Anda di halaman 1dari 10

NAMA : Rice Marsela

NPM : 201230063
SEMESTER/ KELAS: 1(A)

SEJARAH DAN ALIRAN-ALIRAN LINGUISTIK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Linguistik didefinisikan sebagai ilmu bahasa‟ atau studi ilmiah mengenai bahasa‟.
Terdapat beberapa definisi linguistik dari beberapa ahli. Antaranya ialah Chaer (2007) mendefinisikan
linguistik sebagai ilmu tentang bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Beliau
juga menyebut bahawa kata linguistik (berpadanan dengan linguistics dalam bahasa Inggris, linguistique
dalam bahasa Perancis dan linguistiek dalam bahasa Belanda) diturunkan dari kata Bahasa Latin lingua
yang berarti “bahasa”, didalam bahasa-bahasa “Roman” yaitu bahasa-bahasa yang berasal dari
bahasa Latin. Terdapat kata yang serupa atau mirip dengan kata Latin lingua itu seperti lingua dalam
bahasa Italia, lengue dalam Bahasa Spanyol, langue (dan langage) dalam Prancis. Begitupun dalam
bahasa Inggris yang mengadopsi kata language dari kata langage bahasa Prancis. Lyons (1981) pula
menyatakan bahawa linguistik merupakan suatu ilmu yang objeknya adalah Bahasa manusia yang dikaji
secara ilmiah. Alan dan Corder (1957) menekankan definisi linguistik dari sudut bahasa, baik sebagai
objek formal kajian maupun metodologinya. Dalam kamus Webster (1981) linguistik didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari empat hal yaitu satuan-satuan bahasa, hakekat bahasa, struktur bahasa dan
perubahan bahasa. Dalam bahasa Perancis, kita menemukan dua istilah berbeda yaitu langue dan langage.
Langue diartikan sebagai bahasa tertentu seperti bahasa Prancis, Inggris, Jawa dan sebagainya. Sedangkan
langage diartikan sebagai bahasa secara umum yaitu bahasa yang terdapat dan digunakan manusia pada
umumnya. Dalam pendefinisian langage tersebut dapat diambil contoh dalam sebuah ungkapan
“Manusia memiliki bahasa, sedangkan binatang tidak”. selain dua istilah tersebut, bahasa
Prancis memiliki satu istilah lagi untuk menggambarkan bahasa yaitu parole. Chaer (2007)
menyebutkan bahawa parole adalah bahasa dalam wujudnya yang nyata dan konkrit yaitu berupa ujaran.
Oleh sebab itu, ketiga istilah tersebut dapat digambarkan sebagai langage yaitu sistem bahasa manusia
secara umum, langue yaitu sistem bahasa tertentu dan parole yaitu wujud bahasa konkrit yang digunakan
masyarakat sehari-hari.

B. Rumusan Masalah

Dalam hal ini penulis dapat merumuskan masalah dalam pembahasan makalah
Sejarah dan Aliran Linguistik:

1. Apa itu Sejarah dan Aliran Linguistik?


2. Apa saja Sejarah Linguistik Tradisional, Struktural, Transformasi dan Aliran
sesudahnya, serta linguistik di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengidentifikasi masalah tentang Sejarah dan Aliran Linguistik?
2. Mengetahui bagian-bagian apa saja dalam Linguistik Tradisional, Struktural,
Transformasi dan Aliran sesudahnya, serta Linguistik di Indonesia?

D. Manfaat Penulisan
1. Ada banyak manfaat dalam pembahasan Sejarah dan Aliran Linguistik, terutama
pada Linguistik Tradisional, Linguistik Struktural, Linguistik Transformasi dan
Aliran sesudahnya, serta Linguistik di Indonesia.
2. Dapat memahami Sejarah dalam Ilmu Linguistik.
BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH DAN ALIRAN LINGUISTIK

