ANALISIS TINDAK TUTUR DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE DAN OFFLINE
Fatimah Aurofah 367
PENDAYAGUNAANMETAFOR POLITIS
DALAM ACARA INDONESIAN LAWYERS CLUB (ILC)
Hadi Rumadi, Syafrial, Bella Nissa 387
PEMILIHAN DAN SIKAP BAHASA REMAJA PENUTUR JATI SUNDA DIALEK BANTEN
DI KECAMATAN CARITA PANDEGLANG BANTEN
Tomi Nugraha, Nadia Dclara, Hellen Hervinda 911
KATEGORI PEMBELAJARAN
GRADASI MATERI BUKU TEKS SMP DAN SMA (KAJIAN FAKTA, KONSEP,
PRINSIP, DAN PROSEDUR PADA BIDANG STUDI BAHASA SUNDA
KURIKULUM MULOK 2013 REVISI 2017)
Dingding Haerudin 1175
KATEGORI KESUSASTRAAN
KAJIAN ALIH WAHANA CERITA PENDEK “DEWI AMOR” KARYA EKA KURNIAWAN
KE DALAM NASKAH DRAMA PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Een Nurhasanah 1731
POLA LARIK PADA GURINDAM DUA BELAS KARYA RAJA ALI HAJI
Syafrial, Hadi Rumadi, Adib Alfalah 2063
TEKS SASTRA
DALAM PENDEKATAN GENRE DAN PUITIKA
Sumiyadi
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana UPI
sumiyadi@upi.edu
ABSTRAK
Pembelajaran berbasis teks mensyaatkan agar guru betul-betul menguasi bahan teks yang
akan diajarkan, termasuk teks sastra. Persoalan muncul pada saat guru menyadari bahwa
materi teks sastra yang diajarkan pada siswa agak berbeda jika dibandingkan dengan kurikulum
terdahulu. Tulisan ini akan menunjukkan perbedaan teks sastra jika ditinjau dari pendekatan
yang berbeda. Pembelajaran bahasa berbasis teks memang lebih sesuai menggunakan
pendekatan genre sebab tujuan utamanya agar siswa memahami teks yang ada di sekitarnya.
Teks yang digunakan untuk keperluan komunikasi yang efektif akan optimal jika menggunakan
sistem tanda bahasa tingkat petama. Pembahasan teks sastra dengan pendekatan genre
tidak akan berisiko besar jika tujuan utamanya agar siswa memiliki kompetensi dasar yang
berkaitan dengan apresiasi produktif, Akan tetapi, apabila siswa dituntut untuk mampu meng-
apresiasi (reseptip dan produktif) karya sastra yang kompleks dan inkonvensional, pendekatan
puitikalah solusinya sebab berkaitan dengan penggunaan prinsip struktur yang dinamis.
PENDAHULUAN
Jika kita mendengar atau membaca kata “teks sastra”, apa yang ada di benak kita? Ke-
mungkinan terbesar adalah wujud karya sastra, seperti puisi, cerpen, novel, atau naskah
drama. Kemudian, Kita pun akan menyebutkan wujud teks sastra tersebut jika ada yang
bertanya, apa sajakah genre sastra itu? Jadi, apakah sama pemahaman antara teks sastra
dan genre sastra? Selain itu, dalam Kurikulum 2013 kita pun mendapatkan istilah yang
merupakan gabungan dari keduanya: genre teks sastra. Apakah genre teks satra mengacu
pada objek yang sama, yaitu puisi, cerpen, novel, atau naskah drama?
Kurikulum 2013 yang berlaku kini di sekolah, khususnya dalam pembelajaran bahasa
Indonesia, haruslah berbasis teks. Dalam pembelajaran berbasis teks, guru harus mengawali
pembelajaran dengan cara membangun konteks, kemudian memberikan pemodelan teks,
dan memfasilitasi siswa agar menyusun teks secara bersama. Di ujung pembelajaran guru
pun harus memampukan siswa agar dapat menyusun teks secara mandiri.
Pembelajaran berbasis teks mensyaatkan agar guru betul-betul menguasi bahan teks
yang akan diajarkan, termasuk teks sastra. Persoalan muncul pada saat guru menyadari
bahwa materi teks sastra yang diajarkan pada siswa agak berbeda jika dibandingkan
dengan kurikulum terdahulu atau Kurikulum Berbasis Kompetensi atau Kurikulum KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Dalam materi struktur cerpen, misalnya. Dulu
materi tersebut dikaitkan dengan unsur-unsur intrinsik cerpen, seperti alur, tokoh, latar,
tema, sudut pandang, serta gaya dan suasana. Akan tetapi, stuktur teks yang sesuai
dengan Kurikum 2013, bukanlah keterkaitan antarunsur cepen, melainkanorientasi, konflikasi,
resolusi, dan koda. Tentu saja, hal itu akan membingungkan guru. Tulisan ini akan berupaya
mengurangi kebingungan guru, yaitu dengan cara menunjukkan perbedaan teks sastra
jika ditinjau dari pendekatan yang berbeda.
Agar semakin jelas, gambar berikut menunjukkan kriteria jenis teks berdasarkan proses
sosial atau tujuan sosialnya (Knapp & Witkins, 2005: 2007):
bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama. Jadi, fungsi sosialnya sangat menonjol
sehingga perlu mengoptimalkan konteks situasi dan konteks budaya. Sementara itu, teks
sastra berbasis pada sistem bahasa tingkat kedua yang tidak disusun untuk kepentingan
komunikasi langsung karena yang ditonjolkan adalah fungsi bahasa puitis. Akan tetapi,
karena pendekatan pembelajaran berbais genre teks, akibatnya, teks sastra yang dijadikan
bahan ajar dalam kurikulum diupayakan mengikuti kaidah yang terdapat dalam pendekatan
genre teks.
Penyesuaian teks sastra dengan pendekatan genre teks tidaklah menjadi masalah
apabila tujuan utamanya agar siswa dapat mengenal teks sastra dan menulisnya dengan
kaidah genre teks. Namun, persoalan akan timbul apabila siswa akan mengapresiasi lebih
jauh karya sastra yang mengutamakan nilai estetis atau karya sastra yang menyimpangi
konvensi bahasa. Teks sastra jika disamakan dengan teks lain yang bernilai dan berfungsi
sosial tinggi, seperti teks prosedural, teks eksplanasi, atau teks ulasan, struktur teks sastra
diharapkan berada dalam keadaan statis. Akan tetapi, hal ini menyalahi prinsip struktur
dalam teks sastra.
Teks sastra memiliki struktur yang bersifat dinamis, sesuai dengan prinsip struktur dari
Piaget. Menurut Piaget, suatu struktur memiliki tiga prinsip, yaitu totalitas, transformasi,
dan autoregulasi (Hoed dalam Piaget, 1995: viii). Struktur merupakan wujud relasi antarunsur
teks sastra. Misalnya, sesuai dengan teori genre teks, teks naratif terdiri atas unsur orien-
tasi, komplikasi, resolusi, dan koda. Sementara itu, berdasarkan teori puitika, struktur teks
naratif dibentuk oleh fakta-fakta cerita (alur, karakter, latar), tema, dan sarana-sarana
sastra (Stanton, 2007).
Prinsip transformasi menunjukkan bahwa suatu struktur dapat berubah karena unsur-
unsur pembentuknya memiliki sifat-sifat bawaan yang membentuk kesatuan struktur sebab
menurut Piaget (1995: 4), unsur-unsur pembentuk struktur membawa sifat-sifat himpunan
yang berbeda dari sifat-sifat unsurnya. Transformasi menyebabkan struktur menjadi sesuatu
yang dinamis. Bahkan, transformasi menyebabkan struktur melakukan autoregulasi, yaitu
mampu mengatur diri sendiri apabila terjadi perubahan (Hoed dalam Piaget, 1995: viii).
kulum pun terdapat ketentuan bahwa siswa sekolah dasar harus menamatkan sebanyak 9
buku sastra, sedangkan siswa SMP dan SMA sebanyak 15 buku sastra. Jadi, siswa Indo-
nesia selama 12 tahun di sekolah telah mampu menyelesaikan bacaan 39 buku sastra.
Akan tetapi, pada kenyataannya ketentuan itu tidak diperhatikan guru karena tidak menjadi
bahan untuk mengisi rapor siswa dan tidak menjadi persyaratan kelulusan siswa, bahkan
tidak ada senarai yang memuat buku-buku sastra yang harus dibaca siswa. Sementara
itu, berdasarkan kompetesi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013, di SD
terdapat 28 teks yang di dalamnya memuat 7 teks sastra (25%), di SMP terdapat 14 teks
yang di dalamnya memuat 3 teks sastra (23% ), di SMA terdapat 14 teks satra yang di
dalamnya memuat 6 teks sastra (43%),
Berdasarkan persentase teks satra, kita dapat menyimpulkan bahwa Kurikulum 2013
tidak menjadikan teks sastra sebagai primadona teks buku ajar siswa dan buku panduan
guru. Hal itu terjadi karena mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah diabdikan sebagai
wahana pengetahuan, penghela dan pembawa pengetahuan, dan ekspresi diri dan akademik,
seperti tertera pada judul buku guru dan buku siswa SMP dan SMA yang diterbitkan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013). Oleh sebab itu, meskipun pembelajaran
bahasa Indonesia berbasis teks, teks yang dimaksud adalah teks yang memanfaatkan
sistem tanda tingkat pertama. Sementara itu, teks satra merupakan sistem tanda tingkat
kedua yang bersifat multitafsir (Sumiyadi, 2013).
