Anda di halaman 1dari 4

1.

Perkembangan Semantik

Semantik muncul pada abad ke-19. Pada tahun 1825, seorang pakar linguistik
berkebangsaan Jerman, C. Reisig, mengemukakan pendapatnya tentang tatabahasa
(grammar). Dalam Pateda (2001) Reisig membagi tatabahasa menjadi tiga bagian
utama, yaitu (1) semasiologi, ilmu tentang tanda, (2) sintaksis, studi tentang kalimat,
dan (3) etimologi, studi tentang asal usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk
maupun makna. Istilah semasiologi yang berasal dari Reisig ini berpadanan
dengan istilah semantik. Pada saat itu, istilah semantik masih belum digunakan
meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan.
Berdasarkan pandangan Reisig ini, perkembangan semantik dapat dibagi atas
tiga fase, antara lain :
a. Fase pertama, meliputi masa setengah abad, fase ini disebut the underground
period of semantics. Pada fase pertama juga meliputi kegiatan Reisig.
b. Fase kedua, awal tahun 1883 (dalam buku Pateda, 2001 disebutkan awal tahun
1880) dimulai dengan munculnya buku karya Michel Breal, seorang
berkebangsaan Perancis lewat artikelnya berjudul Les Lois Intellectuelles du
langage. Pada fase kedua, studi semantik lebih banyak berkaitan dengan unsur-
unsur di luar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang
perubahan makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi maupun
kriteria lainnya.
c. Fase ketiga, yakni tiga dekade pertama abab XX merupakan masa pertumbuhan
studi tentang makna. Fase ini ditandai dengan pemunculan buku berjudul
Meaning and Change of Meaning with Special Reference to the English Language
(1931) karya filosof Swedia bernama Gustaf Stern yang sudah melakukan studi
makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris.
Pada tahun 1916, Ferdinand de Saussure yang sering disebut sebagai bapak
linguistik modern berpendapat bahwa linguistik perlu difokuskan pada keberadaan
bahasa pada waktu tertentu. Maka dari itu, studi bahasa yang dilakukan haruslah
menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif sedangkan
studi tentang sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang
menggunakan pendekatan diakronis. Pandangan de Saussure tersebut berimplikasi
pada studi semantik yang dicirikan menjadi beberapa macam, yaitu :
a. Pandangan yang bersifat historis telah ditinggalkan karena pendekatannya
sinkronis, meskipun masalah perubahan makna masih juga dibicarakan.
b. Perhatian diarahkan pada strukutr kosa kata.
c. Semantik dipengaruhi oleh stilistika.
d. Studi semantik telah diarahkan pada bahasa tertentu dan tidak bersifat umum lagi.
e. Dipelajari hubungan antara bahasa dan pikiran karena bahasa tidak dianggap
sebagai kekuatan yang menentukan dan mengarahkan pikiran.
f. Meskipun semantik telah melepaskan diri dari filsafat, namun tidak berarti bahwa
filsafat tidak dapat membantu perkembangan semantik.
Saussure mengungkapkan bahwa bahasa terdiri dari suatu tanda (signs) yang
merupakan satu keatuan dari penanda atau bagian bunyi ujaran (significant) dengan
tertanda atau bagian arti (signifie). Setiap tanda tidak dapat dipisahkan karena ucapan
atau maknanya ditentukan oleh perbedaan dengan tanda-tanda yang terdapat dalam
sistemnya. Tanpa sistem yang ada dalam sutau bahasa, kita tidak mempunyai
landasan untuk membicarakan bunyi atau konsep/arti (anaksastra.blogspot.com,
2009).

2. Hubungan semantik dengan llmu lain: Semantik dan filsafat, Semantik dan filologi,
Semantik dan antropologi serta sosiologi, Semantik dan sastra, Semantik dan
linguistik, dan Semantik dan pragmatik.

1) Hubungan Semantik dan Filsafat.


Filsafat merupakan ilmu mengenai hakikat pengetahuan, kearifan, realitas,
serta kebenaran. Hubungan antara filsafat dan semantik terlihat dalam aktivitas
berfilsafat yang memerlukan bahasa sebagai media proses berpikir dan
menyampaikan hasil berpikir tersebut. pertemuan antara semantik dan filsafat akan
melahirkan Filsafat Bahasa.

