Anda di halaman 1dari 29

Mata Kuliah

Linguistik Umum (3 SKS)

Buku Sumber/Rujukan (lihat Daftar Pustaka)

Metode: Ceramah, Tugas, dan Diskusi

Lingkup/Cakupan Materi Perkuliahan

1. Pengertian Linguistik
2. Bidang-bidang yang Berhubungan dengan Linguistik
3. Objek Linguistik
4. Pembidangan Kajian Linguistik
4.1 Kajian Sinkronis dan kajian Diakronis
4.2 Kajian Deskriptif dan Kajian preskriptif
4.3 Kajian Murni dan Kajian Interdispliner
5. Hakikat Bahasa
5.1 Pengertian Bahasa
5.2 Karakteristik Bahasa
6. Ragam dan Fungsi Bahasa
7.Bahasa sebagai Kajian Ilmiah
8. Dikotomi-dikotomi dalam Teori Linguistik
6.1 Langue dan Parole
6.2 Petanda dan Penanda
6.3 Relasi Sintagmatis dan Relasi Paradigmatis
6.4 Kompetensi dan Performansi
6.6 Struktur Batin dan Struktur Lahir
9. Satuan-satuan Bahasa
7.1 Fonem dan Huruf
7.2 Morfem
7.3 Suku Kata dan Kata
7.4 Frasa
7.5 Klausa
7.6 Kalimat
7.7 Paragraf
7. 8 Wacana
10. Model-model Gramatika
Uraian Pokok-pokok Materi

1. Pengertian Linguistik

Linguistik berarti ilmu bahasa. Kata linguistik berasal dari kata Latin

lingua ‘bahasa’. Dalam bahasa Prancis, linguistik dikenal dengan nama langue,

langage; dalam bahasa Itali dikenal dengan lingua; dalam bahasa bahasa Spanyol,

lengua; dan language dalam bahasa Inggris. Ilmu linguistik dikenal sebagai

linguistics dalam bahasa Inggris, linguistique dalam bahasa Prancis, dan di

Indonesia dikenal dengan nama linguistik. Ferdinand de Saussure (seorang sarjana

berkembangsaan Swiss, 1857 - 1913) yang dianggap sebagai peletak dasar

linguistik modern mengemukakan beberapa istilah yang berhubungan dengan

linguistik, yakni langage, langue, dan parole. Langage merupakan bahasa

(manusia) pada umumnya, seperti pada ucapan manusia mempunyai bahasa,

binatang tidak mempunyai bahasa. Dalam langage tercakup langue dan parole.

Langue merupakan sistem bahasa yang dimiliki oleh seseorang dan tersimpan

dalam alam pikiran/otak setiap manusia. Langue bersifat individual dan sosial-

universal. Parole merupakan wujud/realisasi dari langue. Dalam realisasinya,

parole berwujud ucapan, tuturan, perkataan seseorang penutur bahasa. (Uraian

tentang langage, langue, dan parole selengkapnya, dapat dibaca pada buku

Linguistik oleh Alwasilah, 1987:70-72).

Selain linguistik, kita pun mengenal linguis dan poliglot. Seorang ahli

linguistik atau ahli ilmu bahasa disebut linguis. Hal ini berbeda dengan poliglot.

Poliglot berasal dari bahasa Yunani, poly ‘banyak’ dan glotta ‘bahasa’. Jadi,
poliglot berarti ‘orang yang menguasai (mampu berkomunikasi) dalam beberapa

(banyak) bahasa’. Seorang poliglot belum tentu dia seorang linguis, sebab dia

hanya fasih dalam berbagai bahasa tetapi tidak ahli dalam ilmu bahasa. Seorang

linguis dapat disebut poliglot, walaupun hanya dalam batas penguasaan

reseptif/pasif terhadap berbagai bahasa.

Berkaitan dengan pengertian linguistik, berikut ini dikemukakan beberapa

pandangan ahli mengenai batasan atau pengertian linguistik.

a. Linguistik hanya memiliki satu-satunya bahasan pokok yaitu sistem bahasa

ditinjau dari sudut bahasa dan untuk bahasa itu sendiri (Ferdinand de

Saussure).

b. Linguistik adalah studi bahasa manusia yang meliputi unit-unit, hakikat,

struktur, dan perubahan bahasa (Webster’s Dictonary).

c. Linguistik adalah ilmu yang memerikan dan menggolongkan bahasa-bahasa.

Linguis mengidentifikasikan dan memerikan struktur suatu bahasa yang

meliputi unit-unit dan sistem bunyi, kata-kata dan morfem-morfem, frasa-

frasa, dan kalimat-kalimat (Lado).

d. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa secara ilmiah (the scientific

study of language).

TugasAnda, carilah padanan kata bahasa dalam bahasa daerah Anda masing-

masing untuik menambah wawasan pemahaman tentang bahasa!

2. Bidang-bidang yang Berhubungan dengan Linguistik


Bahasa dapat diselidiki atau dapat dipergunakan/dimanfaatkan oleh

berbagai disiplin ilmu. Pemanfaatan ilmu bahasa oleh ilmu-ilmu lain atau

sebaliknya, bahasa memanfaatkan ilmu-ilmu lain, kemudian melahirkan disiplin

ilmu baru yang merupakan perpaduan dari berbagai disiplin ilmu tersebut. Berikut

ini dikemukakan beberapa disiplin ilmu yang memanfaatkan linguistik dalam

menelaah/mengkaji ilmunya atau sebaliknya.