studi linguistik telah mengalami tiga tahap perkembangan, yaitu dari tahap
pertama yang disebut tahap spekulasi, tahap kedua yang disebut tahap observasi dan
klasifikasi, dan tahap ketiga yang disebut tahap perumusan teori. Pada tahap spekulasi,
pernyataan-pernyataan tentang bahasa tidak didasarkan pada data empiris, melainkan
pada dongeng atau cerita rekaan belaka. Umpamanya, pernyataan Andreas Kemke,
seorang ahli filologi dari Swedia pada abad ke-17 yang menyatakan bahwa Nabi Adam
dulu di surga berbicara dalam bahasa Denmark, sedangkan ular berbicara dalam bahasa
Prancis, adalah tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena tidak didukung oleh bukti
empiris. Begitu juga dengan pendapat suku Dayak Iban di Kalimantan yang menyatakan
bahwa manusia tadinya hanya punya satu bahasa; tetapi kemudian karena mereka mabuk
cendawan, mereka menjadi berbicara dalam pelbagai bahasa. Pada tahap klasifikasi dan
observasi para ahli bahasa mengadakan pengamatan dan penggolongan terhadap bahasa-
bahasa yang diselidiki, tetapi belum sampai pada merumuskan teori. Karena itu,
pekerjaan mereka belum dapat dikatakan bersifat ilmiah. Penyelidikan yang bersifat
ilmiah baru dilakukan orang pada tahap ketiga, di mana bahasa yang diteliti itu bukan
hanya diamati dan diklasifikasi, tetapi juga telah dibuatkan teori-teorinya.Dalam sejarah
perkembangannya, linguistik dipenuhi dengan berbagai aliran, paham, pendekatan, dan
teknik penyelidikan yang dari luar tampaknya sangat ruwet, saling berlawanan, dan
membingungkan, terutama bagi para pemula. Namun, sebenarnya semuanya itu akan
menambah wawasan kita terhadap bidang dan kajian linguistik. Berikut ini akan
dibicarakan sejarah, perkembangan, paham, dan beberapa aliran linguistik dari zaman
purba sampai zaman mutakhir secara sangat singkat, dan sangat bersifat umum.
B. LINGUISTIK TRADISIONAL

Istilah tradisional dalam linguistik sering dipertentangkan dengan istilah


struktural, sehingga dalam pendidikan formal ada istilah tata bahasa tradisional dan tata
bahasa struktural. Kedua jenis ini banyak dibicarakan orang sebagai dua hal yang
bertentangan, sebagai akibat dari pendekatan keduanya yang tidak sama terhadap hakikat
bahasa. Tata bahasa tradisional menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan semantik;
sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan struktur atau ciri-ciri formal yang ada dalam
suatu bahasa tertentu. Dalam merumuskan kata kerja, misalnya, tata bahasa tradisional
mengatakan kata kerja adalah kata yang menyatakan tindakan atau kejadian; sedangkan
tata bahasa struktural menyatakan kata kerja adalah kata yang dapat berdistribusi dengan
frase “dengan....”. Bagaimana terbentuknya tata bahasa tradisional yang telah melalui
masa yang sangat panjang akan dibicarakan berikut ini, zaman per zaman, mulai zaman
Yunani sampai masa menjelang munculnya linguistik modem di sekitar akhir abad ke-19.

C. LINGUISTIK STRUKTURALIS

Kalau linguistik tradisional selalu menerapkan pola-pola tata bahasa Yunani dan
Latin dalam mendeskripsikan suatu bahasa, maka linguistik strukturalis tidak lagi
melakukan hal demikian. Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu bahasa
berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Pandangan ini adalah sebagai
akibat dari konsep-konsep atau pandangan-pandangan baru terhadap bahasa dan studi
bahasa yang dikemukakan oleh Bapak Linguistik Modem, yaitu Ferdinand de Saussure.

D. LINGUISTIK TRANSFORMASIONAL DAN ALIRAN-ALIRAN


SESUDAHNYA

Dunia ilmu, termasuk linguistik, bukan merupakan kegiatan yang statis,


melainkan merupakan kegiatan yang dinamis; berkembang terus, sesuai dengan filsafat
ilmu itu sendiri yang selalu ingin mencari kebenaran yang hakiki. Begitulah, linguistik
struktural lahir karena tidak puas dengan pendekatan dan prosedur yang digunakan
linguistik tradisional dalam menganalisis bahasa. Sekian puluh tahun linguistik struktural
digandrungi sebagai satu-satunya aliran yang pantas diikuti dalam menganalisis bahasa,
walaupun model struktural itu pun tidak hanya satu macam. Kemudian orang pun merasa
bahwa model struktural juga banyak kelemahannya, sehingga orang mencoba merevisi
model struktural itu di sana-sini, sehingga lahirlah aliran lain yang agak berbeda, meski
masih banyak persamaannya, dengan model struktural semula. Perubahan total terjadi
dengan lah irnya linguistik transformasional yang mempunyai pendekatan dan cara yang
berbeda dengan linguistik struktural. Namun, kemudian model transformasi ini pun
dirasakan orang banyak kelemahannya, sehingga orang membuat model lain pula, yang
dianggap lebih baik, misalnya model semantik generatif, model tata bahasa kasus, model
tata bahasa relasional, dan model tata bahasa stratifikasi. Berikut ini dengan secara sangat
singkat akan dibicarakan model-model di atas.

E. LINGUISTIK DI INDONESIA

Hingga saat ini bagaimana studi linguistik di Indonesia belum ada catatan yang
lengkap, meskipun studi linguistik di Indonesia sudah berlangsung lama dan cukup
semarak. Uraian berikut hanyalah sekadar catatan selintas yang ditulis tanpa dukungan
persiapan yang memadai.

1. Sebagai negeri yang sangat luas yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dengan
berbagai bahasa daerah yang berbeda pula, maka Indonesia sudah lama menjadi
medan penelitian linguistik. Pada awalnya penelitian bahasa di Indonesia dilakukan
oleh para ahli Belanda dan Eropa lainnya, dengan tujuan untuk kepentingan
pemerintahan kolonial. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 pemerintah
kolonial sangat memerlukan informasi mengenai bahasa-bahasa yang ada di bumi
Indonesia untuk melancarkan jalannya pemerintahan kolonial di Indonesia, di
samping untuk kepentingan lain, seperti penyebaran agama Nasrani.

Informasi yang lengkap dan luas mengenai bahasa-bahasa daerah itu, terutama
bahasa daerah yang penuturnya banyak, adalah sangat penting dalam menjalankan
administrasi dan roda pemerintahan kolonial. Oleh karena itu, penelitian terhadap bahasa-
bahasa daerah itu sangat digalakkan oleh pemerintah kolonial Belanda itu. Banyak sarjana
dikirim ke pelbagai daerah untuk melakukan penelitian bahasa. Kiranya hampir tidak ada
wilayah di Nusantara ini yang tidak didatangi oleh para peneliti bahasa itu.

Sesuai dengan masanya, penelitian bahasa-bahasa daerah itu baru sampai pada
tahap deskripsi sederhana mengenai sistem fonologi, morfologi, sintaksis, serta
pencatatan butir-butir leksikal beserta terjemahan maknanya dalam bahasa Belanda atau
bahasa Eropa lainnya, dalam bentuk kamus. Hasil penelitian itu biasanya dimanfaatkan
oleh para petugas pemerintahan kolonial atau para misionaris agama Nasrani yang
bertugas di daerah tempat bahasa daerah itu digunakan. Hasil penelitian itu tentu besar
sekali manfaatnya bagi mereka.

Penelitian bahasa pada zaman kolonial itu kebanyakan hanya bersifat observasi
dan klasifikasi; belum bersifat ilmiah, karena belum merumuskan teori. Namun, kalau
kita lihat hasil penelitian yang dilakukan oleh sarjana seperti Van der Tuuk, Bransdstetter,
Dempwolf, dan Kern, tampaknya mereka telah melampaui batas tahap observasi dan
klasifikasi itu, sebab mereka telah juga merumuskan sejumlah teori, misalnya, mengenai
sistem bunyi bahasa-bahasa yang ada di Nusantara. Ingat saja akan apa yang disebut
“Hukum Van der Tuuk” atau “Hukum R-G-H” dan Hukum R-D-L”.

Apa yang telah dilakukan para peneliti Barat itu dapat kita lihat dalam sejumlah
buku Bibliographical Series terbitan Koninklijk Instituut voor Taal, Land, en
Volkenkunde (KITLV) Belanda, antara lain yang disusun oleh Teeuw (1961), Uhlenbeck
(1964), Voorhove (1955), Cense (1958) dan Chaer (2010). Dalam hal ini juga Uhlenbeck
(1971). Bibliographical Series itu yang memuat nama buku, artikel, majalah, dan berbagai
manuskrip dari para peneliti asing, memuat juga nama sejumlah peneliti/penulis
Indonesia sampai akhir dan menjelang tahun enam puluhan. Oleh karena itu, buku
tersebut sangat penting artinya bagi mereka yang ingin mengetahui apa yang telah
dilakukan para peneliti atau penulis terdahulu terhadap bahasa-bahasa daerah yang ada di
Nusantara kita, termasuk juga bahasa nasional Indonesia.

Tampaknya cara pendeskripsian terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia


seperti yang dilakukan para peneliti terdahulu masih berlanjut terus pada tahun tujuh
puluh dan delapan puluhan, seperti yang dilakukan oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (disingkat Pusat Bahasa). Dalam penelitian ini Pusat Bahasa
biasanya mendelegasikan pekerjaan itu kepada para peneliti yang ada di perguruan tinggi
di daerah masing-masing. Hasilnya tentu lebih baik, sebab penelitian itu biasanya
dikerjakan oleh peneliti yang menguasai dan menggunakan bahasa yang ditelitinya.
Berapa banyak hasil yang telah dicapai Pusat Bahasa itu, kiranya dapat anda hubungi
sendiri lembaga yang mengurusi bahasa itu.
2. Konsep-konsep linguistik modem seperti yang dikembangkan oleh Ferdinand de
Saussure sudah bergema sejak awal abad XX (buku de Saussure terbit 1913). Konsep-
konsep de Saussure kemudian disusul oleh berbagai teori dan aliran seperti
strukturalisme Bloomfield pada tahun tiga puluhan (buku Bloomfield terbit 1933),
dan teori generatif transformasi pada tahun lima puluhan (buku Chomsky terbit 1957).
Namun, tampaknya gema konsep linguistik modern itu baru tiba di Indonesia pada
akhir tahun lima puluhan. Pendidikan formal linguistik di fakultas sastra (yang
jumlahnya juga belum seberapa) dan di lembaga-lembaga pendidikan guru sampai
akhir tahun lima puluhan masih terpaku pada konsep-konsep tata bahasa tradisional
yang sangat bersifat normatif. Perubahan baru terjadi, lebih tepat disebut perkenalan
dengan konsep-konsep linguistik modem, kiranya sejak kepulangan sejumlah linguis
Indonesia dari Amerika, seperti Anton M. Moeliono dan T.W. Kamil. Kedua beliau
inilah kiranya yang pertama-tama memperkenalkan konsep fonem, morfem, frase, dan
klausa dalam pendidikan formal linguistik di Indonesia. Sebelumnya konsep-konsep
tersebut sebagai satuan lingual belum dikenal. Yang dikenal hanyalah satuan kata dan
kalimat.

