Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

DIALEKTOLOGI

DISUSUN OLEH:
MUH. HUSAIN ALI AKBAR (F011201026)

FAKULTAS ILMU BUDAYA


PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah memberikan kesempatan
kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Dialektologi” dengan baik dan tepat.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami
memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membimbing
dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Makassar, 30 November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULAUN

A. Latar belakang………………………………………………………………………...…..1
B. Rumusan masalah…………………………………………………………………………1
C. Tujuan…………………………………………………………………………………..…1

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah perkembangan ilmu bahasa………………………………………………………2


B. Menguji kebenaran dari teori neogrammarian……………………………………………3
C. Dialektologi diakronis dan sinkronis……………………………………………………..5
D. Pemetaan dan rekonstruksi bahasa……………………………………………………….6
E. Inovasi dan relik….……………………………………………………………………...10
F. Beberapa metode dala penelitian dialektologi…………………………………………..10

BAB III PENUTUP

Simpulan………………………………………………………………………………………....18
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dialektologi adalah ilmu yang memelajari seputar dialek atau variasi dalam lingkup
masyarakat tertentu dan didalamnya mencakup banyak metode penelitian dalam mengungkapkan
dialek tersebut. Istilah dialektologi berasal dari bahasa Yunani, dialektos dan logos. Dialektos
merujuk pada sejumlah perbedaan kecil penggunaan bahasa di masyarakat Yunani. Sedangkan
logos berarti ilmu.
Dialektologi termasuk dalam studi linguistik. Dialektologi merupakan bagian dari
sosiolinguistik yang mempelajari tentang hubungan atau pengaruh bahasa dengan perilaku sosial
manusia. Untuk dapat memahami ilmu dialektologi ini maka diperlukan ketekunan dan kerja
keras dalam belajar. Sebagai mahasiswa sudah menjadi kewajiban kita untuk belajar, apalagi jika
mata kuaiah yang diprogramkan tersebut merupakan mata kuliah yang berpengaruh bagi jurusan
yang dipilih. Maka dari hal tersebut lah kami menyusun makalah ini, agar dapat meningkatkan
pemahaman akan mata kuliah dialektologi ini.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan dari latar belakang tersebut, maka untuk memudahkan penulis masalah yag
akan kami ambil adalah apa penjelasan yang anda dapat pahami selama perkuliahan mata kuliah
dialektologi berlangsung?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk dapat memahami dengan baik
mata kuliah dialektologi
BAB II
PEMBAHASAN
Dialektologi merupakan kajian tentang dialek atau dialek-dialek (chambers dan Trudgill).
Istilah dialek itu sendiri berasal dari Bahasa Yunani, yaitu dialektos yang pada mulanya
dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan Bahasa Yunani pada masa itu. Oleh karena
itu, dialek merupakan sistem Bahasa yang digunakan oleh sekolompok masyarakat untuk
membedakan kelompok masyarakat lain. Dalam penelitiannya, ruang lingkup dialektologi
dibatasi. Contohnya hanya befokus pada fonologi atau leksikon saja.
Adapaun ruang lingkup dialektologi, yaitu:

1. Fonologi
Artinya dialektologis berfokus untuk mencari tahu perbedaan suara atau pelafalan
ketika mengucapkan suatu bahasa.
2. Morfologi
Artinya dialektologi berfokus pada kata atau kalimat awalan, infiks, sufiks,
pronominal dan sebagainya.
3. Sintaksis
Artinya dialektologi berfokus pada bentuk kalimat atau frasa.
4. Semantic
Artinya dialektologi berfokus pada perbedaan makna dari kata atau kalimatnya.
A. Sejarah perkembangan ilmu bahasa

Bahasa tidak henti-hentinya menjadi perhatian para ilmuwan sejak dahulu kala.  Sebab,