Seorang sosiolog dapat menyelidiki bahasa dari sudut sosial. Lahirlah

sosiolinguistik, yakni mengkaji seluk-beluk hubungan aneka pemakaian bahasa

dengan perilaku sosial masyarakat. Seorang psikolog dapat pula meneliti bahasa

dari sudut psikologi sehingga lahirlah psikolinguistik yang mengkaji/menelaah

seluk-beluk aneka pemakaian bahasa dengan perilaku akal budi/pikiran manusia.

Seorang ahli budaya dapat pula meneliti/mengkaji bahasa dalam hubungannya

dengan aneka pemakaian bahasa dengan pola kebudayaan masyarakat, lahirlah

ilmu etnolinguistik. Selain itu, dikenal pula antropolinguistik yang

menggabungkan ilmu antropologi dan linguistik, paralinguistik yang

memusatkan perhatiannya pada aktivitas-ativitas/gerakan-gerakan tertentu yang

mengiringi pengucapan bahasa. Akhir-akhir ini bahkan ada sekelompok ahli yang

mengembangkan filolinguistik yang mencoba melihat keterkaitan antara ilmu

perbandingan atau telaah naskah dengan memanfaatkan ilmu bahasa.

3. Objek Linguistik
Objek kajian linguistik adalah bahasa (manusia), sebagaimana pandangan

Ferdinand de Saussure yang mengemukakan tiga aspek berkaitan dengan

bahasa, yakni Langage, langue, dan parole. Langage merupakan objek yang

paling abstrak (bahasa pada umumnya). Langue merupakan objek yang sedikit

abstrak (bahasa pada tataran sistem yang terdapat dalam alam pikiran/otak

manusia). Parole merupakan objek kongkret untuk para ahli/peneliti bahasa,

karena pada aspek ini, telah tiba pada tahapan tuturan/ucapan atau ujaran. Parole

adalah keseluruhan ujaran seseorang. Mengacu pada pandangan ini lalu

ditetapkanlah bahwa bahasa yang menjadi objek kajian linguistik ini adalah

bahasa lisan. Bahasa lisan merupakan objek utama/primer dalam kajian

linguistik, sedangkan bahasa tulis (ortografi) yang merupakan turunan dari bahasa

lisan, merupakan objek tambahan/sekunder dalam kajian linguistik.


DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar.

1987. Linguistik suatu Penganta. Bandung:Angkasa


1993. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik,
Bandung:Angkasa.

Bawa, I Wayan,

1985. Cakrawala Linguistik., Denpasar:Udayana

Ferdinand de Saussure

1993. Pengantar Linguistik Umum (terjemahan Rahayu S. Hidayat),

Yokyakarta, Gadjah Mada University

Lyons, John

1991. Pengantar Teori Linguistik (terjemahan I Soetikno), 1991,

Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.

Mansoer Patteda

1990. Linguistik sebuah Pengantar, Bandung:Angkasa

Robins, R.H.

1992. Linguistik Umum Sebuah Pengantar (terjemahan S. Djajanegara),

Yokyakarta:Kanisius.

Samsuri

1986. Analisis Bahasa, Jakarta:Erlangga.

Suparno, IGN Oka,

1994, Linguistik Umum, Jakarta:Depdiknas.

Verhaar, J.W.M.

1986. Pengantar Linguistik, Yokyakarta:Gajah Mada University.

1996, Azas-azas Linguistik Umum,, Yokyakarta:Gajah Mada Universit


MATERI 2

4. Pembidangan Kajian Linguistik

Secara umum, pembidangan linguistik dapat dibagi sebagai berikut.

4.1 Mikrolinguistik

Kajian mikrolinguistik adalah kajian bahasa yang mempelajari bahasa

secara internal. Hal ini berarti bahwa sasaran kajian mikro adalah unsur-unsur di

dalam bahasa yang meliputi unsur-unsur bunyi bahasa, kata dan bentukan-

bentukan kata, frasa, klausa/kalimat, leksikon, dan makna. Kajian mikrolinguistik

ini meliputi (a) kajian teoretis dan (b) kajian terapan. Kajian teoretis merupakan

kajian bahasa yang diarahkan untuk pengembangan teori-teori kebahasaan. Jika

kajian terhadap bahasa Cia, Muna, Wolio, atau Tolaki misalnya, dimaksudkan

untuk mengkaji dan mengungkapkan kaidah-kaidah bahasa tersebut, maka kajian

ini tergolong kajian teoretis, yang biasa dikenal dengan linguistik teoretis. Akan

tetapi, jika kajian tersebut dipakai untuk penyusunan bahan ajar di sekolah dasar

atau lanjutan (misalnya struktur kalimat bahasa Cia, struktur kalimat bahasa

Muna, bahasa Wolio, dsb), maka kajian tersebut merupakan kajian terapan, pula

berupa penbelajaran bahasa, penerjemahan, leksikografi, fonetik, pembinaan

bahasa, dan sebagainya

4.2 Makrolinguistik.

Kajian ini berusaha mengkaji bahasa secara eksternal, yakni mengkaji bahasa

dari segi-segi luar bahasa atau keterkaitan bahasa dengan bidang/ilmu lain, seperti

segi neurologi (syaraf), sosialogi (sosial), antropologi (symbol-budaya), filologi


(ilmu naskah/teks), psikologi (kejiawaan), filsafat, dsb. Karena itu, kajian ini

berhubungan dengan bidang-bidang seperti sosiolinguistik, psikolinguistik,

antropolinguistik, filolinguistik, neurolinguistik dan lain-lain.

