Anda di halaman 1dari 48

Siti Uswatun Hasanah

125110700111009

Dyah Nanda P.H.P.

125110707111012

Vontyan Lesti Monik

125110701111015

2014
Bahasa dan Sastra
Jawa
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Brawijaya

BAHASA DAN SASTRA JAWA

MAKALAH
Memenuhi Tugas Kelompok Matakuliah Apresiasi
Budaya Jawa
Yang dibina Ibu Jamila Wijayanti, S.S.
Oleh
Siti Uswatun Hasanah

125110700111009

Dyah Nanda P.H.P.

125110707111012

Vontyan Lesti Monik

1251107001111015

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
DESEMBER 2014

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II BAHASA DAN SASTRA JAWA
2.1 Bahasa Jawa
2.1.2 Undhak Undhuk Bahasa Jawa
2.1.3 Dialek Bahasa Jawa
2.1.4 Aksara Jawa
2.2 Sastra Jawa
2.2.1 Pembagian Sastra Jawa
2.2.2 Klasifikasi Karya Sastra Jawa
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat

Jawa

memiliki

banyak

kekayaan dalam bidang budaya. Kebudayaan


merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan,
dan

hasil

karya

manusia

dalam

kehidupan

bermasyarakat yang menjadi milik manusia dengan


belajar (Koentjaraningrat, 1990). Salah satu hasil
kebudayaan yang dimiliki manusia adalah bahasa.
Perkembangan bahasa Jawa tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan sastra. Sastra Jawa dilahirkan
dan

dimiliki

menggunakan

masyarakat
bahasa

Jawa

Jawa
sebagai

sehingga
media

ungkapnya (Saputro, 2001).


Dalam kebudayaan Jawa, bahasa dan sastra
Jawa memiliki pendidikan nilai yang merupakan
substansi utama dari pendidikan karakter, seperti
norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, simbolsimbol yang hidup yang berkembang dalam

masyarakat Jawa, toleransi, kasih sayang, gotong


royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat,
tahu berterima kasih, dan lainnya. Pendidikan
karakter yang digali dari substansi bahasa dan
sastra Jawa dapat menjadi pilar pendidikan budi
pekerti bangsa.
Perkembangan

kesusastraan

Jawa

mengalami banyak perubahan sesuai dengan


jamannya. Saputro (2001) mengatakan sastra Jawa
tertulis dibagi ke dalam dua bagian, yaitu sastra
tradisional yang terikat oleh patokan-patokan yang
ditaati turun temurun dan sastra modern yang
merupakan hasil dari rangsangan kreatif dalam
masyarakat modern. Kesusastraan Jawa mengalami
banyak perkembangan dengan adanya pengaruhpengaruh dari luar. Melihat pernyataan tersebut,
pemakalah akan membahas lebih lanjut bahasa dan
sastra Jawa mulai dari undhak-undhuk bahasa
Jawa, dialek bahasa Jawa, aksara Jawa dan
perkembangan sastra Jawa kuno hingga sekarang.

BAB II
BAHASA DAN SASTRA JAWA
2.1 Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan bagian dari budaya
Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan
suku Jawa baik yang berada di belahan Utara Pulau
Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta)
maupun di berbagai tempat lainnya yang dihuni
secara signifikan oleh para pendatang dari tanah
Jawa dengan berbagai latar belakang (Uddin,
2011). Dalam jumlah besar, masyarakat Jawa juga
banyak ditemukan di Suriname, Kaledonia Baru,
Malaysia, Singapura, dan Belanda.
2.1.1 Undhak-Undhuk Bahasa Jawa
Bahasa Jawa mengenal istilah undhakundhuk atau aturan tatakrama dalam berbahasa,
yang mencakup pertimbangan-pertimbangan relasi
sosial dan peran sosial para penutur yang terlibat
dalam percakapan. Bastomi (1995:65) mengatakan
bahwa tingkatan-tingkatan bahasa Jawa digunakan

untuk

menunjukkan

tingkatan

masyarakat

penuturnya sebagai berikut.


1.

Ragam bahasa Jawa ngoko digunakan tidak


bersama-sama

dengan

bahasa

krama

(Susylowati, 2006). Bahasa Jawa ngoko sering


digunakan oleh orang yang usianya sebaya
maupun oleh orang-orang yang sudah akrab.
Bahasa ngoko ini dibagi menjadi ngoko
lugu,dan

ngoko

andhap.

Ngoko

lugu

merupakan bahasa yang digunakan tanpa


tercampur kata krama sama sekali. Ngoko
andhap yaitu bahasa ngoko lugu tercampur
bahasa

alus

menghormati

yang
orang

tujuannya
yang

diajak

untuk
bicara

biasanya digunakan kepada teman seusianya


tetapi kurang akrab atau orang yang lebih
muda tetapi lebih tinggi derajatnya.
Contoh:
Ngoko lugu:

a. Aku mau pas lunga ketemu bapakmu


(Kridalaksana, 2001).
Aku tadi pas pergi bertemu ayahmu.
b. Kowe wingi neng ngendi tak goleki kok ora
ana (Kridalaksana, 2001).
Kamu kemarin kemana, saya cari tidak
ada.
Ngoko andhap:
Ton, cah sing anyar iku asmane sapa?
(Kridalaksana, 2001).
Ton, anak yang baru itu namanya siapa?

