Materi dirangkum dari sejumlah buku, yaitu Sosiolinguistik karya Abdul Chaer dan Leonie
Agustina, Sosiolinguistik karya Prof.Dr.Sumarsono, M.Ed dan Drs.Paina Partana, M.Hum, Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia Karya Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan
http://pusatbahasa.diknas.go.id/laman/nawala.php?
info=artikel&infocmd=show&infoid=21&row=.
PEMBAKUAN BAHASA
Salah satu bahasa dari sejumlah bahasa yang berkembang dalam suatu negara dapat
dijadikan bahasa nasional atau bahasa resmi dari negara bersangkutan. Proses pemilihan suatu
bahasa di antara ragam bahasa yang ada untuk menjadi bahasa resmi dengan berbagai usaha
pembinaan dan pengembangan tanpa henti dikenal dengan istilah pembakuan bahasa atau
standardisasi bahasa. Menurut J.S. Badudu yang dimaksud pembakuan atau standardisasi
sebenarnya adalah penetapan aturan-aturan atau norma-norma bahasa. Pembakuan atau
penstandaran bahasa adalah pemilihan acuan yang dianggap paling wajar dan paling baik dalam
pemakaian
bahasa
(http://pusatbahasa.diknas.go.id/laman/nawala.php?
Penentuan ragam bahasa menjadi bahasa baku ini dapat dikatakan sebagai keputusan yang
bersifat politis, sosial, dan linguistis. Pembakuan bahasa dikatakan sebagai keputusan politis
karena keputusan pembakuan bahasa menyangkut strategi politik yang berkaitan dengan
kehidupan bangsa dan negara secara nasional pada masa mendatang. Selain itu, pembakuan
bahasa juga disebut sebagai keputusan sosial karena ragam bahasa yang dipilih pada awalnya
hanya digunakan oleh salah satu kelompok tutur, kemudian akan digunakan sebagai alat
komunikasi dalam status sosial yang lebih tinggi (situasi komunikasi resmi kenegaraan).
Penetapan bahasa baku juga disebut sebagai keputusan linguistis karena ragam bahasa yang akan
ditetapkan menjadi bahasa baku harus mempunyai dan memenuhi persyaratan-persyaratan
lingusitik tertentu. Dari sudut linguistik ragam bahasa yang ditetapkan menjadi bahasa baku
mempunyai kepadanan tata bunyi (fonologi), tata bentukan (morfologi), tata kalimat (sintaksis),
dan tata kata (leksikon).
Ada beberapa pengertian bahasa baku menurut para ahli (Chaer, 1995: 251252):
a. Halim (1980) berpendapat bahwa bahasa baku adalah bahasa yang dilembagakan dan diakui
oleh sebagian kelompok pemakainya sebagai bahasa resmi dan kerangka rujukan norma bahasa
serta penggunaannya. Bahasa baku sebagai kerangka rujukan memiliki norma dan kaidah yang
dijadikan tolok ukur benar atau tidaknya penggunaan bahasa. Sedangkan, bahasa tidak baku
adalah bahasa yang tidak dilembagakan dan cenderung menyimpang dari norma bahasa baku.
b. Dittmar (1976) mendefisikan bahasa baku sebagai ragam ujaran dari satu masyarakat bahasa
yang disahkan sebagai norma keharusan bagi pergaulan sosial atau kepentingan dari berbagai
pihak yang dominan dalam masyarakat itu. pengesahan ragam tersebut dilakukandengan
mempertimbangkan nilai yang didorong oleh sosiolpolitik.
c. Hartman dan Stork (1972) memberikan pengertian bahasa baku sebagai ragam bahasa yang
secara sosial lebih sering diinginkan dan dikaitkan pada ujaran pihak-pihak yang berpendidikan
baik di dalam maupun di sekitar pusat kebudayaan atau politik masyarakat tersebut.
d. Pie dan Geynor (1954) mendefinisikan bahwa bahasa baku adalah dialek suatu bahasa yang
istimewa dalam hal sastra dan budaya dibandingkan dengan dialek-dialek lainnya dan disepakati
sebagai bahasa yang paling sempurna oleh masyarakat penutur dialek-dialek lain.
