DIALEKTOLOGI
DISUSUN OLEH:
MUH. HUSAIN ALI AKBAR (F011201026)
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULAUN
A. Latar belakang………………………………………………………………………...…..1
B. Rumusan masalah…………………………………………………………………………1
C. Tujuan…………………………………………………………………………………..…1
BAB II PEMBAHASAN
Simpulan………………………………………………………………………………………....18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dialektologi adalah ilmu yang memelajari seputar dialek atau variasi dalam lingkup
masyarakat tertentu dan didalamnya mencakup banyak metode penelitian dalam mengungkapkan
dialek tersebut. Istilah dialektologi berasal dari bahasa Yunani, dialektos dan logos. Dialektos
merujuk pada sejumlah perbedaan kecil penggunaan bahasa di masyarakat Yunani. Sedangkan
logos berarti ilmu.
Dialektologi termasuk dalam studi linguistik. Dialektologi merupakan bagian dari
sosiolinguistik yang mempelajari tentang hubungan atau pengaruh bahasa dengan perilaku sosial
manusia. Untuk dapat memahami ilmu dialektologi ini maka diperlukan ketekunan dan kerja
keras dalam belajar. Sebagai mahasiswa sudah menjadi kewajiban kita untuk belajar, apalagi jika
mata kuaiah yang diprogramkan tersebut merupakan mata kuliah yang berpengaruh bagi jurusan
yang dipilih. Maka dari hal tersebut lah kami menyusun makalah ini, agar dapat meningkatkan
pemahaman akan mata kuliah dialektologi ini.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan dari latar belakang tersebut, maka untuk memudahkan penulis masalah yag
akan kami ambil adalah apa penjelasan yang anda dapat pahami selama perkuliahan mata kuliah
dialektologi berlangsung?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk dapat memahami dengan baik
mata kuliah dialektologi
BAB II
PEMBAHASAN
Dialektologi merupakan kajian tentang dialek atau dialek-dialek (chambers dan Trudgill).
Istilah dialek itu sendiri berasal dari Bahasa Yunani, yaitu dialektos yang pada mulanya
dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan Bahasa Yunani pada masa itu. Oleh karena
itu, dialek merupakan sistem Bahasa yang digunakan oleh sekolompok masyarakat untuk
membedakan kelompok masyarakat lain. Dalam penelitiannya, ruang lingkup dialektologi
dibatasi. Contohnya hanya befokus pada fonologi atau leksikon saja.
Adapaun ruang lingkup dialektologi, yaitu:
1. Fonologi
Artinya dialektologis berfokus untuk mencari tahu perbedaan suara atau pelafalan
ketika mengucapkan suatu bahasa.
2. Morfologi
Artinya dialektologi berfokus pada kata atau kalimat awalan, infiks, sufiks,
pronominal dan sebagainya.
3. Sintaksis
Artinya dialektologi berfokus pada bentuk kalimat atau frasa.
4. Semantic
Artinya dialektologi berfokus pada perbedaan makna dari kata atau kalimatnya.
A. Sejarah perkembangan ilmu bahasa
Pada bagian kedua abad ke-19 muncul sebuah aliran yang menamakan dirinya sebagai
Jung Grammatiker atau Neo-Grammarians, tokoh-tokohnya diantara lain: Karl Vermer, August
Leskien, Hermann Paul, dll. Kaum NeoGrammarian ini mengajukan sebuah teori yang disebu;
hukum bunyi tidak mengenal kekecualian. Menurut mereka, bahwa perubahan bunyi suatu
bahasa dari masa ke masa yang lain dalam perkembangan sejarahnya berlangsung secara teratur.
Untuk menguji kebenaran dari teori Neogrammarian, pada tahun 1876 Wenker
memutuskan untuk menguji teori tersebut dengan mencari batas geografi dari dialek Jerman
tinggi dan dialek Jerman rendah. Perbedaan mencolok dari kedua dialek tersebut adalah pada
dialek Jerman tinggi terjadi perubahan bunyi yang disebut gerakan konsonan kedua (The second
consonant shift). Sedangkan pada dialek Jerman rendah tidak terjadi perubahan bunyi tersebut.
