Comprehensive Examination
By Lela Nurlaela
LINGUISTIC
It is a scientific study of language
Ilmu yang mempelajari kedokteran disebut Ilmu Kedokteran, ilmu yang mempelajari fisika disebut
Ilmu Fisika, dan ilmu yang mempelajari ekonomi disebut Ilmu Ekonomi. Lantas apa nama ilmu yang
mempelajari bahasa? Ilmu yang mempelajari bahasa disebut dengan Linguistik. Orang yang ahli bahasa
disebut dengan linguist.
Jadi linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa, bahasa di sini tentu bahasa manusia bukan
bahasa binatang. Siapa orang yang menjadi penemu linguistik? Penemu ilmu linguistik adalah, Ferdinand de
Saussure ( 1857 – 1913 ) yang terangkum di dalam bukunya yang berjudul Course de Linguisticue
Generation. Buku ini terbit pertama kali tahun 1916, Namun terjemahannya dalam bahasa Indonesia baru
terbit 1988.
Signifié adalah pengertian yang muncul dalam pikiran kita. Secara sederhana, signifie digambarkan
sebagai makna. Signifiant adalah citra bunyi yang memberikan pengertian.
Bahasa adalah satu-satunya alat komunikasi terbaik yang hanya dimiliki manusia. Maka orang yang
profesinya berkenaan dengan bahasa perlu mempelajari dan memiliki pengetahuan tentang linguistik,
karena linguistik akan memberi pemahaman kepada kita mengenai hakikat dan seluk beluk bahasa.
Linguistik adalah ilmu tentang bahasa. Dan objek kajiannya adalah bahasa.
Lingua adalah kata lain dari bahasa
Linguis adalah orang yang ahli dalam dalam ilmu linguistik atau pakar linguistik
Perlu diperhatikan, bahwa bahasa Perancis mempunyai dua istilah mengenai bahasa, yaitu langue
dan langage. Langue adalah suatu bahasa tertentu, seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Perancis,
bahasa Jawa, dll. Sedangkan langage adalah bahasa secara umum, seperti tampak dalam ucapan "manusia
memiliki bahasa sedangkan binatang tidak". Disamping istilah langue dan langage masih ada istilah lain
dalam bahasa Perancis yaitu parloe. Parloe adalah wujud bahasa yang kongkret yang diucapkan anggota
masyarakat dalam kegiatan sehari-hari.
Ilmu linguistik sering juga disebut sebagai linguistik umum (general linguistics) karena ilmu
linguistik tidak hanya mengkaji satu bahasa saja, seperti bahasa Jawa saja atau bahasa Indonesia saja,
melainkan mengkaji seluk-beluk bahasa pada umumnya.
Seperti pembahasan di atas bahwa linguistik adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek
kajiannya, ternyata dalam dunia keilmuan, tidak haknya linguistik yang menjadikan bahasa sebagai objek
kajiannya ada pula disiplin ilmu lain yg menggunakan bahasa sebagai objek kajiannya seperti ilmu susastra,
ilmu sosial, psikologi dan fisika. Namun walaupun ilmu tersebut memiliki kajian objek yang sama yaitu
bahasa, terdapat perbedaan pendekatan ilmu-ilmu tersebut terhadap bahasa itu yaitu :
1. Ilmu susastra mendekati bahasa/memandang bahasa sebagai wadah seni, sebagai sarana untuk
mengungkapkan karya seni.
2. Ilmu sosial/sosiologi mendekatkan dan memandang bahasa sebagai alat interaksi sosial di dalam
masyarakat.
3. Ilmu psikologi mendekati dan memandang bahasa sebagai gejala pelahiran kejiwaan.
4. Ilmu fisika mendekati dan memandang bahasa sebagai fenomena alam, yani gelombang bunyi yang
merambat dari mulut pembicara ke telinga pendengar
Bahasa adalah satu-satunya alat komunikasi terbaik yang hanya dimiliki manusia. Maka orang yang
profesinya berkenaan dengan bahasa perlu mempelajari dan memiliki pengetahuan tentang linguistik,
karena linguistik akan memberi pemahaman kepada kita mengenai hakikat dan seluk beluk bahasa.
Bahasa dipelajari atau dikaji oleh disiplin ilmu yang disebut linguistik atau ilmu bahasa. Seperti
halnya disiplin-displin yang lain, linguistik juga memiliki tiga pilar penyangga, yakni
Ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi merupakan asas penetapan objek dan wilayah kajian
dan karenanya menjawab pertanyaan apa yang dikaji, termasuk apa bentuk realitasnya (konkret, abstrak,
atau simbolik). Epistemologi merupakan asas penetapan bagaimana cara mempelajari atau memperolehnya,
dan karenanya menjawab pertanyaan bagaimana mengkajinya, karena itu bersifat metodologis. Metodologi
penelitian merupakan epistemologinya pengetahuan. Sedangkan aksiologi merupakan asas penetapan tujuan
dan manfaat pengetahuan, dan karenanya menjawab pertanyaan apa tujuan dan manfaat pengetahuan yang
akan dikaji. Berikut uraian ketiga pilar penyangga tersebut.
Bagaimana Hubungan Gejala Bahasa dengan Gejala Khas Manusia yang Lain?
Sebagai gejala khas manusia, bahasa juga tidak dapat dipisahkan dengan gejala khas manusia yang
lain. Gejala ini melahirkan bidang kajian lintas disiplin (inter-disciplinary study). Tali-temali bahasa dengan
masyarakat, misalnya, dipelajari oleh cabang kajian sosiolinguistik dan sosiologi bahasa (sociolinguistics
and sociology of language). Hubungan bahasa dengan jiwa manusia, termasuk proses pemerolehan bahasa
pertama (first-language acquisition), speech comprehension and production dipelajari oleh cabang kajian
yang disebut psikolinguistik (psycholinguistics). Hubungan bahasa dengan ilmu pendidikan, misalnya,
pembelajaran bahasa kedua (second-language learning), dipelajari oleh cabang kajian linguistik terapan
(applied-linguistics). Kenyataan yang terkait dengan masa kuno dari sesuatu bahasa dengan sejarah atau
perkembangan bahasa, dipelajari oleh linguistik diakronik (diachronic-linguistics). Bahasa juga bersentuhan
dengan antropologi yang kemudian dipelajari oleh cabang kajian antropolinguistik (anthropolinguistics).
Relasi bahasa dengan ilmu neurologi dikaji oleh cabang kajian yang disebut neurolinguistik
(neurolinguistics), sedangkan kajian yang mempelajarai bahasa dengan kehidupan manusia pada umumnya
(etnometodologi) disebut etnolinguistik (ethnolinguistics).
Gejala baru dalam bidang kebahasaan dengan memanfaatkan piranti teknologi modern melahirkan
cabang disiplin baru dalam ilmu disebut language computing. Language computing bukan komputerisasi
bahasa, melainkan cabang linguistik dengan memanfaatkan komputer untuk memahami bahasa selain
berfungsi sebagai alat bantu komunikasi, khususnya lewat internet. Di antara sekian banyak cabang
interdisciplinary studies tersebut, tampaknya baru cabang sosiolinguistik dan psikolinguistik yang sudah
berkembang pesat.
Ilmu Linguistik dibagi menjadi linguistik umum dan linguistik terapan. Linguistik umum mengkaji
bahasa secara umum atau universal. Sedangkan linguistik terapan digunakan untuk tujuan tertentu.
Beberapa cabang ilmu linguistik umum:
1. Phonetic and phonology: ilmu yang mempelajari bunyi, misalnya bunyi e pada apel dan apel bisa
mengakibatkan menjadi makna buah atau upacara. Mempelajari phonetic dan phonology juga memberi
tahu kita, ternyata jumlah konsonan atau vokal setiap bahasa berbeda-beda.
2. Morphology: ilmu yang mempelajari morfem. Apa itu morfem? Bagian terkecil dari bahasa yang
memiliki arti, misalnya s pada akhiran bahasa Inggris pada kata benda sebagai penanda benda tersebut
plural, misalnya books: buku-buku atau ter- pada bahasa Indonesia yang melekat pada kata kerja adalah
penanda pasif, misalnya terinjak.
3. Semantik: ilmu yang mempelajari makna, misalnya satu kata bisa menjadi polisemi atau homonimi, dan
sebagainya, contoh kepala bisa menjadi kepala sekolah, kepala rumah tangga, dll
4. Pragmatik : ilmu yang mempelajari ujaran dari sudut pembicara, misalnya Anda berkunjung ke rumah
teman, kemudian ibu teman Anda bertanya "jam berapa sekarang?" jika ternyata sudah jam 10 malam.
Maksudnya adalah Anda disuruh pulang karena sudah malam.
5. Sintaksis : Ilmu yang mempelajari pola bahasa, misalnya pembentukan noun phrase pada bahasa Inggris
adalah adjective + noun, contoh: beautiful house. Sedangkan pembentukan noun phrase bada bahasa
Indonesia adalah noun + adjectif, contoh rumah cantik
6. Sosiolinguistik : Ilmu yang mempelajari hubungan antara masyarakat dengan bahasa, misalnya bahasa
Jawa umumnya digunakan di rumah, sedangkan bahasa Indonesia di tempat instansi pemerintah
7. Etnolinguistik: Ilmu yang mempelajari hubungan antara budaya dan bahasa, contoh bahasa Inggris
menamakan beras, gabah, nasi dengan rice. Hal ini karena masyarakat Inggris bukanlah masyarakat
dengan budaya cock tanam padi, sedangkan bahasa Indonesia sangat detail dari gabah, beras, nasi, dan
menir (beras kecil) hal ini karena masyarakat Indonesia memiliki budaya pertanian padi.
8. Psikolinguistik, Ilmu yang mempelajari antara psikologi dan bahasa, misalnya pada umur berapa anak-
anak masih bisa memperoleh bahasa secara natural?
9. Linguistik Bandingan : ilmu yang mempelajari perbandingan bahasa satu dengan bahasa yang lain dari
sisi waktu atau jenisnya, misalnya ternyata bahasa Jawa dan Sunda merupakan bahasa yang dari sumber
sama, yaitu proto austronesia
Ferdinand de Saussure lahir di Suasiero pada tanggal 17 November 1857 M. Ayahnya berasal dari
Perancis dia belajar di Geneva kemudian pindah ke Levjig untuk melanjutkan belajar diperguruan tinggi
pada usia 12 tahun. Dia belajar kepada ahli Filologi orang Almania bernama G. Curtius. Saussure telah
menyusun sebuah buku mengenai penetapan sistem mendasar bagi huruf vocal bahasa Hindia-Eropa yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul “taqrir haul al-nidzam al-asasi li ahruf al-illah fi al-lughat
al-hindiyyah al-irubiyyah”. Penyusunan buku ini dilakukan ketika dia berusia 22 tahun. Buku ini dipandang
oleh para peneliti bahasa sebagai karya monumental dan sangat penting khususnya mengenai perbandingan
bahasa (fiqh lughah al-muqaran), buku ini menjadi bahan referensi dan banyak dmanfaatkan sampai
sekarang. De Saussure melakukan perjalanan ke Paris Perancis dan dia mengajar di perguruan tinggi Paris.
Dia mengajar tentang Comparative Structure (Nahw al-muqaran) di perguruan ini dari tahun 1881 sampai
tahun 1889. Pada tahun 1891 M dia pindah ke sekolah tinggi Geneva, dan di perguruan tinggi dia pertama
mengajar Comparative structure kemudian mengajar General Linguistic. Dia meninggal dunia pada 1913 M.
B. Hakikat Bahasa
Sejalan dengan definisi bahasa yang diutarakan beberapa pakar, jika kita butiri akan didapatkan
beberapa ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa. Pada pembahasan sebelumnya telah dikatakan bahasa
sebagai bahasa, yaitu yang menjadi objek kajian linguistik mikro, dengan cara melihat ciri-ciri yang
merupakan hal yang hakiki dari bahasa itu. Sifat atau ciri itu, antara lain:
Bahasa adalah sistem
Dalam kaitan dengan keilmuan, sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu
keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. Sistem dibentuk oleh sejumlah unsur atau komponen yang satu
dengan lainnya berhubungan secara fungsional, begitupun bahasa terdiri dari unsur-unsur atau komponen
yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu, dan membentuk suatu kesatuan.
Bahasa itu berwujud lambang
Kata lambang sudah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam hal berbendera
kita Sang Saka Merah Putih dikatakan merah adalah lambang keberanian dan putih adalah lambang
kesucian. Atau gambar rantai dalam Garuda pancasila merupakan lambang persatuan, serta gambar banteng
sebagai lambang asas kedaulatan rakyat. Kata lambang sering disamakan dengan kata simbol dengan
pengertian yang sama. Lambang dengan berbagai seluk beluknya termasuk dalam bidang yang disebut ilmu
semiotik atau semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia
termasuk bahasa. Dalam semiotika atau semiologi dibedakan adanya beberapa jenis tanda, diantaranya tanda
(sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala (symptom), geak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon.
Perlu dibedakan antara apa yang dimaksud dengan lambang dan tanda. Tanda, selain dipakai sebagai istilah
umum adalah suatu atau sesuatu yang dapat menandai atau mewakili ide, perasaan, pikiran, benda, atau
tindakan. Misalnya, kalau dikejauhan tampak ada asap mendung dan tebal, maka merupakan tanda akan
turunya hujan. Tanda bisa juga menandai bekas kejadian. Kalau kita melihat rumput dipekarangan basah, itu
menjadi tanda telah turun hujan. Lambang atau simbol tidak bersifat langsung dan alamiah. Lambang
menandai sesuatu yang lain secara konvensional, tidak secara alamiah dan langsung. Misalnya, kalau
dimulut gang atau jalan di Jakarta ada bendera kuning maka kita akan tahu di daerah itu atau di gang itu ada
yang meninggal. Mengapa? Karena secara konvensional bendera kuning dijadikan tanda adanya kematian.
Bahasa itu berupa bunyi
Secarateknis, menurut Kridalaksana bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat getaran pada
gendang telinga yang bereaksikarenaperubahan dalam tekanan udara. Bunyi ini bisa bersumber antara lain
pada alat suara pada manusia. Bunyi bahasa atau bunyi ujaran (speech sound) adalah satuan bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia yanng didalam fonetikdiamati sebagaifondan di dalam fonemik sebagai
fonem (tentangfon. Fonetik, fonem, dan fonemikakan dibicarakan kemudian).
Bahasa itu bersifat arbitrer
Yang dimaksud dengan istilah arbitrer adalah tidak adanya hubungan yang wajib antara lambang
bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut.
Umpamanya, antara (kuda) dengan yang dilambangkan, yaitu ”sejenis binatang berkaki empat yang biasa
dikendarai”. Kita tidak menjelaskan mengapa binatang tersebut dilambangkan dengan bunyi (kuda).
Andaikata ada hubungan wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya,tentu lambang yang dalam
bahasa Indonesia berbunyi (kuda) akan disebut juga (kuda) oleh orang Lampung, dan bukannya (horse); lalu
andaikata ada hubungan wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya, maka di muka bumi ini tidak
akan ada bermacam-macam bahasa. Tentu hanya ada satu bahasa yang meskipun mungkin berbeda, tetapi
perbedaanya tidaklah terlalu banyak.
Bahasa itu bermakna
Sudah dijelaskan bahwa bahasa itu adalah sistem lambang yanng berwujud bunyi. Sebagai lambang
tentu ada yang dilambangkan yaitu pengertian, suatu konsep, suatu ide,atau pikiran. Dapat dikatakan bahwa
bahasa itu mempunyai makna. Misalnya lambang bahasa yang berwujud bunyi (kuda), lambang ini mengacu
pada konsep ”sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”. Kemudian, konsep tadi dihubungkan
dengan benda yang ada dalam dunia nyata. Jadi, kalau lambang bunyi (kuda) yang mengacu pada konsep
”binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”. Lambang bunyi (kuda) punya benda konkret di alam nyata
ini, tetapi lambang bunyi (agama) dan (adil) tidak punya benda konkret dialam nyata ini. Lebih umum
dikatakan lambang bunyi tersebut tidak punya referen, tidak punya rujukan. Lambang-lambang bunyi bahasa
yang bermakna itu, di dalam bahasa berupa satuan-satuan bahasa yang berwujud morfem, kata, frase, klausa,
kalimat, dan wacana. Semua satuan itu memiliki makna. Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan
yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa.
Bahasa itu bersifat konvensional
Penggunaan suatu lambang untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya semua
anggota masyarakat bahasa itu memenuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili
konsep yang diwakilinya. Kalau misalnya binatang berkaki empat yang biasadikendarai, yang secara arbitrer
di almbangkan dengan bunyi (kuda) maka anggota masyarakat bahasa Indonesia semuanya harus
mematuhinya. Kalau tidak dipatuhinya dan menggantikannya dengan lambang lain, maka komunikasi akan
terhambat karena tidak dipahami oleh penutur bahasa Indonesia lainnya, dan berarti pula dia tidak mengiktui
konvensi itu. Kekonvensionalan bahasa terletak pada kepatuhan para penutur bahasa untuk menggunakan
lambang itu sesuai dengan konsep yang dilambangkannya.
Bahasa itu bersifat unik
Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Lalu, kalau
bahasa dikatakan bersifat unik artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh
bahasalainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan
kalimat, atau sistem-sistem lainnya. Salah satu keunikan bahasa Indonesia adalahbah watekanan kata tidak
bersifat morfemis, melainkan sintaksis. Maksudnya adalah kalaupada kata tertentu di dalam kalimat kita
berikan tekanan maka makna kata itutetap. Yang berubah adalah makna keseluruhan kalimat. Keunikan
yang menjadi salah satu ciri bahasa ini terjadi padamasing-masing bahasa, seperti bahasa batak, bahasajawa,
bahasa Inggris, bahasa China.
Bahasa itu bersifat universal
Selain unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oelh setiap
bahasa yang ada di duniaini. Ciri-ciri yang universal initentunya merupakanunsur bahasa yang paling umum,
yang bisa dikaitkan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat bahasa lain. Ciri universal daribahasa yang paling umum
adalah bahwa bahasa itu mempunyaibunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan. Bahasa Indonesia
misalnya mempunyai 6 buahvokaldan 22 konsonan. Sedangkanbahasa Arab mempunyai 3
buahvokalpendekdan 3 buah vokal panjanng serta 28 konsonan, bahasa Inggris memiliki 16 buahvokal
(termasukdiftong) dan 24 buah konsonan.
Bahasa itu bersifat produktif
Bahasa itu dikatakan produktif maksudnya adalah meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi
dengan unsur –unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuansatuan bahasa yang jumlahnya tidak
terbatas, meski secara relatif sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Keproduktifan bahasa
Indonesia dapat juga dilihat pada jumlah kalimat yang dapat dibuat. Dengan kosa kata yang menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia hanya berjumlah lebih kurang 60.000 buah, kita dapat membuat kalimat bahasa
Indonesia yang mungkin puluhan juta banyaknya termasuk juga kalimat-kalimat yang belum pernah ada
atau pernah dibuat orang.
Bahasa itu bervariasi
Setiap bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam suatu masyarakatbahasa.
Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai satus sosial dan
berbagai latar belakang budaya yang tidaksama. Anggota masyarakat bahasa itu ada yang berpendidikan ada
yanng tidak, ada yang tinggal di kotaada yang di desa, ada orang dewasaada pula anak-anak, ada yang
berprofesi sebagai dokter, petani, pegawaikantor, nelayan, dan sebagainya
FONETIK
Fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi
tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Marsono (2008:1) mengatakan, fonetik ialah
ilmu yang menyelidiki dan berusaha merumuskan secara teratur tentang hal ikhwal bunyi bahasa. Sedangkan
menurut Verhaar (2010:19), fonetik adalah cabang ilmu linguistik yang meneliti dasar "fisik" bunyi-bunyi
bahasa.Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat penulis simpulkan bahawa fonetik merupakan cabang ilmu
linguistik yang meneliti berbagai hal tentang bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi bahasa
tersebut memiliki fungsi makna atau tidak.
Jenis-jenis Fonetik
Fonetik Artikulatoris
Heryadi (2016:10), menyebutkan bahwa fonetik artikulatoris adalah fonetik yang lebih
memfokuskan pengkajian pada aspek bagaimana bunyi bahasa diproduksi atau dihasilkan oleh organ tubuh
manusia yang berfungsi skunder sebagai alat ucap. Adapun pendapat Verhaar (2010:19), mengatakan,
fonetik artikulatoris meneliti alat-alat organik manakah yang kita pakai untuk menghasilkan bunyi bahasa.
Dari kedua pendapat itu, dapat disimpulkan bahwa fonetik artikulatoris merupakan fonetik yang mengkaji
bagaimana cara bekerja alat-alat manusia dalam menghasilkan bunyi-bunyi bahasa.
Fonetik Akustik
Menurut Chaer (2012:103), fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau
fenomena alam. sementara menurut Verhaar (2010:20), fonetik akustik menyelidiki bunyi menurut sifat-
sifatnya sebagai getaran udara. Dari penjelasan-penjelasan tersebut, penulis simpulkan bahwa fonetik
akustik ialah fonetik yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi bahasa mengalir melalui getaran udara.
Fonetik Auditoris
Heriyadi (2016:10), mengungkapkan bahwa fonetik auditoris adalah fonetik yang memfokuskan
pengkajian pada aspek bagaimana bunyi ujar ditangkap dan diproses oleh indra pendengaran manusia.
Menurut pendapat lain, Chaer (2012:103), menyebutkan bahwa fonetik auditoris mempelajari bagaimana
mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Adapun menurut simpulan penulis, yang
dimaksud dengan fonetik auditoris merupakan fonetik yang mempelajari bagaimana telinga manusia dalam
memproses dan menangkap bunyi-bunyi bahasa.
FONOLOGI
Apa itu fonologi? Singkatnya, fonologi adalah ilmu bunyi. Secara bahasa, fonologi berasal dari
bahasa Inggris, yakni phonology. Secara etimologi, dibentuk dari kata "phone" yang berarti bunyi dan
"logos" yang berarti ilmu. Jadi, secara definisi fonologi adalah cabang dari ilmu linguistik yang mengkaji
bunyi ujar dalam bahasa tertentu. Objek kajian fonologi ada dua, yang pertama adalah bunyi bahasa (fon)
yang disebut tata bunyi (fonetik) dan yang kedua mengkaji fonem yang disebut tata fonem (fonemik).
Pertama, fonetik. Menurut KBBI V, fonetik adalah bidang linguistik tentang pengucapan bunyi ujar.
Secara umum bisa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa
memerhatikan bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Contoh yang
dipelajari di kajian fonetik adalah bunyi nasal, bunyi oral, bunyi panjang, bunyi pendek, pembentukan vokal
berdasarkan bentuk bibir, pembentukan konsonan berdasarkan cara artikulasi, dan lain-lain.
Kedua, fonemik. Menurut KBBI V, fonemik adalah bidang linguistik tentang sistem fonem. Secara
umum, fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memerhatikan fungsi
bunyi tersebut sebagai pembeda makna. Singkatnya, fonemik adalah ilmu bunyi yang memperhatikan
makna.
Fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil yang bersifat fungsional. Fonem ini
semacam pelafalan yang bergantung pada tempatnya dalam kata atau suku kata. Contohnya, fonem /t/ jika
berada di awal kata, dilafalkan secara lepas. Pada kata /topi/, contohnya, fonem /t/ dilafalkan lepas. Namun,
fonem /t/ yang berada di akhir kata tidak diucapkan lepas. Bibir kita masih tetap tertutup saat
mengucapkannya, misalnya pada kata /buat/. Selain fonem, ada juga istilah alofon. Alofon adalah variasi
suatu fonem yang tidak membedakan arti.
Sebenarnya, ilmu fonologi adalah cabang ilmu linguistik yang paling kecil. Namun, hal terpenting
yang harus kita pelajari adalah mengenai gejala fonologi bahasa, seperti penambahan fonem, penghilangan
fonem, dan lain-lain. Contohnya:
Penambahan fonem:
Awal (protesis): utang -> hutang
Tengah (epentesis): silakan -> silahkan
Akhir (paragog): rapi -> rapih
Penghilangan fonem:
Awal (aferesis): sudah -> udah
Tengah (sinkope): takjil -> tajil
Akhir (apokope): elite -> elit
MORPHOLOGY
Concern with the structure of the words
Secara harafiah, morfologi berarti 'pengetahuan tentang bentuk' (morphos). Morfologi (linguistik),
adalah suatu bidang ilmu linguistik yang mengkaji tentang pembentukan kata atau morfem-morfem dalam
suatu bahasa. Morphology adalah ilmu yang mempelajari tentang kebahasaan itu sendiri, seperti mengkaji
tentang pembentukan kata/morfem dan juga variasi gabungan kata/morfem di dalam suatu bahasa.
Morphology sendiri terbagi atas dua jenis yaitu bebas dan terikat.
Secara umum, syntax berarti seperangkat aturan grammar pada kata atau klausa dalam membentuk
kalimat. Biasanya, dalam kalimat tertulis maupun percakapan, kita melihat elemen syntax pada kata atau
klausa yang biasa kita sebut sebagai subject, verb, dan object.
Subject, verb, dan object dalam aturan syntax selalu berurutan. Di saat yang bersamaan, dalam
beberapa kasus, aturan syntax memperbolehkan kata-kata atau klausa lain seperti adverb atau keterangan
yang memperjelas subject, verb, dan object untuk ditambahkan.
1. Both of them love each other (Mereka berdua saling mencintai satu dengan yang lainnya).
Penjelasan: Dalam contoh kalimat ini, subject-nya adalah “both of them” (mereka berdua, frasa), verb-
nya adalah verb 1, yakni “love” (mencintai, kata), dan object-nya adalah “each other” (satu dengan yang
lainnya, frasa). Semua komponen subject, verb, dan object yang berurutan ini menunjukkan syntax.
2. They begrudgingly changed their plans (Mereka dengan mendongkol mengubah rencana mereka).
Penjelasan: Meskipun ada kata adverb “begrudgingly” (dengan mendongkol, kata) di tengah-tengah
subject “they” (mereka, kata) dan verb 2 “changed” (mengubah, kata yang asal verb 1-nya adalah
“change”), hal tersebut tidak mengubah urutan verb sesudah subject dan object (yakni frasa “their
plans” yang berarti rencana mereka) sesudah verb, sehingga sesuai dengan syntax.
3. I joined the chat room yesterday (Aku bergabung di ruang obrolan kemarin).
Penjelasan: Contoh kalimat ini pun memperlihatkan subject (“I” yang berarti aku, kata), verb 2
(“joined”, bergabung, kata yang asal verb 1-nya “join”), dan object (“the chat room”, frasa yang berarti
ruang obrolan) yang berurutan sesuai aturan syntax. Setelahnya, ada kata yang menunjukkan keterangan
waktu, yakni “yesterday” (kemarin).
B. Contoh Penerapan Syntax Dalam Percakapan
Selain dalam contoh kalimat seperti ketiga contoh di atas, kita juga dapat menemui penerapan syntax
dalam berbagai contoh percakapan, seperti yang terdapat pada poin ini. Agar memudahkan pengertian kita,
contoh percakapan ini telah dilengkapi dengan panduan yang sama dengan poin sebelumnya dalam contoh
kalimat.
Tidak hanya arti bahasa Indonesianya saja yang kita baca. Kita pun akan melihat tanda-tandanya,
yakni bold pada subject, verb, dan object yang merupakan dasar dari aturan syntax, serta garisbawah pada
adverb atau keterangan-keterangan lainnya yang menguatkan bentuk aturan syntax. Penjelasan lebih lanjut
mengenai materi syntax juga tersedia di akhir contoh percakapan berikut ini:
Hina: Look over there! *points to the children in the garden* They are playing Frisbees over there.
(Hina: Lihat ke sana! *menunjuk pada anak-anak di taman* Mereka sedan gbermain Frisbee di
sana.)
Cathy: Oh, goodness! It is almost the study time. I’d better reach out to them!
(Cathy: Oh, ya ampun! Ini hampir waktunya belajar. Aku harus mendatangi mereka!)
Cathy: I’m getting to them. *then goes reaching out to the children*
(Cathy: Aku akan mendatangi mereka. *lalu pergi mendatangi anak-anak itu*)
Baris kedua contoh percakapan memberikan kita pelajaran aturan syntax dalam kalimat, yakni yang
terdiri dari kata “they” (mereka) yang adalah subject-nya, frasa “are playing” (sedang bermain) yang adalah
verb –ing (dari asal verb 1, “play”, bermain) sebagai verb-nya, dan kata “Frisbees” (Frisbee) sebagai object-
nya. Sementara itu, keterangan yang menguatkan syntax berupa keterangan tempat, yakni frasa “over there”
(di sana).
Baris ketiga pun memberikan kita pelajaran aturan syntax, yakni yang terdapat dalam kalimat yang
semuanya mengandungi masing-masing dari kata “it” (ini) sebagai subject, kata “is” (adalah) sebagai verb 1,
dan frasa “the study time” (waktunya belajar) sebagai object-nya, serta kata “almost” (hampir) sebagai
adverb yang mengapit subject ditambah verb dengan object di akhir kalimat.
Konsistensi aturan syntax yang mengurutkan subject, verb, dan object juga dapat kita lihat pada baris
terakhir percakapan, yakni yang secara berturut-turut terdiri dari kata “I” (aku, subject), frasa “’m getting”
(akan mendatangi, verb –ing dari verb 1, “get”) sebagai verb-nya, dan frasa “to them” (kepada mereka)
sebagai object-nya.
Lewat contoh percakapan pada poin ini maupun contoh kalimat yang terdapat pada poin sebelumnya,
kita tahu aturan syntax selalu konsisten urutannya antara subject, verb, maupun object, terlepas dari letak
adverb maupun keterangan-keterangan lain yang memperkuat aturan syntax di dalam membentuk sebuah
kalimat tertulis maupun percakapan.
SEMANTICS
Scientific study of meaning
Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna / arti yang terkandung dalam bahasa,
kode, atau jenis lain dari representasi. Dengan kata lain, semantik adalah studi tentang makna.
Semantik berasal dari Bahasa Yunani “sema”, kata kerjanya “semaino” yang artinya menandai dan
melambangkan. Istilah semantik diartikan sebagai cabang linguistik yang mempelajari makna yang
terkandung dalam suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lainnya. Ilmu ini fokus pada hubungan antara
tanda-tanda seperti kata, frase, dan simbol—serta apa maknanya.
Dalam analisis semantik, bahasa bersifat unik dan memiliki hubungan yang erat dengan budaya
masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil analisis pada suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk
menganalisi bahasa lain.
- Contohnya penutur bahasa Inggris yang menggunakan kata ‘rice’ pada bahasa Inggris yang mewakili
nasi, beras, gabah dan padi.
- Kata ‘rice’ akan memiliki makna yang berbeda dalam masing-masing konteks yang berbeda. Dapat
bermakna nasi, beras, gabah, atau padi.
- Tentu saja penutur bahasa Inggris hanya mengenal ‘rice’ untuk menyebut nasi, beras, gabah, dan padi.
Itu dikarenakan mereka tidak memiliki budaya mengolah padi, gabah, beras dan nasi, seperti bangsa
Indonesia.
- Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak selalu penanda dan
referent-nya memiliki hubungan satu lawan satu. Yang artinya, setiap tanda lingustik tidak selalu hanya
memiliki satu makna.
- Adakalanya, satu tanda lingustik memiliki dua acuan atau lebih. Dan sebaliknya, dua tanda lingustik,
dapat memiliki satu acuan yang sama.
Seperti dinyatakan bahwa semantik mencakup bidang yang sangat luas, baik dari struktur dan fungsi
bahasa maupun dari segi interdisiplin bidang ilmu (Fatimah, 2009: 4). Tetapi dalam hal ini ruang lingkup
semantik terbatas pada hubungan ilmu makna itu sendiri dibidang linguistik. Faktor nonlingistik ikut
mempengaruhi semantik sebagai fungsi bahasa non simbolik. Semantik adalah studi suatu pembeda bahasa
dengan hubungan proses mental atau simbolisme dalam aktivitas bicara (Tarigan, 2004: 5).
Hubungan bahasa dengan proses mental dapat dinyatakan dengan beberapa cara. Beberapa pakar
proses mental tidak perlu dipelajari karena membingungkan, sebagian lagi menyatakan bahwa proses mental
harus dipelajari secara terpisah dari semantik, atau semantik dipelajari tanpa menyinggung proses mental.
Dalam kenyataannya, semantik atau makna berkaitan erat dengan struktur dan fungsi. Artinya struktur tanpa
makna dan manka tanpa struktur tidak mungkin ada. Jadi bentuk atau struktur, fungsi dan makna merupakan
satu kesatuan dalam meneliti atau mengkaji unsur-unsur bahasa.
Dari adanya sejumlah tataran dan kompleksitas dapat dimaklumi bahwa meskipun makna dan
lambang serta aspek semantik dan tata bahasa merupakan unsur-unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan,
dalam menentukan hubungan semantik dan linguistik masih terdapat sejumlah perbedaan. Ada pengkaji
yang lebih senang menyebut semantik dengan teori makna dan langsung memasukkannya kedalam bidang
filsafat bahasa (Aminuddin, 2001: 27).
Pada sisi lain ada juga pengkaji yang beranggapan bahwa selama dalam abstraksi dan proses relasi
dan kombinasi, makna masih merupakan sesuatu yang abstrak sehingga kajian empiris dan hasil studi yang
saintifik tidak mungkin dapat dilaksanakan dan dicapai.
B. Unsur-Unsur Semantik
Dibawah ini terdapat tiga unsur-unsur semantik, diantaranya adalah:
Tanda dan Simbol (Simbol)
Tanda dan simbol (simbol) adalah dua unsur yang terkandung dalam bahasa tersebut. Tanda itu
dikembangkan menjadi teori yang disebut semiotik. Semiotika memiliki tiga aspek yang berkaitan dengan
ilmu bahasa, yaitu aspek sintaksis, aspek pragmatik, aspek semantik.
Hubungan Leksikal dan Referential
Elemen leksikal adalah unit terkecil dalam sistem makna linguistik dimana keberadaannya dibedakan
oleh unit terkecil lainnya. Arti leksikal adalah kategori dan sinkategorematis dimana semua kata dan
implikasi, kelompok ilmiah dengan makna struktural harus didefinisikan dalam satuan konstruksi.
Sedangkan dalam hubungan referensial adalah hubungan yang ada antara sebuah kata dan dunia yang berada
di luar bahasa yang dimaksud dengan percakapan.
Penamaan
Istilah penimproved oleh Kridalaksanan bahwa proses pencarian simbol bahasa yang berfungsi untuk
menggambarkan objek, konsep, proses dan sebagainya. Selain itu, penamaan digunakan untuk harta yang
ada antara lain dengan mengubah kemungkinan makna atau dengan penciptaan kata atau kelompok kata.
PRAGMATICS
Scientific study of the speaker’s meaning or interaction
between language and the context in which it is used
Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks ditatabahasakan atau yang
dikodekan pada struktur bahasa (Pragmatics is the study of those relations between language and context
that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language) (Levinson, 1985: 9). Dengan kata lain,
pragmatik adalah studi tentang penggunaan bahasa dalam konteks. Pragmatik berfokus pada bagaimana
penutur atau penulis menggunakan pengetahuan mereka untuk menyatakan suatu makna (Bloomer,
2005:78). Perbedaan konvensional Semantik dan pragmatik adalah dua cabang utama dari studi linguistik
makna. Keduanya diberi nama dalam judul buku itu dan mereka akan diperkenalkan di sini. Semantik adalah
studi dari untuk arti: pengetahuan akan dikodekan dalam kosakata bahasa dan pola untuk membangun
makna lebih rumit, sampai ke tingkat makna kalimat. Adapun pragmatik berkaitan dengan penggunaan alat-
alat ini dalam komunikasi yang bermakna. Pragmatik adalah tentang interaksi pengetahuan semantik dengan
pengetahuan kita tentang dunia, mempertimbangkan konteks yang digunakan.
Semantik menelaah makna kalimat (sentence), sedangkan pragmatik adalah telaah makna tuturan
(utterance). Semantik mempelajari makna yang terkandung di dalam morfem, kata, frasa, dan kalimat yang
bebas konteks. Makna linguistik di sini adalah makna yang terdapat di dalam bahasa, yang distrukturkan di
dalam dan oleh sistem bahasa, yang dipahami lebih kurang sama oleh para penutur dalam kegiatan
berkomunikasi secara umum dan wajar (Subroto, 1999:111). Dalam pragmatik maksud penutur (speaker
meaning atau speaker sense) yaitu bahwa sense berhubungan erat dengan suatu system yang kompleks dari
elemen linguistik, yaitu kata-kata. Sense menitikberatkan pada makna kalimat dan hubungannya dengan
makna kata (Palmer, 1981:9). Dapat dikatakan bahwa maksud penutur di sini tidak terlepas dari konteks
kalimat, apa yang dimaksud penutur belum tentu sama dengan yang dimaksud oleh lawan tutur. Dalam
pragmatik jika dalam pemakaiannya terjadi kesalahan pemakaian tatabahasa yang disengaja oleh penutur,
maka dikatakan bahwa terdapat maksim(-maksim) tindak tutur yang dilanggar. Sementara itu, semantik
tidak menganalisis bahasa dari sisi pemakaiannya sehingga jika terjadi kesalahan penutur yang disengaja,
semantik tidak dapat menentukan meaning sesungguhnya dari penutur tersebut karena hanya didasarkan atas
meaning secara umum. Contoh: Dalam kalimat berikut, B menjawab pertanyaan A dengan setidaknya tiga
kemungkinan cara untuk menyatakan ”belum” atau “tidak ingin makan”. A : siang ini kamu sudah makan?
B(1) : saya belum makan. Tapi saya tidak ingin makan. B (2) : saya sudah makan barusan. (berbohong) B(2)
: saya masih kenyang, kok. Untuk mengatakan maksudnya, B setidaknya dapat mengutarakan dengan tiga
tuturan: B(1) secara langsung menyatakan maksud dan alasannya; B(2) dengan berbohong, secara tidak
langsung ia menyatakan tidak ingin makan; B(3) demi alasan kesopanan, dan secara tidak langsung juga,
mengimplikasikan ia tidak ingin makan. Untuk menjawab pertanyaan A, meskipun juga tidak dapat
menjelaskan dengan sangat tepat, semantik hanya dapat menganalisis meaning dengan jelas pada kalimat
B(1) karena kalimat tersebut secara langsung menjawab pertanyaan A, namun semantik tidak dapat
menjelaskan secara tepat meaning dari B(2) dan B(3) karena B menjawabnya secara tidak langsung sehingga
memerlukan pemahaman terhadap situasi di sekitarnya. Truth-conditional vs. non-truth-conditional meaning
Cruse (2006:136) memuat perbedaan-perbedaan antara semantik dan pragmatik. Semantik berhubungan
dengan aspek-aspek truth conditional makna, yaitu jika sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara
empiris atau harus bersifat analitis, misalnya ‘kucing menyapu halaman’ adalah yang tidak berterima secara
semantik karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Blackmore
mengutarakan tentang truth conditional semantics, yaitu apabila kita melihat suatu frasa/kalimat/satuan
bahasa yang dapat diverivikasi kebenarannya, satuan bahasa berhubungan dengan aspek-aspek makna yang
bebas konteks, misalnya ungkapan “I’m sorry” sulit untuk menemukan verifikasi apakah orang yang
menyatakan frasa tersebut benar-benar minta maaf atau tidak. Semantik berhubungan dengan aspek-aspek
makna konvensional, yakni bahwa terdapat hubungan yang tetap antara makna dan bentuk serta semantik
berhubungan dengan deskripsi makna sehingga dikatakan bahwa semantik mengambil pendekatan formal
dengan memfokuskan bentuk fonem, morfem, kata, frasa, klausa dan kalimat. Sementara itu, pragmatik
berhubungan dengan aspek-aspek non-truth conditional makna, berhubungan dengan aspek-aspek yang
memperhitungkan konteks, berhubungan dengan aspek-aspek makna yang tidak looked up, tetapi worked
out pada peristiwa penggunaan tertentu dan pragmatik berhubungan dengan penggunaan-penggunaan makna
tersebut, oleh karena itu pragmatik dikatakan mengambil pendekatan fungsional.
SOCIOLINGUISTICS
The scientific study of language and social, its function in society
Sosiolinguistik merupakan kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan.
Sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan antara bahasa dengan masyarakat,
khususnya masyarkat penutur bahasa (Kunjana , 2001: 12).
Sosiolinguistik adalah ilmu yang bersifat multidisipliner atau gabungan dari dua disiplin ilmu, yaitu
sosiologi dan linguistik. Sebagi ilmu yang bersifat multidisilpliner, sosiolinguistik berusaha menjelaskan
kemampuan manusia di dalam menggunakan aturan-aturan berbahasa secara tepat dalam situasi-situasi yang
bervariasi (Ohoiwutan, 1997: 9). Masih dalam pengertian yang sama Spolsky (1998: 3) menyatakan
”Sociolinguistik is the field that studies the relation between language and society, between the uses of
language and the social structure, in wich the users of language live” (Sosiolinguistik adalah ilmu yang
mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat, antara pemakaian bahasa dan struktur sosial di dalam
pemakaian bahasa sehari-hari).
Variasi dalam kajian ini merupakan masalah pokok yang dipengaruhi atau mempengaruhi perbedaan
aspek sosiokultural dalam masyarakat. Kelahiran Sosiolinguistik merupakan buah dari perdebatan panjang
dan melelahkan dari berbagai generasi dan aliran. Puncak ketidakpuasan kaum yang kemudian menamakan
diri sosiolinguis ini sangat dirasakan ketika aliran Transformasional yang dipelopori Chomsky tidak
mengakui realitas sosial yang sangat heterogen dalam masyarakat. Oleh Chomsky dan pengikutnya ini,
heterogenitas berupa status sosial yang berbeda, umur, jenis kelamin, latar belakang suku bangsa,
pendidikan, dan sebagainya diabaikan sebagai faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan-
pilihan berbahasa. Berpijak dari paradigma ini Sosiolinguistik berkembang ke arah studi yang memandang
bahwa bahasa tidak dapat dijelaskan secara memuaskan tanpa melibatkan aspek-aspek sosial yang
mencirikan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa. Sosiolinguistik adalah adalah ilmu
yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para pengguna bahasa dengan
fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa.
PSYCHOLINGUISTICS
Concern on the prosess of psychology when someone is communicating
Psikolinguistik merupakan sebuah kajian baru yang dimana muncul pertama kali pada tahun 1954
dan merupakan gagasan dari George Miller dan Charles Osgood yang di jabarkan oleh Sundusiah dalam
artikelnya “Sejarah Perkembangan Psikolinguitsik”. Psikolinguistik adalah gabungan dari dua bidang ilmu
yakni Psikologi dan Linguistik seperti yang di paparkan oleh Carroll pada tahun 1953. Carroll menyatakan
bahwa Psikologi adalah sebuah bidang ilmu yang berfokus pada jiwa, pikiran, atau emosional manusia,
sedangkan Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa manusia. Muncullnya sebuah
ketertarikan untuk melihat hubungan antara jiwa, emosional, pikiran manusia dengan mempelajari bahasa
menyebabkan terbentuknya disiplin ilmu baru yang sekarang disebut Psikolinguistik. Adapun objek dari
bidang ilmu ini adalah peroses mempelajari bahasa yang dapat tercermin dari gejala jiwa manusia. Definisi
lain juga terlihat dari John Field yang menyatakan bahwa Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari
bagaimana pikiran manusia dalam mempelajari atau menggunakan dan memperoleh bahasa. Ini lebih
mengacu pada bagaimana proses itu terjadi, bagaimana penyimpanan, penggunaan dan pemerolehan bahasa
yang semuanya sangat berhubungan erat dengan aktivitas otak dan pikiran manusia.
Lado (dalam Hakim (2012) mendefinisikan Psikolinguistik adalah gabungan dua pendekatan yakni
melalui pendekatan Linguistik dan pendekatan Psikologi bagi telaah atau studi pengetahuan bahasa,
penggunaan bahasa, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu yang sulit untuk dicapai melalui salah satu bidang
ilmu tersebut secara terpisah. Melihat dari definisi tersebut, kajian dari disiplin ilmu Psikolinguitik tidak
dapat dipisahkan, dikarenakan masing-masing bidang ilmu saling mendukung satu sama lain. Selain itu,
melihat dari penjabaran Handke (2012) bidang ilmu Linguistik dalam Psikolinguistik mempunyai kontribusi
yang sangat besar, Linguistik adalah kajian ilmu tentang bahasa yang mempunyai cabang ilmu tentang
pengetahuan akan bahasa seperti; Phonologi, Morphologi, Semantik dan Pragmatik. Semua cabang ilmu
Linguistik mempunyai kontribusi masing-masing dalam kajian ilmu Psikolinguistik. Misalkan, kita dapat
melihat bagaimana seorang anak kecil yang masih bayi mampu memproduksi suara atau bunyi,
bagaimanakah proses mereka mengerti akan sebuah bunyi atau suara? Hal tersebut adalah salah satu
pembahasan dalam Psikolinguitik. Kajian ilmu Psikolinguistik mampu menjabarkan proses apakah yang
dialami oleh manusia dalam memperoleh atau menggunakan bahasa di kehidupan ini.
Menurut Field (2003) ada beberapa area penting yang difokuskan dalam kajian ilmu Psikolinguistik
yakni penyimpanan bahasa, bahasa dan otak, penggunaan dan pemerolehan bahasa pertama. Sedangkan
Pateda (dalam Hakim (2012)) menjabarkan kajian Psikolinguitik itu adalah :
1. Proses bahasa dalam komunikasi dan pikiran;
2. Pemerolehan bahasa;
3. Pola perilaku berbahasa;
4. Asosiasi verbal dan persoalan makna;
5. Proses bahasa pada orang abnormal, misalnya anak tuli;
6. Persepsi ujaran kognisi.
Dalam hal ini Psikolinguistik lebih mengacu pada apakah yang terjadi dalam pikiran manusia ketika
dia sedang memproduksi bahasa atau tepatnya ketika sedang berbicara. Kemudian, bagaimanakah anak-anak
dalam memperoleh bahasa peratama dan menggunakan bahasa itu, serta bagaiamanakah bahasa itu mewakili
otak manusia (human brain). Semuanya adalah ruang lingkup kajian Psikolinguistik yang dimana menjadi
objek penelitian bagi para ahli Psikolinguistik.
GRAMMAR
Adalah himpunan dari aturan-aturan yang terstruktur yang mengatur susunan kalimat, frase, dan
kata dalam bahasa apapun. Di dalam tata bahasa Inggris ada tiga dasar tata bahasa, yaitu (1). etimologi,
(2). orthographi, dan (3) Sintaks.
PART OF SPEECH
Parts of speech adalah bagian-bagian mendasar dari kalimat bahasa Inggris. Ada 8 part of speech,
yaitu:
1. Noun (kata benda)
2. Pronoun (kata ganti)
3. Verb (kata kerja)
4. Adjective (kata sifat)
5. Adverb (kata keterangan)
6. Preposition (kata depan)
7. Conjunction (kata hubung)
8. Interjection (kata seru)
Dapat diperhatikan dari contoh noun di atas bahwa kita tidak bisa menggabung kata “hakim” (judge)
dengan kata “tidak”, karena “tidak hakim” tentu tidak ada artinya. Begitu pula dengan “kebenaran” (truth),
tidak bisa menjadi “tidak kebenaran”.
Plural Noun
Noun dapat berupa singular noun (nomina tunggal) atau plural noun (nomina jamak/majemuk).
Untuk mengubah singular noun menjadi plural noun, seringkali kita hanya harus menambahkan huruf -s/-es
di akhir kata tersebut. Namun ada pula plural noun yang berbeda dari bentuk singular-nya.
2. PRONOUN (Kata Ganti)
Adalah kata yang digunakan untuk menggantikan noun (kata benda) yang dapat berupa orang, benda,
hewan, tempat, atau konsep abstrak.
Macam dan Contoh Kalimat Pronoun ada di bawah ini :
Personal Pronoun
Personal pronoun adalah kata ganti yang digunakan untuk orang, hewan, benda, atau hal secara
spesifik. Kata ganti ini tergantung pada peran (subject, object, possessive), jumlah, orang ke-, dan gender
dari noun yang digantikan.
Demonstrative Pronoun
Demonstrative pronoun adalah kata ganti yang menggunakan parameter number (jumlah) dan
distance (jarak). Kata ganti yang digantikan umumnya berupa benda, namun dapat pula berupa orang atau
hal.
Contoh Kalimat Demonstrative Pronoun:
- This is the most interesting book I’ve ever read.
(Ini buku paling menarik yang saya pernah baca.)
- Is this your wallet?
(Apakah ini dompetmu?)
Interrogative Pronoun
Interrogative pronoun adalah kata ganti yang digunakan untuk membuat pertanyaan. Kata ganti
bahasa Inggris ini meliputi:
- who(ever)
- what(ever)
- which(ever)
- whose
- whom
Contoh Kalimat Interrogative Pronoun:
- Who is that man?
(Siapa lelaki itu?)
- What are you doing?
(Apa yang sedang kamu lakukan?)
Relative Pronoun
Relative pronoun adalah kata ganti untuk membentuk relative clause (adjective clause). Di dalam
relative clause, relative pronoun dapat berfungsi sebagai subject, direct object, atau possessive. Kata ganti
ini meliputi:
- who(ever)
- whom(ever)
- whose
- which(ever)
- that
Contoh Kalimat Relative Pronoun:
- The book which I bought yesterday is really interesting.
(Buku yang saya beli kemarin benar-benar menarik.)
- The person whom (who = informal) you met yesterday was my neighbor.
(Orang yang kamu temui kemarin dulu tertangga saya.)
Indefinite Pronoun
Indefinite pronoun adalah kata ganti untuk orang, benda, atau hal secara umum (tidak spesifik). Kata
ganti ini ada yang singular, plural, ataupun salah satu dari keduanya.
Contoh Indefinite Pronoun:
Contoh Kalimat Indefinite Pronoun:
- You did everything right.
(Kamu melakukan semuanya dengan benar.)
- She said something about going home.
(Dia mengatakan sesuatu tentang pulang ke rumah.)
SENTENCE
Sentence (kalimat) adalah suatu konstruksi grammatical yang mengandung suatu pikiran yang utuh.
Sentence terbentuk dari satu atau lebih clause, dimana paling tidak ada satu independent clause (terdiri atas
subject dan predicate).
PHRASE
Phrase adalah kelompok kata yang saling berkaitan namun tidak mengandung unsur subject dan
verb. Dengan memahami bagaimana cara membentuk dan fungsinya, akan memudahkan seorang penulis
untuk membuat variasi di dalam suatu tulisan.
RUMUS TENSES
TOPIK: RUANG LINGKUP KAJIAN LINGUISTIK
A. Defintion of Lingustic
Linguistics is the scientific study of language. Several of the subfields of linguistics that will be
discussed here are concerned with the major components of language:
- Phonetics is concerned with the sounds of languages,
- phonology with the way sounds are used in individual languages,
- morphology with the structure of words,
- syntax with the structure of phrases and sentences, and semantics with the study of meaning.
A number of linguistic fields study the relations between language and the subject matter of related
academic disciplines, such as
- sociolinguistics (sociology and language) and
- psycholinguistics (psychology and language).
In principle, applied linguistics is any application of linguistic methods or results to solve problems
related to language, but in practice it tends to be restricted to second-language instruction.
Genre sastra atau jenis sastra dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu sastra imajinatif
dan nonimajinatif. Dalam praktiknya sastra nonimajinatif terdiri atas karya-karya yang berbentuk esai,
kritik, biografi, otobiografi, dan sejarah. Karya sastra imajinatif itu sendiri ialah karya prosa fiksi termasuk
di dalamnya cerpen, novelet, novel atau roman; puisi yang di antaranya puisi epik, puisi lirik, dan puisi
dramatik; dan drama bentuknya berupa drama komedi, drama tragedi, melodrama, dan drama tragikomedi
(Najid, 2003:12).
Dalam kesusastraan dikenal bermacam-macam jenis genre sastra. Menurut Warren dan Wellek
(1995: 298) genre sastra bukanlah nama, karena konvensi sastra yang berlaku pada suatu karya sastra
membentuk ciri karya tersebut. Menurutnya, teori genre adalah suatu prinsip keteraturan. Sastra dan sejarah
sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu dan tempat, tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan
sastra tertentu. Dalam wujudnya syair lagu termasuk dalam genre sastra karena isinya yang menyerupai isi
genre puisi yang berisi curahan perasaan pribadi, susunan kata sebuah nyanyian (KBBI, 2003:678).
Dipaparkan oleh Teeuw (1983:11), bahwa puisi adalah sebuah aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah
sistem kode dan konvensi. Dengan demikian syair lagu dapat disamakan dengan puisi, tetapi penyajiannya
melalui nyanyian, yang termasuk dalam genre sastra imajinatif.
Karya sastra menurut genre atau jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan drama. Pembagian tersebut
semata-mata didasarkan atas perbedaan bentuk fisiknya saja, bukan substansinya. Substansi karya sastra apa
pun bentuknya tetap sama, yakni pengalaman kemanusiaan dalam segala wujud dan dimensinya. Pengenalan
terhadap ciri-ciri bentuk sastra ini memudahkan proses pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula
komponen–komponen yang turut membangun karya sastra tersebut. Berikut ini dipaparkan ketiga bentuk
karya sastra tersebut.
1. PROSA
Prosa adalah karya sastra yang berbentuk cerita yang bebas, tidak terikat oleh rima, irama, dan
kemerduan bunyi seperti puisi. Bahasa prosa seperti bahasa sehari-hari.
Prosa merupakan jenis karya sastra dengan ciri-ciri antara lain (1) bentuknya yang bersifat
penguraian, (2) adanya satuan-satuan makna dalam wujud alineaalinea, dan (3) penggunaan bahasa yang
cenderung longgar. Bentuk ini merupakan rangkaian peristiwa imajinatif yang diperankan oleh pelaku-
pelaku cerita, dengan latar dan tahapan tertentu yang sering disebut dengan cerita rekaan. Bentuk ini terbagi
atas kategori cerita pendek, novelet, dan novel. Menurut Isinya Prosa dibagi menjadi 2, yaitu:
Sejarah (Tambo)
Sejarah adalah salah satu bentuk prosa lama yang bercerita tentang peristiwa-peristiwa tertentu.
Sejarah sastra lama berbeda dengan sejarah yang ditulis pada masa kini. Kebanyakana sastra lama sejarah
disampaikan dengan menambahkan penyedap atau bumbu-bumbu cerita sehingga terdengar lebih menarik.
Sedangkan sejarah yang ditulis pada masa kini sama persis dengan kejadian sebenarnya dan dapat
dibuktikan dengan fakta. Contoh bentuk prosa lama sejarah adalah Sejarah Melayu yang ditulis oleh Tun Sri
Lanang pada tahun 1612.
Kisah
Kisah adalah prosa lama yang berbentuk cerita-cerita pendek. Biasanya kisah bercerita tantang
sebuah perjalanan, pengalaman atau petualangan orang-orang dahulu. Salah satu ontoh prosa lama kisah
adalah Kisah Raja Abdullah menuju Kota Mekkah.
Dongeng
Salah satu bentuk prosa lama yang sangat popular adalah dongeng. Bentuk prosa lama ini bercerita
tentang khayalan-khayalan masyrakat pada zaman dahulu. Ragam dan bentuk dongeng pun berbeda-beda
sesuai dengan isinya. Bentuk-bentuk dongeng antara lain Myth (Mitos), Legenda, Fabel, Sage, dan Jenaka
atau Pandir. Prosa lama yang mengandung ajaran kebaikan.
Mitos
Mitos, yaitu cerita yang dipercaya turun tumurun sebagai pegangan dalam menjalani hidup dan
berperilaku.
Legenda
Prosa lama yang menceritakan asal mula suatu tempat, benda peninggalan sejarah atau fenomena.
Fabel
Cerita yang tokohnya binatang yang berperilaku seperti manusia.
Demikianlah sebuah karya sastra, sebagaimana rumah, juga dibangun oleh unsur-unsur yang
mendukung keberadaannya. Unsur-unsur pembangun karya sastra lazim disebut dengan unsur intrinsik dan
unsur ekstrinsik. Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1985) yang dimaksud dengan unsur intrinsik
adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri, seperti: tema, tokoh, alur, latar, sudut
pandang, amanat, dan gaya bahasa. Unsur-unsur ini harus ada karena akan menjadi kerangka dan isi karya
tersebut. Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari luar karya sastra, misalnya
sosial, budaya, ekonomi, politik, agama, dan filsafat. Faktor ekstrinsik tidak menjadi penentu yang
menggoyahkan karya sastra. Akan tetapi, bagi pembaca, hal tersebut tetap penting untuk diketahui karena
akan membantu pemahaman makna karya sastra, mengingat tidak ada karya sastra yang lahir dari
kekosongan budaya.
A. Unsur-Unsur Intrinsik
Tema
adalah sesuatu yang menjadi pokok masalah/pokok pikiran dari pengarang yang ditampilkan dalam
karangannya. Tema bisa dikenal dengan dua istilah, yaitu: Tema mayor ialah tema yang sangat menonjol
dan menjadi persoalan. Tema minor ialah tema yang tidak menonjol.
Amanat
adalah pesan/kesan yang dapat memberikan tambahan pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang
bermakna dalam hidup yang memberikan penghiburan, kepuasan dan kekayaan batin kita terhadap hidup.
Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi 2, yaitu makna niatan dan makna muatan. Makna
niatan ialah makna yang diniatkan oleh pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya. Makna muatan ialah
makana yang termuat dalam karya sastra tersebut.
Plot/Alur
adalah jalan cerita/rangkaian peristiwa dari awal sampai akhir.
Dalam sebuah plot/ alur ada sebuah tahap-tahapnya, yaitu:
Tahap perkenalan/Eksposisi
adalah tahap permulaan suatu cerita yang dimulai dengan suatu kejadian, tetapi belum ada
ketegangan (perkenalan para tokoh, reaksi antarpelaku, penggambaran fisik, penggambaran tempat)
Tahap pertentangan /Konflik
adalah tahap dimana mulai terjadi pertentangan antara pelaku-pelaku (titik pijak menuju
pertentangan selanjutnya)
Konflik ada dua ;
- konflik internal
adalah konflik yang terjadi dalam diri tokoh
- konflik eksternal
adalah konflik yang terjadi di luar tokoh(konflik tokoh dengan tokoh, konflik tokoh dengan
lingkungan, konflik tokoh dengan alam, konlik tokoh denganTuhan dll)
Tahap penanjakan konflik/Komplikasi
adalah tahap dimana ketegangan mulai terasa semakin berkembang dan rumit (nasib pelaku semakin
sulit diduga, serba samar-samar)
Tahap klimaks
adalah tahap dimana ketegangan mulai memuncak (perubahan nasip pelaku sudah mulai dapat
diduga, kadang dugaan itu tidak terbukti pada akhir cerita)
Tahap penyelesaian
adalah tahap akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami
tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Ada pula yang penyelesaiannya diserahkan kepada
pembaca, jadi akhir ceritanya menggantung, tanpa ada penyelesaian.
Dalam sebuah plot/ alur ada sebuah tahap-tahapnya, yaitu:
Alur maju
adalah peristiwa –peristiwa diutarakan mulai awal sampai akhir/masa kini menuju masa datang.
Alur mundur/Sorot balik/Flash back
adalah peristiwa-peristiwa yang menjadi bagian penutup diutarakan terlebih dahulu/masa kini,baru
menceritakan peristiwa-peristiwa pokok melalui kenangan/masa lalu salah satu tokoh.
Alur gabungan/Campuran
adalah peristiwa-peristiwa pokok diutarakan. Dalam pengutararaan peristiwa-peristiwa pokok,
pembaca diajak mengenang peristiwa-peristiwa yang lampau,kemudian mengenang peristiwa pokok
( dialami oleh tokoh utama) lagi.
Perwatakan/Penokohan
adalah bagaimana pengarang melukiskan watak tokoh. Penokohan atau perwatakan ialah teknik atau
cara-cara menampilkan tokoh.Ada beberapa cara menampilkan tokoh. Cara analitik, ialah carapenampilan
tokoh secara langsung melalui uraian pengarang. Jadi pengarang menguraikan ciri-ciri tokoh tersebut secara
langsung. Cara dramatik, ialah cara menampilkan tokoh tidak secara langsung tetapi melalui gambaran
ucapan, perbuatan, dan komentar atau penilaian pelakuatau tokoh dalam suatu cerita.
Ada Tiga Cara Untuk Melukiskan Watak Tokoh:
Analitik
adalah pengarang langsung menceritakan watak tokoh.
Contoh :
Siapa yang tidak kenal Pak Edi yang lucu, periang, dan pintar. Meskipun agak pendek justru
melengkapi sosoknya sebagai guru yang diidolakan siswa. Lucu dan penyanyang.
Dramatik
adalah pengarang melukiskan watak tokoh dengan tidak langsung. Bisa melalui tempat
tinggal,lingkungan,percakapan/dialog antartokoh, perbuatan, fisik dan tingkah laku, komentar tokoh lain
terhadap tokoh tertentu, jalan pikiran tokoh.
Contoh :
Begitu memasuki kamarnya Yayuk, pelajar kelas 1 SMA itu langsung melempar tasnya ke tempat
tidur dan membaringkan dirinya tanpa melepaskan sepatu terlebih dahulu. (tingkah laku tokoh)
Campuran
adalah gabungan analitik dan dramatik.
Pelaku dalam cerita dapat berupa manusia , binatang, atau benda-benda mati yang diinsankan
Pelaku/Tokoh
Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Dalam karya sastra biasanya ada beberapa tokoh, namun
biasanya hanya ada satu tokoh utama. Tokoh utama ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil
peranan dalam karya sastra.
Tokoh utama
adalah pelaku yang memegang peranan utama dalam cerita dan selalu hadir/muncul pada setiap
satuan kejadian.
Tokoh pembantu
adalah pelaku yang berfungsi membantu pelaku utama dalam cerita.Bisa bertindak sebagai pahlawan
mungkin juga sebagai penentang pelaku utama.
Pelaku protagonis
adalah pelaku yang memegang watak tertentu yang membawa ide kebenaran. (jujur,setia,baik hati
dll)
Pelaku antagonis
adalah pelaku yang berfungsi menentang pelaku protagonis (penipu, pembohong dll)
Pelaku tritagonis
adalah pelaku yang dalam cerita sering dimunculkan sebagai tokoh ketiga yang biasa disebut dengan
tokoh penengah.
Latar/Setting
Latar/ setting adalah sesuatu atau keadaan yang melingkupi pelaku dalam sebuah cerita. Latar
disebut juga setting, yaitu tempat atau waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya
sastra. Latar atau setting dibedakan menjadi latar material dan sosial. Latar material ialah lukisan latar
belakang alam atau lingkungan di mana tokoh tersebut berada. Latar sosial, ialah lukisan tatakrama tingkah
laku, adat dan pandangan hidup. Sedangkan pelataran ialah teknik atau cara-cara menampilkan latar.
Macam-macam latar:
Latar tempat
adalah latar dimana pelaku berada atau cerita terjadi (di sekolah, di kota, di ruangan dll)
Latar waktu
adalah kapan cerita itu terjadi ( pagi, siang,malam, kemarin, besuk dll)
Latar suasana
adalah dalam keadaan dimana cerita terjadi. (sedih, gembira, dingin, damai, sepi dll)
Sudut Pandang/ Point of View
Sudut pandang adalah posisi/kedudukan pengarang dalam membawakan cerita. Sudut pandang
dibedakan atas:
Sudut pandang orang kesatu
adalah pengarang berfungsi sebagai pelaku yang terlibat langsung dalam cerita, terutama sebagai
pelaku utama. Pelaku utamanya(aku, saya, kata ganti orang pertama jamak : kami, kita)
Sudut pandang orang ketiga
adalah pengarang berada di luar cerita, ia menuturkan tokoh-tokoh di luar, tidak terlibat dalam cerita.
Pelaku utamanya (ia, dia, mereka,kata ganti orang ketiga jamak, nama-nama lain)
B. Unsur-Unsur Ekstrinsik
Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom, tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik
dengan luar sastra, dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan lingkungan,
pembaca sastra, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik ialah
unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri. Untuk melakukan pendekatan terhadap unsur
ekstrinsik, diperlukan bantuan ilmu-ilmu kerabat seperti sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain.
Latar Belakang Penciptaan
adalah kapan karya sastra tersebut diciptakan
Kondisi masyarakat pada saat karya sastra diciptakan
adalah keadaan masyarakat baik itu ekonomi, sosial, budaya,politik pada saat karya sastra diciptakan
Pandangan hidup pengarang/Latar belakang pengarang.
2. PUISI
Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan.
Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan –poem. Mengenai
kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti
membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui
imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia
adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru,
orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Puisi adalah karya sastra yang khas penggunaan bahasanya dan memuat pengalaman yang disusun
secara khas pula. Pengalaman batin yang terkandung dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah diberi
makna dan ditafsirkan secara estetik.
Susunan kata dalam puisi relatif lebih padat dibandingkan prosa. Kehadiran kata-kata dan ungkapan
dalam puisi diperhitungkan dari berbagai segi: makna, citraan, rima, ritme, nada, rasa, dan jangkauan
simboliknya. Sebagai alat, katakata dalam puisi harus mampu diboboti oleh gagasan yang ingin diutarakan
penyair. Di samping itu, kata-kata puisi harus pula mampu membangkitkan tanggapan rasa pembacanya.
Kebebasan penyair untuk memperlakukan bahasa sebagai bahan puisi itu dalam istilah kesusastraan dikenal
sebagai lisentia poetica. Istilah ini menyiratkan adanya semacam kewenangan bagi penyair untuk mematuhi
atau menyimpangi norma ketatabahasaan. Pematuhan dan penyimpangan ini haruslah mempertimbangkan
tercapainya kepuitisannya.
Puisi merupakan salah satu ragam karya sastra yang terikat dengan irama, ritma, rima, bait, larik dan
ditandai dengan bahasa yang padat. Puisi juga merupakan seni tertulis yang mana menggunakan bahasa
sebagai kualitas estetiknya atau keindahanya. Puisi dibedakan menjadi dua yakni puisi lama & puisi baru.
A. Puisi Lama
Puisi Lama ialah puisi yang terikat dengan aturan-aturan tertentu. Aturan-aturan tersebut antara lain :
Jumlah kata dalam satu baris; jumlah baris dalam satu bait; rima (persajakan ); banyaknya suku kata dalam
setiap baris; dan irama.
Ciri-Ciri Puisi Lama, ada beberapa ciri puisi lama, antara lain sebagai berikut:
Berupa puisi rakyat yang tidak diketahui nama pengarangnya.
Terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris dalam setiap baitnya, sajak dan jumlah suku
kata dalam setiap barisnya.
Disampaikan dari mulut ke mulut sehingga sering disebut juga dengan sastra lisan /
kesusastraan lisan.
Menggunakan majas/gaya bahasa tetap (statis) & klise.
Berisikan tentang kerajaan, fantastis & istanasentris.
Ada beberapa jenis-jenis puisi lama antara lain:
Pantun
Pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12 suku
kata, bersajak dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Semua bentuk pantun
terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi.
Seloka (Pantun Berkait)
Seloka adalah pantun berkait yang tidak cukup dengan satu bait saja sebab pantun berkait merupakan
jalinan atas beberapa bait
Talibun
Talibun adalah pantun jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya 6, 8, 10
dan seterusnya.
Pantun Kilat (Karmina)
Karmina mempunyai ciri-ciri: Setiap bait terdiri dari dua baris, baris pertama merupakan sampiran.
Baris kedua merupakan isi. Bersajak a – a. Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata.
Mantra
Mantra adalah puisi tua yang keberadaannya dalam masyarakat Melayu pada mulanya bukan sebagai
karya sastra melainkan sebagai adat dan kepercayaan.
Gurindam
Gurindam adalah puisi lama yang berasal dari Tamil (India) yaitu kirindam yang berarti mula-mula,
amsal, atau perumpamaan.
Syair
Syair memiliki ciri: Setiap bait terdiri atas empat baris. Setiap baris terdiri atas 8-12 suku kata.
Bersajak a-a-a-a. Isi tidak semua sampiran.
B. Puisi Baru
Puisi baru ialah puisi yang tidak terikat oleh aturan-aturan sehingga lebih bebas bentuknya daripada
puisi lama, baik dalam segi jumlah suku kata, baris, ataupun sajaknya. Dan Puisi baru adalah bentuk puisi
bebas yang tidak begitu terikat pada aturan penulisan seperti puisi lama.
Ciri-ciri puisi baru, antara lain:
Diketahui nama pengarangnya
Perkembangannya secara lisan dan tertulis
Tidak terikat oleh aturan seperti jumlah baris, jumlah suku kata dan rima.
Menggunakan majas / gaya bahasa yang berubah-ubah (dinamis).
Pada umumnya berisikan tentang kehidupan
Biasanya lebih banyak menggunakan sajak pantun & syair
Bentuknya lebih rapi dan simetris
Memiliki rima akhir yang lebih teratur
Pada tiap-tiap baris berupa kesatuan sintaksis
Jenis Puisi Baru, Berikut adalah jenis-jenis dari puisi baru:
Balada yakni puisi yang berisikan sebuah cerita atau kisah.
Himne yaitu puisi pujaan yang ditujukan untuk Tuhan, pahlawan dan tanah air.
Ode ialah puisi yang berbentuk sanjungan untuk orang-orang yang berjasa. Menggunakan
nada atau irama yang sangat resmi, membahas tentang sesuatu yang mulia, dan memiliki sifat yang
menyanjung.
Epigram merupakan puisi yang berisikan ajaran ataupun tuntunan.
Romansa ialah puisi yang isinya tentang luapan perasaan cinta dan kasih sayang.
Elegi yakni puisi tentang kesedihan.
Satire ialah puisi yang isinya berupa sindiran ataupun kritikan.
Distikon merupakan puisi dimana pada tiap baitnya terdiri dari 2 baris.
Terzina ialah puisi dimana tiap baitnya terdiri atas 3 baris.
Kuatrain yakni puisi empat seuntai dimana puisi yang tiap baitnya terdiri dari 4 baris .
Kuint ialah puisi lima seuntai yang mana pada tiap baitnya terdiri dari 5 baris.
Sektet yaitu puisi enam seuntai yang tiap baitnya terdiri dari 6 baris.
Septime ialah puisi yang tiap baitnya terdiri atas tujuh baris atau puisi tujuh seuntai.
Oktaf/Stanza merupakan puisi dimana tiap baitnya terdiri dari 8 baris.
Soneta ialah puisi yang terdiri dari 14 baris dan terbagi menjadi dua, yakni pada dua bait
pertama masing-masing empat baris dan pada dua bait kedua masing-masing tiga baris.
Puisi Naratif adalah puisi yang mengandung suatu cerita menjadi pelaku, perwatakan, setting,
maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita.
Unsur-Unsur Puisi:
Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi.
Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1) hakikat puisi
yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada (tone), serta (2) metode puisi yang
meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima.
Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut
pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang.
Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak menyatakan secara jelas
tentang unsur-unsur puisi, namun dari outline buku mereka bisa dilihat adanya (1) sifat puisi, (2) bahasa
puisi: diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3) bentuk: nilai bunyi, verifikasi, bentuk, dan makna,
(4) isi: narasi, emosi, dan tema.
Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu
unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke
arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.
Meyer menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri, (3) bahasa kiasan, (4) simbol,
(5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk (Badrun, 1989:6).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi (1) tema, (2)
nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7) bahasa figuratif, (8) kata konkret, (9) ritme dan rima.
Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu
struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif,
kata konkret, ritme, dan rima).
A. Struktur Fisik Puisi
Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.
Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-
kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital
dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi
adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya
harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan
bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami
9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu:
- Penyimpangan leksikal,
- penyimpangan semantis,
- penyimpangan fonologis,
- penyimpangan sintaksis,
- penggunaan dialek,
- penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu),
- penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan
- penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi,
seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
- imaji suara (auditif),
- imaji penglihatan (visual), dan
- imaji raba atau sentuh (imaji taktil).
Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa
yang dialami penyair.
Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju:
melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat
melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis,
artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut
juga majas. Majas adalah gaya bahasa yang digunakan penulis untuk menyampaikan sebuah pesan secara
imajinatif dan kias. Hal ini bertujuan membuat pembaca mendapat efek tertentu dari gaya bahasa tersebut
yang cenderung ke arah emosional. Biasanya, majas bersifat tidak sebenarnya alias kias ataupun konotasi.
Adapaun macam-amcam majas antara lain:
- metafora, Yaitu meletakkan sebuah objek yang bersifat sama dengan pesan yang ingin
disampaikan dalam bentuk ungkapan.
- simile, Hampir sama dengan asosiasi yang menggunakan kata hubungan bak, bagaikan,
ataupun seperti; hanya saja simile bukan membandingkan dua objek yang berbeda, melainkan
menyandingkan sebuah kegiatan dengan ungkapan.
- personifikasi, Gaya bahasa ini seakan menggantikan fungsi benda mati yang dapat bersikap
layaknya manusia.
- alegori, yaitu enyandingkan suatu objek dengan kata-kata kiasan.
- litotes, Berkebalikan dengan hiperbola yang lebih ke arah perbandingan, litotes merupakan
ungkapan untuk merendahkan diri, meskipun kenyataan yang sebenarnya adalah yang sebaliknya.
- ironi, Yaitu menggunakan kata-kata yang bertentangan dengan fakta yang ada.
- hiperbola, Yaitu mengungkapkan sesuatu dengan kesan berlebihan, bahkan hampir tidak
masuk akal.
- sinekdoke, Gaya bahasa terbagi menjadi dua bagian, yaitu sinekdok pars pro toto dan
sinekdok totem pro parte. Sinekdok pars pro toto merupakan gaya bahasa yang menyebutkan sebagian unsur
untuk menampilkan keseluruhan sebuah benda. Sementara itu, sinekdok totem pro parte adalah
kebalikannya, yakni gaya bahasa yang menampilkan keseluruhan untuk merujuk pada sebagian benda atau
situasi.
- eufemisme, Gaya bahasa yang mengganti kata-kata yang dianggap kurang baik dengan
padanan yang lebih halus.
- repetisi, Gaya bahasa ini mengulang kata-kata dalam sebuah kalimat.
- antitesis, Yaitu memadukan pasangan kata yang artinya bertentangan.
- klimaks, Yaitu mengurutkan sesuatu dari tingkatan rendah ke tinggi.
- antiklimaks, Berkebalikan dengan klimaks, gaya bahasa untuk antiklimaks menegaskan
sesuatu dengan mengurutkan suatu tingkatan dari tinggi ke rendah.
- asosiasi, Yaitu membandingkan dua objek yang berbeda, namun dianggap sama dengan
pemberian kata sambung bagaikan, bak, ataupun seperti.
- totem pro parte,
- paradoks, yaitu membandingkan situasi asli atau fakta dengan situasi yang berkebalikannya.
Ciri-ciri Drama:
Naskah drama dapat ditulis dalam bentuk puisi atau prosa.
Drama adalah sebuah prosa modern yang telah diproduksi untuk naskah dalam membaca dan
tampil.
Gaya dalam bahasa pada sebuah drama penting karena menunjukkan adanya suatu latar
belakang pada zaman dan komunitas yang diwakilinya dan dapat mencerminkan komunitas sosial-budaya
yang dijelaskan oleh penulis.
Pikiran dan ide penulis dapat disampaikan dengan melalui dialog dalam sebuah karakternya.
Konflik adalah adanya elemen penting dalam drama. Konflik dipicu oleh karakter dalam plot,
elemen penting dalam naskah drama.
Drama terdiri dari seorang diolog yang ditulis oleh penulis dengan karakter yang terkandung.
Suatu skrip yang tidak berdasarkan konflik tidak dianggap dalam drama yang baik.
Unsur-Unsur Drama
Berikut unsur-unsur drama :
Tokoh
Berdasarkan Sifat
Karakter yakni dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Tokoh Protagonis, ialah sebuah karakter utama yang mendukung dalam suatu cerita tersebut.
Tokoh Tritagonis, ialah tokoh sekunder, baik sebagai antagonis dan sebagai protagonis.
Tokoh Antagonis, ialah adanya sebuah karakter yang telah menentang sejarah.
Berdasarkan Peran
Jumlahnya yakni dibagi menjadi 3, diantaranya ialah:
Tokoh Sentral, ialah tokoh-tokoh penting dalam sebuah drama. Tokoh sentral merupakan
penyebab sebuah konflik. Tokoh sentral berisi antagonis dan protagonis.
Tokoh Pembantu, ialah sebuah karakter yang berperan sebagai tambahan atau pelengkap dari
serangkaian cerita.
Tokoh Utama, ialah karakter sekunder atau lawan karakter sentral, dapat menjadi mediator
karakter sentral, dan termasuk peran tritagonis.
BEOWULF
Beowulf adalah sebuah sajak yang terdiri atas 3000 baris dan termasuk jenis epik
rakyat. Beowulf mengalahkan seorang monster, penghuni rawa pantai yang bernama Grendel. Monster
tersebut telahmengacu istana Raja Hrothgar. Setelah Beowulf membunuh Grendel bersama ibunya, dia
diangkat menjadi raja selama 50 tahun. Kemudian Beowulf terbunuh sewaktu bertempur melawan seekor
naga api.
a) Ciri Sastra, Para Pengarang, dan Karya Sastra Inggris Periode Transisi
Puisi
Periode Transisi disebut juga periode imitative karena banyak sajak yang ditulis meniru gaya
Chaucer. Pengaruh Chaucer juga merembet sampai ke penyair-penyair Skotlandia dan mereka sering disebut
“ScottishChaucerians”. Penyair-penyair tesebut antara lain Robert Henryson (1430-1506). William Dunbar
(1465-1530), dan Gavin Douglas (1474-1522).
Penyair-penyair Inggris yang dapat memberikan suasana baru pada masa transisi adalah Sir Thomas
Wyatt (1503-1542), seorang penyair yang memperkenalkan bentuk soneta Itali kedalam khasanah
kesusasteraan Inggris dan Henry Howard, Earl of Surrey (1517-1547). Kedua penyair tersebut
memperkenalkan bentuk-bentuk sajak yang berbeda dengan penyair-penyair lainnya, dan memberikan
sumbangan besar bagi perkembangan kesusasteraan Inggris.
Karena wyatt sering pergi keluar negeri, dia banyak dipengaruhi oleh puisi-puisi Itali dan Latin.
Sebagian besar sajak-sajaknya berupa terjemahan dan imitasi, terutama soneta cinta (sajak yang terdiri dari
14 baris), dan puisi-puisi didaktik seperti satire (sindiran) dna epistle (surat-surat). Soneta Cinta dalam
bentuk aslinya merupakan karya sastra yang mirip sebuah naratif tentang ksatria pada zaman pertengahan,
yang isi ceritanya Ksatria harus menunjukan kesetiaannya terhadap kekasihnya dengan cara bertarung di
medan laga.
Drama
Pada zaman Transisi, disamping drama-drama religius berkembang pula drama non religiusatau
drama sekuler yang biasanya dimainkan di alun-alun pasar dengan menggunakan panggung ynag dapat
dipindah-pindah (Stage on Wheels). Meskipun dramanya bersifat sekuler, mereka masih berjiwa religius.
Tema ceritanya biasanya pertarungan antara Good (baik) dan Evil (jahat).
Pada perkembanga berikutnya unsur-unsur religiusdan didakdik semakin memudar, dan jenis drama
baru berkembang. Dalam jenis drama ini semua unsur seperti struktur bentuk diutamakan. Tujuannya tidak
lagi mengajar (didaktik) tetapi dititikberatkan pada hiburan.
Prosa
Karya sastra pada zaman transisi tidak jauh berbeda dengan zaman pertengahan. Karya terjemahan
yang sangat berpengaruh di kalangan rakyat adalah terjemahan Kitab Perjanjian Baru (1525) yang dilakukan
oleh William Tyndale (1484-1536).
Karya prosa dalam bentuk romance yang paling menonjol adalah karya Sir Thomas Malory yang
berjudul “Morte d’Arthur” (1470). Romance ini berkisah tentang raja Artur serta satria-satrianya. Karya ini
mempunyai peranana yang sangat penting dalam perkembangan sastra Inggris selanjutnya karena menjadi
sumber bahan dan inspirasi bagi penyair-penyair kenamaan dikemudian hari seperti Shakespeare dan
tennyson.
Drama
Yang paling maju pesat pada periode Elizabeth adalah karya drama. Karya dramatidak lagi semata-
mata bertujuan mengajarkan agama dan moral, tetapi jua bertujuan memperliahtkan kehidupan manusia.
Penulis drama yang terkenal antara lain:
Christoper Marlowe (1564-1593), ia adlaah seorang anak tukang sepatu di Caterbury yang
mendapat pendidikan di “The Town Grammar School” dan di Cambridge. Karyanya The Tragic History of
dr.Faustus bertema pencagariankekuasaan melalui sains. Dalam drama ini dikisahkan Dr. Faustus, seorang
ilmuan yang haus ilmu, mengadakan perjanjian dengan setan, Mephistopheles agar dapat menguasai segala
macam ilmu dan kekuasaan. Setelah dapat menikmati segala ilmu dan kekuasaan selama 24 tahun, jiwa
Marlowe diseret ke neraka oleh setan tersebut.
William Shakespeare (1564-1616), ia adalah seorang penyair dan dramawan Inggris terbesar.
Karier Shakespeare sebagain seorang dramawan dapat dibagi menjadi 4 periode yaitu: Periode Eksperimen
(1588-1596), periode ini ditandai dengan sifat-sifat kemudaan. Periode Perkembangan (1596-1602), pada
masa ini Shakespeare sudah menunjukan kecermatan dan pengetahuan tentang sifat-sifat yang mendalam
tentang manusia. Periode Kemuraman dan Depresi (1602-1608), pada masa ini Shakpeare sudah
menunjukan kematangan jiwa dan puncak perkembangan artistik. Periode Ketenangan (1608-1613), periode
ini mengakhiri masa produktif Shakpeare.
Macbeth
Macbeth merupakan salah satu drama tragedi terkenal karangan William Shakespeare. Dalam
drama ini Macbeth merupakan tokoh utama yang berambisi untuk menjadi Raja setelah memenangkan
peperangan. Karena dipengaruhi oleh tukang sihir (Witches) dia mengambil jalan pintas dengan cara
membunuh raja Duncan. Tetapi akhirnya dia mengalami kekalahan akibat ambisinya yang merupakan
kelemahannya. Cerita ini ditulis berdasarkan sejarah yaitu, “Holinshed’s Chronicles (1577)”.
a) Ciri-ciri Sastra, Para Pengarang, dan Karya Sastra Inggris Periode Puritan
Masa kekuasaan kaum Puritan menghasilkan sejumlah besar karya sastra (Puisi dan Prosa), tetapi
seni drama tidak dapat berkembang karena dilarang oleh pihak penguasa. Drama dianggap sebagai sarang
kemaksiatan oleh penguasa puritan.
Puisi
Pada periode ini dikenal tiga jenis puisi yaitu, puisi metafisik, puisi cavalier, dan puisi puritan.
- Puisi Metafisik
Puisi ini pertama kali digunakan oleh Dr. Samuel Johnson (1709-1786), seorang sastrawan
terkemuka abad ke-18. Puisi metafisik lebih mengutamakan intelek daripada emosi, jadi dalam puisinya
didapat banyak istilah-istilah sains. Ciri-ciri metafisik yang berkembang pada abad 17 dan akhir adalah:
puisinya pendek selalu padat makna dan irit kata, penggunaan imajinasi yang tidak lazim, penggunaan
bahasa yang keras dan kasar, penggunaan istilah sains dan tema berkisar tentang sifat manusia yang mendua
fisik dan spiritual. Penyair metafisik yang paling terkemuka adalah :
John Donne (1572-1631), sebagai penyair utama metafisik dilahirkan dalam tradisi keluarga Katolik
Roma yang kuat. Dalam menggambarkan gagasan-gagasan dalam puisiny, John Donne tidak menggunakan
perbandingan-perbandingan konvensional, tetapi menggunakan fantastik dan hiperbola. Karyanya yang
paling menonjol adalah “The Sun Rising”.
- Penyair Cavalier atau Royalist
Para penyair Cavalier adalah pengikut setia Raja Charles I, memiliki semangat jiwa yang berbeda
dengan kelompok penyair metafisik.Mereka mencintai kehidupan duniawi dan tidak begitu fanatik terhadap
agama.
Penyair-penyair yang menonjol antara lain Robert Herrick (1591-1674) dengan sajaknya To The
Virgin to Make Much of Time, Thomas Carew (1595-1639) dengan sajaknya To His Mistress in Absence,
dan Richard Levelace (1618-1658) dengan sajaknya To Althea from Prison.
- Penyair Puritan
Penyair Puritan yang menonjol adalah John Milton (1608-1674). Disamping menjadi seorang
penyair, ia juga menjabat sebagai sekretaris urusan Luar Negeri Oliver Cromwell. Milton dibesarkan
menurut ajaran-ajaran Puritan dan sejak kecil sudah menyenangi musik, puisi dan keindahan. Ia memiliki
semangat Renaissance dan sangat taat beragama. Karya Milton yang sangat terkenal adalah “Paradise Lost”
sebuah sajak epik yang terdiri dari 12 buku, ditulis dalam bentuk “blank verse”.
Prosa
Salah satu penulis prosa pada periode ini adalah, John Bunyan (1620-1688), terkenal dengan
karyanya yang bersifat alegoris, The Pilgrim’s Progress. Karya tersebut merupakan karya alegori dunia.
Buyan adalah seorang yang miskin dan tidak berpendidikan. Dia tidak tahu sama sekali kebudayaan
Renaissance dan tidak mempunyai dasar kebudayaan Yunani dan Roma. Namun ia banyak terlibat denga
Reformasi di Inggris.
Paradise Lost
Sajak “Paradise Lost” merupakan sebuah epik dalam bentuk “blank verse” tentang
pengusiran setan dari surga. Milton adalah seorang penganut Puritan. Sajak ini berkisahan tentang setan,
malaikat pemberontak, yang diusir dari surga bersama pengikutnya. Di neraka, para malaikat yang terusir
tersebut membahas cara-cara untuk membalas dendam, dan kemudian memutuskan untuk merusak Adam
dan Eve, manusia pertama di dunia. Pada saat itu Adam dan Eve sepenuhnya tidak berdosa dan hidup
bahagia, tetapi Tuhan telah melarang mereka memakan buah dari pohon pengetahuan tentang baik dan
buruk. Setan menipu Eve, danmembujuknya untuk memakan buah tersebut. Kemudian Adam dengan rasa
enggan mengikuti bujukan Eve untuk ikut makan. Tak lama kemudian mereka merasa bersalah dan malu,
kemudian mereka menjadi mortal dan harus mati. Tuhan mengusir mereka dari Taman Firdaus ke bumi dan
mereka harus bekerja agar tetap hidup.
7. August Periode
Revolusi Gemilang ( Glorious Revolution ) mengkhiri periode Restorasi dengan kemenangan
Parlemen Inggris atas Raja. Sejak saat itu kekuasaan Parlemen Inggris yang mewakili kepentingan rakyat
semakin berkembang. Peristiwa ini memaksa James II melarikan diri ke Perancis. Tahta kerajaan kemudian
jatuh ke tangan William dan Mary. Tahun 1715 dan 1745 anak-anak James II, James Francis Edward Stuart
dan Charles Edward Stuart, berusaha merebut kembali tahta kerajaan. Ketika William meninggal Anne
Stuartlah yang menggantikannya memegang tumpuk kerajaan.
Ratu Anne wafat tahun 1714 tanpa keturunan. Pihak Parlemen Inggris sejak 1701 telah menetapkan
bahwa pengganti Anne haruslah seorang pemeluk agama Protestan. Setelah Anne wafat, penggantinya yang
paling sesuai adalah Pangeran George, anak Ratu Sophia dari Hannover German. Ratu Sophia adalah cucu
raja James I, George I, yang hanya bisa berbahasa German itu, naik tahta pada usia 54 tahun.
George I tidak begitu memeperhatikan pemerintahan, demikian juga anaknya George II yang
memerintah Inggris pada Tahun 1727-1760. Pada Tahun 1707, terjadi penggabungan Inggris dengan
Skotlandia dengan nama Great Britain. Selama periode ini Inggris berkecimpung dalam berbagai perang di
Eropa selain dengan Perancis dan Indian Amerika. Periode ini adalah periode yang penuh dengan kekacauan
di bidang politik. Kaum Whig yang puritan menguasai pemerintahan secara mutlak. Tokoh politik pada
masa ini adalah Robert Walpole, perdana menteri sejak Tahun 1721 hingga Tahun 1742. Walpole adalah
seorang politisi dari golongan Whig yang memiliki kemampuan yang besar meskipun dianggap orang yang
keras kepala dan kurang tegas.
Revolusi industri ( Industrial Revolution ) yang marak pada akhir abad ke-18 membawa banyak
pengaruh dalam kehidupan sosial/kemasyarakatan. Salah satu akibat dari Revolusi Industri adalah
menjamurnya barang-barang cetakan. Industri pecetakan berkembang pesat dan barang-barang cetakan yang
mula-mula langka sekarang menjadi barang yang mudah dijumpai. Dmpak negatif dari mudahnya mencetak
karya sastra adalah tidak adanya kontrol atas karya yang bermutu atau tidak sehingga masyarakat awam
menjadi kebingungan memilih karya sastra yang bermutu ditengah banjirnya barang cetakan ini.
Selain dampak negatif tersebut ada banyak dampak positif yang bisa dirasakan masyarakat.
Masyarakat dengan mudah dan murah dapat memperoleh buku-buku yang berguna untuk menambah
pengetahuan mereka. Ketersediaan buku membuat budaya melek baca berkembang pesat. Selain itu
maraknya usaha penerbitan juga mendukung munculnya terbitan-terbitan berkala yang memberikan
informasi bagi masyarakat daerah tidak buta sama sekali terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di kota-
kota besar.
Masa ini adalah masa keemasan di bidang industri dan perdagangan. Secara perlahan muncul
industri-industri kaya milik kelas menengah. Biji kopi diperkenalkan di Inggris pada Tahun 1652 dan coffee
houses muncul di mana-mana.
Dalam bidang perdagangan dan ekspansi, sudah sejak abad ketujuh belas para pionir Inggris
mengarungi lautan Atlantik, mula-mula ke sekitar Karibia untuk membuka perkebunan dan kemudian ke
Amerika Utara untuk menemukan lahan pertanian. Pemukiman-pemukiman di wilayah selatansaat itu
dianggap lebih penting, karena daerah-daerah tersebut banyak menghasilkan hasil-hasil perkebunan seperti
gula, kapas dan tembakau yang tidak dihasilkan oleh negeri Inggris sendiri.
a) Ciri-ciri Sastra, Para Pengarang, dan Karya Sastra Inggris Periode Agustus
Periode sastra antara tahun 1700-1750 ini memiliki beberapa nama. Secara umum periode ini sering
disebut sebagai periode Agustus ( augustan period ) yang mengacu pada kaisar Agustus dari romawi yang
memerintah 27 SM-14 M dimana pada zaman itu kesusastraan khususnya puisi sudah dianggap mencapai
puncaknya dengan gaya yang dibuat-buat, bersifat politis dan satiris.
Diluar puisi, periode ini juga dikenal dengan nama-nama lain. Periode ini disebut juga periode
Neoklasik ( The Age of Neoclassicism ) karena menekankan pada keteraturan, logika, peredaman emosi,
akurasi, denga tujuan mencapai proporsi, kesatuan, harmoni, dan keanggunan dalam karya sastra sehingga
karya sastra tersebut mampu menimbulkan rasa senang, mengarahkan dan mengoreksi tingkah laku manusia
sebagai mahluk sosial.
Prosa
Prosa berkembang pesat pada periode Agustus ini yang diawali dengan berkembangnya penerbitan
berkala, misalnya surat kabar atau majalah. Tahun 1702 muncul surat kabar pertama, Daily Courant, yang
segera diikuti oleh penerbitan berkala lainnya, kemudian The Tatler tahun 1709 dan The Spectator tahun
1711. The Tatler memuat berita-berita politik, esai-esai ringan, dan gosip-gosip yang banyak digunjingkan
di klu-klub ataupun kedai-kedai kopi yang saat itu mulai banyak bermunculan. Tokoh yang terkenal pada
periode ini adalah:
Daniele Defoe ( 1661-1731 ), seorang pembangkang dari golongan kelas menengah, adalah anak
dari seorang pedagang eceran. Ia dianggap sebagai pelopor karya fiksi realistis. Ia juga seorang pedagang,
agen rahasia, seorang wartawan, dan penulis pamflet yang sangat produktif. Satu hal yang penting dari
Defoe adalah arah dari novelnya. Ia telah menulis sejumlah prosa naratif yang panjang yang lebih mirip
sebuah picaresque: novel yang bercerita tentang petualangan-petualangan.
Jonathan Swift ( 1667-1745 ) dikenal sebagai penulis prosa atire dengan rasa humor yang tinggi.
Sebagai seorang intelektual, ia menyukai seseorang sebagai mahluk individu, tidak sebagai mahluk kolektif.
Swift adalah seorang yang sensitif, angkuh, pendendam, dan juga seorang yang selalu gusar. Ia mendendam
perasaan pahit terhadap nasibnya sendiri dan terhadap masyarakat sekitarnya. Perasaan ini ditumpahkannya
ke dalam karya-karyanya.
Samuel Johnson ( 1708-1784 ), penulis yang lebih dikenal dengan sebutan Dr. Johnson ini selama
bertahun-tahun merajai dunia sastra Inggris, sehingga banyak yang menyebutnya sebagai Diktator Sastra.
Tentang kehidupannya dapat kita simak pada biografi yang berjudul The Life of Johnson yang ditulis oleh
James Boswell ( 1740-1795 ) seorang pengikutnya yang setia.
Puisi
Penyair utama periode agustusan ini adalah Alexander Pope (1688-1741). Alexander Pope adalah
satu-satunya pengarang yang penting dari generasinya yang benar-benar orang sastra. Pope mengembangkan
bakatnya menulis puisi. Sukses yang luar biasa pertama kali sebagaipenyair adalah ketika ia menulis
karyanya yang berjudul “Essay on Men” mendapat tanggapan positif. Karyanya yang kemudian adalah “The
Rape of the Lock” yang merupakan suatau “burlesque” yang berkisar tentang kejadian atau soal remeh yang
diperlakukan secara serius tetapi efeknya sangat menggelikan.
Drama
Periode Agustus ini merupakan periode yang gersang dalam karya sastra drama. Hanya dua penulis
yang patut diketengahkan disini yaitu John gay ( 1685-1732 ) yang menulis The Beggar of Opera terbit pada
tahun 1728 dan merupakan drama satire terhadap opera-opera Italia, serta George Lillo (1698-1739) dengan
karyanya The LondonMerchant or the History of George Barnwell yang terbit padatahun 1731 yang
merupakan sebuah drama sosial.
8. Pre-Romantik (1750-1800)
Raja George II meninggal pada Tahun 1760, dan cucunya George III menggantikannya sebagai raja
Inggris. George III memerintah negeri ini hingga 1820. Pada masa pemerintahan George III, banyak terjadi
hal-hal yang patut dicatat, misalnya timbulnya masa-masa transisi di bidang politik, sosial serta struktur
ekonomi. Di bidang pemerintahan, Raja George III sangat tidak setuju pemerintahan negara dilaksanakan
oleh para menteri dan parlemen. Ia berusaha memerintah negeri ini dengan cara-cara kekuasaan tradisional
sebagaimana dipraktikkan oleh dinasti Stuart. George III, sebagaimana raja-raja dari Dinasti Stuart, berusaha
mengontrol Parlemen. Dengan menggunakan kekuasaan uang ia membeli orang-orang untuk setia padanya
dan mendirikan suatu partai sendiri yang disebut “king‟s friends” atau para sahabat raja. Perlahan-lahan
George III mampu melemahkan kekuasaan Partai Whig di parlemen sehingga akhirnya ia bisa menguasai
parlemen. George III memerintah dengan seenaknya sesuai selera pribadi selama kurang lebih dua puluh
tahun. Hal ini menimbulkan keresahan yang semakin meningkat di dalam negeri yang tidak surut meskipun
raja berusaha meredam dengan berbagai cara.
Pada periode ini terjadi perang yang cukup lama antara Inggris melawan Perancis yang terkenal
dengan nama “Perang Tujuh Tahun” (1756-1763). Awalnya Inggris mengalami beberapa kekalahan. Duet
kepemimpinan Newcastle dan William Pitt mengubah keadaan tersebut. Newcastle membenahi keadaan
dalam negeri sementara Pitt memimpin armada perang Inggris. Di bawah kepemimpinan Pitt yang patriotik,
jujur, dan adil Inggris mulai meraih kemenangan demi kemenangan. Keberhasilan Pitt di medan perang ini
ternyata tidak mendapat dukungan penuh di dalam negeri. William Pitt akhirnya dipaksa menghentikan
perang di tengah-tengah keberhasilannya. Akhirnya pada Tahun 1763 perang berhenti dengan adanya
perjanjian damai di Paris.
a) Ciri-ciri Sastra, Para Pengarang, dan Karya Sastra Inggris Periode Pre-Romantik
Masyarakat Inggris yang sebelumnya masih menganggap karya sastra neo-klasik adalah karya sastra
utama, kini mulai beranggapan bahwa suatu karya sastra tanpa perasaan adalah karya sastra yang gersang.
Karya sastra pada periode ini mulai diwarnai dengan emosi serta kritik terhadap norma-norma klasik yang
membelenggu kebebasan berkarya. Pemberontakan terhadap kaidah-kaidah berkarya periode non-klasik
ditandai dengan ditinggalkannya bentuk “heroic couplet” dan dipakainya bentuk “blank verse” sebagaiman
karya-karya Shakespeare, Spencer, dan Milton.
Prosa
Bentuk yang pertama muncul adalah “Chronicle”. Bentuk ini berupa laporan tentang peristiwa-
peristiwa yang terfokus pada seseorang yang menjadi tokoh utama. Bentuk keduanya adalah “Plotted
Adventure Story”. Bentuk ini sudah memiliki semacam plot yang merangkai petualangan-petualangan
mendebarkan yang dialami tokoh utama. Bentuk ketiga adalah “Romance” dengan ciri khasnya berupa
peristiwa-peristiwa yang terjadi di tempat-tempat yang terasa jauh dan asing.
Samuel Richardson (1689-1761) dianggap sebagai penulis novel pertama dalam sejarah
kesusastraan Inggris. Sebagai seorang yang sudah dikenal kepribadiannya menulis surat, ia diminta oleh
para penerbit untuk membuat buku tuntutan membuat surat. Terbitlah buku yang berjudul Pamela or Virtue
Reward dan mengisahkan tentang seorang pramuwisma yang mendapat godaan dari tuannya.
Henry Fielding (1707-1754), Fielding lebih cenderung ke tokoh-tokoh yang jenaka, kadang-
kadang satiris dalam tulisannya. Ini dibuktikan dalam tulisannya yang berjudul Joseph Andrews yang terbit
pada Tahun 1742 yang sesungguhnya adalah sindiran terhadap karya Richardson Pamela yang dianggapnya
penuh dengan sentimentalis palsu dan kebajikan-kebajikan kuno.
Tobias Smollet (1721-1771), Seorang Skotlandia yang berpraktik sebagai dokter ahli bedah
sepulangnya dari West Indies. Karya-karyanya berbau petualangan sehingga menyerupai picarescue novel.
Beberapa diantaranya adalah “Roderick Random” dan “Peregrine Pickle”.
Laurence Sterne 91713-1768), adalah seorang humoris, humornya berpijak pada suatu kejadian
yang tidak diduga. Karya master piecenya adalah The Life and Opinions of Tristram Shandy.
Puisi
Thomas Gray ( 1716-1800 ) mendapat pendidikan di Cambridge dalam tradisi klasik dan
kemudian menjadi guru besar pada Universitas yang sama. Gtema-tema sajaknya adalah rasa simpati yang
mendalam terhadap kehidupan rakyat pedesaan. Sajaknya yang terkenal adalah “Elegy Written in a Country
Churchyard.”
Robert Burns ( 1759-1796 ) adalah benar-benar seorang artis dan seorang romantik sejati. Karya-
karyanya antara lain adalah “To a Mountain Daisy”, “Toa Mouse”, dan sebuah lgu yang menjadi lagu dunia
“Auld Lang Syne”.
Drama
Oliver Goldsmith adalah seorang penulis yang miskin dan pernah ditahan oleh pemilik tanah
karena tidak membayar sewa. Ia adalah anggota kelompok Samuel Johnson, dan dianggap sebagai penulis
yang produktif. Karyanya yang paling terkenal adalah The Good Nature man (1768)
Richard Brinsley sheridan (1751-1816) dididik di harrow School, belajar hukum. Drama
pertamanya, The Rivals, diproduksi di Covent Garden in 1775, mengalami kegagalan pada pertunjukan
malam pertama. Drama terkenalnya The School for scandal (1777,) dinilai sebagai salah satu comedy of
manners terbaik dalam khasanah kesusastraan Inggris.
9. Romantik (1780-1830)
Pada awal revolusi, pendapat umum di Inggris cenderung bersimpati atas gerakan itu. Bangsa
Inggris meyamakan peristiwa besar pada tahun 1789 itu dengan Revolusi gemilang tahun 1688 yang
mengakhiri kekuatan raja yng absolut. Disamping itu, para intelektual Inggris terutama seniman terangsang
oleh ide-ide yang terkandung dalam slogan liberte (kebebasan), egalite (persamaan), fraternite
(persaudaraan).
Pada tahun 1793 Inggris bersama beberapa negara-negara Eropa membentuk koalisi dan
memulai perang melawan perancis. Pemerintahan Inggris berada di tangan orang yang berpandangan sempit.
Kemudain kaum Whig mengusulkan undang-undang Reform Bill (1832).
Sistem pembagian tanah adalah “sistem ladang terbuka” (open field system). Dalam hal
peningkatan produksi “ladang terbuka” ini kurang menguntungkan, karena pemilik tanah maupun penyewa
tidak leluasa mencoba metode baru, karena takut gagal. Hal-hal tersebut diatas telah menyebabkan
terjadinya perubahan dalam sistem pembagian tanah. Pembagian tanah diatur oleh Lord sedemikian rupa
untuk menjaga kesuburantanhanya.
Sistem ladang tertutup merupakan perubahan penting di Inggris karena produksi pertanian
dan peternakan meningkat, walaupun tidak dipungkiri sistem tersebut mengorbankan para petani kecil.
Peningkatan produksi dan peternakan ini penting mengingat pertumbuhan penduduk Inggris yang pesat.
Periode Romantisme terjadi diantara akhir baaad ke-18 hingga awal abad ke-19. Kebanyakan dari
sastrawan masa Romantisme mengubah aliran mereka dari aliran yang mereka ikuti pada masa The Age of
Reason menjadi aliran yang sesuai dengan masa itu, Romantisme yang lebih berani, individual, memiliki
pendekatakan imaginasi mengenai karya sastra dan kehidupan sekaligus.
Ide dari karya sastra pada masa Romantisme adalah spontan, alami (tidak dibuat-buat), dan
bebas sesuai dengan kehendak (individual). Aliran tersebut lebih dipengaruhi atau didasarkan karena adanya
revolusi Perancis yang dimulai pada tahun 1789 dengan prinsip kebebasan, persamaan dan persaudaraan.
Hal inilah yang kemudian membuat para penyair di Inggris merespon kesedihan masyarakat Perancis yang
kemudian dimasukkan dalam karya-karya mereka yang menuntut kebebasan individual tanpa adanya kelas-
kelas sosial di masyarakat sehingga terciptanya persaudaraan.
Pada masa ini, karya sastra yang banyak lahir adalah puisi dari beberapa sastrawan ternama
seperti William Blake (1757-1827) dengan “From Song of Innocent” dan “From Song of Experience”,
William Wordsworth (1770-1850) “The World Is Too Much With Us”, Samuel Taylor Coleridge (1772-
1854) “Frost at Midnight”, Lord Byron (1788-1824) “When We Two Parted”, John Keats (1795-1821) “The
Ode on a Grecian Urn” dan Walter Scott (1771-1832) “The Lay of the Last Minstrel”.
Selain puisi, prosa juga mengalami perkembangan dalam masa ini dan tetap dengan nilai
individualitasnya yang bebas dan spontan serta tidak dibuat-buat. Contoh penulis prosa yang sangat terkenla
seperti Jane Austen (1775-1817) dengan karya-karyanya mengenai kehidupan rumah tangga dama
kesehariannya seperti “Pride and Prejudice”.
Sedang karya sastra dalam bentuk drama bisa dikatakan tidak berkembang pada masa ini
karena tidak adanya sebuah drama yang dapat dikatakan sukses dan berhasil pada masa ini. Hal tersebut
disebabkan dari meningkatnya jumlah golongan kelas menengah sehingga drama menjadi kurang digemari
pada saat itu. Disamping itu, mada masa Romantisme dimana segala aktifitas berpusat di rumah sehingga
masyarakat sedikit lebih malas untuk keluar rumah hanya untuk menikmati drama di panggung teater dan
lebih memiliki karya-karya sastra yang bisa dinikmati di dalam rumah seperti novel dan puisi.
a) Ciri-ciri Sastra, Para Pengarang, dan Karya Sastra Inggris Periode Romantik
Karya sastra priode Romantik ditandai dengan ciri-ciri yang berangkat dari semoyan –semboyan
“emotion is more important than reason”, “nature is the the prime bringer of happiness”, “nature is the best
teacher of moral”, “a language of poetry should be language of rural people”. Semboyan-semboyan tersebut
berawal dari anggapan bahwa karya sastra adalah ungkapan perasaan individu, jadi bersifat subjektif dan
lebih menekankan pada perasaan dibandingkan rasio.
Sekelompok penulis yang menentang slogan periode agustus mengasingkan diri dan hidup di desa-
desa. Mereka mencintai alam sedemikian rupa sehinggan timbul anggapan dari mereka bahwa “tuhan ada di
alam” (god resides in nature). Anggapan ini lebih dikenal dengan istilah “panteisme”.
Titik pangkal munculnya aliran romantisme di Inggris ini sebenarnya berakaar pada timbulnya
revolusi perancis yang terkenal dengan semboyan liberty (kebebasan), egality (persamaan), dan fraternity
(persaudaraan).
Puisi
Jenis karya sastra puisi berkembang subur pada periode ini. Nama-nama penyair yang dapat
diketengahkan adalah William Wordsworth, Samuel Taylor Colleridge, Percey Bysshe Shelley, John Keats,
dan Walter Scoot.
William Wordsworth (1750-1850), ia hidup disebuah distrik bernama Lake District, di bagia
barat laut Inggris. Kecintaan Wordsworth pada alam sedemikian besar. Ia berpendapat bahwa alam dalam
segala bentuknya memiliki jiwa yang suci. Alam telah menjadi agamanya dan ia mendapat julukan
“Nature’s High Priest” (Iman Besar Alam). Karyanya yang paling terkenaal adalah “The Prelude”, yang
isinya menggambarkan kehidupan masa kanak-kanaknya di bukit Cumberland.
Samuel Taylor Colleridge (1772-1834), artikel-artikelnya bersifat kritis dan pembicaraanya
yang cerdas membuat setiap orang terpana. ia adalah penyair yang berwawasan sangat luas. Karya-karyanya
adalah Ode on Destruction of Bstille, Ode to France.
Sir Walter Scott (177-1832), adalah satu-satunya penulis prosa yang patut diperhitungkan
pada periode ini. Beberapa karyanya yang sangat terkenal adalah “The Lady of The Last Minstrel” (1805),
dan “The Lady of The Lake” (1810) yang berbentuk puisi naratif historis.
Percey Bysshe Shelley (1792-1822), adalah satu-satunya anak seorang tuan tanah yang
menjadi anggota terhormat Parlemen Inggris. Pernikahan Shelley kandas ketika ia bertemu dengan Mary
Godwin dan pembaharu yang radikal yaitu William Godwin. Karyanya yang paling terkenal adalah
“Alastor or the Spirit of Solitude”, yang mengisyaratkan kegelisahan jiwa romantiknya, mengungkapkan
kegagalannya dan mengejar cita-cita sekaligus harapan untuk hari esok.
John Keats (1795-1821), ia sangat dikenal dengan ungkapan yang terdapat pada sajaknya
yang berjudul “Endymion” yang berbunyi: “A thing of beauty is a joy forever: it’s loveliness increases: it
will never pass into noyhingness”.
Prosa
Tidak seperti karya sastra puisi, karya sastra prosa pada periode ini berkembang sangat lamban.
Yang menarik pada periode ini adalah munculnya karya sastra non-fiksi seperti karya sastra sejarah,
biografi, kritik dan sebagainya. Beberapa tokoh yang dapat diketengahkan adalah Charles Lamb (1775-
1834), Thomas de Quincey (1785-1859), Walter Scott (1771-1832), dan Jane Austen (1775-1817) seorang
penulis novel wanita yang produktif.
Drama
Tidak demikian dengan halnya karya sastra drama yang ditulis yang muncul kepermukaan. Drama
megalami masa suram. Ini disebabkan golongan menengah yang mendominasi masyarakat Inggris pada saat
itu tidak begitu meghargai karya sastra drama sebagai karya seni. Tokoh dramawan tidak diketahui pada
periode ini.
Drama
Karya sastra drama pada Periode Victoria mengalami sedikit perubahan karena kurangnya
penghargaan dari masyarakat Victoria. Dalam tahun 1860-an terjadi sedikit perubahan, karena Ratu Victoria
sedikit berminat pada cabang sseni. Penulis drama yang populer pada waktu itu adalah:
Thomas William Robertson (1829-1871), ia dikenal sebagai pembaharu drama yang relevan
terhadapkehidupan sosial kontemporer ketika pada waktu itu drama mendapatkan perhatian yang sangat
kecil. Karyanya yang paling terkenal adalah “Caste” (1867).
Oscar Wilde (1854-1900) adalah seorang dramawan, penyair dan novelis. Karya Robertson
tidak seberapa jika dibandingkan dengan Oscar Wilde dengan popularitas komedi-komedi Oscar yang masih
berlangsung hingga sekarang. Komedi-komedinya penuh dengan cerita jenaka. Karyanya yang paling
terkenal adalah “Lady Windermere’s Fan” (1892).
a) Ciri-ciri Sastra, Para Pengarang, dan Karya Sastra Inggri Periode Modern
Prosa
Tidak sebagaimana abad ke-19, bentuk prosa mendapat tempat terhormat pada periode modern ini.
Beberapa penulis mulai mempelajari teknik penulisan serta bahan cerita. Terdapat tiga macam teknik yaitu,
teknik “sura”t (epistolary technique), teknik “otobiografi” (autobiography technique) serta teknik “mata
tuhan” (old eyes). Tokoh yang terkenal pada periode ini adalah:
Joseph Conrad (1857-1924), ia kelahiran Polandia yang telah menjadi warga Negara Inggris.
Dia seorang pelaut yang telah melanglang buana selama 19 tahun ke berbagai pelabuhan dan negara-negara
Asia, fasifik dan benua amerika. Novel Conrad biasanya bersifat petualangan. Salah satu karyanya yang
terkenal adalah Of human Bondag (1915), dia bercerita tentang pindahnya seorang mahasiswa kedokteran
yang masih muda seperti dirinya sendiri.
Herbert George Well (1866-1946), ia suka sekali menampilkan peristiwa fantastis yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Sebuah karya fantastisnya adalah The Time Machine (1955)
yang menceritakan manusia yang dapat dipindahkan ke masa lampau atau masa depan dengan seketika oleh
mesin waktu.
John Galsworthy (1867-1933), seorang novelis dramawan yang menyoroti kehidupan kelas
atas Inggris. Novelnya yang paling terkenal adalah Forsyte Saga (1906-1921).
James Joyce (1882-1941), orang Irlandia yang menerbitkan sebuah edisi pendek, Dubliners
(1914). Penemuannya itu menghasilkan varian moderndari Odyssey, yang menceritakanpetualangan selama
sehari seorang pengusaha kecil bangsa Yahudi.
Puisi
Puisi pada periode ini tidak berada di tempat teratas dari khasanah kesusteraan Inggris. Para penyair
periode ini dapat terbagi dalam dua golongan, ialah mereka yang yang tidak begitu menyimpang dari
standar-standar abad sebelumnya, dan mereka yang sengaja memberontak terhadap standar-standar itu.
Tokoh-tokohnya adalah :
Alferd Edward Housman (1859-1936), ia adalah seorang penyair yang kualitas puisinya
paling tinggi. Ia berhasil menerbitkan A Shropshire (1896) yang terdiri dari 63 lirik yang menceritakan
tentang meditasi seorang pemuda.
William Bulter Yeats (1865-1939), dia adalah seorang senator pendiri teater nasional
Irlandia. Pada tahun 1923 ia menerima hadiah nobel untuk kesusteraan karena “puisi emisionalnya yang
konsisten, dalam bentuk artistik yang paling kaku, dan mencerminkan semangat manusia”.
Thomas Stearns Eliot (T.S Eliot), dia berasal dari St. Louis, dia memperoleh sarjan Rhodes di
Oxport. Dia menulis puisi yang rapuh dan keras. Salah satu karyanya adalah Ash Wednesday (1930),
menunjukan perubahan Eliot. Eliot dianggap sebagai penyair yang paling terkenal, salah satu yang aling
controversial, dan mungkin yang paling berpengaruh di abad ke-20.
Drama
Pada periode ini drama mengalami perkembangan yang sangat pesat, mulai tampak kembali
kehidupan dan kegairahan dalam penulisan drama. Satu-satunya dramawan pada masa ini adalah :
George Bernard Shaw (1856-1950), kelahiran Irlandia, namun sejak usia muda telah menetap
di london. Kariernya pun sebagai dramawan adalah yang terpanjang dalam sejarah drama Inggris. Salah satu
karyanya adalah Pygmalion (1912). Judul cerita ini diambil dari sebuah mitos yunani yang mengisahkan
seorang pemahat yang bernama pygmalion yang memahat seorang wanita dan kemudian dia jatuh cinta pada
pahatannya tersebut, kemudian dewa Aphrodite yang mirip dengan pahatanya tersebut menjadikanya benar-
benar hidup seperti manusia layaknya. Disamping Shaw ada beberapa penulis drama lainnya, seperti John
Galsworthy. Beberapa karyanya adalah The Silver Box (1960), Joy (1907), The Pigeon (1912), dan The
Forstyle Saga (1967). Disamping Galsworthy, penulis drama liris yaitu W.H Auden (1907), Christoper
Isherwood (1904), dan William Somerset Maugham.
Ruang lingkup sastra (literature) adalah kreativitas penciptaan, sedangkan ruang lingkup studi sastra
(literary studies) adalah ilmu dengan sastra sebagai objeknya. Sastra, dengan demikian berfokus pada
kreativitas, sedangkan studi sastra berfokus pada ilmu. Pertanggungjawaban studi sastra adalah logika
ilmiah. Karena ruang lingkup sastra adalah kreativitas penciptaan, maka karya sastra (puisi, drama, novel,
cerpen) adalah sastra. Namun, karena kritik sastra juga merupakan kreativitas dalam menanggapi karya
sastra dan masalah kreativitas penciptaan lain dalam sastra, maka kritik sastra dalam bentuk esai tidak lain
adalah sastra juga. Kritik sastra yang benar bukanlah kritik sastra yang asalasalan, tetapi berlandaskan pada
logika yang dapat dipertanggungjawabkan. Apakah dasar kritik sastra hanya akal sehat semata atau teori
sastra tertentu bukan masalah, selama logika dalam kritik sastra itu memenuhi kriteria logika dalam arti yang
sebenarnya. Logika sebagai sebuah ilmu, sementara itu adalah metode dan prinsip untuk membedakan
antara pemikiran yang baik (benar) dan pemikiran yang jelek (tidak benar). Makna sastra dan studi sastra
dengan demikian dapat bertumpang-tindih.
Dalam studi sastra ada tiga cabang, yaitu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Teori sastra
adalah kaidah-kaidah untuk diterapkan dalam analisis karya sastra. Kritik sastra adalah penerapan kaidah-
kaidah tertentu dalam analisis karya sastra. Sejarah sastra adalah sejarah perkembangan sastra. Tiga cabang
tersebut saling terkait dan semuanya bersumber pada sastra, khususnya karya sastra sendiri. Karya sastra
adalah (karya) seni. Karena itu, tiga cabang studi sastra itu bersifat seni pula. Teori sastra adalah teori yang
mengenai karya sastra yang bersifat seni sastra. Kritik sastra adalah kritik terhadap karya sastra yang bersifat
seni sastra. Sejarah sastra adalah sejarah sastra yang bersifat seni sastra pula. Sementara itu, teori sastra
kadang-kadang pula dinamakan critical theory karena untuk melakukan kritik sastra dengan menerapkan
teori sastra, seseorang dituntut untuk mempunyai kemampuan untuk berpikir kritis.
Menurut Abrams (dalam Pradopo, 1988) kritik sastra adalah studi yang berhubungan dengan
pendefinisian, penggolongan (pengklasifikasian), penguraian (analisis), dan penilaian (evaluasi). Dalam
menilai baik-buruk dan bernilai seni atau tidaknya sebuah karya sastra dibutuhkan sebuah kritik sastra.
Kritik sastra tersebut tidak lepas dari beberapa pandangan yang berbeda, yang tentunya memberikan hasil
yang berbeda pula, meskipun karya sastra yang dinilai adalah karya sastra yang sama.
Dari sejumlah penilaian karya sastra yang ada, pendekatan yang paling populer adalah pendekatan
yang dikemukakan oleh Abrams dengan teori universenya. Pendekatan Abrams tidak lepas dari berbagai
macam penilaian yang pernah dilakukan oleh beberapa ahli sebelumnya. Abrams berpendapat bahwa adanya
hubungan antara pengarang, semestaan, pembaca, dan karya sastra. Abrams membuat diagram yang terdiri
atas empat pendekatan. Pendekatan tersebut meliputi pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan
pragmatik. Dengan demikian, model Abrams sangat bermanfaat untuk memahami secara lebih baik
keanekaragaman teori sastra (Teeuw, 1984).
1. Pendekatan Karya Sastra Menurut M.H Abrams
Dalam bukunya The Mirror and The Lamp (1971), Abrams mengemukakan sebuah teori universe-
nya terhadap sastra. Teori universe tersebut adalah teori yang merujuk pada alam semesta. Dalam hal
tersebut dapat kita ketahui empat hal yakni pertama ada suatu sastra (karya seni), kedua ada pencipta
(pengarang) karya itu sendiri, kemudian yang ketiga ada semesta alam yang mendasari lahirnya karya sastra
(realitas sosial), keempat ada penikmat karya sastra (pembaca).
Berdasarkan teori itu, karya sastra dapat dipandang dari empat sudut pandang yaitu: (a) ekspresif, (b)
mimetik, (c) pragmatis dan (d) obyektif. Keempat pendekatan ini nantinya akan saling berhubungan dengan
karya sastra. Dalam uraian selanjutnya akan dibahas pula mengenai hubungan sastra dengan pembaca dan
hubungan sastra dengan pengarangnya. Pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan sebelumnya dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a) Pendekatan Ekpresif
Secara ekspresif karya sastra merupakan hasil pengungkapan sang pencipta karya tentang
pengalaman, pikiran, perasaan dan sejenisnya. Menurut Lewis, karya sastra bisa didekati dengan pendekatan
ekspresif yakni pendekatan yang berfokus pada diri penulis (pengarang), imajinasinya, pandangannya, atau
kespontanitasnya (1976 : 46).
Dengan kata lain, karya sastra apabila dilihat dari sisi pengarang, karya seni merupakan karya yang
kreatif dan imajiner dan dimaksudkan untuk menghadirkan keindahan. Dalam kaitannya ini, Esten
menyatakan bahwa ada dua hal yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, yakni: daya kreatif dan daya
imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-hal yang baru dan asli. Manusia penuh dengan
seribu satu kemungkinan tentang dirinya. Untuk itu, seorang pengarang berusaha memperlihatkan
kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia yang substil (halus) dan bervariasi dalam
karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah kemampuan pengarang untuk membayangkan,
mengkhayalkan, dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya
imajinatif yang tinggi bila dia mampu memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan
kehidupan, masalah, dan pilihan alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan
menentukan berhasil tidaknya suatu karya sastra (1978 : 9). Jadi, pendekatan ekspresif adalah pendekatan
yang didasarkan pada pengarang itu sendiri, baik kaitannya dengan pikiran, sudut pandang serta
imajinasinya terhadap karya sastra yang dibuatnya.
b) Pendekatan Mimetik
Secara mimetik dalam proses penciptaan karya sastra, sastrawan atau seniman tentu telah melakukan
pengamatan yang seksama terhadap kehidupan manusia dalam dunia nyata lalu membuat perenungan dan
pada akhirnya merealisasikannya dalam bentuk sastra. Pandangan seperti merupakan sebuah pandangan
yang merujuk pada alam semesta. Artinya pendekatan ini menghubungan suatu relasi antara sudut pandang
pengarang terhadap lingkungan di sekelilingnya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam yang
diwujudkan dalam bentuk karya imajinatif. Perwujudan dalam bentuk karya sastra merupakan kritikannya
terhadap lingkungan (alam semesta) yang diutarakan melalui bentuk yang berbeda. Pada akhirnya, refleksi
pengarang tersebut merupakan suatu kejadian yang nyata yang benar-benar terjadi pada saat itu.
Berbicara mengenai pandangan mimetik terhadap karya sastra, pada dasarnya tidak dilepaskan dari
pikiran Plato. Dalam dialognya Socrates, Plato mengungkapkan bahwa semua karya seni (termasuk karya
sastra) merupakan sebuah tiruan. Tiruan merupakan istilah relasional yang menyarankan ada dua hal, yakni:
yang dapat ditiru dan tiruannya dan sejumlah hubungan antar keduanya. Meskipun teori ini akhirnya
dibantah oleh Aristoteles.
c) Teori Pragmatis
Pendekatan pragmatik menurut Abrams menekankan pada tujuan seniman dan karakter karya yang
sifat dasarnya untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangan penikmatnya (audience). Dalam kaitannya ini,
Horace mengungkapkan bahwa seni harus menghibur dan bermanfaat. Karya seni yang menghibur dan
bermanfaat harus dilihat secara simultan, tidak secara terpisah antara satu dengan yang lainnya. artinya, bagi
seniman, dalam proses penciptaan karya seni antara aspek hiburan dan kebermanfaatan harus diimbangkan.
Seorang seniman hendaknya tidak hanya menonjolkan sisi menghiburnya saja tetapi juga manfaatnya.
Seperti yang kita ketahui, di dalam karya sastra misalnya novel, mengandung nilai-nilai moral yang
dianut oleh masyarakat tertentu. Refleksi seorang pengarang terhadap norma atau nilai tersebut dapat
memberikan manfaat bagi pembacanya. Pendekatan ini tidak hanya melalui lingkup pembaca namun juga
merujuk pada realitas sosial.
d) Teori Obyektif
Pandangan terhadap karya sastra secara obyektif menyatakan bahwa karya sastra merupakan dunia
otonom, yang dapat dilepaskan dari pencipta dan lingkungan sosial-budaya zamannya. Dalam hal ini, karya
sastra dapat diamati berdasarkan strukturnya. Struktur tersebut merupakan unsur intrinsik dan ekstrinsik
dalam karya sastra. Unsur intrinsik dapat berupa perwatakan tokoh, alur, setting dan tema. Sedangkan unsur
ekstrinsik dapat berupa psikologis pengarang, keadaan lingkungan dan struktur sosial masyarakat.
Pendekatan ini lebih mengeksploitasi unsur intrinsik sebuah karya sastra (naratif).
2. Hubungan Sastra dengan Pembaca
Hal tersebut merupakan suatu pendekatan yang didasarkan pada pendekatan pragmatis. Sebuah karya
sastra yang baik haruslah memberikan kontribusi pada penikmatnya. Dengan kata lain, karya sastra dan
pembacanya memiliki hubungan yang erat. Setiap karya sastra mengandung nilai-nilai atau norma yang ada
di masyarakat. Sedangkan setiap pembaca yang menikmati karya sastra itu akan mendapatkan transformasi
nilai-nilai tersebut sehingga dapat bermanfaat.
Tak hanya itu, karya sastra juga mencerminkan kebudayaan atau realitas yang terjadi di masyarakat,
sebagai karya sastra yang harus memberikan kontribusi, karya sastra disini berfungsi sebagai pengembang
kebudayaan. Sebagai penikmat karya sastra, tentunya pembaca berperan sebagai pendukung kebudayaan.
Hubungan sastra dan pembaca ini nantinya akan dibahas lebih lanjut dalam teori resepsi, dimana teori
tersebut berdasarkan tanggapan pembaca.
Aristoteles menyatakan kritik yang sangat tajam terhadap pandangan Plato mengenai konsep Idea-
idea. Ia bahkan menawarkan konsep baru yang dikemudian hari dinamakan hilemorfisme sebagai alternative
bagi ajaran Plato mengenai Idea-idea (Bartness.1979: 15). Sekalipun demikian tidak dapat disangsikan
Aristoteles tetap berutang budi kepada Plato karena dialah yang pertama kali mengungkap tentang idea-idea.
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga
menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya
merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai
sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan bila Aristoteles memandang seni
sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan
kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya.
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata
menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan
sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang
berjudul Poetica (via Luxemberg.1989:17), Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy
(sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari
kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memelih beberapa unsur
untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah
yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari
tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap
‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato
beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang
tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles
diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan
materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu
kesatuan (Bertens.1979: 13).
Menurut Aristoteles, seni bukan hanya sekedar tiruan dari alam. Tetapi juga melibatkan perasaan
dari dalam jiwa. Dalam buku Aristoteles yang berjudul Poetic, semua jenis sajak (epic poet, tragedy,
comedy), ataupun permainan flute sekalipun adalah sebuah imitasi. Dan ia membagi imitasi itu menjadi 3
(tiga), yaitu :
By the means they use.
By their Objects.
By the manner.
Means yang berarti cara. Dalam hal ini adalah irama, language (dialog, suara orang), dan harmoni.
Dari ketiga itu seni bisa berdiri, dengan cara sendiri-sendiri ataupun kombinasi dari ketiganya. Aristoteles
mencontohkan, seni sajak itu hanya imitasi dari language, tidak melibatkan harmoni.
Object maksudnya adalah meniru dari sifat-sifat manusia (karakter). Aristoteles berpendapat karakter
manusia secara umum ada dua. Virtue and vice (kebaikan dan keburukan).
Manner maksudnya adalah cara penyajian / menampilkan dari suatu karakter. Seorang pemain atau
actor berakting / berpura-pura menjadi karakter yang ia perankan dalam suatu cerita, baik atau jahat.
Seorang actor melakukan, merepresentasi imitasi terhadap sifat / karakter dari kehidupan nyata
Pada intinya Aristotle menentang Plato, dengan pemikiran empirisnya, bahwa yang asli adalah dunia
itu sendiri, bukan alam ide yang justru abstrak. Maka tidak masalah jika kita mengimitasi dunia ke dalam
sebuah karya. Bahkan Aristotle mengharuskan selama tetap memperhatikan struktur agar terlihat estetis.
Dari sinilah lahir Tragedy dan Comedy.
Mimesis yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat ini telah ditransformasikan ke dalam
berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Luxemberg
(1989: 18) menyebutkan bila pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan Aristoles mengenai mimesis
saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimesis
tidak lagi diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung
terhadap Idea. Dari pandangan ini dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak meng-copy
secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, tetapi mencerminkan kenyataan hakiki yang
lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut kenyataan indrawi dapat disentuh dengan dimensi lain yang lebih
luhur.
ROMANTICISM
Romantisisme adalah aliran karya sastra yang sangat mengutamakan perasaan, sehingga objek yang
dikemukakan tidak lagi asli, tetapi telah bertambah dengan unsur perasaan si pengarang. Aliran ini dicirikan
oleh minat pada alam dan cara hidup yang sederhana, minat pada pemandangan alam, perhatian pada
kepercayaan asli, penekanan pada kespontanan dalam pikiran, tindakan, serta pengungkapan pikiran.
Pengikut aliran ini menganggap imajinasi lebih penting daripada aturan formal dan fakta. Aliran ini
kadangkadang berpadu dengan aliran idealisme dan realisme sehingga timbul aliran romantik idealisme, dan
romantik realisme.
Romantik idealisme adalah aliran kesusastraan yang mengutamakan perasaan yang melambung
tinggi ke dalam fantasi dan cita-cita. Hasil sastra Angkatan. Pujangga Baru umumnya termasuk aliran ini.
Sementara romantik realism mengutamakan perasaan yang bertolak dari kenyataan (contoh: puisi-puisi
Chairil Anwar dan Asrul Sani).
Sastra romantik ditandai dengan ciri-ciri : keinginan untuk kembali ke tengah alam, kembali kepada
sifat-sifat yang asli, alam yang belum tersentuh dan terjamah tangan-tangan manusia. Istilah ini juga
mencakup ciri-ciri adanya : keterpencilan, kesedihan, kemurungan, dan kegelisahan yang hebat. Kecuali itu
romantik juga cenderung untuk kembali kepada zaman yang sudah menjadi sejarah, masa lampau yang
terkadang melahirkan manusia-manusia besar. Pengungkapan yang romantis sering dikaitkan dengan
percintaan yang asyik dunia muda-mudi yang masih hijau dan belum banyak pengalaman. Tokoh-tokoh
dalam fiksi romantik sering digambarkan dengan sangat dikuasai oleh perasaannya dalam merumuskan
segala persoalan. Dikisahkan juga tokoh-tokoh yang tak tahan menghadapi hidup yang keras dan kejam.
Mereka itu kemudian ada yang lari kegunung atau tempat terpencil lainnya yang dirasakannya jauh dari
kekerasan hidup.
Aoh K. Hadimadja menyatakan bahwa salah satu ciri alam romantik tokoh-tokohnya suka
membunuh diri, karena terlalu kuat dihinggapi perasaan.
Romantisme adalah aliran dalam karya sastra yang mengutamakan perasaan. Romantisme ini timbul
sebagai reaksi terhadap rasionalisme yang menganggap segala rahasia alam bisa diselidiki dan diterangkan
oleh akal manusia. Romantisme dianggap sebagai aliran yang lebih mementingkan penggunaan bahasa yang
indah, mengawang ke alam mimpi. Pengalaman romantisme adalah pengalaman yang hanya terjadi dalam
angan-angan, seperti lamunan muda-mudi dengan kekasihnya. Aliran romantisme ini menekankan kepada
ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca tersentuh emosinya
setelah membaca ungkapan perasaannya. Untuk mewujudkan pemikirannya, pengarang menggunakan
bentuk pengungkapan yang seindah-indahnya dan sesempurna-sempurnanya. Aliran romantisme biasanya
dikaitkan dengan masalah cinta karena masalah cinta memang membangkitkan emosi. Tetapi anggapan
demikian tidaklah selamanya benar. Aliran romantic mengutamakan rasa, sebagai lawan aliran realisme.
Pengarang romantis mengawang kealam khayal, lukisannya indah membawa pembaca kealam mimpi. Yang
dilukiskannya mungkin saja terjadi, tetapi semua dilukiskan dengan mengutamakan keharuan rasa para
pembaca. Bila seseorang berada dalam keadaan gembira, maka suasana sekitarnya harus pula
memperlihatkan suasana yang serba gembira, hidup, berseri-seri. Demikian juga sebaliknya. Kata-katanya
pilihan dengan perbandingan-perbandingan yang muluk-muluk. Aliran romantic terbagi pula atas aktif
romantic dan pasif romantic. Dinamakan aktif romantic apabila lukisannya menimbulkan semangat untuk
berjuang, mendorong keinginan untk maju. Dinamakan pasif romantic, apabila lukisannya berkhayal-khayal,
bersedih-sedih, melemahkan semangat perjuangan. Intinya, romantisme adalah sebuah aliran seni yang
menempatkan perasaan manusia sebagai unsur yang paling dominan. Dan karena cinta adalah bagian dari
perasaan yang paling menarik, maka lambat laun istilah ini mengalami penyempitan makna. Sastra romantis
pun diartikan sebagai genre sastra yang berisi kisah-kisah asmara yang indah dan penuh oleh kata-kata yang
memabukkan perasaan, sejarah romantisme, yakni sebuah gerakan di dunia seni yang berawal pada abad ke-
19. Gerakan ini memfokuskan diri pada hal-hal yang berhubungan dengan emosi (perasaan) dan kebebasan
berimajinasi. Di Eropa, gerakan ini dipelopori oleh sejumlah seniman, seperti William Blake, Lord Byron,
Samuel Taylor Coleridge, John Keats, Percy Bysshe Shelley, dan William Wordsworth.
Ciri-ciri Romantik:
Pertama, kembali ke alam. Jean Jacques Rousseau (1712-1778), filsuf Perancis, menyerukan
kepada manusia agar mengakrabi dan berpulang ke alam. Menurutnya, segala sesuatu yang dekat dengan
alam yang murni, dengan sendirinya baik dan indah. Segala sesuatu yang diciptakan bersumber pada alam,
yaitu apa yang ada disekeliling kita: apa yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan. Kaum Romantik
berpegang pada semboyan mereka yaitu alam adalah sesuatu yang mendukung dan menentukan perasaan
(suasana) hati manusia. Dengan demikian, perasaan hati manusia itu tergantung dari keadaan alam. Begitu
besarnya pengaruh alam bagi pengarang beraliran Romantik, membuat keindahan alam ini menjadi motif
pada zaman tersebut. Alam yang digambarkan adalah kesunyian desa di malam hari, desiran kincir air, alam
sunyi hutan, pesona hutan, dan lain-lain.
Kedua, kemurungan. Beberapa penyair menekankan kepada kemurungan yang dalam dan
suram dan mereka mendapatkan ketenangan dengan mengunjungi tempat-tempat pemakaman dan
merenungkan nasib manusia, kemataian (maut), dan kefanaan. Sedang penyair lainnya menyukai kesedihan,
ketenangan, serta suka merenung di tempat-tempat terpencil. Tema-tema pada kesusastraan kemurungan
(melankolis) dapat dikatakan berkisar seputar kemurungan akibat keterbencian, cinta yang tidak bahagia,
penderitaan hidup, dan hal-hal yang menyeramkan.
Ketiga, primitivisme. Primitivisme adalah kecenderungan akan hal-hal yang alamiah atau
natural, yaitu yang bebas dari penalaran, aturan-aturan, konvensi-konvensi masyarakat berbudaya yang
kompleks. Dalam kesusastraan serta seni-seni lainnya, kaum primitivis percaya kepada spontanitas, ekspresi
emosi secara bebas serta intuisi. Primitivisme ini sangat kuat pengaruhnya dalam pemikiran dan
kesusastraan Amerika, yang ditandai oleh kerinduan akan masa lalu dan memimpikan kejayaan di masa
yang akan datang. Dalam hal ini, kaum primitivis mengimbau kembalinya rasa cinta tanah air serta meratapi
hilangnya kemegahan masa lalu. Dalam artian bahwa hidup di desa lebih dekat dengan alam, jauh lebih
baik, bila dibandingkan dengan hidup di kota yang biasanya menimbulkan kesengsaraan dan banyak terjadi
kejahatan.
Keempat, sentimentalisme. Istilah sentimentalisme mengacu kepada pengungkapan emosi
yang dilakukan secara berlebihan atau tidak pada tempatnya. Dalam karya sastra, emosi itu berupa kesukaan
akan kelembutan, birahi, kegandrungan akan sifat alamiah manusia yang semuanya lebih bersifat patetis
daripada etis. Namun, pengungkapan perasaan ini tidak akan bersifat sentimental sejauh masyarakat
pembacanya masih menganggap wajar, normal, dan seimbang (Shipley, 1960: 371-372).
Kelima, Individualisme. Penyair Romantik tidak hanya cenderung melarikan diri ke dalam
perasaan serta dunia mimpi mereka sendiri tetapi juga mencari pengalaman emosional dalam dunia eksternal
berupa hal-hal yang jauh, baik dalam hal waktu maupun tempat. Biasanya tokoh merasakan kegaiban jarak,
tenggelam dalam keinginan-keinginan, emosi sangat dipengaruhi oleh imbauan sugesti dan misteri. Hal-hal
yang supernatural, yang aneh dan sangat indah tertarik pada misteri yang ada dalam keindahan.
Keenam, eksotisme. Dalam Kamus Istilah Sastra, eksotisme adalah keasingan, keunikan,
ketidakbiasaan yang mengandung daya tarik khas. Dalam sastra, eksotisme ini bersangkut-paut dengan sifat
dan ciri latar, tokoh, dan peristiwa yang terasa asing dan unik (Zaidan, 1994: 66).
CONTEMPORARY CRITICAL THEORY
STRUCTURALISM (SAUSSURE)
Sebenarnya semua teori sastra sejak Aristoteles telah menekankan pentingnya pemahaman struktur
dalam analisis sebuah karya sastra. Akan tetapi istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada
praktik kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. Termasuk ke dalam
kelompok ini beberapa teoritisi formalis Rusia seperti Roman Jakobson, tetapi umumnya strukturalisme
mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang menerapkan metode dan istilah-istilah analisis yang
dikembangkan oleh Ferdinan de Saussure (Abrams, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori
mimetik, yang berpandangan bahwa karya sastra adalah tiruan kenyataan), teori ekspresif, yang menganggap
sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang, dan menentang teori-teori yang
menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.
Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup penajang dan berkembang
secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan
saling bertentangan. Misalnya, strukturalisme di Perancistidak memiliki kaitan erat dengan strukturalisme
ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme dapat dipersatukan
dengan adanya pembaruan dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun
terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa
mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Saussure (Bertens, 1985: 379-
381).
Ferdinand de Saussure meletakkan dasar bagi linguistik modern melalui mazhab yang didirikannya,
yaitu mazhab Jenewa. Menurut Saussure prinsip dasar linguistik adlaah adanya perbedaan yang jelas antara
signifiant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), antara parole (tuturan) dan langue
(bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini ilmu bahasa
dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, di mana fenomena bahasa dapat dijelaskan dan
dianalisis tanpa mendasarkan diri atas apa pun yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran
perspektif yang radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik.
Sistem dan metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-teori yang
segera dapat diterima secara laus. Keberhasilan studi linguistik kemudian diikuti oleh berbagai cabang ilmu
lain seperti antropologi, filsafat, psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.
Pengaruh teori strukturalisme bahasa terhadap teori sastra terutama dikembangkan oleh Lingkaran
Praha. Mula-mula Jan Mukarovsky memperkenalkan konsep kembar artefakta-objek-estetik. Sastra
dianggap sebagai sebuah fakta semiotik yang tetap. Teks-teks sastra dianggap sebagai suatu tanda majemuk
dalam konteks luas yang meliputi sistem-sistem sastra dan sosial. Sklovsky mengembangkan konsep
otomatisasi dan deotomatisasi, yang serupa dengan konsep Roman Jakobson tentang familiarisasi dan
defamiliarisasi. Dasar anggapan mereka adalah bahwa bahasa sastra sering kali memunculkan gaya yang
berbeda dari gaya bahasa sehari-hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur bahasa ini pun sering kali
menghadirkan berbagai pola yang menyimpang dan tidak biasa. Tugas peneliti sastra adalah mengembalikan
pola yang menyimpang ini kepada bentuk yang dapat dikenal pembaca. Penyimpangan bahasa ini hanya
dapat diamati secara struktural, yakni dalam jaringan relasi oposisi. Selain itu peneliti sastra mengamati pula
evolusi literer dalam suatu lingkungan tradisi tertentu untuk melihat penyimpangan-penyimpangan norma-
norma sastra yang memunculkan fungsi estetik yang baru.
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang
menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah
penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi
oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang
lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat
berwujud ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi (Hartoko, 1986: 135-136).
Strukturalisme lahir dari perkembangan di berbagai bidang (Dosse, 1998). Telah terjadi pergeseran
dari struktur sosial menuju struktur linguistik yang biasa dikenal dengan Linguistic Turn. Fokus ilmuwan
sosial bergeser dari struktur sosial kepada bahasa.
Jadi berbicara mengenai strukturalisme, ada yang kurang rasanya jika kita tidak membahas mengenai
bahasa. Bahasa memainkan peranan penting dalam teori tindakan, perspektif ini menyatakan bahasa adalah
wahana yang memberikan kita kemampuan untuk mengkomunikasikan makna-makna kita kepada orang lain
dan karenanya membangun keteraturan sosial. (Pip Jones, 2009)
Bagi teori tindakan, bahasa dan kemampuan menggunakannya mencerminkan ciri pembeda dalam
kehidupan manusia; bahasa mendemonstrasikan kesadaran dan kemampuan kita untuk mengiterpretasi, dan
melekatkan makna, dunia di sekitar kita.Bahasa mendefinisikan realitas sosial. Bahasa tidak merefleksikan
'realitas', tapi sebaliknya, realitas justru dikonstruksi lewat struktur-struktur yang dikendalikan bahasa.
Karena bahasa menciptakan dunia sebagaimana yang dipahami oleh para aktor. Bahasa akhirnya menjadi
sasaran perhatian paling populer dalam penelitian etnometodologi dan yang paling menonjol pada analisis
percakapan. Argumennya adalah bahwa percakapan mempresentasikan makna simbolik yang utama, yang
digunakan oleh orang-orang yang terlibat untuk mengkonstruksi keteraturan dalam situasi sosial, bagaimana
konstruksi dibangun, harus dipahami oleh sosiolog yang menaruh perhatian pada bidang ini. (Pip Jones,
2009)
Strukturalisme juga menjelaskan pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang bebas dan terlepas
dari aturan maupun struktur yang ada. Namun dengan munculnya paham Strukturalis maka kini manusia
punya aturan yang baku dan jelas. Hal ini merupakan protes atas reaksi bahwa Eropa menempatkan manusia
sebagai makhluk yang bebas.
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa
semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Strukturalisme lebih
tertarik untuk berbicara tentang praktek-praktek penandaan dimana makna merupakan produk dari struktur
atau regularitas-regularitas yang dapat diramalkan yang terletak di luar jangkauan manusia (human agents).
Ferdinand de Saussure (1857-1913), yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara
menganalisa bahasa, yang juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem tanda atau simbol dalam
kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural. De Saussure mengatakan bahwa bahasa
adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan,
abjad orang-orang bisu tuli, upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan lain
sebagainya. Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga munculnya
simbol-simbol atau tanda-tanda (termasuk didalmnya upacara-upacara, tanda-tanda kemiliteran dan
sebagainya) sehingga membentuk sistem bahasa.
Gagasan terpenting yana dimunculkan De Saussure adalah Langue dan Parole. Langue dan parole.
Menurut Saussure, langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah pengetahuan dan kemampuan
bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah
perwujudan langue pada individu. Eksistensi langue memungkinkan adanya parole, seperti yang kita ketahui
bahwa parole adalah wicara aktual, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya.
(George Ritzer, 2004). Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku
secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar. Permasalahan yang
selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan
masyarakat.
Dari beberapa penjelasan di atas, ada salah satu pertanyaan penting untuk kita semua selaku ilmuwan
sosial. Apakah kita bisa mengidentifikasi sebuah permasalahan sosial atau masyarakat secara terstruktur dan
hanya melihat dari penggunaan bahasa ?
Strukturalisme memandang permasalahan sosial secara obyektif hal ini dapat dikaitkan dengan
struktur yang telah dibuat, dimana dalam struktur itu juga terdapat sebuah konsensus atau sebuah
kesepakatan bersama. Dalam metode penelitan biasanya lebih condong kepada penelitian kualitiatif.
Ferdinand de Saussure dikenal sebagai bapak dari Semiotica/Semiology serta salah satu teoritisi
terpenting dalam ilmu linguistik. Selain itu Semiotika Saussure juga menjadi salah satu pencetus awal dari
gerakan strukturalisme yang lahir di Perancis pada awal abad ke 20. Strukturalisme yang berawal dari ilmu
linguistik ini kemudian dikembangkan juga ke ilmu-ilmu lainnya seperti Sosiologi, Psikologi, Anthropologi,
dll. Melihat besarnya pengaruh Semiotik Saussure ini maka menarik sekali untuk membahas Semiotika
Saussure dan melihat akar strukturalisme dalam semiotika tersebut.
Ciri khas strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan actual objek melalui penyelidikan,
penyingkapan sifat-sifat instriknya yang tidak terikat oleh wktu dan penetapan hubungan antara fakta atau
unsure-unsur system tersebut melalui pendidikan. Berangkat dari seperangkat fakta yang diamati pada
permulaanya, strukturalisme menyingkapi dan melukiskan struktur inti dari suatu objek (hieraerkinya, kaitan
timbale balik antara unsure-unsur pada setiap tingkat), dan lebih lanjut menciptakan suatu model teoritis dari
objek tersebut.
Teori strukturalisme ini paling erat terkait dengan linguistik, sebagai ilmu yang dipahami dalam
Prague Linguistic Circle. Perkembangan fonologi dalam linguistik telah membuka teori sastra dalam metode
analisis tingkat suara dalam karya sastra lisan. Analisis fungsi linguistik telah memberikan studi baru
tentang gaya bahasa dari bahasa puisi, yang pada akhirnya mengarah pada studi pemahaman karakter
semiotik bahasa yang memandang karya sastra sebagai tanda (Steiner, 1978:3). Jacobson, Mukarovsky, dan
Vodicka yang merupakan tiga tokoh linguistik mazhab Prague (Eagleton, 1943:86) juga para pelopor
strukturalisme dinamik yang memandang bahwa karya sastra adalah proses komunikasi dan fakta semiotik
yang terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Oleh karena itu, karya sastra tidak lain merupakan petanda
yang memperoleh makna melalui kesadaran pembaca, sehingga karya sastra perlu dikembalikan kepada
penulis, masyarakat sebagai latar yang menghasilkannya, serta pembaca sebagai penerima. Dari berbagai
pandangan para strukturalis yang telah diuraikan tersebut, maka pada akhirnya strukturalisme, sebagai
sebuah aliran dalam sastra, adalah sebuah instrumen teoretik dan metodologis yang berfungsi memahami
dan mengungkapkan isi dan pesan yang ada dalam karya sastra secara utuh dan komprehensif. Isi dan pesan
dalam karya sastra itu bisa berupa ajaran-ajaran kebaikan dan kebajikan; bisa juga ideologi-ideologi yang
berkembang dalam pikiran manusia dan masyarakat.
Teori strukturalisme sastra, sesuai dengan penjelasan di aas, dapat dipandang sebagai teori yang
ilmiah mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah. Ketiga ciri itu adalah:
1. Sebagai aktivitas yang bersifat intelektual, teori strukturalisme sastra mengarah pada tujuan
yang jelas yakni eksplikasi tekstual,
2. Sebagai metode ilmiah, teori ini memiliki cara kerja teknis dan rangkaian langkah-langkah
yang tertib untuk mencapai simpulan yang valid, yakni melalui pengkajian ergosentrik,
3. Sebagai pengetahuan, teori strukturalisme sastra dapat dipelajari dan dipahami secara umum
dan luas serta dapat dibuktikan kebenaran cara kerjanya secara cermat.
Sekalipun demikian, teori strukturalisme yang hanya menekankan otonomi dan prinsip
objektivitasnya pada struktur karya sastra memiliki beberapa kelemahan pokok, yaitu
1. Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra kehilangan relevansi
sosialnya, tercabut dari sejarah dan terpisahkan dari permasalahan manusia.
2. Karya sastra tidak dapat diteliti dalam rangka konvensi-konvensi kesusastraan sehingga
pemahaman kita mengenai genre dan sitem sastra sangat terbatas.
Bila diterapkan pada ilmu-ilmu individual, metode-metode structural mengakibatkan akibat-akibat
positif: misalnya dalam linguistic pendekatan ini membantu membuat suatu deskripsi tentang bahasa yang
tidak tertulis, membuat sandi prasati dalam bahasa, dll.
Gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner
tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmua alam.
Akan tetapi introduksi metode structural dalam bermacam macam bidan pengetahuan menimbulkan upaya
yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status system filosofis.
Signifier – Signified
Konsep pertama adalah signifiant dan signifie yang menurut Saussure merupakan komponen
pembentuk tanda dan tidak bisa dipisahkan peranannya satu sama lain. Signifiant, atau disebut juga signifier,
merupakan hal-hal yang tertangkap oleh pikiran kita seperti citra bunyi, gambaran visual, dan lain
sebagainya. Sedangkan signifie, atau yang disebut juga sebagai signified, merupakan makna atau kesan yang
ada dalam pikiran kita terhadap apa yang tertangkap.
Jika ditinjau dari segi linguistik yang merupakan dasar dari konsep semiologi Saussure,
perumpamaannya bisa dianalogikan dengan kata dan benda “pintu”. Pintu secara signifiant merupakan
komponen dari kumpulan huruf yaitu p-i-n-t-u, sedangkan secara signifie dapat dipahami sebagai sesuatu
yang menghubungkan satu ruang dengan ruang lain. Kombinasi dari signifiant dan signifie ini yang
kemudian membentuk tanda atas “pintu”, bukan sekedar benda mati yang digunakan oleh manusia.
Pembedaan ini merupakan inti pandangan Saussure tentang tanda. Menurut pendapat popular,
suatutanda bahsa menunjukkan benda dalam realitas. Kata pohon misalnya dianggap menunjukkan kepada
pohon flamboyant yang berdiri di situ. Tetapi de Saussure menekankan bahwa suatu tanda bahasa bermakna
bukan karena refrensinya kepada benda. Lagi pula, menurut de Saussure konsep itu tidak lepas dari tanda
bahasa, tetapi termasuk tanda bahsa itu sendiri. Secara popular tidak jarang dipikirkan konsep-konsep
mendahului kata-kata, tidak jarang diberi kesan bahwa kita mencari kata-kata bagi konsep-konsep yang
sudah ada dalampikiran kita dan bahwa dari situ timbul relasi antara kata dan benda. Pdahal, makna tidak
dapat dilepaskan dari kata. Suatu kata tidak pernah merupakan bunyo saja atau sejauh menyangkut bahasa
tertulis, tidak pernah merupakan coretan saja. Suatu kata adalah bunyi atau coretan, ditambah suatu makna.
Dari sebab itu menurut Saussure tanda bahasa (seperti misalnya suatu kata) yang dipelajari dalam
linguistic, terdiri atas dua unsure yaitu: le significant dan le signifie: the signifier dan the signified. Dalam
bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi: “penanda” dan “yang ditandakan”. Significant adalah bunyi
yang makna atau cirri yang bermakna. Signifie adalah gambaran mental, pikiran atau konsep. Jadi signifie
adalah aspek mental dari bahasa. Yang harus dioerhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang kongkret
kedua unsure tadi tidak dapat dilepaskan.
Langue – Parole
Agar objek linguistic dapat ditetukan lebih lanjut, Saussure mengemukakan suatu pembedaan lain
lagi. Terpaksa kita mengambil alih istilah istilah yang diberikan oleh buku kursus tetang linguistic umum
sendiri, sebab di bidang ini kekhususan bahasa prancis tidak mudah diterjemahkan oleh bahasa-bahasa lain.
Kalau fenomena bahsa secara umum ditunjukkan dengan istilah langage, maka dalam langage harus
dibedakan antara parole dan langue. Dengan kata parole itu dimaksudkan pemakaian bahasa yang
individual. Jika kita mencari terjemahannya dalam bahsa inggris, dapat diajukan speech atau language use.