Perbedaan bahasa baku dan nonbaku menyangkut semua komponen bahasa, yaitu tata bunyi,
tata bentukan, kosakata dan tata kalimat (Sumarsono, 2004: 33).
2.
a.
garamatikal, kosakata, peristilahan maupun berbagai ragam gaya di bidang sintaksis dan
semantik. Dengan kata lain, bahasa baku memiliki ciri dinamis yang akan selalu berubah sesuai
dengan perkembangan dan perubahan budaya yang dialami oleh masyarakat penuturnya. Ciri ini
dapat dicapai dengan melakukan kodifikasi (pencatatan) terhadap dua aspek bahasa, yakni
bahasa menurut situasi pemakai dan pemakaiannya, dan bahasa yang berkenaan dengan
strukturnya sebagai suau sisem komunikasi. Pencatatan pada dua aspek bahasa tersebut akan
menghasilkan kumpulan kaidah struktur bahasa yang berisi penjabaran kosakata dan bentuk baku
yang sudah ditentukan.
b. Kecendekiaan
Bahasa baku memiliki ciri kecendekiaan agar dapat digunakan dalam ilmu pengetahuan,
teknologi, dan kehidupan modern. Ciri ini dapat dicapai dengan memperkaya kosakata dalam
c.
b.
Fungsi pemisah (separatist function) berarti bahwa bahasa baku dapat menjadi pemisah atau
pembeda penggunaan ragam bahasa tersebut baik dalam situasi formal maupun situasi
nonformal. Fungsi pemisah dimaksudkan sebagai fungsi yang membedakan antara bahasa baku
c.
a.
menjamin bahwa penulis-penulis terkenal telah menguasai aturan tata bahasa dengan baik.
Dasar demokrasi adalah menentukan bahasa yang baku atau tidak baku dengan menggunakan
data statistik untuk mengetahui frekuensi penggunaannya. Bahasa yang frekuensinya paling
banyak akan dianggap bahasa yang paling benar/baku, demikian sebaliknya. Penggunaan dasar
ini juga menimbulkan masalah keakuratan data statistik yang tidak dapat menentukan kebakuan
suatu bahasa.
d. Dasar logika, maksudnya adalah dalam penentuan baku ataupun tidak baku digunakan pemikiran
logika, bisa diterima akal atau tidak. Tampaknya dasar logika tidak dapat digunakan untuk
menentukan kebakuan bahasa, sebab seringkali benar dan tidak benar struktur bahasa tidak
e.
pedoman, yaitu
a. Dasar keserasian: bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi,baik tulis maupun lisan.
b. Dasar keilmuan: bahasa yang digunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah.
c. Dasar kesastraan: bahasa yang digunakan dalam berbagai karya sastra.
Masalah pembakuan bahasa terkait dengan dua hal, yakni kebijaksanaan bahasa dan
perencanaan bahasa. Melalui kebijaksanaan bahasa, bahasa dipilih dan ditentukan salah satu dari
sejumlah bahasa yang ada untuk dijadikan bahasa nasional atau bahasa resmi kenegaraan.