bahasa memiliki posisi sentral bagi kehidupan manusia. Melalui bahasa, ilmu pengetahuan
berkembang. Bahkan peradaban berkembang juga karena bahasa. Ada pertanyaan mengenai
kapan sejatinya bahasa mulai dikaji manusia? Sulit meramal kapan bahasa mulai ada dan dikaji.
Tetapi para ahli memperkirakan bahasa mulai ada sekitar 65 000 tahun yang lalu. Orang
mengenalnya sebagai bahasa purba. Tetapi bahasa tulis baru dikenal 5000 tahun lalu. Praktis
selama 60 000 tahun tidak ada jejak pengetahuan yang bisa direkam karena tidak ada bahasa tulis.
Karena itu, bisa dibayangkan selama 60 000 tahun itu pula manusia tidak berbuat apa-apa untuk
membawa kemajuan kehidupan.
Sebelum tahun 1900-an, kajian bahasa lebih berpusat pada kajian historis (linguistik
historis). Ada yang menyebutnya sebagai linguistik diakronis atau filologi. Kajian demikian
begitu dominan hingga abad XIX, yaitu tentang penelitian sejarah bahasa, pencarian tali temali
antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, dan bahasa baru yang dihasilkan dari hubungan
antar-bahasa yang hasilnya bisa berupa dialek, atau bahkan bahasa baru sama sekali. Tetapi
setelah tahun 1900-an kajian bahasa lebih fokus pada analisis bahasa sebagai sistem komunikasi
secara utuh yang berlangsung pada masa tertentu tanpa melihat aspek kesejarahannya. Kajian
bahasa demikian disebut sebagai kajian bahasa sinkronis atau linguistik sinkronis. Dengan
demikian, pada tahun 1900-an telah terjadi pergeseran kajian bahasa dari linguistik diakronis
(historis) ke linguistik sinkronis.
Sebelum tahun 1900-an, melalui kajian linguistik historis, kerja para ahli sebenarnya lebih
pada upaya pemenuhan hasrat pribadi ketimbang pemenuhan hasrat pengembangan teori bahasa
secara ilmiah dan universal. Selain itu, mereka juga dipengaruhi oleh keadaan umum ilmu
pengetahuan pada saat itu. Sudah menjadi hal yang biasa jika para ahli menggunakan model
pencariannya dengan menggunakan model yang sudah ada lebih dahulu. Sebab, ilmu berkembang
dengan meneruskan atau mengembangkan ilmu yang telah ada sebelumnya. Ilmu berkembang
bukan karena banyaknya pengetahuan di bidang itu, tetapi karena ilmu itu senantiasa direvisi,
dikritik, disalahkan (yang menurut Popper disebut falsifikasi) sehingga hanya terdapat sedikit
kesalahan.
Ilmu pengetahuan, termasuk bahasa, terus berkembang seiring dengan kemajuan
pemikiran manusia.  Temuan-temuan baru bermunculan dan ilmu pengetahuan baru diciptakan.
Setelah linguistik fungsional dikembangkan para ahli dan hasilnya kajian linguistik menjadi
sangat luas dengan kelahiran cabang-cabang baru seperti sosiolinguistik, psikolinguistik,
antropolinguistik, neurolinguistik, geolinguistik, politikolinguistik, dan komputasi linguistic.

B. Menguji kebenaran dari Teori neogrammarian

Pada bagian kedua abad ke-19 muncul sebuah aliran yang menamakan dirinya sebagai
Jung Grammatiker atau Neo-Grammarians, tokoh-tokohnya diantara lain: Karl Vermer, August
Leskien, Hermann Paul, dll. Kaum NeoGrammarian ini mengajukan sebuah teori yang disebu;
hukum bunyi tidak mengenal kekecualian. Menurut mereka, bahwa perubahan bunyi suatu
bahasa dari masa ke masa yang lain dalam perkembangan sejarahnya berlangsung secara teratur.
Untuk menguji kebenaran dari teori Neogrammarian, pada tahun 1876 Wenker
memutuskan untuk menguji teori tersebut dengan mencari batas geografi dari dialek Jerman
tinggi dan dialek Jerman rendah. Perbedaan mencolok dari kedua dialek tersebut adalah pada
dialek Jerman tinggi terjadi perubahan bunyi yang disebut gerakan konsonan kedua (The second
consonant shift). Sedangkan pada dialek Jerman rendah tidak terjadi perubahan bunyi tersebut.
Gerakan konsonan kedua adalah perumahan konsonan hambat tak bersuara yang meliputi fonem
p, t, dan k dari proto Jerman dalam dialek Jerman tinggi. Hasil dari penelitian Wenker itu
membuktikan bahwa tidak dijumpai garis pembatas yang membedakan kedua dialek tersebut,
malahan yang ditemukan adalah garis isoglos tersendiri yang menunjukkan pemakaian bentuk
yang berbeda. Garis isoglos tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa dialekyang mengalami
gerakan konsonan kedua secara tidak menyuruh. Salah satunya yaitu dialek yang terdapat di
daerah sungai Rhein, yang selanjutnya dikenal dengan the Rhents fan (kipas Rhein). Adanya
kenyataan di Jerman tersebut membuktikan bahwa kaidah perubahan bunyi tanpa kecuali yang
dikemukakan oleh kaum Neogrammarian tidak benar.
Di Perancis sendiri, Gilleron membuktikan bahwa unsur leksikon sebuah arti tidak
berkaitan satu sama lain. Sebuah contoh yang menarik adalah perubahan dari [-ll] ke [-t] pada
posisi akhir yang di jumpai di beberapa daerah pengamatan penelitian yang dilakukan Gilleron.
Berdasarkan pada kaidah ini, maka bentuk yang diharapkan muncul dari makna kata ‘ayam’
adalah refleks dari bahasa latin gallus yang seharusnya muncul bentuk gat. Namun justru yang
muncul adalah bentuk-bentuk:

 Gallus, yang merupakan refleks dari bahasa latin gallus yang berarti ayam
 Pullus, yang merupakan refleks dari bahasa latin pullus yang berarti binatang kecil
 Faisan, kata yang berarti ‘ayam pegar’ (semacam binatang kecil)
 Vicare, kata yang berarti pendeta, dan
 Cog dari bahasa latin tahap akhir coccus, yang berarti ayam