Akan tetapi, sastra adalah dunia dalam kata atau sastra adalah peristiwa bahasa.
Dengan membaca karya sastra, kita dapat “menggenggam” dunia secara imajinatif, bahkan
teks sastra dapat berisi teks-teks yang disenaraikan dalam Kurikulum 2013, seperti teks
deskripsi, laporan, prosedur, penceritaan, eksplanasi, eksposisi, diskusi, surat, editorial,
iklan, negosiasi, anekdot, dan naratif. Namun, untuk sampai pada pemahaman ini, diperlukan
kejembaran hati dan wawasan para perakit kurikulum dan para penulis buku ajar. Terlebih-
lebih, Kurikulum 2013 diberlakukan karena alasan kemerosotan iman dan moral manusia
Indonesia sehingga kompetensi inti yang utama (KI satu dan KI dua) berkaitan dengan
pencapaian nilai religi/spiritual dan sosial siswa. Kedua kompetensi ini sebenarnya dapat
“didongkrak” dengan suplemen sastra didaktis, meskipun (sekali lagi) untuk sampai pada
pemahaman ini, diperlukan kejembaran kalbu dan wawasan para perakit kurikulum dan
penulis buku ajar.
SIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa teks sastra memiliki
fungsi yang berbeda jika ditinjau dari pendekatan genre dan puitika. Pembelajaran bahasa
berbasis teks memang lebih sesuai menggunakan pendekatan genre sebab tujuan utamanya
agar siswa memahami teks yang ada di sekitarnya. Tentu saja, teks yang ada di sekitar
siswa, dalam arti teks yang digunakan untuk keperluan komunikasi yang efektif akan
optimal jika menggunakan sistem tanda bahasa tingkat pertama yang didominasi oleh
bahasa lugas atau denotatif.
Pembahasan teks sastra dengan pendekatan genre tidak akan beresiko besar jika
tujuan utamanya agar siswa memiliki kompetensi dasar yang berkaitan dengan apresiasi
produktif, misalnya mampu menulis puisi atau cerpen yang sederhana dan konvensional.
Akan tetapi, apabila siswa dituntut untuk mampu mengapresiasi (reseptip dan produktif)
karya sastra yang kompleks dan inkonvensional, pendekatan puitikalah sebagai solusinya
sebab berkaitan dengan prinsip struktur yang dinamis.
DAFTAR PUSTAKA
Emilia, E. (2012). Pendekatan Genre-Based dalam Pengajaran Bahasa Inggris: Petunjuk
untuk Guru. Bandung: Rizqi
Halliday, M.A.K. & Hasan, R. (1992). Bahasa, Konteks, dan Teks. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Hartoko, D & Rahmanto, B. (1986). Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Kadarisman, 2010. “Puitika Linguistik Pasca-Jacobson: Tantangan Menjaring Makna Simbolik”.
Makalah. Tanpa tahun.
Knapp, P. & Watkins, M. (2005). Genre, Text, Grammar: Technologies for Teaching and
assessing Writing. Sidney, Australia: University of New South Wales Press Limited.
Luxemburg, J.V. dkk. (1991). Tentang Sastra (Penerjemah: Akhadiati Ikram). Jakarta:
Intermasa.
Mahsun. (2014). Teks dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Paltridge, B. (1996). “Genre, Text Type, and The Language Learning Classroom”. ELT
Journal. Volume 50/ 3 Juli 1996. Oxford University Press.
Piaget, J. (1995). Strukturalisme. (Terjemahan Hermoyo). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Purnomo, M.E. (2015). “Teks dan Genre Teks” Makalah Kerja Sama Balai Bahasa Provinsi
Sumatra Selatan dengan 7 Perguruan Tinggi di Palembang, 21 April 2015.
Stanton, R. (2007). Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumiyadi. (2013). “Sastra Pendidikan, Pendidikan Sastra, dan Kurikulum 2013”. Makalah
Seminar Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia di STKIP Siliwangi, Cimahi, Oktober 201.
Zaimar, O. K.S. dkk. (1985). Tata Sastra. Jakarta: Djambatan.
Philippe Grangé
Institut Français d’Indonésie,
Ambassade de France en Indonésie, Jakarta
philippe.grange@ifi-id.com
ABSTRAK
Di Prancis, hanya terdapat tiga perguruan tinggi yang menyajikan pengajaran bahasa Indone-
sia, di antaranya hanya dua yang mempunyai lebih dari satu tenaga pengajar. Jumlah maha-
siswa bahasa Indonesia rendah sekali dibandingkan dengan bahasa-bahasa asing yang lain.
Hubungan antara Prancis dan dunia Melayu memang sunyi, di segala bidang: sejarah, ekonomi
dan budaya, sehingga citra Indonesia di mata masyarakat Prancis memang tidak buruk, baik
pun tidak, tetapi lesap saja. Di makalah ini akan diuraikan lemahnya lintas budaya antara
Indonesia dan Prancis, dan akibatnya untuk pengajaran BIPA di Prancis.
Apabila pilihan suatu bahasa asing di perguruan tinggi hanya dipandang dari sisi kegunaan
bahasa dalam kegiatan usaha, ternyata arus ekonomi antara Prancis dan Indonesia belum
merupakan alasan yang memadai untuk menarik mahasiswa Prancis. Disayangkan pula
lintas budaya antara Indonesia dan Prancis begitu sunyi. Citra Indonesia tidak begitu jelas
di mata para pemuda Prancis, namun citra tersebut cukup baik dan menarik.
Apabila dalam percakapan akrab saya sempat mengungkitkan bahwa penduduk Indo-
nesia melebihi 260 juta orang, terkejutlah teman saya, walaupun dia berasal dari kalangan
akademis. Orang Prancis yang paling terkenal di Indonesia (atau satu-satunya yang dikenal)
adalah Zidane, mantan pemain sepak bola. Orang Indonesia yang paling terkenal di Prancis
adalah Anggun, seorang penyanyi yang sejak beberapa tahun berkarier di Prancis. Dapat
disayangkan pula, Bali kerap kali dianggap negara tersendiri. Banyak juga yang tidak
mengetahui bahasa apa yang digunakan di Indonesia, sedangkan mereka pernah dengar
tentang bahasa-bahasa yang lain di Asia Tenggara, dengan asumsi yang sederhana: setiap
negara menggunakan bahasa resmi, misalnya bahasa Vietnam di Vietnam, dan sebagainya.
Seorang mahasiswi pernah mengeluh kepada saya saat mulai kuliah tahun pertama: «
Kemarin malam, orang tua saya bingung dan gelisah mendengar saya telah memilih
bahasa Indonesia, sedangkan mereka sama sekali tidak tahu-menahu keberadaan bahasa
itu. » Apa saja alasan seorang mahasiswa Prancis yang memutuskan untuk mempelajari
bahasa suatu negara ‘tunacitra’? Di universitas La Rochelle, Prancis, pada umumnya maha-
siswa tingkat pertama tidak pernah mengunjungi Indonesia. Mereka justru ingin menggeluti
bahasa yang ‘langka’, lain daripada yang lain. Bagi mereka, citra Indonesia berwangi hutan
rimba, terlintas kepulauan yang tak terhitung serta hidup yang santai, tidak terobsesi
dengan karir dan uang. Pada umumnya mahasiswa kami mempunyai sifat yang berdikari,
berlawan arus, serta mengutamakan kekayaan budaya, sosial dan persahabatan jauh di
atas kekayaan duniawi. Di samping itu, sebagian dari mahasiswa juga bermaksud
menghindari rumitnya bahasa Asia yang lainnya, seperti bahasa Mandarin atau Korea.
Melihat kelangkaan hubungan sejarah, budaya dan ekonomi antara Indonesia dan
Prancis, marilah kita tetap optimis: tetaplah merasa beruntung bila terdapat 130 mahasiswa
Prancis yang ingin mempelajari bahasa Indonesia. Namun disayangkan jumlah siswa atau
mahasiswa yang mempelajari bahasa Prancis di Indonesia jauh lebih banyak: 1 lawan 500!
Prancis dan Eropa secara umum harus membuka mata dan memandang serius pada
negara keempat di Dunia, yaitu Indonesia.
yang hendak dibuka ialah bahasa Arab, Turki, Parsi dan Melayu. Dari keputusan ini, tampak
jelas bahwa Dunia Melayu dianggap penting oleh Pemerintah Republik Prancis yang pertama
(semoga Pemerintah Prancis yang sekarang segera menyadari kembali akan hal ini).
Namun, sebab kelangkaan ahli yang mampu mengajar bahasa Melayu pada akhir abad
XVIII, ternyata hanya pengajaran bahasa Arab, Turki dan Parsi yang dimulai.
Baru tahun 1844 pengajaran bahasa Melayu dan bahasa Jawa disediakan, seiring dengan
bahasa Mandarin. Jurusan bahasa Jepang, Khmer dan Thai dibuka beberapa tahun kemudian.
Ada tiga alasan untuk mewujudkan jurusan bahasa Melayu dan Jawa di Ecole des langues
orientales pada pertengahan abad XIX: pemerintah Prancis menganggap Asia Tenggara
sebagai wilayah yang penting, khususnya Indochine; Insulinde (Nusantara) terdapat pada
ruas antara Prancis dan Polinesia (yang mulai diperebutkan antara Kerajaan Inggris dan
Republik Prancis); dan Edouard Dulaurier, dosen bahasa Melayu yang pertama, tertarik oleh
sastra Melayu yang sempat disinggungnya saat membaca makalah-makalah yang dikirim
ke Inggris oleh Thomas Raffles.
Tidak lama kemudian, Universitas Leiden memutuskan juga untuk mendirikan jurusan
bahasa Melayu, yang kini tetap merupakan pusat acuan untuk ilmuwan yang ingin mengkaji
Dunia Melayu. Lantas, Abbé Favre adalah pengajar pertama di Ecole des Langues Orientales
(1862 - 1886) yang, sebelum dilantik, pernah tinggal lama di Dunia Melayu. Beliau juga
mengarang buku tata bahasa Jawa, Melayu, serta kamus dwibahasa Dictionnaire malais-
francais (1875). Pada abad XX dan awal XXI, linguis Prancis yang berkarya mengenai
bahasa Indonesia adalah Lombard (1977), Labrousse (1978; 1984), Samuel (2012) dan
Grangé (2014).
Kini, jurusan malais-indonésien di INALCO menyediakan kurikulum dari tingkat pertama
S1 sampai dengan Master dan Doctorat. Di INALCO, para mahasiswa betul-betul menekuni
bahasa Melayu/Indonesia sebagai pelajaran pokok, berbeda dengan universitas lain. Pengajar
sebanyak lima orang (dua dosen Prancis, serta tiga pengajar penutur asli dari Indonesia).
Universitas Le Havre (Prancis utara) menawarkan kursus elektif pada tingkat Master
perdagangan internasional, sehingga jumlah mahasiswa terbatas, dan hanya satu dosen,
penutur asli dari Indonesia.
termasuk pendidikan tentang sejarah dan budaya Indonesia. Kemahiran dan kefasihan
dalam bahasa itu baru diperoleh bila mahasiswa mengikuti program pertukaran mahasiswa,
yang akan diuraikan di bawah ini.
3.1 Kemahasiswaan
Pada tahun akademik ini (2019-2020), di Universitas La Rochelle jumlah mahasiswa
program S1 dengan gabungan bahasa Inggris dan Indonesia sebagai “major”
mencapai 28 orang pada tingkat pertama, 15 pada tingkat dua dan 11 pada ting-
kat tiga. Pada program Master, mahasiswa hanya 10 orang (tingkat 1 dan 2 telah
dileburkan untuk kuliah bahasa). Jumlah mahasiswa yang memilih bahasa Indone-
sia/Melayu sebagai “major” pernah lebih tinggi (rata-rata 80 orang) antara tahun
1999-2004, merosot antara tahun 2004 s/d 2007, agak membaik antara tahun
2008 – 2015, dan setelah itu merosot lagi. Sebagai perbandingan, mahasiswa yang
mempelajari bahasa Spanyol dan Portugis pada tingkat pertama sebanyak 250
orang, yang memilih bahasa Mandarin 150 orang, dan kursi untuk bahasa Korea
hanya 55 (untuk 1200 calon mahasiswa!)
Mahasiswa yang memilih jurusan bahasa Indonesia berasal dari rakyat Prancis
kalangan biasa, dengan latar belakang sosial tidak begitu makmur pada umumnya;
tidak banyak yang pernah berwisata ke luar negeri, apalagi di luar Eropa. Sepertiganya
dari mahasiswa kami adalah pria. Pengajar bahasa Indonesia ada lima, semuanya
penutur asli dari Indonesia. Dua pengajar BIPA memegang gelar Doktor.
Pada semester ke-6 Program S1 serta tingkat Master, mahasiswa disarankan
agar mengikuti program pertukaran mahasiswa di Indonesia atau Malaysia. Dalam
upaya ini kota La Rochelle sangat membantu dengan mengembalikan biaya perjalan-
an ke negara Asia-Pasifik yang dituju oleh mahasiswa. Semenjak 1999-2000, lebih
dari 200 mahasiswa Perancis dari La Rochelle telah mengikuti program pertukaran
di berbagai universitas di Indonesia. Sebagian besar juga meneruskan kunjungannya
dengan kerja praktek (magang) di kalangan suatu perusahaan di Indonesia. Tentu
saja, bagi mahasiswa kami, hidup dan belajar selama enam bulan di Indonesia
memberikan banyak pengalaman dan pengetahuan tentang budaya, di samping
kemahiran dalam bahasa. Dari sisi lain, setiap tahun beberapa mahasiswa Indone-
sia belajar di La Rochelle, sebagai mahasiswa program pertukaran ataupun maha-
siswa reguler.
Mahasiswa Prancis selalu entusias berkunjung dan berkuliah di Indonesia.
Malahan setelah kembali ke La Rochelle, mereka berupaya untuk pergi lagi ke
Indonesia, sebagai mahasiswa atau pemagang. Banyak juga yang menjadi
pengusaha di Indonesia, pada umumnya di bidang pariwisata, waralaba kuliner,
atau ekspor-impor.
- ILE, buku latihan khusus laboratorium bahasa (Nuraini 2001). Para dosen juga
menggunakan berbagai buku pelajaran BIPA dari Badan Bahasa dan Universitas
Indonesia.
Aktivitas pengajaran berupa kuliah umum serta laboratorium bahasa. Mengingat
jumlah mahasiswa yang kecil, kuliah umum bersifat interaktif dengan tanya jawab.
Laboratorium bahasa menyangkut latihan mendengar, memahami dan melafalkan.
Adapun laboratorium multimedia, dengan berbagai aktiviti seperti menyimak video
yang singkat dalam bahasa Indonesia yang dikutip dari web, untuk dipahami dengan
bermacam bimbingan dan bantuan. Pada tingkat Master, suatu aktivitas di laborato-
rium multimedia yang sangat digemari mahasiswa kami adalah menyisipkan sub-
title pada film dari Indonesia. Mereka menulis dengan saksama dialog dalam bahasa
sumber, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Pada akhir semester, film
tersebut dapat ditonton dengan bantuan takarir (sub-title) bahasa Indonesia atau
Prancis. Tentu saja kegiatan ini hanya sebagai latihan, dan karya sinematografis
yang diubah dengan cara tersebut tidak diedarkan di luar ruang kelas.
Bahasa Indonesia cukup mudah dilafalkan bagi mahasiswa Prancis. Hanya “h”
yang kurang diucapkan, sedangkan bunyi sengau “ng” terlalu ditekan, sehingga
dilafalkan seperti “ngg”. Pada tingkat awal, mahasiswa Prancis merasa bahasa
Indonesia mudah dan “mesra pengguna”, dari segi sintaksisnya. Logisnya ejaan
serta tidak adanya takrifan (conjugation) atau jender kata juga merupakan kejutan
yang menyenangkan. Para pembaca makalah ini yang pernah mempelajari bahasa
Prancis pasti masih ingat dengan rumitnya tata bahasa Prancis…
Namun, pada saat mempelajari akhiran –i versus –kan, pendapat mahasiswa
mulai berubah. Apalagi dengan awalan per–, memper–, pe–, peN– dll. Tata susun
kata dalam tulisan yang formal juga agak membingungkan. Akibatnya, mulai dari
tahun kedua, bahasa Melayu/Indonesia sudah tidak dianggap “gampang”. Akan
tetapi mahasiswa kami sudah dapat bercakap secara mandiri walaupun sederhana
pada akhir tahun kedua; teman mereka yang mempelajari bahasa Mandarin atau
Korea merasa “frustrasi” karena saat mengunjungi negara tersebut pada semes-
ter ke-6, kalau mereka pesan minuman di sebuah restoran, pelayan masih belum
mengerti.
Bahasa yang kami ajarkan adalah bahasa Indonesia baku seperti yang digunakan
di kota besar. Kerap kali istilah bahasa akrab (bahasa “gaul”) diajarkan pula, seperti
akhiran –in (yang melesapkan kelawanan antara –kan dan –i) agar mahasiswa
dapat mengerti percakapan yang santai setiba mereka di Indonesia. Sastra Indo-
nesia hampir tidak disentuh, karena yang diutamakan adalah keterampilan berkomu-
nikasi di kalangan profesional. Mulai dari semester 5, mahasiswa diajarkan beberapa
istilah ekonomi dan perdagangan. Latihan terjemahan tidak pernah mengacu pada
puisi atau novel, tetapi diterapkan dengan menggunakan contoh dokumen asli dari
dunia usaha, misalnya surat perjanjian, pedoman teknis, iklan, undang-undang,
artikel tentang ekonomi, halaman web perusahaan atau bursa saham, laporan
laba-rugi sebuah perusahaan, dll.