2. Ragam bahasa Jawa madya menunjukkan


tingkat tataran menengah yang terletak di
antara ragam ngoko dan krama (Kridalaksana,
2001). Jenis ini umumnya digunakan di antara
para penutur yang tidak akrab, seperti penanya
di jalan di mana satu sama lain tidak
mengetahui

kelas

sosialnya,

dan

ketika

seseorang ingin berbicara tidak terlalu formal


dan juga tidak terlalu informal. Misalnya Mas,

tinimbang sampeyan ngresula ngoten niku,


mbok nyenyuwun teng Pangeran pinaringan
gesang mulya, tentrem boten enten sambikala.
3.

Ragam bahasa Jawa krama digunakan untuk


menunjukkan adanya penghormatan kepada
mitratutur yang lebih tua atau mempunyai
kedudukan dan kekuasaan yang lebih tinggi
daripada penutur (Susylowati, 2006). Bahasa
Jawa krama ini digunakan orang sebagai tanda
menghormati

orang

yang

diajak

bicara.

Misalnya, anak muda dengan orang tua atau


pegawai dengan atasannya. Tingkatan yang
lebih tinggi dari krama yaitu krama inggil.
Krama inggil dianggap sebagai bahasa dengan
nilai sopan santun yang sangat tinggi. Jarang
sekali digunakan pada sesama usia muda.
Contoh:
a. Krama:
Kula badh ksah sakmenika (Kridalaksana,
2001).

Saya mau pergi sekarang.


b. Krama inggil:
Panjenengan

badh

tindak

sakmenika

(Kridalaksana, 2001).
Anda mau pergi sekarang.
Pembicara

atau

penutur

menggunakan kata ksah mengacu pada


tindakan yang dilakukannya, sedangkan
kata tindak digunakan untuk mengacu
tindakan yang dilakukan oleh kawan bicara
yang dihormati atau memiliki status sosial
yang lebih tinggi.
2.1.2 Dialek Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa
terbesar di dunia dengan jumlah penutur asli sekitar
80 juta orang yang menjadi bahasa lokal terbesar
dan terbanyak penggunanya di Indonesia. Bahasa
Jawa sangat beragam, dan keragaman ini masih
terpelihara sampai sekarang baik karena dituturkan
maupun melalui dokumentasi tertulis. Berikut

adalah paparan singkat mengenai berbagai dialek


dalam bahasa Jawa, mulai dari Banten di barat
hingga Banyuwangi di timur.
1.

Dialek Banten
Bahasa Banten (Dialek Banten) mulai

dituturkan di zaman Kesultanan Banten pada abad


ke 16. Di zaman itu, Bahasa Jawa yang diucapkan
di Banten tidak ada bedanya dengan Bahasa Jawa
Dialek Cirebon, sedikit diwarnai Dialek TegalBanyumas (Aji, 2013). Asal muasal Kesultanan
Banten memang berasal laskar gabungan Demak
dan Cirebon yang berhasil merebut wilayah pesisir
utara Kerajaan Sunda Pajajaran. Namun, Bahasa
Jawa Banten mulai terlihat bedanya, apa lagi
daerah penuturannya dikelilingi daerah penuturan
Bahasa Sunda dan Bahasa Betawi (Melayu).
Bahasa Banten atau Dialek Banten ini
dituturkan di bagian utara Kabupaten Serang, Kota
Serang, Kota Cilegon dan daerah barat Kabupaten
Tangerang. Dialek ini dianggap sebagai dialek

kuno juga banyak pengaruh Bahasa Sunda dan


Bahasa Betawi (Wikipedia Bahasa Indonesia,
2013). Contoh Dialek Banten sebagai berikut.
a.

Pripun kabare? Kakang ayun ning pundi?


(Bagaimana kabarnya? Kakak dimana?)

b.

Sampun dahar dereng? (Sudah makan belum)

c.

Kepremen kabare? Sire arep ning endi?


(Bagaimana kabarnya? Maunya kemana?)

d.

Arane sape ? (Namanya siapa?)

2.

Dialek Cirebon-Indramayu
Dialek Cirebon-Indramayu atau disebut

oleh masyarakat setempat sebagai Basa Cerbon


ialah salah satu dialek Bahasa Jawa yang dituturkan
di pesisir utara Jawa Barat, terutama mulai daerah
Pedes hingga Cilamaya di Kabupaten Karawang;
Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara, Pusakaratu,
dan Compreng di Kabupaten Subang; Kabupaten
Indramayu, Kabupaten dan Kota Cirebon, serta
Kabupaten Majalengka (Aji, 2013).

Dialek Cirebon mempertahankan bentukbentuk kuno Bahasa Jawa seperti kalimat-kalimat


dan pengucapan, misalnya ingsun (saya) dan sira
(kamu) yang sudah tak digunakan lagi oleh bahasa
Jawa baku (Aji, 2013). Contoh kalimat dalam
Dialek Cirebon-Indramayu sebagai berikut.
a.

Pripun kabar ae ? Panjenengan bade teng


pundi ? (Bagaimana kabarnya? Kamu mau
kemana?)

b.

Sampun dahar dereng ? (Sudah makan


belum?)

c.

Permios, Kula mboten uning griya ae rara


Astutiningsih kuh teng pundi ? (Permisi,
Rumah Rara Astuningsih dimana?)

d.

Jeneng ae sinten? (namanya siapa?)

3.

Dialek Tegal-Banyumas
Dialek Tegal-Banyumas atau sering disebut

Basa Ngapak adalah kelompok bahasa Bahasa


Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa
Tengah (Pemalang, Tegal, Brebes, Banyumas,

Cilacap,

Kebumen,

Purbalingga,

dan

Banjarnegara). Logat bahasanya agak berbeda


dibanding dialek Bahasa Jawa lainnya. Hal ini
disebabkan

Bahasa

Banyumasan

masih

berhubungan erat dengan Bahasa Jawa Kuno (Aji,


2013). Sebagian besar kosakata asli dari dialek ini
tidak memiliki kesamaan dengan Bahasa Jawa
standar

(Surakarta-Yogyakarta)

baik

secara

morfologi maupun fonetik.


a.

Inyong (saya) merupakan dialek Tegal dan


Banyumas

b.

Rika (kamu) merupakan dialek Banyumas

c.

Koen (kamu) merupakan dialek Tegal

d.

Kepriwe

(bagaimana) merupakan dialek

Banyumas
e.

Kepriben

(bagaimana)

merupakan

dialek

Tegal
4.

Dialek Pekalongan
Dialek Pekalongan adalah salah satu dari

dialek-dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di Kota

Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, Jawa


Tengah (Aji, 2013). Dialek Pekalongan banyak
menggunakan kosakata yang sama dengan Dialek
Tegal, misalnya : bae, nyong, manjing, kaya kuwe,
namun

pengucapannya

tak

begitu

"kental"

melainkan lebih "datar" dalam pengucapannya,


contohnya menggunakan pengucapan : ri, ra, po'o,
ha'ah pok, lha, ye. Demikian pula adanya istilah
yang khas, seperti : Kokuwe artinya "sepertimu",
Tak nDangka'i artinya "aku kira", Jebhul no'o
artinya "ternyata", Lha mbuh artinya "tidak tau",
Ora dermoho artinya "tak sengaja", Wegah ah
artinya

"tak

mau",

Nghang

priye

artinya

"bagaimana", Di Bya bae ra artinya "dihadapi


saja", dan masih banyak lainnya.
5. Dialek Kedu
Sebuah dialek Bahasa Jawa yang dituturkan
di Daerah Kedu, Jawa Tengah bagian tengah
(Wonosobo, Purworejo, Magelang dan khususnya
Temanggung). Dialek Kedu adalah nenek moyang

dari Bahasa Jawa yang biasa digunakan di


Suriname (Wikipedia Bahasa Indonesia, 2013).
Kata-katanya masih menggunakan dialek ngapak
dalam tuturannya agak bandek :
a.

Gandhul (pepaya)

b.

Mbaca (membaca)

c.

Mberuh (tidak tahu)

6. Dialek Surakarta-Yogyakarta
Bahasa Jawa Dialek Surakarta-Yogyakarta
(Mataraman) adalah dialek Bahasa Jawa yang
diucapkan di daerah Surakarta dan Yogyakarta,
termasuk pula daerah-daerah di bagian tengah
Pulau Jawa (memanjang dari Kabupaten Blitar di
timur hingga Kabupaten Kendal di barat). Menurut
Aji (2013), dialek ini merupakan Bahasa Jawa baku
dan menjadi standar bagi pengajaran Bahasa Jawa
baik

di

dalam

negeri

maupun

secara

internasional. Terdapat tiga bentuk utama variasi,


yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama
(halus).

7.

Dialek Pantura Timur


Dialek Pantai Utara Timur adalah sebuah

dialek Bahasa Jawa yang sering disebut Dialek


Muria di Jawa Tengah karena juga dituturkan di
wilayah sekitar kaki Gunung Muria (Aji, 2013).
Dialek ini meliputi wilayah Jepara, Kudus, Pati,
Blora, Rembang (Jawa Tengah), Tuban, dan
Bojonegoro (Jawa Timur). Dialek ini juga menjadi
bahasa sehari-hari Suku Samin (salah satu subSuku Jawa) di pedalaman Kabupaten Blora dan
Kabupaten Bojonegoro..
Ciri khas dialek ini adalah digunakannya
akhiran -em atau -nem ( ) menggantikan akhiran mu dalam Bahasa Jawa untuk menyatakan kata
ganti posesif orang kedua tunggal. Beberapa
kosakata khas Dialek Pantura Timur yang tidak
dipakai dalam Bahasa Jawa yang lain antara lain:....
a.

Lamuk/jengklong (nyamuk)

b.

Mbledeh/mblojet (telanjang dada)

8.

Dialek Arekan
Dialek

Arekan

adalah

sebuah

dialek

Bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan


sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan
oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya
(Aji, 2013). Secara struktural bahasa, Dialek
Surabaya dapat dikatakan sebagai bahasa paling
kasar.

Meskipun

demikian,

bahasa

dengan

tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh


beberapa

orang

Surabaya,

sebagai

bentuk

penghormatan atas orang lain. Beberapa kosa kata


khas Suroboyoan sebagai berikut.
a.

Pongor, gibeng, santap, waso(h) (istilah untuk


pukul atau hantam).

b.

Kathuken (kedinginan)

c.

Gurung (belum)

d.

Gudhuk (bukan)

e.

Opoo (mengapa)

9.

Dialek Tengger

Bahasa Tengger atau Dialek Tengger


merupakan sub-Bahasa Jawa yang dituturkan oleh
Orang Tengger di daerah Gunung Bromo dan
Gunung Semeru (Dataran Tinggi Tengger) yang
termasuk wilayah sebagian Kabupaten Pasuruan,
Probolinggo, Malang dan Lumajang (Aji, 2013). Di
Pasuruan, Dialek Tengger ditemukan di Kecamatan
Tosari, lalu di Probolinggo, daerah Kecamatan
Sukapura, sedangkan Malang, Dialek Tengger
dituturkan di wilayah Desa Ngadas, Kecamatan
Poncokusumo.

Yang

terakhir,

di

Lumajang

dituturkan di wilayah Ranu Pane, Kecamatan


Senduro.
Ada yang menganggap Dialek Tengger
merupakan turunan Bahasa Kawi dan banyak
mempertahankan kalimat-kalimat kuno yang sudah
tak digunakan lagi dalam Bahasa Jawa modern.
Contoh :
a.

Reang : aku, jika yang berbicara lelaki

b. Isun : aku, jika yang berbicara perempuan

10. Dialek Osing


Dialek Osing atau sering disebut Basa
Osing,

adalah

dialek

bahasa

Jawa

yang

dipertuturkan oleh orang Osing (salah satu subSuku Jawa) di Kabupaten Banyuwangi, Jawa
Timur. Di kalangan masyarakat Osing, dikenal dua
gaya bahasa yang satu sama lain ternyata tidak
saling berhubungan yakni Cara Osing dan Cara
Besiki (Aji, 2013). Cara Osing adalah gaya bahasa
yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, dan
tidak mengenal bentuk Ngoko-Krama seperti
layaknya Bahasa Jawa umumnya. Pembedanya
adalah

pronomina

yang

disesuaikan

dengan

kedudukan lawan bicara sebagai berikut.


a.

Hiro/Iro = pronomina lawan bicara untuk yang


lebih muda(umur)

b.

Siro = pronomina lawan bicara untuk yang


selevel(umur)

c.

Riko = pronomina lawan bicara untuk yang di


atas kita (umur)

d.

Ndiko = pronomina lawan bicara untuk orang


tua (bapak/ibu)........

11. Dialek Pendhalungan


Dialek Pendhalungan adalah dialek bahasa
Jawa yang dipertuturkan orang yang berada di
P a s u r u a n s a m p a i B a n yu w a n g i , mayoritas
di Probolinggo, Situbondo, Bondowoso dan Jember
(Aji,

2013).

Banyak

yang

mengatakan

pendhalungan merupakan gabungan dari bahasa


Jawa dan Madura sehingga menghasilkan dialek
Pendhalungan.
2.1.3 Aksara Jawa
Aksara Jawa Hanacaraka dikenal juga
dengan nama Carakan yaitu aksara yang digunakan
untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa
(Wikipedia Bahasa Indonesia, 2014). Bentuk
Hanacaraka yang sekarang dipakai sudah tetap
sejak masa Kesultanan Mataram abad ke-17 tetapi
bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19.

Aksara Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar


dan 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup
bunyi vokal (Wikipedia Bahasa Indonesia, 2014).
Huruf dasar adalah aksara inti yang terdiri dari 20
suku kata atau biasa disebut Dentawiyanjana, yaitu:
ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya,
nya, ma, ga, ba, tha, nga.

Gambar 2.1.2 Aksara Jawa

Aksara pasangan dipakai untuk menekan


vokal konsonan di depannya (Wikipedia Bahasa
Indonesia, 2014). Misalnya, untuk menuliskan
mangan sega (makan nasi) akan diperlukan
pasangan untuk se agar n pada mangan tidak

bersuara. Tanpa pasangan s tulisan akan terbaca


manganasega (makanlah nasi).

Gambar 2.1.2 Pasangan Aksara Jawa

Sandangan adalah tanda yang dipakai


sebagai pengubah bunyi di dalam tulisan Jawa
(Wikipedia Bahasa Indonesia, 2014). Di dalam
tulisan

jawa,

aksara

yang

tidak

mendapat

sandangan diucapkan sebagai gabungan anatara


konsonan dan vokal a.

Gambar 2.1.3 Sandhangan Aksara Jawa

2.2 Sastra Jawa


Kata sastra dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Sansekerta, yakni sas yang
berarti

mengarahkan,

mengajar,

memberi

petunjuk/instruksi, dan tra yang berarti alat, atau


sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar.
Menurut Damono (1979: 1) memaparkan bahwa
sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan
bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri
merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan

gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri


adalah suatu kenyataan sosial. Karya sastra dapat
diartikan sebagai karya yang dihasilkan oleh
manusia berupa tulisan maupun lisan yang bersifat
universal,

imajinatif,

tidak

dapat

dibuktikan

kebenarannya, bebas dan mempunyai kemandirian


yang luar biasa.
Sebagaimana kita ketahui sastra tidak bisa
kita lepaskan dari kehidupan kita. Istilah sastra
jawa secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk
aktifitas tulis menulis dari para pujangga Jawa
dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan
hidup dalam lingkup budaya Jawa. Kebudayaan ini
memiliki elemen-elemen majemuk yang berakar
pada etika, agama-agama yang berkembang dalam
masyarakat Jawa.
2.2.1 Pembagian Sastra Jawa
Pembagian

sastra

Jawa

berdasarkan

periodesasi menurut para pakar yakni ada beberapa

bagian. Di antaranya menurut Berg sastra Jawa


dibagi menjadi tiga (2010:3).
1.

Sastra Jawa Kuno yang disebut sebagai


Sastra Keraton Jawa Timur.
Sastra Jawa kuno meliputi sastra yang

ditulis dalam bahasa Jawa Kuno pada periode


kurang lebih ditulis pada abad ke-9 sampai abad
ke-14 Masehi. Periode sastra Jawa kuno ini
mencakup masa kekuasaan Raja Sindok dan
penerusnya

di

Jawa

Timur,

keraton

Raja

Airlanggha, keraton Jenggala, keraton Kediri,


keraton Singhasari, dan keraton Majapahit. Karya
sastra ini ditulis dalam bentuk prosa (gancaran)
maupun puisi (kakawin). Karya-karya sastra Jawa
penting yang ditulis pada perisode sastra Jawa kuno
diantaranya:
a.

Candakarana, semacam kamus atau bisa juga


disebut ensikplopedia Jawa kuno dan versi
paling awal ditulis pada abad ke-8 Masehi.

b.

Kakawin ramayana, merupakan syair berisi


cerita Ramayana. Ditulis sekitar tahun 820-832
Saka atau sekitar tahun 870 Masehi.

c.

Mahabharata, merupakan sebuah karya sastra


kuno yang berasal dari India. Menceritakan
kisah konflik para Pandawa lima dengan
saudara

sepupu mereka seratus

Kurawa,

mengenai sengketa hak pemerintahan tanah


negara

Astina.

Baratayuddha

Pncaknya
di

medan

adalah

perang

Kurusetra

dan

pertempuran berlangsung selama delapan belas


hari.
2.

Sastra Jawa Pertengahan, juga disebut


Keraton Bali.
Sastra Jawa pertengahan muncul di kerajaan

Majapahit pada abad ke-13 sampai abad ke-16.


Sastra Jawa tengahan berkembang pada periode
sastra Jawa-Bali. Pertengahan bersamaan waktunya
dengan kekuasaan keraton Samprangan, Gelgel,

dan Klungkung di Bali Selatan. Macam-macam


sastra pada periode sastra Jawa tengahan:
a.

Tantu Panggelaran, sebuah teks prosa yang


menceritakan

tentang

kisah

penciptaan

manusia di pulau Jawa dan segala aturan yang


harus ditaati manusia.
b.

Calon Arang, seorang janda penguasa ilmu


hitam yang sering merusak hasil panen para
petani dan menyebabkan datangnya penyakit.
Kemudian Prabu Airlangga menyuruh Mpu
Baradah untuk menyirnakan Calon Arang.

c.

Tantri Kamandaka, kitab Tantri Kamandaka


bersumber pada kitab Pancatantra. Tantri
Kamandaka berisi cerita tentang dongeng
hewan. Namun kitab ini mengawalinya dengan
cerita mirip seribu satu malam.

d. Korawasrama, sebuah karya sastra dalam


bahasa Jawa Tengahan. Isi buku ini adalah
cerita Korawa yang mempunyai dendam

kepada Pandawa yang telah mengalahkannya


dalam perang Baratayudha.
e. Pararaton, sebuah kitab naskah Sastra Jawa
Pertengahan yang diubah dalam bahasa Jawa
Kawi. Berisi sejarah raja-raja Singhasari dan
Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga
dikenal dengan nama Pustaka Raja, yang
dalam bahasa Sanskerta juga berarti kitab rajaraja.
f. Kidung, karya sastra jaman Jawa pertengahan
yang berbentuk nyanyian.
3. Sastra Jawa Baru juga disebut Sastra
Mataram dan Vorstenlanden (Surakarta
dan Yogyakarta).
Sastra Jawa baru merupakan sastra Jawa
yang muncul setelah masuknya agama Islam di
pulau Jawa dari Demak antara abad ke-15 dan ke16 Masehi. Sastra Jawa Baru bersamaan waktunya
dengan

keraton

Mataram,

dan

kemudian

dilanjutkan oleh keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Dengan masuknya Islam orang Jawa mendapatkan


ilmu baru dalam menulis karya sastra mereka.
Contoh sastra Jawa Baru yaitu Babad Demak,
Babad Giyanti, Babad Keraton, dan lain-lain.
2.2.2 Klasifikasi Karya Sastra Jawa
Menurut
mengalami

Purwadi

perkembangan,

(2007:426)

setelah

kesusastraan

Jawa

dibedakan menjadi dua golongan yakni, gancaran


(prosa) dan geguritan (puisi).
1.

Prosa Jawa

Prosa adalah karya sastra yang disusun


dengan bahasa tutur biasa. Kalimat-kalimatnya
seperti dalam kalimat tutur keseharian. (Purwadi,
2007:426). Yang termasuk di dalam jenis prosa
Jawa adalah:
a.

Dongeng
Menurut

Sutjipto

(Mursini,

2007:46),

dongeng dalam bahasa Inggris disebut folklore


yang merupakan cerita di kalangan masyarakat
yang disajikan dengan bertutur lisan. Sedangkan

menurut Propp (Danandjaja, 2007:5) menjelaskan


bahwa cerita dalam dongeng merupakan cerita
prosa

rakyat

bagian

dari

kebudayaan

yang

diwariskan secara turun-temurun dan bentuknya


lisan.

Dapat

disimpulkan

bahwa

dongeng

merupakan cerita tradisional yang tumbuh di


masyarakat sejak zaman dahulu, dan berasal dari
generasi terdahulu. Adapun contoh dongeng Jawa
yaitu:
1) Rara Jonggrang
Sebuah cerita populer yang berasal dari
Jawa Tengah dan Yogyakarta di Indonesia. Cerita
ini mengisahkan cinta seorang pangeran kepada
seorang putri yang berakhir dengan dikutuknya
sang putri akibat tipu muslihat yang dilakukannya.
Dongeng ini juga menjelaskan asal mula yang ajaib
dari Candi Sewu, Candi Prambanan, Keraton Ratu
Baka, dan arca Dewi Durga yang ditemukan di
dalam candi Prambanan.
2) Jaka Tarub

Legenda Jaka Tarub adalah salah satu cerita


rakyat yang diabadikan dalam naskah populer
Sastra Jawa Baru, Babad Tanah Jawi. Kisah ini
berputar pada kehidupan tokoh utama yang
bernama Jaka Tarub (pemuda dari Tarub. Setelah
dewasa ia digelari Ki Ageng Tarub. Ki Ageng
Tarub adalah tokoh yang dianggap sebagai leluhur
dinasti Mataram, dinasti yang menguasai politik
tanah Jawa sejak abad ke-17 hingga sekarang.
3) Rara Mendut
Cerita rakyat klasik yang merupakan salah
satu cerita dalam Babad Tanah Jawa. Kisah ini
menceriterakan perjalanan hidup dan tragedi cinta
seorang perempuan cantik dari pesisir pantai
Kadipaten Pati (sekarang Kabupaten Pati) yang
hidup pada zaman Sultan Agung, penguasa
Kesultanan Mataram abad ke-17 di Jawa.
b.

Babad
Babad yaitu prosa yang menceritakan

sejarah atau kisah seorang tokoh. (Purwadi

(2007:427). Adapun babad yang berisi sejarah yaitu


Babad Tanah Jawa, Babad Giyanti, Babad Tanah
Pasundan, Babad Ngayogyakarta, dll. Sedangkan
babad yang berisi biografi misalnya: Babad
Diponegoro, Babad Cakranegara, dan sebagainya.
c.

Riwayat
Menurut

Purwadi

(2007:427)

riwayat

merupakan cerita yang menguraikan riwayat hidup


seseorang. Contoh buku riwayat: Ki Padmasustra
(biografi Raden Ng. Ranggawarsita) dan MA
Candranegara (Lamphanipun RMA Purwa Lelana).
d.

Wiracarita
Wiracarita berasal dari bahasa Sansekerta,

wira yang berarti pahlwan, dan carita adalah kisah


atau cerita. Wiracarita atau yang biasa disebut epos.
Menurut Purwadi (2007:428) wiracarita merupakan
sejenis karya sastra yang menceritakan kisah
kepahlawanan. Wiracarita pada sastra Jawa yakni
Serat Baratayudha, Cerita Panji, Serat Menak,
Serat Rengganis, dan lain-lain.

e.

Sandiwara (Drama)
Sandiwara berasal dari bahasa Jawa (sandi

berarti rahasia dan warah berarti pelajaran). Jadi,


sandiwara merupakan pelajaran yang disampaikan
secara rahasia atau tersamar (Suprayanta, 2007:1).
Secara umum, drama dapat diartikan bentuk seni
yang mengungkapkan perihal kehidupan manusia
melalui gerak atau actin dan percakapan atau dialog
sebagai alat menyampaikan nasihat atau pelajaran
kepada masyarakat. Yang termasuk di dalam drama
Jawa yaitu: kethoprak, wayang, dhagelan, opera,
dan monolog.
2.

Puisi Jawa
Puisi Jawa biasa disebut dengan kata

geguritan. Geguritan (berasal dari bahasa Jawa


Tengahan, kata dasar: gurit, berarti "tatahan",
"coretan")

merupakan

berkembang

di

kalangan

bentuk puisi yang


penutur bahasa

Jawa dan Bali. Geguritan merupakan sastra kuna


yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang

bersifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan


penulis. Hal tersebut
zamanya

dibuat

menonjolkan

disebabkan karena pada

seorang penulis

tidak

mau

diri dan karyanya dianggap milik

bersama. Selain itu, puisi yang dibuatnya ada yang


dipersembahkan untuk pemimpinnya, yaitu raja
yang berkuasa pada masa itu. Sehingga keberadaan
puisi yang dibuatnya tidak mencantumkan namanya
sebagai pengarang suatu puisi.
Puisi merupakan kesusastraan yang sangat
disenangi oleh masyarakat sejak jaman kuno
sampai sekarang. Macam-macam

puisi

Jawa

(Purwadi, 2007:435-455).
a.

Kekawin
Kekawin berasal dari kata dasar kawi yang

artinya syair. Pembacaan kekawin terikat oleh suara


berat yang disebut guru dan suara ringan yang
disebut lagu. Kakawin ini merupakan karya
sastra Jawa yag mendapat pengaruh dari India.
Kekawin diciptakan sebagai upaya penghormatan

kepada raja. Bahkan ada kalanya kakawin itu


sebagai gambaran abadi tingkah laku raja. Namanama

kekawin

Garirangsi,

yaitu:

Sikarini,

Kusumawicitra,

Sardula
Jagadita,

Lalitawisama,

Wikridita,
Praharsini,
Aswalalita,

Wasantatilaka, Ragakusuma.
Contoh Kekawin Garirangsi
Singgrong ning paras arars aleye khawan ika ri
tepi kangde kung
Ramyatuntun angelih ika sang ahayu teher inamber
agupyangras
Sobarum rara-raras ika sawinulatan irika n
amangun lengleng
Ardhasor raras ika ri hayu ni sang amunah i sang
garirangsi.
b. Kidung, merupakan sebuah lelagon yang
diformat dengan kata-kata kawi campuran
dengan bahasa Jawa baru. Kidung merupakan
karya untuk mengekspresikan kisah seorang
tokoh. Di jaman Majapahit terdapat kidung Sri
Tanjung, Kidung termasuk karya sastra asli
Jawa, tidak mengenal guru dan lagu (suara
panjang

dan

pendek).

Walaupun

seperti

Macapat akan tetapi metrum kidung tidak


seketat

Macapat.

antaranya
Undayana,

Nama-nama

Kidung
kidung

kidung

Sorandakan,
Ranggalawe,

di

kidung
dan

sebagainya.
c. Tembang
1) Tembang Gedhe, juga sering digunakan
sebagai bawa dan suluk wayang kulit.
Tembang gedhe adalah nama tembang yang
terdiri dari 4 baris, setiap baris jumlah suku
katanya sama. Nama-nama tembang gedhe
Anandha, Badra, Nari, Sri Waneh, Giyanti,
Tanumadya,

Sundari,

Salisir

Patramanggala, Tebu Kasol, Tebu Sauyun,


Bremara Ngisep Sari, dan lain-lain.
Contoh
Dhuh kulup putraningsun, sireku wus wanci
Pisah lan jeneng ingwang, ywa kulineng
ardi
Becik sira neng praja, suwiteng narpati
Among ta wekasing wang, ywa pegat teteki

(Kusumastuti,
KGPAA
Mangnagara
IV:IV:18)
Dari
kutipan
tersebut
dapat
dinyatakan bahwa tembang gedhe adalah
tembang yang aturannya terkait dengan
konversi lampah, yakni kesamaan jumlah
suku kata dalam setiap baris.
2) Tembang tengahan, bentuk tembang ini
berasal dari kidung. Bahasa yang digunakan
pada tembang tengahan yaitu bahasa kawimiring

atau

disebut

bahasa

Jawa

pertengahan. di antaranya Balabak, Girisa,


Wirangrong, dan Judu demung.
Contoh Wirangrong
Den samnya marsudeng budi
Meweka dipun waspaos
Aja dumeh, dumeh bisa muwus
Yen tan pantes ugi sanadyan mung sakecap
Yen tan pantes prenahira
(Serat Wulangreh)
3) Macapat, diartikan sebagai maca papatpapat

(membaca

empat-empat),

yaitu

maksudnya cara membaca terjalin tiap

empat suku kata. Macapat ini diperkirakan


muncul

pada

akhir

Majapahit

dan

dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal


ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di
Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan
Bali

macapat

telah

dikenal

sebelum

datangnya Islam. Jenis metrum Macapat


Asmarandana,

Dhandhanggula,

Durma,

Gambuh, Megatruh, Mijil, Pangkur, Sinom,


Kinanthi, Maskumambang, Pucung, dan
Dhudhukwuluh.
Contoh Durma
Gunane sanepan paribasan basa
Ngoko madya karma inggil
Lire tata karma
Kanggo jroning pasrawungan
Tindak-tanduk kang becik
Kang tanpa kulakan
Nanging bisa mranani.
(Purwadi, Desa Mawa Cara)
d. Parikan
Parikan juga termasuk di dalam jenis sastra
Jawa. Parikan berasal dari kata Pari atau pantun.

Parikan ada persamaan dengan pantun di dalam


kesusastraan Indonesia. Akan tetapi, parikan Jawa
lebih bebas.
Contoh parikan dua baris:
a) Jambu apa jeruk?
Aku melu apa entuk?
b) Arum manis gula Jawa,
Aja nangis ayo lungo.
c) Manuk tuhu mencok pager,
Gelem sinau mesthi pinter.
d) Wajik klethik gula Jawa,
Luwih becik kang prasaja.
Contoh parikan empat baris:
a) Suwe ora jamu
Jamu pisan godhong jinten.
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan gawe kangen.
b) Suwe ora jamu
Jamu pisan godhong kecipir.
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan gawe mikir
e. Wangsalan
Wangsalan

merupakan

puisi

yang

sangat indah, karena susunan kata-katanya kait


berkait secara semu. Jika dirasakan, kadangkadang

mirip

dengan

cangkriman.

Jenis

wangsalan

ada

tiga

yaitu:

wangsalan

pacelathon, wangsalan edi peni, dan wangsalan


yang berupa tembang.
Contoh wangsalan tembang Pangkur
Singgang gung kang piniyara
Mardi siswa kekawining estri.
Wineh winulangaken wadu.
Peputhut mong Pregiwa
Kang sumewa pasewakaning kadangun.
Pangrantamireng pradangga.
Sesendhon genti-genti.
f. Geguritan
Geguritan merupakan sebutan sastra
Jawa pada puisi modern. Geguritan keluar dari
aturan-aturan seperti dalam tembang, parikan,
wangsalan, dan lain-lain. keindahan geguritan
gagrak anyar tidak pada pergulatan bahasa,
tetapi lebih pada isinya untuk mengekspresikan
perasaan jiwa.
Contoh geguritan gagrak anyar:
Ngiwi-iwi
E, bocah kuwi kok nggeregetake ati
Ngece ngiwi-iwi

Renea dak kandhani


Aja kemayu!
Bocah mono apik prasaja
Prasaja itu aweh ayu
Ayuning budi
Endahing laku.
(kuntara Wirya Martana)

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bahasa dan sastra jawa merupakan hasil
sebuah proses panjang perjalanan masyarakat Jawa.
Dalam perjalanannya, perkembangan bahasa Jawa
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sastra.
Dari makalah tersebut dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut.
1.

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan


suku Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Yogyakarta) maupun di berbagai tempat
lainnya yang dihuni oleh para pendatang dari
tanah Jawa dengan berbagai latar belakang.

2.

Bahasa Jawa memiliki tingkatan tatakrama


dalam berbahasa, yaitu bahasa Jawa Ngoko,
bahasa Jawa Madya, dan bahasa Jawa Krama.

3.

Bahasa Jawa tersebar di seluruh wilayah pulau


Jawa dengan memiliki berbagai dialek, seperti
dialek Banten, dialek Cirebon-Indramayu,

dialek Tegal-Banyumas, dialek Pekalongan,


dialek

Kedu,

dialek

Mataraman,

dialek

Arekan, dialek Tengger, dialek Osing, dan


dialek Pendhalungan.
4.

Bahasa Jawa memiliki aksara Jawa yang


dikenal dengan Hanacaraka.

5.

Sastra Jawa berkembang dari masa sastra Jawa


kuno hingga sastra Jawa modern.

6.

Klarifikasi

karya

sastra

Jawa

dibedakan

menjadi prosa Jawa dan puisi Jawa.


7.

Sastra Jawa dibedakan menjadi beberapa


periode. Secara umum, periodesasi sastra
Jawaada tiga bagian yakni Sastra Jawa Kuno,
Sastra Jawa Tengahan, dan Sastra Jawa Baru.

8.

Sastra Jawa dibedakan menjadi dua kateogir.


Pertama Sastra Jawa dalam bentuk Prosa, dan
Sastra Jawa dalam bentuk Puisi.

3.2 Saran
Diharapkan

pemateri

lainnya

dapat

menjelaskan topik Apresiasi Budaya Jawa yang

lebih konkret dan mudah dipahami pembaca. Bagi


pembaca diharapkan mencari referensi-referensi
lain agar diperoleh perbendahaan pengetahuan
Apresiasi Budaya Jawa.

DAFTAR PUSTAKA
Aji, Bimo Kusumo. 2013. Macam Varian Dialek
Bahasa

Jawa.

[online].

Tersedia.

http://infobimo.
blogspot.com/2013/11/macam-variandialek-dialek-bahasa-jawa.html.

Diakses

pada 15 November 2014.


Bastomi, Ahmad. 1995. Tingkat Tutur Bahasa
Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra.
Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pengembangan

Bahasa

Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.


Danandjaja. 2007. Folklor Indonesia Ilmu Gosip,
Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: PT.
Temprint.
Koentjaraningrat.

1990.

Pengantar

Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Ilmu

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Wiwara Pengantar


Bahasa dan Kebudayaan Jawa. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Mursini. 2007. Pengantar Teori Sastra. Medang:
UNIMED.
Saputro, Karsono H. 2001. Percik-Percik Bahasa
dan

Sastra

Jawa.

Depok:

Keluarga

Mahasiswa Sastra UI.


Sedyawati, Edi. dkk. 2010. Sastra Jawa: Suatu
Tinjauan Umum. Jakarta: Balai Pustaka.
Susylowati, Eka. 2006. Kesantunan Berbahasa
Jawa dalam Kraton Surakarta Hadiningrat.
[online].

Tersedia.

http://esusylowati@gmail.com/kesan tunanberbasa-jawa. Diakses tanggal 15 Desember


2014.
Purwadi. 2007. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta:
Panji Pustaka.
Uddin, Kamal. 2011. Bahasa Daerah Jawa.
[online].

Tersedia.

http://bahasa-

nusantara.blogspot.com
daerah-jawa.html.

/2011/02/bahasa-

Diakses

pada

15

Desember 2014.
Wikipedia Bahasa Indonesia. 2014. Aksara Jawa.
[online]. Tersedia. http://id.wikipedia.org/
wiki/Aksara_Jawa.

Diakses

pada

15

November 2014.
Wikipedia Bahasa Indonesia. 2013. Dialek Jawa.
[online]. Tersedia. http://id.wikipedia.org/
wiki/Dialek_Jawa.
November 2014.

Diakses

pada

15

Anda mungkin juga menyukai