Anda di halaman 1dari 14

KEBIJAKSANAAN PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA

Oleh: Warsiman

A. Pembuka

Sejak ditetapkan sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 September 1928, bahasa
Indonesia terus mengalami perkembangan. (Lebih-lebih) terlebih setelah pemerintah secara
resmi (mengangkatnya) menetapkan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, pemakaian
bahasa Indonesia menjadi lebih luas. Bahkan, hampir semua bidang kehidupan di negeri ini
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar perhubungan.

Sebagai alat komunikasi dan interaksi, bahasa Indonesia tidak mungkin menghindari
kontak dengan bahasa-bahasa (lain)lainnya, termasuk dengan bahasa daerah. Sebagaimana yang
kita ketahui bahwa  bahasa daerah yang ada di negeri kita ribuan jumlahnya. Demikian pula
masuknya bahasa asing sebagai konsekuensi perkembangan global, tidak mungkin kita hindari.
Justru bahasa daerah dan bahasa asing tersebut dapat memperkaya bahasa Indonesia terutama
dari segi perbendaharaan kata (Badudu, 1979:7). (Sungguhpun)walaupun bahasa Indonesia
diperkaya oleh bahasa lain, tetapi tidak sampai pada segi struktur bahasa. Karena itu bahasa
Indonesia tetap dapat menunjukkan jati dirinya (Warsiman, 2007:1-2).

Dalam  upaya pembinanaan dan pengembangan bahasa Indonesia, sejak tahun 1938 
hingga dewasa ini setidaknya telah delapan kali kongres  bahasa diselenggarakan. Kebijaksanaan
pembakuan bahasa, pedoman peristilahan, pedoman penyerapan dan sebagainya, terus dilakukan
agar bahasa Indonesia mencapai kesempurnaan dan dapat menunjukkan jati dirinya.

B. Kebijaksanaan Bahasa

Kata kebijaksanaan yang sering dipertukarkan dengan kata kebijakan sesungguhnya


memiliki arti yang sangat berbeda. Kata Kebijaksanaan dalam istilah Inggris adalah policy,
berbeda dengan kata kebijakan yang dimaknai sebagai wisdom. Kata kebijaksanaan (bila)dapat
diartikan secara harfiah (dapat bermakna)memiliki arti menentukan sikap atau mengambil
keputusan. Biasanya kebijaksanaan dipakai dalam keadaan yang mendesak atau penting.
Menurut Syamsuddin (1985:81) kebijaksanaan (bertalian)berkaitan erat dengan masalah-masalah
penting dan kadang-kadang mendesak untuk diambil suatu keputusan. Kebijaksanaan biasanya
diambil apabila ketentuan teknis (yang jelas belum ada)belum jelas bagi penyelesaian masalah.

Berdasarkan penjelasan tersebut tersirat bahwa kebijaksanaan harus diambil oleh


seseorang yang berwenang dan berkompeten dengan permasalahan yang dimaksud, sekalipun
hasil kebijaksanaan yang diambil tersebut terkadang bisa jadi sangat subjektif. Untuk
menghindari subjektivitas, seorang pengambil kebijaksanaan perlu (berkaca) terlihat pada aturan
yang lebih tinggi statusnya, misalnya undang-undang atau peraturan-peraturan formal yang
berlaku (di atasnya)di dalamnya.

(Sampai dengan dewasa ini)Sampai dewasa kata kebijaksanaan sering terdengar,


terutama berkaitan dengan layanan publik. (Sungguhpun) Walaupun kemajuan zaman telah
(merambah)menambah kehidupan di sekitar kita, dan segala sesuatu telah dibuatkan regulasi atau
dengan kata lain telah diatur secara teknis,  tetapi karena kompleksitas kehidupan, kebijaksanaan
tetap saja muncul untuk (menengahi)mengatur suatu persoalan kehidupan. Dalam suatu dimensi
kehidupan masyarakat yang demikian luas, tidaklah cukup diatur dengan suatu peraturan atau
undang-undang, karena ciri masyarakat bukanlah homogen, melainkan hitrogen yang masing-
masing mempunyai perasaan, kemauan, dan kebutuhan yang tidak sama.

Berbeda halnya dengan kehidupan yang bersifat pasti atau eksak, kehidupan sosial
(amatlah)sangat rumit, karena memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks. Tidak terkecuali
permasalahan yang berkaitan dengan bahasa, karena bahasa bagian dari kehidupan sosial.
Sebagai bagian dari kehidupan sosial, bahasa memegang peranan yang (amat)sangat penting.
Kepentingan bahasa itu hampir mencakupi segala bidang kehidupan, karena segala sesuatu yang
dihayati, dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh seseorang hanya dapat diketahui orang lain jika
telah diungkapkan dengan bahasa, baik lisan maupun tertulis.

Kata kebijaksanaan bila dikaitkan dengan bahasa, terutama bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan, dapat memunculkan persepsi terhadap kebutuhan akan pembakuan pada semua
level kebahasaan, kebutuhan (akan)pada pedoman-pedoman berbahasa, pedoman peristilahan,
pedoman (akan)pada penyerapan unsur asing, (penentuan)penentu ide-ide pengembangan dan
pembinaan, (penentuan)penentu bahasa nasional, bahasa persatuan, bahasa pengantar dan lain-
lain. Termasuk juga kebijaksanaan terhadap pembinaan dan pelestarian bahasa daerah, karena
bahasa daerah merupakan (khasanah)ciri khas pemerkaya kebudayaan bangsa.

1. Keputusan Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1938 di Solo

Hasil kongres bahasa Indonesia I tahun 1938 di Solo Jawa Tengah, memberikan
penegasan tentang kedudukan bahasa Indonesia serta pengembangan dan pembinaannya untuk
semakin dimantapkan. Dalam amanat tersebut dijelaskan bahwa kedudukan bahasa Indonesia
diusulkan agar dijadikan sebagai bahasa resmi dan bahasa pengantar di dalam perwakilan dan
perundangan.

Untuk mewujudkan amanat kongres bahasa Indonesia I tersebut, pemerintah


mengambil suatu kebijaksanaan dengan menetapkan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, pada tanggal 18 Agustus 1945, dua hari
setelah kemerdekaan, pemerintah menetapkan bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia.
Demikian pula kedudukannya sebagai bahasa negara, pemerintah menetapkan kebijaksanaan
mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Kebijaksanaan tersebut (tertuang)terdapat
dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada Bab XV, Pasal 36, yang selengkapnya berbunyi
”Bahasa negara adalah bahasa Indonesia”. Landasan konstitusional ini memberikan kedudukan
yang kuat bagi bahasa Indonesia untuk digunakan dalam berbagai urusan kenegaraan dan dalam
menjalankan tatapemerintahan.

Berdasarkan kedudukan itu, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa
negara, usaha pelestarian, pembinaan dan pengembangannya diwajibkan bagi setiap warga
negara yang merasa dirinya sebagai bangsa Indonesia. (Imbauan)himbauan tentang kewajiban itu
telah ditetapkan oleh pemerintah, baik melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) maupun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam ketetapan MPRS tahun 1966
misalnya, ditegaskan agar kita terus meningkatkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat
pemersatu yang ampuh. Di samping itu, dalam ketetapan MPR 1978 dan 1983, juga dirumuskan
bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dilaksanakan dengan mewajibkan
(penggunaannya)menggunakan secara baik dan benar. Rumusan itu juga ditujukan terhadap
penggunaan bahasa Indonesia di dalam pendidikan dan pengajaran (agar perlu)supaya semakin
ditingkatkan dan diperluas hingga mencakup semua lembaga pendidikan dan menjangkau
masyarakat luas (Mustakim, 1994:13).

Sebagai (tindak lanjut)keputusan dari ketetapan MPR tersebut, dalam GBHN tahun
1988 ditegaskan kembali bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia akan
ditingkatkan melalui jalur pendidikan baik formal maupun nonformal. Dengan penegasan itu,
semua jenjang dan jalur pendidikan di Indonesia mulai dari taman kanak-kanak sampai
perguruan tinggi wajib menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

Landasan konstitusional tersebut memberikan gambaran bahwa masalah bahasa


Indonesia adalah masalah kita bersama, sehingga upaya pembinaan dan pengembangannya pun
menjadi tanggung jawab kita sebagai bangsa Indonesia. Jadi, bukan hanya menjadi tanggung
jawab para pakar dan para pembina bahasa Indonesia.

Tambahan lagi, dalam upaya pengembangan dan pembinaan bahasa, amanat kongres
bahasa Indonesia I menegaskan perlunya penyempurnaan atau pembaharuan ejaan bahasa
Indonesia. Hal yang amat penting dan menjadi perhatian dalam kongres bahasa Indonesia I
tersebut adalah (perlunya)perlu menyusun tata bahasa baku, pengembangan leksikon dan
penertiban atau perbaikan bahasa surat kabar, karena implementasi dari kebijaksanaan tersebut
akan diemban oleh surat kabar. Hal lain (yang juga)yang menjadi perhatian kongres adalah
perlunya mendirikan Institut Bahasa Indonesia, atau Fakultas Sastra dan Filsafat. Lembaga
(semacam)seperti itu dianggap penting sebagai sarana pengembangan, penyebarluasan dan
pembinaan bahasa Indonesia.

2. Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan

Hasil kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan yang menyangkut


kedudukan bahasa, memutuskan bahwa: (1) politik bahasa Indonesia (dalam hubungannya
dengan)memiliki hungan bahasa daerah dan bahasa asing supaya digariskan dengan jelas; (2)
perlu (dibangkitkan)perlu adanya rasa cinta bahasa Indonesia dan peningkatan harga diri dengan
menggunakan bahasa Indonesia; dan (3) perlu (ditegaskan)penegasan bahwa, bahasa Indonesia
memang dari bahasa Melayu tetapi disesuaikan dengan pertumbuhannya.

Berkaitan dengan poin pertama yakni, hubungan antara bahasa Indonesia dengan
bahasa daerah dan bahasa asing dapat dijelaskan bahwa kedua bahasa itu memiliki sumbangsih
yang (amat)sangat penting terhadap perkembangan bahasa dan bangsa Indonesia. Sebagaimana
dijelaskan dalam konstitusi kita bahwa ”bahasa-bahasa daerah yang dipakai di wilayah negara
Republik Indonesia perlu dipelihara dan di kembangkan”. Bahasa daerah adalah salah satu unsur
kebudayaan daerah, dan kebudayaan daerah adalah unsur kebudayaan nasional yang tengah kita
bina dan kembangkan. Bahkan, keberadaan bahasa daerah justru diperlukan untuk pembinaan
bahasa Indonesia sendiri. Hal ini dapat kita lihat pada proses pengajaran di jenjang pendidikan
tingkat rendah di negara kita ini yang masih menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah sebagai
bahasa pengantar, mengingat tidak semua anak negeri ini terlahir dengan menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama.

Kedudukannya sebagai bahasa daerah, ia memiliki fungsi: (1) sebagai lambang


kebanggan daerah; (2) lambang identitas daerah; dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan
masyarakat (Depdikbud, 1981:149). Selanjutnya, dalam hubungannya dengan fungsi bahasa
Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (1) pendukung bahasa nasional; (2) bahasa
pengantar di sekolah dasar di daerah-daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk
memperlancar pengajaran bahasa Indonesia serta matapelajaran lain; dan (3) alat pengembangan
serta pendukung kebudayaan daerah (Depdikbud, 1981:149).

Demikian pula keberadaan bahasa asing di Indonesia bahwa fungsi bahasa asing
secara umum harus didasarkan kepada tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu mencetak manusia
Pancasila yang trampil dalam pembangunan. Dengan demikian, bahasa asing harus dikuasai
sedemikian rupa sehingga dapat dipakai sebagai alat untuk membantu mempercepat proses
pembangunan negara dan bangsa.

 Penggunaan bahasa asing harus pula dapat membantu mewujudkan politik luar 
negeri yang bebas dan aktif termasuk mengadakan persahabatan dengan semua negara di dunia.
Di samping dasar tujuan tersebut, kita tidak boleh melupakan faktor-faktor lain yang akan
menentukan urutan bahasa asing yang harus diprioritaskan dan diajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan di Indonesia. Faktor-foktor yang menentukan di dalam pemilihan bahasa asing antara
lain ialah faktor politik, keagamaan, kebudayaan, dan ekonomi (Kartono dalam Depdikbud,
1981:125).

Di Indonesia bahasa asing yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan adalah


bahasa Inggris. Bahasa Inggris sebagai bahasa asing pertama di Indonesia didasarkan atas
posisinya sebagai bahasa internasional, bahasa ilmu pengetahuan, teknologi modern,
perdagangan, politik dan sebagainya. Pendek kata, hampir semua bidang kehidupan, bahasa
Inggris dipakai sebagai sarana penyampaian. Dasar tersebut selaras dengan faktor penentuan dan
pemilihan bahasa asing yang akan kita prioritaskan.

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 096/1967


secara tegas telah menggariskan bahwa pengajaran bahasa asing tak lain fungsinya ialah: sebagai
alat untuk mempercepat proses pembangunan negara dan bangsa; membentuk persahabatan
dengan bangsa-bangsa lain; dan menjalankan kebijaksanaan luar negeri (foreign policy) kita,
sedangkan tujuan nasional dalam pengembangan ketrampilan berbahasa asing (dalam hal ini
adalah bahasa Inggris) sesuai dengan keputusan pemerintah dan sesuai dengan kegunaanya ialah
agar kita memiliki kompetensi: (1) kemampuan membaca secara efektif; (2) kemampuan
mengerti bahasa lisan; dan (3) kemampuan berbicara (Depdikbud, 1981:139). Berdasarkan
uraian tersebut, kekhawatiran terhadap terdesaknya kedudukan bahasa Indonesia tidak perlu
terjadi. Baik bahasa daerah maupun bahasa asing posisinya akan tetap menjadi bahasa
pendukung bahasa Indonesia.
Selanjutnya, berkaitan dengan poin dua tentang perlunya dibangkitkan rasa cinta
bahasa Indonesia dan peningkatan harga diri dengan menggunakan bahasa Indonesia, tampaknya
sejak kongres bahasa Indonesia II mengalami perkembangan yang sangat menggembirakan.
Kebijaksanaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di semua jenjang
pendidikan berpengaruh luas terhadap persepsi status sosial di tengah masyarakat. Bahkan,
menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari dianggap sebagai kaum terpelajar
atau kaum intelek.

Amanat kongres bahasa Indonesia II berikutnya adalah berkaitan dengan perlunya


ditegaskan kembali bahwa bahasa Indonesia adalah berasal dari bahasa Melayu tetapi
disesuaikan dengan pertumbuhannya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bakry (1981:165)
bahwa bahasa Indonesia yang kita angkat sebagai bahasa nasional dan bahasa negara ini berasal
dari bahasa Melayu Riau. Sungguhpun berasal dari bahasa Melayu Riau, tetapi dalam
perkembangannya ia telah mengalami perubahan yang signifikan. Ciri sebagai bahasa Melayu
Riau hampir sudah tidak terlihat lagi. Bahkan, bahasa Melayu sendiri pada saat ini sudah
dianggap sebagai bahasa asing bila di sandingkan dengan bahasa Indonesia (Depdikbud,
1981:136).

3. Keputusan Kongres Bahasa Indonesia III tahun 1978 di Jakarta

Untuk mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara,
serta untuk meningkatkan pengguna dan penggunaanya dalam wilayah negara Indonesia,
kongres bahasa Indonesia III di Jakarta  merekomendasikan agar kemahiran berbahasa Indonesia
dijadikan sebagai persyaratan penerimaan pegawai negeri. Rekomendasi yang kedua, agar
pemerintah menggariskan suatu kebijaksanaan di dalam kebudayaan.

Rekomendasi tentang kemahiran berbahasa Indonesia agar dijadikan sebagai


persyaratan penerimaan pegawai negeri telah diimplementasikan oleh pemerintah. Bahkan,
hingga dewasa ini pemerintah masih menjadikan uji tes kemahiran berbahasa Indonesia tetap
dipertahankan sekalipun pada kenyataannya materi tes bahasa Indonesia (akhir-akhir ini) tidak
menekankan pada kemahiran secara praktis, melainkan hanya bersifat teoretis.

Berkenaan dengan pengembangan, kongres bahasa Indonesia III menyerukan


terhadap perlunya penyusunan pedoman lafal baru, kamus baku, tatabahasa baku, dan perlu pula
ada usaha pemodernan bahasa Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Muliono
(Depdikbud, 1981:33-34) bahwa kebakuan bahasa Indonesia akan dapat mengemban empat
fungsi, yaitu (1) fungsi pemersatu; (2) fungsi penanda kepribadian; (3) fungsi penambah wibawa;
dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.

Fungsi sebagai pemersatu telah terbukti selama ini bahwa bahasa Indonesia mampu
mengikat kebinekaan rumpun dan bahasa yang ada dengan mengatasi batas-batas kedaerahan
dan fungsi ini dapat ditingkatkan lagi dengan lebih mengintensifkan usaha berlakunya suatu
bahasa baku yang adab dan yang menjadi salah satu ciri manusia Indonesia yang modern.

Fungsi sebagai penanda kepribadian yang dijalankan oleh bahasa baku dapat
terlihat dalam pergaulan dengan bangsa lain jika orang Indonesia tetap menggunakan bahasa
Indonesia untuk membedakan dirinya dengan bangsa lain. Dengan berbahasa Indonesia kita
dapat menunjukkan identitas kita, dan jika fungsi ini dapat dipraktekkan secara luas, maka
bahasa Indonesia dapat dianggap melaksanakan peranannya sebagai bahasa nasional yang baku.

Fungsi ketiga bahasa Indonesia sebagai penambah wibawa merupakan unsur yang
menduduki tempat tertinggi pada skala tatanilai dalam masyarakat bahasa. Bahasa baku yang
dipakai oleh kalangan masyarakat yang berpengaruh dapat menambah wibawa pada setiap orang
yang menguasai bahasa itu dengan mahir. Selain itu, penggunaan bahasa baku yang dipautkan
dengan hasil teknologi dan kebudayaan yang baru juga dapat menambah kewibawaan yang
tinggi. Misalnya, nama-nama Inggris yang masih asing itu kita ganti dengan bahasa Indonesia
yang baku akan mengesankan (mengidentikkan) bahasa Indonesia dengan masyarakat dan
kehidupan yang modern.

Berkaitan dengan Pembinaan, kongres bahasa Indonesia III menggariskan perlunya


dibentuk Dewan Nasional Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, perlu dilaksanakan penataran
guru-guru bahasa, perlu pembinaan ketrampilan mengarang, dan perlu pembinaan bahasa daerah.

Pemerintah telah berupaya mewujudkan hasil kongres tersebut dengan melakukan


berbagai langkah kebijaksanaan pembinaan dan pengembangan bahasa. Upaya yang paling nyata
adalah sosialisasi penggunanan bahasa Indonesia di berbagai tempat dengan mengganti nama-
nama asing ke dalam bahasa Indonesia, serta mencarikan padanan kata bahasa asing dalam
bahasa Indonesia, dan sosialisasi tersebut terus dilakukan.

Berkaitan dengan pembinaan guru-guru bahasa, pemerintah telah berupaya


melakukan lakah kebijakan dengan memberikan bekal pemahaman yang cukup terhadap guru-
guru bahasa Indonesia melalui penataran-penataran kebahasaan. Upaya tersebut ditempuh karena
pemerintah menganggap guru merupakan ujung tombak pembinaan bahasa melalui anak didik
secara langsung tentang kebahasaan.

Selain itu, pembinaan bahasa daerah juga terus dilakukan oleh pemerintah. Hal itu
sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang berhubungan dengan Bab XV, pasal 36,
yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan
yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai dan dipelihara oleh negara karena
bahasa-bahasa itu adalah bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup (Halim, dalam
Depdikbud, 1984:21).

4. Keputusan Kongres Bahasa Indonesia IV tahun 1983 di Jakarta

Kongres bahasa Indonesia IV tahun 1983 di Jakarta menetapkan beberapa hal


penting. Keputusan penting tersebut adalah berupa simpulan dan usul tindak lanjut dalam
hubungannya dengan masalah-masalah lingkup bidang: (1) bahasa, (2) pengajaran bahasa; dan
(3) pembinanan bahasa dalam kaitannya dengan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai
sarana pembangunan nasional.
a. Bidang Bahasa

Jika ditilik kembali sejak kelahiranya, bahasa Indonesia telah mengalami


perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi
sosial, sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagai sarana pranata
pemerintahan telah mencapai kemajuan yang cukup mantap. Demikian pula banyaknya buku
ilmu pengetahuan yang ditulis dalam bahasa Indonesia atau diterjemahkan ke  dalam bahasa
Indonesia menunjukkan bahwa bahasa Indonesia dapat memerankan fungsinya dengan baik
sebagai alat penyebar ilmu pengetahuan.

Dalam perannya yang demikian strategis tersebut perkembangan bahasa Indonesia


tidak mustahil akan bersentuhan dengan pengaruh masyarakat yang memahaminya, terutama
nilai budaya maupun tingkah laku sosialnya.  Sentuhan yang terjadi di satu sisi dapat
memperkaya linguistik bahasa Indonesia yang merupakan milik kita bersama, di sisi yang lain
dapat menimbulkan keanekaragaman. Tanpa pembinaan yang berhati-hati dan dilakukan dengan
seksama, tidak mustahil ragam-ragam tersebut akan semakin menyimpang jauh dari poros inti
bahasa kita (Syamsuddin 1985: 87).

Sampai sejauh ini penyimpangan ragam baku tersebut telah menjalar di tengah-
tengah masyarakat kita. Hal ini dapat kita lihat betapa banyaknya pemakaian bahasa Indonesia
yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang baik dan benar. Yang sangat memprihatinkan
bukan hanya masyarakat awam saja yang mengalami penyimpangan tersebut, melainkan
masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat terpelajar atau intelek juga telah melakukan
penyimpangan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan itu berkisar pada: (1) pemakaian kalimat,
pemakaian tanda baca, pengelompokkan wacana yang tidak mengungkapkan jalan pikiran yang
jernih, logis dan sistematis; (2) pemakaian istilah asing yang sebenarnya ada padanan kata dalam
bahasa Indonesia, atau yang memiliki ciri-ciri semantik sama dan telah umum dipakai; (3)
pemakaian istilah teknis yang tidak seragam dalam pengetahuan; (4) pengucapan kata yang
menyimpang dari kaidah yang dianggap baku; dan (5) pengejaan kata atau frase yang tidak taat
asas.

Kebijaksanaan pemerintah yang memungkinkan untuk diambil sebagai jawaban dari


permasalahan yang muncul tersebut adalah sebagai berikut: (1) perlunya disusun tatabahasa baku
bahasa Indonesia sebagai tatabahasa acuan yang lengkap; (2) perlunya disusun kamus besar
bahasa Indonesia yang memuat tidak hanya bentuk-bentuk leksikon, tetapi juga lafal yang
dianggap baku kategori sintaktik setiap kata, dan batasan serta contoh pemakaian yang lengkap;
(3) perlunya peyusunan kamus bahasa daerah yang merupakan sumber untuk memperkaya
bahasa nasional; (4) perlunya dipergiat penulisan dan penerjemahan huku-buku yang bermanfaat
bagi pelbagai bidang; (5) perlunya pusat bahasa mengkoordinasikan kerja sama dengan lembaga-
lembaga pemerintah yang lain yang berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan untuk
menyeragamkan istilah-istilah ilmu pengetahuan; (6) perlunya sikap berhati-hati dalam memilih
unsur bahasa asing; (7) perlunya mahasiswa mendapat latihan ketrampilan menulis karya ilmiah
bahasa Indonesia yang benar; dan (8) perlunya ditetapkan pedoman transliterasi yang benar
(Syamsuddin, 1985:88).

 
b. Bidang Pengajaran Bahasa

Secara umum tujuan pengajaran bahasa Indonesia di lembaga lembaga pendidikan


adalah untuk memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. Tujuan tersebut jika ditinjau
dari sudut pemakai dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) tercapainya pemakaian bahasa
Indonesia baku yang cermat, tepat, dan efesien dalam berkomunikasi; (2) tercapainya pemilikan
ketrampilan berbahasa Indonesia baik dalam penggunaannya sebagai alat komunikasi maupun
dalam ilmu pengetahuan yang sahih; (3) tercapainya sikap positif terhadap bahasa Indonesia,
yaitu sikap yang erat kaitannya dengan rasa tanggung jawab yang tampak dari perilaku sehari-
hari (Syamsuddin, 1985:89).

Kaitan antara fungsi bahasa dengan pendidikan nasional setidaknya terurai dalam
empat hal pokok. Keempat hal itu ialah: (1) sebagai matapelajaran pokok, artinya bahasa
Indonesia yang diajarkan hendaknya adalah bahasa Indonesia dengan ciri serta syarat ragam
bahasa baku, baik lisan maupun tulis, dan sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayaan
yang berfungsi sebagai bahasa modern; (2) sebagai bahasa pengantar di semua jenis dan jenjang
lembaga pendidikan, artinya bahasa Indonesia yang diajarkan hendaknya memiliki ciri dapat
menjalankan tugas sebagai alat komunikasi; (3) sebagai bahasa penalaran; dan (4) sebagai bahasa
pengungkap pengembangan diri dari hasil pendidikan. Sebagai bahasa penalaran dan
pengungkap pengembangan diri hanya dapat diwujudkan jika bahasa Indonesia tersebut memiliki
bentuk yang estetis (fleksibel), luwes sehingga dapat dipergunakan untuk mengekspresikan
makna-makna baru, dan mempunyai ragam yang sesuai dengan jenjang lembaga pendidikan
tersebut (Syamsuddin, 1985:89).

Pengajaran bahasa Indonesia yang mengarah pada model pengajaran komunikatif


masih belum secara intens dilakukan. Model pengajaran yang dilakukan selama ini masih model
terstruktur yang hanya mengajarkan bahasa dari segi teoretis. Kepraktisan bahasa sebagai
komponen komunikasi belum begitu diperhatikan. Demikian pula pengajaran sastra bahwa
pengajaran sastra selama ini hanya memberi beban kepada siswa. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Sayuti (1994:1) bahwa pengajaran bidang sastra sejak tahun 1950-an sampai dengan tahun-
tahun terakhir ini masih saja mengarah kepada hal-hal yang bersifat hapalan sejarah. Bahkan,
sejak tahun 1955 telah muncul beberapa kritik dari para sastrawan atas ketidakpuasanya terhadap
hasil pembelajaran sastra terutama terkait dengan apresiasi sastra (Sayuti, 1994:1). Menurutnya
pengajaran sastra selama ini telah menyimpang dari amanat kurikulum.

Memang kenyataan yang terjadi selama ini pengajaran sastra telah jauh membawa
anak kepada berbagai kegiatan yang menjenuhkan, membosankan. Bahkan, menimbulkan
kebencian terhadap sastra. Dalam kegiatan tersebut anak dituntut untuk menghafal, mencatat,
mencari dan sebagainya berbagai hal tentang sastra, dan kemampuan untuk itu dijadikan sebagai
dasar penetapan nilai oleh guru. Pendeknya, pengajaran sastra benar-benar dirancang untuk
mencapai tujuan kurikuler, dan anak harus menanggung beban kewajiban sebagai kompensasi
nilai untuk menentukan statusnya di dalam kelas (Sumarjo, 1995:42). Kegiatan yang demikian
itu secara mental psikologik membebani anak, baik anak yang mampu, lebih-lebih anak yang
tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut. Selain itu, para guru masih banyak tampil sebagai
tokoh pemberi beban, bukan sebagai tokoh pemberi teladan (Gani, 1988:125-169). Pola
pengajaran yang demikian itu tidak saja membosankan, tetapi lebih jauh lagi dapat menciptakan
pemahaman yang keliru tentang sastra. Anak terpaku pada pemahaman bahwa membaca puisi
misalnya, berarti membaca latar belakang kehidupan penyairnya, latar belakang zamannya dan
bentuk-bentuk puisi yang ditulisnya (Gani, 1988:169-170).

Untuk mengembangkan tindakan yang mendasar dalam memantapkan kedudukan


dan fungsi bahasa sebagai sarana pendidikan dan pengajaran, perlu tindak lanjut yang efesien
dari pemerintah. Tindak lanjut yang memungkinkan untuk diambil demi memenuhi harapan
tersebut adalah sebagai berikut: (1) mutu pengajaran bahasa Indonesia di semua jenis dan jenjang
pendidikan perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dimulai dengan meningkatkan kemampuan guru
Bahasa Indonesia, pengembangan bahan pelajaran yang sesuai dengan fungsi komunikatif dan
integratif bahasa, dan kebudayaan serta penalaran, pemberian pengalaman belajar kepada siswa;
(2) memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana pendidikan dan
pengajaran dan pola kebijaksanaan nasional kebahasaan harus disusun. Hal ini dapat dilakukan
dengan penentuan strategi pengajaran, pengembangan tatabahasa anutan, penggunnaan
tatabahasa yang baik dan benar, kemantapan kemampuan berbahasa Indonesia sebagai
persyaratan untuk berbagai macam kenaikan pangkat dan tingkat, pemanfaatan media massa
sebagai model penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar; (3) pengajaran sastra perlu
ditekankan pada aspek apresiasi; (4) bahan pelajaran bahasa Indonesia perlu mencakup latihan
menyimak, berbicara, membaca dan menulis serta perlu pula dikembangkan ketrampilan
membaca (membaca cepat); (5) pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia hendaknya
memanfaatkan organisasi profesi dan  lembaga kemasyarakatan;  (6) pembinanan apresiasi sastra
perlu dilaksanakan sedini mungkin; (7) perlu dikembangkan bahan pengajaran bahasa Indonesia
yang dibutuhkan bagi bidang-bidang khusus, selain ditujukan kepada berbahasa secara umum di
sekolah; (8) pendidikan dalam suasana kedwibahasaan yang strateginya bertujuan menjamin hak
hidup bahasa dan kebudayaan daerah hendaknya mempunyai nilai positif; (9) kurikulum
lembaga pendidikan tinggi hendaknya memasukkan program pendidikan bahasa Indonesia; (10)
hasil penelitian kebahasaan dan pengajaran bahasa hendaknya disebarluaskan dan dimanfaatkan;
dan (11) pelaksanaan wajib belajar perlu dimanfaatkan untuk menyukseskan pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia (Syamsuddin, 1985:90).

c. Bidang Pembinaan Bahasa

Fungsinya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki
peranan yang amat penting terhadap pembangunan nasional. Segala kebijaksaan pemerintah akan
diteruskan ke masyarakat melalui sarana komunikasi bahasa Indonesia. Namun, pada
kenyataannya banyak masyarakat yang belum menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.

Para pembina bahasa mensiyalemen bahwa banyak lembaga-lembaga, badan-badan


dan organisasi-organisasi masyarakat juga pemerintah belum menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar. Yang lebih memprihatinkan lagi, bahasa Indonesia yang digunakan
dalam ilmu hukum, ilmu administrasi dan lain-lain, banyak yang menyimpang dari kaidah-
kaidah bahasa Indonesia. Tak kurang dari media massa yang merupakan salah satu sarana
penting untuk pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, pada kenyataannya juga masih
memiliki banyak kelemahan. Pendek kata, pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
masih perlu terus ditingkatkan.
Banyak hal yang harus kita lakukan untuk pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia agar berjalan dengan efektif. Beberapa langkah tindak lanjut berikut ini perlu diambil
guna menjawab permasalahan tersebut. Tindak lanjut yang dimaksud ialah: (1) perlu usaha
sungguh-sungguh penggunaan bahasa Indonesia di segala bidang, terutama bidang hukum dan
perundang-undangan; (2) semua aparatur pemerintah terutama yang terlibat langsung dalam
pelaksanaan, perencanaan, penyusunan, pengesahan dan pelaksanaan hukum, harus memiliki
kemampuan berbahasa Indonesia yang memadai, sehingga produk hukum/ undang-undang tidak
taksa (ambigu); (3) semua petugas pemerintahan khususnya yang berhubungan langsung dengan
masyarakat, seperti lurah (kepala desa), guru, juru penerangan, penyiar TV/ radio dan staf
redaksi media cetak, harus memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang memadai; (4) perlu
diambil kebijaksanaan yang memungkinkan terciptanya iklim kebahasaan yang kondusif dengan
menertibkan istilah-istilah asing yang tidak perlu untuk diganti dengan kata/ istilah Indonesia; (5)
pembekalan generasi muda untuk berdisiplin berbahasa Indonesia; (6) perlu penugasan para ahli
bahasa di berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta; (7) perlu pembinaan intensif
pemahaman bahasa Indonesia di daerah yang masih rendah kualitas penduduknya; (8) fungsi
bahasa Indonesia perlu dimantapkan, penggunaan istilah-istilah asing dihindari; (9) kampanye
penggunanan bahasa Indonesia yang baik dan benar perlu ditingkatkan; (10) perlu meningkatkan
kemampuan guru-guru bahasa Indonesia, selain meningkatkan mutu pengajarannya; (11) buku-
buku yang diterbitkan, baik yang asli maupun terjemahan, surat kabar dan majalah yang
diedarkan, hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar; (12) perlu
perencanaan yang matang dalam pembinaan bahasa Indonesia di segala bidang; (13)
pemanfaatan unsur-unsur bahasa daerah dilakukan dengan cermat, sehingga tidak menimbulkan
dampak negatif; (14) hasil-hasil pembakuan bahasa Indonesia perlu ditunjang dengan intruksi
pelaksanaan pada setiap departemen, lembaga dan organisasi; (15) mengusulkan pusat bahasa
kedudukanya menjadi lembaga nondepartemen supaya wibawa dan ruang geraknya lebih
berdaya guna; (16) perlunya dimasukkan bahasa Indonesia ke dalam konsep wawasan nusantara;
(17) sensus penduduk dapat memperoleh data kebahasaan yang sahih dan lengkap; (18) setiap
kongres bahasa hendaknya menugasi pusat bahasa untuk memonitor pelaksanaan keputusan
kongres bahasa Indonesia sebelumnya dan melaporkan hasilnya pada kongres bahasa Indonesia
berikutnya dan demikian seterusnya; dan (19) ketentuan mengenai lalulintas (sirkulasi) buku dan
barang cetakan yang tertulis dalam bahasa Indonesia, terutama di kawasan ASEAN perlu ditinjau
kembali.

C. Kendala dalam Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia

Kegiatan rutin kebahasaan telah banyak dilakukan termasuk diselenggarakannya


kongres bahasa Indonesia secara periodik. Demikian pula banyak upaya yang telah dilakukan
oleh para pakar bahasa, serta tindakan nyata dengan menyerukan dan melakukan kegiatan
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia secara intensif. Namun,  upaya tersebut belum
membuahkan hasil yang menggembirakan. Bahkan, dewasa ini gejala merendahkan bahasa
sendiri semakin menjadi-jadi. Pendek kata, bahasa Indonesia semakin terpuruk. Hal ini dapat kita
lihat di kalangan anak muda masa kini yang sudah tidak lagi mau menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Mereka lebih percaya diri atau lebih bermartabat jika
menggunakan bahasa ”gaul” dalam pergaulan di tengah-tengah komunitasnya. Lebih terpuruk
lagi menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut anggapan mereka sudah
dianggap ketinggalan zaman (Warsiman, 2006:2).
Ada beberapa hal yang membuat kedudukan bahasa Indonesia dewasa ini mengalami
penurunan wibawa. Penulis menyimpulkan setidaknya ada tiga hal yang membuat bahasa
Indonesia terpuruk dewasa ini. Ketiga hal itu ialah: (1) tidak adanya keseriusan pemerintah; (2)
tidak memadainya alokasi dana sosialisasi; dan (3) kesadaran masyarakat.

1. Keseriusan Pemerintah Mengembangkan Bahasa Indonesia

Jika berkaca kembali pada masa orde baru saat presiden Soeharto masih berkuasa,
setiap pidato yang bersifat kenegaraan atau antarnegara, lebih-lebih ketika menjamu tamu-tamu
kenegaraan, presiden hampir tidak pernah menggunakan bahasa Inggris, kendati bahasa Inggris
menjadi bahasa wajib internasional. Hal tersebut diceritakan oleh Widodo (Bakry, 1981:166)
seorang penerjemah presiden. Bahkan, ia sangat yakin kalau Bapak presiden bisa berbahasa
Inggris, tetapi beliau lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Demikian pula pada masa
orde lama saat Presiden Soekarno berkuasa, beliau tidak segan-segan dalam pidatonya
menggunakan bahasa Indonesia, kendati beliau menguasai beberapa bahasa asing lainya.
Bahkan, beliau adalah seorang kepala negara pertama yang berani dan tanpa beban mengutip
ayat-ayat Alquran dalam pidatonya di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) New York.

Selanjutnya, menurut cerita Amran Halim (mantan kepala Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa sekarang Pusat Bahasa), upaya untuk menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pergaulan di Asia Tenggara pernah dimunculkan (Bakry, 1981:166). Yang
mengherankan usulan tersebut bukan datang dari bangsa kita sendiri, melainkan dari negara
Pilipina. Selain itu, kenyataan bahwa beberapa negara di dunia ini banyak yang mempelajari
bahasa Indonesia. Sebut saja misalnya, Amerika, Australia, Jerman Barat, Rusia, Korea Selatan,
Jepang, Prancis, Inggris, Cina, Italia, dan Belanda (Bakry, 1981:166; dan Hardini, 2007:1-6).
Bahkan, menurut Tri Indri Hardini, Amerika Serikat merupakan negara penutur bahasa Inggris
pertama yang mengajarkan bahasa Indonesia, sedangkan di prancis pengajaran bahasa Indonesia
dilakukan sejak tahun 1841 (waktu itu bahasa Indonesia masih berupa bahasa Melayu), dan di
Jepang sejak tahun 1908 masyarakatnya telah mempelajari bahasa Indonesia (Hardini, 2007:1-5).

Dewasa ini bahasa Indonesia semakin tidak berdaya. Para pejabat di negeri ini lebih
banyak beretorika dengan campur kode dalam berbahasa. Bahkan, alih kode untuk dalih menjaga
wibawa. Mereka merasa status sosialnya akan naik jika menggunakan bahasa asing (Inggris)
dalam setiap pembicaraannya. Lebih-lebih bahasa asing itu telah dianggap sebagai lambang
keterpelajaran dan keintelektualan seseorang. Jika demikian yang terjadi, kita akan kehilangan
salah satu identitas bangsa.

Upaya pemurnian bahasa Indonesia dewasa ini juga sudah tidak terdengar lagi. Bulan
bahasa yang diperingati setiap bulan Oktober menjadi kegiatan seremonial belaka. Upaya lebih
konkrit tidak lagi menjadi agenda pemerintah. Jika demikian yang terjadi, tidak mustahil bahasa
Indonesia terancam masuk musium, dan bangsa Indonesia akan kehilangan identitas diri.

2. Alokasi Dana Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia

Penulis terkesima dengan cerita sahabat penulis1. Beliau seorang dosen Bahasa
Prancis di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Beliau berkata bahwa, ketika orang-orang
Prancis ditanya ”apakah saudara bisa berbahasa Inggris?”, ia menjawab dengan agak marah
”untuk apa saya belajar bahasa Inggris, biarlah orang-orang Inggris yang belajar bahasa Prancis”.
Sepenggal pernyataan itu tersirat rasa patriotisme yang amat tinggi dari orang Prancis tersebut. Ia
menunjukkan demikian besar cintanya terhadap tanah air, dan demikian bangga dengan
bahasanya sendiri. Sungguhpun penggalan pernyataan itu tidak seluruhnya menguntungkan,
terutama dalam pergaulan global, tetapi setidaknya terlihat dalam jiwa orang Prancis tersebut
rasa patriotisme yang tinggi terhadap bahasa yang dimiliki.

Lebih lanjut penulis mendapatkan cerita yang sama terhadap upaya pemerintah
Prancis untuk memurnikan bahasa nasionalnya. Semua buku ilmu pengetahuan dan teknologi,
sebelum beredar luas di masyarakat, negara melakukan penerjemahan terlebih dahulu ke dalam
bahasa Prancis. Demikian ketatnya sensor negara terhadap hal-hal yang berbau asing sebelum
benar-benar dikonsumsi oleh masyarakatnya.

Upaya yang sama juga telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Namun, tidak
banyak yang dapat diperbuat. Lagi-lagi kendala dana menjadi faktor utama terhadap program
tersebut. Sejak tahun 1973 keinginan untuk melakukan upaya menerjemahan buku-buku ilmu
pengetahuan sudah didengungkan oleh Prof. Dr. Sutan Takdir Alisyahbana, tetapi hasilnya pada
tahun anggaran 1979/ 1980 pemerintah hanya mampu mendanai penerjemahan 31 judul buku
dengan biaya Rp. 34.837.250 (Bakry, 1981:173), dan  tahun-tahun berikutnya hanya mampu
menerjemahkan rata-rata 20 judul buku. Memang diakui banyak kendala yang dihadapi dalam
upaya penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan tersebut. Selain faktor biaya, juga karena
faktor sulitnya menemukan buku-buku yang cocok, serta tenaga penerjemah yang tersedia. Dua
alasan yang terakhir tersebut dewasa ini tampaknya sudah tidak berlaku lagi.

Hal utama yang menjadi harapan masyarakat Indonesia adalah alokasi dana
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia yang perlu mendapatkan komitmen pemerintah.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian menggelobal ini tidak ada
jalan lain kecuali kita mengikuti arus tersebut dengan tetap memegang teguh jiwa nasionalisme
kita, sehingga kita tetap dapat mengikuti perkembangan zaman tanpa harus mengorbankan nilai-
nilai kebangsaan.

3. Kesadaran Masyarakat

Betapapun usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia gencar dilakukan,


tanpa kesadaran masyarakatnya adalah pekerjaan yang sia-sia belaka. Bahkan, akhir-akhir ini
rasa nasionalisme kita lambat laun hilang oleh nafsu egois yang tumbuh tanpa terkontrol. Jiwa
kesukuan dewasa ini lebih mendominasi jiwa bangsa kita. Hal ini dapat kita saksikan
pemberitaan di berbagai  media massa. Misalnya, bentrokan antara suku Dayak (di sampit)
dengan suku Madura, di Maluku antara etnis Kristen dengan Islam dan masih banyak lagi yang
tidak mungkin disebut semuanya dalam makalah ini.

Untuk merajut kembali benang-benang merah yang terkoyak tersebut, setiap jiwa
perlu merenung, berpikir, dan berbuat untuk kesatuan dan persatuan negeri ini. Bukankah telah
banyak jiwa yang kita korbankan demi negeri ini.
Kesadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar akan menumbuhkan kembali
jiwa persatuan kita. Karena salah satu dari fungsi bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa
nasional dan sebagai alat integrasi bangsa.

D. Penutup

Upaya pemerintah untuk mewujudkan peran dan fungsi bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional dan bahasa negara terus dilakukan. Demikian pula para pakar bahasa telah
menunjukkan kepedulian yang luar biasa terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia. Kegiatan secara periodik berupa kongres bahasa Indonesia dilakukan untuk selalu
mengevaluasi dan mendorong terciptanya pemurnian dan pelestarian bahasa Indonesia secara
konstan. Namun, upaya itu tidaklah cukup tanpa suatu komitmen kebijaksanaan yang
berkesinambungan dari pemerintah untuk mendorong tercapainya perkembangan optimal dan
efektif baik dari segi kualitas maupun kuantitas para pemakai bahasa Indonesia.

Kebutuhan akan pembakuan pada semua level kebahasaan, kebutuhan akan


pedoman-pedoman berbahasa, pedoman peristilahan, pedoman akan penyerapan unsur asing,
penentuan ide-ide pengembangan dan pembinaan, penentuan bahasa nasional, bahasa persatuan,
bahasa pengantar dan lain-lain, termasuk juga kebijaksanaan terhadap pembinaan dan pelestarian
bahasa daerah, perlu dibuatkan regulasi secara mantap agar upaya pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia tidak hanya berkutat pada sisi pemakai dan pemakaian, tetapi diharapkan dapat
pula menunjukkan jati diri bangsa.

Ketetapan MPR maupun GBHN menegaskan bahwa usaha pelestarian, pembinaan


dan pengembangan bahasa Indonesia diwajibkan bagi setiap warga negara yang merasa dirinya
sebagai bangsa Indonesia. Karena itu, untuk mempertahankan bahasa Indonesia agar tetap
menjadi bahasa kebanggaan, baik pemerintah, para pakar bahasa dan semua masyarakat dituntut
kepeduliannya untuk (berbuat)memperlihatkan secara nyata. 

Daftar Pustaka
Bakry, Oemar. 1981. Bunga Rampai Sumpah Pemuda Satu Bahasa Bahasa Indonesia. Jakarta:
Mutiara.
Depdikbud. 1981. Politik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdikbud. 1984. Politik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Gani, R. 1988. Pengajaran Sastra: Respon dan Analisis. Jakarta: Dirjen. Dikti. Depdikbud.
Hardini, Tri Indri. 2007. ”Pengajaran BIPA” (Makalah). Bandung: Sekolah Pascasarjana
Universitan Pendidikan Indonesia Bandung.
Sayuti, S.A. 1985. Puisi dan Pengajarannya. Semarang: IKIP Semarang Press
Sumarjo, J. 1995. Sastra dan Masa. Bandung: Penerbit ITB Bandung.
Syamsuddin. 1985. Sanggar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Warsiman. 2007. Kaidah Bahasa Indonesia yang Benar: untuk Penulisan Karya Ilmiah
(Laporan-Skripsi-Tesis-Desertasi). Bandung: Dewa Ruchi.

 
http://warsiman.lecture.ub.ac.id/kebijakan-pembinanaan-dan-pengembangan-bahasa/

Anda mungkin juga menyukai