Menurut Gilleron munculnya kata yang berbahaya untuk makna 'ayam' tersebut
disebabkan oleh perubahan bunyi itu yang mengakibatkan terjadinya gerakan homonim
(homonimyct conflict). Sehingga untuk menghindari hal tersebut maka terjadilah penggusuran
leksikal (lexical replacement) Tampak bahwa yang terjadi pada makna ‘ayam’ itu adalah
tabrakan homonim, karena telah ada bentuk gat, yang merupakan refleksi dari cattus untuk
makna’kucing’.
Studi yang dilakukan oleh Wenker di Jerman dan Gilleron di Prancis tersebut merupakan
studi yang sifatnya dialektologis. Sehingga dapat dikatakan bahwa studi dialektologi untuk
pertama kalinya muncul dalam rentang waktu yang berdekatan di dalam dua negara yang
berbeda, yaitu di Jerman pada tahun 1876 dan Perancis pada tahun 1880, yang yang di mana
kedua penelitian tersebut bersifat diakronis. Hanya saja terdapat perbedaan dalam dua penelitian
tersebut. Penelitian di Jerman diawali oleh motivasi untuk membuktikan hukum perubahan bunyi
yang diajukan kaum Neogrammarian. Sedangkan di Prancis penelitian itu diawali karena adanya
anjuran dari Gaston Paris pada tahun 1875 agar dilakukan penelitian dialek-dialek yang ada di
wilayah Perancis. Gaston juga mengusulkan untuk membuat peta fonetik untuk seluruh Prancis.
Pada akhir abad ke-19 para ahli bahasa yang berasal dari Jerman dan Perancis telah berhasil
membuat dua buah peta bahasa yang selanjutnya menjadi acuan dalam penelitian dialektologi
pada saat ini. Hal lain yang membedakan kedua penelitian ini adalah dari metode yang
digunakan. Penelitian dialektologi yang dilakukan di Jerman menggunakan metode cakap
tansemuka, yaitu dengan cara mengirimkan angket berisi 40 kalimat sederhana ke seluruh
wilayah kekuasaan Jerman. Sedangkan penelitian dialektologi yang dilakukan di Perancis
menggunakan metode cakap semula, yaitu dengan cara peneliti mendatangi seluruh
daerah/wilayah pengamatan yang telah ditentukan. Dengan dibantu oleh Edmorant, pada tahun
1897 Gilleron mulai melakukan penelitian di seluruh wilayah Perancis yang kurang lebih terdiri
dari 639 daerah pengamatan. Yang di mana setiap daerahnya dibebani dengan 1920 daftar
pertanyaan leksikal dan 100 buah kalimat.
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Wenker dan Gilleron tersebut masing-masing
menghasilkan peta bahasa. Yang selanjutnya kedua penelitian tersebut menjadi dasar studi
dialektologi selanjutnya.

C. Dialektologi diakronis dan sinkronis

Dialektologi merupakan ilmu tentang dialek. Sedangkan diakronis adalah pendekatan


terhadap suatu bahasa dengan melihat perkembangan sepanjang waktu. Jadi, Dialektologi
diakronis merupakan kajian tentang perbedaan-perbedaan isolek yang bersifat analitis sinkronis
terhadap perbedaan-perbedaan isolek berdasarkan kajian historis. Pembicaraan diakronis tentang
dialek/subdialek adalah pembicaraan tentang bagaimana eksistensi dialek/subdialek tersebut
yang mencakup:

 Hubungan dialek/subdialek dengan bahasa yang menurunkannya;


 Hubungan antardialek/subdialek itu satu sama lain, dan;
 Hubungan antardialek/subdialek itu dengan dialek/subdialek dari bahasa lain yang
mungkin bisa membentuk jati diri dialek/subdialek dari bahasa yang diteliti.
Dari aspek sinkronis sendiri pengkajiannya disasarkan pada upaya-upaya:
 Pendeskripsian tentang perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat dalam bahasa
yang diteliti
 Pemetaan unsur-unsur kebahasaan yang berbeda itu
 Penentuan isolek sebagai dialek atau subdialek dengan berpijak pada unsur-unsur
kebahasaan yang berbeda, yang sudah di deskripsikan dan dipetakan itu
 Membuat deskripsi yang berkaitan dengan pengenalan dialek atau subdialek melalui
pendeskripsian ciri-ciri morfologis, fonologis, sintaksis dan leksikal
D. Pemetaan dan rekonstruksi bahasa

Peta bahasa dalam dialektologi, khususnya dialek geografis memiliki peran yang cukup
penting. Peran itu berkaitan dengan upaya memvisualisasikan data lapangan ke dalam bentuk
peta, agar data itu tergambar dalam perspektif yang bersifat geografis serta memvisualisasikan
pernyataan-pernyataan umum yang dihasilkan berdasarkan distribusi geografis perbedaan-
perbedaan (unsur kebahasaan) yang lebih dominan dari wilayah ke wilayah yang dipetakan.
Peran peta sebagai alat visualisasi dimaksudkan bahwa dengan peta itu dapat diamati secara
kasat mata distribusi geografis mengenai hal-hal yang menjadi isi peta peragaan dan peta
penafsiran.
Ada dua jenis peta yang digunakan dalam dialektologi yaitu:
1. Peta peragaan (display maps) yaitu peta bahasa yang berisi tabulasi data dari tempat
penelitian dengan tujuan supaya data tersebut dapat digambarkan secara geografis.
2. Peta tafsiran (interpretive maps) yaitu peta bahasa yang mencoba membuat pernyataan
yang lebih umum dengan menunjukkan distribusi variasi dari satu wilayah ke wilayah
lain. Perbedaan antara peta peragaan dan peta tafsiran yaitu jika peta tafsiran terdapat
garis isoglos yang menunjukkan variasi-variasi bahasa atau dialek, sedangkan peta
peragaan tidak terdapat garis isoglos.
Pengisian data lapangan pada peta peragaan menurut Ayatrohaedi (1983: 53) dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

1. Sistem langsung
Sistem langsung adalah cara membuat peta dengan cara memindahkan secara
langsung unsur bahasa yang memiliki variasi ke dalam sebuah peta. Cara ini
dipandang lebih mudah dan efektif, tetapi kadang kala sulit untuk dilakukan.
Kesulitan dalam hal ini jika lokasi penelitian sangat luas atau setiap leksikonnya
memiliki variasi yang banyak di satu tempatnya.
2. Sistem lambang
Sistem lambang yaitu cara membuat peta dengan cara mengganti poin-poin yang
berbeda diganti menjadi sebuah lambang. Lambang untuk mengganti poin-poin yang
berbeda harus diberi keterangan di sisi sebelah kanan peta lokasi penelitian.
3. Sistem petak
Sistem petak yaitu cara membuat peta dengan cara mengelompokkan titik-titik
penelitian yang memiliki bahasa atau dialek yang sama digambarkan dalam satu garis
atau arsiran yang sama, jika penggunaan bahasa atau dialek yang berbeda maka
arsirannya juga berbeda. Terdapat tiga cara membuat peta dengan sistem petak, yaitu
petak langsung, petak warna dan petak garis. Petak langsung seperti peta biasa. Petak
warna yaitu setiap petak diberi warna tertentu yang sudah dipilih untuk
menggambarkan titik-titik penelitian tersebut. Petak garis seperti peta pada umumnya.
A. Pemetaan

Pemetaan bahasa dimulai dengan mengidentifikasi (tentatif) tingkat


heterogenitas/homogenitas kondisi kebahasaan di daerah. Identifikasi tersebut dilanjutkan
dengan penentuan sampel lokasi penelitian atau daerah pengamatan (DP) yang memenuhi
persyaratan. Berdasarkan hal itulah dilakukan pembuatan peta dasar, penomoran DP, dan
penentuan informan.

1. Pembuatan peta dasar


Menurut Sendow dan Longdong (2012), pembuatan peta dasar harus memperhatikan
efisiensi yang disesuaikan dengan persyaratan untuk peta yang akan dibuat. Pembuatan
peta dasar harus memperhatikan cara-cara penggambaran. Sementara itu, ketelitian peta
juga perlu dilakukan terkait dengan ketepatan, keterperincian, dan kelengkapan data
dan/atau informasi georeferensi dan tematik. Tingkat ketelitian peta untuk penataan ruang
wilayah ditentukan dan berdasarkan pada skala minimal yang diperlukan untuk
merekonstruksi informasi pada peta di muka bumi. Setelah membuat peta dasar,
ditorehkan bingkai peta. Penorehan bingkai peta bertujuan untuk membatasi hal-hal yang
terdapat dalam peta. Berikut adalah contoh peta dasar dengan bingkai peta.
2. Penomoran
Penomoran diterapkan dalam peta dasar yang telah dibuat. Model penomoran yang
digunakan dapat bervariasi: dari bawah ke atas, dari atas ke bawah, dari kiri ke kanan,
dari kanan ke kiri, dll. Berikut adalah contoh salah satu model penomoran (penomoran
secara vertikal) yang disesuaikan dengan urutan nomor.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan peta, baik peta fonologis maupun peta
leksikal adalah sebagai berikut.

1. Penyeragaman pembuatan peta dilakukan dengan sistem petak/arsiran (apabila dalam


satu makna hanya terdapat satu bentuk realisasi pada tiap-tiap DP) dan dengan sistem
petak dan lambing (apabila dalam satu makna terdapat lebih dari satu bentuk
realisasi). Hal itu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih garis arsiran dalam peta.
2. Pada peta yang salah satu bentuk realisasinya mempunyai daerah sebaran terluas,
tidak perlu diberi arsiran (dibiarkan kosong). Namun, daerah sebaran itu tetap diberi
tanda dalam legenda. Tanda tersebut dapat berupa angka dari salah satu DP sebagai
daerah yang mewakili untuk daerah-daerah lain yang polanya sama atau diberi tanda
kotak kosong (tanpa garis arsiran).
3. Setiap peta diberi nomor di bagian atasnya. Misalnya ‘Peta 1’, Peta 2’, dan “Peta 3’
lalu disertai dengan kaidahnya (apabila merupakan peta fonologis) atau langsung
ditulis maknanya (apabila merupakan peta leksikal).
4. Pada peta fonologis (khususnya untuk data korespondensi) setelah penulisan contoh
data dalam legenda, dicantumkan pula kata dan lain-lain (dll.). Hal itu dimaksudkan
untuk mengantisipasi apabila ada data lain dengan pola perubahan bunyi yang sama,
tetapi tidak dimasukkan ke dalam peta karena tidak termasuk dalam daftar
tanyaan/instrumen penjaringan data. Selain itu, hal itu dimaksudkan apabila ada data
yang jumlahnya cukup banyak tetapi tidak dimasukkan ke dalam legenda secara
keseluruhan.
5. Menuliskan makna di samping contoh data yang tercantum dalam legenda.
6. Agar terdapat keseragaman bentuk lambang dalam peta, contoh lambang yang dapat
digunakan adalah sebagai berikut.
● : bulat penuh
○ : bulat kosong
■ : bujur sangkar penuh
□ : bujur sangkar kosong
▲ : segitiga penuh
▼ : segitiga terbalik penuh
ǁ : pagar
≈ : gelombang, dll.

Dalam kaitan dengan pemetaan, terdapat tiga hal yang mengakibatkan pemetaan tidak
dapat dilakukan secara maksimal, yaitu sebagai berikut.

1. Pemetaan sistem petak dengan pemanfaatan warna, terdapat beberapa bahasa yang
terlihat memiliki kesamaan karena gradasi antarwarna yang tersedia sangat kecil.
Jumlah warna yang dapat diciptakan lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah
bahasa yang teridentifikasi
2. Banyaknya daerah pakai isolek yang belum dijangkau sebagai sampel penelitian me-
ngakibatkan pemanfaatan sistem interpolasi menghasilkan poligon yang seolah-olah
menunjukkan daerah itu sudah diidentifikasi sebagai daerah pakai bahasa tertentu.
3. Status isolek yang tersajikan dalam peta adalah isolek yang sudah diidentifikasi
sebagai bahasa, sedangkan variasi dialektalnya belum disajikan.
B. Rekonstruksi bahasa dalam dialektologi

Rekonstruksi bahasa merupakan upaya penyusunan kembali sosok bahasa purba yang
menurunkan isolek-isolek yang modern, yang digunakan oleh penutur-penutur pada masa
sekarang. Patut ditekankan di sini bahwa rekonstruksi bahasa purba dalam dialektologi sangat
diperlukan terutama berkaitan dengan penjelasan sejarah yang dialami oleh bahasa itu setelah
pecah dari protobahasanya. Persoalan bagaimana pola penyebaran bahasa itu sehingga
membentuk dialek-dialeknya, mana diantara dialek-dialeknya yang lebih inovatif dan konservatif
akan dapat dijelaskan melalui hasil rekonstruksi bahasa purbanya.
Rekonstruksi bahasa dalam dialektologi dapat memberi kejelasan tentang hubungan
kekerabatan antara dialek/subdialek yang diturunkan dari satu bahasa induk serta dapat diketahui
meskipun secara teoritis-hipotesis tentang sosok bahasa purba yang menurunkan
dialek-dialek/subdialek-subdialek tersebut. Selain itu, dari sudut jangkauan dialektologi
diakronis, yang mencoba menelusuri dialek-dialek/subdialek-subdialek atau daerah-daerah
pengamatan yang inovatif dan konservatif, maka rekonstruksi bahasa dalam dialektologi mutlak
diperlukan. Kita dapat mengetahui dialek/subdialek atau daerah pengamatan tertentu lebih
inovatif atau konservatif dari yang lainnya melalui penelusuran evidensi pewarisan etimon
bahasa purba yang telah direkonstruksi tersebut (prabahasanya).

E. Inovasi dan relik

Ciri-ciri unsur inovasi dalam linguistic komperatif, yaitu

 Unsur itu merupakan unsur yang sama sekali baru,yang tidak memiliki kognat dalam
bahasa lain.
 Unsur itu memiliki kesamaan dalam bahasa lain
 Unsur itu memiliki kognat dalam bahasa lain karena pewarisan dari protobahasa yang
sama.

Tiga sikap penutur dialek atau subdialek dalam memandang isolek sendiri maupun
penutur lainnya.

