DISUSUN OLEH :
Siska meilani
Nisa Sri Ratnasari
Iis Nurhayati
Aldi Wiguna Nugraha
Ari Rudiana
Kelas 1A D3 keperawatan Bhakti kencana Bandung
BAB I
PENDAHULUAN
Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari wilayah
tertentu, yang biasanya disebut dengan istilah dialek. Misalnya, ragam Bahasa Indonesia
dialek Bali berbeda dengan dialek Yogyakarta.
Ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari golongan sosila
tertentu, misalnya disebut sosiolek. Misalnya ragam bahasa masyarakat umum ataupun
golongan buruh kasar tidak sama dengan ragam bahasa golongn terdidik.
Ragam bahasa yang digunakan dalam kegiatan suatu bidang tertentu, seperti kegiatan
ilmiah, sastra, dan hukum. Ragam ini disebut juga dengan istilah fungsiolek, contohnya
ragam bahasa sastra dengan ragam bahasa ilmiah. Ragam bahasa sastra biasanya penuh
dengan ungkapan atau kiasan, sedangkan ragam bahasa ilmiah biasanya bersifat logis dak
eksak.
Ragam bahasa yang biasa digunakan dalam situasi formal atau situasi resmi biasa disebut
denga istilah baku atau bahasa standar. Bahasa baku atau bahasa standar adalah bahasa yang
dijadikan dasar ukuran atau yang dijadikan standar. Bahasa baku biasanya dipakai dalam
bahasa resmi, seperti dalam perundang-undangan, surat menyurat dan rapat resmi, serta tidak
dipakai untuk segala keperluan tetai hanya untuk komunikasi resmi, wawancara teknis,
pembicaraan didepan umum, dan pembicaraan dengan orang yang dihormati. Di luar itu
dipakai ragam bahasa tidak baku.
Ragam bahasa yang biasa digunakan dalam situasi informal atau tidak resmi yang biasa
disebut dengan istilah ragam nonbaku atau nonstandar. Dalam ragam ini kaidah-kaidah tata
bahasa seringkali dilanggar.
2.2. Sejarah bahasa jawa
Kongres Bahasa Jawa yang diawali pada 6 Juli1991 sebagai kongres bahasa Jawa yang
pertama dan diprakarsai oleh tiga kepala daerah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan yang ke lima dilaksanakan pada tanggal 27-30 November
2011 di Surabaya.
Bahasa Jawa adalah bahasa Ibu internasional yang ke 11 dari 6000 bahasa ibu di dunia ,
menurut catatan Unesco. Para ahli bahasa menyebut bahwa Bahasa Jawa sebagai Bahasa
Nusantara Purba, kemudian muncul pertanyaan ; mengapa tidak menggunakan istilah bahasa
Indonesia Purba ?
Cladius Ptolemaeus dalam karyanya “Geographike Hyphegesis” menulis tentang pulau Jawa
pada abad II Masehi dengan nama Chryse Chernesos artinya negeri emas atau semenanjung
emas. Nama pulau Jawa disebut pula sebagai nama sebuah tempat Iabadiou atau pulau
Jelai. Iabadiou dibaca ; ‘Yawadiwu’, Yawa bahasa sansekerta artinya Jelai, diwu bahasa
pakrit dapat pula disebut dwipa dalam bahasa sansekerta. Meskipun Prof. Krom sendiri tidak
yakin akan hal ini, tetapi setidaknya nama Jawa sudah dapat dipahami pada masa itu.
Kelompok Barat
1. dialek Banten
Contoh :
'kule', dibaca 'kula' atau 'kule'. (artinya, saya)
'ore', dibaca 'ora' atau 'ore'. (artinya, tidak)
'pire', dibaca 'pira' atau 'pire' (artinya, berapa)
Contoh :
(B.Jawa Banten tingkat bebasan)
Pripun kabare? Kakang ayun ning pundi?
Sampun dahar dereng?
Permios, kule boten uning griyane kang Haban niku ning pundi?
Kasihe sinten?
Kasihe Haban Ghazali lamun boten salah.
Oh, wenten ning payun koh.
Matur nuhun nggih, kang.
Yewis, napik dolanan saos nggih!
Kang Haban! Ning pundi saos? boten ilok kepetuk!
Napik mengkoten, geh!
Kule linggar sareng teh Toyah ning pasar.
Ayun tumbas sate Bandeng sios.
(B.Jawa Banten tingkat standar)
Kepremen kabare? Sire arep ning endi?
Wis mangan durung?
Punten, kite ore weruh umahe kang Haban kuwen ning endi?
Arane sape?
Arane Haban Ghazali ari ore salah.
Oh, ning arep koh.
Nuhun ye, kang.
Yewis, aje memengan bae ye!
Kang Haban! Ning endi bae? ore ilok kependak!
