Anda di halaman 1dari 13

A.

Identitas Buku

Judul Buku : Pengantar Lingguistik


Pengarang : Prof. DR. J.W.M. Verhaar
Cetakan : Ke 18
Penerbit : Gadjah Mada University Press
Tahun terbit : 1992
Kota terbit : Yogyakarta
Jumlah halaman : 148 Halaman
ISBN : 979-420-037-9

1
B. RINGKASAN BUKU

BAB 1                         apakah lingguistik itu?

Lingguistik berarti “ilmu bahasa”. Kata lingguistik berasal dari kata latin lingua
‘bahasa’. Kata latin itu masih kita jumpai dalam banyak bahasa yang berasal dari bahasa
latin. Seperti, Prancis (langue, language), Itali (lingua), atau Spanyol (lengua), dan dulu
pernah bahasa inggris meminjam dari bahasa Prancis kata yang sekarang berbunyi 
“languange”. Sesuai dengan asal Latin/Roman itu, maka ilmu lingguistik dikenal sebagai
linguistics dalam bahasa Inggris, dan sebagai linguistique dalam bahasa Prancis. Bentuk
Indonesia dari istilah tersebut ialah lingguistik. Kata “lingguistik” itu sebaiknya dipakai
sebagai kata benda saja, dan kata sifatnya ”lingguistis”.

Ferdinand de Saussure, seorang sarjana Swiss. Dianggap sebagai pelopor lingguistik modern.
Bukunya Cours de linguistique generale (1916) sangat terkenal dan dianggap sebagai dasar
lingguistik modern. Oleh sebab itu beberapa istilah yang dipakai Saussure diterima umum
sebagai istilah resmi misalnya langage,langue,dan parole.

Ilmu lingguistik sering pula disebut “lingguistik umum”. Artinya lingguistik tidak hanya
menyelidiki suatu langue tertentu tanpa memperhatikan ciri-ciri bahasa lain. Umpamanya
sulit bagi kita memahami morfologi bahasa Indonesia, kalau tidak kita memahami ciri-ciri
morfologi bahasa-bahasa lain.

Maka dari itu lingguistik itu tidak dapat disamakan saja dengan apa yang disebut (mis).
“anglistik”, “romanistik”, “germanistik”, “slavistik”. Sebaliknya, kita tidak dapat menguasai
bidang-bidang tersebut tanpa pengetahuan lingguistik walau sedikitpun.

Pendeknya lingguistik harus umum. Dalam masing-masing bahasa ada ciri tertentu yang
terdapat pula dalam dalam bahasa-bahasa yang lain. Orang yang menguasai di dunia tidak
ada. Akan tetapi setiap lingguis harus menguasai, sekurang-kurangnya secara “reseptif”, satu
atau lebih baik beberapa bahasa lain daripada bahasanya sendiri, dan lebih baik lagi kalau
salah satu sari bahasa lain yang dikuasainya itu tidak serumpun dengan bahasanya sendiri.

Adalah wajar bila timbul pertanyaan: apakah semuanya itu termasuk dalam lingguistik? Pasti
tidak. Kalau begitu, maka apakah yang sebenarnya yang khusus, atau spesifik, dalam
lingguistik itu? Seorang ahli sosiologi misalnya memang dapat menyelidiki bahasa, tetapi
hanya dari sudut sosial. Demikian pula seorang ahli psikologi, tetapi dari sudut manusia saja.
Mereka semua menyelidiki bahasa bukannya sebagai bahasa, melainkan bahasa sebagai
manifestasi dari sesuatu yang lain. Yang spesifik dalam ilmu lingguistik adalah bahwa
penyelidikan menyangkut bahasa sebagai bahasa. Prinsip tersebut memang cukup umum
diakui, namun secara praktis sering terdapat perbedaan pandangan mengenai apa sebenarnya
yang menjadi kekhususan ilmu lingguistik; hal itu disebabkan karena adanya banyak
pertindihan diantara masing-masing ilmu pengetahuan empiris (dan filsafat). Yang penting
bagi kita sekarang adalah mengingat bahwa prinsip tadi dianggap berlaku umum.

         

2
Sampai sekarang objek lingguistik itu adalah bahasa. Akan tetapi pengertian kata “bahasa”
itu belum tentu jelas. Oleh karena itu perlu dibatasai sebagai berikut: (a) “Bahasa” dalam
pengertian kiasan; (b) “Bahasa” dalam pengertian “harfiah”. Dalam pengertian demikian kita
harus membedakan langage, langue, dan parole. Parole itu merupakan obyek konkret untuk
ahli lingguistik, bagaikan “bahan mentah”, langue itu adalah obyek yang sudah sedikit lebih
abstrak; yang paling abstrak itu adalah langage. Dengan kata lain, parole-lah obyek
lingguistik yang konkret. Menguasai suatu bahasa diperlukan untuk membedakan mana dari
antara ujaran yang kita kumpulkan tepat dan mana yang tidak dari ujaran yang tepat kita
simpulkan  apa yang berlaku untuk langue dan kaidah-kaidahnya. Lalu bila kita sadari bahwa
dalam macam-macam langue ada sesuatu yang umum, maka kita coba rumuskan yang umum
itu sebagai penyelidikan langage.

BAB II                        Beberapa Bidang Dalam Ilmu Lingguistik

Dewasa ini tidak ada persetujuan antara para ahli lingguistik bagaimana pembagian
bidang-bidangnya. Diantara bidang yang kita jumpai lingguistik antropologis, yaitu cara
penyelidikan lingguistik yang dimanfaatkan oleh ahli antropologis budaya, lingguistik
sosioligis atau sosiolingguistik, lingguistik komputasionil, yaitu penyelidikan lingguistis
dengan komputer, dan lain sebagainya.

Lingusitik diakronis (dari Yunani dia ‘melalui’ dan khronos ‘waktu’, ‘masa’) adalah
penyelidikan tentang perkembangan suatu bahasa. Misalnya bahasa Indonesia sekarang
berbeda dengan bahasa Melayu klasik, dan berlainan pula dengan bahasa Melayu kuno yamg
tertulis pada prasasti-prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo dan Kota Kapur. Lingguistik
sinkronis berlainan bidangnya dengan lingguistik diakronis. Dalam lingguistik sinkronis
setiap bahasa dianalisa tanpa memperhatikan perkembangan yang terjadi pada masa lampau.
Selain dari lingguistik sinkronis dan diakronis terdapat pula analisa leksikal dan analisa
gramatikal.

Menurut sistematiknya, dalam setiap bahasa dapat dibedakan antara tatabahasa atau
gramatika bahasa itu dan perbendaharaan kata atau leksikon dalam bahasa yang sama. Oleh
sebab itu analisa tatabahasa atau analisa gramatikal dibedakan dari analisa leksikon, atau
leksikologi, atau analisa leksikal.

Selain dari leksikon, sistematik setiap bahasa meliputi empat taraf yaitu fonetik, fonologi,
morfologi dan sintaksis. Dari keempat taraf tersebut, kedua yang terakhir yaitu morfologi dan
sintaksis, disebut tatabahasa atau gramatika, sedang yang lebih rendah, yakni fonetik dan
fonologi, tidak termasuk dalam tata bahasa, tidak juga dalam leksikon.

Semantik adalah cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti. Perbedaan
dalam leksikon dan gramatika menyebabkan bahwa dalam semantik itu kita bedakan pula
anatara semantik leksikal dan semantik gramatikal. Yang penting sekarang kita sadari bahwa
semantik itu tidak merupakan taraf. Ada semantik pada taraf  leksikon, ada pula pada taraf
gramatika.

Lingguistik sebagai ilmu pengetahuan membutuhkan suatu teori yang konsekwen sesuai
dengan teori lingguistik. Bila seorang ahli lingguistik memusatkan perhatiannya khusus pada
pendirian suatu teori, maka lingguistik semacam itu disebut lingguistik teoritis. Akan tetapi,
lingguistik itu dapat dimanfaatkan pula untuk masalah praktis di luar lingguistik itu sendiri.
Lingguistik semacam ini dikenal sebagai lingguistik terapan.  Ilmu lingguistik dan teori

3
lingguistik itu dikerjakan buka demi teori itu sendiri, melainkan sejauh hanya untuk
menolong kesulitan tadi. Teori lingguistik untuk lingguistik terapan hanya berguna sejauh
dapat memecahkan soal praktis.

BAB III           Fonetik

Fonetik (Inggr. Phonetics, kata sifatnya phonetic, kata sifat Indonesia “fonetis”,
berbeda dari “fonetik” sebagai kata benda) adalah penyelidikan bunyi-bunyi bahasa, tanpa
memperhatikan fungsinya untuk membedakan makna.

Fonetik ada tiga jenis: (a) akustis, (b) auditoris, (c) organis. Fonetik akustis menyelidiki
bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisisnya sebagai getaran udara. Fonetik auditoris adalah
penyelidikan mengenai cara penerimaan bunyi-bunyi bahasa oleh telinga. Yang ketiga adalah
fonetik organis menyelidiki bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan dengan alat bicara.

Dalam fonetik organis alat-alat bicara itu seperti paru-paru, batang tenggorokan, pangkal
tenggorok, pita-pita suara, rongga kerongkongan, akar lidah, pangkal lidah, tengah lidah,
ujung lidah, daun lidah, anak tekak, langit-langit lunak, langit-langit keras, lengkumg kaki
gigi, gigi atas, gigi bawah, bibir atas, bibir bawah, mulut rongga mulut, hidung, dan  rongga
hidung.

Cara bekerja alat-alat bicara ini adalah udara dipompakan dari paru-paru melalui batang
tenggorokan ke pangkal tenggorok yang di dalamnya terdapat pita-pita suara. Pita suara itu
harus terbuka untuk memungkingkan arus udara keluar melalui rongga mulut, melaui rongga
hidung atau melalui kedua-duanya karena dalam batang tenggorokan untuk arus udara tidak
ada jalan lain. Apabila udara keluar tanpa hambatan udara disana-sini, kita tidak mendengar
apa-apa; bunyi bahasa dihasilkan hanya bila udara terhalang oleh alat bicara tertentu.

Kita harus membedakan bunyi konsonan dan bunyi vokal. Dalam mengucapkan vokal
terjadilah aluran sempit antara pita suara dan tidak ada halangan ditempat lain pada waktu
yang sama. Selain dari bunyi vokal dan konsonan kita juga mengenal apa yang disebut bunyi
“semi-vokal”

 Menurut cara mengucapkannya dapat kita bedakan konsonan sebagai berikut : bunyi letupan,
bunyi sengau (nasal), bunyi sampingan (laterals), bunyi paduan atau afrikat, bunyi geseran
atau frikatif, bunyi geletar (trills), bunyi alir (liquids), dan bunyi kembar atau geminate.

Ada beberapa cara untuk menggolongkan bunyi-bunyi vokal, pertama : menurut posisi lidah
yang membuat ruang resonansi; kedua, menurut posisi tinggi rendahnya lidah; ketiga,
menurut peranan bibir dalam pengucapan vokal; keempat, menurut lamanya posisi alat-alat
bicara dipertahankan; kelima, menurut peranan rongga hidung. Ada beberapa klasifikasi lagi
yaitu suku kata, titi nada, tekanan dan aksen, asimilasi fonetis,  vokal tunggal dan  vokal
rangkap dua,artinya vokal dimana bangun mulut tidak dipertahankan dalam bentuk yang
sama selama pengucapannya.

Vokal rangkap dua terdiri dari dua bagian, yang pertama denga posisi lidah lain dibandingkan
dengan posisinya pada yang kedua. Namun, yang dihasilkan dengan cara tersebut bukan dua
vokal, karena terdapata dalam satu suku kata.

4
Dalam buku-buku fonetik serta fonologi kita jumpai macam-macam sistem pelambangan
bunyi. Sistem semacam itu selalu terdiri untuk sebagian atas sejumlah huruf biasa, dari abjad
latin. Sistem tulisan fonetis yang paling lazim dipakai adalah sistem dari International
Phonetic Association.

Vokal-vokal tunggal (simple vowels) dapat diklasifikasikan dengan memperhatikan tinggi


rendahnya dan posisi dari belakang ke depan. Menurut para ahli fonetik vokal yang paling
tinggi dalaha yang paling depan pula, dan yang paling ke belakang adalah yang paling rendah
pula.

Suku kata atau silabe ( Iggris syilable, kata sifatnya syilable, kata sifat Indonesia “silabis”)
adalah satuan ritmis terkecil dalam arus ujaran

BAB IV           Fonologi

            Fonologi ( Inggr, Inggr. Phonology ; Inggr. Amerika dulu sering phonemics dan
dewasa ini lebih sering kali phonology) sebagai bidang khusus dalam ilmu lingguistik itu
mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan makna
leksikal dalam bahasa tersebut.

Sejauh dapat dibuktikan, sesuatui bunyi yang mempunyai fungsi untuk membedakan kata
dari kata yang lain dapat disebut sebuah fonem.

Perlu juga kita ketahui istilah fonologis “bebas fungsionil” (functional load). Makin banyak
pasangan kata yang dibedakan secara minimal, makin “tinggi” pula “beban fungsionil”
fonem-fonem yang membedakannya.

Anggota dari suatu fonem disebut alofon. Suatu alofon (allophone) adalah salah satu cara
konkret mengucapkan suatu fonem. Sudah kita lihat bahwa di antara alofon-alofon dari suatu
fonem kita tidak bisa mengucapkan salah satu semau-maunya. Yang mana di antara alofon
yang harus dipakai tergantung dari bunyi apa berdekatan  pada fonem yang bersangkutan..
jadi alofon yang mana dipilih ditentukan oleh “lingkungan” (environment) alofon tersebut.
Variasi alofonomis tadi memang temasuk dalam fonologi, karena variasi itu menyangkut
kemungkinan konkret terwujudnya pengucapan dari suatu fonem. Pada waktu yang sama
asimilasi yang menyebabkan perwujudan tersebut. Berbeda tergantung dari lingkungan
disebut asimilasi “fonetis”. Istilah “fonetis” di sini hanya dipakai karena perubahan yang
diakibatkan lingkungan tertentu tidak menyebabkan suatu fonem yang lain.
          

Berbeda dari asimilasi fonetis, asimilasi “fonemis” menyebabkan suatu fonem menjadi fonem
yang lain. Kita mengenal beberapa jenis asimilsai fonemis, yakni asimilasi progresif
(progressive assimilation), asimilasi regresif (regressive assimilation), dan asimilasi
resiprokal (reciprocal assimilation).

Terjadi tidaknya pelbagai jenis asimilasi fonemis tergantung dari struktur bahasa masing-
masing. Sedangkan asimilasi fonetis sangat umum dengan semua bahasa di dunia (tetapi
dengan kaidah khas untuk masing-masing bahasa), namun asimilasi fonemis sangat berbeda
antara bahasa-bahasa. Seperti sudah dinyatakan asimilasi fonemis dapat terjadi pada batas
morfem bebas; termasuk dalam hal ini juga kata majemuk. Kecuali dalam bahasa inggris. 

5
Selain asimilasi, di Indonesia ini kita mengenali juga fenomena netralisasi. Netralisasi adalah
pembatalan perbedaan minimal pada akhir kata bila perbedaan tesebut tidak dapat diadakan
pada akhir kata. Netralisasi selalu mengandung perpindahan identitas fonem: sesuatu fonem
menjadi fonem yang lain. Hal ini juga dapat disebut sebagai asimilasi, asalkan dirumuskan
bahwa fonem letupan suara menjadi fonem letupan tak bersuara oleh karena pengaruh batas
kata. Tetapi tidak begitu penting apakah disebut asimilasi atau tidak; jika disebut demikian,
lalu jelas merupakan asimilasi fonemis, karena fonem diubah menjadi fonem yang lain. Yang
lebih penting dalam hal netralisasi ialah apakah batalnya oposisi yang bersangkutan dapat
ditandai secara fonemis, dalm tulisan fonemis. Terdapat beberapa perubahan fonemis selain
dari asimilasi dan modifikasi vokal, seperti: (a) hilangnya bunyi dan kontraksi. (b) disimilasi
(c) metatesis.

Fonem-fonem adalah segmen yang terkecil dalam bahasa. Fonem-fonem yang sudah
diuraikan bisa disebut fonem segmental karena dapat disegmentasikan sebagai segmen yang
terkecil. Yang penting sekarang ialah bahwa dalam bahasa adapula bunyi-bunyi tertentu yang
tidak berupa segmental, artinya yang terdapat sekaligus dengan satu silabe, atau malah
dengan sejumlah silabe, atau frase suatu kalimat pun.

Lazimnya tanda-tanda yang dipakai para ahli fonologi ditulis di atas segmen yang
bersangkutan, dan dari situlah berasal nama fonem suprasegmental. Istilah yang dipakai
untuk fonem suprasegmental adalah fonem sekunder, dibedakan dari fonem primer, yaitu
fonem segmental.

BAB V             Morfologi

Morfologi adalah bidang lingguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata


secara gramatikal. Secara gramatikal dalam definisi ini mutlak, karena setiap kata juga dapat
dibagi atas segmen yang terkecil yang disebut fonem itu, tetapi fonem-fonem tidak harus
berupa morfem. Dalam bahasa indonesia dapat dipakai istilah morfemis dan morfologis
sebagai kata sifat; di sini diusulkan supaya morfemis dianggap menyatakan apa yang
termasuk dalam morfem, dan morfologis apa yang termasuk dalam bidang yang membahas
morfem-morfem bahasa, yaitu morfologi. Kebanyakan bahasa di dunia mempunyai proses
morfemis, tetapi ada juga tanpa atau hampir tanpa proses morfemis seperti bahasa Vietnam.

Morfem lazimnya dibedakan sebagai morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas
dapat berdiri sendiri, yaitu bisa terdapat sebagai suatu kata, sedang morfem terikat tidak
terdapat sebagai kata tetapi selalu dirangkaikan dengan satu atau lebih morfem lain menjadi
satu kata. Selanjutnya morfem-morfem dibedakan sebagai morfem asal dan morfem imbuhan.
Yang perlu diperhatikan sekarang ialah bahwa semua morfem imbuhan adalah morfem
terikat. Sebaliknya meskipun morfem asal sering merupakan morfem bebas, namun tidak
harus demikian.

Seperti halnya dengan fonem yang direalisasikan atas bermacam-macam alofon, demikian
pula morfem itu dapat tampak dalam bentuk alomorf yang bermacam-macam. Dalam variasi
alomorfemis kaidah-kaidah alovariasi itu tidak harus seluruhnya berdasarkan pengaruh bunyi,
variasi itu dapat berdasarkan kaidah yang lain tanpa dasar fonemis. Maka dari itu selanjutnya
diuraikan dua variasi alomorfemis: (a) yang berdasarkan kaidah-kaidah morfofonemis; dan
(b) yang berdasarkan kaidah-kaidah lain.

6
Variasi alomorfemis ditentukan oleh kaidah alomorfemis. Sebagian dapat disebut kaidah
morfofonemis dengan alasan bahwa untuk sebagian besar kaidah semacam itu diatur oleh
sesutsu penyesuaian diantara fonem yang berdekatan akibat perangkaian morfem-morfem
bersangkutan, tetapi tidak seluruhnya. Sebagian lain dari kaidah alomorfemis sama sekali
tidak atau hanya berdasarkan alasan fonemis; justru karena tidak ada alasan semacam itu,
maka jenis kedua kaidah alomorfemis tersebut dapat dirumuskan hanya dengan
mengumpulkan semua morfem yang dikenai perubahan-perubahan yang tidak fonemis itu.

Di dalam morfologi, dikenal istilah morfem, morf, dan alomorf. Sudah jelas bahwa morfem
itu pada umumnya berwujud abstrak dan apa yang dimaksud dengan alomorf sudah jelas dari
uraian di atas. Tinggal menguraikan apa yang dimaksud dengan istilah morf. Morf sebetulnya
tidak lain dari salah satu bentuk alomorfemis dari suatu morfem, tetapi bentuk yang hendak
dipilih dianggap mewakili secara konkret morfem yang bersangkutan. Istilah morf dipakai
demi manfaat praktisnya.

Untuk ketiga kalinya perlu dibicarakan mengenai konsep asimilasi. Konsep asimilasi dalam
istilah asimilasi morfofonemis lebih luas daripada asimilasi fonetis dan asimilasi fonemis.
Dalam asimilasi fonetis ada penyesuaian suatu bunyi pada suatu bunyi yang lain, tetapi
identifikasi fonem dipertahankan, jadi perubahan yang bersangkutan terjadi sebagai variasi
alofonemis saja. Asimilasi morfofonemis terdapat pada batas morfem saja. Ciri asimilasi
morfofonemis jelas.

Kita dapat membedakan morfem-morfem juga menurut proses mana yang dihasilkan
dengannya. Morfem-morfem yang dipakai untuk proses tersebut ialah : (a) afiks; (b) klitika;
(c) modifikasi intern; (d) reduplikasi; (e) komposisi.

Afiksasi sering dikatakan menghasilkan “paradigma”. Paradigma adalah daftar lengkap


perubahan afiksasi yang mungkin dengan morfem asal yang sama . dalam ilmu lingguistik
ada dua pengertian paradigma tadi; (a) semua perubahan afiksasi yang mempertahankan
identitas kata; (b) semua perubahan yang melampaui identitas kata.

Istilah “fleksi” berarti semua perubahan paradigmatis yang dihasilkan dengan proses
morfemis manapun.

Proses morfemis dibagi atas yang produktif dan yang tidak produktif. Proses morfemis yang
dikatakan produktif bila dapat diterapkan pada konstituen yang tidak lazim, atau belum
pernah mengalami proses tersebut.

7
BAB VI           Sintaksis: Fungsi, Kategori, Peran

Kata sintaksis berasal dari Yunani sun’dengan’ dan tattein ‘menempatkan’. Istilah
tersebut, secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok
kata atau kalimat dan kelompok-kelompok kata menjadi kalimat. Bidang sintaksis
menyelidiki semua hubungan antar-kata dan antar-kelompok kata dalam satuan dasar
sintaksis itu.

Secara sistematis mari kita terima pembagian sintaksis terdiri atas tiga tataran: fungsi-fungsi
sintaksis sebagai tataran paling atas, tataran kategori-kategori di bawahnya dan tataran peran-
peran sebagai tataran yang terendah. Istilah seperti “subyek”, “predikat”, “obyek” dan
“keterangan” sebagai fungsi, istilah “kata benda”, “kata kerja”, “kata sifat”, “kata depan” dan
lain sebagainya sebagai kategori, sedangkan istilah seperti “pelaku”, “penderita”, “penerima”,
“aktif”, dan “pasif” kita tentukan sebagai peran.

Pembedaan antara fungsi dan peran menyebabkan kita simpulkan sesuatu yang penting
bahwa suatu fungsi tidak “berarti” apa-apa, suatu fungsi tidak “bermakna”. Fungsi-fungsi itu
sendiri tidak memiliki “bentuk” tertentu, tetapi harus “diisi” oleh bentuk tertentu, yaitu suatu
kategori. Fungsi-fungsi itu juga tidak memiliki makna tertentu, tetapi harus diisi oleh”
makna” tertentu, yaitu peran. Jadi setiap fungsi, dalam kalimat konkrit adalah tempat
“kosong” yang harus “diisi” oleh dua “pengisi” yaitu “pengisi” kategorial (menurut
bentuknya) dan “pengisi” semantis (menurut perannya).

Dalam teori lingguistik sering kita temukan istilah Inggris topic dan comment. Kata topic
dapat diterjemahkan sebagai “pokok” dan terjemahan paling tepat pada kata comment adalah
“keterangan”. Padahal istilah “keterangan” sudah dipakai sebagai nama suatu fungsi, jadi
untuk menghindari adanya kekacauan perlu kita pakai istilah lain; disini diusulkan istilah
“sebutan”. “Pokok” berarti sesuatu yang tentangnya kita menyebutkan sesuatu, sedang
“sebutan” itu adalah apa yang kita sebutkan tentang pokok tadi. Kita dapat menyimpulkan
sebagai berikut bahwa pokok dan sebutan tidak termasuk dalam struktur fungsionil, atau
tataran apapun dari sintaksis. Kedua konsep itu sama sekali tidak gramatikal, meskipun
masing-masing dapat direalisasikan secara gramatikal, seperti dapat direalisasikan secara
fonemis pula.

Fungsi-fungsi seperti kita sudah lihat adalah tempat kosong. Hal itu sering dirumuskan dalam
lingguistik dengan mengatakan bahwa fungsi-fungsi itu adalah konstituen “formil” yaitu
bahwa fungsi itu pada hakekatnya berhubungan dengan fungsi lain tanpa hubungan tersebut
fungsi tidak dapat ada sama sekali. Jadi “formil”nya fungsi sintaksis mencakup dua ciri:
kekosongan dan “relasionalitas”. Dan hal itu masuk akal bila sesuatu konstituen adalah
kosong sendiri, tidak punya isi sendiri, identitasnya perlu ditentukan oleh relasi atau
konstituen lain.

Menurut teori tertentu seluruh kalimat dibagi atas beberapa fungsi utama dulu, baru
kemudian salah satu atau lebih dari pada satu dibagi lagi atas beberapa fungsi sebagai
pembagian fungsionil “lanjutan”. Prinsip pembagian lanjut disini penting, karena perlu
tidaknya sering tergantung dari kalimat konkret manakah yang harus dianalisa.

Dalam ilmu lingguistik sudah lama diketahui bahwa kalimat tidak selamanya memuat fungsi
yang ada. Sering buku-buku lingguistik mendasarkan penentuan subyek dan predikat sebagai
fungsi inti atas pengandaian pentingnya “pokok” dan “sebutan” untuk struktur fungsionil

8
kalimat. Padahal sudah kita ketahui bahwa hal itu sama dengan pengacauan kedua konsep
tersebut dengan konsep fungsi. Akan tetapi ada satu arti untuk dapat kita sebutkan fungsi
predikat sebagai fungsi inti yakni bahwa predikat adalah “pusat” struktur fungsionil. Seperti
sudah kita lihat fungsi-fungsi adalah “relasionil” yakni pada hakekatnya berhubungan dengan
fungsi lain. Sekarang perlu kita perhatikan fakta penting bahwa satu fungsi saja berhubungan
dengan fungsi lainnya, yaitu predikat. Demikian pula fungsi objek berhubungan langsung
dengan predikat, tetapi dengan subjek dan keterangan hanya secara tak langsung, yaitu
melalui predikat bila predikat itu merupakan pusat struktur fungsional kalimat, fungsi
keterangalah dipihak lain yang harus paling dipersoalkan.

Hingga kini semua konstituen sebagai pengisi kategorial fungsi dalam contoh-contoh diatas
berupa konstituen segmental. Bila konstituen yang mengisi fungsi tertentu bersifat segmental,
segmen yang bersangkutan dapat terdiri dari suatu kalimat (bawahan), frase, kata, ataupun
morfem terikat.

Dalam tatabahasa tradisionil sepuluh kategori, atau kelas dibedakan sebagai berikut yaitu kata
benda, kata ganti, kata kerja, kata sifat, kata bilangan, kata sandang, kata keterangan, kata
depan, kata sambung, dan kata seru. Dewasa ini usaha-usaha untuk mencapai teori baru
mengenai kategori sintaktis hampir semua terarahkan kepada struktur logis kalimat; jadi
kalimat dipandang sebagai proposisi lebih dari pada sebagai kalimat; dalam banyak hal
kategori dicampur lagi dengan berbagai fungsi. Kecenderungan untuk mencapai konsep
umum berlaku untuk semua bahasa membawa pendapat bahwa yang khusus dalam bahasa
tertentu kurang perlu diselidiki. Kategori sintaktis dapat dibagi atas tiga tataran: kategori
atasan, kategori, dan kategori bawahan.

Kategori sintaksis dan semantik leksikal diantaranya memiliki hubungan. Salah satu
klasifikasi leksikal yang menonjol adalah pembagian atas unsur leksikal yang menunjukkan
sesuatu. Pembagian atas kategori yang bermakna leksikal referensial dan kategori yang tidak
memang selalu mudah dalam bahasa-bahasa tertentu dan itu tidak mengherankan bila kita
ingat bahwa jenis-jenis kata belum dapat dijelaskan dengan teori kategori yang sempurna.

Pada garis besarnya, kita dapat membedakan tiga periode dalam uraian teoretis mengenai apa
yang disebut disini mengenai peran sitaktis: (a) tatabahasa tradisionil; (b) aliran
strukturalisme; (c) aliran tatabahasa kasus.

Sampai sekarang dalam bab ini sehubungan dengan peran-peran sintaktis memakai nama-
nama seperti pelaku, penerima, tujuan. Istilah itu seharusnya dilengkapi dengan yang lain,
seperti: tindakan, pengalaman, keadaan, dan sebagainya. Akan tetapi sebenarnya istilah
tersebut tidak benar. Teori peran masih berada pada tahap primitif. Kadang-kadang ada
alasan untuk mempersatukan beberapa peran dengan nama atasan. Seperti halnya dengan
fungsi, peran-peranpun bersifat relasionil: agentif tidak berarti tanpa aktif bila agentifnya
terdapat ditempat subyek, atau tanpa pasif bila agentifnya terdapat ditempat keterangan;
sebaliknya aktif tidak berarti agentif, pasif tidak berarti tanpa suatu finitif. Sebagai masalah
terakhir harus kita uraikan sedikit tentang hubungan fungsi dan peran. Secara teoretis sudah
jelas bahwa peran adalah pengisi semantic terhadap fungsi, tetapi dalam kalimat konkret
mungkin terdapat bahaya pengacauan antara fungsi dan peran.

9
BAB VII          Sintaksis: Beberapa Masalah Tambahan

Bidang sintaksis begitu luas sehingga soal-soalnya tak kunjung habis dapat
ditambahkan. Dalam bab ini kita pilih beberapa diantaranya, terutama yang berhubungan
dengan (a) predikat dan sifat-sifatnya dalam beberapa tipe bahasa; (b) pertumpuan antara
sintaksis dan morfologi; (c) struktur sintaksis yang melampaui batas kalimat tunggal.

Dalam teori fungsi predikat di barat kata kerja kopula sangat terkenal. Dalam bahasa-bahasa
Indo-eropa tentu saja kata kopulatif harus berupa verbal sebabnya ialah bahwa pengisisan
kategorial tempat predikat harus dengan kata kerja. Jadi bila predikat sebenarnya adalah
nomina dituntut adanya suatu kata kerja kokula, supaya seluruh predikat betul-betul verbal.
Pada judul pasal ini sengaja dipakai sebutan kata kopulatif, supaya jalannya terbuka juga
untuk suatu kata kopulatif yang tidak berupa verbal. Contoh dalam bahasa indonesia tidak
sulit di cari kata adalah. Disatu pihak kata adalah itu menandai permulaan predikat. Dipihak
lain kata tersebut tidak berupa verbal. Memang seringkali pemakaian kata adalah itu tidak
perlu. Namun seringkali adapula pemakaian kata adalah yang tidak mencerminkan pengaruh
barat atau mencerminkan pemakaian wajib kata kopula dalam bahasa indo-eropa. Dalam hal
itu kata kopulatif seperti merupakan, atau menjadi, pasti bersifat verbal.

Dalam banyak bahasa kata kerja itu dibedakan atas yang “transitif” dan yang “intransitif”.
Kata kerja transitif sering dipakai tanpa obyek, pemakaian kata kerja transitif demikian
disebut pemakaian yang absolute artinya, suatu kata kerja transitif terlepas dari obyeknya.
Pemakaian absolute kata kerja transitif berbeda-beda antara bahasa yang satu dengan bahasa
yang lain. Dalam Bahasa Indonesia kiranya kemungkinan tersebut lebih luas dibandingkan
dengan Bahasa Inggris. Juga dalam bahasa inggris sering kita jumpai kata kerja transitif
dipakai secara absolut dengan pengertian obyek yang tidak disebutkan itu menunjukkan hal
yang sama dengan yang ditunjukkan subyek, sehingga peran kata kerja yang bersangkutan
adalah media.

Diantara soal yang termasuk dalam morfologi maupun sintaksis masalah “persesuaian”
adalah yang pertama kita bicarakan sekarang. Dalam bahasa-bahasa yang banyak memakai
kasus persesuaian dan penguasaan urutan konstituen dalam kalimat agak bebas, karena sistem
kasus dan pemakaiannya sesuai dengan kaidah persesuaian dan penguasaan mencegah
terjadinya salah “tafsir” gramatikal.

Analisa frase termasuk bidang sintaksis karena menyangkut hubungan antar-kata, meskipun
dalam konstituen terbatas. Analisa frase juga termasuk morfologi, karena morfem terikat
dapat dirangkaikan dengan konstituen yang terdiri atas dua kata atau lebih.  Frase biasanya
dianggap tidak melampaui batas fungsi yang didudukinya Karena, dengan suatu kalimat
biasanya keseluruhannya adalah kalimat, tidak ada frase. Meskipun prinsip itu cukup jelas,
namun kadang-kadang kita dapat melupakannya. Akhirnya beberapa catatan perlu
dikemukakan disini tentang perbedaan antara frase dan kata majemuk. Konstituen kata
majemuk biasanya disebut “komponen”nya. Kata majemuk dibedakan atas dua jenis: yang
komponennya berurutan dengan cara yang terdapat juga dalam frase, jadi menurut kaidah
urutan sintaktis dan komponennya berurutan dengan cara yang tidak mungkin menurut
kaidah urutan konstituen sintaktis. Sebenarnya istilah sintaktis dan asintaktis untuk
membedakan dua jenis kata majemuk kurang tepat, karena kata majemuk dihasilkan oleh
suatu proses morfemis, bukan proses sintaktis. Kebetulan dalam bahasa indonesia tak ada
kata majemuk asintaktis namun dalam bahasa inggris ditemukan banyak sekali. Dengan
petunjuk-petunjuk ini memang belum dapat kita pecahkan semua soal dalam hal majemuk

10
dari frase. Sering pula reduplikasi tidak selalu unik. Selalu aka nada beberapa ujaran yang
dapat kita tafsirkan sebagai kata majemuk, dapat juga sebagai kelompok kata atau frase.

Demikian pula akan dibahas masalah morfemis yang tidak dapat dipecahkan tanpa perhatian
pada masalah sintaktis juga. Derifasi berbeda dari proses paradigmatis karena dalam
perubahan paradigmatic identitas kata dipertahankan, sedang dalam proses derivasi identitas
kata diubah. Tak ada kata yang termasuk lebih dari satu kategori, jadi jika dalam proses
derivasi kita pindah kategori, pasti pindah identitas kata pula. Sebaliknya tidak semua
perpindahan identitas kata mengakibatkan perpindahan kategori.

Kalimat majemuk termasuk bahan sintaksis. Disebut kalimat majemuk karena terdiri atas
lebih dari satu konstituen yang berupa kalimat sendiri padahal, demi keteraturan peristilahan
lebih baik konstituen tersebut jangan disebut kalimat melainkan klausa. Suatu klausa berupa
klausa bawahan dan klausa atasan. Disamping kalimat majemuk, dikenal pula analisis
wacana yaitu analisa yang menentukan hubungan-hubungan yang terdapat antara kalimat-
kalimat utuh dalam satu teks yang utuh.

BAB VIII        Beberapa Teknik Analisa Sistematis

Ferdinand de Saussure, dalam bukunya Cours de linguistique generale, membedakan


dua jenis hubungan yang terdapat antara satuan-satuan tertentu bahasa, yaitu (a) hubungan
sintagmatis, dan (b) hubungan asosiatif. Ahli lingguistik Denmark yang banyak memperoleh
ilham dari Saussure, yaitu Louise Hjemslev, meminjam perbedaan Saussure tadi, tetapi ia
memberikan nama lain kepada “hubungan paradigmatis” jadi ia membedakan hubungan
sintagmatis dari hubungan paradigmatis. Istilah “paradigmatis” bagi kita sudah tidak baru
lagi; anda ingat bahwa istilah ini dalam morfologi dapat dipakai dengan dua arti: (i) untuk
perybahan morfemis yang mempertahankan identitas kata, (ii) untuk perubahan baik di dalam
maupun di luar identitas kata. Memang tidak seluruh peristilahan Hjemslev dapat kita pakai,
tapi setidak-tidaknya istilah paradigmatis merupakan kemajuan dibandingkan dengan istilah
asosiatif yang digantinya, karena istilah paradigmatis paling sedikit adalah istilah lingguistik,
sedangkan istilah asosiatif diambil dari ilmu psikologi. Bagaimanapun juga, tidak usah kita
persoalkan peristilahan Hjemslev lagi. Karena dalam fase ketiga perkembangan teknik
analisa bahasa, yakni dalam teori Inggris aliran Firth, pembedaan Saussure dan Hjemslev
kembali lagi dengan dua istilah baru. Hubungan-hubungan jenis tadi merupakan struktur
hubungan-hubungan system bahasa.