Perkenalan dengan konsep-konsep linguistik modem ini bukanlah tanpa menimbulkan


pertentangan. Kiranya konsep-konsep linguistik tradisional yang sudah mendarah daging
tidak begitu saja dapat diatasi oleh konsep-konsep linguistik modem. Konsep bahwa bahasa
adalah bunyi dan bukan tulisan hingga kini masih cukup rawan, terbukti dengan masih
banyaknya orang yang belum dapat membedakan konsep fonem dan huruf. (Lihat Chaer
1993). Konsep linguistik modem yang melihat bahasa secara deskriptif sukar diterima oleh
para guru bahasa dan pakar bahasa Indonesia, yang tetap melihat bahasa secara preskriptif
atau normatif. Malah, muncul anggapan pada mereka bahwa konsep- konsep linguistik
modem “merusak” bahasa dan pendidikan bahasa. Umpamanya saja, konsep linguistik
modern dapat menerima bentuk merubah di samping bentuk mengubah, karena hal itu adalah
kenyataan yang terdapat dalam bahasa Indonesia seperti yang digunakan sehari- hari dalam
masyarakat; tetapi mereka tatap berpegang bahwa merubah adalah bentuk yang salah,
sedangkan mengubah adalah bentuk yang benar. Linguistik modem juga menyatakan bahwa
bentuk silakan (tanpa h) dan bentuk silahkan (dengan h) adalah dua bentuk yang sama-sama
digunakan dalam bahasa Indonesia, tetapi mereka tetap berkeras bahwa silahkan adalah
bentuk yang salah, dan silakan adalah bentuk yang benar, meskipun frekuensi pemakaian
bentuk silahkan lebih banyak daripada frekuensi pemakaian bentuk silakan. Contoh lain,
hingga awal tahun 90-an masih banyak muncul pertanyaan mengenai data yang digunakan
Kridalaksana yang digunakan dalam bukunya Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia
(terbit 1989). Pertanyaannya: apakah akhiran in seperti pada kata abisin dan awalan nge-
seperti pada kata ngebantu termasuk afiks bahasa Indonesia? Kata abisin dan ngebantu,
katanya pula, bukanlah kata bahasa Indonesia yang benar. Jadi, seharusnya tidak perlu dimuat
dalam buku itu. Seperti kita ketahui, Kridalaksana yang karyanya dalam bidang linguistik
Indonesia sangat banyak adalah seorang linguis yang tidak berpikiran preskriptif. Jadi, segala
macam bentuk yang ada dalam bahasa Indonesia, termasuk ragam-ragamnya, akan
dibicarakan juga sebagai data bahasa Indonesia. Akhiran -in dan awalah nge- juga termasuk
khazanah afiks bahasa Indonesia. Memang bukan afiks ragam bahasa baku; tetapi keduanya
biasa digunakan dalam pertuturan. Akibat dari sikap yang preskriptif atau normatif ini
menyebabkan mereka menjadi “anti’ terhadap linguistik modem.

Perkembangan waktu jualah yang kemudian menyebabkan konsep-konsep linguistik


modern dapat diterima, dan konsep-konsep linguistik tradisional mulai agak tersisih. Awal
tahun tujuh puluhan dengan terbitnya buku Tata Bahasa Indonesia karangan Gorys Keraf,
perubahan sikap terhadap linguistik modern mulai banyak terjadi. Buku Tata Bahasa Baru
Bahasa Indonesia karangan Sutan Takdir Ali sjahbana, yang sejak tahun 1947 banyak
digunakan orang dalam pendidikan formal, mulai ditinggalkan. Kedudukannya diganti oleh
buku Keraf, yang isinya memang banyak menyodorkan kekurangan- kekurangan tata bahasa
tradisional, dan menyajikan kelebihan-kelebihan analisis bahasa secara struktural. Selain
buku Keraf itu, sejumlah buku Ramlan, yang juga menyajikan analisis bahasa secara
struktural, menyebabkan kedudukan linguistik modern dalam pendidikan formal menjadi
semakin kuat, meskipun konsep-konsep linguistik tradisional masih banyak yang
mempertahankannya.

Datangnya Prof. Verhaar, guru besar linguistik dari Belanda, yang kemudian disusul
dengan adanya kerja sama kebahasaan Indonesia – Belanda, menjadikan studi linguistik
terhadap bahasa-bahasa daerah dan bahasa nasional Indonesia semakin marak. Sejumlah hasil
penelitian dan disertasi linguistik yang ditulis oleh para sarjana telah diterbitkan, baik yang
berupa pemerian bahasa, pendalaman salah satu aspek bahasa, maupun studi historis
komparatif. (Lihat daftar buku terbitan ILDEP). Demikian juga dengan buku-buku mengenai
metode penelitian linguistik. Dengan demikian, teori-teori linguistik modem dengan berbagai
aliran dan paham sudah bukan merupakan hal yang asing bagi kebanyakan pakar linguistik
Indonesia.
3. Sejalan dengan perkembangan dan makin semaraknya studi linguistik, yang tentu saja
dibarengi dengan bermunculannya linguis- linguis Indonesia, baik yang tamatan luar
negeri maupun dalam negeri, maka semakin dirasakan perlunya suatu wadah untuk
berdiskusi, bertukar pengalaman, dan mempublikasikan hasil penelitian yang telah
dilakukan. Begitulah pada tanggal 15 November tahun 1975, atas prakarsa sejumlah
linguis senior, berdirilah organisasi kelinguistikan yang diberi nama Masyarakat
Linguistik Indonesia (MLI). Anggo- tanya adalah para linguis yang kebanyakan
bertugas sebagai pengajar di perguruan tinggi negeri atau swasta dan di lembaga-
lembaga penelitian kebahasaan. Tiga tahun sekali MLI mengadakan Musyawarah
Nasional, yang acaranya selain membicarakan masalah organisasi, juga mengadakan
seminar mengenai linguistik dengan makalah yang disajikan oleh para anggota. Selain
acara seminar yang bersifat nasional yang diselenggarakan oleh pengurus pusat,
banyak pula acara seminar yang diselenggarakan oleh pengurus komisariat di daerah.
Untuk melengkapi keberadaannya, sejak 1983 MLI menerbitkan sebuah jurnal yang
diberi nama Linguistik Indonesia. Jurnal ini dimaksudkan sebagai wadah bagi para
anggota MLI untuk melaporkan atau mempublikasikan hasil penelitiannya. Isi jurnal
Linguistik Indonesia antara tahun 1983 sampai tahun 1989 dapat dilihat pada
Kaswanti Purwo (1990).