 Penutur isolek itu memandang bahwa sistem isoleknya kurang berprestise, yang
diikuti oleh pandangan yang memandang isolek penutur lainnya lebih berprestise.
 Penutur isolek memandang sistem isoleknya kurang berprestise dan atau diikuti oleh
pandangan bahwa kebaruan sistem isolek baik.
 Penutur isolek itu memandang sistem isoleknya kebih berprestise dan memandang
rendah isolek penutur lain.
Unsur relik dalam dialektologi merupakan upaya penelusuran evidensi pewarisan etimon
bahasa purba dalam dialek atau subdialek bahasa yang diteliti.

F. Beberapa metode dalam penelitian dialektologi


1. Metode simak beserta Teknik-tekniknya
Metode ini disebut sebagai metode simak sebab pengolahan atau penyediaan
setiap datanya diperoleh dengan cara menyimak penggunaan bahasa. Istilah menyimak
disini tidak serta merta hanya mengarah pada penggunaan bahasa secara lisan semata,
namun juga secara tulisan. Dalam metode simak tersebut, teknik sadap menjadi teknik
dasar sehingga penyimakan direalisasikan atau diwujudkan dalam bentuk penyadapan.
Teknik sadap ini menjadi upaya bagi para peneliti untuk dapat menyadap penggunaan
bahasa seseorang/informan. Untuk penyadapan dalam bentuk lisan, maka penyadapan
tersebut akan difokuskan pada sosok informan yang sedang berbicara, sedangkan dalam
bentuk tulisan, perolehan data berasal dari bahasa dalam bentuk cetak atau bahasa tulis
berupa naskahnaskah kuno, teks narasi, dan lain sebagainya.
Setelahnya, teknik sadap dilanjutkan dengan teknik catat dan teknik rekam. Kedua
teknik tersebut dapat dipakai secara bersamaan jika penggunaan bahasa berwujud lisan,
sedangkan jika berbentuk tulisan maka teknik yang dipakai hanya teknik catat saja.
Dibalik itu, metode simak berperan penting dalam penelitian dialektologi karena metode
simak tersebut berfungsi untuk mengecek kembali penggunaan bahasa yang diperoleh
dari hasil metode cakap. Sebab dalam penelitian dialektologi, terkadang ada beberapa
informan yang malu dengan isoleknya sehingga malah menerangkan suatu bentuk yang
lebih berprestise atau dialek standar sehingga untuk mengatasi hal tersebut maka
diperlukan metode simak dengan cara menyadap penggunaan bahasa para informan
tampa sepengetahuan mereka.
 Beberapa catatan ihwal penggunaan metode penyediaan data
Disini terdapat beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam penggunaan
teknikteknik dari metode tersebut. Seperti untuk teknik cakap semuka, peneliti dapat
langsung mengetahui kondisi geografis setiap daerah pengamatan yang berperan bagi
perkembangan isolek. Begitu pula dengan teknik catat, peneliti dapat langsung
mencatat hal yang berkaitandalam membedakan bunyi dengan langsung
memperhatikan organ-organ penghasil bunyi tersebut. Selanjutnya, teknik rekam
menjadi pelengkap dari teknik catat, yaitu dengan cara menjadi penyedia bahan untuk
pengecakan bahan-bahan yang telah dicatat. Hal lain yang perlu diperhatikan yang
berhubungan dengan pelaksanaan tahapan penyediaan data adalah yang berkaitan
dengan:
1. Satuan daerah pengamatan
Sebelum membahas kriteria dalam pemilihan daerah pengamatan, perlu
diketahui terlebih dahulu daerah pengamatannya. Jadi, daerah pengamatan
tersebut adalah kesatuan wilayah distribusi yang secara geografis tidak terputus
dan secara linguistic memperlihatkan pemakaian isolek yang agak homogen, dari
daerah tersebut dijadikan sebagai tempat pengambilan data penggunaan bahasa
secara lisan. Adapun kriteria administrasi yang digunakan pada daerah
pengamatan, kriteria tersebut mencakup RT, RW, Dusun, dll. Cara yang dapat
digunakan dalam pemilihan daerah pengamatan yaitu kuantitatif dan kualitatif.
Kriteria daerah pengamatan secara kualitatif, yaitu:
a) Daerah pengamatan tidak berdekatan atau bertetangga dengan kota besar/pusat;
b) Daerah pengamatan mobilitas (penduduknya) rendah;
c) Maksimal memiliki penduduk sebanyak 6000 jiwa; dan
d) Daerah pengamatan berusia minimal 30 tahun.
Kriteria tersebut memiliki tujuan agar dapat menemukan unsur asli sebuah
bahasa dan hal tersebut akan bermanfaat untuk upaya merekontruksi
prabahasanya dan upaya penelusuran dialek/subdialek yang inovatif dan
konservatif.
2. Daftar pertanyaan
Penyusunan daftar pertanyaan untuk penelitian dialektologi diakronis
selalu didasarkan pada dua hal:
 Aspek kajian dialektologi diakronis (aspek sinkronis dan aspek diakronis)
 Bidang kebahasaan yang ingin dideskripsikan perbedaan-perbedaannya
(fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantic)

Kemudian, dari segi bidang kebahasaan yang menjadi Objek kajiannya


dapat dikemukakan, bahwa daftar pertanyaan hendaknya memuat beberapa
bidang kebahasaan, di antaranya:
 Fonologi
Untuk bidang ini daftar pertanyaan hendaknya dapat menjaring data
kebahasaan guna pendeskripsian aspek-aspek fonologis isolek yang diteliti,
seperti jumlah, jenis, dan distribusi fonem.
 Morfologi
Untuk bidang ini daftar pertanyaan hendaknya dapat menjaring data-data
kebahasaan yang dapat memberikan gambaran mengenai perbedaan
dialectal/subdialektal dalam hal: afiks-afiks yang digunakan dalam proses
pembentukan kata, tipe reduplikasi yang juga digunakan dalam proses
pembentukan kata, dan morfofonemik
 Sintaksis
Daftar pertanyaan untuk bidang sintaksis biasanya berupa frasa, klausa,
kalimatkalimat dan juga cerita-cerita pendek. Peneliti membuat frasa atau
kalimat-kalimat dalam bahasa tertentu, kemudian informan diminta untuk
mencari padanannya dalam isoleknya; sedangkan untuk cerita pendek
informan diminta untuk bercerita tentang kondisi sosial atau alam tempat
mereka tinggal dan lain-lain yang kemudian direkam.
 Leksikon
Dalam menyusun daftar pertanyaan, khususnya bidang leksikon adalah
menyusun daftar pertanyaan itu dalam urut-urutan. Daftar pertanyaan
hendaknya disusun meurut medan makna. Hal ini dimaksudkan, di samping
dapat memfokuskan pikiran informan pada suatu topic pembicaraan ketika
pertanyaan-pertanyaan itu diajukan, juga dapat membantu analisis dalam
melihat medan makna yang cukup representative bagi pemilahan isolek
menjadi dialek/subdialek.
 Semantic
Pertanyaan yang menyangkut bidang semantic bertitik tolak pada bentuk.
Jadi, yang ingin diketahui adalah perbedaan makna yang terdapat pada satu
bentuk di antara daerahdaerah pengamatan. Penyusunan daftar pertanyaan
dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa ibu, bahasa daerah setempat,
atau bahasa nasional. Untuk melengkapi daftar pertanyaan dapat pula
dilakukan dengan membawa gambar, benda atau meniru gerak bunyi tentang
konsep yang ditanyakan. Bagi bentuk yang tidak menggunakan gambar, tidak
dapat ditiru dapat dilakukan dengan konteks: ajektif+nomina.
2. Metode analisis isolek sebagai dialek dan subdialek
Cukup banyak metode yang dapat digunakan dalam analisis isolek-isolek sebagai
bahasa, dialek, atau subdialek dalam kajian dialektologi, di antaranya:
a. Metode pemahaman timbal balik
b. Metode leksikostatistik
c. Metode dialektometri
d. Metode hormals
e. Metode berkas isoglos

