena unsur budaya dalam BSu tidak
ditemukan dalam BSa, ataupun unsur budaya pada BSa

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


67
tersebut lebih akrab bagi pembaca sasaran. Teknik ini sama
dengan teknik padanan budaya.
BSu : His leg felt like a stone
BSa : Tungkai kakinya seperti terpaku
2. Amplifikasi (Penambahan)
Teknik amplifikasi adalah penerjemahan yang
menambahkan detail informasi yang tidak terdapat dalam
teks bahasa sumber. Penambahan dalam teknik ini hanya
informasi yang digunakan untuk membantu penyampaian
pesan atau pemahaman pembaca. Penambahan ini tidak
boleh mengubah pesan yang ada dalam teks bahasa
sumber.Teknik penerjemahan ini sama dengan eksplisitasi,
penambahan, parafrasa eksklifatif. Catatan kaki merupakan
bagian dari amplifikasi. Teknik reduksi adalah kebalikan dari
teknik ini.
BSu : There are many Indonesian at the ship.
BSa : Banyak warga negara Indonesia di kapal itu.
Kata Indonesian diterjemahkan menjadi warga Negara
Indonesia di sini dimaksudkan untuk memperjelas informasi
tanpa mengubah pesan yang terkandung dari kata tersebut.
3. Peminjaman (Borrowing)
Teknik penerjemahan atau borrowing adalah teknik
penerjemahan yang menggunakan kata atau ungkapan dari
bahasa sumber di dalam bahasa sasaran. Peminjaman dapat
berupa peminjaman murni (pure borrowing), yaitu
peminjaman tanpa melakukan perubahan apa pun, seperti
kata “zig-zag”, atau berupa peminjaman alamiah

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


68
(naturalized borrowing), dimana kata dari BSu disesuaikan
dengan ejaan BSa, seperti kata “musik” yang berasal dari
kata “music”.
4. Kalke (Calque)
Penerjemahan harfiah dari sebuah kata atau frasa
dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
BSu : He is the new assistant manager
BSa : Dia adalah asisten manajer yang baru.
5. Kompensasi (Compensation)
Teknik penerjemahan yang menggantikan posisi
unsur informasi atau efek stilistika dalam BSu pada bagian
lain dalam BSa karena tidak dapat direalisasikan pada
bagian yang sama dalam BSa.
BSu : A burning desire to share The Secret with the world
consumed me.
BSa : Hasrat yang menyala-nyala untuk membagikan
Rahasia kepada dunia membakar diri saya. (Hendrastuti,
2012: 189)
6. Deskripsi (Description)
Teknik penerjemahan yang mengganti istilah dalam bahasa
sumber dengan deskripsinya dalam bahasa sasaran. Teknik
ini digunakan ketika suatu istilah dalam bahasa sumber tidak
memiliki istilah yang sepadan dalam bahasa sasaran.
BSu : I like panetton.
BSa : Saya suka panetton, kue tradisional Italia yang
dimakan pada saat tahun baru.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


69
7. Kreasi Diskursif (Discursive Creation)
Teknik penerjemahan yang menggunakan padanan
sementara yang jauh dari konteks aslinya. Teknik ini sering
muncul dalam penerjemahan judul film, buku, dan novel.
BSu : The Minangkabau Response To The Dutch Colonial
rule in the Nineteenth Century.
BSa : Asal-usul Elite Minangkabau Modem: Respons
terhadap Kolonial Belanda XIX/XX. (Havid Ardi, 2010: 400)
8. Padanan Lazim (Established Equivalence)
Menerjemahkan istilah dalam bahasa sumber dengan istilah
yang sudah lazim dalam bahasa sasaran. Istilah dalam
bahasa sumber tersebut umumnya berdasarkan kamus atau
ungkapan sehari-hari.
BSu : Sincerely yours
BSa : Hormat kami
9. Generalisasi (Generalization)
Menerjemahkan suatu istilah dengan istilah yang
sudah umum dan dikenal masyarakat luas. Teknik ini
digunakan apabila suatu istilah dalam bahasa sumber
merujuk pada bagian yang spesifik, yang padanannya dalam
bahasa sasaran tidak ada yang merujuk pada bagian yang
sama.
Contoh: becak diterjemahkan menjadi vehicle.
10. Amplifikasi Linguistik (Linguistics Amplification)
Teknik penerjemahan yang menambahkan unsur-
unsur linguistik teks BSu dalam teks BSa. Teknik ini sering
digunakan dalam interpreting atau dubbing.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


70
BSu : everything is up to you!
BSa : semuanya terserah anda sendiri!
11. Kompresi Linguistik (Linguistics Compression)
Teknik penerjemahan yang menyatukan atau
mengumpulkan unsur-unsur linguistik yang ada dalam teks
BSu. Teknik ini sering digunakan dalam interpreting atau
dubbing.
BSu : Are you sleepy?
BSa : ngantuk?
12. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)
Teknik penerjemahan yang mengalihkan suatu ungkapan
dalam BSu secara kata per kata ke dalam BSa.
BSu : The President gave the present to Michael last
week.
BSa : Presiden memberi hadiah itu pada Michael minggu
lalu.
13. Modulasi (Modulation)
Teknik penerjemahan yang mengganti, fokus, sudut
pandang atau aspek kognitif yang ada dalam BSu, baik
secara leksikal ataupun struktural.
BSu : Nobody doesn’t like it.
BSa : Semua orang menyukainya.
14. Partikularisasi (Particularization)
Teknik penerjemahan yang menggunakan istilah yang lebih
konkret dan khusus. Teknik ini berkebalikan dengan teknik
generalisasi.
BSu : She likes to collect jewelry.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