SIMPULAN
Sebagai kesimpulan, dapat disayangkan bahasa dan budaya Indonesia masih belum dapat
menarik mahasiswa dalam jumlah yang berarti, sehingga di Prancis (dan Eropa secara
umum) jumlah mahasiswa itu tetap stagnan semenjak 25 tahun terakhir. Padahal, mahasiswa
yang cukup berani untuk memilih suatu bahasa yang orang tuanya sendiri tidak tahu
menahu, ternyata sering jatuh cinta dengan bahasa itu, yakni bahasa Indonesia. Sebaiknya
pemerintah dan pemangku kepentingan Indonesia lebih giat dan berani dalam penampilannya
di media masa serta di luar negeri, dengan mengerahkan cendekiawan dan seniman masa
kini. Semoga di masa depan bahasa dan budaya-budaya Indonesia cemerlang seperti
semestinya di ranah mancanegara.
DAFTAR PUSTAKA
Hardini & Grangé (2016) “An overview of Indonesian loanwords from French” Indonesian
Journal of Applied Linguistics, Vol. 6 No. 1, July 2016, pp. 156-171(doi: dx.doi.org/
10.17509/ijal.v6i1.2749
Favre, Abbé P. (1875) Dictionnaire malais-franc’兟 ais Imprimerie Impériale et Royale, Vienne
Labrousse, Pierre. (1978). Méthode d’indonésien. Paris: l’Asiathèque
Labrousse, Pierre. (1984). Dictionnaire général indonésien-français. Paris: Archipel
Labrousse, Pierre. (1998). Malais, javanais, indonésien, malaysien: histoire de leur enseignement
aux Langues Orientales. Dalam Dialog Prancis-Nusantara / Dialogue France-Insulinde,
[5-6], peny. Christian Pelras. Jakarta: CNRS-LASEMA / Yayasan Obor.
Lombard, Denys (1977) Introduction à l’indonésien, Guéret: SECMI.
Nuraini, Chandra. (2001). Indonésien Langue Etrangère - ILE, naskah.
Samuel, Jeìro兟 me (2001) Katalog beranotasi - Ensiklopedia, Kamus dan Daftar Istilah
Bahasa Indonesia (1741 - 1995), Jakarta: Pusat Bahasa.
Samuel, Jérôme & Saraswati, Wardhany (2012) Manuel d’indonésien - volume 1, Paris:
L’Asiathèque.(
Steinhauer, Hein. (2001). Leerboek Indonesisch. Leiden: KITLV
Sarwiji Suwandi2
Universitas Sebelas Maret
sarwijiswan@staff.uns.ac.id
ABSTRAK
Sejatinya manusia tidak bisa dipisahkan dengan lingkungannya. Interaksi antara keduanya
merupakan proses alami yang terjadi mulai saat manusia dilahirkan sampai dengan meninggal.
Manusia sangat membutuhkan lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu,
manusia sering menjadikan lingkungan sebagai objek eksploitasi dan akibatnya muncul berbagai
permasalahan lingkungan. Saat ini penyelematan lingkungan menjadi salah satu isu global.
Upaya pemecahan masalah lingkungan tentu menuntut peran serta dunia pendidikan, tanpa
kecuali guru bahasa Indonesia. Guru bahasa Indonesia dituntut mampu melaksanakan pembel-
ajaran bahasa Indonesia berwawasan literasi ekologis. Berdasarkan pemikiran tersebut, makalah
ini akan menjelaskan pentingnya pengembangan bahan atau buku ajar bahasa Indonesia ber-
wawasan literasi ekologis sebagai upaya menjadikan siswa sebagai insan yang melek lingkung-
an. Untuk itu, dipandang penting terlebih dahulu dijelaskan pilar pembelajaran bahasa Indo-
nesia dan perlunya mengelaborasi kompetensi literasi siswa.
Kata Kunci: Pilar Pembelajaran; Bahasa Indonesia; Literasi Ekologis; Pengembangan Bahan
Ajar.
PENDAHULUAN
Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang alami dan
berlangsung mulai dari manusia dilahirkan sampai dengan meninggal dunia. Interaksi tersebut
berlangsung karena manusia membutuhkan daya dukung lingkungan untuk memenuhi ke-
butuhan hidupnya sehari-hari (Akhadi, 2013). Pelbagi kebutuhan pokok manusia disediakan
oleh alam, seperti udara untuk bernafas, air untuk minum, dan makanan sebagai sumber
energi. Alam juga menyediakan berbagai bahan yang dapat diolah manusia menjadi berbagai
produk untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Permasalahan lingkungan telah menjadi bagian integral dari permalahan dunia saat ini.
Menurut Kemal Stamboel (Alikodra, 2012)—Ketua Badan Pengurus Yayasan WWF-Indo-
nesia, lima dekade yang lalu jarang orang menyangka bahwa isu penyelamatan lingkungan
akan menjadi isu yang sama pentingnya dengan isu-isu besar dunia lainnya, seperti masalah
1
Makalah dipresentasikan pada Seminar Internasional Riksa Bahasa XIII yang diselenggarakan Sekolah
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 23 November 2019.
2
Guru Besar pada FKIP dan Kepala Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Sebelas
Maret.
kemiskinan dan upaya mewujudkan perdamaian dunia. Tatkala itu tidak ada yang menyangkal
jika dikatakan bahwa permasalahan dari kehadiran berbagai macam konflik di beberapa
kawasan di dunia ini berakar pada perbedaan etnis, ideologi, dan agama. Namun demikian,
memasuki abad ke-21, sumber konflik yang paling berarti dan penting berasal dari per-
masalahan lingkungan.
Permasalahan lingkungan hidup merupakan salah satu isu penting. Kerusakan lingkungan,
menurut Voza (2017), merupakan persoalan global yang terjadi di seluruh dunia. Ditegaskan-
nya, polusi merupakan masalah yang tersebar luas, bukan hanya masalah lama dan
belum terselesaikan bagi banyak negara maju, tetapi merupakan—atau akan segera men-
jadi—masalah baru dan kompleks bagi sejumlah negara berkembang. Demikian pula yang
dinyatakan oleh Bradshaw, Giam, & Sodhi (2010) bahwa kerusakan lingkungan telah terjadi
di berbagai negara, seperti Singapore, Korea, Qatar, Kuwait, Jepang, Thailand, Bahrain,
Malaysia, Philipines, Netherland, Denmark, Srilanka, Indonesia, dan sebagainya. Di Indo-
nesia, menurut laporan BNPB selama tahun 2016 terdapat 2.342 kejadian bencana yang
menyebabkan 522 orang meninggal dunia/ hilang serta 3,05 juta jiwa mengungsi dan menderita
(https://www.bnpb.go.id/ home/berita). Munculnya masalah lingkungan tersebut, dimulai
dari keinginan manusia untuk mendominasi lingkungan. Dominasi manusia itulah yang sering
menyebabkan terjadinya krisis atau kerusakan lingkungan (Okterm, 2003). Untuk itu, upaya
konservasi lingkungan atau pelestarian lingkungan menjadi tanggung jawab bersama, termasuk
elemen pendidikan.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, upaya pelestarian lingkungan tentu tidak hanya
menjadi tanggung jawab mata pelajaran tertentu, tetapi seluruh mata pelajaran. Hal
demikian disadari oleh pengembang Kurikulum 2013. Pada Kompetensi Inti (KI) kedua
(kompetensi sosial) ditegaskan bahwa peserta didik—khususnya SMP dan SMA—mampu
menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli (gotong royong, kerja
sama, toleran, damai), bertanggung jawab, responsif, dan proaktif melalui keteladanan,
pemberian nasihat, penguatan, pembiasaan, dan pengondisian secara berkesinambungan
serta menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan
diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. Berkenaan dengan mata pelajaran
Bahasa Indonesia—misalnya SMA—ada kompetensi yang secara spesifik bertalian erat
dengan kepedulian terhadap lingkungan, yaitu memiliki sikap jujur, disiplin, dan peduli dalam
menanggapi fenomena alam dan sosial (Permendikbud No. 21 Tahun 2016 tentang Standar
Isi Pendidikan Dasar dan Menengah). Seturut dengan yang digariskan dalam Permendikbud
tersebut, pencapaian kompetensi di atas tentu menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran
bahasa Indonesia.
Tuntutan Kompetensi Inti di atas sejalan dengan kebutuhan pembelajaran abad ke-21,
yaitu berpikir kriris dan pemecahan masalah, kreatif dan inovasi, kolaborasi, dan komunikasi
atau yang dikenal dengan 4C (critical thinking dan problem solving, creative and innovation,
collaboration, and communication). Pemecahan masalah tersebut tentu mencakup kemampuan
memecahkan masalah lingkungan.
Konservasi lingkungan yang diharapkan dilakukan siswa dapat dimulai dengan mem-
berikan pengetahuan tentang lingkungan melalui teks-teks bertema lingkungan dan kemampu-
an memahami kearifan lingkungan yang dapat diperoleh melalui karya sastra. Lebih dari
itu, siswa diharapkan memiliki sikap positif terhadap lingkungan dan perilaku peduli dan me-
rawat lingkungan. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut dituntut tersedianya bahan
atau buku ajar berwawasan literasi ekologis. Jika setakat ini belum tersedia buku ajar yang
dimaksud, maka diperlukan kesediaan dan kemampuan guru bahasa Indonesia untuk
mengembangkan bahan ajar berwawasan literasi ekologis (ecological literacy) atau ekoliterasi.
Makalah ini secara ringkas akan menjelaskan pentingnya mengembangkan bahan atau
buku ajar bahasa Indonesia berwawasan literasi ekologis. Namun demikian, terlebih dahulu
akan dijelaskan dua hal yang dipandang penting dan gayut dengan upaya menjadikan siswa
melek lingkungan, yaitu pilar pembelajaran bahasa Indonesia dan perlunya mengelaborasi
kompetensi literasi siswa.
kepentingan akademik. Siswa dihadapkan pada bahasa untuk berbagai tujuan, audiens,
dan konteks. Siswa dipajankan pada beragam pengetahuan dan pendapat yang disajikan
dan dikembangkan dalam teks dan penyajian multimodal (lisan, cetakan, dan konteks
digital) yang mengakibatkan kompetensi mendengarkan, memirsa, membaca, berbicara,
menulis dan mencipta dikembangkan secara sistematis dan berperspektif masa depan.
Jika kita cermati pembelajaran bahasa Indonesia dengan acuan Kurikulum 2013
sekurang-kurangnya didasarkan pada enam pilar, yaitu pendekatan komunikatif, pendekatan
saintifik, berbasis teks, berbasis CLIL (content language integrated learning), berbasis
pendidikan karakter, dan berbasis literasi. Keenam pendekatan tersebut tidak dapat dipisah-
pisahkan; keenamnya tali-temali.
Pendekatan komunikatif mengarahkan pembelajaran bahasa pada tujuan pembelajaran
yang mementingkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Pembelajaran bahasa tidak
semata-mata mementingkan pengetahuan kaidah gramatikal. Penting disadari bahwa
kadang-kadang kita temukan pemakaian bahasa yang memenuhi kaidah gramatikal, tetapi
tidak serta-merta dapat dipahami oleh mitra bicara atau pembaca.
Teks dalam pendekatan berbasis genre bukan mengacu pada artikel. Teks merupakan
kegiatan sosial dan tujuan sosial. Ada tujuh jenis teks sebagai tujuan sosial, yaitu: laporan
(report), rekon (recount), eksplanasi (explanation), eksposisi (exposition: discussion, re-
sponse or review), deskripsi (description), prosedur (procedure), dan narasi (narrative).
Tujuan sosial melalui bahasa berbeda-beda sesuai tujuan. Pencapaian tujuan ini diwadahi
oleh karakteristik cara mengungkapkan tujuan sosial yang disebut struktur retorika, pilihan
kata yang sesuai dengan tujuan, serta tata bahasa yang sesuai dengan tujuan. Misalnya,
tujuan sosial eksposisi (berpendapat) memiliki struktur retorika tesis-argumen. Teks juga
mengacu pada cara komunikasi. Komunikasi dapat berbentuk tulisan, lisan, atau multimodal.
Teks multimodal menggabungkan bahasa dan cara komunikasi lainnya seperti visual, bunyi,
atau lisan sebagaimana disajikan dalam film atau penyajian komputer.
Pendekatan saintifik (pendekatan ilmiah) merupakan pilar yang lebih banyak menyedot
perhatian banyak guru; dan karenanya ada kecenderungan tereduksinya impelementasi
Kurikulum 2013 hanya pada aplikasi pendekatan saintifik. Dalam pendekatan atau proses
kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuwan lebih mengedepankan penalaran induktif
(inductive reasoning) ketimbang penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran deduktif
melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya,
penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik
simpulan secara keseluruhan.
Pembelajaran bahasa Indonesia juga menekankan pendidikan karakter. Terbitnya
Peraturan Presiden (PP) No. 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)
menjadikan pendidikan karakter sebagai platform pendidikan nasional untuk membekali
peserta didik dengan jiwa Pancasila dan karakter yang baik guna menghadapi dinamika
perubahan di masa depan. Perpres ini menjadi landasan untuk kembali meletakkan pendidikan
karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Pendidikan
karakter harus diintegrasikan dalam proses pembelajaran; bukan sebagai program tambahan
atau sisipan.
Content Language Integrated Learning (CLIL) sesungguhnya bukanlah hal baru dalam
dunia pembelajaran bahasa. Pengintegrasian isi dan bahasa sudah digunakan selama
beberapa dekade dengan penamaan yang berbeda; istilah yang cukup lama dikenal adalah
pengajaran bahasa berbasis tugas (task-based learning and teaching). Para ahli pengajaran
bahasa menyepakati bahwa CLIL merupakan perkembangan yang lebih realistis dari
pengajaran bahasa komunikatif yang mengembangkan kompetensi komunikatif. Coyle
(2006, 2007) mengajukan 4C sebagai penerapan CLIL, yaitu content, communication,
cognition, culture (community/citizenship). Content berkaitan dengan topik yang berdimensi.
Communication berkaitan dengan bahasa yang digunakan (misalnya membandingkan,
melaporkan); bagaimana suatu jenis teks tersusun (struktur teks) dan bentuk bahasa apa
yang sering digunakan pada jenis teks tersebut. Cognition berkaitan dengan keterampilan
berpikir apa yang dituntut berkenaan dengan topik (misalnya mengidentifikasi,
mengklasifikasi). Culture berkaitan dengan muatan lokal lingkungan sekitar yang berkaitan
dengan topik.
dasarnya adalah kapasitas untuk memahami dan menafsirkan kesehatan relatif dari sistem
lingkungan dan mengambil tindakan yang tepat untuk mempertahankan, memulihkan,
atau meningkatkan kesehatan sistem tersebut. Literasi ekologis terdiri atas empat komponen,
yaitu (1) pengetahuan (knowledge), (2) kecenderungan sikap (affective tendency), (3)
perilaku (behaviour), dan (4) keterampilan kognitif (cognitive skills).
Komponen pengetahuan mencakup: (1) pengetahuan umum tentang konsep lingkungan
(ekologi) yang merujuk pada pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang sistem
alam bekerja dan bagaimana hubungannya dengan sistem sosial; (2) pengetahuan sosial
politik (social-politic knowledge), yakni pemahaman terhadap suatu keyakinan sistem politik,
nilai-nilai ekologis (lingkungan) dari berbagai budaya, dan pemahaman tentang bagaimana
aktivitas kebudayaan memberikan pengaruh terhadap lingkungan dari perspektif ekologis;
dan (3) pengetahuan tentang isu-isu lingkungan (knowlegde of environmental issue), yang
meliputi pemahaman terhadap masalah-masalah lingkungan yang berasal dari interaksi
antarmanusia dan pengetahuan yang terkait dengan solusi alternatif untuk masalah-masalah
lingkungan.
Kecenderungan sikap mengacu pada faktor-faktor dalam diri individu yang memungkin-
kan mereka mampu merefleksikan isu-isu lingkungan berdasarkan intrapersonal, yakni
merujuk pada kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak sesuai dengan pemahaman
tersebut dalam menilai isu-isu lingkungan serta mampu menjamin tindakan mereka sendiri.
Komponen kecenderungan sikap bertalian erat dengan kepekaan terhadap lingkungan,
sikap, dan pemikiran moral.
Komponen perilaku terdiri atas (1) faktor-faktor penentu tambahan yang dijadikan
sebagai ukuran dalam hal perilaku bertanggungjawab terhadap liingkungan, seperti asumsi
terhadap tanggungjawab pribadi dan pengendalian diri dan (2) perilaku bertangung jawab
terhadap lingkungan, yang berupa respon dan partisipasi aktif dalam memecahkan atau
menyelesaikan permasalahan lingkungan. Perilaku bertanggungjawab terhadap lingkungan
mencakup tindakan mempersuasi dan memberikan saran untuk menjaga lingkungan;
tindakan menggunakan uang atau dana untuk keperluan lingkungan dan pelestariannya;
tindakan perencanaan dan pelaksanaan pelestarian lingkungan; aksi politis untuk penyelesaian
masalah lingkungan hingga tahap membuat kebijakan pada tataran lingkungan politis itu
sendiri; dan tindakan hukum untuk mengatasi permasalahan lingkungan.
Keterampillan kognitif merupakan keterampilan yang berkaitan dengan masalah dan
isu-isu lingkungan, termasuk keterampilan menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi
isu-isu lingkungan berdasarkan bukti dan nilai-nilai pribadi. Keterampilan kognitif mencakup
keterampilan yang diperlukan dalam hal memilih strategi tindakan yang tepat, mengevaluasi,
dan mengimplementasikan perencanaan.
Tercakup dalam komponen ini adalah pemikiran sistemik dan peramalan (forecasting).
Dengan pemberian wawasan literasi ekologis diharapkan siswa menjadi manusia yang
melek ekologi. Melek ekologi (ecoliteracy) adalah istilah yang digunakan oleh Capra (1997)
untuk menggambarkan manusia yang sudah mencapai tingkat kesadaran tinggi tentang
pentingnya lingkungan hidup. Ditekankan olehnya tentang upaya membangun sebuah
masyarakat berkelanjutan, baik pada tingkat global, nasional, atapun daerah. Sebuah
masyarakat berkelanjutan membangun dan menata kehidupannya secara bersama dengan
bertumpu pada kesadaran tentang pentingnya lingkungan hidup.
sumber referensi untuk siswa mengenai aspek kebahasaan (seperti tata bahasa, kosa
kata, dan pengucapan); (4) sumber rangsangan dan ide bagi aktivitas bahasa kelas; dan
(5) silabus (dalam buku terdapat tujuan belajar yang telah ditentukan).
Nilai literasi ekologis yang terdapat dalam buku teks bahasa Indonesia pada umumnya
masih terbatas. Dalam penelitian tentang literasi ekologis dalam buku pelajaran bahasa
Indonesia yang mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk Sekolah
Menengah Atas, Suwandi, Yunus, dan Zainnuri (2018) menemukan masih sedikit muatan
literasi ekologis; dan muatan nilai literasi ekologis tersebut didominasi pada aspek pengetahuan,
dan sangat sedikit yang berkaitan dengan affective tendency, behaviour, dan cognitive
skills. Temuan penelitian atas tiga buku yang dijadikan sampel dikemukakan pada Tabel 1.
Tenik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis).
Dengan menggunakan kalimat dan paragraf sebagai unit analisis, berdasarkan data pada
Tabel 1, dari ketiga buku hanya ditemukan 85 data. Dari 85 data yang ada, 63% (54 data)
berupa komponen pengetahuan. Komponen keterampilan kognitif sebesar 12,9% serta
komponen kecenderungan afektif dan perilaku masing-masing 11,7%. Ada temuan menarik
lainnya, yakni dua dari tiga buku tidak memuat komponen afektif nilai literasi ekologis dan
satu buku lainnya tidak ada muatan komponrn nilai afektif dan perilaku.
Sementara itu, untuk objek kajian buku pelajaran bahasa Indonesia bagi siswa SMA
yang mengacu pada Kurikulum 2013 yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebu-
dayaan, Suwandi, Zainnuri, dan Yunus (2018) menyimpulkan bahwa sungguhpun muatan
nilai literasi ekologis jauh lebih banyak daripada yang terdapat dalam buku dengan acuan
KTSP, secara keseluruhan keempat buku yang diteliti belum menyajikan nilai literasi ekologis
yang memadahi. Muatan nilai literasi ekologis yang ditemukan juga masih didominasi kom-
ponen pengetahuan (lihat Tabel 2).
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 2 diketahui bahwa dari 282 data, 42,5%
(120 data) berupa komponen pengetauan, disusul komponen perilaku (20,56%), dan
ketiga komponan sikap dan keyerampilan kognitif yang menunjukkan besaran yang hampir
sama. Agak berbeda dengan ketiga buku lainnya, buku keempat mengandung komponen
afektif dan perilaku yang paling sedikit.
Sebelumnya, Suwandi, Yunus, dan Rahmawati (2017) juga melakukan penelitian dengan
fokus nasalah yang sama untuk buku ajar bahasa Indonesia SMP. Penelitian itu antara lain
menyimpulkan bahwa (1) sudah ada muatan nilai kecerdasan ekologis dalam buku, tapi
masih lebih dominan bersifat pengetahuan, (2) buku kurang mengakomodasi siswa mela-
kukan tindakan nyata untuk memecahkan masalah, dan (3) tidak ada soal atau pertanyaan,
latihan, atau penilaian unjuk kerja yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan.
Ada sejumlah aspek yang perlu diperhitungkan dalam pengembangan buku pelajaran
atau bahan ajar bahasa Indonesia berwawasan literasi ekologis, yaitu (1) wacana atau
teks yang dipilih sesuai dengan minat dan perkembangan kognitif siswa, (3) isu-isu atau
tema lingkungan yang mutakhir dan kontekstual, (3) disesuaikan dengan tuntututan
kompetensi inti dan kompetensi dasar yang terdapat dalam kurikulum, dan (4) soal atau
tugas yang gayut dengan kompetensi dasar dan indikator. Di samping itu juga perlu
diperhatikan aspek grafika, yang antara lain menampilkan gambar-gambar yang mendukung
dan mematik minat siswa.
Tema yang bisa dipertimbangan untuk dipilih dapat berkaiatan dengan isu lingkungan
yang bersifat lokal, nasional, maupun global, seperti pemeliharaan kebersihan lingkungan
(sekolah, masyarakat), pengelolaan dan penggunaan air, pengurangan pencemaran (air,
udara), pengelolaan dan pemanfaatan sampah, pengelolaan sungai, pelestarian hutan,
penyelamatan bencana alam, dan pemanasan global. Penting pula diperhatikan isu-isu
lingkungan yang bertalian dengan visi dan misi sekolah.
Sekadar contoh, untuk bahan ajar teks laporan hasil observasi untuk siswa kelas X
SMA, kita bisa memilih tema “mengenal lingkungan sekitar’. Mengacu pada Kompetensi
Dasar (KD) Mengidentifikasi laporan hasil observasi yang dipresentasikan dengan lisan dan
tulis, kita dapat merumuskan indikator (1) mengidentifikasi pengertian laporan observasi;
(2) mengenali isi laporan hasil observasi; (3) mengenali ciri-ciri laporan hasil observasi; (4)
mengenali bagian-bagian laporan hasil observasi; (5) mengenali karakteristik bahasa laporan
hasil observasi; (6) menentukan aspek lingkungan dalam isi laporan hasil observasi; (7)
merangkai ide pokok tentang lingkungan dalam laporan hasil observasi; dan (8) menanggapi
aspek lingkungan dalam laporan hasil observasi. Sementara itu, dari KD Menginterpretasi
isi teks laporan hasil observasi berdasarkan interpretasi baik secara lisan maupun tulisan
dapat dirumuskan indikator (1) menjelaskan teks laporan hasil observasi yang belum lengkap;
(2) elengkapi teks laporan hasil observasi; (3) membedakan isi teks laporan hasil observasi
berdasarkan interpretasi; (4) menyusun interpretasi berbasis lingkungan dari hasil laporan
observasi; (5) menafsirkan aspek lingkungan dalam laporan hasil observasi; (6) menyusun
hasil interpretasi teks laporan hasil observasi tentang lingkungan; (7) mempresentasikan
hasil-hasil interpretasi berbasis lingkungan pada teks laporan hasil observasi; (8) menanggapi
hasil interpretasi lingkungan atas laporan hasil observasi; dan (9) memberikan ulasan tentang
hasil interpretasi laporan hasil observasi.
Berbagai teks bermuatan nilai lingkungan—artikel sains, artikel opini, cerita rakyat,
cerita pendek, novel, puisi, dan anekdot, dsn sebagainya—dapat dipilih dan digunakan
dalam pengembangan bahan ajar berwawasan literasi ekologis. Berikut dikemukakan contoh
teks bermuatan nilai literasi ekologis.
Pengganti Kertas
Suatu hari, di kelas sedang terjadi tanya jawab antara guru dengan murid-muridnya.
“Bumi semakin rusak dan panas. Terjadi banjir dan tanah longsor. Semua ini terjadi
karena apa?” tanya Bu Guru.
“Karena pohon-pohon banyak yang ditebang!” jawab Budi.
“Kenapa ditebang?” tanya Bu Guru kembali.
“Untuk diolah menjadi kertas!” jawab Sinta.
“Kertasnya untuk apa?” tanya Bu Guru kembali.
“Untuk lembar ujian sekolah!” jawab Bejo.
“Terus solusinya apa?” tanya Bu Guru penasaran.
“Solusinya untuk menyelamatkan bumi, ujian sekolah tidak boleh pakai kertas.
Tapi pakai komputer!” jawab Bejo.
Seluruh teman-teman Bejo bertepuk tangan.
Sumber: https://www.berkaspuisi.com/2018/12
Pengintegrasian nilai literasi ekologis (ekoliterasi) dalam buku ajar bahasa Indonesia di-
sajikan dalam wacana, soal, latihan maupun tugas. Penting pula diperhatikan pada bagian-
bagian lain, seperti judul, prakata, dan petunjuk. Hal lain yang tidak kalah penting adalah
perhatian pada aspek kegrafikaan, termasuk penyajian gambar-gambar yang dapat
mengomplementasi penjelasan dan menjadikan buku lebih menarik dan bermakna.
Tersedianya buku atau bahan ajar yang baik menjadi faktor penentu keberhasilan
pembelajaran, yakni siswa memiliki kemampuan menyimak, berbicara, memirsa, membaca,
dan menulis dan sekaligus pembelajaran yang dapat memberikan pengetahuan, keteram-
pilan, dan sikap positif kepada anak tentang pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan.
Melalui buku pelajaran yang berbasis pada nilai-nilai cinta alam/lingkungan, ditegaskan oleh
Jung (Utina, 2012), anak difasilitasi agar menjadi insan yang melek ekologi (ecoliteracy).
Literasi ekologis diyakini memiliki kekuatan besar untuk menanggulangi berbagai bencana
alam yang disebabkan oleh perilaku buruk manusia terhadap alam dan lingkungan sekitarnya.
Hal itu sejalan dengan penelitian eksperimental yang dilakukan Suwandi, Yunus, dan Rahwati
(2018) yang antara lain menyimpulkan bahwa buku teks bahasa Indonesia berbasis
kecerdasan ekologis berpengaruh terhadap perilaku ramah lingkungan siswa.
SIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik beberapa simpulan. Pertama, sejalan dengan
yang digariskan dalam Permendikbud No. 21 Tahun 2016 yang antara lain menyatakan
bahwa siswa dituntut memiliki sikap jujur, disiplin, dan peduli dalam menanggapi fenomena
alam dan sosial, pembelajaran bahasa Indonesia berwawasan literasi ekologis sangat diperlu-
kan. Pembelajaran demikian diyakini mampu mewujudkan insan yang melek lingkungan,
yakni manusia yang memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya lingkungan hidup. Kedua,
enam pilar pembelajaran bahasa Indonesia—pendekatan komunikatif, pendekatan saintifik,
berbasis teks, berbasis CLIL, berbasis pendidikan karakter, dan berbasis literasi—mendukung
pembelajaran berwawasan literasi ekologis. Ketiga, perlunya mengelaborasi kompetensi
literasi siswa. Selain literasi informasi, siswa perlu dibekali wawasan literasi ekologis. Siswa di-
tuntut bukan saja memiliki pengetahuan ekologi, tetapi juga sikap, keterampilan kognitif,
dan perilaku nyata dalam merawat, memelihara, dan terlibat secara aktif dalam upaya pe-
mecahan masalah lingkungan. Keempat, karena kurang tersedianya buku atau bahan
yang relevan dengan kebutuhan menghasilkan generasi melek lingkungan, guru dituntut
komitmen dan kemampuannya dalam mengembangakan bahan atau buku ajar berwawasan
literasi ekologis.
DAFTAR PUSTAKA
Akhadi, M. 2013. Ekologi Energi: Mengenali Dampak Lingkungan dalam Pemanfaatan
Sumber-Sumber Energi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Alikodra, H. S. 2013. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Pendekatan Ecosophy
bagi Penyelamatan Bumi. Yogyakarta: Gadjah mada University Press.
Bradshaw, C. J. A., Giman, X., & Sodhi, N. S. 2010. Evaluating the Relative Environmental
Impact of Countries. PLOS One Research Article Journal. 16(2), 1—6. https://doi.org/
10.1371/journal.pone.0010440
Capra, F. 1997. The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems .
London: Flamingo.
Christie, F. (ed.). 1999. Pedagogy and the Shaping of Consciousness. London: Continuum.
Coyle, D. 2006. “Developing CLIL: Towards a Theory of Practice” dalam Monograph 6
(pp. 5–29) Barcelona: APAC.
Coyle, D. 2007. “The CLIL Quality Challenge” dalam D. Marsh & D. Wolff (eds) Diverse
Contexts – Converging Goals: CLIL in Europe (pp. 47–58). Frankfurt: Peter Lang.
Cunningsworth, A. 1995. Choosing Your Coursbook. Oxford: Heinemann.
Ferguson, B. Information Literacy: A Primer for Teachers, Librarians, and other Informed
People. (www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf)
Firkins, A.; Forey, G. dan Sengupta, S. 2007. “A Genre-Based Literacy Pedagogy: Teaching
Writing to Low Proficiency EFL Students”, English Language Teaching Journal, Oktober,
2007.
Harsiati, T; Trianto, A. & Kosasih, E. 2017. Buku Guru Bahasa Indonesia SMP Kelas VII.
Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
Macken-Horarik, M. 2001. ‘Something to shoot for: a systemic functional approach to
teaching genre in secondary school science’ dalam A. M. Johns (ed.) Genre in the
Classroom: Multiple Perspectives. London: Lawrence Erlbaum Associates.
Okterm, M. 2003. City, Environment and Globalization. Istambul: Alfa Publishing.
Olson, D. R. & Torrance, N. (ed.) 2009. The Cambridge Handbook of Literacy. Cam-
bridge: Cambridge University Press.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan
Karakter.
Roth, C. E. 1992. Environmental Literacy: Its Roots, Evolution, and Directions in the1990s.
Columbus, OH: ERIC Clearinghouse for Science, Mathematics, and Environmental
Education.
Rothery, J. 1996. ‘Making changes: developing an educational linguistics’ in R. Hasan and
G. Williams (eds.). Literacy in Society. London: Longman.
Stock, B. 1983. The Implications of Literacy. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Suwandi, S. 2016. Pengembangan Budaya Literasi sebagai Investasi Pengukuhan Kemarta-
batan Bangsa, Makalah dipresentasikan dalam Seminar Literasi (Semlit) dengan tema
“Mengembangkan Literasi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, 29 Oktober
2016.
Suwandi, S. 2018. Tantangan Mewujudkan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
yang Efektif di Era Revolusi Industri 4.0, Makalah dipresentasikan dalam Kongres
Bahasa Indonesia XI yang diselenggarakan Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 28-31 Oktober 2018.
Suwandi, S. 2019a. Pendidikan Literasi: Membangun Budaya Belajar, Profesionalisme Pendidik,
dan Budaya Kewirausahaan untuk Mewujudkan Marwah Bangsa. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
ABSTRAK
Disfemisme adalah uangkapan atau kata-kata kasar yang sering digunakan seseorang dalam
mengungkapkan ide atau gagasan dan perasaan di media sosial. Tujuan dari penelitian ini
adalah menganalisis bentuk, arti, dan fungsi penggunaan disfemisme yang dilakukan oleh
para pendukung calon presiden dan wakil presiden RI tahun 2019 di ruang virtual Youtube.
Lebih jauh lagi, melalui penelitian ini peneliti ingin membongkar perilaku berbahasa para pen-
dukung capres dan cawapres tahun 2019. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis
dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah teknik simak bebas libat cakap dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan
bentuk disfemisme dapat berupa emoji, kata, frasa, singkatan, dan idiom atau ungkapan.
Fungsi dari defemisme antara lain; (1) sebagai perantara untuk menyatakan hal yang tabu
atau tidak senonoh, (2) sebagai penunjuk rasa tidak suka atau tidak setuju, (3) sebagai penunjuk
rasa marah atau jengkel, (4) sebagai penunjuk rasa tidak hormat, (5) sebagai sarana untuk
mengolok-olok, mencela, atau menghina, (6) sebagai sarana untuk melebih-lebihkan sesuatu
dalam bertutur, dan (7) sebagai sarana untuk mengkritik lawan politik. Dari hasil analisis di
atas, dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia tidak mencerminkan perilaku berbahasa
yang santun di ruang virtual Youtube dalam hal dukung mendukung capres dan cawapres
pada tahun 2019.
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi penting dalam kehidupan manusia. Melalui
bahasa manusia dapat berinteraksi antar sesama. Dalam menyampaikan pendapat atau
gagasan manusia dapat melakukannya secara lisan atau tulisan. Melalui media komunikasi
di ruang virtual internet seperti; facebook, tweeter, instagram, youtube, dan sebagainya
memungkinkan manusia melakukan interaksi sosial dengan cara tulisan. Youtube adalah
salah satu media sosial yang digunakan banyak orang untuk mengunggah dan mengunduh
video dan memungkinkan orang lain dalam menanggapi atau mengomentari video tersebut
melalui fitur kolom komentar. Dalam kolom komentar tersebut para penanggap bisa dengan
leluasa mengomentari isi video ataupun tanggapan penanggap lainnya sehingga isi tanggapan
bisa dua arah seperti halnya dialog. Tidak jarang para penanggap menggunakan kata-kata
atau ungkapan yang kurang baik, bahkan bisa dikatakan kasar. Ungkapan atau kata-kata
kasar tersebut disebut disfemisme.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Bentuk penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan
suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada fenomena atau
gejala yang bersifat alami (Mahmud, 2011:89). Menurut Satori dan Komariah (2011:25)
penelitian kualitatif adalah suatu bentuk penelitian yang mengungkapkan situasi sosial tertentu
Data 12
Oecha Official
@santoso Santoso Prabowo gimana mau mimpin bangsa Indonesia sdngkan memim-
pin istrinya saha dia bisa pisah prabowo belum cukup umur buat jd presiden.
Emoji adalah istilah bahasa Jepang yang mewakili berbagai hal, bisa ekspresi wajah,
mulai dari tersenyum, menangis, tertawa, sedih, marah, dan semacamnya dalam bentuk
gambar. Sedangkan emoticon berupa kombinasi tanda baca dan hanya berlaku dalam
pertukaran pesan berbasis teks. Contoh dari emoticon adalah :-), :D, :-(. Data (12) di
atas tersebut merupakan disfemisme berbentuk emoji. Emoji tersebut adalah emoji tertawa
sambil menangis yang sering digunakan seseorang untuk menggambarkan sesuatu yang
sangat menggembirakan atau sesuatu yang sangat kocak. Dalam konteks data ujaran
tersebut bisa diartikan bahwa penanggap mencela atau mengolok-olok calon presiden
Prabowo dengan mengatakan “memimpin istrinya sjha dia bisa pisah ”
Data 66
Lucky Adi
Semua trgantung pada diri kita masing” mau tidak kita melangkah untuk maju tidak
malas”an supaya tidak menjadi babu
Disfemisme pada data (66) yaitu kata babu. Kata babu adalah kata dasar yang
berarti seseorang yang bekerja sebagai pembantu (pelayan) di rumah tangga orang. Kata
babu adalah bentuk disfemisme karena kata tersebut berkonotasi rendah. Oleh karena itu,
kata tersebut tergolong kata atau ungkapan kasar.
Data 19
Fikri Crist
Prabowo Itu Pas Tegas Pakaian Rapi sopan Gak kaya Jokowi lembek Pakaian Gak
Sopan Aduh Masa Presiden Berpenampilan Kaya gembel Ga ada Gagah” Nya .........
Dan klo sAya Lihat Pisi Dan misi Nya Prabowo Sangat Masuk Akal Gak Kaya Jokowi
Ngawur ......Coba Denger” yang benar Mana Yang Lebih Tegas Yang lbih masuk akal
........, Gaya Bicara Dan lain” nya ......
Disfemisme pada data (19) yaitu berbentuk frasa Kaya gembel. Penanggap meng-
gunakan frasa tersebut bertujuan untuk mencela atau menghina penampilan capres Joko
Widodo dengan mengatakan bahwa penampilan Joko Widodo seperti gembel. Frasa tersebut
tergolong kedalam kata atau ungkapan kasar atau disfemisme.
Data 11
Saha hayoo
@santoso Santoso hebat pak...tandanya bapak bisa melihat realita tidak cinta buta
seperti yg masih suka di PHP..cukup 1 periode aja..Salam damai
Data 1
Atika Sari
Percuma di jelasin juga, mereka yng tdk suka pk jokowi tetap meradang hati nya,
karna sudah tertanam dengki, toh bukti nya setelah pilpres usai pun ttap saja mereka
yng tdk suka tetap mengumbar ketidak suka an nya di medsos terkhusus Facebook
nd tweeters
Disfemisme pada data (1) yaitu idiom atau ungkapan meradang hati nya. Ungkapan
meradang hati nya mempunyai arti bahwa seseorang yang amat marah atau geram
hatinya akan tertutup logikanya dalam melihat sesuatu hal. Bentuk disfemisme meradang
hati nya mempunyai fungsi untuk melebih-lebihkan sesuatu dalam bertutur.
Fungsi Disfemisme
Fungsi disfemisme yang ditemukan dalam kolom komentar video youtube yang berjudul
“Full Debat Kedua Capres 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto” adalah terdiri atas 7
fungsi, yaitu; sebagai perantara untuk menyatakan hal yang tabu atau tidak senonoh ber-
jumlah 5 data, sebagai penunjuk rasa tidak suka atau tidak setuju berjumlah 5 data, seba-
gai penunjuk rasa marah atau jengkel berjumlah 11 data, sebagai penunjuk rasa tidak
hormat berjumlah 11 data, sebagai sarana untuk mengolok-olok, mencela, atau menghina
berjumlah 23 data, sebagai sarana untuk melebih-lebihkan sesuatu dalam bertutur berjumlah
10 data, dan sebagai sarana untuk mengkritik lawan politik berjumlah 11 data.
Data 13
Usai Dari
Bener bgt..Wowo mah bisax cuma ngomong..sombong.angkuh..janji palsu..dan menari
Kya Bebegig sawah.wkwk
Dalam data (13) di atas, kata bebegig sawah merupakan kata atau ungkapan kasar
atau disfemisme, yang bagi sebagian besar masyarakat kata tersebut tabu untuk diucapkan,
apalagi kata tersebut ditujukan kepada seseorang. Berdasarkan konteks data, kata bebegig
sawah ditujukan kepada Prabowo selaku capres nomor urut dua yang melakukan sedikit
gerak tari ketika akan melakukan debat capres 2019. Penanggap merasa bahwa gerak tari
dari Prabawo tersebut sama seperti orang-orangan sawah atau yang lazim disebut dengan
bebegig sawah.
Sebagai Penunjuk Rasa Tidak Suka atau Tidak Setuju Terhadap Seseorang atau
Sesuatu
Dalam penelitian ini ditemukan ada 5 data yang merupakan disfemisme yang berfungsi
sebagai penunjuk rasa tidak suka atau tidak setuju. Data-data tersebut terdapat pada
data (2), (15), (26), (43), (68).
Data 15
Juliandie Jul’
Sok tau kau
Data (15) yang mengatakan Sok tau kau menunjukkan perasaan tidak setuju atau
tidak suka terhadap salah seorang penanggap yang mengatakan bahwa perbandingan
antara capres 01 dengan 02 seperti pelajar universitas dengan pelajar sekolah dasar.
Dalam hal ini, tuturan Sok tau kau tergolong ke dalam disfemisme atau kata kasar.
Data 34
Mr Kaiz
@wong jowo anda siapa berani ngomong presiden bohongi rakyat ?? Akun fake
aja belagu , giliran keciduk nangis Ati2 kalo bicara
Data (34) yang mengatakan Akun fake aja belagu merupakan bentuk disfemisme yang
berfungsi sebagai penunjuk rasa marah atau jengkel terhadap pernyataan salah satu penang-
gap yang mengatakan bahwa selama ini presiden telah membohongi rakyatnya.
Data 47
NGGUN ANGGUN
Kyaknya pak de pngen ktawa tpi dtahann kalo pak wowo lg ngmng. soalnya
muter2 ngwur.
Data (47) yang mengatakan bahwa kalo pak wowo lg ngmng soalnya muter2 ngwur
merupakan disfemisme yang berfungsi sebagai penunjuk rasa tidak hormat kepada capres
nomor urut dua yang sedang melakukan debat. Penggunaan kata wowo juga merupakan
ungkapan yang tidak hormat kepada calon kepala negara.
Data 8
hendra yes
Jokowi mah cocok jadi kepala desa aja
Data (8) yang mengatakan Jokowi mah cocok jadi kepala desa aja merupakan disfe-
misme untuk mengolok-olok atau menghina Joko Widodo dimana ia berkompetisi untuk
menjadi seorang calon presiden dan bukan sebagai calon kepala desa.
Data 7
Magdalena Suciati
.........korupsi makin gila Pegawe luar makin banyak..... apa itu yang di sebut
cerdas..... berprestasi.
Pada data (7) yang mengatakan korupsi makin gila merupakan disfemisme yang
melebih-lebihkan sesuatu dalam bertutur. Penggunaan kata makin gila memberikan tekanan
pada keadaan bangsa yang korupsinya semakin menjadi-jadi.
Data 10 (frasa)
santoso Santoso
@lisa cynk pernah jadi walikota ok dan bagus, jadi gubernur tidak ok karena belum
keliatan udah nyapres dan itu mengingksri janji nya nyapres, dan alhamdulilah
menang2014 salah satu pemilihnya saya, tapi setelah jadi presiden saya menilai
gak becus, jd satu periode saja. Salam damai indonesia ku
Tuturan pada data (10) yang mengatakan saya menilai gak becus adalah bentuk
disfemisme yang berfungsi sebagai kritik terhadap lawan politik, yaitu Pak Joko Widodo
yang selama periode sebelumnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Kata
tidak becus merupakan kata atau ungkapan yang sangat kasar.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa bentuk dan
fungsi disfemisme yang digunakan penanggap dalam kolom komentar video youtube yang
berjudul “Full Debat Kedua Capres 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto” adalah
sebagai berikut
1) Bentuk disfemisme yang ditemukan dalam kolom komentar video youtube terdiri atas
lima bentuk yaitu bentuk emoji, kata, frasa, singkatan, dan idiom atau ungkapan.
2) Fungsi disfemisme yang terdapat dalam kolom komentar video youtube yang berjudul
“Full Debat Kedua Capres 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto” berjumlah tujuh
buah, di antaranya;
a) sebagai perantara untuk menyatakan hal yang tabu atau tidak senonoh,
b) sebagai penunjuk rasa tidak suka atau tidak setuju,
DAFTAR PUSTAKA
Allan, Keith & Burridge, Kate. (1991). Euphemism and Dysphemism. Language Used As
Shield and Weapon. Oxford: Oxford University Press.
Anggraeni, D.W. 2015. Eufemisme dan Disfemisme dalam Talk Show Mata Najwa di Metro
T V (Kajian Sosiolinguistik). Universitas Sebelas Maret: Surakarta.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
—————. 2010. Bahasa Jurnalistik. Jakarta: Rineksa Cipta.
Luxielmi, et al. 2012. Disfemisme dalam Acara Indonesia Lawyers Club.
Viewed on Oktober 1 2019.
Khasan, Auriga Maulana, dkk . 2014. “Pemakaian Disfemisme dalam Berita Utama Surat
KabarJoglo Semar” . Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan Pengajarannya:
Volume 2 Nomor 3. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Kurniawati, Heti. 2011. “Eufemisme dan Disfemisme dalam Spiegel Online”. Litera: Volume
10 Nomor 1. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Saifullah, Aceng Ruhendi. (2019). Semantik dan Dinamika Pergulatan Makna. UPI Press.
Bandung