Tetapi parole tidak dipelajari oleh linguistic.
Langue adalah bahasa sebagai objek sosial yang murni, dan dengan demikian keberadaannya terletak
di luar individu, yakni sebagai seperangkat konvensi-konvensi sistemik yang berperan penting di dalam
komunikasi. Langue adalah bagian sosial dari langage, berada di luar individu, yang secara mandiri tidak
mungkin menciptakan maupun mengubahnya. Langue hanya hadir sebagai sebuah kontrak di masa lalu di
antara para anggota masyarakat. disamping sebagai institusi sosial, langue juga berfungsi sebagai sistem
nilai. Bagi Saussure, langue adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan. untuk menjelaskan
langue sebagai suatu sistem, ia mengemukakan suatu perbandingan bahasa sebagai langue dapat
dikomparasikan dengan main catur. Dalam Filsafat Barat XX, jilid II Perancis, K. Bertens mengemukakan
sebagai berikut:
“Asal-muasal permainan catur tidak relevan untuk memahami permainan itu sendiri. juga dari
bahan apa buah catur dibikin, dalam artian ia tidak menyumbang sesuatupun untuk pengertiannya.
Permainan catur merupakan suatu sistem relasi-relasi di mana setiap buah catur mempunyai fungsinya.
dan sistem itu dikonstituir oleh aturan-aturannya. Menambah atau mengurangi jumlah buah catur berarti
mengubah sistem secara esensial. Atau mengubah aturan untuk menggerakkan kuda umpamanya berarti
mengubah seluruh sistem. Demikianpun bahasa. Bahasa itu bukan substansi, melainkan bentuk saja, kata
Saussure (Le langage ne’est pas une substance mais use forme).”
Kebalikan dengan langue, parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. parole
dapat dipandang, pertama, sabagai kombinasi yang memungkinkan penutur mampu menggunakan kode
bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya. Di samping itu, kedua, parole pun dapat dipandang
sebagai mekanisme psiko-fisik yang memungkinkan penutur penampilkan kombinasi tersebut. Aspek
kombinatif ini mengimplikasikan bahwa parole tersusun dari tanda-tanda yang identik dan senantiasa
berulang. karena adanya keberulangan inilah maka setiap tanda bisa menjadi elemen dari langue. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa parole merupakan penggunaan aktual bahasa sebagai tindakan individu-
individu.
Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya,
sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat individu dan setara dengan kalam. dengan
demikian dapat dibedakan antara langue (yang histroris) dengan parole (yang a-historis).
Synchronic – Diachronic
Anggapan mengenai bahasa system ini membawa kita kepada suatu pembedaan lain lagi yang
dikemukakan oleh Saussure. Menurut Saussure, linguistic harus memperhatikan sinkroni sebelum
menghiraukan diakroni. Dua kata ini berasal dari bahasa yunani yakni kronos (waktu) dan dua awalan syn
dan dia masing masing berarti bersama san melalaui. Maka dari sinkroni dapat dijelaskan sebagai ”
bertepatan denagn waktu” dadn diakroni adalah dijelaskan sebagai menulusi waktu” diakroni adalah
peninjauan historis sedangkan sinkroni menunjukkan pandangan yang sama sekali tidak lepas dari perspektif
historis, sinkroni adalah peninjauan ahistoris.
Bahasa dapat dipelajari menurut dua sudut pandang itu, sinkroni dan diakroni. Kita dapat menelusuri
suatu bahasa sebagai system yang berfungsi pada saat yang tertentu (dan dengan demikian tidak
memperhatikan bagainmana bahsa itu telah berkembang sampai keadaan saat itu) dan kita dapat menyoroti
perkembangan suatu bahasa sepanjang waktu. Saussure menekankan perlunya adanya pendekatan sinkronis
tentang bahasa, bertentangan denagan ahli-ahli linguistic abad ke-19 yang hamper semua mempraktekkan
suatu pendekatan diakronis tentang bahasa, mereka mempelajari bahasa dari sudut pandang komparatif-
historis dengan menuluri proses evolusi bahasa-bahasa tertentu, etimologi, perubahan fonetis, dan lain
sebagainya.
Synchronic merupakan telaah bahasa yang mana mempelajari bahasa dalam satu kurun waktu
tertentu, sedangkan diachronic mempelajari bahasa secara terus menerus atau sepanjang masa selama bahasa
tersebut masih digunakan. Synchronic seringkali disebut sebagai studi linguistik deskriptif, karena kajian
didalamnya banyak mengkaji hal yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan bahasa apa yang
digunakan pada suatu masa tertentu. Sedangkan diachronic lebih bersifat pada studi historis dan komparatif,
karena bertujuan untuk mengetahui sejarah, perubahan, dan perkembangan struktural suatu bahasa pada
masa yang tak terbatas.
Syntagmatic dan Paradigmatic
Konsep semiologi Saussure yang terakhir adalah konsep mengenai hubungan antar unsur yang dibagi
menjadi syntagmatic dan associative atau paradigmatic. Syntagmatic menjelaskan hubungan antar unsur
dalam konsep linguistik yang bersifat teratur dan tersusun dengan beraturan. Sedangkan,
associative/paradigmatic menjelaskan hubungan antar unsur dalam suatu tuturan yang tidak terdapat pada
tuturan lain yang bersangkutan, yang mana terlihat nampak dalam bahasa namun tidak muncul dalam
susunan kalimat.
Hubungan syntagmatic dan paradigmatic ini dapat terlihat pada susunan bahasa di kalimat yang kita
gunakan sehari-hari, termasuk kalimat bahasa Indonesia. Jika kalimat tersebut memiliki hubungan
syntagmatic, maka terlihat adanya kesatuan makna dan hubungan pada kalimat yang sama pada setiap kata
di dalamnya. Sedangkan hubungan paradigmatic memperlihatkan kesatuan makna dan hubungan pada satu
kalimat dengan kalimat lainnya, yang mana hubungan tersebut belum terlihat jika melihat satu kalimat saja.
Kita tentu sudah sering mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia yang membahas unsur-unsur dalam
kalimat berupa subjek, predikat, objek, dan keterangan (SPOK); namun pada kenyataannya tidak semua
kalimat selalu memiliki unsur-unsur tersebut, bukan? Kajian semiologi menyatakan jika sebuah kalimat
memiliki unsur SPOK yang lengkap dan memiliki kesatuan arti dari gabungan unsur tersebut sehingga tidak
bisa digantikan dengan unsur lain karena dapat merubah makna, maka kalimat tersebut memiliki hubungan
syntagmatig.
Dan sebaliknya, jika sebuah kalimat tidak memiliki susunan SPOK lengkap dan salah satu unsurnya
dapat diganti dengan kata lain tanpa merubah makna, maka kalimat tersebut memiliki hubungan
paradigmatic.
SEMIOTIKA SASTRA
Strukturalisme dan semiotik umumnya dipandang termasuk dalam suatu bukan teoritis yang sama.
Sebetulnya apa yang dinamakan semiotik sastra bukan merupakan suatu aliran ilmu sastra. Berbagai aliran
seperti strukturalisma dan ilmu sastra linguistik dapat dinamakan semiotik (Van Luxemburg dkk, 1984:
4446).
Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda, sistem-sistem tanda, dan proses suatu tanda
diartikan (Hartoko, 1986: 131). Dengan kata lain, ilmu yang mempelajari berbagai objek, peristiwa, atau
seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979: 6). Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang bersifat
representatif, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvensi tertentu. Konvensi yang memungkinkan
suatu objek, peristiwa, atau gejala kebudayaan menjadi tanda itu disebut juga sebagai kode sosial.
Bila diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak memiliki arti pada dirinya
sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti(signifiant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca
itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam
sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra biasanya diperhatikan hubungan sintaksis antara
tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan (semantik).
Ada beberapa aliran semiotik dalam ilmu sastra, yang diwakili oleh Saussure (Perancis), Jurij
Lotman (Rusia), dan C.S. Pierce (Amerika). Kesamaan utama pandangan mereka adalah bahwa bahasa
merupakan salah satu di antara sekian banyak sistem tanda. Ada kalanya ditekankan bahwa bahasa
merupakan sistem tanda yang paling fundamental. Pokok-pokok pendangan ketiga teoritisi itu diuraikan
berikut ini.
Pierce (1839-1914) adalah seorang filsuf Amerika yang meletakkan dasar bagi sebuah bidang studi
yang disebtu semiotik. Pierce menyebutkan tiga macam tanda sesuai dengan jenis hubungan antara tanda
dan apa yang ditandakan.
1. Ikon, yaitu tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk.
Misalnya, foto dengan orang yang difoto, atau pera dengan wilayah geografisnya.
2. Indeks, yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandakan.
Misalnya asap menandakan adanya api, mendung menandakan bakal turun hujan.
3. Simbol atau tanda, yaitu suatu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang
ditandakan bersifat arbitrer, manasuka, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Misalnya
bahasa.
Saussure adalah ahli linguistik asal Swiss yang memperkenalkan studi tentang tanda sebagai
semiologi. Menurut Saussure, bahasa adalah sistem tanda, dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek
yang tak terpisahkan satu dengan lainnya, yakni penanda dan petanda. Penanda adalah aspek formal atau
bunyi pada tanda itu. Sedangkan petanda adalah aspek makna atau konseptual dari suatu penanda. Tanda
memiliki ciri arbitrer, konvensional, dan sistematik. Arbitrer atau manasuka misalnya dalam urutan bunyi k-
a-c-a-n-g tidak ada pemikiran atau motif menghubungkan bunyi itu dengan tanaman tertentu. Kombinasi
aspek formal dan konseptual (bunyi “kacang” dengan wujud kacang sebenarnya) hanya terjadi berdasarkan
konvensi sosial yang berlaku dalam bahasa tertentu saja. Jika kita menyebut “kacang”, orang Inggris
menyebutnya “bean” sesuai dengan konvensi bahasa masing-masing.
Jurij Lotman, seorang ahli semiotik Rusia menyebut bahasa sebagai sistem tanda primer yang
membentuk model dunia bagi pemakaiannya. Model ini mewujudkan sarana konseptual bagi manusia untuk
menafsirkan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya. Sastra disebutnya sebagai sistem tanda sekunder.
Sastra dan semua cabang seni lainnya mempergunakan sistem tanda primer seperti terdapat dalam bahasa
alamiah tetapi tidak terbatas pada tanda-tanda primer saja.
SOSIOLOGI SASTRA
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan
pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik
masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan
sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki
keterkaitan timbal balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya, dan sosiologi sastra berupaya
meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto 1993).
Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan
istilah mimesis, yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai cermin.
Pengertian mimesis pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemaukakan
Olato dan Aristoteles, dan dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di
Eropa (Van Luxemburg, 1986: 15).
Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asli (semacam gambar induk).
Jika seseorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia ide-
ide. Jiplakan atau kopian itu selalu tidak memadai seperti aslinya, kenyataan yang kira amati dengan
pancaindra selalu kalah dari dunia ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi tentang kenyataan
(yang juga hanya tiruan dari kenyataan yang sebenarnya) sehingga tetap jauh dari kebenaran. Oleh karena
itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat kopi
dari kopian. Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato, yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi
dia berpendapat bahwa mimesis tidak sematamata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu
yang baru karena kenyataan itu tergantung pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi,
sastra bukan lagi jiplakan atas jiplakan (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan
mengenai universalia (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih
beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat dipahami, karena menampilkan kodrat manusia
dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.
Levin (1973: 56-60) mengungkapkan bahwa konsep mimesis itu mulai dihidupkan kembali pada
zaman Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya menghilangkan
perdebatan prinsipal antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa
masing0masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam
jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam jaman Romantik, yang secara
khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan
geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada jaman berikutnya, yakni positivisme
ilmiah.
Pada jaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-
1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak
dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang
sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti.
Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat
dijelaskan menurut tida faktor, yakni rras, lingkungan, dan momen, dan lingkungan. Maka kita dapat
memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut
dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam
sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Momen ialah situasi
sosial politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep
Taine mengenai lingkungan inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra
dengan ilmu-ilmu sosial. Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam bukunya tadi, oleh pembaca
kontemporer asal Swis, Amiel, dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dari cakrawala
anatomis kaku (strukturalisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine itu membawa aroma
baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang
dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku
pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert,
sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari
keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada
misteri (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat memiliki kelemahan-
kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu
perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.
Dekonstruksi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut cara membaca sebuah teks
(sastra maupun filsafat) yang berdasarkan pada pola pandangan filsafat Jaques Derrida. Derrida sendiri
dipengaruhi pandangan fenomenologi (Heidegger) dan skeptisme (Nietzche). Pandangan ini menantang
klaim strukturaliema yang menganggap sebuah teks mengandung makna yang sah dalam struktur utuh di
dalam sistem bahasa tertentu. Dekonstruksi disebut juga sebagai pascastrukturalisme karena membangun
teorinya atas dasar konsepkonsep strukturalisme semiotik Ferdinand de Saussure dengan menentang dan
merusak konsep-konsep itu. Mereka melacak konsep-konsep strukturalisme klasik sampai ke akar-akarnya
dan merombaknya dengan pandangan baru.
Aliran ini mula-mula dikembangkan di Perancis oleh kelompok penulis Tel Quel dengan tokoh
perintis antara lain Jacques Derrida dan Julia Kristeva. Sejak Derrida mempublikasikan tiga bukunya tahun
1967 (Grammatology, Writing and Deference, dan Speech and Phenomena) aliran ini berkembang luas.
Menurut Derrida, semua teori bahasa, praktik penggunaan bahasa, dan tradisi kebudayaan Barat bersifat
Logosentrik. Maksudnya mengutamakan logo atau kata sebagai pokok yang didasari pada keyakinan tentang
kehadiran (ada) suatu metafisik. Dalam Perjanjian Baru diungkapkan bahwa pada mulanya adalah kata.
Ungkapan lisan ini seolah-olah menjamin adanya sesuatuderrida menyebutnya fonosentrisme
(mengistimewakan fonem atau tuturan dibanding tulisan). Orang lalu memburu kata-kata daripada
pengertian.
Derrida sendiri memahami tanda sebagai bekas yang tidak memiliki nilai dan bobot sendiri, tetapi
menunjuk pada sesuatu objek yang lain. bekas mendahului objek, dan menyebabkan sesuatu yang lain. jadi,
kita tidak mungkin memahami “ada” itu karena dia hanyalah efek dari suatu bekas.
Featherson (1993: 3-14) mengungkapkan bahwa pascasrtukturalisme dan pascamodernisme
sebenarnya muncul sebagai reaksi terhadap strukturalisme dan modernisme. Jika kaum strukturalis berupaya
membongkar rahasia makna teks, kaum pascastrukturalis yakin bahwa usaha itu sia-sia saja karena kekuatan
sejarah dan bahasa yang unconscious tidak mungkin dikuasai.
Terputusnya konsep pascastrukturalisme dari konsep strukturalisme dapat dikaji melalui
pengungkapan teori linguistik. Saussure, peletak dasar strukturalisme linguistik, menekankan perbedaan
antara penanda dan petanda. Hubungan struktur antara keduanya membangun tanda linguistik, dan bahasa
terbentuk dari hubungan tersebut. Sekalipun bentuk hubungannya bersifat arbitrer, tanda linguistik
tergantung pada sistem konvensi yang berlaku. Sistem tanda linguistik ini menurut Saussure, berlaku pula
dalam wilayah disiplin ilmu-ilmu humaniora lainnya karena semua ilmu ini mencoba menetapkan relasi
kausal melalui fenomena yang dapat dilihat sebagai petunjuknya (Culler, 1975: 16-20).
Menurut kaum pascastrukturalis, tidak ada hubungan yang statis antara proposisi dengan realitas.
Penanda-penanda mengambang terus menerus dan sukar ditentukan hubungannya dengan acuan
ekstralinguistik. Kodrat pemaknaannya tidak stabil secara esensial (Bertens, 1993: 485-7; Selden, 1991: 75).
Penemuan ini membawa implikasi yang sangat mendalam bagi teori-teori kebudayaan pada umumnya, yang
telah membangun sistem-sistem teori universal. Oleh karena penanda mengambang jauh dari petanda dan
semiotik mengacaukan sistem simbol, pascastrukturalisme membongkar dan mendefinisikan kembali teori-
teori dan nilai-nilai yang dianut selama ini. Studinya terfokus pada wacana nonliterer yang dipandang
sebagai faktor yang membentuk dan membuat proses sosial dan sejarah dan yang secara tidak sadar
terungkap dalam wacana literer.
Konsep “arti” yang berasal dari de Saussure oleh penganut dekonstruksi ditafsirkan sedemikian rupa
sehingga pengertian mengenai teks dibongkar (didekonstruksi). Kaum strukturalisme klasik menganggap
teks sebagai sesuatu yang sudah bulat dan utuh. Menurut faham dekonstruksi, bahasa bukan lagi semacam
jendela yang transparan terhadap kenyataan asli yang belum dibahasakan. Menurut Derrida, tidak ada
kenyataan objektif yang bisa dibahasakan. Demikian pula, tidak ada ungkapan bahasa dengan arti tertentu.
Bahasa tidak mencerminkan kenyataan melainkan menciptakan kenyataan.
Roman Marah Rusli Siti Nurbaya tidak mencerminkan masyarakat Minangkabau tahun 1920-an.
Kesan seolah-olah masyarakat itu sungguh hadir disebabkan oleh kemampuan bahasa untuk menghadirkan
sesuatu yang tidak ada menjadi seolah ada. Jadi bahasa itulah yang menciptakan kenyataan bukan
menghadirkan atau membayangkan kenyataan. Di dalam teks itu tidak ada tokohtokoh dan peristiwa-
peristiwa. Yang ada hanyalah bentuk-bentuk bahasa yang menciptakan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa
di dalam angan-angan kita. Akan tetapi penciptaan angan-angan itu tidak sama pada setiap orang. Syair
agung Milton, Paradise lost, bagi seorang pembaca kristen lebih kaya dan luas isinya daripada bagi seorang
atheis. Pengalaman Adam ketika jatuh ke dalam dosa dapat tutur dirasakan oleh seorang pembaca Kristen.
Jadi arti sebuah teks tidak terdapat di dalam teks itu sendiri atau di dalam strukturnya; arti merupakan
sebuah proses, sesuatu yang terjadi bila kita membaca teks tersebut (Luxemburg, 1986: 60).
Dengan demikian, tidak mungkin seorang kritikus secara polos menentukan arti sebuah teks. Sebuah
teks merupakan suatu tekstur yang tersusun dari berbagai utas benang. Bila kita mengamati satu utas saja,
kita akan sampai pada kesimpulan keliru, tetapi bila semuanya kita ikuti kita tidak akan mampu menentukan
arti definitif. Kita harus mengakui bahwa kritik sastra tidak mungkin mencapai jalan keluarnya; kritik
menuju ke aporia (tidak ada jalan keluarnya). Dengan tidak menunjukkan jalan ke luar, seorang kritikus
justru mengantar kita ke dalam perut bumi sehingga kita tidak tahu lagi jalan keluarnya. Dekonstruksi berarti
penelitian terhadap bekas-bekas teks lain, mencari pengaruh-pengaruh dari teks yang dulu pernah ada,
meneliti etimologi kata-kata yang dipergunakan lalu berusaha agar dari teks yang sudah dibongkar itu
disusun sebuah teks baru.
Dalam praktik, ternyata kritik kaum dekonstruksi cukup mengacaukan. Ada banyak peluang untuk
spekulasi subjektif dan dengan terus menerus melacak bekas-bekas teks lama maka setiap bentuk asosiasi
dapat mereka pergunakan lama kelamaan bentuk kritik ini sangat tergantung kepada pengetahuan dan
pribadi kritikus (Luxemburg, 1986: 61).
Yang dapat dianggap sebagai sumbangan positif dari kelompok pascastrukturalisme ini adalah
dorongan ke arah pluralitas makna daripada kesatuan pandangan yang otoriter. Upaya mengutamakan sikap
kritis ketimbang kepatuhan absolut yang buta. Mereka mencanangkan perang terhadap teori-teori yang
bersifat global dan totalitarian. Menurut mereka, penguniversalan, pensisteman, dan segala macam upaya
mencari kebenaran abadi merupakan mitos akademik yang telah menelantarkan subjek manusia. Mereka
menekankan suatu model pemahaman wacana yang empirik, kontekstual, plural, dan tak terbatas yang
mampu menampilkan kebutuhan setiap budaya dan sistem (Bartens, 1985:469-500).
FEMINISME
Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan kritik sastra feminisme. Feminis
menurut Nyoman Kutha Ratna (2005: 226) berasal dari kata femme yang berarti perempuan. Sugihastuti
(2002:18) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di
segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan
hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme juga menurut Sugihastuti merupakan kesadaran akan
penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga.
Feminisme berbeda dengan emansipasi, Sofia dan Sugihastuti (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi
Saptiawan, 2007: 95) menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam
pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan
feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk mempergukan hak dan
kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.
Sholwalter (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005: 18) menyatakan bahwa dalam ilmu sastra,
feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus
analisisnya pada perempuan. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca
dan pencipta dalam sastra Barat ialah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa perempuan
membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya.
Feminisme merupakan kajian sosial yang melibatkan kelompok-kelompok perempuan yang
tertindas, utamanya tertindas oleh budaya partiarkhi. Feminisme berupa gerakan kaum perempuan untuk
memperoleh otonomi atau kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Berupa gerakan emansipasi
peTempuan, yaitu proses pelepasan diri dan kedudukan sosial ekonomi yang rendah, yang mengekang untuk
maju.
Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, bukan upaya melawan
pranata sosial, budaya seperti perkawinan, rumah tangga, maupun bidang publik. Kaum perempuan pada
intinya tidak mau dinomorduakan, tidak mau dimarginalkan.
Sasaran penting dalam analisis feminis menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) adalah sedapat
mungkin berhubungan dengan: (1) mengungkap karyakarya penulis wanita masa lalu dan masa kini; (2)
mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang pria; (3)
mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam
kehidupan nyata; (4) mengkaji aspek ginokritik, memahami proses kreatif kaum feminis; dan (5)
mengungkap aspek psikoanalisa feminis, mengapa wanita lebih suka hal yang halus, emosional, penuh kasih
dan lain sebagainya.
Selanjutnya muncullah istilah reading as a woman, membaca sebagai perempuan, yang dicetuskan
oleh Culler, maksudnya adalah membaca dengan kesadaran membungkar praduga dan ideologi kekuasaan
laki-laki yang patriarkhat (Sugihastuti dan Suharto, 2605: 19)
Membaca sebagai perempuan berhubungan dengan faktor sosial budaya pembacanya. Dalam hal ini
sikap baca menjadi faktor penting. Peran pembaca dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari sikap
bacanya. Citra perempuan dalam karya itu mendapat makna/terkonkretkan sesuai dengan keseluruhan sistem
komunikfsi ‘sastra, yaitu pengarang, teks, dan pembaca.
Reading as women menurut Suwardi Endaswara (2008: 147) adalah membaca sebagai perempuan.
Peneliti dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis
kelamin banyak berhubungan dengan masalah kenyakinan, ideologi, dan wawasan hidup. Kesadaran khusus
membaca sebagai perempuan merupakan hal yang penting dalam kritik sastra feminisme.
Analisis novel dengan kritik sastra feminis berhubungan dengan konsep membaca sebagai
perempuan, karena selama ini seolah-olah karya sastra ditujukan kepada pembaca laki-laki, dengan kritik ini
muncullah pembaharuan adanya pengakuan akan adanya pembaca perempuan. Hal ini dapat dikatakan untuk
mengurangi prasangka gender dalam sastra.
Kritik sastra feminis menurut Yoder (dalarn Sugihastuti dan Suharto, 2002: 5) diibaratkan quilt yang
dijahit dan dibentuk dari potongan kain persegi pada bagian bawah dilapisi dengan kain lembut. Metafora ini
mengibaratkan bahwa kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian
bahwa seorang perempuan dapat sadar membaca karya sastra sebagai perempuan.
Djajanegara berpendapat kritik ini melibatkan perempuan, khususnya feminis, sebagai pembaca.
Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah penggambaran perempuan serta stereotipe perempuan dalam
suatu karya sastra (dalam http: jurnal-humaniora. ugm. ac. id).
Kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan.
Djananegara berpendapat bahwa kajian feminisme adalah salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada
pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan
(Wiyatmi, 2006: 113).
Faham feminisme lahir dan mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat, dengan beberapa
faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini mempenganihi banyak segi kehidupan dan
mempengaruhi setiap aspek kehidupan perempuan (Sugihastuti dan Suharto, 2005: 6).
Feminisme lahir dengan tujuan mencari keseimbangan antara laki-laki dengan perempuan.
Feminisme merupakan gerakan perempuan untuk menolak sesuatu yang dimarginalisasikan, direndahkan,
dinomorduakan, dan disubordinasikan oleh kebudayaan, sosial, balk dalam bidang publik maupun bidang
domestik. Dengan lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai terbuka dan sadar akan kedudukan
perempuan yang inferior.
Gerakan feminisme barat yang diwarnai oleh tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar pars
perempuan dapat menyarnai laki-laki dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan kekuasaan politik.
Mini telah banyak perempuan yang masuk kedunia maskulin dan berkiprah bersama-sama laid-laid.
Sehingga banyak orang awam melabel feminisme dengan negatif. Kata feminis selalu dilekatkan dengan
berbagai stereotipe negatif, misalnya perempuan yang dominan; menuntut, galak, mencari masalah,
berpenampilan buruk, tidak menyukai laid-laki, lesbian, perawan tua (lajang), sesat, sekuler, dan sebagainya.
Label negatif ini tidak hanya diberikan oleh laki-laki, namun juga kaum perempuan sendiri.
Hal itu sependapat dengan Mansour Fakih (2007: 78) pada umumnya orang berperasan bahwa
feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata yang ada,
misalnya institusi rumah tangga, perkawinan, maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari
apa yang disebut kodrat. Dengan kesalahpahatnan seperti itu maka feminisme kurang mendapat tempat di
kalangan kaum wanita sendiri, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat.
Tujuan inti pendekatan feminisme menurut Djajanegara adalah meningkatkan kedudukan dan derajat
perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan untuk meneapai
tujuan ini menecakup beberapa cara, termasuk melalui bidang sastra.
Karya sastra yang bernuasa feminis menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) dengan sendirinya
akan bergerak pada emansipasi, kegiatan akhir. dari perjuangan feminis adalah persamaan derajat, yang
hendak mendudukkan perempuan tidak sebagai objek. Maka kajian feminis sastra tetap memperhatikan
masalah gender.
Feminisme adalah sebuah pahan yang berusaha memahami ketertindasan terhadap perempuan, dan
mencari upaya bagaimana mengatasi ketertindasan itu. Oleh karena itu, seorang feminis adalah seseorang
yang berusaha memahami posisi terhadap perempuan dan berupaya mengatasinya.
Menurut Kasiyan (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007: 86- 89) feminisme sebagai
gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang disebabkan asumsi dasar yang
memandang persoalanpersoalan yang menyebabkan ketimpangan gender.
Karya sastra dapat disebut berperspektif feminis jika karya itu mempertanyakan relasi gender yang
timpang dan memproniosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara perempuan dan laki-
laki. Tetapi tidak semua teks tentang perempuan adalah teks feminis. Demikian juga analisis tentang penulis
perempuan tidak selalu bersifat feminis jika is tidak mempertanyakan proses penulisan yang berkenaan
dengan dengan relasi gender dan perombakan tatanan sosial,
Menurut Nani Tuloli (2000: 89) pada umumnya semua karya sastra yang menampilkan tokoh
perempuan, baik dalam ragam fiksi maupun puisi dapat dikaji dengan pendekatan feminisme. Yang dikaji
dalam hubungan dengan tokoh perempuan adalah: (a) peranan tokoh perempuan dalam karya sastra itu baik
sebagai tokoh protagonis maupun tokoh antagonis, atau tokoh bawahan; (b) hubungan tokoh perempuan
dengan tokoh-tokoh lainnya yaitu’tokoh clan tokoh perempuan lain; (c) perwatakan tokoh perempuan, cita-
citanya, tingkah lakunya, perkataannya, dan pandangannya tentang dunia dan kehidupan; (d) sikap penulis
pengarang perempuan dan pengarang laki-laki terhadap tokoh perempuan.
Kritik sastra feminis bukan berarti kritik tentang perempuan atau mengkritik perempuan, kritik sastra
feminis adalah kritikus memandang dengan penuh kesadaran bahwa ada dua jenis kelamin yang
berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan (Muhammad Nurrahmat Wirjosutedjo dan Rachmat
Djoko Pradopo, 2004).
Menulis sebuah teks yang berperspektif feminis bukanlah berbicara mengenai moral (yang sengaja
dibangun dengan wacana sosial yang berperspektif patriarki) namun lebih pada berpijak pada penyuaraan
terhadap perempuan, pemberian ruang terhadap perempuan untuk menyuarakan keinginannya, kebutuhan,
haknya, serta statusnya sehingga is mampu menjadi subyek dalam kehidupannya.
POST KOLONIAL
”Poskolonial adalah pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik khusus. Tetapi pendekatan
poskolonial segaligus juga merupakan respons dan cermin "kekecewaan" kritikus asal dunia ketiga terhadap
teori-teori potstruktural, terutama yang diformulasikan oleh Derrida dan Barthes” (Budianta, 2004: 49).
”Teori poskolonial mengakui bahwa wacana kolonial merasionalkan dirinya melalui oposisi yang
kaku seperti kedewasaan/ketidakdewasaan, beradab/biadab, maju/berkembang, progresif/primitif” (Gandhi,
2001: 44).
Pada tahapan yang paling mendasar, postkolonial mengacu kepada praktik-praktik yang
berkaitan dan menggugat hierarki sosial, struktur kekuasaan, dan wacana kolonialisme. Pembacaan
poskolonial berusaha menjelaskan bagaimana suatu teks mendestabilisasi dasar pikiran kekuatan kolonial,
atau bagaimana teks-teks tersebut mengedepankan efek kolonialisme.
Griffiths dan Tiffin sebagaimana dikutip Aziz (2003: 201) menjelaskan bahwa postkolonial
merujuk kesan ataupun reaksi kepada kolonialisme semenjak ataupun selepas penjajahan. Sebenarnya,
penjajahan masih berlangsung di setengah negara, dan pengalaman negara-negara ini diterjemahkan sebagai
neokolonialisme oleh para golongan Markis. Mereka berpendapat bahwa penjajahan kini bukan lagi dalam
konteks politik saja tetapi ekonomi serta budaya. Dalam koneks kesusasteraan paskolonial, karya-karya yang
dihasilkan semasa atau selepas penjajahan diterima sebagai karya kesusasteraan paskolonial apabila karya
itu merekamkan atau memancarkan wancana pascakolonial. Dengan kata lain, kesusasteraan poskolonial
tidak terikat dengan masa, tetapi terikat dengan wacana poskolonial.
Pernikiran-pemikiran Foucault tentang pengetahuan/kekuasaan dimanfaatkan oleh sejumlah
pemikir yang menggagas teori poskolonial. Teori dan kritik poskolonial yang marak sejak tahun 1980-an di
Amerika Serikat, lnggris, dan Australia pada awalnya dipelopori oleh Leopold Senghor, Dominique
O'manononi, Aimme Cesaire, Frants Fannon, dan Albert Memmi, yang menyorot berbagai aspek dan
dimensi pengalaman penjajahan. Bedanya, generasi yang mengembangkannya kemudian, misalnya Edward
Said dan Hhomi Bhaba, sangat dipengaruhi oleh pemikiran poststrukturalis, terutama Derrida dan Foucault
(Budianta, 2004:49).
Sesungguhnya wacana poskolonial memperjuangkan politik pertentangan, namun, ada yang
berpendapat bahwa hal ini tidak boleh disamakan dengan antikolonialisme seperti yang ditegaskan oleh
Bussnett (Aziz, 2003: 200) yang melihat paskolonialisme berbeda dari pada anti kolonialisme karena
wacana yang ini tidak terlepas dengan menerima hakikat kesan penjajahan terhadap yang dijajah, dengan
kata lain, walaupun wacana poskolonial ataupun poskolonialisme memberi reaksi yang menolak hegemoni
dan autoriti barat, namun kesan hubungan yang kompleks antara penjajah dengan yang dijajah telah
memberi kesan pada pembentukan budaya poskolonial, dan seterusnya mempengaruhi pembentukan
kesusasteraan poskolonial.
Beberapa topik yang dikembangkan oleh poskolonial adalah masalah ras, etnisitas, dan identitas
budaya. Pembicaraan mengenai topik¬-topik ini didasari oleh asumsi yang telah digariskan sejak Derrida,
yakni bahwa segala sesuatu bentuk identitas merupakan bangunan (atau anggitan) sosial, bukan merupakan
suatu esensi yang telah ditentukan secara biologis (Budianta, 2004:51).
Objek penelitian poskolonial menurut Ashcroft (Ratna, 2008:90) mencakup aspek-aspek
kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal terjadinya kolonisasi hingga sekarang,
termasuk berbagai efek yang ditimbulkannya. Walia (Ratna, 2008:90) mendefinisikan objek
postkolonialisme sebagai segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman kolonial. Ratna (2008:90)
menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan teori poskolonial adalah cara-cara yang digunakan untuk
menganalisis berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen
lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern.
Menurut Pamela Alen (2004:211), ada dua penanda postkolonial, yaitu:
1. Tempat dan Pemindahan
Tempat dan pemindahan adalah masalah umum dalam kajian sastra poskolonial. Pemindahan
disebabkan oleh kebutuhan kolonial untuk ketertiban, proses hibridisasi sebagai suatu keadaan yang muncul
akibat belenggu kolonialisme dan upaya untuk menemukan kembali jati dirinya, dan yang terakhir adalah
globalisasi.
Dalam proses didefinisikan kembali oleh kolonialisme, tak diragukan lagi bahwa ada individu yang
mengalami pemindahan, pengucilan, dan marginalisasi. Pemerintah kolonial membutuhkan "Penempatan"
karena ini dibebankan pada serangkaian dinamika yang sudah lebih dahulu ada, yang perlu membawakan
pemindahan. Karena kekuatan hegemonik dari pemerintah kolonial dipertahankan mulai kontrol yang ketat
dan tekanan untuk terus menerus menjaga segala sesuatu tetap pada tempatnya, penjajah harus berhati-hati
terhadap kekacauan yang menuntut kedewasaan terus menerus. Ingin dilakukan dalam banyak cara,
misalnya tekanan polisi, melarang semua gerakan populer atau dengan cara korupsi. mekanisme yang
dipakai bersifat terus menerus dan teratur.
2. Dekonstruksi
Istilah dekonstruksi yang diperkenalkan oleh Jacques Derrida melalui buku-bukunya, antara lain Of
Grammatology, Yhriiting and Difference, Dissemination, dalam ilmu sastra mengacu pada model/metode
analisis (atau model yang argument filosofis) yang dipakai dalam membaca berhagai macam teks sastra
maupun nonsastra, untuk menunjukkan ketidaksesuaian dengan logikalretorika antara yang secara eksplisit
disebutkan dan yang secara emplisit tersembunyi dalam teks. Kajian dekonstruksi menunjukkan bagaimana
kontradiksi-kontradiksi tersebut disamakan oleh teks.
Poskolonial menerapkan dekonstruksi dengan mengidentifikasikan logo sentrisisme dengan ideologi
yang membuat dikotomediner hirarkis antara Barat Timur, rasio/emosi, masyarakat beradab/masyarakat
primitif, dan lain-lain yang menjadi dasar pembenaran kolonialisme dan imperealisme. Berdasarkan uraian
di atas, analisis prosa fiksi dengan model analisis poskolonial dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan
berbagai isu sekaitan dengan wacana poskolonial, konsep kekuasaan, konsep penjajahan, tindakan subversif
penjajah dan penjajahan, masalah ras, etnisitas, identitas budaya, gejala kultural, seperti sejarah, politik,
ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas jajahan. Semua analisis
sekaitan konsep poskolonial tersebut disesuaikan dengan kenyataan teks.
PSIKOANALISIS (SIGMUN FREUD)
Berbicara mengenai teori Psikoanalisis pasti sudah tidak asing lagi bagi Anda yang mendalami
bidang psikologi. Tokoh utama dalam psikoanalisis adalah seseorang bernama Sigmund Freud. Ia adalah
pendiri dari teori ini. Freud dilahirkan pada 6 Mei 1856 di Moravia, sebuah kota kecil di Austria. Setelah
tamat dari sekolah menengah di Wina, Freud masuk fakultas kedokteran Universitas Wina dan lulus sebagai
dokter tahun 1881. Tahun 1886 ia menjalani praktik sebagai dokter, namun Ia tetap melakukan penelitian
dan menulis. Freud sangat tertarik dalam bidang neurologi, sebuah bidang yang membuatnya bergerak
dalam gangguan-gangguan neurosis.
Menurut Freud, psikoanalisis mempunyai tiga arti. Pertama, istilah psikoanalisis digunakan untuk
menunjukkan sebuah metode penelitian terhadap proses-proses psikis yang sebelumnya hampir tidak
terjangkau oleh penelitian ilmiah. Kedua, istilah ini menunjukan suatu teknik untuk menyembuhkan
gangguan-gangguan kejiwaan yang dialami pasien neurosis. Ketiga, istilah yang sama juga dalam arti lebih
luas lagi untuk menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui metode dan teknik
tersebut. Teori psikonalisis dalam kajian ilmu psikologi sangat banyak membahas hal-hal mengenai
kepribadian. Selain itu, teori ini juga membahas mengenai mimpi, ketidaksadaran, neurosis, struktur
kepribadian, dan masih banyak lagi.
1. Struktur Kepribadian
Dalam psikoanalisis freud, mulanya ia mengatakan bahwa kehidupan jiwa terdiri dari tiga tingkat
kesadaran yaitu Sadar (Conscious), PraSadar (PreConscious), dan Tak Sadar (UnConscious). Penjelasan
mengenai ini sudah ditulis di artikel sebelumnya dengan judul Pikiran Bawah Sadar. Sampai dengan tahun
1920an, teori tentang konflik kejiwaan hanya melibatkan ketiga unsur tersebut.
Sadar atau Conscious
Tingkat kesadaran yang berisi semua hal yang kita cermati pada saat tertentu. Menurut Freud, hanya
sebagian kecil saja dari kehidupan mental, yaitu fikiran, persepsi, perasaan serta ingatan, yang masuk
kekesadaran atau consciousness. Isi daerah sadar itu merupakan hasil proses penyaringan yang diatur oleh
stimulus atau cue-eksternal. Isi-isi kesadaran itu hanya bertahan dalam waktu yang singkat di daerah
conscious dan akan segera tertekan ke daerah preconscious atau unconscious, begitu orang memindah
perhatiannya ke yang lain.
Prasadar atau Preconscious
Disebut juga ingatan siap (available memory), yaitu tingkat kesadaran yang menjadi jembatan antara
sadar dan tak sadar. Isi preconscious berasal dari conscious dan clanunconscious. Pengalaman yang
ditinggal oleh perhatian, semula disadari tetapi kemudian tidak lagi dicermati, akan ditekan pindah ke daerah
prasadar. Di sisi lain, isi materi daerah tak sadar dapat muncul ke daerah prasadar. Kalau sensor sadar
menangkap bahaya yang dapat timbul akibat kemunculan materi tak sadar, materi itu akan ditekan kembali
ke ketidaksadaran. Materi tak sadar yang sudah berada di daerah prasadar itu dapat muncul kesadaran dalam
bentuk simbolik, seperti mimpi, lamunan, salah ucap, dan mekanisme pertahanan diri.
Tak Sadar atau Unconscious
Tak sadar adalah bagian yang paling dalam dari struktur kesadaran dan menurut Freud merupakan
bagian terpenting dari jiwa manusia. Secara khusus Freud membuktikan bahwa ketidaksadaran bukanlah
abstraksi hipotetik tetapi itu adalah kenyataan empirik. Ketidaksadaran itu berisi insting, impuls dan drives
yang dibawa dari lahir, dan pengalaman-pengalaman traumatik, biasanya pada masa anak-anak, yang
ditekan oleh kesadaran di pindah ke daerah taksadar. Isi atau materi ketidaksadaran itu memiliki
kecenderungan kuat untuk bertahan terus dalam ketidaksadaran, pengaruhnya dalam mengatur tingkah laku
sangat kuat namun tetap tidak disadari.
Tahun 1923, Freud mempopulerkan teori barunya tentang tiga model struktur kepribadian yang lain,
yaitu das Es, das Ich, dan das Ueber Ich. Saat ini lebih dikenal dengan Id, Ego dan Superego. Uniknya,
struktur baru ini tidak menggantikan struktur lama yang sudah digunakan melainkan melengkapinya. Ia
berpendapat bahwa kepribadian merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 unsur ini, yang masing memiliki
asal, aspek, fungsi, prinsip operasi, dan perlengkapan sendiri.
a. Id
Ini adalah sistem kepribadian yang asli (default) dari manusia sejak lahir. Bagian ini berisi insting,
impuls dan drives. Kebutuhan biologis dari kepribadian yang berupa dorongan-dorongan instingtif yang
fungsinya untuk mempertahankan keseimbangan. Misalnya rasa lapar dan haus muncul jika tubuh
membutuhkan makanan dan minuman. Dengan munculnya rasa lapar dan haus individu berusaha
mempertahankan keseimbangan hidupnya dengan berusaha memperoleh makanan dan minuman. Id
memiliki peran yang lebih besar dalam kepribadian manusia, bahkan lebih dari 50% dibanding ego dan
super ego. Id berada di area Unconscious, ia mewakili subjektifitas yang tidak pernah disadari sepanjang
usia dan memiliki sifat pleasure principle, yaitu memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit.
Id berusaha mendorong manusia pada kondisi ideal, memuaskan segala kebutuhan saat itu juga. Ia
bekerja dengan dua cara yaitu tindakan refleks (reflex actions) dan proses primer (primary process).
Tindakan refleks adalah reaksi otomatis yang sudah ada sejak lahir, contohnya adalah berkedip, detak
jantung, gerakan pupil, menangis, tertawa, senyum dll.
Proses primer adalah, reaksi menciptakan khayalan tentang hasrat ideal tersebut. Seperti orang yang
menginginkan makanan, ia akan membayangkan makanan yang ia inginkan tersebut. Proses ini disebut
pemenuhan hasrat (wish fulfillment), misalnya mimpi, lamunan, serta halusinasi psikotik.
Id tidak dapat membedakan dan menilai benar-salah, sering disebut moral. Id hanya tahu memenuhi
kebutuhan. Ia bahkan tidak tahu bahwa khayalan yg diciptakan tidak benar-benar memenuhi kebutuhannya
atau tidak.
b. Ego
Ego sangat berperan penting terhadap terlaksana atau tidaknya dorongan pemenuhan kebutuhan yang
muncul pada id. Ego adalah struktur kepribadian yang berperan sebagai pemberi keputusan berdasarkan
prinsip realita (reality principle). Ia akan mencari jalan yang paling realistis untuk memenuhi kebutuhan Id,
ego juga akan mempertimbangkan insting mana yang akan terlebih dahulu dipuaskan/diprioritaskan.
Ego memahami bahwa ada nilai-nilai moral, ia berusaha memenuhi kebutuhan id dengan
mempertimbangkan juga apakah hal tersebut sesuai dengan aturan dan norma. Nilai dan norma ini terdapat
dalam superego. Dari carakerjanya, ego berada pada area kesadaran.
Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita; sehingga ego beroperasi mengikuti
prinsip realita (reality principle); usaha memperoleh kepuasan yang dituntut Id dengan mencegah terjadinya
tegangan baru atau menunda kenikmatan sampai ditemukan objek yang nyata-nyata dapat memuaskan
kebutuhan. Prinsip realita itu dikerjakan melalui proses sekunder (secondary process), yakni berfikir realistik
menyusun rencana dan menguji apakah rencana itu menghasilkan objek yang dimaksud. Proses pengujian
itu disebut uji realita (reality test) melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana yang telah difikirkan secara
realistik. Dari cara kerjanya dapat difahami sebagian besar daerah operasi ego berada di kesadaran, namun
ada sebagian kecil ego beroperasi di daerah prasadar dan daerah tak sadar .Ego adalah eksekutif (pelaksana)
dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama; pertama, memilih stimuli mana yang hendak direspon dan
atau insting mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan.
c. Superego
Secara sederhana Superego adalah moral dan etik dari kepribadian. Prinsip yang dipakai superego
adalah idealis (idealistic principle), ia juga memiliki kesamaan dengan Id yaitu bersifat tidak realistis.
Perbedaanya adalah ia berada pada ranah kesadaran seperti ego, namun juga berbeda dari ego karena ia tidak
realistis.
Superego mendorong manusia untuk hidup secara sempurna dan idel, tentu saja hal tersebut
mustahil. Super ego dengan nilai moralnya bertentangan dengan id dengan prinsip kenikmatan, ia sering kali
mengontrol atau menghalangi sepenuhnya impuls dan dorongan yg muncul melalui id.
Superego mewakili elemen-elemen orang tua, agama, dan masyarakat. Ia tertanam dari nilai dan
norma yang diajarkan melalui orang tua mereka. Diantara kedua prinsip tersebut egolah yang menjadi
penengah, yang menjembatani antara keduanya sehingga peran masing-masing prinsip tersebut berjalan
dengan harmonis dan selaras. Perilaku abnormal biasanya terjadi apabila ada konflik dari 3 bagian ini,
karena seharusnya mereka dapat berperan seimbang dan sejalan.
Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang beroperasi memakai prinsip
idealistik (idealisticprinciple) sebagai lawan dari prinsip kepuasan Id dan prinsip realistik dari Ego.
Superego berkembang dari ego, dan seperti ego dia tidak mempunyai energi sendiri. Sama dengan ego,
superego beroperasi di tiga daerah kesadaran. Namun berbeda dengan ego, dia tidak mempunyai kontak
dengan dunia luar (sama dengan Id) sehingga kebutuhan kesempurnaan yang diperjuangkannya tidak
realistik (Id tidak realistik dalam memperjuangkan kenikmatan).
2. Dinamika Kepribadian
Freud menganggap manusia sistem kompleks energi yang diperoleh dari makanan dan
mempergunakannya untuk berbagai hal. Hukum kekekalan energi menyebutkan bahwa energi dapat
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya, tetapi tidak dapat dimusnahkan.
Dari pemikiran inilah Freud berpendapat, bahwa energi psikis dapat dipindahkan ke energi fisiologis
dan sebaliknya. Titik hubung atau jembatan energi tersebut menjadi kepribadian adalah id serta insting-
instingnya.
a. Insting
Naluri atau insting adalah suatu pola perilaku dan reaksi terhadap suatu rangsangan tertentu yang
tidak dipelajari tetapi telah ada sejak kelahiran suatu makhluk hidup dan diperoleh secara turun-temurun
(filogenetik). Insting adalah suatu reaksi yang komplek dan tidak dipelajari (terlebih dahulu), yang menjadi
sifat-sifat khas suatu species, seperti membangun sarang pada tawon.
Naluri muncul sebagai karakteristik yang dimiliki suatu makhluk, misalnya hewan dalam
menghadapi lingkungan untuk memungkinkan kelangsungan hidupnya. Naluri juga terdapat pada perilaku
manusia yang kadang-kadang muncul pada situasi tertentu dan sulit dijelaskan dasar-dasar timbulnya.
Freud juga mengatakan bahwa insting atau naluri adalah penggerak atau energi psikis bawah sadar
atau Id. Insting dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu Eros dan Thanatos. Eros yg berarti insting hidup
adalah kecenderungan dan dorongan untuk mempertahankan kehidupan dan keturunan. Sedangkan Thanatos
atau insting mati adalah kebalikan dari naluri kehidupan, dorongan untuk merusak, agresi yang berakar pada
libido, baik keluar (sadisme) maupun kedalam (masokisme).
b. Distribusi Energi
Dinamika kepribadian, menurut Freud adalah tentang bagaimana energi psikis didistribusikan dan
dipergunakan oleh Id, Ego, dan Superego. Energi tersebut berasal dari energi yang sama yaitu makanan yang
dikonsumsi.
Menurut Freud, jumlah energi itu terbatas yang menyebabkan semacam persaingan di antara ketiga
aspek kepribadian tersebut untuk menggunakannya. Jika salah satu sistem tersebut lebih banyak
menggunakan energi, maka aspek kepribadian yang lain menjadi lemah.
Freud menyatakan bahwa pada mulanya yang memiliki energi hanyalah Id saja. Melalui mekanisme
yang oleh Freud disebut identifikasi, energi tersebut diberikan oleh Id kepada Ego dan Superego.
c. Kecemasan
Kecemasan adalah suatu keadaan tegang. Fungsi kecemasan adalah memperingatkan sesorang akan
adanya bahaya. Freud membedakan tiga kecemasan yakni :
- Kecemasan realitas
- Kecemasan neurotic
- Kecemasan moral / perasaan-perasaan bersalah
d. Mekanisme pertahanan ego
Ketidakseimbangan peran antara 3 struktur yang dijelaskan di atas tadi sering kali menyebabkan
konflik sehingga muncullah gangguan-gangguan, seperti fobia, kecemasan, depresi, kompulsi, dll.
Mekanisme pertahanan ego (ego defence mechanism) sebagai strategi yang digunakan individu untuk
mencegah kemunculan terbuka dari dorongan-dorngan das Es maupun untuk menghadapi tekanan das Uber
Ich atas das Ich, dengan tujuan kecemasan yang dialami individu dapat dikurangi atau diredakan. Freud
menyatakan bahwa mekanisme pertahanan ego itu adalah mekanisme yang rumit dan banyak macamnya.
3. Perkembangan Kepribadian
a. Faktor-Faktor
Perkembangan kepribadian individu menurut teori Psikoanalisis Sigmund Freud dipengauhi oleh
faktor kematangan dan cara-cara sesorang mengatasi ketegangan. Ketegangan sendiri dapat timbul karena
adanya frustrasi, konflik, dan ancaman. Upaya mengatasi ketegangan ini dilakukan individu dengan :
identifikasi, sublimasi, dan mekanisme pertahanan ego.
b. Tahap Perkembangan
Menurut Freud, kepribadian individu telah terbentuk pada akhir tahun ke lima, dan perkembangan
anak selanjutnya sebagian besar hanya merupakan penghalusan struktur dasar itu. Selanjutnya Freud
menyatakan bahwa perkembangan kepribadian berlangsung melalui 6 fase, yang berhubungan dengan
kepekaan pada daerah-daerah erogen atau bagian tubuh tertentu yang sensitif terhadap rangsangan.