Gerakan konsonan kedua adalah perumahan konsonan hambat tak bersuara yang meliputi fonem
p, t, dan k dari proto Jerman dalam dialek Jerman tinggi. Hasil dari penelitian Wenker itu
membuktikan bahwa tidak dijumpai garis pembatas yang membedakan kedua dialek tersebut,
malahan yang ditemukan adalah garis isoglos tersendiri yang menunjukkan pemakaian bentuk
yang berbeda. Garis isoglos tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa dialekyang mengalami
gerakan konsonan kedua secara tidak menyuruh. Salah satunya yaitu dialek yang terdapat di
daerah sungai Rhein, yang selanjutnya dikenal dengan the Rhents fan (kipas Rhein). Adanya
kenyataan di Jerman tersebut membuktikan bahwa kaidah perubahan bunyi tanpa kecuali yang
dikemukakan oleh kaum Neogrammarian tidak benar.
Di Perancis sendiri, Gilleron membuktikan bahwa unsur leksikon sebuah arti tidak
berkaitan satu sama lain. Sebuah contoh yang menarik adalah perubahan dari [-ll] ke [-t] pada
posisi akhir yang di jumpai di beberapa daerah pengamatan penelitian yang dilakukan Gilleron.
Berdasarkan pada kaidah ini, maka bentuk yang diharapkan muncul dari makna kata ‘ayam’
adalah refleks dari bahasa latin gallus yang seharusnya muncul bentuk gat. Namun justru yang
muncul adalah bentuk-bentuk:
Gallus, yang merupakan refleks dari bahasa latin gallus yang berarti ayam
Pullus, yang merupakan refleks dari bahasa latin pullus yang berarti binatang kecil
Faisan, kata yang berarti ‘ayam pegar’ (semacam binatang kecil)
Vicare, kata yang berarti pendeta, dan
Cog dari bahasa latin tahap akhir coccus, yang berarti ayam
Menurut Gilleron munculnya kata yang berbahaya untuk makna 'ayam' tersebut
disebabkan oleh perubahan bunyi itu yang mengakibatkan terjadinya gerakan homonim
(homonimyct conflict). Sehingga untuk menghindari hal tersebut maka terjadilah penggusuran
leksikal (lexical replacement) Tampak bahwa yang terjadi pada makna ‘ayam’ itu adalah
tabrakan homonim, karena telah ada bentuk gat, yang merupakan refleksi dari cattus untuk
makna’kucing’.
Studi yang dilakukan oleh Wenker di Jerman dan Gilleron di Prancis tersebut merupakan
studi yang sifatnya dialektologis. Sehingga dapat dikatakan bahwa studi dialektologi untuk
pertama kalinya muncul dalam rentang waktu yang berdekatan di dalam dua negara yang
berbeda, yaitu di Jerman pada tahun 1876 dan Perancis pada tahun 1880, yang yang di mana
kedua penelitian tersebut bersifat diakronis. Hanya saja terdapat perbedaan dalam dua penelitian
tersebut. Penelitian di Jerman diawali oleh motivasi untuk membuktikan hukum perubahan bunyi
yang diajukan kaum Neogrammarian. Sedangkan di Prancis penelitian itu diawali karena adanya
anjuran dari Gaston Paris pada tahun 1875 agar dilakukan penelitian dialek-dialek yang ada di
wilayah Perancis. Gaston juga mengusulkan untuk membuat peta fonetik untuk seluruh Prancis.