Menurut Kalean (2002) dalam kajian Filsafat Bahasa dikemukakan bahwa bahasa
yang kita gunakan sehari-hari banyak mengandung setidaknya lima kelemahan, antara
lain :
a. Kekaburan arti (vagueness).
b. Kemaknagandaan (ambiguity).
c. Ketidakterangan atau ketidakjelasan (inexpleccitness).
d. Tergantung pada konteks (context dependent).
e. Menyesatkan (misleadingless).

Oleh karena hal-hal yang telah disebutkan di atas, Muntasyir (1987: 7)


menyatakan bahwa bahasa perlu disusun suatu kriteria logis yang dapat menentukan
apakah suatu ungkapan mengandung makna (meaningfull) atau tidak bermakna
(meaningless). Apabila berfilsafat dimaknai sebagai aktivitas berpikir, maka bahasa
dan pikiran akan memmiliki hubungan timbal balik. Pikiran mempengaruhi bahasa
dan juga sebaliknya. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat berpikir atau menangkap
kesan dan membentuk sebuah gagasan serta tidak akan memahami apa yang dibaca,
apa yang dilihat, dan apa yang diamati. Oleh karena itu, realitas hanya dapat
terungkap ketika realitas tersebut terekspresikan dalam bahasa.

2) Hubungan Semantik dan Filologi

3) Hubungan Semantik dan Antropologi serta Sosiologi


Antropologi dan Sosiologi sama-sama mengkaji fenomena sosial dan kultural
pada suatu masyarakat. Dalam setiap budaya pastinya terdapat suatu perbedaan,
seperti bahasa. Contohnya penggunaan kata gedang yang bagi masyarakat jawa
berarti pisang, sedangkan bagi masyarakat sunda kata tersebut memiliki arti pepaya.
Hubungan antara semantik dan sosiologi akan melahirkan ilmu baru, yaitu
sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan ilmu yang melihat makna dari sudut
pandang sosiologis. Sosiolinguistik mengkaji bahasa yang biasa digunakan sehari-hari
oleh suatu masyarakat tertentu. Kajian-kajian tersebut biasanya difokuskan pada
masyarakat bahasa, alih kode dan ganti kode, pembakuan bahasa, dan pembinaan
bahasa.

4) Hubungan Semantik dan Sastra


Penggunaan bahasa yang terdapat dalam suatu karya sastra bersinggungan
dengan semantik.
Sastra merupakan karya fiksi yang menggunakan bahasa sebagai media penyampai
pesannya. Beda halnya dengan bahasa ilmiah dan bahasa sehari-hari, bahasa sastra
merupakan salah satu bentuk idiosyncratic, yaitu kata-kata yang digunakan adalah
hasil kreasi ekspresi penulisnya sehingga dalam suatu karya sastra ditemukan banyak
penggunaan yang masih asing bagi penikmat karya sastra. Namun pemilihan bahasa
oleh pencipta karya sastra membuat sebuah karya sastra menarik dibaca dan
dimaknai contohnya penggunaan bahasa metaforis dan alegoris.
Bahasa sastra memiliki dua lapis, yakni (1) lapis bunyi atau bentuk, dan (2)
lapis makna. Pada tataran lapis makna, ada beberapa strata makna, yaitu (a) makna
literal, (b) dunia rekaan pengarang, (c) dunia dari sudut pandang tertentu, dan (d)
pesan metafisis. Seorang memerlukan ilmu semantik sebagai bekal awal sebelum
mengetahui ilmu-ilmu lain seperti semiotika, stilistika, dan hermeneutika. Maka
dengan ilmu semantik, kita akan mengetahui makna yang disampaikan oleh pencipta
karya sastra.

5) Hubungan Semantik dan Linguistik


6) Hubungan Semantik dan Pragmatik

TOPIK 2

1. Penamaan dan Pendefinisian


Dalam kehidupan sehari-hari, mudah bagi kita menghubungkan nama dengan
benda yang kita maksudkan. Dengan kata lain, untuk nama benda tidak susah untuk
kita menghayati. Misalnya, kalau orang mengatakan kursi, pasti kita tahu apa yang
dimaksudkan dengan kata kursi. Kita boleh menunjuk salah satu benda yang terdapat
di sekitar kita yang namanya kursi, meskipun wujudnya berbeda-beda.

Penamaan dalam semantik ini ada 8 penyebab yaitu:


1) Peniruan bunyi; contohnya „tokek‟ disebut demikian karena bunyi hewan tersebut
adalah „tokek-tokek‟. Penamaan sesuatu berdasarkan peniruan bunyinya disebut
Onomatope.
2) Penyebutan bagian; contoh “Ibu membeli empat ekor ayam”, yang dimaksud
kalimat tersebut pastilah bukan hanya ekor ayamnya saja yang dibeli ibu, tetapi
ayam secara keseluruhan.
3) Penyebutan sifat khas; contoh „si kerdil‟ karena anak tersebut tetap berbadan
kecil, tidak tumbuh menjadi besar.
4) Penemu dan pembuat; contoh „Aqua‟ dan „kodak‟, kalau kita mau membeli air
minum dalam kemasan, pasti kita akan berkata, “Pak, beli Aqua satu botol.”
Padahal di toko tersebut tidak ada air minum kemasan bermerek Aqua. Demikian
juga dengan „Kodak‟ yang merupakan nama merek sebuah kamera.
5) Tempat asal; contoh kata „magnet‟ berasal dari nama tempat Magnesia, nama
burung „kenari‟ diambil dari asal burung itu berada yaitu Pulau Kenari di Afrika,
ikan „sarden‟ berasal dari Pulau Sardinia di Italia. Ada juga nama piagam atau
perjanjian-perjanjian besar seperti „Piagam Jakarta‟ karena tempatnya di Jakarta,
„Perjanjian Linggarjati‟ karena pelaksanaan perjanjian tersebut di Linggarjati.
6) Bahan; contoh nama karung „goni‟ karena bahan karung tersebut dari goni, dan
„bambu runcing‟ karena benda tersebut terbuat dari bambu dan ujungnya
runcing.
7) Keserupaan; perhatikan contoh „kaki‟, „kaki gunung‟, „kaki kursi‟, dan „kaki
meja‟, hal yang sama dari empat contoh tersebut adalah letaknya, di mana letak
kaki selalu ada di bawah. Contoh lain misalnya „kepala‟, „kepala masinis‟,
„kepala sekolah‟, dan „kepala surat‟, hal yang sama pada kata-kata tersebut yaitu
letaknya, di mana letak kepala selalu berada di atas, „kepala surat‟ selalu
diletakkan di bagian atas.
8) Pemendekan; contoh „UPI‟ menjadi nama sebuah universitas negeri di Bandung,
padahal namanya bukan UPI, tetapi Universitas Pendidikan Indonesia. Contoh
lain yaitu „cireng‟ yang menjadi nama sebuah makanan ringan, „cireng‟
merupakan kependekan dari „aci digoreng‟.

Penamaan perlu dibedakan dengan pendefinisian, juga dengan istilah. Definisi


atau istilah berisi pembatasan tentang suatu fakta, peristiwa, benda, proses, misalnya
kita ingin memberikan batasan terhadap istilah morfologi. Kata kursi bukanlah istilah.
Kita dapat mengatakan bahwa kursi adalah seluruh realisasi benda yang disebut kursi.
Seandainya ada seseorang yang membawa kepada kita sebuah tangan kursi, maka
tangan kursi tersebut tidak dapat disebut kursi. Jadi, dengan menyebut kursi, kita telah
memberikan pembatasan terhadap suatu benda, fakta, peristiwa, atau kejadian, baik
pembatasan yang dilihat dari unsur-unsurnya maupun pembatasan yang dilihat dari
benda-benda lain yang ada di sekeliling kita.
Seandainya nama tersebut berisi kata atau gabungan kata yang cermat dan
mengungkapkan suatu makna, konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam
bidang ilmu tertentu, maka nama tersebut disebut istilah. Jika nama tersebut telah
dimaknakan dengan keterangan singkat dan jelas, dan dalam bidang ilmu tertentu,
maka nama tersebut dikatakan definisi. Dengan demikian, terkadang suatu nama dapat
berfungsi sebagai istilah. Istilah-istilah itu menjadi jelas apabila diberikan definisinya,
demikian pula nama.

Anda mungkin juga menyukai