Anda di halaman 1dari 3

BAHASA SEBAGAI SEMIOTIKA SOSIAL

Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal ini berarti
bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang dikonstruksikan
secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yakni fungsi
sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya (Halliday, 1977,
1978; Halliday & Hasan, 1985). Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain
seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersamasama membentuk
budaya manusia. Halliday mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang
penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.
Dalam berbagai tulisannya, Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses
sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar sesuatu yang lain
melalui bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada
fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspek-aspek
sosial. Dalam proses sosial itu, menurut Halliday, konstruk realitas tidak dapat dipisahkan dari
konstruk sistem semantis tempat realitas itu dikodekan. Selanjutnya, Halliday (1978:1)
merumuskan bahwa language is a shared meaning potential, at once both a part of experience
and an intersubjective interpretation of experience . Dalam komunikasi, berdasar-kan
pengalaman yang dimilikinya yang bersifat intersubjektif itu, masingmasing partisipan akan
menafsirkan teks yang ada. Dengan demikian, makna akan selalu bersifat ganda.
Formulasi bahasa sebagai semiotik sosial berarti menafsirkan bahasa dalam konteks
sosiokultural tempat kebudayaan itu ditafsirkan dalam terminologis semiotis sebagai sebuah
sistem informasi . Dalam level yang amat konkret, bahasa itu tidak berisi kalimat-kalimat, tetapi
bahasa itu berisi teks atau wacana , yakni pertukaran makna (exchange of meaning) dalam
konteks interpersonal. Mengkaji bahasa hakikatnya mengkaji teks atau wacana.
Konteks tuturan itu sebuah konstruk semiotis yang memiliki sebuah bentuk yang memungkinkan
partisipan memprediksikan fitur-fitur register yang berlaku untuk me-mahami orang lain. Melalui
tindakan pemaknaan (act of meaning) sehari-hari, masyarakat memerankan struktur sosial,
menegaskan status dan peran yang dimilikinya, serta menetapkan dan mentransmisikan sistem
nilai dan pengetahuan yang dibagi. Kajian bahasa sebagai semiotik sosial dalam pandangan
Halliday (1977:13 41; 1978:108 126) mencakup sub-subkajian: (1) teks, (2) trilogi konteks
situasi (medan wacana, pelibat wacana, dan modus wacana), (3) register, (4) kode, (5) sistem
lingual, yang mencakup komponen ideasional, interpersonal, dan tekstual, serta (6) struktur
sosial.
Teks
Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis. Teks adalah bahasa yang sedang
melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday & Hasan, 1992:13). Teks adalah
contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual
menggunakan bahasa; apa saja yang dikatakan atau ditulis; dalam konteks yang operasional
(operational context) yang dibedakan dari konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata
yang didaftar dalam kamus (Halliday, 1978:109).

Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan , dimaknai , dan dikatakan oleh
masyarakat dalam situasi yang nyata.
Dalam rumusan yang lain, Halliday berpendapat bahwa teks adalah suatu pilihan semantis
(semantic choice) dalam konteks sosial, suatu cara pengungkapan makna lewat bahasa lisan
atau tulis (Sutjaja, 1990:74). Semua bahasa yang hidup yang mengambil bagian tertentu dalam
konteks situasi dapat dinamakan teks. Terkait dengan teks, Halliday memberikan beberapa
penjelasan berikut.
Pertama, teks adalah unit semantis. Menurut Halliday (1978:135), kualitas tekstur tidak
didefinisikan dari ukuran. Teks adalah sebuah konsep semantis. Meskipun terdapat pengertian
sebagai sesuatu di atas kalimat (super-sentence), sesuatu yang lebih besar daripada kalimat,
dalam pandangan Halliday hal itu secara esensial, salah tunjuk pada kualitas teks. Kita tidak
dapat merumuskan bahwa teks itu lebih besar atau lebih panjang daripada kalimat atau klausa.
Ditegaskan oleh Halliday (1978:135) dalam kenyataannya kalimat-kalimat itu lebih merupakan
realisasi teks daripada merupakan sebuah teks tersebut. Sebuah teks tidak tersusun dari kalimatkalimat atau klausa, tetapi direalisasikan dalam kali-matkalimat.
Kedua, teks dapat memproyeksikan makna kepada level yang lebih tinggi. Menurut Halliday
(1978:138), sebuah teks se-lain dapat direalisasikan dalam level-level sistem lingual yang lebih
rendah seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan realisasi dari level yang
lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis, psikoanalitis, dan sebagainya yang di
miliki oleh teks itu. Level-level yang lebih rendah itu memiliki kekuatan untuk memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi, yang oleh Halliday diberi istilah la-tar depan
(foregrounded).
Ketiga, teks adalah proses sosiosemantis. Halliday (1978:139) berpendapat bahwa dalam arti
yang sangat umum sebuah teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan
semiotis melalui maknamakna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan.
Anggota masyarakat yakni individu-individu adalah seorang pemakna (meaner). Melalui
tindaktanduk pemaknaan antara individu bersama individu lainnya, realitas sosial diciptakan,
dijaga dalam urutan yang baik, dan secara terus-menerus disusun dan dimodifikasi.
Fitur esensial sebuah teks adalah adanya interaksi. Dalam pertukaran makna itu terjadi
perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya
yang perjuangan itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal
begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau
pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu.
Keempat, situasi adalah faktor penentu teks. Menurut Halliday (1978:141), makna diciptakan
oleh sistem sosial dan dipertukarkan oleh anggota-anggota masyarakat dalam bentuk teks.
Makna tidak diciptakan dalam keadaan terisolasi dari lingkungannya. Secara tegas dirumuskan
oleh Halliday bahwa makna adalah sistem sosial . Perubahan dalam sistem sosial akan
direfleksikan dalam teks. Situasi akan menentukan bentuk dan makna teks.
Dikutip dari: http://www.khup.com/download/9_keyword-jurnal-analisis-wacana/jejak-hallidaydalam-linguistik-kritis-dan-analisis-wacana-kritis.pdf

KONTEKS SITUASI DALAM KAJIAN WACANA

Situasi adalah lingkungan tempat teks beroperasi. Konteks situasi adalah keselu-ruhan
lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi
(diucapkan atau ditulis). Untuk
memahami teks dengan sebaik-baiknya, di-perlukan pemahaman terhadap konteks situ-asi dan
konteks budayanya. Dalam pandan-gan Halliday (1978:110), konteks situasi terdiri atas tiga
unsur, yakni (i) medan wa-cana, (ii) pelibat wacana, dan (iii) modus wacana.
Medan wacana (field of discourse) me-rujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta
latar institusi tempat satuan-satuan bahasa itu muncul. Untuk mengana-lisis medan, kita dapat
mengajukan perta-nyaan what is going on, yang mencakup tiga hal, yakni ranah pengalaman,
tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang.
Ranah pengalaman merujuk kepada ke-transitifan yang mempertanyakan apa yang terjadi dengan
seluruh proses , partisipan , dan keadaan . Tujuan jangka pendek merujuk pada tujuan yang
harus segera di-capai. Tujuan itu bersifat amat konkret. Tu-juan jangka panjang merujuk pada
tempat teks dalam skema suatu persoalan yang le-bih besar. Tujuan tersebut bersifat lebih abstrak.
Pelibat wacana (tenor of discourse) me-rujuk pada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk
pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat,
kita dapat mengajukan pertanyaan who is taking part, yang menca-kup tiga hal, yakni peran agen
atau masya-rakat, status sosial, dan jarak sosial.
Peran terkait dengan fungsi yang dija-lankan individu atau masyarakat. Status ter-kait dengan
tempat individu dalam masya-rakat sehubungan dengan orang-orang lain, sejajar atau tidak.
Jarak sosial terkait dengan tingkat pengenalan partisipan terhadap partisipan lainnya, akrab atau
memiliki ja-rak. Peran, status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula permanen.
Modus wacana (mode of discourse) me-rujuk pada bagian bahasa yang sedang di-mainkan dalam
situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Un tuk menganalisis modus,
pertanyaan yang dapat diajukan adalah what s role assigned to language, yang mencakup lima
hal, yakni peran bahasa, tipe interaksi, medium, saluran, dan modus retoris.
Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahasa dalam aktivitas: bisa saja bahasa bersifat wajib
(konstitutif) atau tidak wa-jib/penyokong/tambahan. Peran wajib terja-di apabila bahasa sebagai
aktivitas keselu-ruhan. Peran tambahan terjadi apabila baha-sa membantu aktivitas lainnya. Tipe
inte-raksi merujuk pada jumlah pelaku: monolo-gis atau dialogis. Medium terkait dengan sarana
yang digunakan: lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran berkaitan dengan bagaimana teks itu dapat
diterima: fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk pada pera-saan teks secara
keseluruhan, yakni persu-asif, kesastraan, akademis, edukatif, mantra, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai