Anda di halaman 1dari 21

Makalah Ragam Bahasa daerah Jawa

Disusun berdasarkan mata kuliah bahasa Indonesia


Dosen pembimbing : Ramdani Sutanto S.s

DISUSUN OLEH :
Siska meilani
Nisa Sri Ratnasari
Iis Nurhayati
Aldi Wiguna Nugraha
Ari Rudiana
Kelas 1A D3 keperawatan Bhakti kencana Bandung
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bahasa diartikan sebagai suatu sistem berupa bunyi atau lambang yang bersifat abitrer,
produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi yang digunakan untuk berkomunikasi dengan
masyarakat.
Bahasa sangat perlu untuk dipelajari oleh seluruh masyarakat karenabahasa merupakan
salah satu bentuk komunikasi suatu lapisan pemakaiannyadan bermacam-macam pula latar
belakang penuturnya, mau tidak mau akanmelahirkan sejumlah ragam bahasa yang berbeda-
beda.
Terdapat beberapa ragam bahasa, diantaranya ragam lisan, ragam tulisanmasyarakat untuk
berinteraksi dengan masyarakat lainnya.
Didalam bahasa indonesia terdapat pembahasan tentang ragam bahasa beserta
karakteristiknya. Dimana ragam bahasa merupakan varian dari sebuah bahasa menurut
penggunaannya. Ragam bahasa amat luas
, ragam baku, ragam tidak baku, ragam baku lisan, ragam baku tulisan serta ragam sosial dan
ragam fungsional.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan ragam bahasa?
2. Apa saja macam-macam ragam bahasa?
3. Bagaimana cara menggunakan ragam bahasa yang baik dan benar?

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan dibuatnya makalah ini adalah :
1. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan ragam bahasa
2. Mengetahui adanya berbagai ragam bahasa Indonesia yang sering digunakan.
3. Penggunaan ragam bahasa.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ragam Bahasa


Ragam bahasa adalah variasi pemakaian bahasa. Bachman menyatakan bahwa ragam
bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang
dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta
menurut medium pembicara. Dengan kata lain, ragam bahasa adalah variasi berbeda-beda
yang disebabkan karena berbagai faktor yang terdapat dalam masyarakat, seperti usia,
pendidikan, agama, bidang kegiatan dan profesi, latar belakang budaya daerah, dan
sebagainya.
Akibat berbagai faktor yang disebutkan di atas, maka bahasa indonesia pun mempunyai
ragam bahasa. Chaer membagi ragam Bahasa indonesia menjadi tujuh ragam bahasa,
diantaranya:
Ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Ragam bahasa ini disebut dengan istilah idiolek.
Idiolek adalah variasi bahasa yang menjadi ciri khas individu atau seseorang pada saat
berbahasa tertentu.

Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari wilayah
tertentu, yang biasanya disebut dengan istilah dialek. Misalnya, ragam Bahasa Indonesia
dialek Bali berbeda dengan dialek Yogyakarta.
Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari golongan sosila
tertentu, misalnya disebut sosiolek. Misalnya ragam bahasa masyarakat umum ataupun
golongan buruh kasar tidak sama dengan ragam bahasa golongn terdidik.
Ragam bahasa yang digunakan dalam kegiatan suatu bidang tertentu, seperti kegiatan
ilmiah, sastra, dan hukum. Ragam ini disebut juga dengan istilah fungsiolek, contohnya
ragam bahasa sastra dengan ragam bahasa ilmiah. Ragam bahasa sastra biasanya penuh
dengan ungkapan atau kiasan, sedangkan ragam bahasa ilmiah biasanya bersifat logis dak
eksak.
Ragam bahasa yang biasa digunakan dalam situasi formal atau situasi resmi biasa disebut
denga istilah baku atau bahasa standar. Bahasa baku atau bahasa standar adalah bahasa yang
dijadikan dasar ukuran atau yang dijadikan standar. Bahasa baku biasanya dipakai dalam
bahasa resmi, seperti dalam perundang-undangan, surat menyurat dan rapat resmi, serta tidak
dipakai untuk segala keperluan tetai hanya untuk komunikasi resmi, wawancara teknis,
pembicaraan didepan umum, dan pembicaraan dengan orang yang dihormati. Di luar itu
dipakai ragam bahasa tidak baku.
Ragam bahasa yang biasa digunakan dalam situasi informal atau tidak resmi yang biasa
disebut dengan istilah ragam nonbaku atau nonstandar. Dalam ragam ini kaidah-kaidah tata
bahasa seringkali dilanggar.
2.2. Sejarah bahasa jawa

Kongres Bahasa Jawa yang diawali pada 6 Juli1991 sebagai kongres bahasa Jawa yang
pertama dan diprakarsai oleh tiga kepala daerah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan yang ke lima dilaksanakan pada tanggal 27-30 November
2011 di Surabaya.
Bahasa Jawa adalah bahasa Ibu internasional yang ke 11 dari 6000 bahasa ibu di dunia ,
menurut catatan Unesco. Para ahli bahasa menyebut bahwa Bahasa Jawa sebagai Bahasa
Nusantara Purba, kemudian muncul pertanyaan ; mengapa tidak menggunakan istilah bahasa
Indonesia Purba ?

Cladius Ptolemaeus dalam karyanya “Geographike Hyphegesis” menulis tentang pulau Jawa
pada abad II Masehi dengan nama Chryse Chernesos artinya negeri emas atau semenanjung
emas. Nama pulau Jawa disebut pula sebagai nama sebuah tempat Iabadiou atau pulau
Jelai. Iabadiou dibaca ; ‘Yawadiwu’, Yawa bahasa sansekerta artinya Jelai, diwu bahasa
pakrit dapat pula disebut dwipa dalam bahasa sansekerta. Meskipun Prof. Krom sendiri tidak
yakin akan hal ini, tetapi setidaknya nama Jawa sudah dapat dipahami pada masa itu.

2.3. Klasifikasi berdasarkan dialek geografi

Kelompok Barat
1. dialek Banten
Contoh :
 'kule', dibaca 'kula' atau 'kule'. (artinya, saya)
 'ore', dibaca 'ora' atau 'ore'. (artinya, tidak)
 'pire', dibaca 'pira' atau 'pire' (artinya, berapa)
Contoh :
(B.Jawa Banten tingkat bebasan)
 Pripun kabare? Kakang ayun ning pundi?
 Sampun dahar dereng?
 Permios, kule boten uning griyane kang Haban niku ning pundi?
 Kasihe sinten?
 Kasihe Haban Ghazali lamun boten salah.
 Oh, wenten ning payun koh.
 Matur nuhun nggih, kang.
 Yewis, napik dolanan saos nggih!
 Kang Haban! Ning pundi saos? boten ilok kepetuk!
 Napik mengkoten, geh!
 Kule linggar sareng teh Toyah ning pasar.
 Ayun tumbas sate Bandeng sios.
(B.Jawa Banten tingkat standar)
 Kepremen kabare? Sire arep ning endi?
 Wis mangan durung?
 Punten, kite ore weruh umahe kang Haban kuwen ning endi?
 Arane sape?
 Arane Haban Ghazali ari ore salah.
 Oh, ning arep koh.
 Nuhun ye, kang.
 Yewis, aje memengan bae ye!
 Kang Haban! Ning endi bae? ore ilok kependak!
 Aje mengkonon, Geh!
 Kite lunge kare teh Toyah ning pasar.
 Arep tuku sate Bandeng siji.

1. dialek Indramayu, (Jawa Barat), Kabupaten Indramayu, sebagian utara


kabupaten Subang dan Karawang
2. dialek Tegal (sebagian barat Jawa
Tengah (kabupaten Tegal, Pemalang dan Brebes dan kota Tegal)

Contoh Dialek Tegal


A: "Koen kas maring ngendi?"

B: "Kas maring warung."

A: "Tane koen pan maring ngendi maning."

B: "Nyong pan maring warnet. Pan melu?"

A: "Neng kana pan ngapa?"

B: "Pan ngerjakna PR kliping. Sida melu?"

A: "Ya wis, tetapi sing mbayari sapa?"

B: "Urunan wis. Oke?"

A: "Oke wis. Makasih."

3. dialek Banyumasan (sebagian barat laut Jawa Tengah (seluruh


kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap)

Contoh Dialek Tegal


A: "Koen kas maring ngendi?"

B: "Kas maring warung."

A: "Tane koen pan maring ngendi maning."

B: "Nyong pan maring warnet. Pan melu?"

A: "Neng kana pan ngapa?"

B: "Pan ngerjakna PR kliping. Sida melu?"

A: "Ya wis, tetapi sing mbayari sapa?"

B: "Urunan wis. Oke?"

A: "Oke wis. Makasih."


4. dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Dialek Bumiayu juga sering menambahkan akhiran ra (diucapkan rha), belih untuk mengakhiri
kalimat, hal ini mungkin untuk menegaskan maksud dari kalimat tersebut.

Contoh:

 Ana apa, ra? --> Ada apa ?


 Rikané masa ora ngerti, ra ? --> Kamu masa ngga ngerti ?
 Wis mangan, belih ? --> Sudah makan belum ?
 Pan maring ngendi ? --> mau pergi ke mana ?

Kelompok Tengah
1. dialek Pekalongan (Jawa Tengah (kabupaten Pekalongan dan Batang dan
kota Pekalongan))
Dialek kota[sunting | sunting sumber]

Di bawah ini adalah contoh dialek yang digunakan di Kota Pekalongan. Eratnya budaya
orang Pekalongan dengan budaya Arab dan Tionghoa menambah kosakata dan dialek di
Pekalongan. Biasanya, para keturunan Tionghoa di Pekalongan juga berbicara dialek
Pekalongan yang bercampur dengan bahasa Indonesia.
Dialek
Lha kowe pak ring ndi si?
Pekalongan:
Bahasa Indonesia: Kamu mau ke mana?

Dialek
Yo wis kokuwe po'o ra
Pekalongan:
Bahasa Indonesia: Ya sudah begitupun tak apa

Dialek
Tak ndangka'i lanang jebulno'o wadhok
Pekalongan:
Bahasa Indonesia: Aku kira lelaki ternyata perempuan

Dialek Wallahi temenan po'o nyong ra ngapusi, yakin (pengaruh bahasa


Pekalongan: Arab)
Bahasa Indonesia: Demi Allah aku tak berdusta, yakin

Dialek
Ya Allah, ke ra mosok ra percoyo si (pengaruh bahasa Arab)
Pekalongan:
Bahasa Indonesia: Ya Allah, mengapa tak percaya sekali
Dialek Lha tadi sudah tak bilangke tapi ndak ngerti yo wis (pengaruh bahasa
Pekalongan: Tionghoa)
Bahasa Indonesia: Tadi sudah kukatakan namun tak mengerti ya sudahlah

Dialek
mbok diambilke (pengaruh bahasa Tionghoa)
Pekalongan:
Bahasa Indonesia: Tolong ambilkan
Dialek
pa'ora rakaiki
Pekalongan:
Bahasa Indonesia: biarkan tidak apa-apa

Dialek luar kota[sunting | sunting sumber]

Penggunaan dialek Pekalonga di daerah agak pinggir dari daerah kota, ada perbedaan sedikit
pada pengucapannya. Banyak huruf vokal dan konsonan yang diucapkan agak "kental",
umumnya dengan penambahan huruf "h" dalam pengucapannya. Bentuk dialek ini
dipergunakan di daerah Batang (di bagian timur), Pemalang/Wiradesa (di bagian barat),
serta Bandar/Kajen (di bagian selatan).

Contoh:
Kata banyu (air) diucapkan benhyu
Kata Iwan (nama) diucapkan I-whan
Kata bali (pulang) diucapkan bhelhi
"Brahim" (nama: Ibrahim) diucapkan Brehiim
Contoh kalimat:
Wis ho, nyong pak bhelhi ndikik (Sudah ya, aku akan pulang dahulu)

2. dialek Kedu (Jawa Tengah bagian tengah (eks Karesidenan Kedu)


(kabupaten Magelang, Wonosobo, Temanggung, Purworejo, Kebumen dan
kota Magelang))
Bahasa Jawa Kedu adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Kedu,
tersebar di Kebumen: khususnya Kota
Karanganyar, Prembun, Kutowinangun, Kutoarjo, Purworejo, Magelang dan Temanggung. Dialek
Kedu adalah nenek moyang dari bahasa Jawa yang biasa digunakan di Suriname.

Dialek ini terkenal dengan cara bicaranya yang khas, sebab merupakan pertemuan antara dialek
"Mataram/bandek" (Yogya-Solo) dan dialek Banyumasan. Contoh: Kata-katanya masih
menggunakan dialek ngapak dalam tuturannya agak bandek:

 "Nyong": aku, tetapi orang Magelang memakai "aku" orang Temanggung yang di kotanya
juga menggunakan "aku" di Parakan juga sebagian kecil menggunakan "aku"
 "njagong": duduk (bahasa Jawa standar: lungguh)
 "Njur piye": Lalu bagaimana (bahasa Jawa standar: "banjur piye" atau "terus piye")
 "gandhul": pepaya
 "mbaca": membaca (bahasa Jawa standar: maca)
 "mberuh" = (embuh ora weruh): tidak tahu
 "mbek" = (kambek, karo): dengan contoh "mbek sopo?" artinya "dengan siapa?"
 "krongsi" = kursi (Temanggung)
 "petek poteh sekele koneng numpak dhugar gejedud-jedud" = (dialek Prembun) yang
berarti: ayam putih kakinya kuning menumpang dokar terantuk.
 "Pinten" = Berapa? (Krama Karanganyar)
 "Sae" = Baik atau Bagus.

1. dialek Bagelan (Jawa Tengah (Bagelen, Purworejo))


2. dialek Semarang (Jawa Tengah (Semarang Metro
(kabupaten Semarang, Demak, Kendal dan kota Semarang dan Salatiga))
3. Frasa: "Yo ora.." (Ya tidak) dalam dialek semarang menjadi "Yo orak too ". Kata ini sudah
menjadi dialek sehari-hari para penduduk Semarang.
4. Contoh lain: " kuwi ugo" (itu juga) dalam dialek Semarang menjadi "kuwi barang"
("barang" diucapkan sampai sengau memakai huruf h "bharhang").

5. dialek Pantai Utara Timur (sebagian timur laut Jawa Tengah (eks Karesidenan Pati)
(kabupaten Pati, Rembang, Jepara, Kudus, Rembang) dan sebagian barat daya Jawa
Timur (kabupaten Bojonegoro, Tuban))
Beberapa kosakata khas yang tidak dipakai dalam dialek Jawa yang lain antara lain:
 "lamuk/jengklong" berarti "nyamuk" (Bahasa Jawa standar: nyamuk atau lemut)
 "mbledeh/mblojet" berarti "telanjang dada" (Bahasa Jawa standar: ngliga)
 "wong bento" berarti orang gila" (Bahasa Jawa standar: wong edan)

1. dialek Blora (sebagian timur Jawa Tengah (eks Karesidenan Pati)


(kabupaten Blora, Grobogan) dan Jawa Timur (sebagian barat
kabupaten Bojonegoro))

Perbedaan[sunting | sunting sumber]


Beda dialèk Blora dengan dialek bahasa Jawa pada umumnya antara lain:

Akhiran "uh" jadi "oh". Contohnya:

abuh jadi aboh

butuh jadi butoh

embuh jadi emboh

ngunduh jadi ngundoh

suruh jadi suroh

sepuluh jadi sepuloh


utuh jadi utoh

Akhiran "ih" jadi "èh"[1] , contohnya:

batih jadi batèh

gurih jadi gurèh

kluwih jadi kluwèh

mulih jadi mulèh

sugih jadi sugèh

sapih jadi sapèh

putih jadi putèh

Akhiran "mu" jadi "em", yang artinya hak milik [2] , contohnya:

omahmu = omahem

klambimu = klambinem

anakmu = anakem

Istilah lainnya:

ambèk = karo

briga-brigi = bedhigasan

gendul = botol

jingklong = lemut = nyamuk

2. dialek Mataram (D.I. Yogyakarta dan sebagian tenggara Jawa Tengah (eks
Karesidenan Surakarta)
(kabupaten Boyolali, Klaten, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar dan
kota Surakarta))

3. dialek Madiun (sebagian barat dan barat laut Jawa Timur (eks Karesidenan Madiun)
(kabupaten Madiun, Magetan, Ngawi, Pacitan, Ponorogo dan kota Madiun,
kabupaten Kediri, Blitar, Trenggalek, Nganjuk dan Tulungagung dan
kota Blitar dan Kediri))
Namun ada kata-kata yang menjadi ciri dialek Madiun:

 gong, dong (Ponorogo, Pacitan) = belum


 mboyak = mbok bèn = luwèh (Jogja), terserah aku/kamu, (Betawi: biarin)
 éram, jègèg = hebat
 jingklong = nyamuk
Kelompok kedua ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan. Dialek Mataram (Surakarta dan
Yogyakarta) menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa Baku).
Kelompok Timur
1. dialek Arekan (Jawa Timur (Surabaya Metro (kota Surabaya dan Mojokerto,
kabupaten Lamongan, Mojokerto, Sidoarjo dan Gresik), Malang Raya
(kota Batu, Malang dan Pasuruan dan kabupaten Malang dan Pasuruan) dan sebagian
besar Tapal
Kuda (kabupaten Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso dan
kota Probolinggo))
2. dialek Jombang (Jawa Timur (kabupaten Jombang, Nganjuk))
3. dialek Tengger (Jawa Timur (wilayah sekitar Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru))
4. dialek Banyuwangi (Jawa Timur (kabupaten Banyuwangi))
Kelompok ketiga ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).
Selain dialek-dialek di tanah asal, dikenal pula dialek-dialek yang dituturkan oleh orang Jawa
diaspora, seperti di Sumatra Utara, Lampung, Suriname, Kaledonia Baru, dan Curaçao.
Bahasa Jawa Suriname[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Bahasa Jawa Suriname
Bahasa Jawa Suriname merupakan ragam atau dialek bahasa Jawa yang dituturkan di
Suriname dan oleh komunitas Jawa Suriname di Belanda. Jumlah penuturnya kurang lebih
ada 65.000 jiwa di Suriname dan 30.000 jiwa di Belanda. Orang Jawa Suriname merupakan
keturunan kuli kontrak yang didatangkan dari Tanah Jawa dan sekitarnya. Di Suriname, orang
Indonesia tersebar di beberapa tempat dan kampung yang mudah dikenali karena Kampung
mereka masih menggunakan nama-nama dalam bahasa Indonesia, misalnya seperti Desa
Tamansari, Desa Tamanrejo, dan lain-lain semacam itu. Untuk mengingat akan tanah airnya
Indonesia, selain dengan menggunakan nama pemukiman mereka dengan Bahasa Indonesia,
bahasa penutur yang (sering) digunakan adalah Bahasa Jawa.
Pada Tahun 1990 sekitar 34,2% Penduduk Suriname atau 143.640 orang keturunan asal
Indonesia ( etnis jawa ) dan merupakan salah satu etnis terbesar di Suriname saat itu. Namun
seiring dengan perkembangan jaman banyak di antara mereka yang pindah mengikuti
keluarga dan bermukim di Belanda. Anehnya, walau mereka pada umumnya belum pernah
melihat Indonesia, mereka sangat fasih dalam berbahasa Jawa yang digunakan sehari-hari
dalam pergaulan antara sesama etnis Jawa.
Bukan di Suriname saja bahasa Jawa digunakan oleh masyarakat yang berasal dari Indonesia,
tetapi juga di Belanda. Bahkan, dari sebuah catatan menyebutkan lebih-kurang 65 ribu warga
negara Suriname etnis Jawa dan tiga puluh ribu warga Negara Belanda beretnis Jawa
menggunakan Bahasa Jawa dalam bersosialisasi dengan sesama mereka dalam pergaulan
sosial di tengah-tengah masyarakatnya.
Di Suriname hanya terdapat satu dialek Jawa. Namun, adanya varian-varian kata
menunjukkan bahwa pada masa lalu para migran Jawa itu menuturkan sejumlah dialek yang
berbeda. Di Suriname juga pernah ada penutur bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Sayangnya, bahasa ini dianggap tidak baik dan penuturnya sering dihina. Akibatnya,
keturunan mereka tak lagi mempelajari dan menuturkan bahasa Banyumasan.
Kosakata bahasa Jawa di Suriname banyak dipengaruhi oleh bahasa Belanda dan Sranan
Tongo. Meskipun demikian, kedua bahasa tersebut tak memengaruhi fonologi dan tata
bahasa. Akan tetapi orang Jawa di Suriname tidak bisa berbahasa Indonesia karena sejak
Belanda mendatangkan orang jawa untuk menjadi kuli kontrak, ketika itu orang asli Jawa
dahulu hanya bisa berbahasa Jawa saja. Kata-kata Sranan Tongo yang sudah diserap malah
ada yang memiliki bentuk bahasa krama.
Fonologi bahasa Jawa di Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku di Tanah Jawa.
Fonologi dialek Kedu yang menjadi leluhur bahasa Jawa Suriname tidak berbeda dengan
bahasa Jawa baku. Namun terdapat fenomena baru dalam bahasa Jawa Suriname, yakni
perbedaan antara fonem dental dan retrofleks (/t/ dan /d/ vs. /ṭ/ dan /ḍ/) semakin hilang.
Bahasa Jawa Suriname memiliki cara penulisan yang berbeda dengan bahasa Jawa di Pulau
Jawa. Pada tahun 1986, bahasa Jawa Suriname mendapatkan cara pengejaan baku. Tabel di
bawah ini menunjukkan perbedaan antara sistem Belanda sebelum PD II dengan ejaan Pusat
Bahasa di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam bahasa Jawa Suriname, terdapat juga basa krama (bahasa halus), tetapi tak lagi serupa
dengan bahasa Jawa di Jawa. Bahkan generasi mudanya sudah banyak yang tak bisa
menuturkan basa krama. Terdapat tiga ragam bahasa Jawa di Suriname, yakni ngoko, krama,
dan krama napis. Krama di Jawa adalah madya, krama napis adalah krama, dan krama adalah
inggil.
Sejak tahun 2000, dibuka kursus bahasa Indonesia dan bahasa Jawa untuk warga Suriname.
Bertempat di KBRI Paramaribo, pesertanya memang tidak banyak dan masih didominasi
orang tua. Agar kemampuan berbahasa yang diperoleh dari kursus tidak hilang begitu saja,
dibentuk Ikatan Alumni Kursus Bahasa Jawa (IKA-KBJ) dan Ikatan Alumni Kursus Bahasa
Indonesia (IKA-KBI). Secara berkala, alumni berkumpul untuk berbicara dalam bahasa Jawa
dan Indonesia.
Dari kursus itulah mereka menguasai bahasa Indonesia serta mengerti tata bahasa Jawa sesuai
dengan tatanan yang berlaku di tempat asalnya. Selama ini penggunakan ejaan Belanda untuk
menulis kosakata bahasa Jawa marak digunakan oleh masyarakat suku Jawa di Suriname.
Kemampuan berbahasa Jawa dan Indonesia itu penting bagi warga keturunan Jawa di
Suriname. Meski bukan berkebangsaan Indonesia, mereka tetaplah manusia Jawa. "Manusia
Jawa itu punya identitas, salah satunya bahasa Jawa. Maka agar tidak kehilangan identitas,
mereka harus menguasai bahasa Jawa."
Temporal[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan dokumentasi tertulis, bahasa Jawa paling tidak memiliki dua variasi temporal,
yaitu bahasa Jawa Kuno dan bahasa Jawa Modern. Bahasa Jawa Kuno sering kali disamakan
sebagai bahasa Kawi, meskipun sebenarnya bahasa Kawi lebih merupakan genre bahasa
susastra yang diturunkan dari bahasa Jawa Kuno.
Bahasa Jawa Kuno dikenal dari berbagai prasasti serta berbagai "kakawin" yang berasal dari
periode Medang atau Mataram Hindu sampai surutnya pengaruh Majapahit (abad ke-8
sampai abad ke-15).
Bahasa Jawa Modern adalah bahasa dikenal dari literatur semenjak periode Kesultanan
Demak (abad ke-16) sampai sekarang. Ciri yang paling khas adalah masuknya kata-kata
dari bahasa Arab, Portugis, Belanda, dan juga Inggris.

2.3. Macam macam Ragam Bahasa

Ragam bahasa berdasarkan cara berkomunikasi

1. Ragam Lisan
Ragam lisan adalah bahasa yang dihasilkan alat ucap dengan fonem sebagai unsur dasar.
Dalam ragam lisan kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata dan lafal. Dalam ragam
bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka,
gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide.
Karakteristik ragam bahasa lisan :

 Memerlukan orang kedua/teman bicara


 Tergantung situasi, kondisi, ruang dan waktu
 Tidak harus memperhatikan unsur gramatikal, hanya perlu intonasi serta bahasa tubuh
 Berlangsung cepat
 Sering dapat berlangsung tanpa alat bantu
 Kesalahan dapat langsung dikoreksi
 Dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik wajah serta intonasi
 Di pengaruhi oleh tinggi rendahnya suara
2. Ragam Tulis
Ragam tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf
sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan dan
kosakata. Dengan kata lain dengan ragam bahasa tulis, kita tuntut adanya kelengkapan unsur
kata seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran
penggunaan ejaan dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.

Karakteristik ragam bahasa tulis :


 Tidak memerlukan orang kedua/teman bicara.
 Bersifat objektif.
 Tidak tergantung kondisi, situasi & ruang serta waktu.
 Mengemban konsep makna yang jelas.
 Harus memperhatikan unsur gramatikal.
 Berlangsung lambat.
 Jelas struktur bahasanya, susunan kalimatnya juga jeas, dan runtut.
 Selalu memakai alat bantu;
 Kesalahan tidak dapat langsung dikoreksi;
 Tidak dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik muka, hanya terbantu dengan
tanda baca

Ketentuan-ketentuan ragam tulis :


 Memakai ejaan resmi.
 Menghindari unsur kedaerahan.
 Memakai fungsi gramatikal secara eksplisit.
 Memakai bentuk sintesis.
 Pemakaian partikel secara konsisten.
 Menghindari unsur leksikal yang terpengaruh bahasa daerah

Perbedaan antara ragam lisan dan tulisan (berdasarkan tata bahasa dan kosa kata) :
1. Tata Bahasa :

a. Ragam bahasa lisan


1) Nia sedang baca surat kabar.
2) Tapi kau tak boleh menolak lamaran itu.

b. Ragam bahasa tulisan.


1) Nia sedang membaca surat kabar.
2) Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran itu.

2. Kosa kata :

a. Ragam bahasa lisan


1) Ariani bilang kalau kita harus belajar.
2) Kita harus bikin karya tulis.

b. Ragam bahasa tulisan


1) Ariani mengatakan bahwa kita harus belajar.
2) Kita harus membuat karya tulis.

3. Ragam bahasa berdasarkan situasi dan pemakainya

a. Ragam Bahasa Baku


Bahasa baku adalah bahasa yang digunakan dalam situasi resmi dimana pembicara/penulis
dituntut untuk bersikap sopan/hormat terhadap mitra bicara (pendengar/pembaca), seperti
dalam ceramah, pidato, seminar, atau diskusi. Dalam bentuk tulisan, bahasa baku digunakan
terutama dalam buku-buku pembelajaran/ buku teks di berbagai lembaga pendidikan, buku-
buku tentang berbagai ilmu pengetahuan, teknologi, seni, jurnal-jurnal ilmiah/semiilmiah,
surat-surat resmi, perundang-undangan, berbagai peraturan pemerintah.

Karakteristik ragam bahasa baku :


 Tidak terpengaruh bahasa daerah
 Tidak terpengaruh bahasa asing
 Bukan ragam bahasa percakapan sehari-hari
 Pemakaian imbuhannya secara eksplisit
 Pemakaian yang sesuai dengan konteks kalimat
 Tidak terkontaminasi dan tidak rancu
b. Ragam Bahasa Tidak Baku

Bahasa nonbaku adalah ragam bahasa yang berkode berbeda dengan kode bahasa baku, dan
dipergunakan di lingkungan tidak resmi. Ragam bahasa nonbaku dipakai pada situasi santai
dengan keluarga, teman, di pasar, dan tulisan pribadi buku harian. Ragam bahasa nonbaku
sama dengan bahasa tutur, yaitu bahasa yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari terutama
dalam percakapan.

Karakteristik bahasa tidak baku:


 Walaupun terkesan berbeda dengan bahasa baku, tetapi memiliki arti yang sama.
 Dapat terpengaruh oleh perkembangan zaman.
 Dapat terpengaruh oleh bahasa asing.
 Digunakan pada situasi santai/tidak resmi.

4. Ragam bahasa berdasarkan cara pandang penutur

a. Ragam Dialek
Dialek adalah variasi bahasa pada kelompok masyarakat yang berada pada suatu tempat,
wilayah, atau daerah tertentu. Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan
pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta
berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan
Tapanuli. Masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa
Indonesia orang Jawa Tengah tampak pada pelafalan/b/pada posisi awal saat melafalkan
nama-nama kota seperti Bogor, Bandung, Banyuwangi, dll. Logat bahasa Indonesia orang
Bali tampak pada pelafalan /t/ seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dll. Ciri-ciri khas yang
meliputi tekanan, turun naiknya nada, dan panjang pendek nya bunyi bahasa membangun
aksen yang berbeda-beda.

b. Ragam Terpelajar
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda
dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa
asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak
berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas.
Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa,
nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan
awalan yang seharusnya dipakai.

c. Ragam Resmi
Ragam resmi adalah bahasa yang digunakan dalam situasi resmi, seperti pertemuan-
pertemuan, peraturan-peraturan, dan undangan-undangan.
Ciri-ciri ragam bahasa resmi :

 Menggunakan unsur gramatikal secara eksplisit dan konsisten;


 Menggunakan imbuhan secara lengkap;
 Menggunakan kata ganti resmi;
 Menggunakan kata baku;
 Menggunakan EYD;
 Menghindari unsur kedaerahan.

d. Ragam Tidak Resmi


Ragam takresmi adalah bahasa yang digunakan dalam situasi takresmi, seperti dalam
pergaulan, dan percakapan pribadi, seperti dalam pergaulan, dan percakapan pribadi . Ciri-
ciri ragam bahasa tidak resmi kebalikan dari ragam bahasa resmi. Ragam bahasa bahasa tidak
resmi ini digunakan ketika kita berada dalam situasi yang tidak normal.

Ragam bahasa resmi atau takresmi ditentukan oleh tingkat keformalan bahasa yang
digunakan. Semakin tinggi tingkat kebakuan suatu bahasa, derarti semakin resmi bahas yang
digunakan. Sebaliknya semakin rendah pula tingkat keformalannya, makin rendah pula
tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Contoh: Bahasa yang digunakan oleh bawahan
kepada atasan adalah bahas resmi sedangkan bahasa yang digunakan oleh anak muda adalah
ragam bahasa santai/takresmi.
Jika ditelusuri lebih jauh, ragam berdasarkan cara pandang penutur dapat dirinci lagi
berdasarkan ciri, yaitu :

 Kedaerahan
 Pendidikan
 Sikap penutur sehingga di samping ragam yang tertera diatas, terdapat pula ragam
menurut daerah, ragam menurut pendidikan, dan ragan menurut sikap penutur. Ragam
menurut daerah akan muncul jika para penutur dan mitra komunikasinya berasal sari
suku/etnik yang sam.
 Pilihan ragam akan beralih jika para pelakunya multietnik atau suasana berubah,
misalnya dari takresmi menjadi resmi.

5. Ragam bahasa berdasarkan pesan komunikasi/topik pembicaraan

a. Ragam politik
Bahasa politik berisi kebijakan yang dibuat oleh penguasa dalam rangka menata dan
mengatur kehidupan masyarakat. dengan sendirinya penguasa merupakan salah satu sumber
penutur bahasa yang mempunyai pengaruh yang besar dalam pengembangan bahasa di
masyarakat.

b. Ragam Hukum
Ragam bahasa hukum adalah bahasa Indonesia yang corak penggunaan bahasanya khas
dalam dunia hokum, mengingat fungsinya mempunyai karakteristik tersendiri, oleh karena itu
bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kaudah bahasa indonesia.
Salah satu ciri khas dari bahasa hukum adalah penggunaan kalimat yang panjang dengan
pola kalimat luas. Diakui bahwa bahasa hukum Indonesia tidak terlalu memperhatikan sifat
dan ciri khas bahasa Indonesia dalam strukturnya. Hal ini disebabkan karena hukum
Indonesia pada umumnya didasarkan pada hukum yang ditulis pada zaman penjajahan
Belanda dan ditulis dalam bahasa Belanda. Namun, terkadang sangat sulit menggunakan
kalimat yang pendek dalam bahasa hukum karena dalam bahasa hukum kejelasan norma-
norma dan aturan terkadang membutuhkan penjelasan yang lebar, jelas kriterianya, keadaan,
serta situasi yang dimaksud.

Ciri-ciri ragam bahasa hukum :


- Mempunyai gaya bahasa yang khusus
- Lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan
- Objektif dan menekan prasangka pribadi
- Memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat dan kategori yang diselidiki untuk
menghindari kesimpangsiuran

c. Ragam Sosial dan Ragam Fungsional


Ragam sosial dapat didefinisikan sebagai ragam bahasa yang sebagian norma dan
kaidahnya didasarkan atas kesepakantan bersama dalam lingkungan sosial yang lebih kecil
dalam masyarakat. Ragam sosial membedakan penggunaan bahasa berdasarkan hubungan
orang misalnya berbahasa dengan keluarga, teman akrab dan atau sebaya, serta tingkat status
sosial orang yang menjadi lawan bicara. Ragam sosial ini juga berlaku pada ragam tulis
maupun ragam lisan. Sebagai contoh orang takkan sama dalam menyebut lawan bicara jika
berbicara dengan teman dan orang yang punya kedudukan sosial yang lebih tinggi. Pembicara
dapat menyebut kamu pada lawan bicara yang merupakan teman tetapi takkan melakukan itu
jika berbicara dengan orang dengan status sosial yang lebih tinggi atau kepada orang tua.
Ragam fungsioanal, sering juga disebut ragam professional merupakan ragam bahasa yang
diakitkan dengan profesi, lembaga, lingkungan kerja, atau kegiatan tertentu lainnya. Sebagai
contoh yaitu adanya ragam keagamaan, ragam kedokteran, ragam teknologi dll. Kesemuaan
ragam ini memiliki fungsi pada dunia mereka sendiri.
d. Ragam Jurnalistik
Bahasa Jurnalistik adalah ragam bahasa yang dipergunakan oleh dunia persurat-kabaran
(dunia pers = media massa cetak). Dalam perkembangan lebih lanjut, bahasa jurnalistik
adalah bahasa yang dipergunakan oleh seluruh media massa. Termasuk media massa audio
(radio), audio visual (televisi) dan multimedia (internet). Hingga bahasa jurnalistik adalah
salah satu ragam bahasa, yang dibentuk karena spesifikasi materi yang disampaikannya.
Ragam khusus jurnalistik termasuk dalam ragam bahasa ringkas.

Ragam ringkas mempunyai sifat-sifat umum sebagai berikut.

 Bahasanya padat
 Selalu berpusat pada hal yang dibicarakan
 Banyak sifat objektifnya daripada subjektifnya
 Lebih banyak unsure pikiran daripada perasaan
 Lebih bersifat memberitahukan daripada menggerakkan emosi
 Tujuan utama ialah supaya pendengar/pembaca tahu atau mengerti. Oleh karena itu,
yang diutamakan ialah jelas dan seksamanya. Kalimat-kalimatnya disusun selogis-logisnya.
Bahasa jurnalistik ditujukan kepada umum, tidak membedakan tingkat kecerdasan,
kedudukan, keyakinan, dan pengetahuan.

e. Ragam Sastra
Ragam bahasa sastra memiliki sifat atau karakter subjektif, lentur, konotatif, kreatif dan
inovatif. Dalam bahasa yang beragam khusus terdapat kata-kata, cara-cara penuturan, dan
ungkapan-ungkapan yang khusus, yang kurang lazim atau tak dikenal dalam bahasa umum.
Bahasa sastra ialah bahasa yang dipakai untuk menyampaikan emosi (perasaan) dan pikiran,
fantasi dan lukisan angan-angan, penghayatan batin dan lahir, peristiwa dan khayalan, dengan
bentuk istimewa. Istimewa karena kekuatan efeknya pada pendengar/pembaca dan istimewa
cara penuturannya. Bahasa dalam ragam sastra ini digunakan sebagai bahan kesenian di
samping alat komunikasi. Untuk memperbesar efek penuturan dikerahkan segala kemampuan
yang ada pada bahasa. Arti, bunyi, asosiasi, irama, tekanan, suara, panjang pendek suara,
persesuaian bunyi kata, sajak, asonansi, posisi kata, ulangan kata/kalimat dimana perlu
dikerahkan untuk mempertinggi efek. Misalnya, bahasa dalam sajak jelas bedanya dengan
bahasa dalam karangan umum.
Berbeda dengan ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa sastra banyak mengunakan kalimat
yang tidak efektif. Penggambaran yang sejelas-jelasnya melalui rangkaian kata bermakna
konotasi sering dipakai dalam ragam bahasa sastra. Hal ini dilakukan agar tercipta pencitraan
di dalam imajinasi pembaca.
Penetapan ragam yang dipakai bergantung pada situasi, kondisi, topik pembicaraan, serta
bentuk hubungan antar pelaku. Berbagai faktor tadi akan mempengaruhi cara pandang
penutur untuk menetapkan salah satu ragam yang digunakan (dialeg, terpelajar, resmi,
takresmi).

Dalam praktek pemakaian seluruh ragam yang dibahas diatas sering memiliki kesamaan
satu sama lain dalam hal pemakaian kata. Ragam lisan (sehari-hari) cenderung sama dengan
ragam dialek, dan ragam takresmi, sedangkan ragam tulis (formal) cenderung sama dengan
ragam resmi dan ragam terpelajar. Selanjutnya, ragam terpelajar tentu mirip dgn ragam ilmu.

2.3. Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar


Meskipun sudah sering didengar, ternyata belum semua orang memahami makna istilah
baik dan benar dalam berbahasa. Tidak semua bahasa yang baik itu benar atau sebaliknya.

Bahasa yang baik adalah yang sesuai dengan situasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa
harus dapat efektif menyampaikan maksud kepada lawan bicara.
Ada lima ragam bahasa yang dapat digunakan sesuai situasi sebagai berikut:

1. Ragam beku (frozen); digunakan pada situasi hikmat


2. Ragam resmi (formal); digunakan dalam situasi resmi
3. Ragam konsultatif/usaha (consultative); digunakan dalam pembicaraan yang terpusat
pada transaksi atau pertukaran informasi
4. Ragam santai (casual); digunakan dalam suasana tidak resmi
5. Ragam akrab (intimate); digunakan antara orang yang memiliki hubungan sangat
akrab.
Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa baku, baik kaidah
untuk bahasa baku tertulis maupun baku lisan.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Bahasa Indonesia mengajarkan masyarakat Indonesia untuk menggunakan bahasa


Indonesia yang baik dan benar, baik secara lisan maupun penulisan yang sudah akurat, dan
sebaiknya kita memerhatikan dalam penulisan harus sesuai dengan EYD karena penggunaan
ejaan ini adalah resmi dalam sebuah ragam tulisan. Karena bahasa indonesia merupakan
bahasa yang nasional yang artinya bahasa tersebut merupakan bahasa pengantar sehari-hari
yang memudahkan kita untuk berkomunikasi.
Secara garis besar, ragam indonesia terbagi menjadi dua macam, yaitu ragam lisan dan
ragam tulis. Dimana kedua ragam tersebut memiliki perbedaan, yakni ragam lisan
membutuhkan lawan bicara sedangkan ragam tulisan tidak membutuhkan lawan bicara.
Ragam lisanpun akan tetap dapat dimengerti walau tanpa subjek, predikat, objek dan
keterangan.

3.2. Saran
Sebaiknya sebagai penduduk Indonesia, kita menggunakan ragam bahasa yang baik dan
benar sehingga keberadaan ragam bahasa itu sendiri tidak punah dengan adanya bahasa-
bahasa yang terkadang jauh dari aturan bahasa yang ada di Indonesia bahkan bertentanga.

DAFTAR PUSTAKA

Tadjudding, Moh. 2013. Bahasa Indonesia Bentuk dan Makna. Bandung : P.T. Alumni
Keraf, Gorys. 1994. Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. NTT : Nusa Indah.
Rahardi, Kunjawa. 2009. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Penerbit
Erlangga
http://pendidikanmatematika2011.blogspot.com/2012/04/reski-andika-saing.html [diakses
Minggu 15 Oktober 2017]
http://merrycmerry.blogspot.com/2011/10/makalah-bahasa-indonesia-ragam-bahasa.html
[diakses Minggu 15 Oktober 2017]
http://irfanisprayudhi.wordpress.com/2013/09/30/arti-fungsi-dan-ragam-bahasa [diakses
Minggu 15 Oktober 2017]

Anda mungkin juga menyukai