4.3 Sejarah linguistik

Sejarah linguistik menyangkut perkembangan ilmu bahasa sejak Plato-

Aristoteles hingga sekarang ini (lihat Kridalaksana, 1984:xxxviii; Patteda,

1990:45; dan Alwasilah, 1987:84).

Selain ketiga kajian tersebut, terdapat pula beberapa kajian lain, yakni (1)

kajian sinkronis dan kajian diakronis, (2) kajian deskriptif dan kajian preskriptif,

dan (3) kajian murni dan kajian intersipliner.

4.4 Kajian Sinkronis dan Kajian Diakronis

Bahasa dapat dikaji dalam waktu atau masa tertentu dan dapat pula dikaji

dalam waktu yang berbeda. Dengan kata lain, bahasa memiliki objek kajian dalam

dimensi waktu yang sama dan objek kajian dalam dimensi waktu yang berbeda.

Kajian bahasa secara sinkronis (bahasa Yunani, syn ‘dengan’, khronos ‘waktu’)

memerikan bahasa pada masa tertentu. Dalam kajian sinkronis tidak ada target

kajian untuk menunjukkan perkembangan bahasa. Bahasa yang diperikan adalah

bahasa yang berlaku pada saat kajian bahasa itu dikerjakan. Karena itu, kajian ini

biasa juga disebut kajian deskriptif atau kajian bahasa secara horizontal.

Jika kajian suatu bahasa menghasilkan informasi perkembangan suatu

bahasa, kajian tersebut merupakan kajian diakronis (bahasa Yunani, dia


‘melalui’ khronos ‘waktu, masa’). Dengan demikian, kajiannya berlaku secara

vertikal. Misalnya, perkembangan kosakata bahasa Indonesia dari zaman

Abdullah bin Abdul Kadir Munsy – zaman Balai Pustaka – Pujangga Baru –

Kemerdekaan – hingga bahasa Indonesia pada saat sekarang ini.

Jika sifat sinkronis yang diutamakan, atau dengan kata lain kajian

difokuskan pada perbandingan bahasa pada satu kurun waktu, maka kajian

bahasanya dapat berupa kajian komparatif (perbandingan antarbahasa pada

waktu/periode yang sama), sedangkan jika kajian diakronis yang diutamakan

atau dengan kata lain melihat perkembangan suatu bahasa dari waktu ke waktu

atau kurun waktu yang berbeda, maka kajian bahasanya merupakan kajian

historis komparatif. Jika sasaran kajiannya dari segi kesejarahan, tanpa ada usaha

membandingkan keberadaan suatu bahasa, kajian seperti ini merupakan kajian

historis atau linguistik historis (historical linguistics).

4.5 Kajian Deksriptif dan Kajian Preskriptif

Kajian bahasa secara deksriptif adalah kajian bahasa yang mengutamakan

keberadaan suatu bahasa pada masa/saat bahasa itu digunakan. Dengan kata lain,

bahasa yang dikaji adalah bahasa yang hidup atau masih dipergunakan oleh

penuturnya pada saat kajian itu dilakukan.

Dalam metodologi penelitian bahasa, istilah deskriptif mengacu pada

keberadaan bahasa itu sebagaimana adanya. Karena itu, bahasa yang dijadikan

data penelitian adalah bahasa yang benar-benar ada atau hidup dan dipergunakan

oleh penuturnya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak boleh dibuat-buat. Tidak pula

mempertimbangkan adanya pandangan benar atau salah.


Kajian tersebut berbeda dengan kajian preskriptif yang lebih menekankan

pada tata bahasa suatu bahasa. Suatu kajian dianggap salah bila bertentangan

dengan kaidah atau aturan yang telah berlaku dalam suatu bahasa. Seorang

pengguna bahasa Indonesia misalnya harus selalu memperhatikan kaidah-kaidah

penggunaan bahasa Indonesia. Tidak boleh melanggar kaidah-kaidah yang berlaku

dalam bahasa Indonesia. Kajian bahasa seperti ini biasa kita temukan dalam dunia

pengajaran bahasa di sekolah-sekolah, terutama pengajaran yang berorientasi pada

kaidah-kaidah bahasa. Anda masih ingat tentang istilah belajar bahasa dan

belajar tentang bahasa. Yang pertama lebih berorientasi pada pemanfaatan

bahasa sebagai alat komunikasi (bahasa fungsional), sedangkan yang kedua lebih

berorientasi pada pengajaran kaidah-kaidah bahasa.

4.6 Kajian Murni dan Kajian Interdisipliner

Kajian murni adalah kajian bahasa yang tidak dikaitkan dengan dengan

disiplin ilmu lain. Dengan kata lain, kajian murni semata-mata hanya berfokus

pada ilmu bahasa itu sendiri. Kajian ini biasa juga disebut dengan linguistik

murni. Nama linguistik bahasa Indonesia misalnya merupakan kajian murni. Di

dalam kajian itu, dari segi pendekatan struktural, dapat diramalkan terdapat

struktur fonologi bahasa Indonesia, morfologi bahasa Indonesia, sintaksis bahasa

Indonesia, semantik bahasa Indonesia, dan wacana bahasa Indonesia.