Struktur ialah susunan bagian-bagian dalam dimensi linear. Demi mudahnya kita ambil
sebagai satuan pokok kalimat (meskipun  suatu teks, dalam analisis wacana, memperlihatkan
banyak hubungan strukturil). Setiap kalimat dapat dibagi atas bagian-bagian tertentu, secara
fonemis, morfemis, sintaksis. Bagian itu disebut konstituen. Tiap-tiap konstituen dapat
diasosiasikan dengan bentuk yang lain, satu fonem dengan fonem lain, satu morfem dengan
morfem yang lain; demikian pula dengan kata, fungsi, peran. Hubungan asosiatif tadi kita
sebut sistem. Suatu konsep yang penting, yang menyangkut baik struktur maupun sistem
ialah konsep “distribusi”.

11
Istilah “distribusi” menjadi istilah pokok analisa lingguistis dalam metode Leonard
Bloomfield, ahli linguistik Amerika. Dua konsep distribusi dapat dibedakan: (a) distribusi
salah satu konstituen kalimat untuk menunjukkkan hubungan konstituen-konstituen tersebut
dengan konstituen lain dalam kalimat, (b) distribusi ialah kemungkinan penggantian
konstituen tertentu dalam kalimat tertentu dengan konstituen yang lain. Pengertian yang
kedua adalah pengertian yang sistematis. Sebetulnya, pengertian (b) yang sistematis itu
berdasarkan pada pengertian (a), karena kemungkinan penggantian seperti diuraikan pada
contoh tadi ditentukan oleh soal apakah penggantian tersebut menghasilkkan kalimat baru
yang betul.

Struktur itu berdasarkan kemungkinan susunan satuan-satuan dalam kalimat; susunan


tersebut dapat dibedakan menurut tataran sistematik bahasa, yakni menurut susunan fonetis,
susunan alofonemis, susunan fonemis, susunan alomorfemis, susunan morfemis, susunan
sintaktis.

Karena sistem itu berdasarkan kemungkinan penggantian atau ‘subtitusi” unsur mana saja,
maka variasi paradigmatik hanyalaah merupakan salah satu jenis sistemis saja kita dapat
membedakan seperti subtitusi fonemis, subtitusi sintaktis, dan subtitusi morfemis.

Kita sudah ketahui bahwa kata, sebagai unsur leksikal, merupakan dasar untuk tiga jenis
pembedaan yang penting dalam keseluruhan sistematik bahasa, yakni: (i) antara tatabahasa
dan leksikon; (ii) antara tatabahasa dan fonologi; (iii) di dalam tatabahasa itu sendiri, antara
morfologi dan sintaksis. Kata itu dapat dipandang dan dianalisa dari beberapa sudut, yaitu:
secara fonetis, secara fonemis, secara morfemis, secara sintaktis, secara leksikal, dan secara
leksikografis.

Selain beberapa analisa diatas, terdapat juga beberapa analisa yang lain seperti: analisa
sistematis dan masalah konstituen “nol”, analisa pembagian langsung, analisa rangkaiaan
unsur dan analisa proses unsur, analisa transformasional, dan lain sebagainya.

BAB IX           Semantik

Semantik berarti “teori makna” atau “teori arti”. Fungsi sintaksis itu sendiri tidak ada
maknanya; yang mengisi kotak, gatra, kosong itu secara gramatikal adalah peran sintaksis.
Disamping semantik gramatikal dan semantik leksikal masih harus kita bedakan “semantik
kalimat” dan “semantik maksud”.  Yang dimaksud dengan semantik kalimat adalah
semuanya yang termasuk semantik tetapi tidak termasuk dalam semantik gramatikal atau
semantik leksikal seperti yang telah diuraikan diatas. Makna kalimat ialah semantik kalimat,
atau isi semantik bagian kalimat. Tetapi dengan kalimat kita memberikan informasi tertentu
pula. Hal itu malahan benar dalam hal kalimat tanya. Karena suatu kalimat tanya selalu
mengandaaikan sesuatu. Informasi tidak sama dengan makna. Makna adalah sesuatu yang
berada dalam ujaran itu sendiri, atau makna adalah gejala dalam ujaran, sedaangkan
informasi adalah sesuatu yang  di luar ujaran.

Tadi kita bedakan makna dan informasi. Informasi itu menyangkut sesuatu yang di luar
ujaran. Di samping informasi sebagai sesuatu yang luar ujaran ada sesuatu yang luar ujaran
pula, yaitu apa yang kita sebut “maksud”. Sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar
ujaran di pihak obyektif kenyataan yang dibicarakaan, namun maksud itu adalah sesuatu luar
ujaran dipihak maksud dari si pengujar. Metafor tadi adalah contoh yang baik tentang maksud
tersebut.

12
Selain beberapa istilah diatas, dalam semantik dikenal juga istilah seperti “sinonimi” (atau
“kesinoniman”) arti harafiahnya ‘nama lain untuk benda yang sama’ , “antonimi” (atau
“keantoniman”) arti harafiahnya ‘nama(lain) untuk benda yang lain pula’ ,homonimi secara
harafiahnya berarti ‘nama sama untuk benda lain’, hiponimi, dan redudansi.

13

Anda mungkin juga menyukai