 Metode berkas isogloss


Isoglos adalah sebuah garis imajiner yang diterakan di atas sebuah peta. Isoglos
(garis imajiner) mungkin dapat disejajarkan dengan garis lintang dan garis bujur pada
sebuah globe. Garis-garis ini saling berkaitan dan berfungsi sebagai penentuan musim
dan waktu yang berlaku di setiap belahan dunia. Isoglos dapat memberikan gambaran
daerahdaerah mana yang menggunakan unsur-unsur kebahasan yang serupa. Isoglos
juga membantu upaya melokalisasi suatu konsep budaya tertentu, sejauhg konsep itu
masuk dalam bahasa. Kumpulan dari beberapa isoglos yang membentuk satu berkas
disebut sebagai berkas isoglos (bundle of isglosses). Dengan demikian, dapat
didefinisikan bahwa yang dimaksud dengan metode berkas isoglos dalam penilitian
dialektologi adalah metode pemilahan isolek atas dialek dan subdialek dengan
mempertimbangkan kuantitas dan kualitas isoglos-isoglos yang mempersatukan serta
membedakan daerah-daerah pengamatan. Kuantitas isoglos menyangkut jumlah
isoglos yang membentuk berkas isoglos. Sedangkan kualitas menyangkut status
dalam berkas isoglos yang berupa isoglos korespondensi.
Kelemahan-kelemahan metode berkas isoglos:
1. Isoglos tidak menghasilkan deskripsi struktur secara distribusional karena
isoglosisoglos membedakan satu kelompok dan kelompok lainnya.
2. Pemilihan isoglos-isoglos bersifat manasuka dan berdasarkan kaidah yang
ekstralinguistis.
Manfaat metode berkas isoglos yang berhubungan dengan kajian dialektologi bersifat
diakronis
1. Penentuan kadar kuantitas isoglos-isoglos yang membagi daerah pengamatan ke
dalam daerah dialek atau subdialek dapat menghindari kemanasukaan pemilihan
isoglosisoglos tersebut dalam penentuan dialek atau subdialek.
2. Penentuan kadar kualitas isoglos-isoglos yang membagi daerah pengamatan ke
dalam daerah deialek subdialek dapat menghindari sikap penyamaratan isoglos-
isoglos yang memang memiliki perbedaan, seperti perbedaan antara isglos
korespondensi dengan isoglos variasi
3. Kajian diakronis dalam dialektologi dapat mengungkapkan informasi-informasi
yang terkandung dalam isoglos-isoglos yang berada di luar ikatan, yang tidak
memainkan peran yang penting dalam pemilahan isolek menjadi dialek atau
subdialek. Patut dicatat isoglos yang berada di luar ikatan memang kurang penting
dalam pemilahan isolek, tetapi penting dalam penentuan sejarah dialek atau subdialek
itu.
3. Metode rekonstruksi prabahasa
Metode yang digunakan adalah metode padan intralingual (PI) dan metode padan
ekstralingual (PE). Metode PI digunakan jika yang direkonstruksi adalah etimon bentuk
prabahasanya, sedangkan metode PE digunakan jika yang direkonstruksi adalah unsur
makna parabahasanya. Selanjutnya, kedua metode ini memiliki teknik lanjutan, yaitu
hubung banding menyamakan (HBM), hubung banding membedakan (HBB), dan hubung
banding menyamakan hal pokok (HBMP).
Prinsip dasar dalam rekonstruksi prabahasa:
1. Menentukan hubungan kekerabatan antara dialek-dialek bahasa yang diteliti.
2. Mengetahui kaidah perubahan bunyi yang terjadi pada masing masing
dialek/subdialek.
3. Memulai rekonstruksi dengan mengambil bentuk atau bunyi yang memiliki kesamaan
pada semua dialek.
4. Apabila dialek-dialak/subdialek-subdialek itu memperlihatkan penggunaan lebih dari
satu bentuk untuk satu makna, maka rekonstruksi dilakukun lebih dari satu etimon.
5. Apabila dalam bentuk evidensinya terdapat unsur morfofonemik, maka yang
direkonstruksi adalah morfem dasarnya.
6. Setiap korespondensi atau variasi bunyi harus direkonstruksi sebuah prafonem, kecuali
dua korespondensi atau variasi itu harus merupakan dua bunyi yang berbeda.
7. Setiap bunyi hanya direkonstruksi satu kali.
8. Setiap rekonstruksi harus ada prafonem.
4. Metode penentuan dialek yang inovatif dan konservatif
Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui apakah bentuk-bentuk yang
terdapat pada dialek, subdialek, atau daerah pengamatan itu sebagai bentuk-bentuk
inovasi atau bentuk yang diwarisi dari prabahasa atau disebut juga bentuk relik. Adapun
analisis kuantitatif digunakan sebagai kelanjutan analisis kualitatif yang bertujuan untuk
menentukan frekuensi munculnya bentuk-bentuk inovasi atau delik pada dialek,
subdialek, atau daerah pengamatan tertentu, yang pada gilirannya digunakan sebagai
dasar untuk mengkategorisasikannya sebagai dialek, subdialek, atau daerah pengamatan
yang inovatif atau konservatif. Dalam analisis kualitatif, metode PI memainkan peran
yang cukup penting. Hanya dengan mengetahui bahwa bentuk-bentuk itu berbeda dengan
bentuk-bentuk yang terdapat pada dialek atau bahasa lain dalam merealisasi makna yang
sama dapat ditentukan bahwa bentuk-bentuk tersebut adalah hasil inovasi internal.
Selanjutnya, analisis kuantitatif yang digunakan sebagai analisis lebih lanjut dalam
penentuan dialek atau subdialek yang inovatif dan konservatif dilakukan dengan
menghitung persentase kemunculan bentuk-bentuk yang telah ditentukan sebagai bentuk
yang inovatif dan relik tersebut.
Dialek, subdialek, atau daerah pengamatan yang memiliki persentase kemunculan
evidensi inovasi dan pemunculan bentuk relik lebih tinggi masing-masing disebut sebagai
dialek, subdialek, atau daerah pengamatan yang inovatif dan konservatif; sebaliknya yang
prosentase kemunculannya rendah, masing-masing disebut sebagai dialek, sub dialek,
atau daerah pengamatan yang kurang inovatif dan kurang konservatif.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dialektologi adalah ilmu yang memelajari seputar dialek atau variasi dalam lingkup
masyarakat tertentu dan didalamnya mencakup banyak metode penelitian dalam mengungkapkan
dialek tersebut. Istilah dialek itu sendiri berasal dari Bahasa Yunani, yaitu dialektos yang pada
mulanya dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan Bahasa Yunani pada masa itu. Oleh
karena itu, dialek merupakan sistem Bahasa yang digunakan oleh sekolompok masyarakat untuk
membedakan kelompok masyarakat lain. Untuk dapat memahami dengan baik mata kuliah ini
maka diperlukan ketekunan dan kerja keras dalam belajar, selain dari hal tersebut tentunya yang
utama adalah proses penggunaan teori-teori dialektologi ini di lingkungan sosial.

Anda mungkin juga menyukai