Kajian interdisipliner merupakan gabungan dua disiplin ilmu, yakni

kajian bahasa dengan ilmu-ilmu lain. Walupun demikian, jika fokus atau

sasarannya pada bahasa, maka kajian bahasa merupakan disiplin ilmu yang

dominan. Misalnya kajian bahasa dari segi fonetik dan fenemik. Kajian bahasa
dari segi psikologi, kajian bahasa dari segi sosial kemasyarakatan, dari segi

antropologi, atau dari segi filologi. Prinsipnya, segala sesuatu yang

memungkinkan adanya disiplin ilmu apa saja yang dapat dikombinasikan dengan

kajian bahasa. Disiplin ilmu lain itu bisa berupa fonetik, sosiolinguistik,

psikolinguistik, antropolinguitsik, filolinguistik, dan sebagainya.


MATERI 3

8. Dikotomi-dikotomi dalam Linguistik

Ferdinand de Saussure (Sarjana yang berkebangsaan Swiss, 1857-1913)

yang dikenal dengan Bapak Linguistik Modern membuat dikotomi-dikotomi

dalam linguistik. Dikotomi-dikotomi yang beliau kembangkan meliputi sinkronis

- diakronis, langue – parole, sintagmatik - paradigmatik, petanda – penanda

seperti tampak pada 8.1 hingga 8.4, dan Chomsky yang digelari sebagai Bapak

Linguistik Transformasi mengemukakan dikotomi antara kompetensi -

performansi dan strukur lahir - struktur batin, sebagaimana tampak pada 8.5 - 8.6

berikut ini.

8.1 Sinkronis – Diakronis

Bahasa dapat dikaji dalam waktu atau masa tertentu dan dapat pula dikaji

pada waktu atau masa yang berbeda. Jika kajian bahasa dimaksudkan untuk

mengetahui atau memerikan bahasa pada masa tertentu, tanpa target untuk

mengetahui perkembangan bahasa, kajian tersebut disebut kajian sinkronis (dari

kata Yunani, syn ‘dengan’, ‘bersama’, dan khronos ‘waktu’). Misalnya, kajian

bahasa Wolio, Tolaki, Muna, Bugis untuk memerikan bahasa-bahasa itu pada

masa sekarang, kajian itu itu bersifat sinkronis. Kajian sinkronis bersifat

horizontal. Akan tetapi, bila kajian itu dimaksudkan untuk mengetahui

perkembangan bahasa Wolio, Muna, Tolaki, dan sebagainya dari masa/waktu

(dahulu) ke waktu (sekarang), kajian itu bersifat diakronis (dari kata Yunani, dia

‘melalui’ dan khronos ‘waktu’). Kajian diakronis bersifat vertikal.


8.2 Langue – Parole

Langue adalah totalitas dari sejumlah fakta atau sistem suatu bahasa.

Langue ada pada setiap orang. Langue adalah sesuatu yang berkadar individual

sekaligus sosial universal. Satu masyarakat bahasa secara konvensional dan

manasuka mengakui dan menyetujui suatu totalitas aturan dalam berbahasa dan

setiap anggota masyarakat memahami totalitas aturan tersebut. Dengan demikian,

dapat dikatakan bahwa langue merupakan pengetahuan atau kemampuan

berbahasa yang dimiliki oleh setiap manusia pengguna suatu bahasa. Bila kita

orang Indonesia dan mampu memahami bahasa Indonesia, maka kita memiliki

langue bahasa Indonesia. Demikian pula bila kita orang yang menggunakan

bahasa daerah tertentu, maka kita memiliki langue bahasa daerah tersebut.

Langue sebagai suatu sistem masih abstrak adanya. Kita belum dapat

mengetahui apakah seseorang memiliki pengetahuan atau kemampuan berbahasa

tentang bahasa tertentu atau tidak. Akan tetapi, jika seseorang telah mampu

menggunakan bahasa dalam berkomunikasi, barulah orang paham bahwa yang

bersangkutan memiliki langue suatu bahasa. Jadi, langue hanyalah sebuah konsep

yang mendasari ucapan bahasa yang tampak dalam kegiatan berbahasa, yakni

yang mendasari parole.

Parole adalah ujaran seseorang, yaitu apa yang diucapkan dan apa yang

didengar oleh pihak penanggap ujaran. Parole sifatnya pribadi, sosial, terjadi pada

waktu, tempat dan suasana tertentu. Parole kongkret adanya. Parole inilah yang

teramati langsung oleh linguis. Dari parolelah dapat diketahui sistem langue

seseorang (baca Alwasilah, 1987:71-72). Sebagai bahan banding, baca pula

pandangan Kridalaksana tentang F.de Saussure sebagai Bapak Strukturalisme


yang dimuat dalam pengantar buku Pengantar Linguistik Umum, terbitan 1993

halaman 4-9.