Aje mengkonon, Geh!
Kite lunge kare teh Toyah ning pasar.
Arep tuku sate Bandeng siji.
Contoh:
Kelompok Tengah
1. dialek Pekalongan (Jawa Tengah (kabupaten Pekalongan dan Batang dan
kota Pekalongan))
Dialek kota[sunting | sunting sumber]
Di bawah ini adalah contoh dialek yang digunakan di Kota Pekalongan. Eratnya budaya
orang Pekalongan dengan budaya Arab dan Tionghoa menambah kosakata dan dialek di
Pekalongan. Biasanya, para keturunan Tionghoa di Pekalongan juga berbicara dialek
Pekalongan yang bercampur dengan bahasa Indonesia.
Dialek
Lha kowe pak ring ndi si?
Pekalongan:
Bahasa Indonesia: Kamu mau ke mana?
Dialek
Yo wis kokuwe po'o ra
Pekalongan:
Bahasa Indonesia: Ya sudah begitupun tak apa
Dialek
Tak ndangka'i lanang jebulno'o wadhok
Pekalongan:
Bahasa Indonesia: Aku kira lelaki ternyata perempuan
Dialek
Ya Allah, ke ra mosok ra percoyo si (pengaruh bahasa Arab)
Pekalongan:
Bahasa Indonesia: Ya Allah, mengapa tak percaya sekali
Dialek Lha tadi sudah tak bilangke tapi ndak ngerti yo wis (pengaruh bahasa
Pekalongan: Tionghoa)
Bahasa Indonesia: Tadi sudah kukatakan namun tak mengerti ya sudahlah
Dialek
mbok diambilke (pengaruh bahasa Tionghoa)
Pekalongan:
Bahasa Indonesia: Tolong ambilkan
Dialek
pa'ora rakaiki
Pekalongan:
Bahasa Indonesia: biarkan tidak apa-apa
Penggunaan dialek Pekalonga di daerah agak pinggir dari daerah kota, ada perbedaan sedikit
pada pengucapannya. Banyak huruf vokal dan konsonan yang diucapkan agak "kental",
umumnya dengan penambahan huruf "h" dalam pengucapannya. Bentuk dialek ini
dipergunakan di daerah Batang (di bagian timur), Pemalang/Wiradesa (di bagian barat),
serta Bandar/Kajen (di bagian selatan).
Contoh:
Kata banyu (air) diucapkan benhyu
Kata Iwan (nama) diucapkan I-whan
Kata bali (pulang) diucapkan bhelhi
"Brahim" (nama: Ibrahim) diucapkan Brehiim
Contoh kalimat:
Wis ho, nyong pak bhelhi ndikik (Sudah ya, aku akan pulang dahulu)
Dialek ini terkenal dengan cara bicaranya yang khas, sebab merupakan pertemuan antara dialek
"Mataram/bandek" (Yogya-Solo) dan dialek Banyumasan. Contoh: Kata-katanya masih
menggunakan dialek ngapak dalam tuturannya agak bandek:
"Nyong": aku, tetapi orang Magelang memakai "aku" orang Temanggung yang di kotanya
juga menggunakan "aku" di Parakan juga sebagian kecil menggunakan "aku"
"njagong": duduk (bahasa Jawa standar: lungguh)
"Njur piye": Lalu bagaimana (bahasa Jawa standar: "banjur piye" atau "terus piye")
"gandhul": pepaya
"mbaca": membaca (bahasa Jawa standar: maca)
"mberuh" = (embuh ora weruh): tidak tahu
"mbek" = (kambek, karo): dengan contoh "mbek sopo?" artinya "dengan siapa?"
"krongsi" = kursi (Temanggung)
"petek poteh sekele koneng numpak dhugar gejedud-jedud" = (dialek Prembun) yang
berarti: ayam putih kakinya kuning menumpang dokar terantuk.
"Pinten" = Berapa? (Krama Karanganyar)
"Sae" = Baik atau Bagus.
5. dialek Pantai Utara Timur (sebagian timur laut Jawa Tengah (eks Karesidenan Pati)
(kabupaten Pati, Rembang, Jepara, Kudus, Rembang) dan sebagian barat daya Jawa
Timur (kabupaten Bojonegoro, Tuban))
Beberapa kosakata khas yang tidak dipakai dalam dialek Jawa yang lain antara lain:
"lamuk/jengklong" berarti "nyamuk" (Bahasa Jawa standar: nyamuk atau lemut)
"mbledeh/mblojet" berarti "telanjang dada" (Bahasa Jawa standar: ngliga)
"wong bento" berarti orang gila" (Bahasa Jawa standar: wong edan)
Akhiran "mu" jadi "em", yang artinya hak milik [2] , contohnya:
omahmu = omahem
klambimu = klambinem
anakmu = anakem
Istilah lainnya:
ambèk = karo
briga-brigi = bedhigasan
gendul = botol
2. dialek Mataram (D.I. Yogyakarta dan sebagian tenggara Jawa Tengah (eks
Karesidenan Surakarta)
(kabupaten Boyolali, Klaten, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar dan
kota Surakarta))
3. dialek Madiun (sebagian barat dan barat laut Jawa Timur (eks Karesidenan Madiun)
(kabupaten Madiun, Magetan, Ngawi, Pacitan, Ponorogo dan kota Madiun,
kabupaten Kediri, Blitar, Trenggalek, Nganjuk dan Tulungagung dan
kota Blitar dan Kediri))
Namun ada kata-kata yang menjadi ciri dialek Madiun:
1. Ragam Lisan
Ragam lisan adalah bahasa yang dihasilkan alat ucap dengan fonem sebagai unsur dasar.
Dalam ragam lisan kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata dan lafal. Dalam ragam
bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka,
gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide.
Karakteristik ragam bahasa lisan :
Perbedaan antara ragam lisan dan tulisan (berdasarkan tata bahasa dan kosa kata) :
1. Tata Bahasa :
2. Kosa kata :
Bahasa nonbaku adalah ragam bahasa yang berkode berbeda dengan kode bahasa baku, dan
dipergunakan di lingkungan tidak resmi. Ragam bahasa nonbaku dipakai pada situasi santai
dengan keluarga, teman, di pasar, dan tulisan pribadi buku harian. Ragam bahasa nonbaku
sama dengan bahasa tutur, yaitu bahasa yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari terutama
dalam percakapan.
a. Ragam Dialek
Dialek adalah variasi bahasa pada kelompok masyarakat yang berada pada suatu tempat,
wilayah, atau daerah tertentu. Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan
pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta
berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan
Tapanuli. Masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa
Indonesia orang Jawa Tengah tampak pada pelafalan/b/pada posisi awal saat melafalkan
nama-nama kota seperti Bogor, Bandung, Banyuwangi, dll. Logat bahasa Indonesia orang
Bali tampak pada pelafalan /t/ seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dll. Ciri-ciri khas yang
meliputi tekanan, turun naiknya nada, dan panjang pendek nya bunyi bahasa membangun
aksen yang berbeda-beda.
b. Ragam Terpelajar
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda
dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa
asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak
berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas.
Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa,
nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan
awalan yang seharusnya dipakai.
c. Ragam Resmi
Ragam resmi adalah bahasa yang digunakan dalam situasi resmi, seperti pertemuan-
pertemuan, peraturan-peraturan, dan undangan-undangan.
Ciri-ciri ragam bahasa resmi :
Ragam bahasa resmi atau takresmi ditentukan oleh tingkat keformalan bahasa yang
digunakan. Semakin tinggi tingkat kebakuan suatu bahasa, derarti semakin resmi bahas yang
digunakan. Sebaliknya semakin rendah pula tingkat keformalannya, makin rendah pula
tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Contoh: Bahasa yang digunakan oleh bawahan
kepada atasan adalah bahas resmi sedangkan bahasa yang digunakan oleh anak muda adalah
ragam bahasa santai/takresmi.
Jika ditelusuri lebih jauh, ragam berdasarkan cara pandang penutur dapat dirinci lagi
berdasarkan ciri, yaitu :
Kedaerahan
Pendidikan
Sikap penutur sehingga di samping ragam yang tertera diatas, terdapat pula ragam
menurut daerah, ragam menurut pendidikan, dan ragan menurut sikap penutur. Ragam
menurut daerah akan muncul jika para penutur dan mitra komunikasinya berasal sari
suku/etnik yang sam.
Pilihan ragam akan beralih jika para pelakunya multietnik atau suasana berubah,
misalnya dari takresmi menjadi resmi.
a. Ragam politik
Bahasa politik berisi kebijakan yang dibuat oleh penguasa dalam rangka menata dan
mengatur kehidupan masyarakat. dengan sendirinya penguasa merupakan salah satu sumber
penutur bahasa yang mempunyai pengaruh yang besar dalam pengembangan bahasa di
masyarakat.
b. Ragam Hukum
Ragam bahasa hukum adalah bahasa Indonesia yang corak penggunaan bahasanya khas
dalam dunia hokum, mengingat fungsinya mempunyai karakteristik tersendiri, oleh karena itu
bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kaudah bahasa indonesia.
Salah satu ciri khas dari bahasa hukum adalah penggunaan kalimat yang panjang dengan
pola kalimat luas. Diakui bahwa bahasa hukum Indonesia tidak terlalu memperhatikan sifat
dan ciri khas bahasa Indonesia dalam strukturnya. Hal ini disebabkan karena hukum
Indonesia pada umumnya didasarkan pada hukum yang ditulis pada zaman penjajahan
Belanda dan ditulis dalam bahasa Belanda. Namun, terkadang sangat sulit menggunakan
kalimat yang pendek dalam bahasa hukum karena dalam bahasa hukum kejelasan norma-
norma dan aturan terkadang membutuhkan penjelasan yang lebar, jelas kriterianya, keadaan,
serta situasi yang dimaksud.
Bahasanya padat
Selalu berpusat pada hal yang dibicarakan
Banyak sifat objektifnya daripada subjektifnya
Lebih banyak unsure pikiran daripada perasaan
Lebih bersifat memberitahukan daripada menggerakkan emosi
Tujuan utama ialah supaya pendengar/pembaca tahu atau mengerti. Oleh karena itu,
yang diutamakan ialah jelas dan seksamanya. Kalimat-kalimatnya disusun selogis-logisnya.
Bahasa jurnalistik ditujukan kepada umum, tidak membedakan tingkat kecerdasan,
kedudukan, keyakinan, dan pengetahuan.
e. Ragam Sastra
Ragam bahasa sastra memiliki sifat atau karakter subjektif, lentur, konotatif, kreatif dan
inovatif. Dalam bahasa yang beragam khusus terdapat kata-kata, cara-cara penuturan, dan
ungkapan-ungkapan yang khusus, yang kurang lazim atau tak dikenal dalam bahasa umum.
Bahasa sastra ialah bahasa yang dipakai untuk menyampaikan emosi (perasaan) dan pikiran,
fantasi dan lukisan angan-angan, penghayatan batin dan lahir, peristiwa dan khayalan, dengan
bentuk istimewa. Istimewa karena kekuatan efeknya pada pendengar/pembaca dan istimewa
cara penuturannya. Bahasa dalam ragam sastra ini digunakan sebagai bahan kesenian di
samping alat komunikasi. Untuk memperbesar efek penuturan dikerahkan segala kemampuan
yang ada pada bahasa. Arti, bunyi, asosiasi, irama, tekanan, suara, panjang pendek suara,
persesuaian bunyi kata, sajak, asonansi, posisi kata, ulangan kata/kalimat dimana perlu
dikerahkan untuk mempertinggi efek. Misalnya, bahasa dalam sajak jelas bedanya dengan
bahasa dalam karangan umum.
Berbeda dengan ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa sastra banyak mengunakan kalimat
yang tidak efektif. Penggambaran yang sejelas-jelasnya melalui rangkaian kata bermakna
konotasi sering dipakai dalam ragam bahasa sastra. Hal ini dilakukan agar tercipta pencitraan
di dalam imajinasi pembaca.
Penetapan ragam yang dipakai bergantung pada situasi, kondisi, topik pembicaraan, serta
bentuk hubungan antar pelaku. Berbagai faktor tadi akan mempengaruhi cara pandang
penutur untuk menetapkan salah satu ragam yang digunakan (dialeg, terpelajar, resmi,
takresmi).
Dalam praktek pemakaian seluruh ragam yang dibahas diatas sering memiliki kesamaan
satu sama lain dalam hal pemakaian kata. Ragam lisan (sehari-hari) cenderung sama dengan
ragam dialek, dan ragam takresmi, sedangkan ragam tulis (formal) cenderung sama dengan
ragam resmi dan ragam terpelajar. Selanjutnya, ragam terpelajar tentu mirip dgn ragam ilmu.
Bahasa yang baik adalah yang sesuai dengan situasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa
harus dapat efektif menyampaikan maksud kepada lawan bicara.
Ada lima ragam bahasa yang dapat digunakan sesuai situasi sebagai berikut:
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Sebaiknya sebagai penduduk Indonesia, kita menggunakan ragam bahasa yang baik dan
benar sehingga keberadaan ragam bahasa itu sendiri tidak punah dengan adanya bahasa-
bahasa yang terkadang jauh dari aturan bahasa yang ada di Indonesia bahkan bertentanga.
DAFTAR PUSTAKA
Tadjudding, Moh. 2013. Bahasa Indonesia Bentuk dan Makna. Bandung : P.T. Alumni
Keraf, Gorys. 1994. Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. NTT : Nusa Indah.
Rahardi, Kunjawa. 2009. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Penerbit
Erlangga
http://pendidikanmatematika2011.blogspot.com/2012/04/reski-andika-saing.html [diakses
Minggu 15 Oktober 2017]
http://merrycmerry.blogspot.com/2011/10/makalah-bahasa-indonesia-ragam-bahasa.html
[diakses Minggu 15 Oktober 2017]
http://irfanisprayudhi.wordpress.com/2013/09/30/arti-fungsi-dan-ragam-bahasa [diakses
Minggu 15 Oktober 2017]