Jauh sebelum terbitnya Jurnal Linguistik Indonesia sebenarnya di Indonesia sudah ada
majalah linguistik yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris. Majalah ini yang
lebih dikenal dengan nama NUSA dirintis penerbitannya oleh Prof. Dr. J.W.M. Verhaar SJ,
dan dieditori oleh sejumlah linguis Indonesia, antara lain, Amran Halim, Soenjono
Dardjowidjojo, Ignatius Soeharno, dan Soepomo Poedjosoedarmo. Isi majalah tersebut antara
1975 sampai 1989 dapat dilihat dalam Kaswanti Purwo (1990).

Selain kedua majalah di atas ada pula majalah Bahasa dan Sastra serta Pengajaran
Bahasa dan Sastra, yang sayang sekali ketika bab ini ditulis, sudah tidak terbit lagi. Isinya
dapat kita lihat dalam Kaswanti Purwo (1990). Satu majalah lagi, tetapi yang lebih
mengkhusus pada pembinaan bahasa nasional Indonesia, adalah Majalah Pembinaan Bahasa
Indonesia yang diterbitkan oleh organisasi profesi Himpunan Pembina Bahasa Indonesia
(HPBI) sejak tahun 1980. Isinya juga dapat kita lihat pada Kaswanti Purwo (1990).

4. Penyelidikan terhadap bahasa-bahasa daerah Indonesia dan bahasa nasional


Indonesia, banyak pula dilakukan orang di luar Indonesia. Universitas Leiden di
Negeri Belanda telah mempunyai sejarah panjang dalam penelitian bahasa-bahasa
Nusantara. Di sana, antara lain, ada Uhlenbeck dengan kajiannya yang sangat luas
terhadap bahasa Jawa, ada Voorhove, Teeuw, Rolvink; dan terakhir Grijns dengan
kajian dialek Jakartanya. Di London ada Robins dengan kajian bahasa Sundanya.
Begitu juga di Amerika, di Jerman, di Italia, di Rusia, dan di Australia banyak
dilakukan kajian tentang bahasa-bahasa Indonesia.
5. Sesuai dengan fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa
negara, maka bahasa Indonesia tampaknya menduduki tempat sentral dalam kajian
linguistik dewasa ini, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pelbagai segi dan
aspek bahasa telah dan masih menjadi kajian yang dilakukan oleh banyak pakar
dengan menggunakan pelbagai teori dan pendekatan sebagai dasar analisis. Secara
nasional bahasa Indonesia telah mempunyai sebuah buku tata bahasa baku dan sebuah
kamus besar yang disusun oleh para pakar yang handal.

Dalam kajian bahasa nasional Indonesia di Indonesia tercatat nama-nama seperti


Kridalaksana, Kaswanti Purwo, Dardjowidjojo, dan Soedarjanto, yang telah banyak
menghasilkan tulisan mengenai pelbagai segi dan aspek bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA:

Drs. Abdul , C. (2014). Linguistik umum edisi revisi. Jakarta: RENAKA CIPTA. Hall 332 -
375.

Anda mungkin juga menyukai