Oleh: Warsiman
A. Pembuka
Sejak ditetapkan sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 September 1928, bahasa
Indonesia terus mengalami perkembangan. (Lebih-lebih) terlebih setelah pemerintah secara
resmi (mengangkatnya) menetapkan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, pemakaian
bahasa Indonesia menjadi lebih luas. Bahkan, hampir semua bidang kehidupan di negeri ini
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar perhubungan.
Sebagai alat komunikasi dan interaksi, bahasa Indonesia tidak mungkin menghindari
kontak dengan bahasa-bahasa (lain)lainnya, termasuk dengan bahasa daerah. Sebagaimana yang
kita ketahui bahwa bahasa daerah yang ada di negeri kita ribuan jumlahnya. Demikian pula
masuknya bahasa asing sebagai konsekuensi perkembangan global, tidak mungkin kita hindari.
Justru bahasa daerah dan bahasa asing tersebut dapat memperkaya bahasa Indonesia terutama
dari segi perbendaharaan kata (Badudu, 1979:7). (Sungguhpun)walaupun bahasa Indonesia
diperkaya oleh bahasa lain, tetapi tidak sampai pada segi struktur bahasa. Karena itu bahasa
Indonesia tetap dapat menunjukkan jati dirinya (Warsiman, 2007:1-2).
Dalam upaya pembinanaan dan pengembangan bahasa Indonesia, sejak tahun 1938
hingga dewasa ini setidaknya telah delapan kali kongres bahasa diselenggarakan. Kebijaksanaan
pembakuan bahasa, pedoman peristilahan, pedoman penyerapan dan sebagainya, terus dilakukan
agar bahasa Indonesia mencapai kesempurnaan dan dapat menunjukkan jati dirinya.
B. Kebijaksanaan Bahasa
Berbeda halnya dengan kehidupan yang bersifat pasti atau eksak, kehidupan sosial
(amatlah)sangat rumit, karena memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks. Tidak terkecuali
permasalahan yang berkaitan dengan bahasa, karena bahasa bagian dari kehidupan sosial.
Sebagai bagian dari kehidupan sosial, bahasa memegang peranan yang (amat)sangat penting.
Kepentingan bahasa itu hampir mencakupi segala bidang kehidupan, karena segala sesuatu yang
dihayati, dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh seseorang hanya dapat diketahui orang lain jika
telah diungkapkan dengan bahasa, baik lisan maupun tertulis.
Kata kebijaksanaan bila dikaitkan dengan bahasa, terutama bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan, dapat memunculkan persepsi terhadap kebutuhan akan pembakuan pada semua
level kebahasaan, kebutuhan (akan)pada pedoman-pedoman berbahasa, pedoman peristilahan,
pedoman (akan)pada penyerapan unsur asing, (penentuan)penentu ide-ide pengembangan dan
pembinaan, (penentuan)penentu bahasa nasional, bahasa persatuan, bahasa pengantar dan lain-
lain. Termasuk juga kebijaksanaan terhadap pembinaan dan pelestarian bahasa daerah, karena
bahasa daerah merupakan (khasanah)ciri khas pemerkaya kebudayaan bangsa.
Hasil kongres bahasa Indonesia I tahun 1938 di Solo Jawa Tengah, memberikan
penegasan tentang kedudukan bahasa Indonesia serta pengembangan dan pembinaannya untuk
semakin dimantapkan. Dalam amanat tersebut dijelaskan bahwa kedudukan bahasa Indonesia
diusulkan agar dijadikan sebagai bahasa resmi dan bahasa pengantar di dalam perwakilan dan
perundangan.
Berdasarkan kedudukan itu, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa
negara, usaha pelestarian, pembinaan dan pengembangannya diwajibkan bagi setiap warga
negara yang merasa dirinya sebagai bangsa Indonesia. (Imbauan)himbauan tentang kewajiban itu
telah ditetapkan oleh pemerintah, baik melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) maupun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam ketetapan MPRS tahun 1966
misalnya, ditegaskan agar kita terus meningkatkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat
pemersatu yang ampuh. Di samping itu, dalam ketetapan MPR 1978 dan 1983, juga dirumuskan
bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dilaksanakan dengan mewajibkan
(penggunaannya)menggunakan secara baik dan benar. Rumusan itu juga ditujukan terhadap
penggunaan bahasa Indonesia di dalam pendidikan dan pengajaran (agar perlu)supaya semakin
ditingkatkan dan diperluas hingga mencakup semua lembaga pendidikan dan menjangkau
masyarakat luas (Mustakim, 1994:13).
Sebagai (tindak lanjut)keputusan dari ketetapan MPR tersebut, dalam GBHN tahun
1988 ditegaskan kembali bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia akan
ditingkatkan melalui jalur pendidikan baik formal maupun nonformal. Dengan penegasan itu,
semua jenjang dan jalur pendidikan di Indonesia mulai dari taman kanak-kanak sampai
perguruan tinggi wajib menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Tambahan lagi, dalam upaya pengembangan dan pembinaan bahasa, amanat kongres
bahasa Indonesia I menegaskan perlunya penyempurnaan atau pembaharuan ejaan bahasa
Indonesia. Hal yang amat penting dan menjadi perhatian dalam kongres bahasa Indonesia I
tersebut adalah (perlunya)perlu menyusun tata bahasa baku, pengembangan leksikon dan
penertiban atau perbaikan bahasa surat kabar, karena implementasi dari kebijaksanaan tersebut
akan diemban oleh surat kabar. Hal lain (yang juga)yang menjadi perhatian kongres adalah
perlunya mendirikan Institut Bahasa Indonesia, atau Fakultas Sastra dan Filsafat. Lembaga
(semacam)seperti itu dianggap penting sebagai sarana pengembangan, penyebarluasan dan
pembinaan bahasa Indonesia.
Berkaitan dengan poin pertama yakni, hubungan antara bahasa Indonesia dengan
bahasa daerah dan bahasa asing dapat dijelaskan bahwa kedua bahasa itu memiliki sumbangsih
yang (amat)sangat penting terhadap perkembangan bahasa dan bangsa Indonesia. Sebagaimana
dijelaskan dalam konstitusi kita bahwa ”bahasa-bahasa daerah yang dipakai di wilayah negara
Republik Indonesia perlu dipelihara dan di kembangkan”. Bahasa daerah adalah salah satu unsur
kebudayaan daerah, dan kebudayaan daerah adalah unsur kebudayaan nasional yang tengah kita
bina dan kembangkan. Bahkan, keberadaan bahasa daerah justru diperlukan untuk pembinaan
bahasa Indonesia sendiri. Hal ini dapat kita lihat pada proses pengajaran di jenjang pendidikan
tingkat rendah di negara kita ini yang masih menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah sebagai
bahasa pengantar, mengingat tidak semua anak negeri ini terlahir dengan menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama.
Demikian pula keberadaan bahasa asing di Indonesia bahwa fungsi bahasa asing
secara umum harus didasarkan kepada tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu mencetak manusia
Pancasila yang trampil dalam pembangunan. Dengan demikian, bahasa asing harus dikuasai
sedemikian rupa sehingga dapat dipakai sebagai alat untuk membantu mempercepat proses
pembangunan negara dan bangsa.
Penggunaan bahasa asing harus pula dapat membantu mewujudkan politik luar
negeri yang bebas dan aktif termasuk mengadakan persahabatan dengan semua negara di dunia.
Di samping dasar tujuan tersebut, kita tidak boleh melupakan faktor-faktor lain yang akan
menentukan urutan bahasa asing yang harus diprioritaskan dan diajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan di Indonesia. Faktor-foktor yang menentukan di dalam pemilihan bahasa asing antara
lain ialah faktor politik, keagamaan, kebudayaan, dan ekonomi (Kartono dalam Depdikbud,
1981:125).
Untuk mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara,
serta untuk meningkatkan pengguna dan penggunaanya dalam wilayah negara Indonesia,
kongres bahasa Indonesia III di Jakarta merekomendasikan agar kemahiran berbahasa Indonesia
dijadikan sebagai persyaratan penerimaan pegawai negeri. Rekomendasi yang kedua, agar
pemerintah menggariskan suatu kebijaksanaan di dalam kebudayaan.
Fungsi sebagai pemersatu telah terbukti selama ini bahwa bahasa Indonesia mampu
mengikat kebinekaan rumpun dan bahasa yang ada dengan mengatasi batas-batas kedaerahan
dan fungsi ini dapat ditingkatkan lagi dengan lebih mengintensifkan usaha berlakunya suatu
bahasa baku yang adab dan yang menjadi salah satu ciri manusia Indonesia yang modern.
Fungsi sebagai penanda kepribadian yang dijalankan oleh bahasa baku dapat
terlihat dalam pergaulan dengan bangsa lain jika orang Indonesia tetap menggunakan bahasa
Indonesia untuk membedakan dirinya dengan bangsa lain. Dengan berbahasa Indonesia kita
dapat menunjukkan identitas kita, dan jika fungsi ini dapat dipraktekkan secara luas, maka
bahasa Indonesia dapat dianggap melaksanakan peranannya sebagai bahasa nasional yang baku.
Fungsi ketiga bahasa Indonesia sebagai penambah wibawa merupakan unsur yang
menduduki tempat tertinggi pada skala tatanilai dalam masyarakat bahasa. Bahasa baku yang
dipakai oleh kalangan masyarakat yang berpengaruh dapat menambah wibawa pada setiap orang
yang menguasai bahasa itu dengan mahir. Selain itu, penggunaan bahasa baku yang dipautkan
dengan hasil teknologi dan kebudayaan yang baru juga dapat menambah kewibawaan yang
tinggi. Misalnya, nama-nama Inggris yang masih asing itu kita ganti dengan bahasa Indonesia
yang baku akan mengesankan (mengidentikkan) bahasa Indonesia dengan masyarakat dan
kehidupan yang modern.
Selain itu, pembinaan bahasa daerah juga terus dilakukan oleh pemerintah. Hal itu
sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang berhubungan dengan Bab XV, pasal 36,
yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan
yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai dan dipelihara oleh negara karena
bahasa-bahasa itu adalah bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup (Halim, dalam
Depdikbud, 1984:21).
Sampai sejauh ini penyimpangan ragam baku tersebut telah menjalar di tengah-
tengah masyarakat kita. Hal ini dapat kita lihat betapa banyaknya pemakaian bahasa Indonesia
yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang baik dan benar. Yang sangat memprihatinkan
bukan hanya masyarakat awam saja yang mengalami penyimpangan tersebut, melainkan
masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat terpelajar atau intelek juga telah melakukan
penyimpangan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan itu berkisar pada: (1) pemakaian kalimat,
pemakaian tanda baca, pengelompokkan wacana yang tidak mengungkapkan jalan pikiran yang
jernih, logis dan sistematis; (2) pemakaian istilah asing yang sebenarnya ada padanan kata dalam
bahasa Indonesia, atau yang memiliki ciri-ciri semantik sama dan telah umum dipakai; (3)
pemakaian istilah teknis yang tidak seragam dalam pengetahuan; (4) pengucapan kata yang
menyimpang dari kaidah yang dianggap baku; dan (5) pengejaan kata atau frase yang tidak taat
asas.
b. Bidang Pengajaran Bahasa
Kaitan antara fungsi bahasa dengan pendidikan nasional setidaknya terurai dalam
empat hal pokok. Keempat hal itu ialah: (1) sebagai matapelajaran pokok, artinya bahasa
Indonesia yang diajarkan hendaknya adalah bahasa Indonesia dengan ciri serta syarat ragam
bahasa baku, baik lisan maupun tulis, dan sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayaan
yang berfungsi sebagai bahasa modern; (2) sebagai bahasa pengantar di semua jenis dan jenjang
lembaga pendidikan, artinya bahasa Indonesia yang diajarkan hendaknya memiliki ciri dapat
menjalankan tugas sebagai alat komunikasi; (3) sebagai bahasa penalaran; dan (4) sebagai bahasa
pengungkap pengembangan diri dari hasil pendidikan. Sebagai bahasa penalaran dan
pengungkap pengembangan diri hanya dapat diwujudkan jika bahasa Indonesia tersebut memiliki
bentuk yang estetis (fleksibel), luwes sehingga dapat dipergunakan untuk mengekspresikan
makna-makna baru, dan mempunyai ragam yang sesuai dengan jenjang lembaga pendidikan
tersebut (Syamsuddin, 1985:89).
Memang kenyataan yang terjadi selama ini pengajaran sastra telah jauh membawa
anak kepada berbagai kegiatan yang menjenuhkan, membosankan. Bahkan, menimbulkan
kebencian terhadap sastra. Dalam kegiatan tersebut anak dituntut untuk menghafal, mencatat,
mencari dan sebagainya berbagai hal tentang sastra, dan kemampuan untuk itu dijadikan sebagai
dasar penetapan nilai oleh guru. Pendeknya, pengajaran sastra benar-benar dirancang untuk
mencapai tujuan kurikuler, dan anak harus menanggung beban kewajiban sebagai kompensasi
nilai untuk menentukan statusnya di dalam kelas (Sumarjo, 1995:42). Kegiatan yang demikian
itu secara mental psikologik membebani anak, baik anak yang mampu, lebih-lebih anak yang
tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut. Selain itu, para guru masih banyak tampil sebagai
tokoh pemberi beban, bukan sebagai tokoh pemberi teladan (Gani, 1988:125-169). Pola
pengajaran yang demikian itu tidak saja membosankan, tetapi lebih jauh lagi dapat menciptakan
pemahaman yang keliru tentang sastra. Anak terpaku pada pemahaman bahwa membaca puisi
misalnya, berarti membaca latar belakang kehidupan penyairnya, latar belakang zamannya dan
bentuk-bentuk puisi yang ditulisnya (Gani, 1988:169-170).
Fungsinya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki
peranan yang amat penting terhadap pembangunan nasional. Segala kebijaksaan pemerintah akan
diteruskan ke masyarakat melalui sarana komunikasi bahasa Indonesia. Namun, pada
kenyataannya banyak masyarakat yang belum menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
Jika berkaca kembali pada masa orde baru saat presiden Soeharto masih berkuasa,
setiap pidato yang bersifat kenegaraan atau antarnegara, lebih-lebih ketika menjamu tamu-tamu
kenegaraan, presiden hampir tidak pernah menggunakan bahasa Inggris, kendati bahasa Inggris
menjadi bahasa wajib internasional. Hal tersebut diceritakan oleh Widodo (Bakry, 1981:166)
seorang penerjemah presiden. Bahkan, ia sangat yakin kalau Bapak presiden bisa berbahasa
Inggris, tetapi beliau lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Demikian pula pada masa
orde lama saat Presiden Soekarno berkuasa, beliau tidak segan-segan dalam pidatonya
menggunakan bahasa Indonesia, kendati beliau menguasai beberapa bahasa asing lainya.
Bahkan, beliau adalah seorang kepala negara pertama yang berani dan tanpa beban mengutip
ayat-ayat Alquran dalam pidatonya di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) New York.
Selanjutnya, menurut cerita Amran Halim (mantan kepala Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa sekarang Pusat Bahasa), upaya untuk menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pergaulan di Asia Tenggara pernah dimunculkan (Bakry, 1981:166). Yang
mengherankan usulan tersebut bukan datang dari bangsa kita sendiri, melainkan dari negara
Pilipina. Selain itu, kenyataan bahwa beberapa negara di dunia ini banyak yang mempelajari
bahasa Indonesia. Sebut saja misalnya, Amerika, Australia, Jerman Barat, Rusia, Korea Selatan,
Jepang, Prancis, Inggris, Cina, Italia, dan Belanda (Bakry, 1981:166; dan Hardini, 2007:1-6).
Bahkan, menurut Tri Indri Hardini, Amerika Serikat merupakan negara penutur bahasa Inggris
pertama yang mengajarkan bahasa Indonesia, sedangkan di prancis pengajaran bahasa Indonesia
dilakukan sejak tahun 1841 (waktu itu bahasa Indonesia masih berupa bahasa Melayu), dan di
Jepang sejak tahun 1908 masyarakatnya telah mempelajari bahasa Indonesia (Hardini, 2007:1-5).
Dewasa ini bahasa Indonesia semakin tidak berdaya. Para pejabat di negeri ini lebih
banyak beretorika dengan campur kode dalam berbahasa. Bahkan, alih kode untuk dalih menjaga
wibawa. Mereka merasa status sosialnya akan naik jika menggunakan bahasa asing (Inggris)
dalam setiap pembicaraannya. Lebih-lebih bahasa asing itu telah dianggap sebagai lambang
keterpelajaran dan keintelektualan seseorang. Jika demikian yang terjadi, kita akan kehilangan
salah satu identitas bangsa.
Upaya pemurnian bahasa Indonesia dewasa ini juga sudah tidak terdengar lagi. Bulan
bahasa yang diperingati setiap bulan Oktober menjadi kegiatan seremonial belaka. Upaya lebih
konkrit tidak lagi menjadi agenda pemerintah. Jika demikian yang terjadi, tidak mustahil bahasa
Indonesia terancam masuk musium, dan bangsa Indonesia akan kehilangan identitas diri.
Penulis terkesima dengan cerita sahabat penulis1. Beliau seorang dosen Bahasa
Prancis di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Beliau berkata bahwa, ketika orang-orang
Prancis ditanya ”apakah saudara bisa berbahasa Inggris?”, ia menjawab dengan agak marah
”untuk apa saya belajar bahasa Inggris, biarlah orang-orang Inggris yang belajar bahasa Prancis”.
Sepenggal pernyataan itu tersirat rasa patriotisme yang amat tinggi dari orang Prancis tersebut. Ia
menunjukkan demikian besar cintanya terhadap tanah air, dan demikian bangga dengan
bahasanya sendiri. Sungguhpun penggalan pernyataan itu tidak seluruhnya menguntungkan,
terutama dalam pergaulan global, tetapi setidaknya terlihat dalam jiwa orang Prancis tersebut
rasa patriotisme yang tinggi terhadap bahasa yang dimiliki.
Lebih lanjut penulis mendapatkan cerita yang sama terhadap upaya pemerintah
Prancis untuk memurnikan bahasa nasionalnya. Semua buku ilmu pengetahuan dan teknologi,
sebelum beredar luas di masyarakat, negara melakukan penerjemahan terlebih dahulu ke dalam
bahasa Prancis. Demikian ketatnya sensor negara terhadap hal-hal yang berbau asing sebelum
benar-benar dikonsumsi oleh masyarakatnya.
Upaya yang sama juga telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Namun, tidak
banyak yang dapat diperbuat. Lagi-lagi kendala dana menjadi faktor utama terhadap program
tersebut. Sejak tahun 1973 keinginan untuk melakukan upaya menerjemahan buku-buku ilmu
pengetahuan sudah didengungkan oleh Prof. Dr. Sutan Takdir Alisyahbana, tetapi hasilnya pada
tahun anggaran 1979/ 1980 pemerintah hanya mampu mendanai penerjemahan 31 judul buku
dengan biaya Rp. 34.837.250 (Bakry, 1981:173), dan tahun-tahun berikutnya hanya mampu
menerjemahkan rata-rata 20 judul buku. Memang diakui banyak kendala yang dihadapi dalam
upaya penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan tersebut. Selain faktor biaya, juga karena
faktor sulitnya menemukan buku-buku yang cocok, serta tenaga penerjemah yang tersedia. Dua
alasan yang terakhir tersebut dewasa ini tampaknya sudah tidak berlaku lagi.
Hal utama yang menjadi harapan masyarakat Indonesia adalah alokasi dana
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia yang perlu mendapatkan komitmen pemerintah.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian menggelobal ini tidak ada
jalan lain kecuali kita mengikuti arus tersebut dengan tetap memegang teguh jiwa nasionalisme
kita, sehingga kita tetap dapat mengikuti perkembangan zaman tanpa harus mengorbankan nilai-
nilai kebangsaan.
3. Kesadaran Masyarakat
Untuk merajut kembali benang-benang merah yang terkoyak tersebut, setiap jiwa
perlu merenung, berpikir, dan berbuat untuk kesatuan dan persatuan negeri ini. Bukankah telah
banyak jiwa yang kita korbankan demi negeri ini.
Kesadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar akan menumbuhkan kembali
jiwa persatuan kita. Karena salah satu dari fungsi bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa
nasional dan sebagai alat integrasi bangsa.
D. Penutup
Upaya pemerintah untuk mewujudkan peran dan fungsi bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional dan bahasa negara terus dilakukan. Demikian pula para pakar bahasa telah
menunjukkan kepedulian yang luar biasa terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia. Kegiatan secara periodik berupa kongres bahasa Indonesia dilakukan untuk selalu
mengevaluasi dan mendorong terciptanya pemurnian dan pelestarian bahasa Indonesia secara
konstan. Namun, upaya itu tidaklah cukup tanpa suatu komitmen kebijaksanaan yang
berkesinambungan dari pemerintah untuk mendorong tercapainya perkembangan optimal dan
efektif baik dari segi kualitas maupun kuantitas para pemakai bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka
Bakry, Oemar. 1981. Bunga Rampai Sumpah Pemuda Satu Bahasa Bahasa Indonesia. Jakarta:
Mutiara.
Depdikbud. 1981. Politik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdikbud. 1984. Politik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Gani, R. 1988. Pengajaran Sastra: Respon dan Analisis. Jakarta: Dirjen. Dikti. Depdikbud.
Hardini, Tri Indri. 2007. ”Pengajaran BIPA” (Makalah). Bandung: Sekolah Pascasarjana
Universitan Pendidikan Indonesia Bandung.
Sayuti, S.A. 1985. Puisi dan Pengajarannya. Semarang: IKIP Semarang Press
Sumarjo, J. 1995. Sastra dan Masa. Bandung: Penerbit ITB Bandung.
Syamsuddin. 1985. Sanggar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Warsiman. 2007. Kaidah Bahasa Indonesia yang Benar: untuk Penulisan Karya Ilmiah
(Laporan-Skripsi-Tesis-Desertasi). Bandung: Dewa Ruchi.
http://warsiman.lecture.ub.ac.id/kebijakan-pembinanaan-dan-pengembangan-bahasa/