71
BSa : Dia senang mengoleksi kalung emas.
15. Reduksi (Reduction)
Memadatkan informasi yang terdapat dalam bahasa
sumber ke dalam bahasa sasaran. Pemadatan informasi yang
dilakukan tidak boleh mengubah pesan dalam teks bahasa
sumber.
BSa : She got a car accident
BSu : Dia mengalami kecelakaan
16. Substitusi (Substitution)
Mengganti elemen-elemen linguistik menjadi paralinguistik
(seperti intonasi dan isyarat) atau sebaliknya.
Contoh : menganggukkan kepala di Indonesia
diterjemahkan “ya!”
17. Transposisi (Transposition)
Teknik penerjemahan yang mengganti kategori gramatikal
bahasa sumber dalam bahasa sasaran, misalnya mengganti
kata menjadi frasa. Teknik ini biasanya digunakan karena
adanya perberdaan tata bahasa antara BSu dan BSa.
BSu : I have no control over this condition
BSa : Saya tidak dapat mengendalikan kondisi ini
18. Variasi (Variation)
Teknik penerjemahan yang mengganti unsur-unsur linguistik
atau paralinguistik yang mempengaruhi variasi linguistik.
Misalnya perubahan textual tone, style, geographical
dialect, dan social dialect.
BSu : Give it to me now!
BSa : Berikan barang itu ke gue sekarang!

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


72
BAGIAN V
KAJIAN LINGUISTIK FORENSIK

A. MEMAHAMI LINGUISTIK FORENSIK

Linguistik forensik merupakan ilmu hahasa yang berfokus


pada kajian bahasa di ranah hukum. Linguistik forensik dapat
digolongkan sebagai kajian interdisiplin ilmu, karena kajian
tersebut menggabungkan dua bidang ilmu yaitu linguistik dan
hukum ke dalam satu kajian yang utuh. Sejarah lahirnya
linguistik forensik menurut Gibbons (1996) selalu dikaitkan
dengan tindakan yang dilakukan oleh seorang profesor
linguistik dari Inggris, Jan Svartvik, yang berhasil menyelesaikan
persoalan dalam konteks pemidanaan di negaranya. Kejadian
itu selalu dirujuk sebagai fakta sejarah yang menandai lahirnya
linguistik forensik di era modern. Tindakan yang dilakukan
Svartvik merupakan sebuah tugas yang diberikan Royal
Comission, setelah menerima banyaknya laporan terkait
maraknya manipulasi alat bukti yang dibuat penyidik di dalam
proses pemidanaan.

Alat bukti yang dimanipulasi adalah pernyataan tersangka


pada saat pemeriksaan dilakukan. Untuk membuktikan dugaan
itu, Svartvik menganalisis rekaman pemeriksaan antara penyidik
dengan tersangka. Hasil analisis Svartvik menunjukkan adanya
rekayasa yang dilakukan penyidik ketika memeriksa tersangka
yaitu Timothy John Evans yang dituduh sebagai pelaku
pembunuhan Isteri dan anaknya. Tersangka menolak
pernyataan yang dijadikan polisi sebagai alat bukti di

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


73
persidangan karena pernyataan itu, selain tidak sesuai dengan
pengakuan yang telah disampaikan Evans di ruang pemeriksaan,
juga tidak menggambarkan detail peristiwa yang sesungguhnya
terjadi.

Dalam analisisnya, Svartvik berhasil mendeteksi rekayasa


dalam pernyataan yang dikatakan penyidik sebagai pernyataan
tersangka sendiri. Analisis Svartvik dapat membuktikan bahwa
pernyataan tersangka tidak alami, karena ditemukan adanya
ciri-ciri linguistik yang bersifat manipulatif dalam pernyataan
yang dituliskan penyidik dalam berita pemeriksaan. Selain tidak
memenuhi ciri bahasa lisan, pernyataan itu ditulis berdasarkan
kesimpulan sepihak yang dibuat penyidik. Dengan kata lain,
keterangan di dalam berita pemeriksaan bukanlah merupakan
keterangan yang disampaikan oleh tersangka. Terungkapnya
peristiwa itu berbuntut pada pembebasan tersangka dari segala
dakwaan yang disangkakan kepadanya setelah terjadinya
eksekusi mati kepada tersangka oleh pihak pengadilan.

Kisah lain mengenai pemanfaatan analisis bahasa di ranah


hukum dikemukakan oleh Shuy (1997) yang menyoroti kasus
Ernesto Miranda di Amerika Serikat. Kasus yang terjadi pada
tahun 1963 tersebut menyeret nama Ernesto Miranda sebagai
terdakwa yang telah dipidana dengan hukuman 12 tahun
penjara atas tuduhan perampokan bersenjata. Atas dakwaan
itu, Miranda mengajukan banding dengan menolak alat bukti
yang diajukan penyidik di persidangan. Menurut Miranda,
pernyataan-pernyataan yang diklaim penyidik sebagai

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


74
pernyataannya dan dijadikan sebagai alat bukti di persidangan,
diperoleh dengan tindakan intimidatif yang dilakukan selama
pemeriksaan berlangsung. Atas dasar itu, Miranda menolak
keterangan yang disusun penyidik sebagai pernyataannya
karena pernyataan tersebut tidak menggambarkan pengakuan
sukarela yang disampaikan oleh dirinya.

Shuy (1997) melaporkan bahwa berdasarkan analisis yang


dilakukan terhadap hasil dan proses pemeriksaan polisi,
ditemukan adanya bukti ketidakwajaran yang dilakukan
terhadap Miranda di dalam pemeriksaan perkaranya. Dalam hal
ini, Shuy (1997) menemukan adanya kesalahan prosedur yang
dilakukan penyidik ketika memeriksa Miranda. Temuan analisis
menunjukkan bahwa persoalan ini dipicu karena penyidik
dengan sengaja mengabaikan hak-hak Miranda sebagai seorang
tersangka, yaitu hak untuk diam dan hak untuk didampingi
pengacara selama pemeriksaan berlangsung. Hal tersebut,
menurut Shuy, dilakukan agar penyidik dapat mengarang
pernyataan tersangka demi tertanganinya perkara tersebut
dengan cepat sehingga tersangka yang diduga sebagai
pelaku perbuatan pidana ini dapat diseret ke dalam penjara
secepat-cepatnya.

Berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku di Amerika


Serikat, tindakan yang dilakukan penyidik itu merupakan
pelanggaran berat sehingga dakwaan materil yang disangkakan
kepada terdakwa harus dibatalkan demi hukum. Hak tersangka
di dalam proses peradilan merupakan hak yang dijamin oleh

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


75
Undang-undang secara mutlak. Atas dasar itu, pengadilan
banding akhirnya membebaskan Miranda dari segala tuntutan.
Kisah ini melambungkan istilah Miranda Rights sebagai hak
seorang tersangka ketika terlibat dalam pemeriksaan perkara
pidana di Amerika Serikat.

Gibbons (1990) menyampaikan kisah lain tentang


keberhasilan seorang ahli sosiolinguistik yang menganalisis kasus
hukum di Australia. Upaya yang dilakukan ahli itu mampu
membebaskan jeratan pidana yang disangkakan kepada seorang
tersangka laki-laki. Dengan menganalisis rekaman pemeriksaan
yang dilakukan polisi terhadap seorang tersangka, ahli
menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan polisi cacat
hukum. Hasil analisis menegaskan bahwa pemeriksaan yang
dilakukan polisi sangat merugikan tersangka. Hal itu terjadi
karena ketika memeriksa tersangka yang diketahui seorang
Aborigin, penyidik melakukan pemaknaan keliru terhadap
kode bahasa Inggris yang digunakan si tersangka. Analisis ahli
menyimpulkan bahwa sistem bahasa yang digunakan antara
polisi dengan tersangka di dalam proses pemeriksaan
berbeda. Akibatnya, penyidik banyak menuliskan pernyataan
tersangka dengan cara menafsirkan kode bahasa tersangka
berdasarkan pemaknaan yang berlaku di dalam sistem bahasa
Inggris yang dikuasainya. Padahal, sistem bahasa penyidik dan
tersangka sangat berbeda, sekalipun ditemukan adanya
kesamaan kode (bentuk) yang mereka gunakan.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


76
Akibatnya, penafsiran penyidik terhadap maksud
tersangka dan terhadap apa yang seharusnya diartikan tidak
sesuai dengan pemaknaan yang berlaku dalam sistem bahasa
si tersangka. Walaupun penyidik mengklaim bahwa
tersangka menggunakan kode bahasa yang sama ketika
berinteraksi di ruang pemeriksaan, ahli berhasil memastikan
bahwa sistem bahasa antara penyidik dengan tersangka
berbeda. Atas dasar itu, ahli menegaskan, karena sistem
bahasa yang berbeda, proses pertukaran pesan di antara
penyidik dengan tersangka tidak berjalan dengan baik.
Berdasarkan temuan itu, juri pengadilan di Australia
memutuskan untuk membebaskan tersangka dari jeratan
hukum. Dalam kasus ini, penyidik semestinya tidak
memaksakan melakukan pemeriksaan kepada tersangka
tanpa didampingi oleh seorang penerjemah. Sebab,
penyidik pasti akan merasakan adanya kejanggalan yang
muncul dalam bahasa yang digunakan oleh si tersangka
ketika melakukan pemeriksaan.

Bachari (2018: h.27-28) mengatakan bahwa di


Indonesia pemanfaatan ilmu bahasa untuk kepentingan
hukum mulai menunjukkan perkembangan yang positif.
Teori bahasa yang selama ini berkembang dapat
dimanfaatkan oleh kajian linguistik forensik untuk
memecahkan berbagai persoalan, baik itu persoalan yang
terkait dengan; (1) bahasa sebagai alat penyampai hukum,
(2) bahasa sebagai instrumen dalam proses penegakan
hukum, dan (3) bahasa sebagai alat bukti kejahatan.
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
77
Dilibatkannya ahli bahasa di dalam proses peradilan pidana
dalam satu dekade terakhir, semakin banyak dilakukan.
Keterlibatan ahli bahasa dalam persoalan hukum di
Indonesia tidak hanya terjadi pada urusan penanganan kasus
pidana saja, tetapi juga mulai dilibatkan sebagai
pendamping dalam proses penyusunan perundang-
undangan oleh pihak legislatif. Kenyataan ini, tentu saja,
menggambarkan kemajuan yang sangat positif dibandingkan
beberapa waktu sebelumnya. Lebih jauh, Bachari (2018:
h.22-23) mengatakan bahwa tantangan besar yang dihadapi
oleh para praktisi linguistik forensik, bukan terletak pada
persoalan yang terkait dengan keterandalan hasil kajian ilmu
ini. Hal yang justru menjadi tantangan terbesar linguistik
forensik adalah kesiapan dan kemampuan para praktisi
linguistik forensik untuk menerapkan kajian linguistik ke
dalam berbagai isu hukum yang terjadi di tengah
masyarakat.

Dalam linguistik forensik terdapat tiga area atau


bidang kajian yang menjadi hal pokok, yaitu: (1) bahasa
sebagai alat bukti pidana atau kejahatan (Tiersma, 2010),
(2) bahasa sebagai instrumen hukum (Marmor, 2013), dan
(3) bahasa dalam proses penegakan hukum (Cotteril, 2003).

B. BAHASA SEBAGAI ALAT BUKTI KEJAHATAN

Penerapan awal linguistik forensik di Amerika Serikat


yang menempatkan bahasa sebagai alat bukti kejahatan
terkait dengan status merek dagang berupa kata atau frasa
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
78
dalam satu penggunaan bahasa. Kasus awal melibatkan
perselisihan seputar merek dagang McDonald’s yaitu sebuah
merek rantai makanan cepat saji di Amerika Serikat. Dalam
kasus ini, ahli bahasa yang berperan adalah Lentine & Shuy
(1989: h.5). Quality Inns International mengumumkan niat
untuk membuka rantai hotel ekonomis yang disebut
McSleep. Pemilik McDonald’s mengkalaim bahwa awalan
Mc- untuk banyak kata benda yang tidak dilindungi, seperti
Fries dalam McFries, Nuggets dalam McNuggets, dan lain-
lain melarang Quality Inns untuk menggunakan awalan Mc-.
Dalam kasus ini, penggugat tidak hanya mengklaim
kepemilikan secara implisit atas sebuah nama, namun juga
atas asas morfologi, yaitu awalan tertentu untuk setiap kata
benda. Tampaknya, klaim itu secara inheren merupakan
salah satu formula untuk mengombinasikan dengan nama
yang lain (Levi, 1994: h.5) dan inlilah formula perlindungan
yang sedang digunakan. McDonald’s juga mengkalim bahwa
merek dagang yang mereka gunakan berasal dari sebuah
proses menggabungkan kata-kata yang tidak dilindungi
dengan awalan Mc- dan telah menjalankan kampanye iklan
yang menggambarkan hal ini. Dalam bukti yang mereka
tunjukkan, Lentine & Shuy (1989) menjelaskan bahwa
awalan Mc- memiliki aplikasi komersial sebelumnya, dan
bahwa McDonald’s tidak keberatan dengan hal-hal tersebut,
mereka tidak memiliki dasar untuk melakukannya dalam
contoh saat ini. Meskipun ada banyak bukti yang diajukan
oleh Lentine dan Shuy, penilaian untuk penggugat dan

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


79
Quality International Inns tidak dapat meluncurkan rantai
hotel ekonomis mereka di bawah merek McSleep.

Di Jerman, bahasa hukum melibatkan dugaan fitnah


yang dilakukan oleh seorang penyewa di sebuah kompleks
apartemen (Kniffka, 1981). Masalah yang diperkarakan
adalah apakah kata selir itu termasuk sebuah penghinaan.
Ahli bahasa menjelaskan bahwa bagi beberapa pembicara,
kata itu mungkin lucu, karena ada cara lain untuk saling
berinteraksi satu dengan yang lainnya sebagai lelucon,
sementara yang lain menganggapnya sebagai sebuah
penghinaan. Hubungan antara pembicara dan pendengar,
konteks situasi, tingkat pendidikan pembicara perlu
diperhitungkan untuk mempertimbangkan hal tersebut.

Isu lain yang muncul pada masa-masa awal linguistik


forensik di Jerman melibatkan atribusi penulis dan
pengembangan metodologi untuk melakukan analisis
linguistik forensik. Kasus awal, yang dilaporkan Kniffka
(1981) menyangkut tesis saudara kembarnya yang memiliki
kinerja akademis jauh lebih rendah daripada tesis yang
disampaikan pada saat ujian akhirnya. Kniffka (1981)
berpendapat bahwa atribusi penulis dalam kasus ini tidak
mungkin terjadi, karena bahasa yang digunakan pada
dasarnya merupakan bahasa meta hukum dan tidak mudah
untuk menghubungkan penggunaan bahasa kepada seorang
individu tertentu. Kniffka menyarankan otoritas universitas
untuk mengarahkan siswa melakukan ujian tertulis mengenai

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


80
tesisnya guna menguji pengetahuan siswa tersebut. Hal ini,
menurutnya lebih objektif dilakukan daripada
mengandalkan perbandingan subjektif dengan pekerjaan
siswa yang sebelumnya telah diketahui.

Di Indonesia, kasus awal mengenai bahasa sebagai


alat bukti kejahatan ditandai dengan munculnya kasus Prita
Mulyasari dengan rumah sakit Omni Internasional pada
tahun 2008 tepat beberapa hari setelah UU ITE tahun 2008
diberlakukan (Bachari, 2020: h.57). Kasus tersebut bermula
ketika pada 7 Agustus 2008, Prita memeriksakan
kesehatannya di rumah sakit Omni Internasional Tangerang
Banten karena mengalami keluhan dengan suhu tubuh tinggi
dan kepala pusing. Pada awalnya dokter rumah sakit Omni
Internasional mendianogsa Prita demam berdarah, sehingga
Prita disarankan untuk opname agar mendapatkan
perawatan intensif dari tim medis. Namun, bukannya
membaik, keadaan kesehatan Prita justru makin memburuk.
Pada tanggal 12 Agustus 2008, Prita memutuskan untuk
pindah dari rumah sakit Omni Internasional ke rumah sakit
lain di daerah Bintaro. Pada saat pindah ke rumah sakit lain
tersebut keluarga Prita meminta hasil pemeriksaan
laboratorium resmi dari rumah sakit Omni Internasional.
Kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2008 Prita menulis dan
mengirim e-mail pribadi kepada teman terdekatnya
mengenai keluhan pelayanan di rumah sakit Omni
Internasional. Email ini kemudian beredar luas di dunia
maya. Hal inilah yang menjadi penyebab rumah sakit Omni
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
81
Internasional mengajukan gugatan hukum atas perbuatan
yang dilakukan Prita Mulyasari. Prita Mulyasari pun terjerat
dengan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU RI
Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dengan delik pidana
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ancaman
hukuman maksimal enam tahun penjara dan/atau denda
maksimal satu milyar rupiah. Dalam perjalanan kasus, Prita
Mulyasari ditangkap dan ditahan dengan bahasa sebagai
alat bukti kejahatan, yaitu email Prita terkait pelayanan
rumah sakit Omni Internasional. Setelah melakukan
beberapa persidangan sampai pengajuan peninjauan
kembali akhirnya Prita Mulyasari dibebaskan.

C. BAHASA SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM

Bahasa merupakan alat yang digunakan untuk


menyatakan maksud hukum, sekaligus untuk
mendokumentasikan hukum (Trosborg, 1997). Ada banyak
penelitian yang mengambil objek bahasa sebagai instrumen
di dalam dokumen hukum. Penelitian yang dilakukan
Trosborg (1997) terkait retorika bahasa di dalam dokumen
hukum (statuta dan perjanjian kontrak) merupakan salah
satu contoh penelitian bahasa yang diposisikan sebagai
instrumen hukum. Dalam penelitiannya itu, Trosborg (1997)
menggunakan teori analisis wacana kritis untuk mengungkap
makna interpersonal sebagai wujud praktik sosial yang
terdapat di dalam kedua dokumen hukum yang diteliti,
yaitu statuta dan surat perjanjian kontrak.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


82
Penelitian yang dilakukan Barak (2005)
merupakan penelitian yang menyajikan teori interpretasi
hukum komprehensif, yang ditulis oleh seorang hakim dan
ahli teori hukum terkemuka. Sampai dengan saat ini, para
filsuf dan ahli hukum menerapkan teori penafsiran yang
berbeda dalam memahami konstitusi, undang-undang,
peraturan, perjanjian, dan kontrak. Barak (2005)
berpendapat bahwa pendekatan alternatif, yaitu
penerjemahan bertujuan memungkinkan para ahli hukum
dan para ilmuan untuk mendekati berbagai macam teks
hukum dengan cara yang sama, tapi tetap peka untuk
mempertahankan perbedaan yang penting. Selain itu,
terlepas dari penerjemahan bertujuan yang diposisikan
sebagai teori pemersatu, teori ini tetap lebih unggul
dibandingkan metode atau pendekatan penafsiran lain yang
digunakan untuk menangani setiap jenis teks hukum secara
terpisah.

Barak (2005) menjelaskan penerjemahan bertujuan


sebagai sebuah pendekatan untuk menginterpretasi semua
jenis teks hukum yang harus dimulai dengan menetapkan
sebuah konsep. Barak (2005) mengembangkan teori ini
dengan para ilmuan lainnya dengan memperhatikan aplikasi
praktisnya bagi masyarakat. Penelitian ini semakin
memperkaya khasanah pengetahuan terkait metode
penafsiran teks hukum yang terlahir sebelumnya, seperti
pendekatan berbasis teks (textual dan nontextualists) yang
digagas Scalia (1989), pendekatan penafsiran pragmatis yang
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
83
dikembangkan Posner (1996), dan pendekatan filosofi
hukum yang dikembangkan Dworkin (1986). Dibandingkan
dengan ketiga pendekatan yang lebih dahulu diperkenalkan
oleh para penulisnya sebagai sebuah pendekatan untuk
menafsirkan teks hukum, pendekatan yang diperkenalkan
Barak (2005) memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
para ahli hukum dan diandalkan juga sebagai pendekatan
utama yang digunakan oleh para tokoh hukum terkemuka
dalam praktik di dunia peradilan.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan Tiersma


(1999) merupakan penelitian penting terkait dengan bahasa
sebagai instrumen hukum. Dalam hal ini, Tiersma (1999)
mampu menjawab sejumlah permasalahan yang terkait
dengan berbagai dokumen hukum, seperti statuta, putusan
pengadilan, perjanjian kontrak, yang bahasanya cenderung
tidak dapat dipahami. Melalui tinjauan sejarah bahasa
hukum yang sangat dinamis, Tiersma (1999) menjelaskan
terjadinya fenomena ini secara gamblang. Dengan alasan
yang dikemukakan Tiersma (1999), kita dapat memahami
mengapa pengacara ingin selalu berpegang teguh pada
bentuk bahasa semacam ini. Menurut Tiersma (1999) hal itu
tidak harus menjadi ciri yang membedakan sistem hukum
dengan bidang yang lain sekaligus tak dapat dilepaskan dari
bidang hukum.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


84
D. BAHASA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM

Dalm kurun waktu 33 tahun terakhir, ada banyak


hasil penelitian di bidang linguistik forensik yang dibukukan.
Kajian tentang bahasa dalam proses peradilan yang
dirumuskan oleh Levi & Walker (1990) misalnya, merupakan
contoh hasil penelitian mengenai penggunaan bahasa di
ruang sidang. Secara umum, buku yang memuat 12 bab ini
menghimpun hasil pemikiran yang menawarkan perspektif
baru untuk menempatkan bahasa sebagai faktor yang sangat
berpengaruh di dalam persidangan.

Karya Shuy (1993) mengenai Language Crimes: The


Use and Abuse of Language Evidence in the Courtroom
merupakn buku yang ditulis berdasarkan hasil penelitian
panjang yang dilakukannya. Dengan memanfaatkan bahan
yang berupa bukti penuntutan tindak pidana di Amerika
Serikat, Shuy (1993) menunjukkan analisis linguistik yang
terbilang canggih guna menginterpretasi percakapan lisan di
dalam proses penegakan hukum di Amerika Serikat. Karya
Shuy (1993) banyak dirujuk sebagai role model analisis
penggunaan bahasa di ruang sidang seperti yang banyak
dilakukan sampai saat ini.

Selanjutnya, buku yang berjudul Language


and the Law karya Gibbons (1999) merupakan hasil
penelitian tentang modus dan praktik penggunaan bahasa
yang digunakan dalam konteks penegakan hukum. Kajian
dalam buku tersebut tidak hanya memeriksa situasi berbeda
Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.
85
yang timbul di dalam proses hukum, tetapi juga
mengungkap masalah yang melekat sebagai dampak dari
adanya ambiguitas dan distorsi dalam penggunaan bahasa
hukum. Selain itu, buku ini memuat penjelasan mengenai
konsekuensi terkait kendala budaya dalam hasil terjemahan
teks-teks hukum, kekuasaan penerjemah dalam kesaksian
hukum, dan sumber kompleksitas dalam draft hukum. Buku
ini juga menyajikan pembahasan tentang hubungan antara
bahasa dan hukum yang terjadi di berbagai negara dengan
latar budaya yang berbeda.

Terakhir, buku yang berjudul Just Words: Law,


Language, and Power karya Conley & O’Barr (1990),
berhasil menunjukkan persoalan mikro dinamika dalam
proses hukum yang dieksplorasi melalui kerangka analisis
linguistik. Setiap bab dalam buku ini menerapkan
pendekatan berbasis linguistik untuk mengulas permasalahan
dalam konteks pemeriksaan korban dan saksi dalam kasus
mediasi perceraian yang diperlakukan secara tidak adil.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


86
DAFTAR PUSTAKA

Ardi, H. (2016). The impact of translation techniques


toward the quality of translation: A case study
on a social text. Humanus, 15(2),142-153
Ahmad, & Abdullah. (2012). Linguistik Umum. Erlangga.
Aslinda, & Syafyahya, L. (2010). Pengantar Sosiolinguistik.
PT. Refika Aditama.
Ben-Ari, Nitsa. 2004. Ideologi and
Translation.http://www.inst.at/trans
/16Nr/09_4/ben-ari_bericht16.htm
Bainbridge, W. S. (1994). Sociology of Language. In R. E.
Asher and J. M. Simpson (eds.), The Encyclopedia
of Language and Linguistics. Oxford: Pergamon.
Bayley, R. (2013). The Quantitative Paradigm. In Jack K.
Chambers and Natalie Schilling (eds.), The
Handbook of Language Variation and Change. 2nd
edn. Oxford: Wiley- Blackwell, 85–107.
Bachari, A. D. (2018). Penerapan Wawancara Investigatif
Dikaitkan Dengan Daya Bukti Berita Acara
Pemeriksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di
Indonesia. Disertasi tidak dipublikasikan,
Universitas Pendidikan Indonesia.
Bachari, A. D. (2020). Linguistik Forensik: Telaah Holistik
Bahasa dalam Konteks Hukum. Bandung: Prodi
Linguistik SPs UPI.
Bickerton, D. (1975). Dynamics of a Creole System.
Cambridge: Cambridge University Press.
Barak, A. (2005). Purposive Interpretation in Law. Transl.
Sary Bashi. Princeton.
Conley, J. M., & O’Barr, W. M. (1990). Rules versus
relationships: The ethnography of legal discourse.
Chicago: University of Chicago Press.
Cotteril, J. (2003). age and power in the court: A linguistic
analysis of the O.J. Simpson trial. Houndmills:
Palgrave.
Dworkin, R. (1986). Law’s Empire. Harvard University Press.
Chaer, A. (1995). Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Rineka
Cipta.
Chaer, A. (2010). Telaah Bibliografi Kebahasaan. Rineka

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


87
Cipta.
Chaer, A., & Agustina, L. (2004). Sosiolinguistik Perkenalan
Awal (Revisi). PT. Rineka Cipta.
Chambers, J. K., & Trudgill, P. (1998). Dialectology.
Cambridge University Press.
Chomsky, N. (1968). Languagae and Mind. Brace & World.
Dittmar, N. (1976). Sociolinguistics. London: Edward
Arnold.
Fishman, J. A. (1968a). Readings in the Sociology of
Language. The Hague: Mouton.
Fishman, J. A. (1968b). The Language Loyality in the United
State. The Hague: Mouton.
Fishman, J. A. (1971). Advance in the Sociology of Language
(Vol. 1). The Hague: Moulton.
Fishman, J. A. (1972a). Advance in the Sociology of
Language (Vol. 2). The Hague: Moulton.
Fishman, J. A. (1972b). Language in Sociocultural Change.
Stanford University, California.
Fishman, J. A. (1972c). The Sociology of Language. Stanford
University, California.
Fawcett, P. (1998) “Strategies on Translation ” in Baker.
Encyclopedia ofTranslation Studies. London&
NewYork : Routledge:107
Giles, H. (2016). Communication Accommodation Theory.
The International Encyclopedia of Communication
Theory and Philosophy, September, 1–7.
https://doi.org/10.1002/9781118766804.wbiect056
Gumperz, J. J. (1977). The Sociolinguistic Significance of
Conversational Code-Switching. RELC Journal, 8(2),
1–34.
https://doi.org/10.1177/003368827700800201

Gibbons, J. (1990). ‘Applied Linguistics in court.’ Applied


Linguistics, 19, 156–173.
Gibbons, J. (1996). ‘Distortions of the police interview process
revealed by video-tape.’ International Journal of
Speech, Language & the Law, 3(2), 289–298.
Gibbons, J. (1999). Language and the Law. Annual Review of
Applied Linguistics, 19, 156–173.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


88
Hatim, B. & Munday,J. (2004). Translation; An
Advance resource Book. Hoed,
Hadi, M. Z. P & Suhendra, E. (2019). Analisis Ideologi
dan Teknik Penerjemahan pada Teks Terjemahan
Mahasiswa STIBA Bumigora Tahun Akademik
2017/2018. Humanitatis: Journal of Language and
Literature, 6(1), 25-46.Benny. 2003. Ideologi
dalam Penerjemahan. Konas Penerjemahan. Solo
Hakim Yassi, A. (2019). Ancangan Model Kerangka Teori
Kesantunan yang Efektif Mengkaji Budaya Bahasa-
bahasa Heritage di Asia: Review terhadap
Keuniversalitasan Kerangka Teori Kesantunan Brown
& levinson. Linguistik Indonesia, 35(2), 159–186.
https://doi.org/10.26499/li.v35i2.68
Halliday, M. A. K. (2003). On Language and Linguistics.
MPG Books Ltd, Bodrnin, Cornwal, The Tower
Building, 11 York Road, London, SE1 7NX 15 East 26
Street, New York, NY 10010.
Holmes, J. (2013). An Introduction to Sociolinguistics. 4th
edition. In Pearson Education Limited (Vol. 4).
Ismawati, E. (2011). Metode Penelitian Pendidikan Bahasa
dan Sastra. Yuma Pustaka.
Johnstone, B. (2004). Place, Globalization, and
Linguistic Variation. In C. Fought (ed.),
Sociolinguistic Variation: Critical Reflections.
New York: Oxford University Press.
Kurath, H. (2010). Handbook of the Linguistic
Geography of New England. Providence, RI:
Brown University Press.
Karoubi, B. (2008). Ideologi and Translation with a
concluding pointon translation teaching.
TranslationDirectory.com
King, R. D., & Wardhaugh, R. (1970). Introduction to
Linguistics. American Speech, 45(3/4), 285.
https://doi.org/10.2307/454846
Kniffka, H. (1981). Der Linguist als Gutaucher bei Gericht:
Überlegungen und Materialien zu einer
angewandten Soziolinguistik. Bouvier.
Lentine, G., & Shuy, R. W. (1989). “Mc-: Meaning in the
Marketplace.” American Speech, 65(4), 349–366.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


89
Levi, J. (1994). Language and the Law: A bibliographic guide
to social science research in the U.S.A. Chicago:
American Bar Association.
Levi, J. N., & Walker, A. G. (1990). Language in the Judicial
Process (Vol.5). Springer Science & Business Media.
Marmor, A. (2013). Truth in Law. Law and Language, 45–
61.
Posner, R. A. (1996). Pragmatic Adjudication. Cardozo L.
Rev, 18(1).
Latif, S. (2016). Pengaruh Mobilitas Sosial Terhadap
Perubahan Bahasa. Edukasi, 14(1), 383–389.
https://doi.org/10.33387/j.edu.v14i1.182
Larson, M.A. 1984. Meaning-Based Translation. Lanham:
UniversityPress ofAmerica.
Labov, W. (1966). The Social Stratification of English in New
York City. Washington, DC: Center for Applied
Linguistics.
Lane, L. A. (2000). Trajectories of Linguistic Variation:
Emergence of a Dialect. Language Variation and
Change 12: 267–94. New York: Cambridge
University Press.
Machali, R.(2000). Pedoman bagi Penerjemah.
Jakarta:Grasindo.
Mazi, D.L.(2003). Domestication and Foreignization in
Translating American Prose for Slovenian
Children. Meta Vol XLVIII,1
Nuraeni, A., Kusumastuti, F., & Nababan, M. (2016). A
translation study onschool signboards in
Surakarta: Types, functions, and quality.
Humaniora, 28(2),198-207
Meyerhoff, M. (2001). Introducing Sociolinguistics Miriam
Meyerhoff. Language, 77, 1–352.
Muhid, A. (2019). Inter-dialectical Accommodation in Sasak;
Revisiting the Universality of Giles’ Convergence
Theory. Universitas Hasanuddin Makassar.
Muhid, A., Machmoed, H. A., & Hakim Yassi, A. (2020).
Convergence as Communication Strategy
(Syamsurrijal (ed.); 1st ed.). Yayasan Barcode.
Muhid, A., Machmoed, H. A., Yassi, A. H., & Nasmilah, N.
(2020). Factors Affecting the Effectiveness of Inter-

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


90
Dialectical Accommodation among the Sellers-Buyers
Discourse. ELS Journal on Interdisciplinary Studies in
Humanities, 3(2), 170–178.
https://doi.org/10.34050/els-jish.v3i2.10264
Milroy, Lesley and Matthew Gordon (2008).
Sociolinguistics: Method and Interpretation, vol. 13.
2nd edn. Chichester: John Wiley & Sons, Ltd.
Mills, S. (2003). Gender and Politeness. Cambridge:
Cambridge University Press.
Nababan, P. W. J. (1991). Sosiolinguistik Suatu Pengantar.
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tagliamonte, Sali (2006). Analysing Sociolinguistic
Variation. New York: Cambridge University Press.
Pateda, M. (1991). Sociolinguistic. Gramedia.
Saussure, F. de. (1997). Language and Communication
Library. Fergamon.
Sitoto. (2002). Code Switching in a Bilingual and
Multilingual Society (pp. 82–97). Fora.
Suryawinata, Z.& Sugeng, H. (2003). Translation:
BahasanTeori
Tiersma, P. M. (1999). Legal Language. Chicago: Chicago
University Press.
Tiersma, P. M. (2010). Parchment, paper, pixels: Law and
the technologies of communication. Chicago:
University of Chicago Press.
Trosborg, A. (Ed. . (1997). Text Typology and Translation
(Vol.26). John Benjamins Publishing.
Yuliasri, I. (2015). Students’ Choice of Translation
Techniques and Quality of their Translation. The
4th ELTLT International Conference (pp. 389-395).
Semarang: Facultyof Languages and Arts, State
University of Semarang.
Yang,W.(2010). Brief Studyon Domesticationand
Foreignizationins Translation,
Academy Publisher, Finland
Wardhaugh, R., & Fuller, J. M. (2015). An Introduction to
Sociolinguistics (7th ed.).
Wiese, Heike (2014). Voices of linguistic outrage: Standard
language constructs and discourse on new urban
dialects. Urban Language and Literacies 120: 2–25.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


91
TENTANG PENULIS

Dr. Abdul Muhid, M.Pd. lahir di Lombok


Tengah Nusa Tenggara Barat pada tanggal
15 Juli tahun 1982. Menyelesaikan Program
Diploma Tiga di ABA Bumigora Mataram
pada tahun 2004, S1 Pendidikan Bahasa
Inggris di IKIP Mataram sekarang UNDIKMA
pada tahun 2008, S2 Pendidikan Bahasa
Inggris di Universitas Mataram pada tahun
2015, dan S3 Ilmu Linguistik di Universitas Hasanuddin Makassar
pada tahun 2019. Sebagian besar kajian yang dipublikasikan dan
yang dibukukan adalah kajian Linguistik dan Linguistik Terapan.
Semoga book chapter ini dapat berkontribusi lebih untuk
pengembangan ilmu pengetahuan kedepan. Sebagai insan yang
masih selalu dalam proses belajar, saya menunggu kritik dan saran
untuk perbaikan pada karya berikutnya.

Dr.Syamsurrijal, M.Hum menyelesaikan Pendidikan


DII pariwisata dan perhotelan STP Mataram pada
tahun 2001, kemudian melanjut S1 pada Program
Studi Pendidikan Bahasa Inggris UNDIKMA pada
tahun 2005 dan lulus tahun 2009. Setelah itu
melanjutkan studi S2 di Universitas Hasanuddin
Makasar pada prodi English Language study dan
lulus pada tahun 2011. pada tahun 2016 melanjutkan studi S3 di
UNHAS pada prodi Ilmu Linguistik dan Lulus pada tahun 2020 . Ia
mulai aktif mengajar Pada tahun 2012 sampai sekarang aktif
mengajar di Universitas Bumigora pada Fakultas Ilmu Budaya
Program Studi Sastra Inggris Universitas Bumigora. Selain mengajar,
penulis juga aktif sebagai pengurus organisasi Masyarakat Linguistik
Indonesia. Disamping itu, penulis juga aktif menulis artikel Ilmiah
yang diterbitkan pada Jurnal Nasional dan Jurnal Internasional.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


92
Penulis nama lengkap Agus Syahid, dilahirkan
di Mataram pada 03 Agustus 1983. Pendidikan
sekolah dasar diselesaikan penulis pada 1995 di
SDN 3 Kr. Jangkong, lalu pendidikan Sekolah
Menengah Pertama diselesaikan di SMPN 1
Mataram pada 1998, dan pendidikan Sekolah
Menengah Atas diselesaikan di SMUN 3
Mataram pada 2001. Sementara itu,
Pendidikan Sarjana (S1) diselesaikan di Jurusan Sastra Jerman
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada 2007, lalu pendidikan
Magister (S2) diselesaikan pada Program Studi Linguistik, Sekolah
Pascasarjana Universitas Padjadjaran, dan Pendidikan Doktor (S3)
diselesaikan di Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia pada 2023. Minat kajian dan
kepakaran penulis adalah di bidang Linguistik Forensik, Pragmatik,
Semantik, Linguistik Umum, dan Penulisan Karya Tulis Ilmiah.

Muhammad Zaki Pahrul Hadi, lahir di Randu


Bangkol, Lombok Timur pada 30 Maret 1988.
Menyelesaikan Pendidikan S1 pada Program
Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas
Ahmad Dahlan Yogyakarta pada tahun 2011.
Lulus S2 Pendidikan Bahasa Inggris Universitas
Negeri Semarang pada tahun 2015. Ia mulai aktif
mengajar Bahasa Inggris di Lembaga Pendidikan non formal sejak
masih menjadi mahasiswa. Pada tahun 2016, ia juga mendirikan
lembaga Pendidikan ETRA English Training di Mataram sebagai
pusat pengembangan Bahasa Inggris bagai siswa, mahasiswa dan
umum. Saat ini penulis adalah dosen tetap pada Fakultas Ilmu
Budaya Program Studi Sastra Inggris Universitas Bumigora. Fokus
bidang keilmuannya adalah English Language Teaching dan bidang
Penerjemahan. Selain mengajar, penulis juga aktif sebagai pengurus

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


93
organisasi Masyarakat Linguistik Indonesia. Ia terpilih sebagai Ketua
MLI Cabang Bumigora untuk priode 2019-2021 dan kembali terpilih
untuk periode berikutnya. Disamping itu, penulis juga bertugas di
Direktorat Jenderal GTK-Kemendikbudristek sebagai asesor PPG
dan Guru Penggerak sejak 2022. Buku-buku yang pernah ditulis
yaitu; Perbandingan penggunaan Kohesi dalam Bahasa Inggris dan
Bahasa Indonesia (2019) dan Praktis Menguasai Struktur dan Tata
Bahasa Inggris (2023)

Dr.Titik Ceriyani Miswaty, M.Pd, lahir di Mataram


Nusa Tenggara Barat, 18 Mei 1986. Menyelesaikan
Program Doktoral Ilmu Linguistik tahun 2020 di
Universitas Hassanuddin. Karya yang
dipublikasikan terkonsentrasi pada kajian bahasa,
sastra, budaya dan aplikasinya di dunia
pendidikan.

Penulis bernama lengkap Ni Ketut Putri Nila


Sudewi, S.S., M.Hum, lahir di Mataram Nusa
Tenggara Barat pada 27 Maret 1996, ia adalah
anak bungsu dari empat bersaudara.
Menyelesaikan pendidikan S-1 Sastra Inggris pada
tahun 2018 dan S-2 pada tahun 2021 dalam
bidang Ilmu Linguistik di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Udayana, dan sekarang mengabdi sebagai Dosen prodi Sastra
Inggris di Universitas Bumigora. Ini merupakan buku pertamanya,
semoga bermanfaat.

Pengantar Pembelajaran Ilmu Linguistik | Dr. Abdul Muhid, M.Pd dkk.


94
Penerbit :
CV. Insan Kreasi Media

Redaksi:
Jl. Gotong Royong, Gang Jambu, No.183, RT. 05
Kebon Bawak, Ampenan, Kota Mataram, NTB
Telp +6283843555877
Email: insankreasi@gmail.com
Website: www.insankreasimedia.com

Anda mungkin juga menyukai