Sedangkan melalui perencanaan bahasa, bahasa dipilih dan ditentukan sebuah ragam bahasa dari
ragam-ragam yang ada untuk dijadikan ragam baku atau ragam standar bahasa tersebut
Usaha pembakuan bahasa, sebagai salah satu usaha pembinaan dan pengembangan bahasa,
tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari berbagai sarana, yaitu
a) Pendidikan : pendidikan sebagai situasi formal bukan hanya membutuhkan penggunaan bahasa
baku, tetapi juga merupakan tempat untuk menyebarluaskan pengembangan dan penyebaran
bahasa baku.
b) Industri Buku : industri buku juga sangat penting dalam penyebaran dan pengembangan bahasa
c)
e)
Media massa : tersedianya media massa baik tulis maupun elektronik akan menjamin
Baku
Ahli
Atlet
Cuma
Esensial
Frekuensi
Hafal
Imbau
Impit
November
Nonbaku
Akwarium
Beaya
Atmosfir
Cabe
Ekstrim
Halangan
Hempas
Hutang
Biadap
Baku
Akuarium
Biaya
Atmosfer
Cabai
Ekstrem
Alangan
Empas
Utang
Biadab
Nonbaku
Perangko
Konggres
Merubah
Halangan
Doa
Kaedah
Komplek
Metoda
Nasehat
Baku
Prangko
Kongres
Mengubah
Alangan
Doa
Jadwal
Kompleks
Metode
Nasihat
Pembakuan tata bahasa dalam bahasa Indonesia sudah dilakukan dengan diterbitkannya buku
tata bahasa yang diberi nama Tata Bahasa Baku Indonesia. Pembakuan bidang kosakata dan
peristilahan dalam bahasa Indonesia telah lama dilakukan yang dilakukan dengan
mempertimbangkan: ejaan, lafal, bentuk, dan sumber pengambilan. Dilihat dari segi sumbernya,
istilah-istilah dalam bahasa Indonesia yang diambil dapat bersumber dari (1) kosakata bahasa
Indonesia (baik yang lazim maupun tidak), (2) kosakata bahasa serumpun, dan (3) kosakata
bahasa asing.
Kata bahasa Indonesia, khususnya kata umum, baik yang lazim maupun yang tidak lazim
dapat menjadi bahan istilah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dapat diterima
menjadi bahan istilah, yaitu kata dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan
atau sifat yang dimaksudkan; kata lebih singkat daripada kata yang lain yang berujukan sama;
kata yang tidak bernilai rasa (konotasi) buruk dan yang sedap didengar (eufonik).
Seandainya dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah yang tepat untuk menggambarkan
konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan, maka akan dicari istilah dalam bahasa
serumpun, baik yang lazim maupun yang tidak lazim. Istilah tersebut setidaknya adalah kata
yang dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan.
Bahasa baku seringkali harus meminjam unsur leksikal dari kosakata tidak baku, karena memang
diperlukan. Peminjaman tersebut bisa dilakukan jika memang diperlukan, karena belum ada
padanan katanya dalam kosakta bahasa baku. Akan tetapi, jika dalam bahasa Indonesia maupun
dalam bahasa serumpun tidak ditemukan istilah yang tepat, maka bahasa asing dapat dijadikan
sumber peristilahan Indonesia. Istilah baru dapat dibentuk dengan menerjemahkan, menyerap,
menyerap sekaligus menerjemahkan istilah asing itu.
Sehubungan dengan adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis, serta adanya
pembakuan bahasa, Halim (dalam Chaer, 1995) menyatakan perlu dibedakan antara ragam baku
lisan dan ragam baku tulis. Ragam baku tulis adalah ragam baku yang dipakai denngan resmi
dalam buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah lainnya. Pemerintah telah mendahulukan
ragam baku tulis dengan menerbitkan masalah ejaan bahasa Indonesia yang tercantum dalam
buke Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Pembentukan Istilah,
dan Pengadaan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Selain ragam baku tulis, ragam baku lisan juga dimasyarakatkan. Berbeda dengan ragam baku
tulis, ragam baku lisan penanganannya sangat sulit, karena umumnya para penutur bahasa
Indonesia memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Aibatnya, pengaruh bahasa
pertama,baik fonologi, morfologi, sintaksis maupun logat atau dialek akan terjadi bila ia bertutur
dengan
menggunakan
bahasa
Indonesia.