Pada akhir abad ke-19 para ahli bahasa yang berasal dari Jerman dan Perancis telah berhasil
membuat dua buah peta bahasa yang selanjutnya menjadi acuan dalam penelitian dialektologi
pada saat ini. Hal lain yang membedakan kedua penelitian ini adalah dari metode yang
digunakan. Penelitian dialektologi yang dilakukan di Jerman menggunakan metode cakap
tansemuka, yaitu dengan cara mengirimkan angket berisi 40 kalimat sederhana ke seluruh
wilayah kekuasaan Jerman. Sedangkan penelitian dialektologi yang dilakukan di Perancis
menggunakan metode cakap semula, yaitu dengan cara peneliti mendatangi seluruh
daerah/wilayah pengamatan yang telah ditentukan. Dengan dibantu oleh Edmorant, pada tahun
1897 Gilleron mulai melakukan penelitian di seluruh wilayah Perancis yang kurang lebih terdiri
dari 639 daerah pengamatan. Yang di mana setiap daerahnya dibebani dengan 1920 daftar
pertanyaan leksikal dan 100 buah kalimat.
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Wenker dan Gilleron tersebut masing-masing
menghasilkan peta bahasa. Yang selanjutnya kedua penelitian tersebut menjadi dasar studi
dialektologi selanjutnya.
Peta bahasa dalam dialektologi, khususnya dialek geografis memiliki peran yang cukup
penting. Peran itu berkaitan dengan upaya memvisualisasikan data lapangan ke dalam bentuk
peta, agar data itu tergambar dalam perspektif yang bersifat geografis serta memvisualisasikan
pernyataan-pernyataan umum yang dihasilkan berdasarkan distribusi geografis perbedaan-
perbedaan (unsur kebahasaan) yang lebih dominan dari wilayah ke wilayah yang dipetakan.
Peran peta sebagai alat visualisasi dimaksudkan bahwa dengan peta itu dapat diamati secara
kasat mata distribusi geografis mengenai hal-hal yang menjadi isi peta peragaan dan peta
penafsiran.
Ada dua jenis peta yang digunakan dalam dialektologi yaitu:
1. Peta peragaan (display maps) yaitu peta bahasa yang berisi tabulasi data dari tempat
penelitian dengan tujuan supaya data tersebut dapat digambarkan secara geografis.
2. Peta tafsiran (interpretive maps) yaitu peta bahasa yang mencoba membuat pernyataan
yang lebih umum dengan menunjukkan distribusi variasi dari satu wilayah ke wilayah
lain. Perbedaan antara peta peragaan dan peta tafsiran yaitu jika peta tafsiran terdapat
garis isoglos yang menunjukkan variasi-variasi bahasa atau dialek, sedangkan peta
peragaan tidak terdapat garis isoglos.
Pengisian data lapangan pada peta peragaan menurut Ayatrohaedi (1983: 53) dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1. Sistem langsung
Sistem langsung adalah cara membuat peta dengan cara memindahkan secara
langsung unsur bahasa yang memiliki variasi ke dalam sebuah peta. Cara ini
dipandang lebih mudah dan efektif, tetapi kadang kala sulit untuk dilakukan.
Kesulitan dalam hal ini jika lokasi penelitian sangat luas atau setiap leksikonnya
memiliki variasi yang banyak di satu tempatnya.
2. Sistem lambang
Sistem lambang yaitu cara membuat peta dengan cara mengganti poin-poin yang
berbeda diganti menjadi sebuah lambang. Lambang untuk mengganti poin-poin yang
berbeda harus diberi keterangan di sisi sebelah kanan peta lokasi penelitian.
3. Sistem petak
Sistem petak yaitu cara membuat peta dengan cara mengelompokkan titik-titik
penelitian yang memiliki bahasa atau dialek yang sama digambarkan dalam satu garis
atau arsiran yang sama, jika penggunaan bahasa atau dialek yang berbeda maka
arsirannya juga berbeda. Terdapat tiga cara membuat peta dengan sistem petak, yaitu
petak langsung, petak warna dan petak garis. Petak langsung seperti peta biasa. Petak
warna yaitu setiap petak diberi warna tertentu yang sudah dipilih untuk
menggambarkan titik-titik penelitian tersebut. Petak garis seperti peta pada umumnya.
A. Pemetaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan peta, baik peta fonologis maupun peta
leksikal adalah sebagai berikut.
Dalam kaitan dengan pemetaan, terdapat tiga hal yang mengakibatkan pemetaan tidak
dapat dilakukan secara maksimal, yaitu sebagai berikut.
1. Pemetaan sistem petak dengan pemanfaatan warna, terdapat beberapa bahasa yang
terlihat memiliki kesamaan karena gradasi antarwarna yang tersedia sangat kecil.
Jumlah warna yang dapat diciptakan lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah
bahasa yang teridentifikasi
2. Banyaknya daerah pakai isolek yang belum dijangkau sebagai sampel penelitian me-
ngakibatkan pemanfaatan sistem interpolasi menghasilkan poligon yang seolah-olah
menunjukkan daerah itu sudah diidentifikasi sebagai daerah pakai bahasa tertentu.
3. Status isolek yang tersajikan dalam peta adalah isolek yang sudah diidentifikasi
sebagai bahasa, sedangkan variasi dialektalnya belum disajikan.
B. Rekonstruksi bahasa dalam dialektologi
Rekonstruksi bahasa merupakan upaya penyusunan kembali sosok bahasa purba yang
menurunkan isolek-isolek yang modern, yang digunakan oleh penutur-penutur pada masa
sekarang. Patut ditekankan di sini bahwa rekonstruksi bahasa purba dalam dialektologi sangat
diperlukan terutama berkaitan dengan penjelasan sejarah yang dialami oleh bahasa itu setelah
pecah dari protobahasanya. Persoalan bagaimana pola penyebaran bahasa itu sehingga
membentuk dialek-dialeknya, mana diantara dialek-dialeknya yang lebih inovatif dan konservatif
akan dapat dijelaskan melalui hasil rekonstruksi bahasa purbanya.
Rekonstruksi bahasa dalam dialektologi dapat memberi kejelasan tentang hubungan
kekerabatan antara dialek/subdialek yang diturunkan dari satu bahasa induk serta dapat diketahui
meskipun secara teoritis-hipotesis tentang sosok bahasa purba yang menurunkan
dialek-dialek/subdialek-subdialek tersebut. Selain itu, dari sudut jangkauan dialektologi
diakronis, yang mencoba menelusuri dialek-dialek/subdialek-subdialek atau daerah-daerah
pengamatan yang inovatif dan konservatif, maka rekonstruksi bahasa dalam dialektologi mutlak
diperlukan. Kita dapat mengetahui dialek/subdialek atau daerah pengamatan tertentu lebih
inovatif atau konservatif dari yang lainnya melalui penelusuran evidensi pewarisan etimon
bahasa purba yang telah direkonstruksi tersebut (prabahasanya).
Unsur itu merupakan unsur yang sama sekali baru,yang tidak memiliki kognat dalam
bahasa lain.
Unsur itu memiliki kesamaan dalam bahasa lain
Unsur itu memiliki kognat dalam bahasa lain karena pewarisan dari protobahasa yang
sama.
Tiga sikap penutur dialek atau subdialek dalam memandang isolek sendiri maupun
penutur lainnya.
Penutur isolek itu memandang bahwa sistem isoleknya kurang berprestise, yang
diikuti oleh pandangan yang memandang isolek penutur lainnya lebih berprestise.
Penutur isolek memandang sistem isoleknya kurang berprestise dan atau diikuti oleh
pandangan bahwa kebaruan sistem isolek baik.
Penutur isolek itu memandang sistem isoleknya kebih berprestise dan memandang
rendah isolek penutur lain.
Unsur relik dalam dialektologi merupakan upaya penelusuran evidensi pewarisan etimon
bahasa purba dalam dialek atau subdialek bahasa yang diteliti.