8.3 Petanda – Pananda


Saussure mengemukakan tiga hal yang berhubungan dengan uraian ini,

yakni signe (tanda), signifie (petanda), dan siginifiant (pananda). Pandangan ini

kemudian dikembangkan Verhaar dan dimodifikasi Oka dan Soeparno dengan

uraian berikut.

signifie signified petanda makna

signe …………… = sign ……….. = tanda ……… = kata

signifiant signifier penanda citra bunyi

(Perancis) (Inggris) (Indonesia)

Tanda atau lambang merupakan wujud yang menyatakan dan

menghubungkan dua hal, yakni konsep atau makna dan citra bunyi. Dengan kata

lain, tanda mencakup dua aspek, yakni petanda dan penanda.

Petanda merupakan konsep, atau gagasan, atau pengertian, atau makna

yang terdapat dalam pikiran manusia. Petanda itu disebut juga kesan makna

berdasarkan pertimbangan yang jelas. Makna menghubungkan bahasa dengan

dunia luar sesuai kesepakatan para pemakai bahasa sehingga dapat saling

mengerti. Apa yang terdapat pada otak manusia sebenarnya merupakan wujud

abstrak dari konsep-konsep yang beraneka ragam.

Penanda merupakan citra bunyi. Penanda merupakan gambaran akuistis.

Saussure menegaskan bahwa tanda bahasa menyatukan, bukan hal dengan nama,

melainkan konsep dan gambaran akuistis. Dengan demikian, terdapat hubungan


yang erat antara petanda dan penanda. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Tidak

ada konsep tanpa citra bunyi, dan sebaliknya tidak ada citra bunyi tanpa konsep

dalam kerangka pembentukan lambang atau tanda. Walupun demikian, hubungan

itu bersifat arbitrer; tidak ada hubungan logis antara petanda dan penanda, antara

yang melambangkan dan yang melambangi. Penanda merupakan citra bunyi yang

bersifat linier. Unsur-unsur penanda itu membentuk sebuah rangkaian; unsur yang

satu menyertai unsur yang lain dalam aturan tertentu.

8.4 Relasi Sintagmatik – Relasi Paradigmatik

Menurut Saussure, kalimat merupakan satu rangkaian tanda-tanda yang

masing-masing memiliki ciri tersendiri, tetapi memberikan makna atau arti secara

keseluruhan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, terdapat dua hubungan antarunsur

antartanda dalam sebuah tuturan, yakni hubungan sintagmatik dan hubungan

paradigmatik. Kedua hubungan dalam bahasa dapat digambarkan sebagai berikut.

sintagmatik

Pa- Dia membawa barang

ra- Temannya membuang sampah

dig- Adik saya menonton tari lulo

ma- Dosen kami menyusun ringkasan materi

tik- Penerbit mencetak buku pelajaran


Selengkapnya, uraian kedua hubungan/tauatan tersebut dapat dilihat pada uraian

berikut.

Rangkaian satu tanda dengan tanda lainnya dalam sebuah tuturan yang

saling berhubungan disebut tautan/hubungan sintagmatik. Dengan kata lain,

hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam

sebuah tuturan (hubungan inprasentia). Tautan atau hubungan sintagmatik ini

dapat terjadi pada tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis.

Contoh tautan sintagmatik

(1) Tataran Fonologi, urutan fonem tidak dapat diubah tanpa mengakibatkan

perubahan arti

Misalnya b- a - t- u => batu

b- u - t- a => buta

b- u - a- t => buat

b- a- u- t => baut

t- u- b- a => tuba

t- a- b- u => tabu

Tataran morfologi, Urutan unsur-unsur yang berupa morfem-morfem dalam

suatu kata umumnya tidak dapat diubah tanpa menimbulkan perbedaan makna.

Misalnya ter + ambil => terambil tidak ada bentukan *ambilter

ambil + kan =>ambilkan tidak ada bentukan *kanambil

raja singa berbeda dengan singa raja

anak istri berbeda dengan istri anak

ibu guru berbeda dengan guru ibu

pengusaha wanita berbeda dengan wanita pengusaha.


(2) Tataran sintaksis, urutan unsur-unsur yang berupa kata-kata dalam sebuah

kalimat, kadang-kadang dapat diubah tanpa mengubah makna.

Bandingkan antara: (a) Ayah pulang kemarin bisa diubah menjadi

(a’) Ayah kemarin pulang atau

(a’’) Kemarin ayah pulang; akan tetapi

(b) Amir mencintai Mia berbeda dengan Mia mencintai

Amir

(c) Kuliah ini baru berbeda dengan Ini baru kuliah.

Tautan paradigmatik adalah tautan antara unsur-unsur yang terdapat

dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur lain yang sejenis yang tidak terdapat

dalam tuturan yang bersangkutan (hubungan in absentia). Hubungan ini disebut

hubungan asosiatif. Hubungan paradigmatik dapat diperoleh dengan penyulihan.

(1) Tataran Fonologi,

t
d
m
l
k + ari
j
s
c
h
(1) Tataran Morfologi

a. me-
di-
ter- + latih
pe-
ber-

b. meN-

di-

ter- + saring

peN-

(2) Tataran Sintaksis, seperti:

Ali membaca koran

Dia mengambil baju

Mereka makan nasi

Saya menarik becak

S P O

N/pron Verba Nomina

8.5 Kompetensi – Perfomansi

Ada beberapa batasan kompentensi, yaitu sebagai berikut

(1) kompotensi atau kemampuan diartikan sebagai pengetahuan yang

dimiliki pemakai bahasa tentang bahasanya

(2) pengetahuan yang dimiliki pemakai-pendengar asli tentang bahasanya


(3) pengetahuan yang dimiliki secara tidak sadar, secara diam-diam,

secara intrinsik, implisit, intuitif, dan terbatas

(4) merupakan sistem kaidah yang abstrak dan terbatas yang mendasari

perilaku linguistik si pembicara yang dapat menganalisis dan

mensintesiskan secara tepat hubungan bunyi-arti sejumlah kalimat

yang tidak terbatas.

Secara singkat, Chomsky mengartikan kompetensi sebagai pengetahuan penutur-

pendengar mengenai bahasa mereka. Pengetahuan itu meliputi pengetahuan sistem

atau kaidah bahasa setiap penutur.

Performansi atau perbutan adalah adalah pemakaian bahasa itu sendiri

dimdalam keadaan yang sebenarnya. Performansi linguistik mengacu kepada

proses-proses kognitif, proses-proses kesadaran dan pengertian yang

dipergunakan setiap individu di dalam penggunaan pengetahuan linguistiknya

secara aktual. Dengan kata lain, performansi adalah teori penggunaan bahasa;

penggunaan bahasa yang sesungguhnya; merupakan hal yang sesungguhnya yang

dilakukan oleh pembicara-pendengar berdasarkan pengetahuannya mengenai

suatu bahasa.

Dalam pembicaraan kompentensi dan perfomansi ini, akan lebih jelas bila

melibatkan pembicara – pendengar serta saling pengaruh antara keduanya.

Hubungan antara keduanya dapat dilihat dalam struktur berikut.

Struktur Pikiran
Strategi Pembicara Gelombang Bunyi Strategi Pendengar

Deksripsi Struktural.

8.6 Struktur Batin – Struktur Lahir

Aspek bahasa dapat mencakup struktur batin (deep stucture) dan struktur

lahir (surface structure). Strktur batin dapat didefinisikan sebagai struktur yang

dianggap mendasari kalimat atau kelompok kata yang mengandung semua

informasi

yang diperlukan untuk interpretasi sintaksis dan semantik kalimat dan yang tidak

nyata secara langsung dari deret linier kalimat atau kelompok kata (Kridalaksana,

1994).

Tuturan yang nyata yang menggambarkan urutan linear bunyi, kata, frasa,

kalimat merupakan struktur lahir. Perhatikan contoh kalimat berikut ini.

Kalimat yang berwujud struktur luar Saya makan nasi kemarin, dapat

memiliki dua kemungkinan arti, yakni (1) kemarin saya makan nasi atau (2) nasi

kemarin yang saya makan. Konstituen kemarin dapat menjadi adverbial dalam

kalimat atau dapat pula menjadi atribut dalam frasa nasi kemarin. Struktur batin

kalimat tersebut bila dianalisis secara diagram pohon, dapat dilihat seperti berikut.
(1) K (2) K

FN FV FN FV

FV N N V N

N V N Adv N V N Adv

saya makan nasi kemarin saya makan nasi kemarin


MATERI 4

5. Hakikat Bahasa

5.1 Pengertian

Bahasa itu merupakan bagian intergral dari diri manusia. Maksudnya

bahwa bahasa hanya dimiliki dan dipergunakan oleh manusia. Karena itu. bahasa

tidak dapat dipisahkan dengan aktivitas kehidupan manusia. Untuk membuat

batasan atau pengertian bahasa, selalu tidak dapat dipisahkan dengan manusia

sebagai pengguna bahasa. Para ahli memang memiliki batasan atau pengertian

yang berbeda-beda mengenai bahasa. Akan tetapi, di antara perbedaan sudut

pandang itu terdapat titik temu dari keragaman pandangan itu bahwa bahasa dapat

dipakai sebagai alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi. Berikut

ini, dikemukakan beberapa batasan tentang bahasa.

a. Bahasa adalah sistem simbol vokal yang arbitrer yang memungkinkan semua

orang dalam suatu kebudayaan tertentu atau orang yang mempelajari sistem

kebudayaan itu, berkomunikasi atau berinteraksi (Finnochiaro).

b. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh

para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan

mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 1984:19).


c. Bahasa adalah sistem lambang bunyi oral yang artbitrer yang digunakan oleh

sekelompok manusia (masyarakat) sebagai alat komunikasi atau berinterakasi

(Simpulan dari Oka dan Suparno, 1994).

d. Bahasa merupakan sistem bunyi yang diproduksi manusia untuk

mengomunikasikan makna. Bahasa itu mewakili fungsi sosial, tanpa fungsi itu,

masyarakat tidak mungkin ada (Nasr dalam Oka, 1994).

Sebagai simpulan, dapat dikemukakan bahwa bahasa adalah bunyi yang

dihasilkan oleh alat ucap manusia berupa lambang atau tanda yang

sistematis, arbitrer dan konvensional, berrmakna, dan dipergunakan sebagai

alat komunikasi. Lalu bagaimana pandangan Anda tentang pengertian bahasa.

5.2 Sifat/Karakteristik Bahasa

a. Manusiawi. Hanya manusia yang mampu menggunakan bahasa. Bahasa

dipakai manusia untuk berkomunikasi antara sesamanya. Dalam sejarah

komunikasi menunjukkan bahwa manusialah (Nabi Adam a.s.) yang menjadi

pemilik bahasa. Dengan bahasa manusialah, seluruh ciptaan Tuhan dapat

disebut, ditelaah, dan dapat dikaji satu per satu. Dalam konteks inilah

kemudian, manusia dapat mengenal (membahasakan) siapa dirinya dan

bagaimana ia bisa berkomunikasi dengan lingkungannya. Sebagai mahluk

sosial, manusia tidak akan mampu hidup tanpa bahasa. Bahkan suatu

kehidupan manusia, hanya ada bila bahasa ada. Tanpa bahasa, kehidupan

manusia tidak akan pernah ada.


b. Oral. Ciri bahasa adalah bunyi-bunyi yang dilisankan. Hal ini ditunjang

terutama oleh pengalaman berbahasa yang paling umum dari manusia adalah

menyimak dan berbicara. Kehadiran bunyi bahasa lebih dahulu daripada

kehadiran tulisan. Bahasa pada hakikatnya adalah lisan (Blooomfiled dalam

Oka, 1984). Tulisan atau sistem tulisan hanya representasi dari lisan. Akan

tetapi, tidak semua tulisan mampu mewakili isyarat-isyarat yang

diucapkan/dilisankan. Dalam bahasa Indonesia misalnya terdapat kalimat yang

secara tertulis memiliki dua makna/pengertian, yakni Dukun beranak di pasar

baru. Namun jika dilisankan tidak akan terjadi keambiguan makna tersebut.

Dukun/ beranak di pasar baru atau Dukun beranak/ di pasar baru. Kalimat

pertama mengiformasikan seorang dukun yang masih melahirkan anak,

sementara kalimat kedua menginformasikan profesi seorang dukun beranak.

c. Lambang dan Tanda. Bahasa adalah seperangkat tanda atau lambang. Para

ahli ada yang membedakan tanda dengan lambang. Samsuri (1986)

mengemukakan bahwa sesuatu yang berdiri untuk sesuatu yang lain disebut

tanda. Urutan-urutan bunyi seperti /j/, /a/, /m/ menjadi [jam] misalnya jauh

lebih sukar untuk diterangkan bila dihubungkan dengan benda yang

dimaksudkan oleh urutan-urutan bunyi tersebut. Demikian pula dengan kata

[bangsa], [rumah] dsb. Hal ini berbeda dengan lambang. Lambang biasanya

mempunyai hubungan dengan apa yang dimaksudkan oleh kata atau nama

sebuah benda. Neraca misalnya yang memiliki sifat tidak berat sebelah

sehingga dipakai sebagai lambang keadilan; kapas sebagai lambang sandang;


padi sebagai lambang pangan. Dalam kebutuhan berbahasa secara praktis,

tanda dan lambang digunakan secara bersama-sama.

d. Sistem. Bahasa di samping sistemis juga sistematis. Bahasa itu bersifat

sistemis artinya bahwa di dalam setiap bahasa terdapat unit-nit atau bagian-

bagian (subsistem-subsistem) membentuk satu kesatuan sistem yang lebih

besar. Pada hakikatnya, bahasa itu memiliki (1) subsistem bunyi dan (2)

susbsistem gramatika (Boey, 1982). Dalam pandangan yang lain,

dikemukakan bahwa setiap bahasa memiliki struktur ganda (dual structure),

yakni subsistem satuan-satuan yang bermakna dan subsistem yang tidak

bermakna berupa bunyi-bunyi (bahasa) yang membentuk satuan-satuan

bermakna. Karena itu, secara sistemis, bahasa memiliki subsistem fonologi,

morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana.

Bahasa itu sistematis berarti bahwa bahasa itu memiliki kaidah-kaidah atau

aturan-aturan yang berlaku dalam suatu bahasa. Dengan demikian, sistem

suatu bahasa mudah dipahami karena adanya kaidah yang berlaku di setiap

bahasa.

e. Arbitrer dan Konvensional. Sifat arbitrer suatu bahasa dilihat dari hubungan

antara tanda atau lambang dan yang ditandai atau dilambanginya. Tidak ada

hubungan yang jelas dan erat antara kata kursi dengan benda yang menjadi

tempat duduk; antara kata kuda dengan hewan yang biasa dipergunakan untuk

menarik kerata, delman, olah raga pacuan, dsb. Dengan kata lain, tidak ada

hubungan yang benar-benar jelas antara kata sebagai simbol dengan referen

atau rujukan/bendanya. Sifat konvensional bahasa terlihat pula pada nama


atau kata yang mewakili sebuah benda dengan benda yang dinamainya. Jika

orang Inggris menyebut hewan yang bersayap dan bertelur dengan bird;

orang Indonesia menyebut burung; orang Jawa menyebut manuk; orang Arab

menyebut tairan; dan orang Belanda menyebut vogel. Jadi, konvensional

berhubungan dengan kesepakatan masyarakat pengguna suatu bahasa terhadap

penamaan suatu benda.

f. Bermakna. Dalam kaitan dengan tanda atau lambang, suatu bahasa selalu

memiliki makna. Bahkan dalam sebagian pandangan para ahli bahasa,

dikatakan bahwa setiap bahasa pasti memiliki bentuk dan makna. Hal ini

pulalah yang melahirkan pandangan bahwa di dalam bahasa berlaku prinsip

bahwa jika berbeda bentuk pasti berbeda makna. Karena itu, dalam mengkaji

bahasa kita tidak bisa melepaskan diri dari kedua aspek itu. Kata atau nama

sebuah benda selalu ada yang diwakilinya. Konsep yang diwakilinya itulah

yang disebut makna atau arti. Makna atau arti dalam suatu bahasa ini dapat

berlaku pada tingkat kata, frasa, klausa/kalimat, wacana, dan sebagainya.

g. Terbatas tapi Produktif dan Kreatif. Dari segi jumlah vokal dan konsonan

setiap bahasa, memang terbatas. Namun dari jumlah yang terbatas itu dapat

membentuk sejumlah suku kata, morfem, kata, frasa, klausa/kalimat, wacana

dan seterusnya dengan jumlah yang relatif tidak terbatas. Dalam bahasa

Indonesia misalnya, dari 26 abjad yang terdiri atas 5 vokal (+ ə) dan 21

konsonan dapat menghasilkan sejumlah tulisan/karangan yang tidak terhitung

jumlahnya. Dari satu kaidah/aturan atau teori dapat menghasilkan kaidah/teori

yang lain relatif tidak terbatas pula jumlahnya.


h. Bahasa itu Kebiasaan dan Pembiasaan. Bahasa merupakan habit

(kebiasaan). Bahasa harus digunakan.dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari.

Bahasa merupakan skill yang harus digunakan

i. Bahasa itu identitas diri, kelompok, dan bangsa

j. Unik dan Universal. Setiap bahasa memiliki ciri khas atau karakteristik yang

tidak terdapat pada bahasa lain. Setiap bahasa memiliki ciri-ciri yang diskrit,

yang memberikan identitas diri sebagai bahasa yang berbeda dari bahasa yang

lain. Akan tetapi, terdapat pula ciri-ciri atau aspek-aspek kebahasaan yang

dimiliki atau terdapat pada bahasa yang lain (universal). Misalnya vokal dan

konsonan, morfem, kata, frasa, klausa/kalimat, dan sebagainya. Walaupun

bentuk, jumlah dan jenisnya tidak sama, akan tetapi hampir semua bahasa di

dunia, memiliki satuan-satuan bahasa tersebut. Sifat unik bahasa dapat pula

dilihat pada kemampuan bahasa untuk membedah/mengkaji/menelaah atau

bahkan menilai dirinya sendiri (bahasa yang bersangkutan). Bahasa dapat

memuja-muja atau mencibir bahkan mampu menjelek-jelekkan dirinya

sendiri. Inilah keunikan bahasa. Disiplin ilmu-ilmu lain menggunakan bahasa

sebagai alat untuk mengomentari atau melaporkan temuan perkembangan

mengenai keilmuan yang terdapat padanya. Akan tetapi dalam bahasa,

bahasalah yang berperan untuk mengomentari apa yang terdapat padanya

(bahasa yang bersangkutan).

k. 6.2 Fungsi Bahasa

l. Dalam kehidupan manusia, bahasa memainkan peranan penting. Seseorang

yang tidak menguasai bahasa yang dipergunakan di sekitarnya, ia akan merasa


kesulitan dalam berkomunikasi dan mengintegrasikan diri dalam masayarakat

yang bersangkutan. Karena itu, bahasa dapat dikatakan tidak dapat dipisahkan

dengan kehidupan manusia. Kehidupan ada karena ada bahasa. Tanpa bahasa

kehidupan tak akan pernah ada.

m. Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Secara khusus, bahasa

memiliki fungsi yang bermacam-macam. Finochiaro (1977) mengemukakan

bahwa terdapat lima fungsi bahasa, yakni (1) fungsi personal, (2) fungsi

interpersonal, (3) fungsi direktif, (4) fungsi referensial, dan (5) fungsi

imajinatif.

n. Fungsi personal merupakan fungsi bahasa untuk menyatakan diri. Ukurannya

adalah apakah yang disampaikan itu berasal dari dirinya atau bukan. Dalam

diri manusia, sesungguhnya terdapat pikiran dan perasaan. Jika seseorang

sedang menyatakan isi pikiran dan atau perasaannya, maka ia sedang

menyatakan atau berkata tentang dirinya.

o. Fungsi interpersonal merupakan fungsi menyangkut hubungan antarpenutur

atau antarpersona. Fungsi ini diarahkan untuk membina hubungan soaial

antarsesama manusia.

p. Fungsi direktif merupakan fungsi bahasa untuk mengatur orang lain. Penutur

mengharapkan dampak tindakan orang lain (lawan tutur). Dalam fungsi ini,

penutur bermaksud menyuruh orang lain, memberikan saran kepada orang lain

untuk melakukan tindakan atau meminta sesuatu kepada orang lain dan

sebagainya.
q. Fungsi referensial merupakan fungsi bahasa untuk menampilkan suatu referen

(benda yang disebut atau ditunjuk) dengan menggunakan lambang bahasa.

Dengan demikian, pemakai bahasa mampu membicarakan apa saja yang

berkenaan dengan lingkungannya.

r. Fungsi imajinatif adalah fungsi bahasa untuk menciptakan sesuatu dengan

berimajinasi. Dengan bahasa, kita dapat mengembangkan imajinasi dan

kreativitas kita. Bahasa yang dipakai dalam karya sastra adalah wujud dari

fungsi bahasa imajinatif.

Anda mungkin juga menyukai