Seseorang dikatakan menggunakan ragam baku lisan apabila ia dapat meminimalkan atau
menghilangkan ragam daerah dalam tuturan. Artinya, bila ia berbicara maka orang lain tidak
dapat mengidentifikasi secara linguistik dari mana ia berasal.
Bahasa baku, baik dalam ragam lisan maupun tulisan selalu dikaitkan dengan bahasa sekolah
atau disebut pula bahasa tinggi sehingga ragam tinggi sering dikaitkan penggunaannya dengan
kaum terpelajar. Bahasa kaum terpelajar memiliki ciri perbedaan lafal yang sangat menonjol jika
dibandingkan dengan bahasa kaum nonpelajar. Pada umumnya aspek-aspek bunyi dan tekanan
yang membedakan ragam bahasa baku
perbedaan sistem bunyi bahasa Indonesia dengan bahasa ibu para penutur yang cenderung
menghasilkan ragam regional bahasa Indonesia yang lazim disebut logat atau aksen.
Adanya ragam baku, termasuk lafal baku, dalam bahasa Indonesia merupakan tuntutan
Sumpah Pemuda dan UUD 1945. Pengikraran bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dengan
nama bahasa Indonesia menuntut setiap orang Indonesia untuk bisa berkomunikasi satu sama
lain baik secara lisan maupun tertulis dalam bahasa persatuan. Penetapan bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara berarti bahwa segala bentuk kegiatan dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara dilakukan dalam bahasa Indonesia. Semua kegiatan komunikasi verbal
dalam bahasa Indonesia itu, secara lisan atau secara tertulis, hanya akan mencapai hasil yang
baik jika ada semacam rujukan yang dimiliki bersamadalam hal ini ragam baku bahasa
Indonesia. Untuk keperluan berbahasa lisan tentu saja dibutuhkan lafal baku. Upaya pembakuan
lafal bahasa Indonesia pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan dua jalur, yaitu jalur sekolah
dan jalur luar sekolah.
Pembakuan lafal melalui sekolah pada umumnya dilakukan secara pasif. Guru tidak secara
khusus melatih para murid untuk menggunakan lafal baku. Murid belajar lafal baku melalui apa
yang didengarnya dari guru dan, pada tahap tertentu, dari sesama murid. Melalui pelajaran bacatulis, murid dapat mengetahui nilai (fonetis) untaian huruf yang digunakan untuk menuliskan
kata-kata Indonesia. Peranan guru dalam upaya pembinaan lafal bahasa baku sangatlah besar.
Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam usaha pembinaan lafal baku pada
dunia pengajaran.
a.
Guru haruslah menyadari bahwa lafalnya merupakan model atau kerangka acuan bagi muridmuridnya. Karena itu, hendaklah guru mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Pengetahuan fonologi
b.
c.
Guru hendaklah menyadari bahwa (ragam) bahasa menjadi lambang kelompok sosial. Karena itu
guru perlu menghargai logat murid-muridnya. Apabila murid merasa direndahkan karena
ketidak-mampuannya berbahasa Indonesia dengan lafal baku sebagai akibat pengaruh
logat/bahasa ibunya, maka ia cenderung menolak apa saja yang berbau lafal bahasa Indonesia
baku.
Lafal baku sebagai perwujudan ragam bahasa baku mempunyai nilai sosial yang tinggi. Di
berbagai belahan di dunia, acapkali ragam bahasa para penutur dari kalangan kelas sosial atas
sering dijadikan acuan atau model. Hal ini terlihat jelas di Indonesia. Ketika presiden sering
terdengar mengucapkan -kan sebagai [k n] maka banyak orang yang latah ikut-ikutan
mengucapkan [-k n] walaupun mereka bukan dari suku Jawa. Pemberian model lafal yang baik
a.
Sumber Pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Hasan Alwi, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
http://pusatbahasa.diknas.go.id/laman/nawala.php?info=artikel&infocmd=show&infoid=21&row=.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda